II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan. Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran (Gustiano, dkk, 2010). Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam, dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari pendapatan ekonomi (soekirman, dkk, 2007). Dasar pengembangan polikultur adalah membangun keberagaman yang saling menguntungkan. Semakin beragamnya populasi suatu kawasan maka semakin stabil kondisi ekosistem yang berjalan di kawasan itu. jadi, pendekatan pertanian polikultur merupakan wujud penerapan pertanian berkelanjutan. Konsep pertanian berkelanjutan memiliki cirri-ciri, 1) bernuansa lingkungan (ecologically sound), 2) layak secara ekonomi (economically viable), 3) adil secara sosial (socially just), 4) manusiawi
(humane),
5)mampu
diadaptasikan
(adaptable)
(soekirman, dkk, 2007). Menurut Fitzgerald (1997) bahwa pola empang parit (tambak) merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi
lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam dibagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1x1 meter antar individu. Namun demikian menurut Fitzgerald (1997), kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17 – 2,5 pohon/m². Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya perikanan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah diterapkan pada ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang tinggi sesuai diterapkan pada budidaya ikan nila dan kepiting bakau. Kanal untuk memelihara ikan nila berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari permukaan pelataran. Dengan berbagai modifikasi desain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan bandeng/ikan nila dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta ikan nila dan kepiting bakau, dapat di pelihara secara intensif di kanal tersebut. Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Akan tetapi untuk kepiting menurut Soim (1999) , kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0/00 atau di golongkan ke dalam
air payau. Selain itu menurut Rusmiyati (2011) Kriteria lokasi yang ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam 15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Rukmana (1997) menyatakan, bahwa ikan nila memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5-11 dapat di toleransi oleh ikan nila, akan tetapi pH optimal untuk pertumbuhan untuk perkembangbiakan dan dan pertumbuhan ikan nila adalah 7-8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada kadar salinitas 0-35 permil. Oleh karena itu ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan pembesaran. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010) pada salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Selain itu ikan nila memiliki keunggulan komparatif dalam sifat biologinya yang memberi peluang bagi pengembangan usaha budidaya intensif yaitu, pertumbuhan nya cepat dan efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada berbagai lingkungan (habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan dan termasuk pemangsa segalah bahan (omnifora). Menurut Rusmiyati (2011) Sistem pengelolaan tambak kepiting meliputi beberapa kegiatan diantaranya:
Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi
Kepiting soka (kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan Penyakit. Sedangkan untuk ikan nila menurut Gustiano, dkk (2010) pengelolaan pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan (kolam, tambak, sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda (tunggal kelamin, campur kelamin, tunggal jenis, campur jenis dan terpadu), dan
sistem pemeliharaan (ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif) yang dipergunakan. Budidaya kepiting bakau diawali penangkapan benih-benih kepiting bakau dalam perairan di sekitar hutang bakau, benih ini merupakan hasil peranakan alami dari benih induk atau kepiting dewasa. Kemudian dimasukkan dalam lahan yang telah disiapkan yaitu berupa keramba yang diletakkan dalam perairan di lahan tambak atau perairan bakau (Gunarto dan Adi Hanafi, 2000). Pada persiapan pembuatan kolam tambak, Rusmiyati (2011) menyatakan bahwa pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap dasar tambak. Seperti pengapuran dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar tambak tidak menimbulkan pengaruh negative terhadap kualitas air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan pengapuran. Penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba. Pada budidaya polikultur dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan
kepadatan 2000-3000 ekor/ha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.00030000 ekor/ha untuk berat 0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam (1200m2). Untuk Pakan pada kolam pemeliharaan Gustiano (2010) menyatakan bahwa pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari pemupukan. Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar , seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang terdapat pada kolam. Pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%. Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15% (Rusmiyati,2010). Sedangkan menurut Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat Pemberian Pakan (TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang diberikan pada kepiting yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih sedikit pakan, maka jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam
akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila. Budi daya kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan budi daya di kenal dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain pembesaran dan penggemukan dikenal juga produksi kepiting lunak atau kepiting soka dan kepiting telur (Kordi, 2011). Kepiting soka adalah kepiting bakau yang sedang mengalami fase ganti kulit (molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai cangkang yang lunak “soft shell mud crab” sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisishkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya terdapat pada kulit dapat dimakan. produksi kepiting soka, dilakukan dengan memelihara kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan pada keramba hingga molting (Rusmiyati, 2011). Menurut Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses ganti kulit). Ukuaran cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ tubuh lengkap tak ada cacat dan luka. kepiting yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan. Selama masa pertumbuhan kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara 17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar. Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25% dari berat awal dengan rata-rata berat awal penebaran 80-100 g/ekor
dalam masa pemeliharaan 15-20 hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan. Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid. Selain itu penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting. Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10 hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui (Rusmiyati, 2011). Dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat diperlukan. Hal ini memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya kepiting. Penggantian air yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Pada kolam dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih asam karena proses nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai tumbuhan renik, yang dapat mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA (Environtmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai dengan semakin keruhnya air. Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting sebaiknya antara 15-35 permil.
