II. TINJAUAN PUSTAKA A. SOSIS 1. Definisi dan Pengklasifikasian Sosis Sosis merupakan terjemahan dari kata Sausage dalam bahasa inggris. Kata Sausage berasal dari bahasa latin ‘Salsus’ yang berarti garam. Secara harfiah ‘Salsus’ diartikan daging cincang yang diawetkan dengan garam (Pearson dan Gillett, 1999). Sosis memiliki definisi yang sangat beragam. Berdasarkan karakteristiknya, sosis didefinisikan sebagai produk olahan daging yang terbuat dari red meat, daging unggas, atau kombinasi keduanya dicampur dengan air, pengikat (emulsifier), dan bumbu (Essien, 2003). Lebih lengkap Essien menambahkan bahwa sosis dapat didefinisikan dari berbagai kriteria yaitu berdasarkan bentuk, tipe, dan proporsi daging. Berdasarkan bentuknya, sosis didefinisikan sebagai produk silindris dengan ujung hemisperikal. Definisi berdasarkan bentuk merupakan definisi sosis secara konvensional. Sosis dibedakan berdasarkan tipenya menjadi beberapa jenis yaitu sosis mentah, sosis matang, sosis fermentasi, dan sosis emulsi. Sosis mentah merupakan jenis sosis yang dijual tanpa melalui proses pematangan, penggaraman, dan pengasapan. Sosis mentah dijual dalam keadaan segar dan beku. Contoh sosis mentah antara lain sosis UK-style yang sangat populer di inggris. Sosis matang adalah sosis yang mengalami pemasakan melalui pengovenan, penggorengan, atau pemanggangan setelah proses pengisian dalam selongsong. Langkah pemasakan ditujukan untuk meningkatkan keamanan dan kepraktisan. Kepraktisan sangat sesuai digunakan di sektor makanan cepat saji. Sosis fermentasi adalah sosis yang memiliki umur simpan relatif panjang akibat adanya produksi asam laktat selama proses fermentasi. Asam laktat yang dihasilkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dengan mekanisme penurunan pH. Sosis fermentasi masih diklasifikasikan lagi menjadi kelas yang lebih spesifik yaitu sosis fermentasi kering dan sosis fermentasi setengah kering. Contoh dari sosis fermentasi kering adalah salami
3
dan pepperoni sedangkan contoh sosis fermentasi setengah kering adalah Lebanon Bologna dan Corvelat. Sosis emulsi adalah tipe sosis yang dimasak dan atau diasap. sosis emulsi memiliki kemiripan dengan sosis mentah. Proses pemasakan atau pengasapan menjadi pembeda dua jenis sosis tersebut. Sosis emulsi memiliki variasi flavor dan warna yang lebih beragam. Karakter unik dari sosis emulsi adalah flavor smoke yang timbul akibat proses pengasapan atau penambahan flavor smoke cair. Contoh sosis emulsi antara lain bologna, frankfurter, dan bruhwurst. Proses pembuatan frankfurter menonjolkan kemampuan alami daging untuk menyerap dan menahan air tanpa penambahan tepung pengikat. Sosis dapat didefinisikan dari proporsi daging yang digunakan. The British Meat Product and Spreadable Fish Product Regulation (1984) mendefinisikan sosis dari kandungan daging dan proporsinya seperti tertera pada Table 1.
Tabel 1. Definisi sosis berdasarkan proporsi daging Jenis
Definisi
Sosis
Minimal dibuat dari 50% daging dimana 50% daging tersebut adalah daging tanpa lemak.
Sosis Sapi
Minimal dibuat dari 50% daging dimana 50% daging tersebut adalah daging tanpa lemak. Daging yang digunakan 50% daging sapi.
Sosis Babi
Harus mengandung 65% daging dimana 50% daging tersebut adalah daging tanpa lemak. Daging yang digunakan 80% daging babi.
Sosis
Minimal mengandung 50% daging dimana 50% daging tersebut
Babi/Sapi
adalah daging tanpa lemak. Daging yang digunakan 80% daging sapi dan babi.
Sumber : The British Meat Product and Spreadable Fish Product Regulation (1984).
4
Di Indonesia, terdapat regulasi terkait definisi sosis. Regulasi berupa standard olahan daging yang dapat disebut sebagai sosis. Regulasi tersebut dikeluarkan oleh BSN yaitu SNI 01-3820-1995.
