II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Otonomi Daerah di Indonesia Pada masa pemulihan krisis ekonomi lalu muncul tuntutan ketidakpuasan
daerah dengan sistem sentralistik dan menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa. Pemerintah segera menanggapi gejala tersebut dengan mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya sejak 1
Januari 2001, dimulailah era otonomi daerah (otda) dengan harapan ada perkembangan perekonomian bagi daerah yang selama ini terbelakang akibat alokasi pendapatan yang tidak merata.
Otda memang telah menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan strategis di Indonesia.
Perubahan ini
memberikan nuansa baru bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten dan kota, untuk mengembangkan daerahnya secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Ada tiga matra utama yang menjadi fokus pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimana otonomi daerah mengharuskan: 1. Adanya pelimpahan wewenang dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat sektoral yang mencakup daerah (government power sharing), 2. Adanya perimbangan keuangan yang rasional dan adil antara pusat dan daerah serta perimbangan kemampuan dan potensi sumber daya manusia dalam pembangunan (financial and manpower sharing), dan
13
3. Lahirnya perkembangan daerah sebagai satuan yang khas dalam memperkaya kebhinnekaan negara (political and social cultural power sharing) yang pada akhirnya diharapkan mampu mengenal penduduk setempat (indigenous population). Ketiga matra di atas merupakan kondisi yang dibutuhkan (necessary condition) agar otonomi daerah berlangsung baik dan bisa memenuhi harapan berbagai pihak. Kondisi cukup (sufficient condition) berupa undang-undang otda beserta berbagai perangkat administratif dan hukum yang menjadi sistem otonomi daerah juga harus terus dilengkapi sejalan dengan pelaksanaan otda. Diantara tiga aspek yang telah diutarakan di atas, implikasi otda bagi penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian. Sebahagian besar fokus penelitian otonomi daerah lebih banyak menyoroti government power sharing dan financial sharing. Sementara kita ketahui bahwa salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk. Secara luas, potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis perekonomian secara makro dalam era otda. Hal ini disebabkan potensi penduduk sebagai faktor produksi (tenaga kerja) dalam kegiatan perekonomian daerah sangatlah penting.
2.2.
Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda Salah satu permasalahan perekonomian makro Indonesia di era otda yang
berkaitan dengan TK adalah
masih tingginya tingkat pengangguran dan
banyaknya kasus permasalahan hubungan industrial. Menurut Simanjuntak (2004) Industrial relations refer to the relationship among all stakeholders concerned
14
with or having an interest in the process of producing goods or services in a company or enterprise. Ada dua hal penting yang dapat dijelaskan menyangkut permasalahan hubungan industrial dewasa ini. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001 telah merubah sistem pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan upah minimum. Kedua, era kebebasan berserikat sehingga muncul banyak serikat buruh yang merupakan representasi buruh dalam hubungan industrial. Kedua hal tersebut telah membuka peluang bagi pekerja dan serikat pekerja untuk berpartisipasi dalam perubahan kebijakan ketenagakerjaan. Pada kenyataannya peluang partisipasi serikat pekerja dalam penetapan kebijakan ketenagakerjaan belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu faktor penyebab kecilnya peluang partisipasi serikat pekerja adalah kebijakan pemerintah yang membuat mekanisme penentuan kebijakan itu sendiri yang tidak demokratis bagi buruh (Wirahyoso, 2002). Hasil jajak pendapat yang telah dilakukan Kompas (Mei 2007) tentang posisi pekerja, pengusaha dan pemerintah memperkuat pernyataan tersebut. Sebanyak 73.6 persen dari 832 sampel pekerja menjawab bahwa peran pemerintah dalam penetapan standar upah minimum tidak memadai dan lebih jauh sebanyak 76.3 persen pekerja menganggap penetapan upah minimum yang layak oleh pemerintah belum memadai. Jajak pendapat tersebut menyimpulkan bahwa sebahagian responden menganggap seluruh kebijakan ketenagakerjaan selama ini lebih banyak merugikan pekerja (Sultani, 2007). Meski pemerintah dan pengusaha memberi peluang kepada pekerja untuk menuntut hak melalui kebebasan berserikat namun perjuangan pekerja selama ini terperangkap diantara kepentingan pemerintah dan pengusaha. Perusahaan cenderung membuat aturan