Sedangkan nilai oksigen sangat penting bagi pernafasan kepiting maupun ikan dan merupakan komponen utama bagi metabolism kepiting dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Kandungan oksigen lebih rendah akan mengakibatkan selera makan oranisme menurun. Dalam usaha budidaya kepiting soka sirkulasi air harus selalu dijaga untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut tersebut. Kepiting bakau sangat sensitif terhadap white spot syndrome virus, hal ini karena udang dan kepiting masih berada dalam satu kelas, yaitu Crustaceaserta dan memiliki habitat yang sama yaitu pada perairan payau atau estuaria. Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini yaitu: 1) mensucihamakan induk yang akan memijah. 2) pemberian klorin pada air yang ditempati kepiting 3) perlakuan karantina bagi kepiting yang membawa penyakit 4)pemeliharaan yang intensif dengan memperhatikan kebersihan lingkungan (Rusmiyati, 2011). Landasan Teori Menurut Mosher (1981) usahatani pada dasarnya adalah tanah. Usahatani dapat sebagai suatu cara hidup (a way of life). Jenis ini termasuk usahatani untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistem dan primitif. Jenis usahatani seperti itu pada saat sekarang sudah langka ditemui. Pada saat sekarang, pada umumnya jenis usahatani yang termasuk perusahaan (the farm business). Setiap petani pada hakikatnya menjalankan perusahaan pertanian di atas usahataninya. Itu merupakan bisnis karena tujuan setiap petani bersifat ekonomis, memproduksi hasil-hasil untuk dijual ke pasar atau untuk di konsumsi sendiri oleh keluarganya. Usahatani tambak yang bertujuan ekonomis termasuk usahatani perusahaan.
Usahatani hendaklah senantiasa berubah, baik di dalam ukuran (size) maupun susunannya, untuk memanfaatkan metode usahatani yang senantiasa berkembang secara lebih efisien. Corak usahatani yang cocok bagi pertanian yang masih primitif bukanlah corak yang paling produktif apabila sudah tersedia metodemetode yang modern (Mosher, 1981). Polikultur adalah praktek kultur lebih dari satu jenis organisme akuatik di kolam yang sama. Prinsip yang memotivasi adalah bahwa produksi ikan di kolam dapat dimaksimalkan
dengan
meningkatkan
kombinasi
spesies
yang
berbeda
(Singgih, 2010). Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan (Fhadoli, 1991). Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktorfaktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung dari banyak sedikitnya jumlah output, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya output yang dihasilkan. Biaya tetap dan biaya variabel ini jika dijumlahkan hasilnya merupakan biaya
total (TC) yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC (Nuraini, 2001). Kurva biaya produksi adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah biaya produksi yang dipergunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Maka pola kurva biaya tetap total (TFC), biaya variabel total (TVC) dan biaya total (TC) dapat dilihat sebagai berikut : Rp
TC TVC
A n 0 Gambar 2. kurva biaya produksi
TFC Q
Pada Gambar 2, dapat dilihat pada biaya tetap total (TFC) dilukiskan sebagai garis lurus (horizontal) sejajar dengan sumbu kuantitas. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun jumlah output yang dihasilkan, besarnya biaya tetap total tidak berubah yaitu sebesar n. Pada biaya variabel total (TVC) menunjukkan bahwa kurva biaya variabel total terus menerus naik. Jadi, semakin banyak output yang dihasilkan maka biaya variabel akan semakin tinggi. Namun demikian, laju peningkatan biaya tersebut berbeda-beda (tidak konstan). Laju peningkatan mula-mula dari titik asal adalah menurun hingga titik A. Pada titik A ini tidak terjadi peningkatan sama sekali. Kemudian sesudah titik A laju kenaikannya terus menerus naik, sedangkan kurva biaya total (TC) diperoleh dengan menjumlahkan kurva TFC
dengan kurva TVC secara vertikal. Biaya total (TC) berada pada jarak vertikal di semua titik antara biaya tetap total (TFC) dan biaya variabel total (TVC), yaitu: sebesar n (Nuraini, 2001). Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : TR1 = Y1 . Py1 Yaitu : TR
= Total Penerimaan
Y
= Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py
= Harga y.