Tabel 2. SNI 01-3820-1995 Kriteria Keadaan a. Bau b. Rasa c. Warna d. Tekstur Air Abu Protein Lemak Karbohidrat BTP Pewarna dan Pengawet Cemaran Logam
Satuan
Persyaratan
%b/b %b/b %b/b %b/b %b/b
Normal Normal Normal Normal Maks 67 Maks 3 Maks 13 Maks 25 Maks 8
a. Timbal b. Tembaga c. Seng d. Timah e. Raksa Cemaran Arsen Cemaran Mikro a. Angka Total Lempeng b. Bakteri bentuk Koli c. E. Coli d. Enterococci e. C. Prefringens f. Salmonella g. S. Aureus Sumber : BSN
μg/Kg μg/Kg μg/Kg μg/Kg μg/Kg μg/Kg
Maks 2,0 Maks 20 Maks 40 Maks 40 Maks 0.03 Maks 0.1
Kol/g APM/g APM/g Kol/g Kol/g
Maks 105 Maks 10 <3 102 Negatif Negatif Maks 102
Sesuai SNI 01-0222-1995
5
2. Teknologi Produksi Sosis Komersial Sosis merupakan produk pangan yang dihasilkan dari penggabungan komposisi bahan dalam proporsi sesuai (Essien, 2003). Teknologi produksi sosis komersial terdiri dari beberapa tahap terkontrol. Sosis dengan kualitas baik diperoleh dari formulasi optimal dan tahap produksi yang terkontrol secara ketat. Bahan baku produksi sosis dipersiapkan terlebih dahulu. Bahan baku dapat diperoleh dari supplier. Setiap bahan baku diwajibkan memiliki spesifikasi. Spesifikasi yang tertera harus memberi informasi terperinci mengenai kriteria penting bahan baku dan kondisi yang dapat mempengaruhi kualitasnya. Pembelian Bahan Baku Penerimaan Bahan Baku Penyimpanan dan Penyiapan Kuter dan Pencampuran Bahan Pengisian dalam Selongsong Pemasakan Pendinginan Pengecekan Berat
Pengemasan Deteksi Logam Pelabelan Pembekuan dan Distribusi Gambar 1. Diagram alir produksi sosis matang (Essien, 2003).
6
Penerimaan bahan baku dari supplier merupakan titik kritis produksi. Di proses tersebut dibutuhkan operator dengan kemampuan baik dan telah mendapatkan pelatihan sehingga dapat melakukan tugasnya dengan efisien. Semua parameter yang tertera dispesifikasi produk harus dicek untuk menjamin kesesuaian pengiriman dengan pesanan. Bahan baku yang telah sesuai pesanan diterima dan disimpan. Dalam proses penyimpanan juga dilakukan proses persiapan produksi. Persiapan produksi yang dimaksud diantaranya pengkodisian bahan baku, penimbangan, dan formulasi. Menurut Marcello dan Robinson (1998), komponen penting dalam formulasi sosis adalah daging, garam, sodium nitrit, asam askorbat, dan rempah. Garam pada konsentrasi yang cukup berfungsi dalam pengawetan dan pembentukan rasa. Sodium nitrit berfungsi menghambat toksin berbahaya yang dihasilkan oleh Clostridium botulin. Sodium nitrit juga berfungsi dalam pembentukan warna sosis. Asam askorbat berfungsi sebagai reduktan. Reduktan mempercepat reaksi reduksi nitrit menjadi nitrik oksida. Reaksi tersebut akan membentuk warna yang stabil pada produk olahan daging (Soeparno,
2005).
Nitrite
dalam
bentuk
garamnya
mengindikasikan
berpengaruh terhadap flavor daging yang di curing tetapi mekanisme detilnya belum diketahui (Fennema, 1996). Sedangkan rempah akan membentuk produk dengan karakter sensori yang memuaskan (Marcello dan Robinson, 1998). Langkah berikutnya dalam proses produksi sosis adalah kuter dalam bowl chopping. Proses kuter sekaligus berfungsi mencampur semua bahan yang telah dipersiapkan dalam proses formulasi. Kuter dimulai dengan memasukan daging tanpa lemak sebelum ditambahkan bumbu dan es. Garam yang terdapat dalam bumbu mengekstrak protein myofibril daging. Terekstraknya protein myofibril daging mendorong terjadinya proses emulsifikasi yang membentuk tekstur khas pada sosis. Es ditambahkan bertahap selama proses kuter. Penambahan es bertujuan mencegah kenaikan suhu proses kuter. Menurut Essien (2003), es ditambahkan dalam proses untuk mencegah suhu melebihi 80C. Suhu diatas
7
80C menyebabkan protein myofibril tidak larut sempurna dan tekstur yang terbentuk tidak optimal. Lemak, bahan pengikat, dan bahan pengisi ditambahkan diakhir proses kuter. Adonan sosis yang dihasilkan dicetak dalam selongsong. Pengisian dalam selongsong direkomendasikan dalam keadaan vakum. Keadaan vakum dalam pengisian mencegah masuknya udara kedalam selongsong yang dapat mempercepat kerusakan sosis. Selongsong yang digunakan ada dua jenis yaitu selongsong alami dan buatan (Predika, 1983). Selongsong alami merupakan selongsong yang berasal dari bagian tubuh hewan. Contoh jenis selongsong alami adalah selongsong yang berasal dari usus biri-biri. Selongsong buatan merupakan selongsong yang berasal dari buatan manusia. Contoh selongsong buatan adalah selongsong yang dibuat dari selulosa. Sosis yang telah tercetak dalam selongsong diproses lebih lanjut. Proses selanjutnya adalah pemasakan. Metode pemasakan yang digunakan sangat bervariasi. Pemasakan dapat dilakukan melalui pengovenan dengan uap, pengasapan, pengeringan, kombinasi ketiganya, dan penggorengan. Sosis matang yang telah mengalami pemasakan didinginkan sebelum dikemas. Pengemasan dilakukan dengan memperhatikan aspek penampakan. Pengemasan
diharapkan
mampu
menarik
perhatian
konsumen
dan
mempresentasikan produk dengan maksimal. Produk yang telah dikemas dilewatkan dalam detektor logam untuk menjamin tidak terdapat cemaran fisik yang berasal dari potongan logam. Tahap terakhir dalam proses produksi adalah pelabelan. Pelabelan dilakukan dengan memberikan informasi memadai sesuai aturan yang ada. Aturan pelabelan di Indonesia merujuk pada PP No. 69 Tahun 1999. Didalam regulasi tersebut, diberitahukan bahwa label sekurang-kurangnya memberikan informasi tentang nama produk, berat bersih, dan alamat produsen. Peraturan pemerintah tersebut juga mengatur tentang pencantuman klaim halal. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, klaim halal sangat berguna sebagai jaminan produk tersebut aman sesuai syariah islam. Setelah proses pelabelan dilakukan, produk siap didistribusikan ke konsumen.
