iii
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER PEREKAT TANIN
MONALISA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
iii
RINGKASAN Monalisa. E24104024. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dengan Variasi Kadar Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin. Di bawah bimbingan Prof. dr. Ir. Yusuf sudo Hadi, M.Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si
Bambu merupakan tumbuhan serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup, mulai sebagai bahan makanan (rebung), komponen bangunan, hiasan, peralatan dapur, jembatan ringan, bahan pembuat kertas dan alat musik. Dipilihnya bambu sebagai bahan alternatif pengganti kayu karena bambu mempunyai beberapa keunggulan yaitu cepat tumbuh dengan daur yang relatif pendek (3-4 tahun), mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan mudah diolah, serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih baik daripada kayu (Subiyanto et al. 1994). Kemampuan bambu sebagai pengganti kayu tersebut membutuhkan teknologi yang tepat untuk mengoptimalkan nilai tambah bambu salah satunya yaitu pembuatan bambu lapis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data hubungan antara perlakuan model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender dalam perekat tanin resorsinol formaldehida terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis serta memperoleh jenis model penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat yang tepat agar menghasilkan panil bambu lapis yang memenuhi standar kualitas dengan menggunakan bambu tali dan perekat tanin resorsinol formaldehida. Bahan yang digunakan yaitu lembaran anyaman bambu bilik dan anyaman bambu sejajar. Lembaran bambu tersebut dioven dengan suhu 70°C selama lima hari dan dikondisioning selama satu hari. Lembaran bambu disusun menggunakan lima model lapisan, masing-masing model lapisan tersusun oleh tujuh lembar. Dilanjutkan dengan persiapan perekat dan diberi perlakuan yaitu ditambah dengan ekstender berupa tepung terigu dangan kadar 0%; 2,5%; 5% dan 10% dari berat perekatnya. Perekat dilaburkan ke lembaran sebanyak 150 gram/m² dan dilakukan masa tunggu perekat selama 15 menit. Kemudian produk dikempa panas dengan suhu 140°C, tekanan 20 kg/cm² selama 10 menit. Pengujian produk mengacu kepada Standar Nasional Indonesia (SNI) 015008.7-1999 Kayu Lapis Struktural dan Japanese Agricultural Standard (JAS) for Plywood. Sifat fisis meliputi kadar air dengan rata-rata 4,69% berkisar dari 3,81% sampai dengan 6,06% dan kerapatan dengan rata-rata yaitu 0,86 g/cm³ berkisar dari 0,74 g/cm³ sampai dengan 0,94 g/cm³. Sifat mekanis meliputi modulus lentur (MOE) sejajar serat dengan rata-rata 11.740 kg/cm² berkisar dari 2790 kg/cm² sampai dengan 21348 kg/cm² dan modulus patah (MOR) sejajar serat dengan ratarata 981,15 kg/cm² berkisar dari 230,32 kg/cm² sampai dengan 1607,90 kg/cm². Nilai keteguhan rekat sejajar serat dengan rata-rata 26,64 kg/cm² berkisar dari 6,63 kg/cm² sampai dengan 49,28 kg/cm² dan delaminasi berkisar dari 0 cm sampai dengan 7,5 cm. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis telah memenuhi standar SNI dan JAS kecuali nilai modulus lentur (MOE) sejajar serat. Model lapisan dan kadar ekstender perekat tanin mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu lapis kecuali kerapatan. Model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 10% merupakan panil bambu yang memenuhi standar JAS dan SNI (kecuali MOE) dan efisien dalam penggunaan bahan (bambu dan perekat). Kata kunci : bambu lapis, model lapisan, kadar ekstender perekat tanin
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Monalisa NRP E24104024
iv
SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DENGAN VARIASI MODEL LAPISAN DAN KADAR EKSTENDER PEREKAT TANIN
Karya Ilmiah Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Monalisa E24104024
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
v
LEMBAR PENGESAHAN Judul Peneletian
: Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin
Nama Mahasiswa
: Monalisa
NRP
: E24104024
Program Studi
: Teknologi Hasil Hutan
Sub Program Studi
: Pengolahan Hasil Hutan
Menyetujui: Komisi Pembimbing, Ketua,
Anggota,
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr NRP. 130 687 459
Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si NIP. 710 014 913
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 22 Pebruari 1986 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan Pusperni dan Ermawati. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Guguak dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf PSDM Ikatan Mahasiswa Padang 2004-2005, staf Departemen Kayu Solid Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2005-2006, Kepala Biro Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2006-2007, staf Departemen Peningkatan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan tahun 2006-2007. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Basket IPB 2004-2007. Penulis juga pernah magang kerja di PT. RIAP Bogor, melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas Ngawi, Cibodas dan Cilacap. Serta melalakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sari Bumi Kusuma Unit Kumpai, Kalimantan Barat. Untuk memproleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
vii
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin. Bambu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan memiliki potensi sebagai pengganti kayu. Hal ini didukung oleh beberapa hal yaitu bambu mudah diperoleh, harganya murah, daur relatif
pendek (3-4 tahun) dan arah
sejajar seratnya lebih kuat daripada kayu. Dilain hal, perlunya menemukan sumber baru bahan baku perekat salah satunya tanin. Dan untuk penghematan pemakaian perekat dapat dilakukan dengan pencampuran ekstender (tepung terigu) ke dalam perekat. Tujuan dari karya ilmiah ini untuk mengetahui hubungan sifat fisis mekanis bambu lapis dan memperoleh produk bambu lapis terbaik yang dipengaruhi model lapisan dan kadar ekstender perekat tanin. Bahan yang dipakai yaitu bambu tali, perekat tanin resorsinol formaldehida dan tepung terigu. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna dalam pengembangan pemanfaatan bambu dan penulis juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
viii
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Lapis dengan Variasi Model Lapisan dan Kadar Ekstender Perekat Tanin ini berhasil diselesaikan. Penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr dan Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si atas segala kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan bimbingan ilmu dan nasehat kepada penulis. 2. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Departemen Kehutanan RI Bogor. 3. Kepada para laboran di Lab. Produk Majemuk Litbanghut dan Ibu Titin atas nasehat dan ilmunya. 4. Bapak, Ibu, kakak dan segenap keluarga penulis, Kang Wahyu, Khalda dan Syauqi atas dukungan, motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis. 5. Rekan-rekan mahasiswa Lab. Bio-Komposit dan angkatan 41 Teknologi Hasil Hutan: Helmi, Mba Devina, Risde, Nining, Citra, Lukman, Wiwin, Yolanda, Setya, Tumpal, Roni, Bembi, Budi, Icha, Riska, Fath, Siska, Fuadi, Maya, Meita, Gendis, Hans, Hadi, Edo, Andrew, Weni, Kusno, Juli, Kak Putri serta teman-teman Fahutan angkatan 41. 6. Teman-teman seperjuangan di Wisma Adinda : Rizka, Vitrie, Apri, Mela, Ni Dora, Mba Ina, Dila, Mba Inung, Mba Yance dan Ola 7. Teman-teman se-asrama A3 2004 : Vidya, Rena, Lina, Wahyu, Winda, Neng, Qiqi, Santi, Sarah, Asri, Tita. 8. Sahabat – sahabat penulis : Heni Gustian, Nanda DR, Melia S. dan Hartina E atas keceriaan dan semangatnya serta kepada Wiko, Ineng, Riri, Ringgi, Nanda, Mayori, Anggi, Deta, Irzan, Fakri, Amen, Utie, Barirah.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR………………………..……………………………....
i
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vi BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Tujuan .............................................................................................
2
1.3 Manfaat ...........................................................................................
2
1.4 Hipotesa ...........................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
3
2.1 Bambu .............................................................................................
3
2.2 Perekatan .........................................................................................
7
2.3 Bambu Lapis ................................................................................... 11 BAB III BAHAN DAN METODE ............................................................... 12 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 12 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 12 3.3 Rancangan Percobaan ....................................................................... 12 3.4 Metode Penelitian ............................................................................ 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 22 4.1 Karakteristik Bambu ........................................................................ 22 4.2 Kualitas Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida ............................. 22 4.3 Kualitas Panil Bambu Lapis ............................................................. 25 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 40 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 40 5.2 Saran ............................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 41 LAMPIRAN ................................................................................................. 44
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1 Komposisi Tepung .................................................................................... 10 2 Hasil uji rataan karakteristik perekat .......................................................... 22 3 Hasil uji rataan sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis ........................... 25 4 Analisis sidik ragam kadar air ................................................................... 27 5 Analisis sidik ragam kerapatan ................................................................... 29 6 Analisis sidik ragam delaminasi ................................................................. 32 7 Analisis sidik ragam keteguhan rekat ......................................................... 34 8 Analisis sidik ragam modulus lentur........................................................... 37 9 Analisis sidik ragam kadar air .................................................................... 39
v
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1 Penampang melintang batang bambu ......................................................... 4 2 Struktur tanin terkondensasi ...................................................................... 9 3 Variasi model lapisan panil bambu lapis .................................................... 16 4 Pembuatan potongan uji per lembar ........................................................... 18 5 Sampel uji keteguhan rekat sejajar serat .................................................... 19 6 Cara pengujian MOE dan MOR ................................................................ 20 7 Skema pembuatan panil bambu lapis ......................................................... 21 8 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kekentalan perekat ..................... 23 9 Grafik hubungan kadar ekstender dengan pH perekat ................................. 24 10 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kadar padat perekat .................... 24 11 Histogram kadar air panil bambu lapis ...................................................... 26 12 Histogram kerapatan panil bambu lapis ...................................................... 29 13 Histogram delaminasi panil bambu lapis .................................................... 31 14 Histogram nilai keteguhan rekat sejajar serat panil bambu lapis ................. 34 15 Histogram MOE panil bambu lapis ............................................................ 36 16 Histogram MOR panil bambu lapis ........................................................... 38
vi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1 Data hasil pengujian karakteristik perekat tanin resorsinol formaldehida .... 45 2 Data hasil pengujian panil bambu lapis ...................................................... 46 3 Hasil uji beda nilai tengah untuk kadar air .................................................. 50 4 Hasil uji beda nilai tengah untuk kerapatan ................................................ 53 5 Hasil uji beda nilai tengah untuk delaminasi ............................................... 55 6 Hasil uji beda nilai tengah untuk keteguhan rekat sejajar serat (BS) ........... 58 7 Hasil uji beda nilai tengah untuk modulus lentur (MOE) ............................ 61 8 Hasil uji beda nilai tengah untuk modulus patah (MOR)............................. 64 9 Dokumentasi hasil penelitian .................................................................... 67
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan tumbuhan serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup, mulai sebagai bahan makanan (rebung), komponen bangunan, hiasan, peralatan dapur, jembatan ringan, bahan pembuat kertas dan alat musik. Bambu termasuk tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun) merupakan salah satu sumber daya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan pengganti pemakaian kayu. Dipilihnya bambu sebagai bahan alternatif pengganti kayu karena bambu mempunyai beberapa keunggulan yaitu cepat tumbuh, mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan mudah diolah serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih baik daripada kayu (Subiyanto et al. 1994). Namun bambu juga memiliki kekurangan yaitu keterbatasan bentuk dan dimensinya. Faktor yang sangat mempengaruhi yaitu sifat fisik bambu yang sangat sukar dikerjakan, variasi dimensi dan ketidak seragaman panjang ruasnya serta ketidak awetan bambu. Di lain hal, pemanfaatan jenis kayu mangium masih terbatas pada kayunya, antara lain untuk serpih sebagai bahan baku pulp dan kertas, arang dan tiang pancang. Kulitnya sebagian besar ditinggalkan di hutan atau di sekitar pabrik sebagai limbah. Santoso (2005) mengemukakan bahwa dari hasil pengamatannya di lapangan menunjukan rendemen kulit mangium berkisar 5-12% dan 1m³ kayu mangium bisa memperoleh 0,14 ton kulit kayu. Kemudian perkembangan industri pengolahan kayu yang cukup pesat di Indonesia mengakibatkan kecepatan pemanfaatan kayu tidak seimbang dengan pembangunan tegakan baru. Sementara itu kebutuhan kayu yang digunakan untuk berbagai macam keperluan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta pengharusan penggantian komponen-komponen dari kayu yang telah lapuk atau dimakan rayap. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk mengatasi hal di atas yaitu dengan pembuatan bambu lapis yang sama halnya dengan kayu lapis. Bambu lapis dapat meningkatkan sifat fisis bambu karena dimensinya dapat dibuat sesuai keinginan, selain itu juga meningkatkan sifat mekanisnya salah satunya dengan penyusunan lembaran bambu yang arahnya saling tegak lurus.
2
Dan untuk penghematan pemakaian perekatnya, Ruhendi (2007) mengemukakan bahwa dengan penambahan ekstender dapat mengurangi biaya perekat, contohnya tepung terigu. Namun penggunaan ekstender yang berlebihan dapat menurunkan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam penelitian ini dikemukakan cara pembuatan panil bambu lapis dengan menggunakan variasi model lapisan penyusun panil bambu lapis (model 1, model 2, model 3, model 4 dan model 5) dan kadar ekstender perekat tanin (0%; 2,5%; 5%; 10%). 1.2. Tujuan 1. Mendapatkan data hubungan antara perlakuan model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender dalam perekat tanin resorsinol formaldehida terhadap sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis. 2. Memperoleh jenis model penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat yang tepat agar menghasilkan panil bambu lapis yang memenuhi standar kualitas. 1.3. Manfaat Dalam penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi pembuatan panil bambu lapis serta sifat fisis dan mekanisnya menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) dengan menggunakan perekat tanin resorsinol formaldehida, sehingga ke depannya dapat bermanfaat dalam pengembangan produk bambu lapis. 1.4. Hipotesis 1. Model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat tanin resorsinol formaldehida tidak berpengaruh nyata terhadap sifat fisis mekanis bambu lapis (H0). 2. Model lapisan penyusun panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat tanin resorsinol formaldehida berpengaruh nyata terhadap sifat fisis mekanis bambu lapis (H0).