Sedangkan pendapatan usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan penerimaan dan biaya. Rumus yang digunakan untuk mencari pendapatan usahatani, adalah : Pd = TR – TC Dimana : Pd
= Pendapatan usahatani
TR
= Total Penerimaan
TC
= Total Biaya (Soekartawi, 2002).
Untuk dapat meningkatkan pendapatan sangat tergantung pada cepat tidaknya mengadopsi inovasi tergantung dari faktor ekstern dan faktor intern itu sendiri, yaitu faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi itu diantaranya jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki dan ada tidaknya usahatani yang dimilikinya. Sedangkan faktor sosial diantaranya umur, tingkat pendidikan dan pengalaman bertani (Soekartawi, 1989).
Pendapatan total untuk usaha tani pola polikultur adalah pendapatan yang di peroleh dari pengurangan seluruh penerimaan dari semua jenis komoditi dan seluruh biaya dari setiap komoditi yang terdapat dalam satu lahan. Sehingga dapat ditulis dengan rumus: n
n
n
Σ Pd = Σ TR – Σ TC i=I
i=I
i=I
Keterangan: i = komoditi ( jenis komoditi budidaya) n = jumlah komoditi (Mosher, 1987). Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan (TR) dan total biaya (TC). Tujuan ini dapat diformulasikan sebagai berikut : π = pq – c (q). Keuntungan juga merupakan insentif bagi produsen untuk melakukan proses produksi. Keuntungan inilah yang mengarahkan produsen untuk mengalokasikan sumber daya ke proses produksi tertentu. Produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan kendala yang dihadapi (Sunaryo, 2001). Menurut Soekartawi (1995) kelayakan usaha tambak kepiting dapat juga dianalisis dengan metode analisis R/C, Analisis R/C ini membandingkan nilai penerimaan (Revenue) dengan total biaya, yaitu dengan kriteria, bila R/C > 1 , maka usahatani layak bila R/C = 1 maka usahatani berada pada titik impas dan bila nilai R/C < 1 maka usaha tani tidak layak (Soekartawi, 1995). Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan Rp/HKO. Atau dapat ditulis sebagai berikut:
Produktivitas tenaga kerja =
Penerimaan
Total tenaga kerja yang dicurahkan Kriteria uji : -
Jika produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku, maka usaha tani layak diusahakan.
-
Jika produktivitas tenaga kerja < tingkat upah yang berlaku, maka usaha tani tidak layak diusahakan.
