SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN
Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Rendah Emisi Gas Metan Prihasto Setyanto dan Rina Kartikawati Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken km 05 Pati, Jawa Tengah
ABSTRACT. Integrated Rice Crop Management for Low Emitance of CH4. Integrated rice crop management (ICM) had been developed for irrigated and rainfed field aiming for higher grain yield. From the environmental view of point, the system may give negative effect to the global warming especially due to the emission of green house gases. The ICM encourages the application of organic manures to the field, which could increase the emission of green house gases from rice field. The greenhouse gas emission in this research we focused on CH4 gas. Five treatments were tested in this experiment, namely (1) normal field management as control (non ICM-continuous flooding) with 25 days seedlings transplanted at five seedlings per hill, fertilized by 120 kg N/ha, 90 kg P/ha and 60 kg K/ha, without organic manures; (2) the same as first treatment but with intermittent irrigation (non ICM-intermittent irrigation); (3) ICM with young seedling (15 day old) transplanted at one seedling per hill, N-fertilizer application based on leaf color chart (LCC), organic matter 2 t/ha, intermittent irrigation, and “pair rows” with 10 cm x 20 cm plant spacing with 40 cm space between rows (ICM-intermittent irrigation); (4) the same as the third treatment but under continuous flooding (ICM-continuous flooding); (5) SRI (system of rice intensification) with 15 t/ha organic matter, transplanting of young seedling 15 day old (1 seedling per hill), without chemical fertilizers and square plant spacing of 30 cm x 30 cm. The total emission of CH4 from the five treatments slightly varied. The highest CH4 emission was obtained from ICM with continuous flooding (347 ± 28.4 kg/ha) and non ICM with continuous flooding (282 ± 36.4 kg/ha). The intermittent treatments had low CH4 emission, namely the non ICM intermittent (57 ± 6.7 kg/ha), SRI (60 ± 9.1 kg/ha) and ICM intermittent (78 ± 42.0 kg/ha). The highest rice yield was obtained from ICM with continuous flooding (7.1 ± 0.08 t/ha) and followed by ICM intermittent (6.7 ± 0.14 t/ha), non ICM with continuous flooding (6.7 ± 0.19 t/ha), non ICM intermittent (6.4 ± 1.15 t/ha) and SRI was the lowest (2.4 ± 0.34 t/ha). Increased in yield of about 3.9-5.4% was obtained from the integrated crop management, but the total CH4 emission was higher of about 1826%. The intermittent irrigation could suppress down the CH4 emission of about 77-79%, compared to that of continous flooding. Significant correlation between number of tillers and dry biomass of plant with CH4 flux in the intermittent system was observed. ICM with an intermittent irrigation and non ICM with an intermittent irrigation could be considered as the best rice management practices, because this system produced high yield and emited lower CH4 to the atmosphere. Keywords: CH4 emission, crop establishment system ABSTRAK. Sistem pengelolaan tanaman padi secara terpadu (PTT) telah dikembangkan di lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan. Namun dari aspek lingkungan, PTT dapat memberikan dampak terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Sistem ini menganjurkan pemberian bahan organik yang berpotensi meningkatkan emisi GRK, sehingga perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK yang dalam penelitian ini difokuskan pada CH4. Dalam penelitian ini diterapkan lima perlakuan, yaitu (1) penanaman padi dengan cara petani (kontrol), umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), pupuk sesuai anjuran (120 kg N/ha, 90 kg P/ha dan 60 kg K/ha), tanpa bahan organik, dan irigasi terus-menerus; (2) sama dengan
154
perlakuan pertama tetapi pengairan secara berselang (3) PTT: bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan bagan warna daun (BWD), bahan organik 2 t/ha, irigasi berselang dan tanam cara legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus; (5) SRI (system of rice intensification), penggunaan pupuk organik 15 t/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, dan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Total emisi CH4 dari kelima perlakuan cukup bervariasi. Emisi CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan tergenang, yaitu PTT tergenang (347+28,4 kg/ha) dan non-PTT tergenang (282+36,5 kg/ha), sedangkan untuk perlakuan berselang nilainya cukup rendah yaitu 57+6,8 kg/ha untuk non-PTT berselang, 60+9,1 kg/ha untuk SRI berselang dan 78+42,0 kg/ha untuk PTT berselang. Perlakuan PTT tergenang memberi hasil