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bambu 1. Potensi Bambu Dari kurang lebih 1000 species bambu di dunia dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 70 jenis yang tersebar luas baik berupa bambu budi daya maupun yang berasal dari tanaman liar, tetapi tidak semuanya merupakan tanaman asli Indonesia (Dransfield dan Widjaja 1995). Sulthoni (2004) menjelaskan bahwa potensi bambu di Indonesia sangat besar dengan perkiraan seluas 5 juta ha, maka kegunaan dan peranan bambu diduga sebagai bahan baku pengganti dari kayu. Hal ini didukung oleh sifat bambu yang cepat tumbuh sehingga dapat dipromosikan untuk peningkatan perkembangan perekonomian dan juga mengurangi tekanan terhadap eksploitasi kayu. Alrasyid (1990) diacu dalam Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa dari jenis bambu di Indonesia sebanyak 35 jenis telah diketahui kegunaannya dan 10 jenis di antaranya termasuk jenis bambu asing. Berdasarkan hasil inventarisasi Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) potensi bambu per-propinsi di Indonesia sampai dengan tahun 2001 menunjukkan bahwa tanaman bambu menempati kawasan seluas sekitar 1,2 juta ha. Jenis bambu yang ditemukan antara lain betung, tali, minyak, wulung, ari, lemang, gembong, duri, ampel, hitam dan cendani. Kawasan yang paling luas di tanami bambu berada di propinsi Bengkulu. Sedangkan jenis jenis bambu paling banyak ditemui adalah bambu tali dan bambu betung (www.dephut.go.id). Tanaman bambu tidak tergantung musim, biasanya mengelompok dalam satu rumpun. Bentuk bambu silinder dengan garis tengah 2-30 cm dan panjang mencapai 3-35 m. Bambu dapat tumbuh pada tanah vulkanis, tanah tidak terlalu kering atau berbatu dari dataran rendah sampai pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lama pertumbuhannya beberapa bulan setelah musim tumbuh pertama. Setelah pertumbuhan maksimal, maka terjadi proses pematangan
4
sekitar 3-5 tahun dan untuk membentuk rumpun memerlukan 6-12 tahun (Surjokusumo 1993). 2. Sifat Anatomis Bambu Bambu tumbuh umumnya seperti kayu, termasuk dalam famili Graminae dan masih berkerabat dengan tebu dan padi. Bambu biasanya memiliki batang yang berlobang, akar yang kompleks, daun berbentuk pedang dan pelepah yang menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995). Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar.
Dindingbagian bagianluar Dinding
Dinding bagian Dinding bagian tengah
Dinding Dindingbagian bagiandalam
Gambar 1 Penampang melintang batang bambu (Janssen 1981). a. Vascular bundle Hasil penelitian Liese (1985) mengungkapkan bahwa pada batang bambu, vascular bundle terdiri atas xylem dengan 1-2 elemen protoxylem berukuran kecil dan dua pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter 40-12 µm) dan phloem berdinding tipis, sieve tubes yang tidak berlignin dihubungkan dengan menggabungkan sel-sel. Menurut Salomon vascular bundle dan serat memiliki pola teratur. Vascular bundle cenderung berkurang dari bagian luar ke dalam batang dan bawah ke atas dinding sel culm. Semakin ke dalam dari dinding sel
5
penampang melintang maka vascular bundle akan semakin sedikit jumlahnya dan semakin besar ukurannya. b. Serat Serat bambu dikarakteristikkan oleh adanya sel sklerenkim yang mengelilingi vascular bundle dan dipisahkan oleh parenkim tetapi antara keduanya seringkali bertemu pada satu titik dan membentuk ikatan sklerenkim. Panjang serat tergantung pada jenis bambu, serat terpendek ditemukan dekat buku dan serat terpanjang berada pada pada bagian tengah ruas. Serabut di dalam bambu terdapat tudung pada ikatan vascular. Terdapat 20-40% serat pendek di bagian dalam. Kadang ditemukan variasi serat yang besar antar buku. Susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang (Dransfield dan Widjaja 1995). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin (2000) menunjukkan bahwa untuk setiap jenis bambu terdapat kecenderungan perbedaan nilai panjang serat untuk setiap bagian pangkal dan ujung dengan nilai pada bagian pangkal lebih tinggi daripada bagian ujung. c. Parenkim Menurut Liese (1985) jaringan dasar pada batang bambu terdiri atas sel-sel parenkim yang kebanyakan memanjang secara vertikal (100 x 20 µm) dan sel parenkim pendek yang terletak berselang seling diantaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel lebih tebal dan mengalami lignifikasi pada awal pertumbuhan pucuk, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta mengalami lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan lain melalui nokhtah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal. 3. Sifat Fisis Bambu a. Kadar air Kadar air batang bambu merupakan faktor penting, dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya dan sangat ditentukan oleh kandungan air yang terdapat dalam batang bambu. Kadar air cenderung bertambah dari bawah ke atas pada bambu yang berumur 1-3 tahun dan lebih banyak persentasenya saat musim
6
penghujan dibandingkan musim kemarau. Biasanya bila batang bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air, pada batang bambu muda berkisar antara 50-99% dan dewasa berkisar 80-150% sedangkan pada batang bambu tua bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja 1995). b. Berat jenis Hasil penelitian Nuriyatin (2000) menunjukkan bahwa berat jenis bagian ujung bambu lebih tinggi daripada bagian pangkal bambu. Distribusi ikatan vaskular dapat dijadikan sebagai indikasi nilai berat jenis bambu. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), dimensi digunakan sebagai parameter dalam penentuan berat jenis. 4. Sifat Mekanis Bambu Sifat fisis mekanis bambu dipengaruhi oleh umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban, posisi radial dari luar sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu (Dransfield dan Widjaja 1995). 5. Bambu Tali Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu tali diduga berasal dari Burma (Myanmar) dan Thailand bagian Selatan. Bambu termasuk ke dalam Gramineae. Bambu tali tumbuh di daerah tropika basah dataran rendah, tetapi juga dapat tumbuh di ketinggian lebih dari 1500 meter diatas permukaan laut. Pada daerah kering, ukuran batang cenderung kecil. Sistem taksonomi bambu tali atau bambu apus adalah: •
Kingdom : Plantae
•
Divisi
•
Subdivisi : Angiospermae
•
Klas
: Monokotiledon
•
Ordo
: Graminales
•
Famili
: Graminae
•
Subfamili : Bambusoidae
•
Genus
: Gigantochloa
•
Spesies
: Gigantochloa apus (Bl. Ex (Schult F.) Kurz.)
: Spermatophyta
Bambu tali termasuk tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 m dengan diameter buluh 4-13 cm dan tebalnya bisa mencapai 1,5
7
cm. Berwarna hijau terang sampai kuning. Panjang ruas 20-60 cm, buku sedikit membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Diameter serat 5-36 µm, tebal dinding sel 1-3 µm. Kadar air rata-rata batang bambu tali segar adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1%. Komponen kimianya antara lain holoselulosa 52,1-54,7%, pentosan 19,1-19,3%, lignin 24,8-25,8%, kadar abu 2,72,9%, silika 1,8-5,2%. Kelarutan dalam air dingin 5,2%, air panas 5,4-6,4%, alkohol benzena 1,4-3,2% dan NaOH 21,2-25,1%. Kadar air berfluktuasi antara 0,24-0,71% tergantung pada musim. Berat jenis bambu tali berkisar antara 0,470,69 dengan rata-rata 0,6 (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu tali memiliki sifat fisik dan mekanik yang baik, dan berpotensil sebagai campuran bahan konstruksi. Hasil studi yang pernah dilakukan mengenai pembuatan beton bertulang bambu oleh Hidajad (1994) dalam
Surjokusumo
(1994) menunjukkan bahwa bambu tali dengan pelapisan aspal dengan jarak profil 4 cm memberikan nilai MOE dan tegangan tarik terbesar dibanding jenis bambu lain. 2.1. Perekatan 1. Pengertian dan Spesifikasi Perekatan merupakan suatu peristiwa tarik menarik antara molekulmolekul dari dua permukaan yang direkat. Merekatnya dua buah benda yang direkat terjadi disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antara perekat dengan perekat atau bahan yang direkat (Houwink dan Salomon 1967). Sedangkan menurut Vick (1999), perekat adalah suatu subtansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis/tidak sejenis melalui ikatan permukaan. Menurut Blomquist et al. (1983) dalam Ruhendi et al. (2007) berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component) perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu adhesive of natural origin dan adhesive of synthetic origin.
8
2. Tanin dan Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida Tanin adalah senyawa yang biasanya berasal dari tumbuhan karena, tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh. Tanin dapat diperoleh dari kulit pohon tertentu dengan menggunakan pelarut air atau pelarut organik seperti etanol, aseton, dan sebagainya (Coppens et al. 1980 dalam Tan 1992). Tanin terdapat dalam tanaman berpembuluh. Dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu.. Tanin juga terdapat dalam daun contohnya daun the yang termasuk dalam tanin terkondensasi secara biosintetis terbentuk dari kondensassi katekin tunggal. Pada daun teh segar terdapat sekitar 30% senyawa tanin yang sebagaian besar dari golongan katekin. dan daun the juga dilengkapi dengan enzim polifenol oksidase yang siap bekerja mengubah tanin menjadi sederetan senyawa turunan melalui suatu reaksi kondensasi(Mathew 1982 dalam Sianturi 1999). Sumber tanin antara lain berasal dari buah delima dan buah, daun, kulit batang dari jambu biji (Anonim 2005; Anonim 2007). Tanin yang diperoleh dari tanaman dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi merupakan senyawa ester dari gula sederhana dengan satu atau lebih polifenol asam karboksilat, mudah mengalami hidrolisis bila dipanaskan dengan asam. Senyawa tanin yang tergolong jenis ini adalah galotanin, elagitanin dan kafetanin. Tanin terkondensasi adalah polimer yang terdiri atas unit-unit monomer flavonoid dan tidak terhidrolisis oleh asam, basa dan enzim. Tanin jenis ini adalah katekin, epikatekin, galokatekin dan epigalokatekin (Hagerman 2002 dalam Astu 2005). Hasil pencirian dengan spektrofotometer inframerah, ekstrak tanin kulit mangium merupakan senyawa fenolik yang mengandung gugus fungsi hidroksil, eter dan cincin aromatik yang ditunjukkan oleh pola serapan pada daerah dengan bilangan gelombang 3342 cm-1, 1100 cm-1 dan 1613 cm-1 yang sebagian besar mirip dengan asam tanat sebagai standar, dengan perbedaan adanya gugus karboksilat pada asam tanat. Berdasarkan struktur kimia, tanin dibedakan menjadi tanin yang terhidrolisiskan dan tanin tak terhidrolisiskan (tanin terkondensasi). Tanin terkondensasi secara kimia maupun ekonomis lebih ditujukan bagi kepentingan pembuatan perekat dengan pertimbangan utama tanin terkondensasi lebih ramah lingkungan (Santoso 2005).
9
Hemingway (1989) mengemukakan bahwa tanin dapat digunakan sebagai bahan perekat karena adanya gugus hidroksil yang sangat reaktif, struktur tanin terkondensasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur tanin terkondensasi (Hemingway 1989). Kereaktifan tanin terhadap senyawa formaldehida akan menghasilkan potlife pendek dan mempunyai sifat rapuh. Untuk itu potlife perlu diperpanjang dengan menaikan pH, sedangkan untuk mengatasi sifat rapuh dari kereaktifan tanin dapat dilakukan penambahan zat penguat atau biasa disebut fortifier sebagai bahan
untuk
meningkatkan
perekat
yang
digunakan.
Santoso
(1998)
mengemukakan bahwa dalam pembuatan perekat dari tanin dapat dilakukan dengan formaldehida sendiri atau dengan penambahan bahan lain seperti urea atau fenol atau resorsinol sehingga terbentuk tanin urea formaldehida atau tanin fenol formaldehida atau tanin resorsinol formaldehida. Resorsinol adalah suatu substansi fenol yang lebih reaktif dibandingkan fenol karena memiliki stuktur gugus hidroksil yang terikat dengan posisi meta (Pizzi 1983). Perekat yang mangandung resorsinol dapat mengeras pada suhu kamar dengan kekuatan reaksi tahan lama dan dapat direkatkan pada salah satu atau kedua bahan yang akan direkatkan. Menurut Mulyana (2002) produk perekat
10
resorsinol yang selama ini banyak dipakai industri adalah perekat resorsinol formaldehidaa. Menurut Tsoumist (1991) tanin yang jika ditambahkan dengan sedikit fenol, urea, atau resorsinol formaldehida akan memberikan kekuatan rekat yang baik, tahan terhadap air dan dapat digunakan untuk perekat kayu lapis, kayu lamina, papan partikel dan produk lainnya. 3. Ekstender Perekat Ekstender adalah bahan alami yang mengandung sedikit banyak sifat-sifat perekat, yang ditambahkan ke dalam adonan perekat kayu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat perekat itu sendiri dan untuk memenuhi permintaan sustrat kayu dalam perekatan, sekaligus menurunkan harga adonan perekat per kesatuan berat (Skeist 1977 dalam Karno 1996). Kliwon (1987) menggolongkan bahan ekstender menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Bahan berpati misalnya terigu, tapioka dan sagu. 2. Bahan berprotein misalnya tepung darah, kedelai dan bungkil kacang tanah. 3. Turunan lignin dan estrak kulit kayu Menurut Sutigno dan Kamil (1975) ekstender terigu lebih baik daripada tapioka karena untuk mencapai keteguhan rekat tahan air, terigu dapat ditambahkan lebih banyak daripada tapioka. Ini berarti penggunaan terigu akan lebih hemat dalam penggunaan perekat. Contoh ekstender yang sering digunakan adalah tepung terigu, namun penggunaan ekstender yang berlebihan dapat menurunkan keseluruhan kualitas produk yang dihasilkan (Ruhendi et al. 2007). Adapun komposisi dari tepung terigu disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Tepung No. 1 2 3 4
Komponen Air Lemak Protein Karbohidrat
Terigu 12 1,3 8,9 77,3
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Indonesia (1981) dalam Wahyuningsih (1987).