15
yang dapat menekan kesejahteraan pekerja untuk mempertahankan keuntungan. Sementara pemerintah cenderung membatasi upah minimum pekerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi. Tidak adanya dampak negatif bagi pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian adalah harapan para pelaku ekonomi dalam memikirkan dan merealisasikan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi gejolak ketenagakerjaan dewasa ini memang nyata terjadi. Berbagai tuntutan pekerja untuk memperoleh imbalan kerja selalu menimbulkan ketegangan diantara pihak pekerja, pengusaha dan pemerintah. Kuat dugaan ketiga pihak kokoh memperjuangkan kepentingan masing-masing sehingga penyelesaian kasus hubungan industrial menjadi konflik yang berkepanjangan. Tabel 4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda Tahun
Kasus
Tenaga Kerja
Jam Kerja Hilang
Pemogokan
Terlibat (orang)
(jam)
(kasus) 2001
174
109 845
1 165 032
2002
220
97 325
769 142
2003
161
68 114
648 253
2004
112
48 092
497 780
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (2007). Gejolak ketenagakerjaan yang relatif sering terjadi adalah pemogokan atau unjuk rasa. Pemogokan adalah upaya serikat pekerja untuk menekan dan memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja (Simanjuntak, 2006). Banyaknya kasus pemogokan setiap tahun seperti pada Tabel 4 mencerminkan adanya: (1) ketidakpuasan di kalangan pekerja karena tuntutan pekerja tidak
16
dipenuhi pihak perusahaan,dan (2) ketidakharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Penyebab utama dari sejumlah kasus pemogokan selama era otda bersumber
dari
ketidakpuasan
pekerja
tentang
upah.
Hasil
penelitian
Depnakertrans (2005) faktor utama pemicu kasus pemogokan tenaga kerja adalah masalah upah yang tidak mencukupi biaya hidup pekerja. Hal ini bisa dipahami, meskipun setiap tahun pemerintah telah berupaya melakukan penyesuaian upah minimum yang secara nominal terus meningkat namun nilai riil hanya mampu memenuhi rata-rata 89.63 persen dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS, 2006). Beberapa faktor penyebab lain kasus pemogokan adalah adalah katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan. Berdasarkan sektor, jumlah kasus pemogokan lebih sering terjadi pada sektor industri seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda Kasus
Sektor
Perkembangan (%)
2001
2002
2003
2004
2001
2002
2003
2004
6
3
1
2
3.45
1.36
0.62
1.79
Industri
127
163
125
91
72.99
74.09
77.64
81.25
Jasa
28
52
33
16
16.09
23.64
20.50
14.29
Lain
13
2
2
3
7.47
0.91
1.24
2.68
174
220
161
112
100
100
100
100
Pertanian
Total
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Binawas (2007).
17
Pada dasarnya pemogokan tenaga kerja (TK) dibenarkan olah pemerintah berdasarkan UU No. 13 tahun 2003. Dinyatakan bahwa pemogokan TK dapat dibenarkan bila dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya perundingan. Namun pada kenyataannya, kasus pemogokan TK yang terjadi tidak selaras dengan yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. Kasus pemogokan relatif sering terjadi disertai dengan tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas umum, dan mengganggu kepentingan umum. Maraknya kasus pemogokan dewasa ini tidak dapat dipandang hanya sebagai masalah
antara pihak pekerja dan pihak perusahaan dalam proses
produksi. Masalah kasus pemogokan terkait dan mempengaruhi keadaan perekonomian,
kestabilan
politik,
keamanan,
produktifitas
kerja
dan
perkembangan investasi. Artinya perubahan keseimbangan di pasar TK berdampak pada perubahan keseimbangan makro.
2.3.
Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
2.3.1. Kesempatan Kerja Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Indonesia. Permasalahan tersebut (i) menyangkut kebijaksanaan kependudukan, (ii) berkaitan dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan luar Jawa, (iii) menyangkut kualitas tenagakerja, (iv) berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan arah pembangunan, (v) kurang berkembangnya informasi pasar tenagakerja sehingga menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja dan (vi) berkaitan dengan perkembangan di sektor pertanian dan industri.