8
Distribusi dilakukan dalam keadaan beku untuk jenis sosis mentah dan emulsi sedangkan jenis sosis matang dan fermentasi dapat didistribusi tanpa proses pembekuan.
B. EVALUASI SENSORI 1. Definisi Evaluasi Sensori Produk Pangan IFT Sensory evaluation Division (1974) mendefinisikan evaluasi sensori sebagai suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk menimbulkan, mengukur, menganalisa, dan menginterpretasikan reaksi terhadap bahan pangan atau material yang diterima oleh indra penglihatan, penciuman, pencicip, peraba, dan pendengaran. Alat ukur yang digunakan adalah lima indra yang dimiliki manusia. Evaluasi sensori sangat berguna dalam proses evaluasi produk yang akan dikonsumsi oleh manusia. Awalnya evaluasi sensori dikembangkan untuk mempelajari reaksi indra manusia terhadap produk pangan. Reaksi yang dimaksud biasanya dijabarkan dalam bentuk penilaian angka terhadap stimulus yang ditimbulkan dari produk. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, evaluasi sensori produk pangan digunakan sebagai alat untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk baru, memprediksi keinginan konsumen dimasa mendatang, dan memberi gambaran pengembangan produk baru (Ruan dan Zeng, 2004). Evaluasi sensori dilakukan oleh satu atau lebih panelis. Panelis tersebut mengevaluasi sampel yang disediakan. Dalam praktek pelaksanaannya, panelis sensori yang dilibatkan dibedakan berdasarkan latar belakang pengujian sensori. Menurut Ruan dan Zeng (2004), terdapat dua klasifikasi kelas panelis berdasarkan latar belakang pengujian. Pertama adalah berdasarkan kebutuhan pengembangan produk dan kedua adalah berdasarkan penelitian pasar. Klasifikasi pertama melibatkan panelis terlatih sedangkan klasifikasi kedua melibatkan konsumen secara umum. Lebih terinci Meilgaard (1999) mengklasifikasikan pengujian sensori menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tujuan pengujian. Kelompok pertama adalah uji pembedaan. Tujuan uji pembedaan adalah untuk membuktikan dugaan adanya perbedaan diantara dua atau lebih produk.
9
Kelompok berikutnya adalah uji penerimaan. Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk. Kelompok
terakhir
adalah
kelompok
uji
deskripsi
dengan
tujuan
mendeskripsikan sampel baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Berdasarkan pendapat keduanya, dapat disimpulkan bahwa pengujian sensori yang termasuk dalam pengujian lingkup pengembangan produk disarankan melibatkan panelis terlatih dengan pemilihan kelompok uji pembedaan dan uji deskriptif. Sedangkan pengujian sensori yang memiliki lingkup penelitian pasar disarankan melibatkan konsumen secara umum menggunakan kelompok uji penerimaan. Pengujian sensori baik itu uji pembedaan, uji penerimaan, dan uji deskripsi pada dasarnya berusaha mencari perbedaan atau mendefinisikan karakterisasi
suatu
sampel.
