II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PEMANASAN GLOBAL Pemanasan global (Global Warming) adalah kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan dataran bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,18 ºC selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Peningkatan suhu global diperkirakan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya muka air laut dan meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim (Smart Click 2011). Pemanasan bumi yang telah berlangsung selama ini sehingga memungkinkan untuk ditempati manusia terjadi karena adanya proses fisik dan kimia atmosferik yang kompleks. Sebagian panas sinar matahari yang diterima permukaan bumi dipantulkan kembali sebagai radiasi infra merah ke angkasa. Proses ini dikenal dengan efek rumah kaca, yaitu bahwa panas yang timbul di dalam lapisan atmosfer bawah, dekat dengan permukaan bumi akan terperangkap. Keseimbangan energi antara kedua proses tersebut menentukan suhu rata-rata di permukaan bumi. Proses ini telah terbukti merupakan akibat langsung terabsorpsinya sebagian radiasi infra merah oleh uap air, karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan gas-gas lainnya (Soedomo 2001). Kenaikan suhu yang diprediksi oleh IPCC mencapai 1-3,5 ºC pada akhir tahun 2100 (IPCC 1992), disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca (CO2, N2O, CH4, dan CFCs) di atmosfer bumi sehingga menghambat pantulan radiasi matahari (inframerah) dari permukaan bumi ke luar angkasa. Diantara gas-gas rumah kaca tersebut, CO2, CH4 dan N2O memiliki sifat seperti efek rumah kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan bumi bersifat panas sehingga suhu di atmosfer bumi makin meningkat (Setyanto 2004). Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Agenda untuk menyelesaikan masalah ini diawali pada tahun 1992 dengan diadakannya Earth Summit di Rio de Jeneiro, Brazil yang menghasilkan Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) dan ditandatangani oleh 167 Kepala negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negaranegara industri untuk menstabilkan emisi CO2 (KLH 2007). Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 mengenai perubahan iklim dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 namun diharapkan untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC hasil penyusunan Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication) pada tahun 1999 sebagai bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim. Saat ini Indonesia sedang menyiapkan penyusun Komunikasi Nasional Kedua yang diharapkan dapat selesai pada tahun 2009. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sebagai lembaga yang menjadi focal point dalam implementasi program-program yang berhubungan dengan perubahan iklim (KLH 2007).
3
B. EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) Gas rumah kaca sudah ada sejak awal terbentuknya bumi. Gas ini masuk ke bumi melalui proses alamiah dan kegiatan manusia. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Penumpukan gas-gas ini menyebabkan sinar infra merah yang dipantulkan ke bumi semakin besar dan berakibat pada peningkatan suhu bumi. Fenomena terjadinya pemanasan global diakibatkan oleh semakin meningkatnya jumlah gas buang penyebab efek rumah kaca (Cicerone 1987). Efek rumah kaca (green house effect) merupakan suatu keadaan yang terjadi di atmosfer pada lapisan troposfer bumi yang timbul akibat semakin banyaknya gas buang ke lapisan atmosfer kita yang memiliki sifat penyerap panas yang ada, baik yang berasal dari pancaran sinar matahari maupun panas yang ditimbulkan akibat dari pendinginan bumi, radiasi solar dan radiasi panas tersebut kemudian dipancarkan kembali ke permukaan bumi. Panjang gelombang yang dapat diserap dan terperangkap oleh gas rumah kaca adalah untuk panjang gelombang yang lebih besar dari 1200A (sinar infra merah).
Gambar 1. Efek rumah kaca Dalam rumah kaca radiasi solar gelombang pendek dari matahari ditangkap dan dipancarkan sebagai gelombang panjang infra merah, demikian halnya dengan radiasi panas dari tanah dan permukaan lainnya di bawah lapisan rumah kaca. Radiasi panas yang berasal dari bagian bawah lapisan rumah kaca ditangkap dan diserap dalam lapisan rumah kaca, yang tidak dapat mentransmisikan radiasi gelombang panjang ke bagian luar yang memiliki suhu yang lebih rendah daripada lapisan rumah kaca. Pada suhu rata-rata permukaan bumi sebesar 288 K (15 ºC), emisi gelombang panjang (infra merah) yang dipancarkan kembali oleh permukaan bumi adalah sebesar 390 W/m2, sedangkan pada lapisan terluar atmosfer emisi terukur hanya sebesar 236 W/m2. Perbedaan emisi yang terukur ini menunjukkan terjadinya perangkap panas dalam lapisan atmosfer atau terjadi efek rumah kaca. Adanya peningkatan emisi gas rumah kaca, keseimbangan antara radiasi yang datang dan radiasi yang dipantulkan kembali akan terjadi apabila suhu permukaan bumi dan bagian bawah atmosfer meningkat emisinya akan mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan suhu dari permukaan bumi dan atmosfer bagian bawah atau disebut juga pemanasan global (Soedomo 2001).