18
Menyangkut permasalahan mendasar yang terakhir, memasuki tahun 2000, sektor pertanian masih merupakan sektor penting meskipun pangsanya dalam total perekonomian dari tahun ke tahun mengecil. Tampaknya pekerjaan di sektor pertanian tidak menarik bagi tenaga tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan kerja sektor pertanian menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Artinya sebagian besar golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu terbukanya lapangan pekerjaan yang dikehendaki. Hal tersebut mengakibatkan tingkat pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan . Jumlah penduduk usia kerja sampai dengan akhir tahun 2004 mencapai 152.65 juta orang, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 67.7 persen merupakan angkatan kerja yang juga mengalami peningkatan. Namun peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas yang tercermin dari masih besarnya proporsi angkatan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu mencapai 63.5 persen. Survey dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 147 negara (BI, 2005). Ditinjau berdasarkan lapangan usaha terjadi penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun mengalami penurunan, sektor pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar (42.5 persen), disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran (19.6 persen), sektor industri pengolahan (13.7 persen), dan sektor jasa-jasa (11.9 %). Sejalan dengan dominasi sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi oleh tenaga usaha pertanian (42.1 persen). Disusul tenaga produksi (25.4 persen),
19
dan tenaga usaha penjualan (18.4 persen). Jumlah pekerjaan yang berprofesi sebagai tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih sangat kecil, yaitu masing-masing 0.4 persen dan 3.5 persen dari penduduk yang bekerja (BI, 2005). Meskipun jumlah penduduk yang bekerja tercatat meningkat, jumlah penduduk yang bekerja dengan status formal mengalami penurunan, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja dengan status informal mengalami peningkatan. Perkembangan ini mengindikasikan adanya peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor informal sehingga pangsa pekerja di sektor formal semakin menurun sebagaimana kecenderungan yang terjadi sejak tahun 1997. Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal bersumber dari penurunan jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, yang merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi lain, terjadi peningkatan pada jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha formal sebenarnya mengalami peningkatan pada tahun 2004 namun secara keseluruhan usaha formal tersebut mempekerjakan lebih sedikit karyawan dibandingkan tahun 2003. Sementara itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal mengalami peningkayan sebesar 1.6 persen, yang disebabkan oleh terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu anggota keluarga atau buruh tetap.
2.3.2. Pengangguran a. Indonesia Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi Indonesia, tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang
20
pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan antar bangsa-bangsa di kawasan sekitar Indonesia. Melambatnya kegiatan ekonomi 2004 sebagai dampak dari rendahnya investasi, meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta masih rendahnya tingkat
pendidikan
angkatan
kerja
mengakibatkan
angka
pengangguran
diperkirakan semakin meningkat. Jumlah penganggur sampai dengan akhir 2004 mencapai 38.4 juta orang, yang terdiri dari 9.5 juta orang penganggur terbuka dan 28.9 juta orang setengah penganggur. Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak terlepas dari rendahnya tingkat pertumbuhan yang hanya mampu menyerap penambahan tenaga kerja sebanyak 0.8 juta orang, sementara penambahan angkatan kerja baru periode yang sama mencapai 1.7 juta. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 9.50 persen pada tahun 2003 menjadi 9.86 persen pada tahun 2004.
Ditinjau dari komposisi tingkat pendidikan, penganggur terbuka
didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (tidak berpendidikan hingga berpendidikan SD dan berpendidikan SLTP).
b.
Indonesia Dibanding Negara Tetangga
Diantara beberapa negara yang diamati (Malaysia, Philippina, Thailand dan Korea Selatan), Philippina menduduki peringkat teratas dalam hal tingkat pengangguran.
Pengamatan secara data saja memanglah tidak tepat karena
konsep dasar tentang penganggur di tiap negara yang diamati tidaklah persis sama. Menurut Brooks (2002), laju kesempatan kerja Philippina tidak mencukupi untuk menurunkan angka pengangguran karena pertumbuhan populasi dan peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja yang pesat.
Dalam papernya
21
Brooks memperlihatkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan penurunan pengangguran Philippina berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan GDP dan berkorelasi secara negatif dengan upah minimum riil. Tingkat pengangguran di Malaysia menunjukkan penurunan yang nyata sampai dengan menjelang resesi di akhir tahun 1990.