Untuk
mendapatkan
jawaban
yang
menggambarkan kondisi nyata, banyak variabel sistematis harus dikontrol. Meilgaard (1999) mengelompokan variabel yang harus dikontrol kedalam tiga kelompok besar. Tiga variabel tersebut adalah pengontrolan pengujian, pengontrolan produk, dan pengontrolan panelis. 2. Pengontrolan Pengujian Variabel
pengontrolan
pengujian
dilakukan
dengan
tujuan
meminimumkan bias, memaksimalkan sensitifitas, dan mengeliminasi pengaruh respon panelis yang tidak diakibatkan oleh sampel. Pengontrolan pengujian dilakukan melalui upaya pengaturan kondisi fisik sarana pengujian. Pengaturan kondisi fisik meliputi pengaturan lingkungan pengujian, penggunaan booths atau meja melingkar, pencahayaan, sirkulasi ruangan, tempat persiapan sampel, dan jalur keluar masuk. Rancangan laboratorium pengujian meliputi Booth, ruangan training dan uji deskriptif, dan ruangan persiapan. Booth merupakan area khusus yang dirancang untuk menjamin pengujian secara individu. Booth terdiri dari kursi, meja sampel, pintu penyajian sampel, dan pembatas antar booth. Pintu penyajian sampel yang direkomendasikan adalah tipe breadbox dan sliding door (Eggert dan Zook, 1986).
10
Ruangan training dan uji deskriptif berfungsi sebagai tempat pemberian instruksi dari panel leader ke panelis. Ruang training juga dapat digunakan sebagai ruangan diskusi. Ruang training harus dilengkapi dengan meja diskusi, beberapa kursi, dan papan tulis. Ruangan persiapan uji merupakan ruangan yang digunakan untuk menyiapkan semua sampel uji baik dari segi kombinasi pengujian maupun jumlah maksimum pengujian. Ruang persiapan disarankan untuk mudah dijangkau atau berdampingan dengan booth dan ruang uji deskriptif sehingga mempermudah teknisi dalam menyiapkan, menyajikan, dan membersihkan sampel setelah penyajian (Eggert dan Zook, 1986).
3. Pengontrolan Produk Tujuan dari pengujian sensori adalah untuk mengukur respon panelis terhadap perbedaan perlakuan, perubahan komposisi bahan, perubahan variabel proses, dan lainya. Berdasarkan tujuan ini, penyajian harus mengeliminasi variabel yang tidak diingingkan dalam pengujian. Untuk itu diperlukan proses persiapan sampel dengan sebaik mungkin. Persiapan produk membutuhkan beberapa peralatan penyajian seperti timbangan, alat-alat gelas, timer, dan peralatan stainless untuk mencampur dan menyimpan sampel. Alat-alat penyajian harus dipilih secara hati untuk mengurangi bias dan variabel yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, bahan dari plastik kurang sesuai karena dapat mempengaruhi, merubah, dan meninggalkan aroma atau flavor produk. Bahan dari kayu sebaiknya tidak digunakan untuk papan pemotong, manguk, dan peralatan mixing karena bersifat porous dan dapat menyerap cairan. Bahan yang terbuat dari gelas sangat baik digunakan untuk penyiapan dan penyajian sampel karena relative tidak terpengaruh oleh sampel yang diuji (Meilgaard, 1999). Aspek lain yang harus diperhatikan adalah suhu pengujian, ukuran penyajian, keseragaman sampel, dan pengkodean. Setelah proses persiapan selesai dan akan dilanjutkan dengan penyajian, sebaiknya suhu sampel diperiksa. Kondisikan suhu sampel sesuai dengan suhu yang diinginkan. Jika
11
diinginkan penyajian dalam keadaan hangat, maka sebaiknya sampel dipanaskan dahulu. Ukuran penyajian harus sama pada tiap subjek. Teknisi sebaiknya menggunakan alat bantu untuk menetapkan ukuran penyajian. Jumlah sampel yang disajikan disesuaikan dengan kemampuan panelis dalam menguji suatu sampel. Sampel harus disajikan dalam bentuk seragam dan telah dihilangkan identitasnya. Sampel-sampel tersebut kemudian diberi kode tiga digit angka acak untuk menyembunyikan identitas sampel (Meilgaard, 1999).
4. Pengontrolan Panelis Penyebab potensial terjadinya variasi pada respon antara lain interaksi panelis dengan lingkungan pengujian, produk, dan prosedur pengujian. Pengaturan interaksi ini sangat penting dilakukan untuk meminimalisasi bias. Panelis yang dilibatkan baik itu panelis terlatih maupun tidak terlatih selayaknya memperoleh instruksi jelas. Instruksi tersebut meliputi cara pengujian, pengisian kuisioner, dan informasi apa yang dibutuhkan melalui pengujian. Panelis yang dilibatkan paling tidak mengetahui atau familiar terhadap prosedur uji seperti banyaknya sampel sekali mencicip, lamanya waktu kontak produk saat mencicip, dan cara pencicipan. Selain pengetahuan minimal tersebut, panelis sebaiknya juga mengerti tipe evaluasi sensori yang dibutuhkan. Panelis sebaiknya diberi tahu pengujian yang dilakukan ditujukan untuk membedakan, mendeskripsikan, atau uji penerimaan. Beberapa pengujian evaluasi sensori membutuhkan panelis terlatih terutama untuk uji deskripsi. Kebutuhan panelis terlatih dapat diatasi dengan mengadakan seleksi dan pelatihan panelis. Untuk menjaga kemampuan panelis terlatih yang telah diperoleh, diperlukan monitoring secara berkesinambungan. Monitoring ini juga diperlukan untuk mencegah menurunnya kemampuan panelis (Meilgaard, 1999). Uji evaluasi yang dapat ditempuh untuk monitoring kinerja panelis diantaranya uji beda dari kontrol dan uji rating.