tertinggi sebesar 7,1+0,08 t/ha, kemudian diikuti oleh perlakuan PTT berselang (6,7+0,14 t/ha), non-PTT tergenang (6,7+0,19 t/ha), non-PTT berselang (6,4+1,15 t/ha), dan SRI (2,4+0,34 t/ha). Meskipun ada kenaikan hasil 3,9-5,4% dengan menerapkan PTT, tetapi emisi CH4 yang dihasilkan lebih tinggi 18-26%. Pengairan berselang mampu menekan emisi CH4 sebesar 77-79% dibandingkan dengan pengairan tergenang. Terdapat hubungan yang nyata antara jumlah anakan dan bobot kering tanaman dengan fluks CH 4 pada pengairan berselang. Berdasarkan hasil penelitian ini, PTT berselang dan nonPTT berselang dapat direkomendasikan sebagai sistem pertanian padi sawah yang baik karena hasilnya tinggi dengan emisi CH4 rendah. Kata kunci: Emisi CH4, sistem penanaman padi
emanasan global (global warming) yang disebabkan oleh menumpuknya gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitro-oksida (N2O), sering dikaitkan dengan budi daya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber penyumbang gas CH4 yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan gas CH 4. Luasnya areal pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi CH4 di atmosfer. Emisi CH4 dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg/tahun (Yagi & Minami 1990; Seiler et al. 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian 6,8% dari luas lahan pertanian dunia diduga memberi kontribusi sebesar 3,4-4,5 Tg CH4/tahun (1 Tg = 1012 g). Berdasarkan data tersebut, tanah sawah bukan merupakan penyebab utama peningkatan emisi CH4 secara global. Namun, pada skala nasional, kontribusi tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi CH4 dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya
P
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi CH4 yang tinggi, yaitu pada tanah sawah beririgasi. Suatu cara peningkatan produktivitas padi telah dirintis melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT) maupun SRI (System of Rice Intensification). PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi. Komponen PTT meliputi pengelolaan hama terpadu, hara terpadu, air terpadu, dan gulma terpadu telah dipraktekkan dan terbukti mampu meningkatkan hasil padi sawah sampai 1 t/ha. Di Tamil Nadu, India, PTT yang di terapkan selama MT 2002-2004 meningkatkan hasil panen 1,5 t/ha (Balasubramanian et al. 2006). Hasil padi gogo yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT mencapai 4.3 t/ha (Toha 2005). Di Pinrang, Sulawesi Selatan, intensifikasi pertanian dengan PTT meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1.066.504/ha, atau 20,7% lebih tinggi dibandingkan tanpa PTT (Arafah 2005). Bila penerapan PTT ternyata dapat menekan emisi GRK, maka sistem ini menjadi ideal karena selain dapat menghemat penggunaan input pertanian, menaikkan hasil padi dan pendapatan petani, juga dapat mengurangi emisi GRK sehingga sistem pertanian menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan. SRI pada awalnya dikembangkan di Madagaskar 20 tahun yang lalu oleh Fr. Henry de Laulani, SJ. Di Indonesia, SRI baru diterapkan pada periode 1999-2000. Komponen yang direkomendasikan oleh SRI antara lain (1) penggunaan bibit muda 8-12 HSS atau < 15 HSS; (2) jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit/lubang untuk mendapatkan efek pinggir yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi; (3) pengolahan tanah sempurna untuk memperoleh pertumbuhan akar yang baik dan menciptakan kondisi aerobik bagi biota tanah; (4) penambahan bahan organik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi akar dan biota tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi status emisi gas CH4 pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2007 di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jaken, Pati, Jawa Tengah yang terletak pada koordinat 06o45’ dan 111o40’, dengan tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, curah hujan rata-rata kurang dari 1.600 mm/tahun.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan meliputi (1) kontrol, umur bibit 25 hari (5 bibit/ lubang), dipupuk sesuai anjuran (120 kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terusmenerus (continously flooded); (2) sama dengan perlakuan (1) tetapi pengairan secara berselang (intermittent); (3) PTT, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan bagan warna daun (BWD), pemberian bahan organik 2 t/ha, irigasi intermittent, dan cara tanam legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan (3) tetapi irigasi terus-menerus; (5) SRI, penggunaan pupuk organik 15 t/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, jarak tanam 30 cm x 30 cm, pengairan dengan cara intermittent. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pembajakan dengan traktor untuk membalik tanah dan pembuatan pematang (plotting). Selanjutnya diikuti dengan pengolahan tanah sempurna dan meratakan setiap petakan sehingga siap untuk ditanami. Ukuran petak percobaan 5 m x 6 m. Penanaman padi untuk perlakuan PTT dan SRI dilakukan saat benih berumur 15 hari setelah sebar (HSS). Untuk non-PTT, padi ditanam pada saat benih berumur 25 HSS dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Istilah HSS bertujuan untuk menyamakan umur tanaman, karena pada PTT dan SRI menggunakan umur bibit 15 hari dan pada non-PTT 25 hari. Benih untuk ketiga perlakuan tersebut berasal dari persemaian yang sama. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara terpadu, untuk PTT dan non-PTT, tanaman disemprot dengan fastac dan ditaburi Furadan, sedangkan untuk SRI menggunakan biopestisida yang komposisi utamanya terdiri atas urine sapi, rempah-rempah (sereh, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, kencur), alkohol, cuka, dan air cucian beras. Resep pembuatan biopestisida ini berasal dari kelompok petani yang mengembangkan sistem pertanian organik di Sragen, Jawa Tengah. Pemupukan untuk non-PTT dilakukan tiga kali, yaitu 5 hari setelah tanam (HST), 23 HST, dan 64 HST. Pada perlakuan PTT, pemupukan berdasarkan BWD yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Jika terdapat > 5 dari 10 warna daun yang diamati berada pada skala 2-3 pada BWD, berarti tanaman membutuhkan pupuk N. Pada SRI, pemupukan hanya menggunakan bahan organik 15 t/ha pada saat pengolahan tanah kedua. Data yang diamati meliputi (1) tinggi tanaman, (2) jumlah anakan aktif, (3) biomas tanaman, (4) Eh dan pH tanah, (5) pengambilan dan pengukuran gas di lapang menggunakan boks berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang terbuat dari pleksigas. Pengambilan contoh gas
155
SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN
F=
dc Vch mW 273.2 x x x dt Ach mV ( 273.2 T )
F : Fluks gas CH4 (mg/m2/hari) dc/dt: Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/ menit) Vch : Volume boks (m3) Ach : Luas boks (m2) mW : Berat molekul CH4 (g) mV : Tetapan volume molekul CH4 (22.41 l) T : Suhu rata-rata selama pengambilan sampel (0C) Nilai 273,2: Tetapan suhu kelvin Data emisi CH4 dan parameter tanaman dianalisis menggunakan ANOVA (analysis of varians), dan untuk melihat perbedaan antarperlakuan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Software yang digunakan untuk uji statistik adalah system analysis statistic (SAS) versi 6,2. Analisis regresi dilakukan untuk melihat hubungan antara parameter tanaman dengan fluks harian dan emisi CH 4. Analisis regresi ini menggunakan microsoft excel 2003.
perlakuan yang mengalami penggenangan terusmenerus. Nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang (1019,1 g/m2/hari) dan non-PTT tergenang (633,8 mg/m2/hari). Proses penggenangan yang terusmenerus menyebabkan nilai Eh tanah semakin menurun dan menciptakan kondisi anaerob yang sangat sesuai bagi bakteri metanogen sebagai penghasil CH4. Sebaliknya pada perlakuan yang mengalami proses pengairan intermittent, nilai fluks CH4 tertinggi hanya 465,1 mg/m2/hari, 455,4 mg/m2/hari untuk SRI dan 358,4 mg/m2/hari untuk non-PTT intermittent. Kumulasi fluks CH4 disajikan pada Gambar 2. Selama pelaksanaan penelitian, secara kumulatif perlakuan PTT tergenang memiliki nilai fluks CH4 tertinggi, kemudian diikuti oleh non-PTT tergenang, non-PTT intermittent, PTT intermittent dan terendah pada SRI. Pada perlakuan non-PTT intermittent dan PTT intermittent, nilainya tidak jauh berbeda. Pada periode pengeringan 57-63 HSS dan 74-80 HSS, pengukuran CH4 dilakukan setiap hari untuk mengetahui besarnya perubahan fluks CH4 selama pengeringan.
1200 1000 Fluks CH4 (mg/m2/hari)
dilakukan pada pukul 06.00 WIB menggunakan jarum suntik ukuran 5 ml dengan interval waktu pengambilan 6 menit. Untuk mendapatkan linearitas peningkatan konsentrasi CH4 dalam satu satuan waktu, maka dalam sekali pengambilan contoh gas perlu empat waktu pengambilan yaitu pada menit ke-6, 12, 18, dan 24. Konsentrasi gas CH4 dalam setiap satuan waktu diukur menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi dengan detektor ionisasi pijar (flame ionization detector) dengan kolom menggunakan porapak N. Fluks (F) dari gas CH4 yang lepas dari satu luasan tanah sawah dihitung berdasarkan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
Pemupukan II & BWD I 48 HSS
Panen P 1-4 108 HSS Pemupukan III & BWD III 64 HSS
600
Panen P-5 104 HSS
400 200
16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112
Pengeringan
Hari setelah sebar (HSS)
Gambar 1. Fluks CH4 di lahan sawah selama satu musim tanam.