11
2.2. Bambu Lapis Menurut Sulastiningsih et al. (2005) bambu lapis adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan atau tegak lurus beberapa lembar venir bambu (anyaman sayatan bambu = anyaman bambu) yang diikat dengan perekat. Kemudian Sulastiningsih juga menambahkan bahwa teknologi pembuatan bambu lapis prinsipnya sama dengan teknologi pembuatan kayu lapis, perbedaannya pada bahan penyusun yang digunakan. Keunggulan produk kayu lapis dibandingkan kayu solid adalah kestabilan dimensinya, ketahanan terhadap pembengkokan, ketahanan terhadap goncangan yang tinggi dan dimensi yang dapat dibuat sesuai tujuan (Bowyer et al. 2003).
12
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2008 sampai Mei 2008, bertempat di Laboratorium Produk Majemuk dan Laboratorium Penggergajian dan Pengerjaan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Gunung Batu, Bogor. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz), tanin resorsinol formaldehida (TRF) sebagai perekatnya dan tepung terigu sebagai ekstender. Alat yang digunakan adalah gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur, timbangan elektronik, spatula, moisture meter, visco tester, pH meter, oven, piknometer, water bath, tabung kaca, kuas, lempengan besi, papan alas, alat kempa panas, kaliper, meteran, UTM Lohmann, mesin gergaji band saw dan alat tulis. 3.3. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor dengan faktor A adalah variasi model lapisan penyusun bambu lapis terdiri dari model lapisan 1, model lapisan 2, model lapisan 3, model lapisan 4, model lapisan 5 dan faktor B adalah variasi kadar ekstender perekat tanin terdiri dari 0%; 2,5%; 5% dan 10%. Dengan ulangan sebanyak tiga kali sehingga percobaannya adalah 5 x 4 x 3. Sebelum dilakukan analisis ragam terhadap data hasil pengujian, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data, karena dalam melakukan analisis ragam, asumsi ragam harus dipenuhi. Apabila data tidak memenuhi asumsi ragam tersebut maka dilakukan transformasi data. Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + Eijk
13
Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada ulangan ke- k yang disebabkan oleh taraf ke- i faktor α dan taraf ke- j faktor β
i
= Model 1, Model 2, Model 3, Model 4 dan Model 5
j
= Kadar ekstender 0%; 2,5%; 5% dan 10%
k
= Ulangan 1, 2 dan 3
µ
= Nilai rata-rata sebenarnya
α
= Model lapisan (faktor 1)
β
= Kadar ekstender perekat (faktor 2)
αi
= Pengaruh model lapisan pada taraf ke-i
βj
= Pengaruh kadar ekstender perekat pada taraf ke-j
(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara faktor α (model lapisan) pada taraf ke- i (model 1, model 2, model 3, model 4 dan model 5) dan faktor β (kadar ekstender perekat) pada taraf ke- j (0%; 2,5%; 5% dan 10%) Eijk
= Galat (kesalahan percobaan)
Kemudian untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap respon maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan uji F pada tingkat kepercayaan 95% (nyata) dan 99% (sangat nyata). Selanjutnya kriteria uji yang digunakan adalah F-hitung yang diperoleh dari ANOVA yang dibandingkan dengan F-tabel dengan kaidah keputusan :
Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata.
Apabila F-hitung > F-tabel, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata sehingga menimbulkan perbedaan pada suatu tingkat kepercayaan.
Dan apabila hasilnya berbeda nyata atau sangat nyata, maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SAS System for Windows 9.1
14
3.4. Metode Penelitian 3.4.1. Persiapan Bambu Bambu tali yang digunakan telah diproses terlebih dahulu menjadi anyaman bambu bilik dan bambu sejajar. Ukuran anyaman bambu bilik adalah 40 cm x 40cm x 0,25 cm dan ukuran bambu sejajar adalah 40 cm x 40 cm x 0,13 cm. Bambu sejajar dibuat dengan cara penyusunan bilah-bilah bambu ke arah samping dan disatukan dengan memakai selotip kertas pada bagian atas dan bawahnya. Lembaran anyaman bambu tersebut dioven untuk mengurangi kadar airnya selama lima hari dengan suhu pengovenan 70 °C. Setelah selesai dioven dibiarkan di ruangan terbuka selama satu hari. Kemudian lembaran-lembaran anyaman bambu tersebut dicari tahu sifat fisisnya yaitu kadar air dan kerapatan, dilakukan sebanyak lima kali ulangan. a. Kadar Air Lembaran-lembaran anyaman bambu yang telah selesai dikondisikan selama satu hari tersebut diambil sampelnya kemudian ditimbang beratnya (BA) dan dioven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2°C. Setelah selesai dioven, sampel dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya, kemudian dioven lagi selama tiga jam secara berulang kali sampai diperoleh berat konstan (BKT). Kadar air dihitung dengan persamaan berikut :
KA =
BA − BKT x 100% BKT
Keterangan : BA
= Berat awal (gram)
BKT
= Berat kering tanur (gram)
KA
= Kadar air (%)
15
b. Kerapatan Sampel uji untuk masing-masing lembaran anyaman bambu ditimbang beratnya (BA). Kemudian sampel tersebut diukur dimensinya meliputi panjang, lebar dan tebal. Kerepatan dapat ditentukan dengan persamaan berikut: Kr =
BA PxLxT
Keterangan : BA
= Berat awal (gram)
P
= Panjang (cm)
L
= Lebar (cm)
T
= Tebal (cm)
Kr
= Kerapatan (g/cm³)
3.4.2. Persiapan Perekat Perekat
tanin
resorsinol
formaldehida
ditimbang
(a
gram)
dan
ditambahkan ekstender dengan variasi kadar ekstender (tepung terigu) yaitu 0%; 2,5%; 5% dan 10% dari berat perekat cair. Dicampurkan sedikit demi sedikit agar tidak menggumpal kemudian diaduk dengan spatula (sendok pengaduk). Selanjutnya dilakukan pengujian antara lain viscositas (kekentalan), kadar padat perekat (solid content), pH dan warna. Pengujian dilakukan setelah perekat tercampur ekstender selama 15 menit untuk mengetahui perubahan karakteristik perekat selama proses masa tunggu perekat. a. Kekentalan Perekat (Viscositas) Perekat dimasukkan ke dalam mangkok (pot) sampai tanda batas pada tangkai rotor yang telah ditentukan sesuai dengan kekentalan perekat. Hidupkan viscotester dan rotor akan berputar. Baca nilainya jika jarum viscotester sudah menunjukan nilai konstan. Matikan viscotester dan catat hasilnya.
16
b. Kadar Padatan Perekat (Solid content) Siapkan wadah dan timbang beratnya (B1), masukkkan perekat sebanyak ±1,5 gram (B2). Dioven dengan suhu 130 ± 2°C selama 24 jam. Setelah 24 jam keluarkan dari oven dan masukkan dalam desikator kemudian ditimbang beratnya (B3). Kadar padatan dapat dihitung dengan persamaan : SC =
B3 − B1 x100% B 2 − B1
Keterangan : B3
= Berat sampel perekat dalam keadaan kering tanur + wadah (gram)
B2
= Berat sampel perekat awal + wadah (gram)
B1
= Berat wadah kosong (gram)
SC
= Kadar padatan (%)
c. Warna Warna perekat bisa langsung diamati setelah perekat tersebut selesai dibuat dengan pencampuran ekstender ke dalam perekat. Pengamatan warna dilakukan berulang kali. e. pH Sensor pH dicelupkan ke dalam perekat dan dilihat nilai pH pada monitor pH meter. 3.4.3. Pembuatan Panil Bambu Lapis 3.4.3.1. Penyusunan anyaman bambu Anyaman bambu bilik dan bambu sejajar disusun sebanyak tujuh lapis sesuai dengan variasi model lapisan. Adapun variasi dari model lapisan penyusun bambu lapis dapat dilihat pada Gambar 3 :
1
2
3
4
Gambar 3 Variasi model lapisan penyusun panil bambu lapis.
5
17
Keterangan: Lembaran bambu sejajar Lembaran anyaman bambu bilik 3.4.3.2. Pelaburan Perekat Perekat tanin resorsinol formaldehida yang telah dicampurkan dengan variasi kadar ekstender (tepung terigu) sebanyak 0%; 2,5%; 5% dan 10% dilaburkan secara merata ke lembaran bambu lapis yang telah tersusun dengan memakai kuas dengan berat labur 150 gr/m² permukaan. Adapun metode pelaburannya adalah single layer (di satu permukaan) untuk lembaran bambu sejajar dan double layer (di kedua permukaan) untuk anyaman bambu bilik yang diletakkan di bagian dalam panil, sedangankan anyaman bambu bilik sebagai face dan back panil metode pelaburannya adalah single layer (di satu permukaan). 3.4.3.3. Masa tunggu perekat Agar perekat menyebar merata di seluruh permukaan dan dapat meresap ke dalam bambu maka diberikan masa tunggu kepada perekat selama 15 menit. Dalam proses masa tunggu ini, panil diberikan beban berupa lempengan besi berat 5 kg agar bambu tidak melengkung selama proses masa tunggunya. 3.4.3.4. Pengempaan Panil bambu lapis dikempa panas dengan suhu 140 °C, tekanan 20 kg/cm² selama 10 menit. 3.4.3.5. Conditioning Setelah melalui semua proses, panil dibiarkan di tempat terbuka sekurangkurangnya satu minggu untuk menghilangkan tegangan-tegangan yang terjadi sewaktu pengempaan. 3.4.4. Pengujian Panil 3.4.4.1. Pembuatan Sampel Uji Pembutan sampel uji kadar air, kerapatan, keteguhan rekat sejajar serat, modulus lentur sejajar serat dan modulus patah sejajar serat menurut standar Indonesia (SNI) dan delaminasi menurut standar Jepang (JAS).
18
A E DD B C
Gambar 4 Pembuatan potongan uji per panil. Keterangan : A
= Sampel uji kadar air (100 mm x 100 mm)
B
= Sampel uji kerapatan (100 mm x 100 mm)
C
= Sampel uji delaminasi (75 mm x 75 mm)
D
= Sampel uji keteguhan rekat sejajar serat (25 mm x 100 mm)
E
= Modulus elastisitas dan modulus patah ((24 h + 50 mm) x 50 mm)
h
= Tebal papan (mm)
3.4.4.2. Pengujian Kadar air Sampel uji dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya untuk mendapatkan berat awal (BA). Selanjutnya sampel uji tersebut dikeringkan dalam oven 103 ± 2 °C selama 24 jam. Setelah selesai dioven, sampel dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Kemudian dioven lagi selama tiga jam secara berulang kali sampai diperoleh berat konstan (BKT). 3.4.4.3. Kerapatan Sampel uji dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya (BKU) kemudian dilakukan pengukuran dimensi terhadap panjang, lebar dan tebal. 3.4.4.4. Delaminasi Untuk uji test delaminasi berpedoman kepada standar Jepang untuk perekat tipe I eksterior. Sampel uji direbus dalam air mendidih selama empat jam, lalu dikeringkan dalam oven 60 ± 3°C selama 20 jam, direbus kembali selama empat jam lalu keringkan dalam oven 60 ± 3°C selama tiga jam. Kemudian
19
diamati dan diukur panjang dan lebar garis rekat yang mengalami delaminasi (pengelupasan garis rekat). 3.4.4.5. Keteguhan Rekat dengan Uji Geser Tarik Sejajar Serat Pengujian dilakukan dengan metode kering artinya tidak ada perlakuan pendahuluan. Bentuk sampel dari keteguhan rekat ini dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini. 100 mm
25 mm
34,5 mm
3 mm
25 mm
3mm
34,5 mm
Gambar 5 Sampel uji keteguhan geser tarik sejajar serat. Nilai keteguhan geser tarik diperoleh dengan persamaan:
KGT =
B PxL
Keterangan: KGT = Nilai keteguhan geser tarik (kg/cm²) B
= Beban tarik (kg)
P
= Panjang bidang geser (cm)
L
= Lebar bidang geser (cm)
3.4.4.5. Modulus Elastisitas (Modulus of Elasticity) dan Modulus Patah (Modulus of Repture) Sejajar Serat. Terlebih dahulu diukur dimensi panil bambu yang akan diuji meliputi lebar dan tebal panil. Disiapkan alat penguji penguji UTM Lohmann. Untuk
20
menguji MOE, sampel uji diletakkan di atas penyangga dan beban diletakan di permukaan sampel uji kemudian diukur besarnya beban yang mampu ditahan oleh sampel uji tersebut sampai batas proporsi. MOE panil bambu lapis dapat dihitung dengan persamaan :
MOE =
∆PxL3 4∆Yxbxh 3
Keterangan: MOE = Modulus elastisitas (kg/cm²)
∆P
= Beban hingga batas proporsi (kg)
L
= Panjang batang (cm)
∆Y
= Defleksi (cm)
b
= Lebar sampel uji
h
= Tebal sampel uji (cm)
Pada pengujian modulus patah (MOR), sampel uji diberi beban sehingga mengalami kepatahan. MOR dapat dihitung dengan persamaan :
MOR =
3P maks xL 2bxh 2
Keterangan : MOR = Modulus patah (kg/cm²) Pmaks = Beban maksimum hingga sampel uji patah (kg) L
= Panjang sampel uji (cm)
b
= Lebar sampel uji (cm)
h
= Tebal sampel uji (cm)
BEBAN
2,5 cm
2,5 cm
h L = 24 h + 5 cm Gambar 6 Cara pengujian MOE dan MOR.