12
5. Seleksi Panelis Kebutuhan panelis terlatih untuk uji deskripsi diatasi dengan melakukan seleksi panelis dan melatih panelis potensial yang lolos seleksi. Sebelum melakukan seleksi dan training, perusahaan diharapkan memiliki komitmen untuk menganggarkan dana pengembangan kegiatan sensori. Analis sensori bertanggung jawab terhadap uji sensori dan harus mendefinisikan sumberdaya yang dibutuhkan. Panelis potensial harus memenuhi persyaratan tertentu. fisik yang sehat, tidak alergi atau intoleran terhadap pangan tertentu, ketersediaan waktu, memiliki motivasi, dan memiliki ketepatan sensori. Persyaratan ini harus dipenuhi untuk menyediakan keadaan pengujian yang kondusif. Untuk panelis pekerja, ketersediaan waktu merupakan faktor yang harus benar-benar diperhatikan mengingat pengujian sensori bukan bidang pekerjaan utama. Jadwal pengujian perlu disesuaikan untuk mengantisipasi ketersediaan waktu (Meilgaard, 1999). Panelis potensial diseleksi dengan melakukan beberapa uji sensori. Perhatian utama panel leader harus tertuju pada (1) kemampuan panelis dalam membedakan
dan
mendeskripsikan
perbedaan
diantara
produk,
(2)
membedakan dan mendeskripsikan intensitas perbedaan karakteristik tertentu, (3) menguji kemampuan panelis dalam mendeskripsikan suatu karakter baik secara verbal maupun dengan skala (Meilgaard, 1999). Tahap seleksi panelis menurut Meilgaard, 1999 meliputi : a. Prescreening Tahap pertama seleksi panelis menurut Meilgaard adalah prescreening. Tahap ini dapat ditempuh melalui pengisian kuisioner. Tujuan tahap ini adalah untuk menjaring individu yang dapat memverbalkan respon dan berfikir secara terkonsep. b. Uji Ketepatan Tahap berikutnya adalah uji ketepatan. Kandidat yang telah memenuhi syarat kesehatan, ketersediaan waktu, dan menjawab 80% pertanyaan verbal kuisionel awal dapat mengikuti tahap uji ketepatan. Uji ketepatan
13
dilakukan menggunakan uji segitiga atau uji duo-trio dan pendeskripsian suatu atribut tertentu. Panelis diharapkan memenuhi 60-80% jawaban benar dari ulangan uji pembedaan disesuaikan dengan tingkat kesulitan uji. Uji pembedaan dilakukan paling tidak 9 kali sehingga data yang didapat menunjukan keadaan panelis yang sebenarnya. Pendeskripsian atribut dapat berasal dari bau, flavor, atau tekstur. Pendeskripsian harus dilakukan dengan spesifik sesuai
cara
masing-masing
panelis.
Panelis
diharapkan
mampu
mendeskripsikan 80% sampel yang disajikan dengan benar. c. Uji Ranking/Rating Uji berikutnya adalah uji rangking atau uji rating. Uji ini dilakukan setelah panelis mampu menyelesaikan prescreening dan uji ketepatan. Uji tahap ini menggunakan produk aktual yang akan digunakan dalam training. Panelis dikatakan lolos seleksi tahap ini jika mampu menyusun sampel dengan urutan rating atau rangking yang benar untuk 80% atribut uji. d. Wawancara Tahap berikutnya adalah wawancara personal. Wawancara secara personal dilakukan untuk konfirmasi motivasi dan ketertarikan kandidat yang lolos tahap sebelumnya. Wawancara dilakukan oleh panel leader. Panelis yang ternyata tidak memiliki motivasi tinggi sebaiknya tidak dilibatkan. Tahap seleksi menghasilkan panelis potensial yang telah memenuhi kriteria. Panelis potensial tersebut kemudian dilatih dalam suatu training untuk membentuk kerangka pemikiran yang terstruktur dalam melakukan pengujian sensori. 6. Uji Rating (Meilgaard, 1999) Prinsip dari uji rating adalah penilaian intensitas atribut sensori suatu produk tertentu dalam bentuk skala intensitas. Sampel yang digunakan bervariasi dari 3, 6, atau 8. Pengujian dapat dilakukan dengan memberi sampel satu per satu atau sejumlah sampel sekaligus.