Thailand relatif
berfluktuasi, sementara Korea Selatan menunjukkan kecenderungan yang relatif stabil. Krisis yang melanda asia telah menyebabkan suatu lompatan terhadap tingkat pengangguran di kelima negara, namun kemudian tingkat pengangguran di Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan relatif cepat kembali menurun. Tidak demikian halnya dengan Indonesia dan Philippina.
2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan a. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam periode tertentu (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Produktivitas input tenaga kerja (TK) menggambarkan kemampuan individu TK dalam menghasilkan output nasional (produktivitas parsial TK). Gambaran perubahan produktivitas TK Indonesia secara sektoral sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi Indonesia. Adanya perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada sektor industri moderen yang padat modal sementara menempatkan sektor pertanian sebagai sektor pendukung sangat mempengaruhi produktivitas TK secara sektoral. Produktivitas sektoral selama periode sebelum dan selama otda diperlihatkan pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Perkembangan Produktifitas Sektoral di Era Otda Tahun
Produktivitas Sektoral Pertanian
Industri
Jasa
Pertumbuhan Produktivitas Sektoral Total
Pertanian
Industri
Jasa
Total
2001
1.31
7.20
4.61
3.63
4.06
0.66
-9.44
2.35
2002
1.30
7.43
5.07
3.73
-0.23
3.22
10.10
2.74
2003
1.29
8.53
5.65
3.92
-0.86
14.70
11.26
5.09
2004
1.39
8.93
5.55
3.99
7.60
4.81
-1.63
1.83
Rata-rata
1.32
8.02
5.22
3.82
2.65
5.52
2.57
3.00
Sumber: Data sekunder diolah. Tabel 6 memperlihatkan produktivitas rata-rata secara sektoral maupun secara total meningkat setelah memasuki era otda. Produktivitas terendah pada sektor pertanian yang hanya mencapai 1.30 juta rupiah per TK per tahun sebelum otda dan meningkat hanya menjadi 1.32 juta rupiah per TK per tahun pada era otda. Pertumbuhan produktivitas sektoral rata-rata pada era otda meningkat di banding sebelum memasuki era otda. Hasil kajian depnakertrans tentang produktivitas TK sektor pertanian menyimpulkan kecil kemungkinan dapat merealisasikan harapan rencana TK nasional
bahwa
sektor
pertanian
menjadi
harapan
mengurangi
jumlah
pengangguran. Rata-rata angka produktivitas sektor pertanian paling rendah diantara sektor lainnya di era otda. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat dianalisa dari segi umur dan tingkat pendidikan TK sektor pertanian. Hasil kajian Managara (2004) menyimpulkan sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun (46 persen), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38 persen), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16 persen).
23
Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan sektor pertanian akan kekurangan TK di masa depan. Sektor pertanian menunjukan tren aging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Dari sisi umur, TK pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah, yang jumlahnya mencapai 81% dari tenaga kerja pertanian. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dari sisi makro adalah pertumbuhan dalam persediaan modal dan perubahan teknologi. Persediaan modal (stock of capital) adalah jumlah total modal yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Adanya peningkatan modal menyebabkan setiap pekerja dapat memproduksi output lebih banyak. Perubahan teknologi menggambarkan perkembangan teknologi baru yang memungkinkan pekerja berproduksi lebih efektif dan menghasilkan output yang lebih berkualitas. Sebagai contoh perkembangan teknologi komputer pada dasarnya membuka peluang bagi pertumbuhan produktivitas. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi diperlukan pekerja yang lebih berkualitas pula.
b. Pemogokan Tenaga Kerja Masih banyaknya pengusaha yang belum memenuhi ketentuan UMP dan tuntutan lainnya telah memicu terjadinya kasus pemogokan buruh di Indonesia. Sampai dengan tahun 2004, tercatat 112 kasus pemogokan yang melibatkan 48092 pekerja dan menyebabkan 497780 jam kerja hilang. Meskipun
jumlah
kasus pemogokan mengalami peningkatan, dampak pemogokan terhadap penurunan produktivitas mengalami penurunan karena jam kerja yang hilang lebih sedikit dibandingkan pada kasus pemogokan tahun 2003. Selain disebabkan oleh
24
masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain pemicu kasus pemogokan adalah katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan.
c. Permasalahan TKI Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada tahun 2004 ditandai dengan diberlakukannya kebijakan baru pemerintah Malaysia yang lebih keras terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus besar-besaran TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke tanah air. Pemberlakuan kebijakan baru pemerintah Malaysia ini sangat berdampak terhadap TKI Indonesia mengingat negara ini merupakan negara tujuan terbesar bagi TKI. Selain berdampak pada meningkatnya jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal tersebut diperkirakan mempengaruhi perekonomian desa yang selama ini bergantung pada kiriman uang dari TKI (BI, 2005).