21
ANYAMAN BAMBU SEJAJAR (Gigantocloa apus)
ANYAMAN BAMBU BILIK (Gigantocloa apus)
DISUSUN SESUAI MODEL LAPISAN
PELABURAN PEREKAT
MASA TUNGGU PEREKAT
KEMPA PANAS Suhu 140°C, tekanan 20 kg/cm² selama 10 menit
PENGKONDISIAN
SIFAT FISIS
PENGUJIAN
Gambar 7 Skema pembuatan panil bambu lapis.
SIFAT MEKANIS
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bambu
Jenis bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz). Bambu yang dipakai telah dalam bentuk lembaran bambu sejajar dan anyaman bambu bilik. Adapun sifat fisis dari bahan tersebut yaitu kadar air lembaran bambu sejajar berkisar antara 67% dan kadar air anyaman bambu bilik berkisar antara 7-8%. Kerapatan lembaran bambu sejajar sebesar 0,26 g/cm³ dan kerapatan anyaman bambu bilik sebesar 0,35 g/cm³. 4.2. Kualitas Perekat Tanin Resorsinol Formaldehida
Perekat yang digunakan adalah tanin resorsinol formaldehida. Hasil pengujian karakteristik perekat disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 1. Tabel 2 Hasil uji rataan karakteristik perekat PARAMETER UJI
VISCOSITAS (poise)
pH
KADAR PADATAN (%)
Warna
KADAR EKSTENDER PEREKAT (%) 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10
NILAI 0,00 7,16 20,00 113,33 10,67 9,99 10,02 9,92 20,72 21,60 24,82 26,93 Merah tua Merah tua Merah Merah pucat
23
4.2.1. Kekentalan Perekat Dari hasil pengujian terhadap kekentalan perekat yang dilakukan pada setiap penambahan kadar ekstender diperoleh kekentalan perekat berkisar dari 0,00 poise sampai dengan 113,33 poise. Rata-rata kekentalan perekat yang digunakan adalah 35,12 poise. Dari Tabel 2 dapat dilihat kekentalan perekat tanin resorsinol formaldehida terkecil pada penambahan kadar ekstender 0% artinya perekat tanpa penambahan ekstender (tepung terigu) dan kekentalan tertinggi pada penambahan kadar ekstender sebesar 10%. Pada Gambar 8 dapat dilihat terjadi kenaikan kekentalan (viscositas) perekat yang signifikan seiring dengan penambahan ekstender. Hal ini wajar, diduga dari kandungan protein dan amilose dalam ekstender (tepung terigu). Semakin tinggi kandungan protein dan amilose maka semakin banyak dibutuhkan air untuk mencapai kekentalan yang sama (Santoso 1998). Dengan demikian, dengan menaikkan kadar ekstender juga akan menaikkan jumlah protein dan amilosenya.
Gambar 8 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kekentalan perekat. 4.2.2. pH pH atau derajat keasaman perekat tanin resorsinol formaldehida yang digunakan memiliki kisaran 9-11, hal ini menunjukkan bahwa perekat tersebut memiliki sifat basa. pH terkecil terdapat pada perekat dengan penambahan ekstender 10% yaitu 9,92 dan pH tertinggi pada perekat dengan kadar ekstender 0% yaitu 10,67. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat hubungan nilai pH dengan kadar ekstender perekat cenderung berbanding terbalik artinya penambahan ekstender
24
ke dalam perekat akan menurunkan nilai pH. Namun penurunan nilai pH tersebut tidak mutlak terjadi, dari Gambar 9 dapat dilihat terjadi kenaikan pH setelah ditambah kadar ekstender yang lebih banyak yaitu 5% dibanding perekat yang ditambah ekstender 2,5%.
Gambar 9 Grafik hubungan kadar ekstender dengan pH perekat. 4.2.3. Kadar Padat Perekat (Solid content) Kadar padat perekat merupakan jumlah perekat yang tersisa setelah dioven atau diuapkan dengan suhu 130 ± 2°C. Berdasarkan hasil perhitungan berat perekat setelah dioven, menunjukkan kisaran kadar padat perekat mulai dari 20,72% sampai dengan 26,93%. Rata-rata kadar padat perekat adalah 23,52%. Dari Gambar 10 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar padat perekat meningkat seiring dengan penambahan kadar ekstender perekat. Hal ini wajar, sama halnya dengan kekentalan perekat. Semakin banyak jumlah ekstender yang ditambahkan ke dalam perekat maka semakin tinggi kekentalan perekat sehingga kadar padatannya juga semakin tinggi.
Gambar 10 Grafik hubungan kadar ekstender dengan kadar padat perekat.
25
4.3. Kualitas Panil Bambu Lapis
Dimensi panil bambu yang dihasilkan memiliki tebal 0,45 cm sampai dengan 0,5 cm, panjang dan lebar 40 cm. Untuk mengetahui kualitas panil bambu lapis yang dibuat maka dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya. Pengujian sifat fisis yaitu kadar air dan kerapatan, pengujian sifat mekanis yaitu keteguhan rekat sejajar serat, modulus lentur sejajar serat dan modulus patah sejajar serat, delaminasi untuk pengujian keteguhan rekat. Hasil pengujian panil bambu lapis disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 2. Tabel 3 Hasil uji rataan sifat fisis dan mekanis panil bambu lapis
Model
1
2
3
4
5
Kadar Ekstender (%)
KA (%)
ρ (g/cm³)
0 2,5 5 10 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10 0 2,5 5 10
4,25 4,17 4,31 4,65 4,73 4,27 5,03 5,06 4,19 4,17 4,71 6.06 4,40 3,81 4,50 4,82 4,97 4,57 5,02 5,30
0.735 0.889 0.848 0.808 0.784 0.942 0.904 0.861 0.841 0.923 0.900 0.877 0.812 0.927 0.911 0.900 0.804 0.839 0.835 0.807
Sifat Fisis dan Mekanis MOE D BS (x1000 (cm) (kg/cm²) kg/cm²) 7,5 6,63 2,79 0,00 31,85 8,14 0,00 21,54 14,19 0,00 15,36 12,53 3,35 25,84 7,47 0,00 49,28 17,39 0,00 37,70 19,49 0,00 30,20 14,94 0,00 29,59 7,95 0,00 37,07 10,22 0,00 27,78 15,22 0,00 19,28 11,13 5,25 29,39 3,63 0,00 44,17 13,97 0,00 32,32 21,35 0,00 18,61 17,77 0,00 16,16 4,92 0,00 23,65 8,52 0,00 20,13 13,70 0,00 16,25 9,48
Keterangan : KA = Kadar air ρ = Kerapatan D = Delaminasi BS = Bonding strength (keteguhan rekat) MOE = Modulus of elasticity (modulus lentur) MOR = Modulus of repture (modulus patah)
MOR (kg/cm²) 230,32 990.82 897,39 1021,24 460,64 1462,32 1423,21 1466,67 604,06 890,86 1214,62 1210,27 239,12 1138,57 1392,79 1607,90 419,36 1029,93 801,78 1121,19
26
4.3.1. Sifat Fisis 4.3.1.1. Kadar Air Kadar air (Moisture content) menunjukkan banyaknya air yang diikat oleh panil bambu lapis terhadap berat kering tanurnya (oven) yang dinyatakan dalam persen. Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar air yang bervariasi berkisar dari 3,81-6,06% dengan kadar air rata-rata bambu lapis yaitu 4,69%. Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa model lapisan 2 dengan kadar ekstender 2,5% menghasilkan panil bambu lapis dengan kadar air terendah dan panil bambu lapis model lapisan 3 dengan kadar ekstender 10% menghasilkan kadar air bambu lapis tertinggi. Berpedoman pada standar JAS dan SNI bahwa maksimal kadar air yang dimiliki kayu lapis struktural adalah 14% maka kadar air semua panil bambu lapis berada dibawah nilai kadar air maksimun kayu lapis. Dengan demikian panil bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar kadar air kayu lapis. Nilai ratarata kadar air panil bambu lapis lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yaitu 13,91%. Berdasarkan Gambar 11 menunjukkan kecenderungan nilai kadar air tiap model lapisan penyusun bambu lapis turun dengan penambahan ekstender 2,5%, kemudian kadar airnya naik seiring dengan penambahan ekstender sampai dengan 10%. Kadar air rata-rata panil pada kadar ekstender 0% adalah 4,51%, turun menjadi 4,29% pada panil dengan kadar ekstender 2,5%, kemudian naik menjadi 4,71% pada panil dengan kadar ekstender 5% dan terus naik menjadi 5,18% pada panil dengan kadar ekstender 10%. JAS dan SNI
Gambar 11 Histogram nilai kadar air panil bambu lapis.
27
Hasil analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dan 99% (taraf nyata 5% dan 1%) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variasi model lapisan penyusun bambu lapis dan variasi kadar ekstender perekat berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air bambu lapis. Demikian juga dengan interaksi model lapisan dan kadar ekstender perekat memberikan pengaruh sangat nyata. Tabel 4 Analisis sidik ragam kadar air Sumber
DB
Model lapisan 4 Kadar Ekstender 3 Model lapisan kadar ekstender 12 Galat 40 Total 59 Keterangan : DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat * : nyata ** : sangat nyata
Ftabel 5% 1% 3,58 0,90 7,29** 2,61 3,83 7,06 2,35 19,13** 2,84 4,31 4,10 0,34 2,78** 2,00 2,67 4,92 0,12 19,66 JK
KT
Fhit
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Karena faktor perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter yang diuji maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai kadar air model lapisan 1 tidak berbeda nyata dengan model lapisan 4, dengan nilai rataan kadar air model lapisan 1 lebih kecil dibanding model lapisan 4. Hal ini diduga karena model lapisan 1 disusun oleh lembaran-lembaran bambu sejajar yang memiliki kadar air yang rendah dan arah penyusunannya yang sejajar akan memudahkan pengeluaran air. Kemudian hasil uji lanjut Duncan yang membandingkan nilai kadar air tiap kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa kadar ekstender 2,5% berbeda nyata dengan kadar ekstender perekat lain dan menghasilkan kadar air panil bambu lapis terendah. Hal ini diduga karena kekentalan perekat dan kadar padat perekat dengan ekstender perekat 2,5% lebih ideal dalam hal penetrasi dan penyebaran perekat ke seluruh permukaan lembaran bambu bila dibandingkan dengan ekstender perekat 0%, 5% dan 10%. Karena penambahan ekstender yang berlebihan akan mengurangi jumlah perekat persatuan luasnya. Sedangkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) untuk interaksi kedua faktor (model lapisan dan kadar ekstender perekat) menunjukkan bahwa model lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 2,5% berbeda nyata dengan panil bambu lapis lainnya serta menghasilkan panil bambu lapis dengan kadar air terendah.
28
Selain itu, panil bambu lapis model lapisan 3 dengan kadar ekstender 10% berbeda nyata dengan panil bambu lapis lainnya dengan menghasilkan kadar air bambu lapis tertinggi. Namun rata-rata kadar air semua panil bambu lapis telah memenuhi standar JAS dan SNI, oleh karena dapat disarankan untuk menggunakan model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 10% dalam pembuatan bambu lapis yang efisien dalam penggunaan bahan (perekat dan bambu). 4.3.1.2. Kerapatan Kerapatan (density) adalah perbandingan antara massa kayu dengan volumenya. Kerapatan yang dimaksud adalah kerapatan pada saat kering udara (Haygreen dan Bowyer 1993). Dari hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan bambu lapis bervariasi mulai dari yang terkecil 0,735 g/cm³ sampai dengan 0,942 g/cm³. Dan rata-rata kerapatannya sebesar 0,86 g/cm³ lebih tinggi dibanding hasil penelitian Nugraha (2006) yaitu 0,76 g/cm³. Kerapatan terkecil terdapat pada model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 0% dan kerapatan tertinggi pada model lapisan 2 dengan kadar ekstender perekat 2,5%. Terdapat kenaikkan kerapatan setelah menjadi panil bambu lapis, fenomena tersebut wajar mengingat adanya lapisan perekat dan terjadi pemadatan bahan bambu lapis akibat pengempaan (Sulastiningsih 2005). Dari Gambar 12 dapat dilihat kecenderungan nilai kerapatan tiap model lapisan panil bambu lapis mengalami kenaikkan pada penambahan ekstender perekat sebanyak 2,5%, kemudian turun perlahan sampai dengan penambahan kadar ekstender perekat 10%. Kerapatan rata-rata panil bambu lapis pada kadar ekstender 0% sebesar 0,80 g/cm³, kerapatan naik menjadi 0,91 g/cm³ pada perekat yang ditambah ekstender 2,5% kemudian kerapatan turun menjadi 0,88 g/cm³ pada perekat yang ditambah ekstender 5% dan terus turun menjadi 0,85% pada perekat yang ditambah ekstender 10%.