4
Peningkatan penggunaan energi yang diperlukan untuk kegiatan industrialisasi, intensifikasi budidaya tanaman dan kegiatan jasa komersial dan non komersial di perkotaan yang sangat pesat, telah menjadi ciri perkembangan dunia pada beberapa dasa warsa terakhir ini. Negara-negara berkembang seperti Indonesia memerlukan tingkat pembangunan yang tinggi untuk mengejar ketinggalan yang ada. Sementara itu negara maju tetap pula memerlukan tingkat pengembangan yang paling tidak setara dengan laju perkembangan yang telah mereka alami selama ini. Dapat diduga bahwa tingkat emisi gas-gas rumah kaca juga akan semakin meningkat dengan laju yang dipercepat (Rachman 2007). Kontribusi gas rumah terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluoro-carbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6). Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global WarmingPotential / GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Semakin besar nilai GWP makin bersifat merusak (Sugiono 2006).
Gambar 2. Persentase emisi gas rumah kaca (Sumber : Putt del Pino dan Bhatia 2002)
a. Emisi Karbondioksida (CO2) Emisi CO2 dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak bumi dan gas bumi, emisi dari industri semen dan konversi lahan. Berdasarkan data dari Carbon Dioxide Information Analysis Center tahun 2000 penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74 % dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24 % dan industri semen sebesar 3 %. Emisi CO2 merupakan bagian terbesar dari emisi GRK di Indonesia dengan pangsa sebesar hampir 70 % sedangkan gas lainnya sebesar 30 %. Berdasarkan laporan Komunikasi Nasional Pertama, sumber utama emisi GRK adalah sektor energi dan sektor kehutanan. Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-macam aktivitas seperti: produksi energi, pengolahan energi dan juga pembakaran energi yang digunakan baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan industri lainnya (Anonim 2009). Karbondioksida merupakan unsur gas rumah kaca yang paling berpengaruh. Sumber-sumber polusi terdiri atas pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, perubahan tata guna lahan melalui pembukaan hutan secara besar-besaran dan lain-lain. Polutan utama adalah karbon yang
5
mencapai hampir setengahnya dari seluruh polutan udara yang ada. Peningkatan produksi dan pemakaian energi memberikan kenaikan emisi gas CO2 yang besar (Fardiaz 1992). Terkait dengan emisi CO2 yang berasal dari lahan pertanian, Setyanto (2008) menyatakan karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Meskipun emisi CO2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman saat berlangsungnya proses fotosintesis dan dikonservasikan ke bentuk biomassa tanaman. Produksi CO2 dari tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba.
b. Emisi Metana (CH4) Data dari World Meteorologycal Organization (2007) menunjukkan metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18,6 % dari total radiasi yang diterima bumi. Metana secara tidak langsung dapat menimbulkan efek negatif pada iklim permukaan bumi dengan cara mempengaruhi ozon pada lapisan troposfer dan uap air pada lapisan stratosfer. Metana teremisikan ke atmosfer melalui proses alami (~40 %, contoh : lahan basah dan rayap) dan sumber-sumber antropogenik (~60 %, contoh : eksploitasi bahan bakar fosil, lahan sawah, ruminansia, pembakaran biomassa, dan pengolahan tanah). Metana dapat dihilangkan dari atmosfer melalui reaksi dengan senyawa OH dan mampu bertahan di atmosfer selama ~9 tahun. Sebelum era industri, kelimpahan metana di atmosfer adalah ~700 ppb. Sedangkan pada tahun 2006 rata-rata secara keseluruhan kelimpahan metana di atmosfer mencapai 1.782 ppb. Dengan demikian, semenjak era pra-industri sampai tahun 2006, konsentrasi metana di atmosfer meningkat sampai 155 %. Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih besar dari CO2. Bakteri metanotrop pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian diubah menjadi CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfer dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto 2008). Emisi metana merupakan gas emisi yang juga potensial mencemari lingkungan bahkan berkontribusi dalam pemanasan global. Walaupun gas karbodioksida merupakan gas yang paling berpengaruh terhadap pemanasan global, radiasi gas metana lebih tinggi dibandingkan karbondioksida. Pemanasan metana terhadap atmosfer meningkat 1 % setiap tahunnya, dan hewan ternak berkontribusi menghasilkan gas metana sebesar 3 % dari total gas rumah kaca (Tyler dan Ensminger 2006).