2.4.
Kebijakan Ketenagakerjaan Pemerintah telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi
warga negara sebagaimana diamanatkan dalam ayat (2) Pasal 27 UUD 1945 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Dalam amandemen UUD 1945 tentang ketenagakerjaan juga
disebutkan dalam pasal 28d UUD 1945.
Hal tersebut berimplikasikan pada
kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu perencanaan di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara.
25
Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan pasal 2 serta pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, telah menetapkan kewenangan yang besar di bidang ketenagakerjaan bagi pemerintah, propinsi dan kabupaten/ kota yang meliputi perencanaan sampai pengendalian. Pada era otonomi daerah ini UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan telah memberikan landasan yang kuat atas kedudukan dan peranan Perencanaan Tenaga Kerja dan informasi ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 yang menggariskan Perencanaan Tenaga Kerja sebagai pedoman penyusunan strategi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. Kebijakan normatif ketenagakerjaan mengkaji hubungan antara pekerja dan pengusaha. Hubungan ini merupakan suatu sistem sikap dan perilaku yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Hubungan ini dapat digambarkan dalam bentuk pola kerja sama, konflik dan penyelesaian konflik antara pekerja dan pengusaha. Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia meliputi kebijakan tentang pengupahan, hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha,
pengaturan
tentang
penyelesaian
perselisihan
termasuk
didalamnya pemogokan kerja, pengaturan tentang pemutusan hubungan kerja termasuk didalamnya uang pesangon, pengaturan jam kerja, pengaturan organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lainlain. Sebagai contoh, keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 dan Undang-undang no. 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketiga kebijakan ini membuat beban
26
pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat.
2.4.1. Upah Minimum Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh masih tingginya jumlah pengangguran terbuka antara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar (bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah. Hal ini tercermin dari relatif kecilnya kenaikan UMP yang ditetapkan. Upah minimum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara rata-rata UMP tahun 2004 mencapai Rp.476932 per bulan atau meningkat 7.4 persen dibanding tahun 2003. Meskipun terjadi peningkatan UMP di tahun 2004, namun peningkatan ini secara riil masih lebih rendah dibandingkan peningkatan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang pada tahun 2004 mencapai sekitar Rp 500763 per bulan atau meningkat 8.6 persen dibanding tahun 2003. Relatif tingginya indeks harga konsumen menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pekerja sebagaimana terlihat dari kenaikan UMP riil yang melambat dari 22.4 persen pada tahun 2003 menjadi 7.3 persen pada tahun 2004.
Secara sektoral, UMP sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor keuangan menempati urutan teratas. Sementara untuk propinsi, UMP tertinggi ada di beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku Utara pada sektor pertambangan.
27
2.4.2.
Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) merasa UU ini tidak berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern. Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip (dalam Kompas) ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun 2004, diantaranya secara substansi perlindungan terhadap buruh masih rendah.
28
Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja.
Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat
mengurangi daya serap pasar kerja.
Pada akhirnya hal tersebut justru akan
berdampak negatif bagi pekerja.
2.4.3.
Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja Pemerintah telah berupaya melakukan penanganan semakin meningkatnya
tingkat penganguran. Penanganan dilakukan baik melalui: (i) Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), (ii) program penanggulangan pengangguran akut, (iii) program penanggulangan pengangguran baru dan (iv) program penanggulangan pengangguran marjinal (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Namun terkesan upayaupaya tersebut hanya mampu mengalihkan tenaga kerja berlebih ke sektor-sektor padat karya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Dengan
demikian, kebijakan penyediaan lapangan kerja yang telah diberlakukan hanya bersifat jangka pendek (Hadi, 2002). Disamping itu untuk menciptakan lapangan kerja, yang utama dibutuhkan adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang jauh dari target maka adalah tepat jika pemerintah merasa perlu memikirkan strategi pertumbuhan melalui iklim usaha yang kondusif berupa pembenahan peraturan di pasar kerja dan bidang lainnya. Pengalaman masa lalu dimana sejumlah investor asing (PT. Doson dan megaindustri elektronik Sony) menutup usahanya di Indonesia jelas telah berakibat hilangnya sebahagian lapangan pekerjaan.