29
Gambar 12 Histogram nilai kerapatan panil bambu lapis. Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dan 99% (taraf nyata 5% dan 1%) pada Tabel 5 menunjukkan bahwa variasi model lapisan penyusun bambu lapis dan variasi kadar ekstender perekat berpengaruh sangat nyata terhadap nilai kerapatan bambu lapis, namun interaksi faktor model lapisan dan kadar ekstender perekat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kerapatan bambu lapis. Tabel 5 Analisis sidik ragam kerapatan Sumber Model lapisan Kadar ekstender Model lapisan kadar ekstender Galat Total Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
DB
JK
KT
Fhit
4 3 12 40
0,06 0,10 0,02 0,10
0,01 0,03 0,00 0,00
5,82** 13,71** 0,67 tn
59
0,27
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
Ftabel 5% 1% 2,61 2,84 2,00
3,83 4,31 2,67
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor model lapisan bambu lapis menunjukkan bahwa nilai kerapatan model lapisan 4, model lapisan 3 dan model lapisan 2 tidak berbeda nyata dengan menghasilkan kerapatan tertinggi, hal ini diduga dari jumlah anyaman bambu bilik yang terdapat pada bambu lapis tersebut karena anyaman bambu bilik memiliki kerapatan lebih tinggi dibanding bambu sejajar. Selain itu model lapisan 4 menggunakan dua anyaman bambu bilik, model lapisan 3 menggunakan satu banyaman bambu bilik dan model lapisan 2 menggunakan tiga anyaman bambu bilik dan anyaman bambu bilik yang berada
30
diposisi bagian dalam panil dilaburi perekat pada ke dua permukaannya. Menurut Sulastiningsih (2005) kerapatan dipengaruhi oleh kerapatan bahan, berat labur perekat dan besarnya tekanan kempa selama proses pengempaan. Kemudian untuk uji lanjut Duncan (Lampiran 4) yang membandingkan kerapatan tiap panil yang dipengaruhi oleh faktor kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa kadar ekstender 2,5% berbeda nyata dengan kadar ekstender lainnya dan memiliki kerapatan paling tinggi. Hal ini diduga dari kekentalan (viskositas) dan kadar padat perekat. Kekentalan dan kadar padat yang ideal akan memudahkan perekat dalam menyebar ke seluruh permukaan dan berpenetrasi ke semua bagian panil. Hal tersebut sesuai dengan Ruhendi et al. (2007) menyatakan bahwa viscositas mempengaruhi penyebaran dan penetrasi perekat. Untuk interaksi model lapisan dan kadar ekstender perekat tidak dilakukan uji lanjut Duncan karena hasil analisis ragam tidak memperlihatkan pengaruh nyata (Fhitung < FTabel). Artinya interaksi kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi nilai kerapatan panil bambu lapis. 4.3.2.
Delaminasi
Delaminasi merupakan lepasnya ikatan antara perekat dengan sirekat dan digunakan untuk menguji keteguhan rekat perekat. Hasil pengujian diperoleh panil model lapisan 1, 2, dan 4 dengan perekat berkadar ekstender 0% mengalami delaminasi. Model lapisan 1 mengalami delaminasi 7,5 cm atau pada seluruh permukaan yang dilaburi perekat, model lapisan 2 terdelaminasi 3,35 cm sedangkan model 4 mengalami delaminasi sebesar 5,25 cm. Artinya panil tersebut tidak tahan pada kondisi kelembaban tinggi, sesuai dengan yang dikemukakan Kliwon (1997). Berdasarkan standar JAS for structural plywood menyaratkan bahwa maksimal delaminasi kayu lapis adalah sebesar 2,5 cm. Jadi model lapisan 1, model lapisan 2 dan model lapisan 4 dengan perekat tanpa ekstender (0%) tidak memenuhi standar karena delaminasinya melebihi 2,5 cm. Sedangkan model lapisan lain dengan kadar ekstender 2,5%, 5% dan 10% memenuhi standar JAS. Delaminasi bambu lapis hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian Kliwon (1997) mengenai bambu lapis dengan perekat UF tidak mengalami delaminasi atau delaminasi 0 cm.
31
Hal ini diduga dari nilai pH perekat dan kadar padat perekat. Nilai pH ratarata perekat tanpa ekstender adalah 11 sehingga proses pengerasan perekat (curing) membutuhkan waktu yang lama, sedangkan proses pengerasan perekat terjadi pada kondisi asam. Perekat TRF dibuat dalam kondisi basa (± 11) dengan tujuan agar perekat mempunyai masa simpan yang relatif lama (Santoso 2001). Selain itu, kadar padat perekat yang rendah berarti kandungan resinnya juga rendah. Hal ini sesuai dengan Samiun (1995) dalam Misdarti (2006) bahwa keteguhan rekat dipengaruhi oleh kandungan padat perekat. Namun tidak semua model lapisan penyusun panil bambu lapis dengan perekat tanpa ekstender mengalami delaminasi, yaitu pada model lapisan 3 dan model lapisan 5. Hal ini diduga karena terjadinya kerusakan sampel uji pada saat penggergajian panil bambu lapis. Dari Gambar 13 terlihat bahwa delaminasi menurun seiring dengan penambahan kadar ekstender perekat. Hal ini berarti penambahan ekstender ke dalam perekat tanin resorsinol formaldehida sampai dengan 10% masih memberikan kekuatan rekat yang bagus pada lingkungan dengan kelembaban tinggi. Walaupun terigu (ekstender perekat) memiliki kandungan pati yang merupakan bahan yang lemah terhadap air (Perry 1947).
JAS
Gambar 13 Histogram delaminasi panil bambu lapis. Kemudian hasil analisis ragam (ANOVA) pada Tabel 6 menunjukkan bahwa model lapisan, kadar ekstender perekat dan interaksi model lapisan dengan kadar ekstender perekat berpengaruh sangat nyata terhadap delaminasi.
32
Tabel 6 Analisis ragam delaminasi Sumber
DB
JK
KT
Fhit
Model lapisan Kadar Ekstender Model lapisan kadar ekstender Galat
4 3 12 40
5442,89 6730,78 16328,67 90,15
1360,72 2243,59 1360,72 2,25
603,76** 995,50** 603,76**
59
28592,49
Total Keterangan : DB : Derajat Bebas * : nyata
JK : Jumlah Kuadarat ** : sangat nyata
Ftabel 5%
1%
2,61 2,84 2,00
3,83 4,31 2,67
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) yang membandingkan delaminasi dipengaruhi oleh faktor variasi model lapisan bambu lapis, menunjukkan bahwa model lapisan 5 dan model lapisan 3 tidak berbeda nyata dengan menghasilkan rata-rata delaminasi 0%. Untuk uji lanjut yang membandingkan
delaminasi
dipengaruhi
faktor
variasi
kadar
ekstender
menunjukkan bahwa ekstender 2,5%; 5% dan 10% tidak berbeda nyata dan menghasilkan nilai delaminasi 0%. Kemudian uji lanjut delaminasi yang dipengaruhi interaksi kedua faktor (perlakuan) menunjukkan bahwa model lapisan 1 dengan kadar ekstender 2,5% dan 10%, model lapisan 2 dengan kadar ekstender 2,5%, model lapisan 3 pada semua kadar ekstender dan model lapisan 5 pada semua kadar ekstender tidak berbeda nyata dan memiliki delaminasi terkecil (0%). Hal ini erat kaitannya dengan jumlah anyaman bambu bilik yang terdapat dalam lapisan, semakin banyak anyaman bambu bilik maka keteguhan rekatnya semakin kuat karena anyaman bambu bilik yang terdapat pada bagian dalam panil dilaburi perekat pada ke dua permukaannya (double layer). Dengan demikian maka disarankan dalam pembuatan bambu lapis mengikuti model lapisan 3 dengan kadar ekstender perekat 10% untuk menghasilkan bambu lapis yang memenuhi standar delaminasi serta efisien dalam penggunaan bahan (bambu dan perekat).
33
4.3.3. Sifat Mekanis
4.3.3.1. Keteguhan Rekat Sejajar Serat Keteguhan rekat menggambarkan kekuatan daya rekat perekat terhadap bahan yang direkatnya. Berdasarkan hasil pengujian, nilai keteguhan rekat sejajar serat berkisar dari 6,63 kg/cm² sampai dengan 49,28 kg/cm², dengan rata-rata 26,64 kg/cm². Rata-rata keteguhan rekat terkecil terdapat pada panil bambu lapis model lapisan 1 dengan kadar ekstender 0% dan keteguhan rekat terbesar terdapat pada model lapisan 2 dengan kadar ekstender 2,5%. Dari Gambar 14 terlihat keteguhan rekat sejajar serat naik dengan penambahan kadar ekstender 2,5%, kemudian turun sampai dengan penambahan kadar ekstender 10%. Dengan kata lain semakin banyak ekstender yang ditambahkan maka keteguhan rekat bambu lapis semakin menurun, hasil yang sama juga diperoleh dalam penelitian Wahyuningsih (1987) mengenai bambu lapis meranti merah dengan perekat UF yang ditambah ekstender tepung terigu. Hal ini diduga, penambahan ekstender ke dalam perekat akan mengurangi jumlah perekat persatuan luasnya (Sutigno 2000). Selain itu dengan peningkatan penambahan kadar ekstender (tepung terigu) ke dalam perekat tanin juga akan meningkatkan kandungan pati yang terdapat dalam tepung terigu, hal ini berakibat berkurangnya daya rekat perekat tersebut (Perry 1947). Walaupun tepung terigu memiliki sifat lekat, namun pengurangan jumlah perekat TRF mungkin belum bisa diimbangi dengan penambahan ekstender. Disamping itu kekentalan perekat yang semakin tinggi dengan penambahan ekstender juga mempengaruhi kemampuan penyebaran dan penetrasi perekat. Hal ini sesuai dengan Ruhendi et al. (2007), tingkat viscositas yang tepat akan memudahkan perekat menyebar dan masuk ke dalam bagian kayu dengan baik dan membuat ikatan bersama antara perekat dengan sirekat.
34
JAS SNI
Gambar 14 Histogram nilai keteguhan rekat sejajar serat panil bambu lapis. Jika dibandingkan keteguhan rekat sejajar serat dengan standar SNI kayu lapis struktural dan JAS for structural plywood bahwa minimum keteguhan geser tarik kayu lapis struktural adalah 7 kg/cm², maka rata-rata keteguhan geser tarik semua panil bambu sebesar 26,64 kg/cm² telah melewati batas minimum standar. Nilai keteguhan rekat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nugraha (2006) pembuatan bambu lapis tiga lapis dengan perekat Phenol Formaldehida yaitu sebesar 14,80 kg/cm². Hasil analisis ragam (ANOVA) selang kepercayaan 95% dan 99% (taraf nyata 5% dan 1%) pada Tabel 7 menunjukkan bahwa variasi model lapisan, variasi kadar ekstender perekat memberikan pengaruh sangat nyata terhadap keteguhan rekat sejajar panil bambu lapis dan interaksi faktor berpengaruh nyata. Tabel 7 Analisis ragam keteguhan rekat Sumber
DB
JK
Model lapisan 4 0,97 Kadar ekstender 3 0,76 Model lapisan kadar ekstender 12 0,45 Galat 40 0,69 Total 59 2,88 Keterangan : DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat * : nyata ** : sangat nyata
KT
Fhit
0,24 0,25 0,04 0,02
14,10** 14,63** 2,22*
Ftabel 5%
1%
2,61 2,84 2,00
3,83 4,31 2,67
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
35
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) terhadap nilai keteguhan rekat yang dipengaruhi model lapisan menunjukkan bahwa model lapisan 2, 4 dan 3 tidak berbeda nyata serta menghasilkan nilai keteguhan rekat terbesar. Hal ini diduga dari jumlah anyaman bambu bilik yang terdapat dalam panil tersebut, karena semakin banyak anyaman bambu bilik maka jumlah perekat pada permukaannya juga semakin banyak. Selanjutnya hasil uji lanjut nilai keteguhan rekat yang dipengaruhi faktor kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa kadar ekstender 2,5% berbeda nyata dengan kadar ekstender 5% serta menghasilkan keteguhan rekat terbesar dibanding yang lain. Untuk interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa keteguhan rekat bambu lapis dengan model lapisan 2 dengan kadar ekstender perekat 2,5% berbeda nyata dengan keteguhan rekat bambu lapis model lapisan dan kadar ekstender lainnya, serta menghasilkan keteguhan rekat terbesar. Hal ini diduga dari jumlah anyaman bambu bilik yang terdapat dalam panil bambu lapis dan kekentalan perekatnya. Di lain hal keteguhan rekat bambu lapis model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 0% berbeda nyata dengan keteguhan rekat bambu lapis lainnya dan memiliki keteguhan rekat terkecil, walaupun demikian lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 10% dapat disarankan dalam pembuatan bambu lapis agar nilai keteguhan rekatnya (Gambar 14) memenuhi standar JAS dan SNI serta efisien dalam penggunaan bahan (bambu dan perekat). 4.3.3.2. Modulus Lentur (MOE) Sejajar Serat Modulus lentur atau Modulus of elasticity merupakan suatu besaran yang menunjukkan sifat elastisitas suatu bahan atau material. Rata-rata nilai MOE panil bambu lapis adalah 11740 kg/cm², dengan kisaran nilai MOE adalah 2790 kg/cm² sampai dengan 21348 kg/cm². MOE terkecil terdapat pada model lapisan 1 dengan kadar ekstender perekat 0% dan terbesar pada model lapisan 4 dengan kadar ekstender 5%. Pada Gambar 15 dapat dilihat kecenderungan kenaikan MOE seiring dengan penambahan kadar ekstender sampai dengan 5%, kemudian turun dengan penambahan ekstender 10%.
36
JAS dan SNI
Gambar 15. Histogram nilai MOE panil bambu lapis Menurut standar JAS dan SNI minimum nilai MOE sejajar serat untuk ketebalan bahan kurang dari 6,0 mm adalah 85.000 kg/cm² jadi MOE rata-rata panil bambu lapis yang dibuat sebesar 11740 kg/cm² tidak memenuhi standar JAS maupun SNI, rata-rata nilai modulus lentur bambu lapis sangat jauh dibawah standar kayu lapis struktural. Jika dibandingkan dengan MOE (86839 kg/cm²) hasil penelitian Kliwon (1997) mengenai bambu lapis tiga lapis dengan perekat urea formaldehida maka rata-rata MOE panil bambu lapis hasil penelitian ini lebih rendah. Hasil analisis ragam (ANOVA) selang kepercayaan 95% dan 99% (taraf nyata 5% dan 1%) pada Tabel 8 menunjukkan bahwa variasi model lapisan penyusun bambu lapis dan variasi kadar ekstender perekat tanin resorsinol formaldehida memberikan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai modulus lentur (MOE) bambu lapis. Sedangkan pengaruh interaksi model lapisan dan kadar ekstender berpengaruh nyata terhadap nilai modulus lentur (MOE) panil bambu lapis.