c. Emisi Dinitrogen oksida (N2O) Dinitrogen oksida (N2O) adalah gas rumah kaca utama yang berkontribusi menyebabkan pemanasan global kira-kira 6 %. Konsentrasi ini di atmosfer meningkat 0,25 % per tahun (IPCC 2001). Aktivitas mikrobiologi dalam tanah merupakan sumber utama N 2O di atmosfer. Dalam kondisi kaya oksigen (aerobik) N2O terbentuk melalui proses nitrifikasi sedangkan dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobik) N2O terbentuk melalui proses denitrifikasi. Kedua proses tersebut diatur oleh keadaan fisik tanah, faktor biologi dan kimia serta interaksi keseluruhan (Pihlatie Mari et al. 2004). Dinitrogen oksida adalah gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan pemanasan global secara siginifikan dan berdampak negatif pada lingkungan. Dinitrogen oksida (N2O) berkontribusi sebesar 6,5 % dari total radiasi yang diterima permukaan bumi. Kelimpahan N 2O di atmosfer sebelum era industrialisasi adalah 270 ppb. Emisi N2O berasal dari berbagai sumber alami dan antropogenik termasuk laut, tanah, penggunaan bahan bakar, pembakaran biomassa, pemakaian pupuk, dan berbagai
6
proses yang terjadi di industri. Dari berbagai sumber emisi tersebut, kegiatan antropogenik merupakan penyumbang emisi N2O terbesar yaitu 1/3 bagian dari total emisi N2O. Emisi N2O dapat dihilangkan dari atmosfer melalui proses fotokimia di lapisan stratosfer. Secara keseluruhan, rata-rata kelimpahan N2O selama tahun 2006 sebanyak 320,1 ppb, meningkat 0,8 ppb dari tahun sebelumnya. Jadi bila dibandingkan dengan sebelum era industrialisasi, emisi N2O di atmosfer pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19 % (World Meteorologycal Organization 2007). Menurut Robertson dan Grace (2004), secara umum hanya tiga GRK yang keberadaannya dipengaruhi oleh sektor pertanian: CO2, N2O dan CH4. Meskipun CH4 dan khususnya N2O konsentrasinya di atmosfer jauh lebih kecil dari CO2, nilai GWP (Global Warming Potential) dari kedua jenis GRK tersebut cukup tinggi sehingga adanya perubahan kecil tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap radiasi yang diterima bumi. GWP dari N 2O adalah 293, yang artinya satu molekul N2O yang terbebaskan ke atmosfer menyebabkan dampak radiasi 293 kali lebih besar dari dampak yang ditimbulkan CO2 pada saat yang sama.
C. POLUSI / PENCEMARAN UDARA Fardiaz (1992) menyatakan bahwa udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H 2O dan karbon dioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi tergantung dari cuaca dan suhu. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas seperti sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), dan karbon monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami. Partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin. Selain disebabkan oleh polutan alami, polusi udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia dan aktivitas industri. Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukkannya. Emisi merupakan zat atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang berpotensi sebagai unsur pencemar udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer. Sumber emisi berasal dari setiap usaha atau kegiatan yang menghasilkan emisi dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Sumber pencemar dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami (natural) dan kegiatan antropogenik. Contoh sumber alami adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu, spora tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran udara akibat aktivitas manusia (kegiatan antropogenik), secara kuantitatif sering lebih besar. Untuk kategori ini sumbersumber pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, dari persampahan, dan industri (Soedomo 2001).
D. CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku sejak 16 Februari 2005. Sejak penandatangan Persetujuan Marrakesh tahun 2001, yang menetapkan aturan-aturan dasar
7
bagi mekanisme Kyoto-Clean Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint Implementation (JI) / Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET) / Perdagangan Emisi-CDM telah menjadi pelopor (Pembina Institute 2003). CDM adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang bergabung di dalam Annex I, yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sampai angka tertentu per tahun 2012 seperti yang telah diatur dalam Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex I untuk melaksanakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca. Negara-negara non-Annex I yang dimaksud adalah yang menandatangani Protokol Kyoto namun tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya. Satuan jumlah emisi gas rumah kaca yang bisa diturunkan dikonversikan menjadi sebuah kredit yang dikenal dengan istilah Certified Emmission Reduction (CERs)-satuan emisi yang telah disertifikasi (MOE 2005). CDM bertujuan membantu negara-negara Annex I memenuhi target penurunan emisi gas rumah kacanya dengan memanfaatkan CER atau dapat pula dengan menerapkan kegiatan-kegiatan pengurangan/penyerapan GRK di negara-negara nonAnnex I dan menghitung nilai GRK yang berhasil dikurang/diserap sebagai “kredit” yang dapat diperjualbelikan (MOE 2005).
Tabel 1. Enam jenis gas rumah kaca berdasarkan Protokol Kyoto Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO2) Metana (CH4) Dinitrogen oksida (N2O) Hidroflorokarbon (HFCs) Perflorokarbon (PFCs) Sulfur heksaflorida (SF6) Sumber : MOE (2005)
Global Warming Potential (GWP) 1 23 293 140-11.700 6.500-9.200 23.900
Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto terutama karena ancaman pemanasan global yang berpengaruh langsung terhadap negara ini dan menyebabkan tekanan politis kepada para pengambil kebijakan yang telah berusaha keras untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Tujuan strategis dari Protokol Kyoto adalah mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Untuk Indonesia, ratifikasi juga memberikan peluang ekonomi melalui penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih atau dikenal dengan CDM. Sebagai negara non-Annex I, Indonesia ingin menarik negara-negara Annex I untuk bekerja sama dalam proyek CDM. Berdasarkan kajian strategis nasional sektor kehutanan dan energi yang dilakukan pada tahun 2001/2002, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23-24 juta ton CO2 setara per tahun. Potensi yang besar ini harus didukung sepenuhnya oleh pengaturan institusional yang kokoh (Yayasan Bina Usaha Lingkungan 2003). Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 mengenai perubahan iklim dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 namun diharapkan untuk melaporkan besarnya emisi CO 2 yang dihasilkan. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC hasil penyusunan Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication) pada tahun 1999 sebagai bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim. Saat ini Indonesia sedang menyiapkan penyusun Komunikasi Nasional Kedua yang
8
diharapkan dapat selesai pada tahun 2009. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sebagai lembaga yang menjadi focal point dalam implementasi program-program yang berhubungan dengan perubahan iklim (KLH 2006).
E. POTENSI EMISI GRK PADA INDUSTRI GULA Pemakaian energi (bahan bakar minyak dan fosil) dalam proses industri mengeluarkan emisi gas buang dalam bentuk gas dan partikulat, terutama SOx, NOx, CO, CO 2. Jenis emisi ini terutama terdapat di daerah aglomerasi industri perkotaan. Sumber utama pencemar golongan ini di daerah industri adalah sektor transportasi kendaraan bermotor, emisi dari keluaran industri berupa cerobong asap, serta pemukiman. Pemakaian bahan bakar sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi listrik yang ada pemakaian bahan bakar fosil ini memberikan emisi pencemar udara konservatif, yang meliputi CO, Hidrokarbon, NOx, Partikulat (Total Tersuspensi) dan SOx. Unsur-unsur ini juga menjadi indikator utama pencemaran udara (Soedomo et al. 1993). Sektor industri merupakan sektor utama dalam memberikan kontribusi NOx, partikulat, dan terbesar untuk CO2 dari pembakaran bahan bakar. Besarnya kontribusi terhadap unsur-unsur tersebut terutama disebabkan oleh pemakaian bahan bakar berat, seperti jenis residu, solar dan diesel. Gas alam hanya dipakai dalam persentase yang kecil dibandingkan dengan ketiga jenis bahan bakar lainnya, meskipun pada dasarnya gas alam memberikan kualitas emisi gas buang yang lebih baik dan efisiensi energi yang lebih tinggi (Soedomo et al. 1993). Tiga gas rumah kaca utama yang terdiri dari CO2, CH4 dan N2O dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan proses produksi pada industri, aktivitas pertanian, penanganan dan pengolahan limbah serta perubahan penggunaan lahan (Wei et al. 2008). Industri gula yang menggunakan energi berupa bahan bakar fosil maupun biomassa berpotensi menghasilkan emisi GRK dan turut berpartisipasi dalam terjadinya pemanasan global. Ditambah lagi potensi emisi GRK yang berasal dari pengolahan limbah.
F. PERHITUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA Perhitungan emisi dapat dilakukan dengan menghitung konsumsi energi. Menurut Laksamana (2007) konsumsi energi bertujuan untuk mengetahui dan memperkirakan besarnya energi yang dibutuhkan dalam proses produksi. Perhitungan tersebut dapat pula dipergunakan untuk mengukur tingkat efisiensi proses produksi serta tindakan-tindakan penghematan dan konservasi energi pada masing-masing bagian produksi. Menurut Goswani (1986) konservasi energi merupakan kegiatan pengurangan atau penghematan penggunaan energi melalui suatu cara peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi tanpa mengurangi produktivitas produksi. Studi yang dilakukan secara global sejak awal tahun 1970-an menunjukkan bahwa konservasi energi dapat dilakukan melalui penerapan manajemen energi. Perhitungan emisi, dilakukan dengan menggunakan dasar perhitungan emisi yang telah diakui oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam laporan IPCC 2006, perhitungan emisi yang diakibatkan pembakaran bahan bakar adalah sebagai berikut : Emisi GRK = konsumsi bahan bakar x nilai kalor bersih x faktor emisi
9
Faktor emisi yag digunakan berdasarkan dari bahan bakar yang digunakan pada industri yang bersangkutan, nilai yang digunakan merupakan nilai-nilai konstanta yang telah ditentukan (default) oleh IPCC (Tabel 2).
Tabel 2. Faktor emisi pembakaran bahan bakar Produk Bensin Solar Batu Bara LPG IDO Kayu Bakar Limbah Industri Sumber : IPCC (2006)
Faktor Emisi CO2 (kg/TJ) 69.300 74.100 94.600 63.100 74.100 112.000 143.000
Nilai Kalor Bersih 9.766 9.063 4.800 11.220 9.270 4.302
kkal/L kkal/L kkal/kg kkal/kg kkal/L kkal/kg -
Perhitungan emisi yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki faktor emisi yang berbeda dengan faktor emisi dari hasil pembakaran minyak bumi. Pabrik gula memakai bahan bakar berupa ampas tebu (bagasse) yang tidak tercantum pada IPCC (2006). Tabel 3 menunjukkan emisi faktor yang berlaku untuk pabrik gula dengan bahan baku ampas tebu.
Tabel 3. Faktor emisi untuk pabrik gula dengan bahan bakar ampas tebu Nomor ID GWP CH4 CH4
Tipe data Potensi pemanasan global Faktor emisi rata-rata (pembakaran biomassa i) EF CH4 Faktor emisi metan (pembakaran biomassa i) Efy Faktor emisi CO2 EF AOM y Rata-rata nilai faktor emisi CO2 untuk setiap kenaikan Sumber : UNFCCC (2006)
Nilai 21 0,03 0,0000411 0,485 0,194
Satuan Faktor t/TJ tCH4/GJ tCO2e/MWh tCO2e/MWh
a. Penurunan Emisi Emisi CO2 semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga perlu adanya strategi dalam mengurangi emisinya. Salah satu strateginya adalah mengganti energi dengan energi terbarukan (renewable energi). Energi terbarukan merupakan salah satu cara untuk memperkecil tingkat emisi CO2 dengan cara mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi energi yang berasal dari sumber lain, seperti angin, air, nuklir, biomassa, dan biobriket (Fiantisca 2002). Penurunan emisi dapat dilakukan dengan menginventarisasi emisi karbon yang dihasilkan suatu perusahaan. Metode tersebut digunakan untuk mengestimasikan emisi karbon yang dapat diturunkan industri. Greenhouse Gas Inventory merupakan metode pendekatan yang digunakan dalam proses penurunan emisi gas rumah kaca (Putt del Pino dan Bhatia 2006). Ada beberapa hal yang dapat
10