14
Skala intensitas yang digunakan sebaiknya berupa skala garis. Skala garis menghasilkan data rasio. Penggunaan data rasio sangat menentukan jenis statistik uji yang digunakan dalam pengolahan data. Jenis data rasio merupakan data kontinu sehingga pengolahan data dapat dilakukan dengan sederhana melalui analisis ragam (ANOVA). Analisis ragam merupakan analisis statistik yang biasa digunakan dalam analisis uji deskripsi dan uji lain dimana sampel yang digunakan lebih dari dua dan diukur dengan skala respon (Heymann dan Lawless, 1999). Analisis data yang dilakukan menerapkan rancangan blok acak lengkap. Panelis dijadikan sebagai blok dan perlakuan adalah sampel-sampel yang diuji. Statistik uji yang digunakan adalah uji F. F hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F tabel dengan taraf dan derajat bebas tertentu. Jika F hitung lebih besar dari F tabel, maka disimpulkan telah ditemukan bukti minimal ada satu sampel yang memiliki perbedaan dengan sampel lain pada taraf yang digunakan dan sebaliknya. Jika terdapat signifikansi perbedaan, maka dibutuhkan uji lanjut untuk mengetahui dengan tepat sampel mana saja yang berbeda pada taraf yang digunakan. Uji lanjut atau post hock test yang digunakan adalah uji Tuckey. Uji lanjut tersebut memfasilitasi adanya pembandingan antar sampel. Hasil akhir uji lanjut adalah pengelompokan sampel yang memiliki kesamaan rating dan pembedaan antar kelompok yang memiliki rating berbeda pada taraf yang digunakan.
7. Uji Deskripsi (Meilgaard, 1999) Uji deskripsi adalah uji yang dapat mendeteksi dan mendeskripsikan aspek sensori baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari produk yang di uji. Jumlah panelis yang dilibatkan tergantung dari seberapa besar perbedaan akan mempengaruhi keputusan. Jika perbedaan kecil akan memberi efek besar, maka sebaiknya panelis yang dilibatkan relatif besar. Pelibatan panelis yang banyak biasanya dilakukan pada uji produk masal seperti minuman ringan. Tetapi jika toleransi perbedaan besar, maka panelis yang dilibatkan relatif lebih sedikit.
15
Panelis
harus
memiliki
kemampuan
untuk
mendeteksi
dan
mendeskripsikan atribut sensori yang melekat pada sampel. Aspek kualitatif dari produk digunakan untuk menentukan atribut penampakan, aroma, flavor, tekstur, atau suara produk yang berbeda dengan produk lain. Panelis yang dilibatkan harus terlatih untuk membedakan dan merating aspek kuantitatif sampel yang digunakan. Hal ini diperlukan agar panelis dapat mendefinisikan seberapa besar perbedaan karakteristik yang ada pada sampel. Uji
deskriptif
memiliki
beberapa
komponen
yaitu
komponen
karakteristik atau aspek kualitatif, intensitas atau aspek kuantitatif, aspek waktu, dan aspek integrasi. Aspek kualitatif meliputi definisi profil sensori dari sampel. Profil deskriptif dari sampel antara lain tentang karakter penampakan, karakter aroma, karakter flavor, karakter tekstur dan sebagainya. Aspek kuantitatif adalah intensitas perbedaan dari karakteristik sensori sampel. Perbedaan tersebut digambarkan dalam bentuk nilai pengukuran. Skala pengukuran yang dapat digunakan terbagi menjadi dua jenis yaitu skala kategori dan skala garis. Skala kategori menggunakan angka 0-9 atau dengan jarak yang lebih jauh. Kelemahan skala kategori adalah terbatas oleh kosa kata yang ada dan jarak antar skala yang belum tentu sama. Skala garis menggunakan garis sebagai pengukur respon. Panjang garis yang digunakan adalah 15 cm. Panelis dapat menggambarkan intesitas suatu sampel dengan member tanda pada garis yang disediakan. Kelebihan dari skala garis adalah intensitas yang terukur lebih teliti karena terhindar dari pengharapan angka kesukaan. Tetapi penggunaan skala garis juga memiliki kelemahan yaitu kesulitan panelis untuk mempertahankan konsistensi karena posisi tanda susah diingat. Aspek waktu dalam uji deskriptif didefinisikan sebagai lama waktu kontak panelis dengan sampel. Aspek integrasi mengharuskan panelis mampu mengatur beberapa penilaian yang terintegrasi pada produk. Uji deskriptif dapat ditempuh dalam beberapa metode diantaranya Flavor Profil Method (FPM), Quantitative Descriptive Analysis (QDA), Spectrum Descriptive Analysis (SDA), dan Texture Profile Method (TPM).