37
Tabel 8 Analisis ragam modulus lentur Sumber
DB
JK
Model lapisan 4 334,68 Kadar ekstender 3 1025,22 Model lapisan kadar ekstender 12 183,23 Galat 40 256,09 Total 59 1799,22 Keterangan : DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat * : nyata ** : sangat nyata
KT
Fhit
83,67 341,74 15,27 6,40
13,07** 53,38** 2,38*
Ftabel 5%
1%
2,61 2,84 2,00
3,83 4,31 2,67
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil uji lanjut menggunakan Duncan (Lampiran 7), membandingkan nilai MOE yang dipengaruhi variasi model lapisan menunjukkan bahwa model lapisan 2 tidak berbeda nyata dengan model lapisan 4 dan memiliki nilai MOE terbesar, tetapi berbeda nyata dengan model 1, model 3 dan model 5. Kemudian uji lanjut Duncan yang membandingkan nilai MOE dipengaruhi faktor kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa kadar ekstender perekat 5% berbeda nyata dengan kadar ekstender 0%; 2,5% dan 10% serta memiliki nilai MOE yang paling tinggi. Kemudian untuk uji lanjut interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa model lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 5% berbeda nyata dengan model lapisan dan kadar ekstender lainnya serta memiliki MOE terbesar. Walaupun demikian pemilihan model lapisan dan kadar ekstender perekat yang tepat dalam pembuatan bambu tidak bisa disarankan karena tidak ada satupun bambu lapis yang memenuhi standar nilai MOE bambu lapis struktural. Hal ini diduga dari tipisnya bahan lembaran bambu yang digunakan yaitu 0,04 cm dan 0,08 cm sehingga menghasilkan kelenturan bambu lapis yang tinggi. 4.3.3.3. Modulus Patah (MOR) Sejajar Serat Modulus patah atau Modulus of repture merupakan suatu besaran yang menyatakan nilai ketahanan suatu bahan atau material sampai patah bila dikenai beban dari luar, dengan kata lain nilai yang menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan oleh suatu persatuan luas sampai bahan tersebut patah (Haygreen dan Bowyer 1993). Rata-rata nilai MOR panil bambu lapis adalah 981,15 kg/cm² dengan kisaran nilai MOR adalah 230,32 kg/cm² sampai dengan 1607,90 kg/cm². Nilai
38
MOR terkecil terdapat model lapisan 1 dengan kadar ekstender 0% yaitu 230,32 kg/cm² dan nilai MOR terbesar terdaoat pada model lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 10% yaitu sebesar 1607,90 kg/cm². Nilai rata-rata MOR bambu lapis hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Kliwon (1997) yaitu sebesar 729,92 kg/cm² Sebagaimana MOE, kecenderungan nilai MOR juga meningkat seiring penambahan kadar ekstender, dapat dilihat pada Gambar 16. Hal ini diduga dari kadar padat perekatnya, semakin tinggi kadar padat perekat maka semakin banyak jumlah perekat persatuan luasnya. Sehingga seolah-olah dibutuhkan beban yang besar untuk mematahkan panil bambu lapis. Namun tidak semua panil mengalami kenaikan MOR seiring dengan penambahan kadar ekstender. Bambu lapis model lapisan 3 mengalami penurunan MOR pada kadar ekstender 10% dan panil dengan model 5 mengalami penurunan MOR pada kadar ekstender 5%. Mungkin disebabkan ketidak merataannya pelaburan.
JAS SNI
Gambar 16 Histogram MOR panil bambu lapis. Modulus patah (MOR) minimum menurut standar JAS adalah 420 kg/cm², dan nilai modulus patah (MOR) minimum berdasarkan SNI sebesar 140 kg/cm². Nilai modulus patah tersebut merupakan syarat untuk plywood struktural dengan ketebalan 5,0 mm dan diuji sejajar serat. Jadi rata-rata nilai MOR panil bambu lapis memenuhi ketentuan SNI dan JAS, kecuali panil bambu lapis model lapisan 1 dan model lapisan 4 dengan perekat tanpa ekstender (0%).
39
Hasil analisis ragam (ANOVA) pada Tabel 9 menunjukkan bahwa variasi model lapisan penyusun bambu lapis dan variasi kadar ekstender perekat berpengaruh sangat nyata terhadap nilai modulus patah bambu lapis. Demikian juga dengan pengaruh interaksi model lapisan dan kadar ekstender perekat. Tabel 9 Analisis ragam modulus patah Sumber
DB
JK
Model lapisan 4 1436916 Kadar ekstender 3 7247173 Model lapisan kadar ekstender 12 1128927 Galat 40 757021 Total 59 10570039 Keterangan : DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat * : nyata ** : sangat nyata
Ftabel 5% 1% 359229 18,98** 2,61 3,83 2415724 127,64** 2,84 4,31 94077 4,97** 2,00 2,67 18925 KT
Fhit
KT : Kuadrat Tengah tn : tidak nyata
Hasil uji lanjut menggunakan Duncan (Lampiran 8), membandingkan nilai MOR yang dipengaruhi model lapisan menunjukkan bahwa model lapisan 2 tidak berbeda nyata dengan model lapisan 4 tetapi berbeda nyata dengan model lapisan 1, model lapisan 3 dan model lapisan 5. Hal ini diduga banyaknya jumlah anyaman bambu bilik yang memiliki kerapatan tinggi. Semakin banyak anyaman bambu bilik maka kerapatan panil juga akan semakin tinggi, disamping itu jumlah perekat yang terdapat dalam panil juga semakin banyak sehingga dibutuhkan beban yang besar untuk mematahkan panil tersebut. Hal ini sesuai dengan Haygreen dan Bowyer (1993) bahwa kekakuan dipengaruhi oleh kerapatan dan berat jenis bahan. Kemudian uji lanjut Duncan yang membandingkan MOR dipengaruhi kadar ekstender perekat menunjukkan bahwa kadar ekstender perekat 5% berbeda nyata dengan kadar ekstender perekat 0%; 2,5% dan 10% serta memiliki nilai MOR yang paling tinggi. Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan terhadap MOR yang dipengaruhi oleh interaksi faktor menunjukkan bahwa model lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 10%, model lapisan 2 dengan kadar ekstender perekat 2,5%; 5% dan 10% memiliki nilai rataan MOR yang tidak berbeda nyata serta memiliki nilai MOR terbesar. Oleh sebab itu maka dapat disarankan untuk menggunakan model lapisan 4 dengan kadar ekstender perekat 10% agar diperoleh MOR panil bambu lapis yang memenuhi standar JAS dan SNI serta efisien dalam penggunaan bahan (bambu dan perekat).
40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
1. Perlakuan model lapisan panil bambu lapis dan kadar ekstender perekat tanin resorsinol formaldehida berpengaruh sangat nyata terhadap sifat fisis bambu lapis yaitu kadar air dan sifat mekanis bambu lapis yaitu modulus patah (MOR) sejajar serat serta delaminasi bambu lapis, berhubungan nyata terhadap nilai keteguhan rekat sejajar serat dan modulus lentur (MOE) sejajar serat bambu lapis dan tidak berhubungan nyata dengan kerapatan bambu lapis. 2. Berpedoman pada standar JAS dan SNI untuk kayu lapis struktural maka panil bambu lapis model 1 dengan kadar ekstender 10% merupakan panil bambu lapis yang memenuhi standar nilai kadar air, delaminasi, keteguhan rekat sejajar serat dan keteguhan patah serta memiliki keefisiensian terhadap penggunaan bahan (bambu dan perekat) dibanding model lapisan dengan kadar ekstender perekat lainnya. Namun semua panil bambu lapis tidak memenuhi nilai modulus lentur (MOE) berdasarkan standar JAS dan SNI untuk kayu lapis struktural. 5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian pembuatan panil bambu lapis dengan model lapisan dan kadar ekstender yang berbeda agar diperoleh panil bambu lapis yang memenuhi semua nilai standar JAS dan SNI. 2. Perlu dilakuan penelitian lanjutan bambu lapis dengan aplikasi berat labur dan ketebalan lembaran bambu yang lebih tebal.
41
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Kayu Lapis Struktural. Standar Nasional Indonesia (SNI). Jakarta Dewan Standarisasi Nasional. ---------- 2003. Japanese Agricultural Standard for Plywood. Tokyo: The Japan Plywood Inspection Corporation. ---------- 2003. Potensi Hutan Rakyat Indonesia. Pusat Inventarisasi dan Statistik. Departemen Kehutanan. Diakses melalui: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/BUKU2/PHRI_03/PHRI_03.htm. [27 Juni 2008] ---------- 2005. Delima. IPTEKnet. Diakses melalui http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=280 [2 September 2008] ---------- 2005. Jambu Biji. Pondok Hijau. Diakses melalui http://www.pndokhijau.net.id/ind/info sehat/htm [2 September 2008] Astu IPJ. 2005. Pemanfaatan Ekstrak Kulit Pohon Mangium Sebagai Bahan Perekat TRF Untuk Pembuatan Papan Partikel [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bowyer JL, R Shmulsky, JG Haygreen. 2003. Forest Product and Wood Science. Lowa: Blackwell Publishing. Dransfield S, EA Widjaya. 1995. Plant Resources of South-East Asia No. 7: Bamboos. Bogor: Yayasan PROSEA. Hemingway RW, Karchesy. 1998. Chemistry and Significance of Condensad Tannin. Lousiana: USA Departement of Agriculture. Houwink R. and G. Solomon. 1965. Adhesion and Adhesive Volome I. London: Elsevier publishing Company. Janssen
JJA. 1981. Bamboo in Building Structures [tesis]. Netherland: TH Eindhoven.
Karno RA. 1996. Pengaruh Penambahan Ekstender Dalam Perekat Fenol Formaldehida Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis Tusam (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) [skripsi]. Jatinangor: Fakultas Kehutanan. Univeristas Winaya Mukti. Kliwon S. 1982. Teknologi Kayu Lapis. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Pertanian. ------------. 1997. Pembuatan Bambu Lapis dari Bambu Tali (Gigantochloa apus). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Buletin Penelitian Hasil Hutan hlm 190-199. Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Prosiding Workshop Bamboo Research in Asia, Singapore 28-30 May 1980. Ottawa: International Development Research Center.
42
Misdarti. 2006. Kualitas Bambu Laminasi Asal Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Mulyana H. 2002. Pengaruh Lima Jenis Kayu Berdiameter Kecil Asal Jambi Terhadap Sifat Rekat Papan Partikel yang Menggunakan Perekat Lignin Resorsinol Formladehida [skripsi]. Bogor: FMIPA Universitas Tunas Bangsa. Nuriyatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu Pada Beberapa Tujuan dan Penggunaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nugraha PY. 2006. Studi Pembuatan Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schulttes) Kurz) Dengan Menggunakan Perekat UF dan PF [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Perry T D. 1947. Modern Wood Adhesive. London: Sir Issac Pitman and Sons Ltd. Pizzi A. 1983. Wood Adhesive, Chemistry and Technology. New York: Marcell Dekker. Ruhendi S, DN Koroh, FA Syamani, H Yanti, Nurhaida, S Saad, T Sucipto. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Santoso A. 1998. Penelitian Pemanfaatan Tanin sebagai Perekat Kayu Lapis. Prosiding, Seminar Nasional I. MAPEKI 24 Maret 1998. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. hlm 79-89. ---------------. 2001. Uji Coba Pembuatan Perekat Tanin. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat litbang Hasil Hutan Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. --------------. 2005. Kulit Mangium Sebagai Sumber Tanin Untuk Perekat. Di dalam: Penyelamatan Industri Kehutanan Melalui Implementasi Hasil Ristek. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005 ; Bogor, 30 November 2005. Bogor: Pusat litbang Hasil Hutan Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. hlm 165-175. Sianturi AH. 1999. Pengaruh Pemarut Terhadap Kadar Tanin, Uji Toksisitas dan Uji Fitokimia Ekstrak Buah Pinang (Area catechu Linn) [skripsi]. Bogor: FMIPA Institut Pertanian Bogor. Subiyanto B, Subyakto, B. Prasetya, Sudiono. 1994. Pengembangan Papan Bambu Komposit. Di dalam: Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Lingkungan Bambu Lestari. hlm 88-94. Sulastiningsih IM, Nurwati, Karnita Y. 2005. Teknologi Pembuatan Bambu Lamina dan Bambu Lapis. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005; Bogor, 30 November 2005. Bogor: Pusat litbang Hasil Hutan Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. hlm 131-141.