Dalam perhitungan curahan tenaga kerja maka digunakan standar perhitungan berdasarkan umur tenaga kerja dengan standar konversi sebagai berikut: 1. Tenaga anak-anak (1-14 tahun) : laki-laki = 0,5 HKP, wanita 0,4 HKP 2. Tenaga laki-laki dewasa ≥ 15 tahun = 1 HKP 3. Tenaga wanita dewasa ≥ 15 tahun = 0,8 HKP Standar konversi tersebut berlaku dengan jumlah jam kerja yang sama dalam satu hari kerjamyakni 7 jam efektif dengan rincian: Jam 8.00 – 12.00 → kerja (4 jam) Jam 12.00 – 14.00 → istirahat / makan siang (2 jam) Jam 14.00 – 17.00 → kerja (3 jam) Untuk menghitung curahan tenaga kerja dari setiap individu/anggota keluarga yang bekerja pada usahatani dengan usia dan jenis kelamin tertentu harus melihat jumlah jam kerja dikalikan standar men equivalen (Me)/HKP (Hari Kerja setara Pria) seperti yang telah disebutkan diatas ( Butar-butar, 2010). 2.2 Kerangka Pemikiran Petani tambak polikultur kepiting-ikan nila merupakan pengelola usaha yang mempunyai tugas untuk mengusahakan tambak dan mengorganisir pemanfaatan
faktor-faktor produksi dalam usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila. Petani tentunya mengharapkan nilai pendapatan yang maksimal dari setiap jenis kegiatan pemanfaatan lahan yang dilakukan. Upaya untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila pemanfaatan lahan tambak dapat dialokasikan secara optimal. Petani tambak di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang pada prakteknya memanfaatkan sistem usaha pola polikultur, dimana ikan nila diusahakan pada kolam tambak bersama dengan kepiting bakau. Usaha tambak kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting soka konsumsi. Sistem budi daya nya dapat di lakukan dengan menggunakan sistem keramba, hampang, ataupun jaring apung. Dimana kegiatan budidaya mencakup Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka (kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan Penyakit. Usaha tambak kepiting dan ikan nila memiliki beberapa input produksi diantaranya benih, pakan, obat-obatan dan tenaga kerja. Input produksi ini menjadi komponen biaya dalam pengelolaan usaha tambak polikultur kepitingikan nila. Input dan Output dari usaha tambak mencakup biaya dan hasil biaya pada usaha pertanian umumnya adalah biaya produksi yang meliputi biaya investasi, yaitu : biaya yang digunakan untuk pembelian atau sewa tanah, penyediaan keramba, maupun jaring yang mendukung usaha tambak kepiting bakau tersebut dan biaya operasional yang meliputi: pembelian benih, obat-obatan, pakan, tenaga kerja, baik dari dalam keluarga maupun diluar keluarga yang mendukung jalannya usaha
tambak kepiting tersebut. Pendapatan yang diperoleh adalah total penerimaan yang besarnya dinilai dalam bentuk uang dan dikurangi dengan nilai total seluruh pengeluaran selama proses produksi berlangsung. Penerimaan adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dengan harga satuan, sedangkan pengeluaran adalah nilai penggunaan sarana produksi atau input yang diperlukan pada proses produksi yang bersangkutan. Kelayakan usaha tambak kepiting di daerah penelitian, akan menentukan peluang pengembangan usaha tambak ini, yaitu dengan menganalisis apakah layak atau tidak untuk diusahakan di daerah penelitian. Oleh karena itu, untuk menganalisis kelayakan usaha tambak kepiting dianalisis dengan metode analisis R/C. Analisis R/C ini membandingkan nilai penerimaan (Revenue) dengan total biaya produksi (Cost) dengan menggunakan kriteria, bila nilai R/C >1, maka usaha tambak ini layak, bila nilai R/C = 1, maka usaha tambak berada pada titik impas dan bila nilai R/C < 1, maka usaha tambak ini tidak layak. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dirumuskan sebagai berikut:
Petani Tambak
Komponen Biaya Tetap: - Sewa Lahan - Penyusutan - PBB - Biaya Listrik
Sistem Usaha tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila
Komponen Biaya Variabel: - Benih - Pakan - Obat-obatan - keramba - jaring Tenaga Kerja
Produksi
Harga
Biaya Produksi
Penerimaan
Pendapatan
Analisis R/C Layak
Keterangan :
Tidak layak
= Ada Hubungan
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Usaha Polikultur Tambak Kepiting – Ikan Nila
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu : 1. Pendapatan usaha polikultur tambak kepiting didaerah penelitian adalah tinggi. 2. Usaha tambak kepiting didaerah penelitian adalah layak untuk diusahakan.