16
FPM merupakan jenis uji deskriptif yang berusaha mendeskripsikan flavor dari suatu produk atau ingredient. FPM merupakan metode berdasarkan pada teori bahwa flavor terdiri dari rasa yang dapat diidentifikasi, aroma, dan atribut kimia yang dapat dirasakan, ditambah dengan kompleks atribut yang belum bisa diidentifikasi (Chambers dan Wolf, 1996). Piper dan Scharf menambahkan bahwa skala yang digunakan di uji FPM adalah skala kategorik. Hasil dari evaluasi individu didiskusikan dengan bantuan moderator hingga konsensus kelompok dihasilkan. Kerugian dari FPM diantaranya pengukuran individu hilang akibat konsensus kelompok. FPM lemah disisi pengulangan dan verifikasi statistik. FPM membutuhkan panelis sebanyak 4 hingga 6 panelis terlatih. TPM memiliki kesamaan dengan FPM dalam hal jumlah panelis yang dibutuhkan dan hasil analisis yang didiskusikan. TPM merupakan uji deskriptif yang khusus dirancang untuk pengujian tekstur. Pengujian dimulai dengan mengklasifikasikan tekstur berdasarkan karakter mekanik, karakter geometrik dan karakter lainnya. Panelis diberikan pelatihan mengenai prinsip teori tekstur dan konsep penekanan dan peregangan bahan. Panelis diberikan produk dengan tekstur beragam untuk dicicipi (Rosenthal, 1999). SDA menurut Piper dan Schraft membutuhkan 15 panelis terlatih dalam pelaksanaan pengujian. SDA memiliki banyak standard ditiap atribut sehingga disebut sebagai spectrum descriptive analysis. Profil sensori produk yang akan diukur telah ditentukan terlebih dahulu oleh analis. Selain digunakan untuk mengevaluasi produk pangan, SDA juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi produk kosmetik (Dooley, 2004).
8. Quantitative Descriptive Analysis (Meilgaard, 1999) Metode QDA didasarkan pada analisis statistik untuk menentukan kondisi, prosedur, dan panelis yang dilibatkan pada analisis produk yang spesifik. Metode QDA dikembangkan oleh Tragon Corp. Panelis diseleksi dari banyak calon panelis terlatih berdasarkan kemampuannya mendiskriminasikan perbedaan karakter sensori diantara beberapa sampel dari produk spesifik.
17
Produk spesifik yang dimaksud adalah produk yang akan digunakan selama training. Prinsip dari QDA adalah menggunakan kemampuan panelis terlatih untuk mengukur intensitas atribut tertentu yang spesifik dalam kondisi reproducible sehingga menghasilkan kuantifikasi atribut yang komperhensif dan dapat diolah melalui analisis statistik (Chapman et al., 2001). Proses training panelis QDA membutuhkan produk dan ingredient referensi. Referensi digunakan untuk pembentukan terminologi yang sama antar panelis. Terminologi yang telah terbentuk diharapkan tetap konsisten tetapi tidak membatasi panelis dalam memberi penilaian. Respon panelis terhadap suatu stimulus dikuantifikasi dengan penggunaan skala garis. Skala garis yang digunakan memiliki panjang 15 cm. Ujung kiri dan kanan skala garis diberi label sesuai karakteristik maksimum dan minimum yang ingin diukur. Di dalam proses pengujian menggunakan metode QDA, diperlukan standard atau reference sebagai panduan bagi panelis dalam menilai intensitas atribut sampel. Standard atau reference merupakan hal penting untuk membangun bahasa penilaian bagi panelis sehingga penilaian memiliki tingkat reprokdusibilitas tinggi ketika dilakukan ditempat dan waktu yang berbeda (Drake dan Civille, 2002). Panelis QDA menilai produk dalam booth yang tersekat untuk mengurangi interaksi antar panelis. Panelis tidak diperbolehkan mendiskusikan data, terminologi, atau sampel setelah sesi pengujian selesai. QDA menurut Piper dan Scharf (2004) memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan QDA salah satunya adalah membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk proses training panelis. Kelebihan QDA adalah tingkat keberulangan yang tinggi dan verifikasi statistik yang cukup teliti disemua hasil analisis.
18
C. ANALISIS STATISTIK 1. Rancangan Acak Kelompok Lengkap (Montgomery, 2001) Rancangan acak kelompok lengkap atau yang lebih sering disebut rancangan acak kelompok (RAK) digunakan dalam menganalisis ragam dari respon panelis ditiap atribut. RAK merupakan rancangan percobaan yang memiliki dua variabel perlakuan. Salah satu variabel tersebut merupakan faktor kelompok. Model statistik RAK adalah sebagai berikut : Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan : Yij
: Respon pada perlakuan ke I dan kelompok ke j
µ
: Rataan umum
τi
: Pengaruh perlakuan ke i
βj
: Pengaruh kelompok ke j
εij
: Pengaruh eror perlakuan ke I dan kelompok ke j.