43
Sulthoni A. 1994. Permasalahan Sumber Daya Bambu di Indonesia. Di dalam: Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hal 65-72. Surjokusumo HMS. dan N. Nugroho. 1994. Pemanfaatan Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Di dalam: Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hal 82-87 Surjokusumo S, N Nugroho. Studi Penggunaan Bambu Sebagai Bahan Tulangan Beton. Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sutigno P dan N Kamil. 1975. Kayu Meranti Merah (Shorea Leprosula Miq.) Untuk Bahan Kayu Lapis. Di dalam Laporan No. 146. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan.. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood Structures, Properties, Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold. Tan L. 1992. Ekstraksi dan Identifikasi Tanin Kulit Kayu Beberapa Jenis Pohon Serta Penggunaannya Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Vick CB. 1999. Adhesive Bonding of Wood Materials. Wood Hand Book: Wood as Engineering Material. USA: Forest Product Society. Wahyuningsih E. 1987. Pengaruh Campuran Sagu dan Bungkil Biji Karet Sebagai Ekstender Perekat Urea Formaldehida Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis Meranti Merah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 Data hasil pengujian karakteristik perekat tanin resorsinol formaldehida Paremater Uji
n 1
Viscositas (poise)
2
7,25 7,00
20,00 20,15
125,05 110,15
3
0,00
7,23
19,85
104,79
0,00
7,16
20,00
113,33
1
10,45
10,00
9,23
9,34
2
10,50
9,78
9,98
10,25
3
11,06
10,19
10,85
10,17
Rataan Kadar Padatan (%)
10,67
9,99
10,02
9,92
1
20,50
22,20
24,35
28,12
2 3
21,23
21,72
23,78
25,56
20,43
20,88
26,33
27,11
20,72
21,60
24,82
26,93
2
Merah tua Merah tua
Merah tua Merah tua
Merah Merah
Merah pucat Merah pucat
3
Merah tua
Merah tua
Merah
Merah pucat
Merah tua
Merah tua
Merah
Merah pucat
Rataan 1 Warna Rataan
10
0,00 0,00
Rataan pH
0
KADAR EKSTENDER (%) 2,5 5
46
Lampiran 2 Data hasil pengujian panil bambu lapis PENGUJIAN
n
MODEL LAPISAN
1 2 3
1
4,37 4,17 4,21
4,13 4,16 4,23
4,28 4,12 4,52
4,10 4,88 4,97
2
4,25 4,54 4,89 4,76
4,17 4,00 4,46 4,36
4,31 5,13 4,84 5,13
4,65 5,10 5,03 5,06
3
4,73 4,28 4,47 3,82
4,28 4,94 3,79 3,79
5,03 4,36 5,17 4,59
5,06 6,26 6,67 5,26
4
4,19 4,67 4,39 4,14
4,17 3,86 3,66 3,91
4,71 4,47 4,50 4,52
6,06 4,49 5,01 4,96
5
4,40 5,43 4,60 4,87
3,81 4,16 4,36 5,19
4,50 5,01 4,99 5,05
4,82 5,11 5,75 5,05
1
4,97 0,71 0,80 0,69
4,57 0,86 0,92 0,89
5,02 0,83 0,89 0,83
5,30 0,77 0,83 0,82
2
0,74 0,77 0,72 0,87
0,89 1,00 0,88 0,95
0,85 0,92 0,90 0,89
0,81 0,88 0,86 0,85
3
0,78 0,74 0,97 0,81
0,94 0,90 0,89 0,98
0,90 0,93 0,88 0,88
0,86 0,88 0,85 0,90
0,84
0,92
0,90
0,88
1
0,82
0,95
0,89
0,96
2
0,76
0,93
0,91
0,88
0,86
0,90
0,93
0,86
0,81
0,93
0,91
0,90
RATAAN 1 2 3
KADAR AIR (%)
RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3
KERAPATAN (g/cm³)
KADAR EKSTENDER (%) 0 2,5 5 10
RATAAN 1 2 3 RATAAN
3 RATAAN
4
47
PENGUJIAN
KERAPATAN (g/cm³)
n
MODEL LAPISAN
1 2 3
0,84 0,86 0,82
0,80 0,86 0,84
0,79 0,84 0,78
0,80 7,50 7,50 7,50
0,84 0,00 0,00 0,00
0,84 0,00 0,00 0,00
0,81 0,00 0,00 0,00
2
7,50 3,50 3,20 3,35
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
3
3,35 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
4
0,00 5,75 4,95 5,05
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
5
5,25 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00
1
0,00 6,96 6,52 6,42
0,00 36,93 15,13 43,48
0,00 14,17 19,13 31,30
0,00 17,48 19,74 8,87
2
6,63 38,43 20,87 18,17
31,85 50,12 47,47 50,24
21,54 34,74 40,24 38,13
15,36 34,09 27,83 28,70
25,83
49,28
37,70
30,20
1
20,96
31,48
21,04
18,26
2
39,13
34,43
30,61
21,74
28,70
45,30
31,70
17,83
29,59
37,07
27,78
19,28
RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3
KETEGUHAN REKAT (kg/cm²)
KADAR EKSTENDER (%) 2,5 5 10
0,72 0,85 0,84
RATAAN 1 2 3
DELAMINASI (%)
0
RATAAN 1 2 3
5
1
RATAAN
3 RATAAN
3
48
PENGUJIAN
n
MODEL LAPISAN
1 2 3 KETEGUHAN REKAT (kg/cm²)
RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3
MODULUS LENTUR (x1000 kg/cm²)
RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3
MODULUS PATAH (kg/cm²)
RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN 1 2 3
0
KADAR EKSTENDER (%) 2,5 5 10
4
27,30 31,48 29,90
46,35 40,24 45,94
16,52 17,83 62,60
20,00 17,57 18,26
5
29,56 13,39 19,30 15,78
44,17 30,43 19,30 21,22
32,32 13,39 25,52 21,48
18,61 15,29 17,35 16,12
1
16,16 3,25 2,60 2,54
23,65 8,35 9,92 6,15
20,13 16,43 17,53 8,62
16,25 12,83 11,95 12,83
2
2,79 5,31 8,11 8,99
8,14 18,78 16,96 16,43
14,19 19,48 20,22 18,78
12,53 6,26 21,03 17,53
3
7,47 7,30 5,92 10,62
17,39 10,31 10,95 9,39
19,49 17,53 11,69 16,43
14,94 9,74 12,23 11,43
4
7,95 4,03 3,08 3,77
10,22 13,15 15,93 12,83
15,21 21,91 20,22 21,91
11,13 18,78 17,53 16,96
5
3,62 3,71 4,11 6,96
13,97 10,52 8,62 6,41
21,35 11,69 13,48 15,93
17,76 10,31 9,23 8,91
4,93 260,74 228,15 202,07 230,32 404,15 430,22 547,56 460,64 658,37 632,30 521,48
8,52 1042,96 1062,52 866,96 990,81 1355,85 1460,15 1570,96 1462,32 951,70 990,81 730,07
13,70 990,81 893,04 808,30 897,38 971,26 1773,04 1525,33 1423,21 1271,11 990,81 1381,93
9,48 1010,37 990,81 1062,52 1021,23 1434,07 1368,89 1597,04 1466,67 1271,11 1016,89 1342,81
1
2
3
49
RATAAN PENGUJIAN
n
MODEL LAPISAN
1 2 3 RATAAN 1 2 3 RATAAN
4
5
604,05 890,86 1214,62 1210,27 KADAR EKSTENDER (%) 0 2,5 5 10 254,22 228,15 234,67 239,01 358,52 436,74 462,81 419,36
1127,70 1199,41 1088,59 1138,57 997,33 1075,56 1016,89 1029,93
1349,33 1290,67 1538,37 1392,79 880,00 782,22 743,11 801,78
1773,04 1610,07 1440,59 1607,90 1056,00 1121,19 1186,37 1121,19
50
Lampiran 3 Hasil Uji beda nilai tengah untuk kadar air (Moisture content) bambu lapis The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values A 5 A1 A2 A3 A4 A5 B 4 B1 B2 B3 B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Dependent Variable: MOISTURE CONTENT (values are transformed)
Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 0.00147747 0.00049305 0.00197052
DF 19 40 59
R-Square 0.749787 Source A B A*B
DF 4 3 12
Level of A A1 A1 A1 A1 A2 A2 A2 A2 A3 A3 A3 A3 A4 A4 A4 A4 A5 A5 A5 A5
Coeff Var 7.547584 Anova SS 0.00035932 0.00076600 0.00035215
Mean Square 0.00007776 0.00001233
F Value 6.31
Root MSE 0.003511 Mean Square 0.00008983 0.00025533 0.00002935
Pr > F <.0001
MC Mean 0.046516 F Value Pr > F 7.29 0.0002 20.71 <.0001 2.38 0.0199
The Anova Procedure -------MC Level of -------MC------MC------B N Mean Std Dev B1 3 0.04248500 0.00103967 B2 3 0.04174027 0.00051982 B3 3 0.04306897 0.00201876 B4 3 0.04652150 0.00478383 B1 3 0.04729227 0.00178720 B2 3 0.04276187 0.00240564 B3 3 0.05035750 0.00166783 B4 3 0.05067150 0.00034486 B1 3 0.04191943 0.00334593 B2 3 0.04173700 0.00663445 B3 3 0.04708917 0.00421717 B4 3 0.06068163 0.00728682 B1 3 0.04399213 0.00263644 B2 3 0.03810007 0.00133443 B3 3 0.04499830 0.00024413 B4 3 0.04822037 0.00286501 B1 3 0.04968000 0.00426741 B2 3 0.04570873 0.00545043 B3 3 0.05023047 0.00030117 B4 3 0.05307363 0.00390250
51
FACTORIAL FOR MOISTURE CONTENT Duncan's Multiple Range Test for MOISTURE CONTENT NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.000012 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .002897 .003046 .003143 .003214 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A A 0.049673 12 A5 A 0.047857 12 A3 A 0.047771 12 A2 B 0.043828 12 A4 B 0.043454 12 A1 FACTORIAL FOR MOISTURE CONTENT Duncan's Multiple Range Test for MOISTURE CONTENT NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.000012 Number of Means 2 Critical Range .002591 Means with the same letter are not Duncan Grouping Mean A 0.051834 B 0.047149 B 0.045074 C 0.042010
Class A_B
Levels 20
3 4 .002724 .002812 significantly different. N B 15 B4 15 B3 15 B1 15 B2
The ANOVA Procedure Class Level Information Values A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Duncan's Multiple Range Test for Moisturecontent NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.000012
52
Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Critical Range .005794 .006092 .006287 .006427 .006535 .006620 .006689 .006746 .006794 .006835 Number of Means 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Critical Range .006870 .006901 .006927 .006951 .006971 .006989 .007005 .007019 .007031 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A_B A 0.060682 3 A3B4 B 0.053074 3 A5B4 C B 0.050672 3 A2B4 C B 0.050358 3 A2B3 C B 0.050230 3 A5B3 C B D 0.049680 3 A5B1 C E B D 0.048220 3 A4B4 C E B D 0.047292 3 A2B1 C E B D 0.047089 3 A3B3 C E B D 0.046522 3 A1B4 C E D 0.045709 3 A5B2 C E D 0.044998 3 A4B3 C E F D 0.043992 3 A4B1 E F D 0.043069 3 A1B3 E F 0.042762 3 A2B2 E F 0.042485 3 A1B1 E F 0.041919 3 A3B1 E F 0.041740 3 A1B2 E F 0.041737 3 A3B2 F 0.038100 3 A4B2
53
Lampiran 4 Hasil Uji beda nilai tengah untuk kerapatan panil bambu lapis. The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values A 5 A1 A2 A3 A4 A5 B 4 B1 B2 B3 B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Dependent Variable: Density (D) Sum of Source
DF
Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
19
0.17330590
0.00912136
3.81
0.0002
Error
40
0.09564904
0.00239123
Corrected Total
59
0.26895494
R-Square
Coeff Var
0.644368
Root MSE
5.703973
0.048900
Source
DF
ANOVA SS
Mean Square
A
4
0.05563909
0.01390977
5.82
0.0009
B
3
0.09833961
0.03277987
13.71
<.0001
12
0.01932720
0.00161060
0.67
0.7658
A*B Level of A
Level of B
F Value
D Mean 0.857300 Pr > F
--------------DENSITY --------------DENSITY------------DENSITY-------------
N
Mean
Std Dev
A1
B1
3
0.73513333
0.05881712
A1
B2
3
0.88886667
0.03064838
A1
B3
3
0.84800000
0.03294784
A1
B4
3
0.80813333
0.03523710
A2
B1
3
0.78420000
0.07510399
A2
B2
3
0.94173333
0.06021846
A2
B3
3
0.90403333
0.01332454
A2
B4
3
0.86133333
0.01607524
A3
B1
3
0.84073333
0.11506608
A3
B2
3
0.92300000
0.05071489
A3
B3
3
0.89986667
0.02933161
A3
B4
3
0.87726667
0.02909731
A4
B1
3
0.81193333
0.05195780
A4
B2
3
0.92693333
0.02745857
A4
B3
3
0.91070000
0.02143992
A4
B4
3
0.90020000
0.04961260
A5
B1
3
0.80400000
0.07082436
A5
B2
3
0.83860000
0.02293665
A5
B3
3
0.83473333
0.02956625
A5
B4
3
0.80660000
0.03294678
54
Duncan's Multiple Range Test for Density NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
40
Error Mean Square Number of Means
0.002391
2
Critical Range
.04035
Duncan Grouping
Mean
3
4
5
.04242
.04378
.04476
N
A
A
0.88744
12
A4
A
0.88522
12
A3
A
0.87282
12
A2
B
0.82098
12
A5
B
0.82003
12
A1
Duncan's Multiple Range Test for Density NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range ncan Grouping B
40 0.002391
2
3
4
.03609
.03794
.03916
Mean
N
B
A
0.90383
15
B2
A
0.87947
15
B3
0.85071
15
B4
C
0.79520
15
B1
B
55
Lampiran 5 Hasil Uji beda nilai tengah untuk delaminasi (Delaminated) The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values A 5 A1 A2 A3 A4 A5 B 4 B1 B2 B3 B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Dependent Variable: Delaminated (DLM)
Source Model Error Corrected Total
DF 19 40 59
Sum of Squares 246.2235000 0.4250000 246.6485000
R-Square 0.998277 Source A B A*B
DF 4 3 12
Level of
Level of A A1 A1 A1 A1 A2 A2 A2 A2 A3 A3 A3 A3 A4 A4 A4 A4 A5 A5 A5 A5
Coeff Var 12.80468
ANOVA SS 32.3947500 116.6445000 97.1842500
Mean Square 12.9591316 0.0106250