29
2.5.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.5.1.
Kesempatan Kerja Lucas (1969), telah menganalisis tentang upah riil, kesempatan kerja, dan
inflasi (Lucas dalam Mankiw, 2000).
Ia menyimpulkan bahwa keputusan
penawaran tenaga kerja sebagai pilihan yang dibuat pekerja antara bekerja atau menganggur. Pekerja mempunyai beberapa pemahaman mengenai upah riil yang akan mereka terima dari bekerja. Mereka kemudian memutuskan apakah akan bekerja atau tidak dengan membandingkan upah riil dengan keuntungan yang didapat dari waktu istirahatnya. Jika upah riil yang diharapkan lebih tinggi dari biasanya pekerja akan mempunyai semangat untuk bekerja. Sebaliknya jika upah lebih kecil dari biasanya pekerja akan memilih untuk menganggur dan menunggu sampai upah riil naik. Da1am pengertian ini, pengangguran diterangkan sebagai pilihan sukarela oleh pekerja yang menunggu naiknya upah riil sampai di atas tingkat normal. Calvo-Armengol dan Jackson (2004) mengembangkan sebuah model datam penelitiannya tentang dampak social net work pada kesempatan kerja dan ketidak adilan. Mereka menyimpulkan bahwa kesempatan kerja secara positif berkaitan dengan waktu dan agen. Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di wilayah Jawa (tanpa DKI Jaya) dan Bali. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesempatan kerja di setiap sektor umumnya dipengaruhi PDB regional masing-masing sektor. Kesempatan kerja sektor dipengaruhi faktor investasi untuk sektor-sektor jasa perkotaan, pertanian dan jasa pedesaan, sedangkan upah kerja menentukan kesempatan kerja sektor pertanian perkotaan.
30
Di beberapa kasus dilaporkan penggunaan mesin industri dan traktor berperan sebagai substitusi tenaga kerja. Sukwika
(2003)
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesempatan kerja di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan bahwa kesempatan kerja sektor industri di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh investasi sektor industri, pendapatan regional sektor industri dan jumlah pengangguran. Kesempatan kerja sektor pertanian di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh upah riil sektor pertanian, investasi sektor pertanian dan jumlah pengangguran. Kalangi (2006) dalam penelitian yan berjudul Penaran Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan TK dan Distribusi Pendapatan telah menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan investasi di sektor pertanian dan agroindustri terhadap kesempatan kerja. Penelitian tersebut menyimpulkan perkiraan kesempatan kerja yang dapat diciptakan pada tahun 2007 berkisar antara 1.8 juta sampai4.9 juta orang, atau rata-rata sebesar 2.5 juta orang. Setiap kenaikan satu persen PDB, tambahan kesempatan kerja yan tercipta rata-rata 419 ribu orang.
2.5.2.
Tingkat Pengangguran Samuelson dan Solow (1960), telah menganalisis kebijakan anti inflasi
untuk kasus Amerika Serikat (Samuelson dan Solow dalam Mankiw, 2000). Mereka menerangkan bahwa karena upah adalah sebuah komponen utama biaya (sekitar 60 - 70 persen untuk sebagian besar negara maju), dan karena biaya tinggi direfleksikan dalam harga yang tinggi, maka tingkat inflasi seharusnya berhubungan secara terbalik dengan tingkat pengangguran.
Semakin tinggi
tingkat inflasi maka semakin rendah tingkat pengangguran dan semakin rendah
31
tingkat inflasi maka semakin tinggi tingkat penganggurannya. Penelitian tersebut telah mengembangkan hubungan kurva Phillips yang kita kenal dewasa ini. Brooks (2002) telah menganalisis secara detail tentang mengapa tingkat pengangguran Philippina relatif tinggi dibandingkan dengan beberapa negara asia lain (Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia).