dilakukan untuk mengurangi konsentrasi CO 2 dari atmosfer, yaitu mengurangi produksi CO2 dengan dua cara berupa mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan dan mereboisasi hutan, serta menghilangkan sebagian CO2 dari atmosfer dengan teknologi terbarukan (Newman 1993). Wardhana (2004) menyatakan emisi gas rumah kaca dari sektor industri dapat ditanggulangi atau dikurangi secara teknis dengan cara mengganti sumber energi yang digunakan, yaitu mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar LNG (Liquid Natural Gases) yang akan menghasilkan gas buang yang lebih bersih. Fiantisca (2002) juga menyatakan bahwa cara mereduksi emisi CO2 dari industri adalah dengan menggunakan bahan bakar bio, peralatan hemat energi, reboisasi, mengurangi penggunaan mesin produksi berumur tua, dan meminimalkan penggunaan material yang tidak ramah lingkungan. Sumber-sumber metana mencangkup lahan persawahan, limbah pertanian, peternakan sapi, industri minyak dan gas, serta tempat-tempat pembuangan sampah (TPA). Besarnya efek rumah kaca gas metana, maka usaha-usaha penanggulangannya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana tersebut (Suprihatin et al. 2008). Dekomposisi limbah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio. Teknik dekomposisi dengan menggunakan biodigester yang menghasilkan biogas. Pada dasarnya limbah cair yang dibiarkan begitu saja dalam beberapa waktu pada media biodigester membentuk gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai biogas. Pembuatan biogas mengurangi pencemaran lingkungan akibat bau dari limbah yang terkumpul. Dengan proses fermentasi biodigester, bau tak sedap dapat dihilangkan dan terbentuk gas metan yang bermanfaat. Gas yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar. Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak (Andi dan Widyawati 2008). Pada Tabel 4 ditunjukkan kesetaraan 1 m3 biogas dengan sumber energi lain.
Tabel 4. Kesetaraan 1 m3 biogas dengan sumber energi lain. Sumber Energi
Kesetaraan 1 m3 biogas Elpiji 0,46 kg Minyak Tanah 0,62 liter Minyak Solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas Kota 1,50 m3 Kayu Bakar 3,50 kg Sumber : Andi dan Widyawati (2008)
Limbah padat yang dihasilkan pabrik gula mempunyai volume yang cukup besar setiap harinya. Selama ini pabrik membuang limbahnya dengan cara penumpukan (open dumping). Penumpukan ini berpotensi mencemari lingkungan karena dengan penumpukan blotong tersebut emisi dinitrogen oksida dapat yang dihasilkan. Pabrik menyediakan sejumlah lahan besar kemudian digunakan sebagai tempat pembuangan limbah padat tersebut. Oleh masyarakat limbah blotong yang dibuang tersebut diambil secara cuma-cuma. Namun pengambilan tersebut tidak secara signifikan dapat mengurangi jumlah blotong di lahan pembuangan. Blotong ini masih mengandung sejumlah bahan organik yang masih dapat dimanfaatkan. Penurunan emisi gas dinitrogen oksida dari
11
penumpukan blotong di lahan dapat dilakukan dengan cara membuat pupuk organik dari limbah blotong melalui proses pengomposan. Kompos adalah bentuk dari bahan-bahan organik setelah mengalami pembusukan atau disebut pula dekomposisi. Pembusukan ini dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik dengan kelebihan dan kekurangannya. Selama proses pengomposan volume menyusut menjadi 1/3 bagian dari volume awal (Syafrudin dan Astuti 2007).
G. STRATEGI PENURUNAN EMISI GRK Emisi CO2 di permukaan bumi dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, perlu adanya strategi dalam mengurangi emisi CO2. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain renewable energi. Renewable energi (Energi terbarukan) merupakan salah satu cara untuk memperkecil tingkat emisi CO2 dengan cara mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi energi yang berasal dari sumber lain. Contoh sumber energi yang berasal dari bahan bakar non-fosil adalah angin, air, nuklir, biomassa, dan briket. Reboisasi adalah usaha untuk mereduksi CO2 dengan cara penanaman kembali lahan yang telah mengalami penebangan. Reboisasi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kandungan dan penyerapan karbon pada lahan yang terabaikan, pengembangan hutan yang berkelanjutan untuk menggantikan bahan bakar fosil, dan penyediaan bahan serta memenuhi kebutuhan biomassa (Fiantisca 2002).
12