Root MSE 0.103078 Mean Square 8.0986875 38.8815000 8.0986875
F Value 1219.68
Pr > F <.0001
DLM Mean 0.805000 F Value 762.23 3659.44 762.23
Pr > F <.0001 <.0001 <.0001
The Anova Procedur Procedure e --------------DLM -------------- DLM---------DLM---------B N Mean Std Dev B1 3 7.50000000 0.00000000 B2 3 0.00000000 0.00000000 B3 3 0.00000000 0.00000000 B4 3 0.00000000 0.00000000 B1 3 3.35000000 0.15000000 B2 3 0.00000000 0.00000000 B3 3 0.00000000 0.00000000 B4 3 0.00000000 0.00000000 B1 3 0.00000000 0.00000000 B2 3 0.00000000 0.00000000 B3 3 0.00000000 0.00000000 B4 3 0.00000000 0.00000000 B1 3 5.25000000 0.43588989 B2 3 0.00000000 0.00000000 B3 3 0.00000000 0.00000000 B4 3 0.00000000 0.00000000 B1 3 0.00000000 0.00000000 B2 3 0.00000000 0.00000000 B3 3 0.00000000 0.00000000 B4 3 0.00000000 0.00000000
56
FACTORIAL FOR DELAMINATED Duncan's Multiple Range Test for Delaminated NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.010625 Number of Means 2 3 4 Critical Range .08505 .08943 .09229
5 .09435
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A A 1.87500 12 A1 B 1.31250 12 A4 C 0.83750 12 A2 D 0.00000 12 A3 D 0.00000 12 A5 FACTORIAL FOR DELAMINATED Duncan's Multiple Range Test for Delaminated NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.010625 Number of Means Critical Range
2 .07607
3 .07998
4 .08255
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N B A 3.22000 15 B1 B 0.00000 15 B2 B 0.00000 15 B3 B 0.00000 15 B4
57
Class A_B
Levels 20
Values A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
The ANOVA Procedure Class Level Information Duncan's Multiple Range Test for Delaminated NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.010625 Number of Means 10 11 Critical Range .1995 .2007 Number of Means 19 20 Critical Range .2061 .2064
2
3
4
5
6
7
8
9
.1701
.1789
.1846
.1887
.1919
.1943
.1964
.1981
12
13
14
15
16
17
18
.2017
.2026
.2034
.2041
.2047
.2052
.2057
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A_B A 7.50000 3 A1B1 B 5.25000 3 A4B1 C 3.35000 3 A2B1 D 0.00000 3 A1B2 D 0.00000 3 A1B4 D 0.00000 3 A2B2 D 0.00000 3 A1B3 D 0.00000 3 A2B4 D 0.00000 3 A2B3 D 0.00000 3 A3B2 D 0.00000 3 A3B3 D 0.00000 3 A3B4 D 0.00000 3 A3B1 D 0.00000 3 A4B2 D 0.00000 3 A4B3 D 0.00000 3 A4B4 D 0.00000 3 A5B1 D 0.00000 3 A5B2 D 0.00000 3 A5B3 D 0.00000 3 A5B4
58
Lampiran 6 Uji beda nilai tengah keteguhan rekat sejajar serat FAKTORIAL UNTUK KETEGUHAN REKAT SEJAJAR SERAT The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values A 5 A1 A2 A3 A4 A5 B 4 B1 B2 B3 B4 Number of Observations Read 60 Number of Observations Used 60 Dependent Variable: BONDING STRENGTH (values Sum of Source DF Squares Model 19 2.18687710 Error 40 0.68916571 Corrected Total 59 2.87604281 R-Square 0.760377 Source A B A*B
DF 4 3 12 Level of
Coeff Var 9.545314 ANOVA SS 0.97134416 0.75621597 0.45931697
Level of A A1 A1 A1 A1 A2 A2 A2 A2 A3 A3 A3 A3 A4 A4 A4 A4 A5 A5 A5 A5
B B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
are transformed) Mean Square 0.11509879 0.01722914
F Value 6.68
Root MSE 0.131260
BS Mean 1.375123
Mean Square 0.24283604 0.25207199 0.03827641
F Value 14.09 14.63 2.22
Pr > F <.0001
Pr > F <.0001 <.0001 0.0294
-------BONDINGSTRENGTH -------BONDINGSTRENGTH------BONDINGSTRENGTH------N Mean Std Dev 3 0.82143000 0.01846942 3 1.46185333 0.24677648 3 1.30960333 0.17374128 3 1.16191000 0.18721101 3 1.38789333 0.17308193 3 1.69248000 0.01396010 3 1.57516333 0.03218870 3 1.47834000 0.04748939 3 1.45726000 0.13556106 3 1.56369000 0.08236020 3 1.43663000 0.09865480 3 1.28327333 0.04702822 3 1.46996000 0.03127921 3 1.64427000 0.03440800 3 1.42189667 0.32489588 3 1.26906667 0.02893770 3 1.20355333 0.07955621 3 1.36524000 0.10434025 3 1.28857667 0.14500618 3 1.21037333 0.02758981
59
FACTORIAL FOR BONDING STRENGTH (BS) The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for BONDINGSTRENGTH NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.017229 Number of Means 2 3 4 Critical Range .1083 .1139 .1175
5 .1201
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A A 1.53347 12 A2 A 1.45130 12 A4 A 1.43521 12 A3 B 1.26694 12 A5 B 1.18870 12 A1 FACTORIAL FOR BONDING STRENGTH (BS) (BS The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for BONDINGSTRENGTH NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.017229 Number of Means 2 3 Critical Range .0969 .1019
4 .1051
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N B A 1.54551 15 B2 B 1.40637 15 B3 C 1.28059 15 B4 C 1.26802 15 B1
Duncan's Multiple Range Test for BS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Class A_B
Levels 20
Values A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4 Number of Observations Read Number of Observations Used Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 40 Error Mean Square 0.017229
60 60
60
Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 10 11 Critical Range .2166 .2278 .2350 .2403 .2443 .2475 .2501 .2540 .2555 Number of Means 12 13 14 15 16 17 19 20 Critical Range .2569 .2580 .2590 .2599 .2606 .2613 .2624 .2629 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A 1.6925 3 B A 1.6443 3 B A C 1.5752 3 B A C 1.5637 3 B D A C 1.4783 3 B D A C 1.4700 3 E B D A C 1.4619 3 E B D A C F 1.4573 3 E B D C F 1.4366 3 E B D C F 1.4219 3 E D G C F 1.3879 3 E D G C F 1.3652 3 E D G F 1.3096 3 E D G F 1.2886 3 E D G F 1.2833 3 E D G F 1.2691 3 E G F 1.2104 3 G F 1.2036 3 G 1.1619 3 H 0.8214 3
9 .2522 18 .2619
A_B A2B2 A4B2 A2B3 A3B2 A2B4 A4B1 A1B2 A3B1 A3B3 A4B3 A2B1 A5B2 A1B3 A5B3 A3B4 A4B4 A5B4 A5B1 A1B4 A1B1
61
Lampiran 7 Hasil Uji beda nilai tengah untuk keteguhan lentur (MOE) panil bambu lapis. The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values A 5 A1 A2 A3 A4 A5 B 4 B1 B2 B3 B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Dependent Variable: MODULUS OF ELASTICITY (MOE) Sum of Source
DF
Model
19
Error Corrected Total
Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
1543.126459
81.217182
12.69
<.0001
40
256.094591
6.402365
59
1799.221049 R-Square
0.857664 Source
DF
A B A*B
Root MSE 2.530289
ANOVA
Mean Square
4
334.682546
3 12 Level of A
Coeff Var 21.55343
B
MOE Mean 11.73961
F Value
Pr > F
83.670636
13.07
<.0001
1025.217257
341.739086
53.38
<.0001
183.226656
15.268888
2.38
0.0197
Level of
----------MOE ---------- MOE--------MOE---------
N
Mean
Std Dev
A1
B1
3
2.7942506
0.39211081
A1
B2
3
8.1392518
1.89414063
A1
B3
3
14.1932627
4.85746612
A1
B4
3
12.5335742
0.50485552
A2
B1
3
7.4715002
1.92106458
A2
B2
3
17.3912689
1.23114518
A2
B3
3
19.4929143
0.72245517
A2
B4
3
14.9401685
7.71901174
A3
B1
3
7.9474686
2.41839794
A3
B2
3
10.2182799
0.78653173
A3
B3
3
15.2149063
3.10563035
A3
B4
3
11.1323680
1.27207140
A4
B1
3
3.6245700
0.49336020
A4
B2
3
13.9682960
1.71001623
A4
B3
3
21.3476839
0.97303350
A4
B4
3
17.7564266
0.93005042
A5
B1
3
4.9264594
1.76872704
A5
B2
3
8.5163956
2.05397353
A5
B3
3
13.7006507
2.13291860
A5
B4
3
9.4825664
0.73372330
62
Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
40 6.402365
2
3
4
5
2.088
2.195
2.265
2.316
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
N
A
A
Mean 14.824
12
A2
A
14.174
12
A4
B
11.128
12
A3
B
9.415
12
A1
B
9.157
12
A5
Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
40 6.402365
2
3
4
1.867
1.963
2.026
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
N
B
A
16.7899
Mean
15
B3
B
13.1690
15
B4
B
11.6467
15
B2
C
5.3528
15
B1
63
Class A_B
The ANOVA Procedure Class Level Information Values A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4
Levels 20
Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means 10
4
5
6
7
8
9
4.176
4.390
4.531
4.632
4.710
4.771
4.820
4.862
12
13
14
15
16
17
18
4.951
4.973
4.993
5.009
5.024
5.037
5.048
20
Critical Range 5.058
3
4.926
Number of Means 19
2
11
Critical Range 4.896
40 6.402365
5.067 Duncan's Multiple Range Test for Modulus of elasticity Duncan Grouping
Mean
N
A_B
A
21.348
3
A4B3
B
A
19.493
3
A2B3
B
A
C
17.756
3
A4B4
B
A
C
17.391
3
A2B2
B
D
C
15.215
3
A3B3
B
E
D
C
14.940
3
A2B4
F
E
D
C
14.193
3
A1B3
F
E
D
C
13.968
3
A4B2
F
E
D
C
13.701
3
A5B3
F
E
D
G
12.534
3
A1B4
H
F
E
D
G
11.132
3
A3B4
H
F
E
G
10.218
3
A3B2
H
F
I
G
9.483
3
A5B4
I
G
8.516
3
A5B2
H H
J
I
G
8.139
3
A1B2
H
J
I
G
7.947
3
A3B1
H
J
I
7.472
3
A2B1
J
I
K
4.926
3
A5B1
K
3.625
3
A4B1
K
2.794
3
A1B1
J
64
Lampiran 8 Hasil Uji beda nilai tengah untuk keteguhan patah (MOR) panil bambu lapis The ANOVA Procedure Class Level Information Class
Levels
A
5
Values A1 A2 A3 A4 A5
B
4
B1 B2 B3 B4
Number of Observations Read
60
Number of Observations Used
60
Dependent Variable: Modulus of repture (MOR) Sum of Source
DF
Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
19
9813017.14
516474.59
27.29
<.0001
Error
40
757021.20
18925.53
Corrected Total
59
10570038.34
R-Square 0.928380
Coeff Var
14.02137
Root MSE 137.5701
MOR Mean 981.1457
Source
DF
ANOVA SS
Mean Square
F Value
Pr > F
A
4
1436916.178
359229.044
18.98
<.0001
3
7247173.952
2415724.651
127.64
<.0001
12
128927.012
94077.251
4.97
<.0001
B A*B
Level of A
Level of B
--------MOR --------MOR---------MOR---------N
Mean
Std Dev
A1
B1
3
230.32100
29.393803
A1
B2
3
990.81500
107.703750
A1
B3
3
897.38267
91.337068
A1
B4
3
1021.23467
37.066112
A2
B1
3
460.64200
76.390418
A2
B2
3
1462.32100
107.571962
A2
B3
3
1423.20967
410.528771
A2
B4
3
1466.66667
117.514207
A3
B1
3
604.04900
72.684726
A3
B2
3
890.86433
140.614957
A3
B3
3
1214.61733
201.582748
A3
B4
3
1210.27167
171.268817
A4
B1
3
239.01233
13.569260
A4
B2
3
1138.56800
56.200138
A4
B3
3
1392.79000
129.443336
A4
B4
3
1607.90133
166.232649
A5
B1
3
419.35833
54.277359
A5
B2
3
1029.92600
40.708500
A5
B3
3
801.77767
70.508635
A5
B4
3
1121.18500
65.185000
65
Duncan's Multiple Range Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
40 18925.53
2
3
4
5
113.5
119.3
123.2
125.9
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A
A
1203.21
12
A2
A
1094.57
12
A4
B
979.95
12
A3
C
843.06
12
A5
C
784.94
12
A1
Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
40 18925.53
2
3
4
101.5
106.7
110.2
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
N
B
A
1285.45
Mean
15
B4
B
1145.96
15
B3
B
1102.50
15
B2
C
390.68
15
B1
66
FACTORIAL FOR MOR
Class A_B
Levels 20
The ANOVA Procedure Class Level Information Values A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A4B1 A4B2 A4B3 A5B1 A5B2 A5B3 A5B4 Number of Observations Read Number of Observations Used
60 60
Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means 10
4
5
6
7
8
9
227.0
238.7
246.3
251.8
256.1
259.4
262.1
264.3
12
13
14
15
16
17
18
269.2
270.4
271.4
272.4
273.2
273.9
274.5
20
Critical Range 275.0
3
267.8
Number of Means 19
2
11
Critical Range 266.2
40 18925.53
275.5 Duncan's Multiple Range Test for MOR Duncan Grouping
Mean
N
A_B
A
1607.9
3
A4B4
A
1466.7
3
A2B4
A
1462.3
3
A2B2
B
A
1423.2
3
A2B3
B
A
1392.8
3
A4B3
B
C
1214.6
3
A3B3
B
C
1210.3
3
A3B4
D
C
1138.6
3
A4B2
D
C
1121.2
3
A5B4
D
C
E
1029.9
3
A5B2
D
C
E
1021.2
3
A1B4
D
C
E
990.8
3
A1B2
D
E
897.4
3
A1B3
D
E
890.9
3
A3B2
E
801.8
3
A5B3
F G
F
604.0
3
A3B1
G
H
460.6
3
A2B1
G
H
419.4
3
A5B1
H
239.0
3
A4B1
H
230.3
3
A1B1
67
Lampiran 9 Dokumentasi penelitian
Anyaman bambu sejajar
Anyaman bambu bilik
Perekat tanin resorsinol formaldehida
Bambu lapis
Tepung terigu