Ia juga telah
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja dan upah nominal di Philippina. Hasil analisis Brooks menunjukkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan pengangguran berkaitan erat dengan GDP rill. Peningkatan 10 persen GDP riil akan meningkatlkan total kesempatan kerja sebesar 7-9 persen. Hubungan yang sama juga ditunjukkan pada sektor pertanian, industri, dan jasa. Tingkat pengangguran berhubungan secara negatif dengan pertumbuhan GDP. Hubungan antara kesempatan kerja dan upah minimum menunjukkan korelasi yang relatif rendah. Peningkatan upah minimum 10 persen akan menyebabkan penurunan agregat kesempatan kerja sebesar 5 - 6 persen. Analisis berdasarkan sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang sensitif dan sektor jasa lebih sensitif terhadap upah minimum dibandingkan dengan kesempatan kerja di sektor industri. Tingkat pengangguran juga berkorelasi positif dengan peningkatan upah minimum riil. Sukwika (2003) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan peningkatan jumlah pengangguran dipengaruhi oleh peningkatan jumlah angkatan kerja dan penurunan kesempatan kerja. Erisman (2003) dalam penelitian yang berjudul Analisis Ekonomi Pasar TK di Wilayah DKI Jakarta, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
32
jumlah pengangguran di DKI Jakarta. Hasil penelitian menyimpulkan faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengangguran di Wilayah DKI Jakarta adalah peningkatan jumlah penduduk.
2.5.3. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada dasarnya, kajian mengenai kebijakan ketenajakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi penyediaan lapangan kerja. Dari berbagai aspek normatif kebijakan ketenagakerjaan ini, upah minimum lebih banyak mendapat perhatian para peneliti sebelumnya. Kajian-kajian tersebut meliputi kajian dari sisi dampak upah minimum secara agregrat maupun secara individu. Hasil penelitian Syafrida (1999) selama periode 1970-1997 menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di antara sektor pertanian, industri dan jasa, peningkatan upah minimum berpengaruh cukup besar terhadap permintaan tenaga kerja di sektor pertanian dan jasa. Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Peneliti Semeru terhadap 200 pekerja di lebih dari 40 perusahaan di wilayah Jabotabek dan Bandung menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja. Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja perempuan, pekerja muda usia, pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerja kasar. Hadi (2002), dalam studinya yang berjudul Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada periode Krisis dan Sebelum Krisis, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja
33
sektoral, pengangguran dan upah riil sektoral pada periode krisis dan sebelum krisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrika dan data seluruh propinsi di Indonesia kecuali DKI dari tahun 1990 – 1999. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (i) jumlah penciptaan kesempatan kerja khususnya sektor industri lebih besar pada periode sebelum krisis ekonomi dibandingkan periode krisis ekonomi tetapi sebaliknya untuk sektor pertanian dan jasa, (ii) jumlah pengangguran lebih responsif terhadap kesempatan kerja dan (iii) upah riil sektoral lebih responsif terhadap upah minimum regional sektoral dan kebutuhan hidup minimum dibandingkan faktor tingkat inflasi. Suryahadi dkk (2003) memperlihatkan peningkatan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sekfor formal perkotaan. Penerapan kebijakan tersebut hanya menguntungkan kelompok pekerja kerah putih. Penelitian yang menggunakan data Survei Tenaga Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1988 hingga tahun 2000 ini memperlihatkan bahwa untuk semua pekerja secara umum, perkiraan elastisitas penyediaan lapangan kerja total terhadap upah minimum adalah minus 0.1.
Dari semua
kelompok pekerja yang mengalami dampak negatif terbesar dari kebijakan upah minimum yang dijalankan pemerintah saat ini adalah kelompok perempuan pekerja, pekerja usia muda, dan pekerja kurang terdidik.