RAK diterapkan pada percobaan dimana setiap unit contoh mendapat perlakuan yang sama tetapi berada di kelompok yang berbeda. Dalam rancangan tersebut, variabel kelompok dikeluarkan sebagai faktor sistematis yang dapat dikendalikan. Dengan demikian galat error hanya ditimbulkan oleh faktor yang memang sudah tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. 2. Analisis Regresi Sederhana (Draper dan Smith, 1992) Analisis regresi merupakan alat analisis yang digunakan untuk menyelidiki hubungan antar variabel. Pada suatu keadaan tertentu, menarik untuk diketahui pengaruh yang ditimbulkan suatu variabel terhadap variabel yang lain. Hubungan tersebut didekati dengan penggambaran dalam fungsi matematis yang sederhana. Analisis regresi sederhana merupakan bagian dari analisis regresi. Variabel dalam analisis regresi sederhana hanya ada dua yaitu variabel independent dan variabel dependent. Kedua variabel tersebut saling berpasangan. Variabel independent merupakan variabel yang menyebabkan variasi pada variabel dependen. Variabel independent bersifat tetap sedangkan 19
variabel dependent bersifat acak. Peneliti dapat menetapkan taraf variabel independent yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruhnya terhadap respon unit sampel yang bersifat acak. Model yang digunakan dalam regresi sederhana adalah sebagai berikut : Y = β0 + β 1 X + ε Keterangan : Y : Respon akibat pengaruh variable independent β0 : Intersep model X : Variabel independent β1 : Gradien persamaan garis lurus ε : Galat Kelayakan model diduga dari nilai koefisien determinasi yang dihasilkan dari persamaan garis regresi linier sederhana yang dihasilkan. Koefisien determinasi (R2) menunjukan tingkat penjelasan model terhadap variasi data yang diperoleh dari hubungan dua variabel yang saling berpasangan dalam hubungan linier sederhana. Jika diperlukan, kelayakan model dapat diuji menggunakan statistik uji korelasi pearson. Nilai koefisien determinasi dalam beberapa kasus tidak dapat menunjukan hubungan linier sederhana dengan tepat. Untuk itu diperlukan uji lain yang dapat menjamin bahwa model yang digunakan layak. Nilai korelasi pearson yang signifikan menunjukan bahwa model memiliki korelasi dan saling mempengaruhi dalam hubungan garis lurus sederhana. 3. Analisis Biplot (Johnson dan Wicherin, 1998) Analisis biplot merupakan upaya grafis yang mengubah tabel ringkasan dalam bentuk dua dimensi. Analisis biplot termasuk dalam analisis peubah ganda dengan peubah respon lebih dari satu. Informasi yang diberikan oleh biplot mencakup objek dan peubah dalam satu gambar dua dimensi. Metode ini tergolong dalam analisis eksplorasi peubah ganda yang ditujukan untuk menyajikan data peubah ganda dalam peta dua dimensi, sehingga perilaku data mudah dilihat dan diinterpretasikan. Menurut Jolliffe (2002), biplot adalah teknik statistika deskriptif yang dapat disajikan secara
20
visual guna menyajikan secara simultan n obyek pengamatan dan p peubah dalam ruang bidang datar, sehingga ciri-ciri peubah dan obyek pengamatan serta posisi relatif antar obyek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis. Dalam hubungannya dengan evaluasi sensori dan pengembangan produk, Hadi (2000) mengatakan bahwa analisis Biplot sangat berguna dan cukup kuat untuk memperoleh informasi tentang karakter produk baru relatif terhadap konsep ideal konsumen dan merek pesaing. Analisis Biplot dengan pendekatan eksplorasi kualitatif melalui konsep jarak relatif objek dan peubah juga dapat menghasilkan saran pengembangan bagi roduk baru dalam rangka memenuhi kepuasan konsumen. Analisis biplot merupakan pereduksi dari dari ruang berdimensi besar ke dimensi dua. Konsekuensi dari reduksi tersebut adalah hilangnya informasi yang terkandung dalam biplot. Informasi minimal yang didapatkan dari biplot adalah sebesar 70% (Jolliffe, 2002). Terdapat empat informasi penting yang bisa didapatkan dari output biplot yaitu : a. Kedekatan antar objek Biplot menyajikan objek mana saja yang memiliki karakteristik dengan objek yang lain. Dalam persaingan industri pangan, kemiripan karakter dapat disebut sebagai produk pesaing. b. Keragaman peubah Biplot menyajikan informasi peubah mana yang nilainya relative sama pada semua objek atau sebaliknya peubah mana yang nilainya relatif sangat berbeda pada semua objek. Informasi ini mengindikasikan pada peubah mana harus dilakukan peningkatan atau sebaliknya. Peubah berkeragaman kecil digambarkan dengan garis vektor yang pendek dan sebaliknya. c. Korelasi antar peubah Informasi ini digunakan untuk menilai bagaimana suatu peubah mempengaruhi atau dipengaruhi oleh peubah yang lain. Peubah digambarkan dalam garis lurus berarah. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi digambarkan duabuah garis yang berhimpit atau membentuk sudut sempit. Dua peubah yang memiliki korelasi negative tinggi
21
digambarkan saling bertolak belakang atau membentuk sudut yang besar. dua peubah yang tidak memiliki korelasi digambarkan oleh dua garis dengan sudut mendekati 900C. d. Nilai peubah pada suatu objek Informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari tiap objek. Objek yang letaknya searah dengan arah suatu peubah dapat dikatakan objek tersebut nilainya diatas rata-rata. Sebaliknya, objek yang terletak berlawanan dengan arah suatu peubah dapat dikatakan objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata. Objek yang berada di tengah dapat dikatan memiliki nilai relatif dekat dengan rata-rata.
22