Besaran elastisitas
penyediaan lapangan kerja total terhadap upah minimum untuk kelompok pekerja perempuan dan pekerja usia muda adalah minus 0.307. Adapun besaran elastisitas untuh pekerja yang kurang terdidik adalah sebesar minus 0.196. Satu-satunya yang diuntungkan dari kebijakan upah minimum adalah kelompok pekerja kerah putih yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas penyediaan lapangan kerja terhadap
34
upah minimum sebesar positif 1 persen. Penelitian ini meyimpulkan, penerapan upah minimum menyebabkan terjadinya substitusi pekerjaan yang berbeda. Ketika upah minimum meningkat, perusahaan mengganti pekerja mereka dengan pekerja kerah putih yang lebih terdidik dengan investasi untuk proses produksi yang lebih padat modal dan dengan keterampilan lebih tinggi. Card dan Krueger (1994) melakukan survey dampak peningkatan upah minimum pada 410 restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania berkaitan dengan peningkatan upah minimum di New Jersey dari $ 4.25 menjadi $ 5.0l per jam. Mereka juga melakukan studi perbandingan kesempatan kerja, upah dan harga pada sampel restoran sebelum dan sesudah terjadinya peningkatan upah minimum. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan upah minimum di New Jersey tidak menurunkan kesempatan kerja pada restoran siap saji. Kesimpulan ini tentunya berlawanan dengan model-model upah minimum secara teoritis. Kesimpulan penelitian tersebut banyak menimbulkan reaksi dari penelitipeneliti lain. Sebagai contoh Kennan (1995) melakukan penelitian pada restoran siap saji yang serupa (Burger King, Wendy’s dan KFC) di negara bagian ini untuk waktu yang berbeda (Card dan Krueger awal Maret sedangkan Kennan pada bulan Nopember dan Desember). Penelitian Kennan menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum menurunkan kesempatan kerja.
Hasil kajian Neumark dan
Waschr (2000) dan Levin-Waldman, Oren M (2002) juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan Kennan dan mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian Card dan Krueger tidak mengeksplorasi konsekuensi kenaikan upah minimum terhadap pasar-pasar yang terkait.
35
Zavodny (2000) melakukan kajian tentang dampak upah minimum terhadap kesempatan kerja dan jam kerja dengan menggunakan data negara bagian dan individual panel data di Amerika serikat. Rata-rata data tahunan negara bagian digunakan untuk mengetahui efek upah minimum pada keseluruhan kesempatan kerja dan rata-rata jam kerja per minggu para pekerja muda. Data individu digunakan untuk mengetahui apakah pekerja muda kehilangan jam kerja dengan upah yang tinggi sejalan dengan peningkatan upah minimum.
Ia
menyimpulkan bahwa : (a) pada level negara bagian, peningkatan upah minimum dapat menurunkan kesempatan kerja tetapi tidak menurunkan jam kerja, sedangkan (b) pada level individu, tidak menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum memberi dampak negatif pada jam kerja. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji secara eksplisit bagaimana pengaruh shock di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan transmisinya pada keseimbangan ekonomi makro pada era otonomi daerah berdasarkan disagregrasi yang lebih detail dalam rangka lebih menggambarkan kondisi nyata perilaku pasar tenaga kerja di Indonesia.
36
Tabel 7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran No. Studi Empiris
Model
Kekhususan Studi
Dalam Negeri 1.
Safrida (1999)
Makroekonomi
Dampak kebijakan makroekonomi terhadap perilaku pasar kerja dan indikator makroekonomi Indonesia.
2.
Erisman (2003)
Pasar Tenaga Kerja
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pasar kerja dan terjadinya pengangguran di DKI Jakarta.
3.
Hadi (2002)
Pasar Kerja dan Migrasi
Dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis da sebelum krisis ekonomi di Indonesia.
4.
Kalangi (2006)
Input-Output
Menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan investasi di sektor pertanian dan agroindustri terhadap kesempatan kerja
5.
Mangkuprawira (2000)
Perilaku Pasar kerja
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah angkatan kerja, kesempatan kerja, upah riil dan produktivitas kerja di wilayah Jawa dan Bali.
6.
Sukwika (2003)
Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi
Menganalisis keterkaitan pasar TK dan migrasi di kabupaten Bogor meliputi angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran dan upah terhadap perubahan struktur dan pengembangan wilayah.
7.
Suryahadi (2003)
Distribusi Upah dan penyerapan Tenaga Kerja
Survey dampak peningkatan upah minimum terhadap penyerapan TK di sektor formal perkotaan (Jabotabek dan Bandung).
Luar Negeri 8.
Card dan Krueger Upah minimum (1994)
Survey (awal maret) dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
9.
Kennan (1985)
Upah minimum
Survey (Nov dan Des) dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
10.
Neumark dan Waschr (2000)
Upah minimum
Survey dampak peningkatan upah minimum thd pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania.
11.
Zavodny (2000)
Upah minimum
Dampak upah minimum terhadap kesempatan kerja di AS (data negara bagian dan panel individu).
12.
Levin-Waldman Oren M (2002)
Struktur Upah Regional
Pengaruh upah minimum thd struktur upah regional di AS.