6000 Kumulatif fluks CH4 (mg/m2/hari)
Pola fluks CH4 selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 1. Fluks CH4 dari kelima perlakuan mengalami peningkatan di awal pertumbuhan tanaman dan cenderung menurun pada saat tanaman memasuki fase reproduktif sampai menjelang panen. Selain fase pertumbuhan tanaman, cara budi daya pertanian juga mempengaruhi fluks CH4. Hal ini terlihat dari kesamaan pola fluks CH4 pada perlakuan yang mengalami proses penggenangan-pengeringan (intermittent), di mana nilai fluks CH4 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
Pemupukan I 25 HSS
Non-PTT Intermittent PTT Tergenang
0
HASIL DAN PEMBAHASAN Fluks dan Kumulatif Fluks CH4
800
Non-PTT Tergenang PTT Intermittent SRI
5000 4000
Non-PTT Tergenang Non-PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI
3000 2000 1000 0 16 22 28 34 40 46 52 58 64 70 76 82 88 94 100 106 112 Hari setelah sebar (HSS) Pengeringan
Gambar 2 Kumulatif fluks CH4 selama satu musim tanam.
156
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
Perubahan fluks CH4 selama pengeringan disajikan pada Gambar 3. Pola fluks CH4 saat pengeringan 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent (non-PTT, PTT, dan SRI) cenderung menurun. Pada awal pengeringan (57 HSS), fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan SRI sebesar 126,96 mg/m2/hari, diikuti oleh PTT intermittent dan non-PTT intermittent sebesar 117,83 dan 95,16 mg/ m2/hari. Pada pengukuran selanjutnya nilai fluks CH4 terus menurun sampai akhir pengeringan (63 HSS) di mana nilai fluks CH4 tertinggi terdapat pada perlakuan non-PTT intermittent sebesar 21,48 mg/m 2 /hari, kemudian diikuti oleh SRI dan PTT intermittent sebesar 15,17 dan 13,33 mg/m 2/hari. Nilai fluks CH 4 saat pengeringan pada 74-80 HSS tidak stabil. Secara keseluruhan nilainya lebih rendah daripada fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS. Selama periode pengeringan, nilai fluks CH4 terendah terdapat pada hari terakhir pengeringan (80 HSS), yaitu -3,02 mg/m2/hari untuk perlakuan PTT intermittent, 1,75 mg/m2/hari untuk non-PTT intermittent dan 9,02 mg/m2/hari untuk SRI. Selain proses pengeringan, fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi fluks CH4. Pada saat pengeringan 57-63 HSS, tanaman memasuki fase generatif, di mana terdapat jumlah anakan maksimum yang mempengaruhi fluks CH4. Pada pengeringan 74-80 HSS jumlah anakan menurun sehingga nilai fluks CH4 lebih rendah. Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (continously flooded) relatif mengemisi CH4 lebih tinggi dibandingkan dengan macak-macak dan pengairan berselang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa perlakuan yang diairi secara berselang yaitu PTT intermittent, non-PTT intermittent, dan SRI meng-hasilkan fluks CH4 yang lebih rendah. Pengeringan membuat kondisi aerob pada tanah dan mengaktifkan bakteri metanotrof yang berperan mengoksidasi CH4 menjadi CO2 sehingga lebih banyak CH 4 yang teroksidasi sebelum dilepas ke atmosfer. Setyanto (2004) mengemukakan bahwa dari seluruh CH4 yang diproduksi dalam tanah hanya 16,6%
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
135 115 95 75 55 35
Non-PTT Intermittent PTT Intermittent SRI
15 -5
57
58
59
60
61
62
63
Hari setelah sebar (HSS) Tergenang
Gambar 3. Pola fluks CH4 saat pengeringan pada 57-63 HSS untuk perlakuan intermittent.
yang diemisikan dan sisanya dioksidasi. Rendahnya emisi CH4 pada pengairan intermittent disebabkan oleh meningkatnya nilai reduksi-oksidasi tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak berlangsung. Perlakuan intermittent memang ditujukan untuk mengatur kondisi lahan menjadi kering-tergenang secara bergantian. Selain menghemat air irigasi, intermittent dapat memberi kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam. Pengairan berselang memberikan manfaat pada lahan pertanian, antara lain dapat mencegah timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H2S yang dapat menghambat perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, dan memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah. pH dan Potensial Redoks Tanah Selama pelaksanaan penelitian, pH tanah tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah (Gambar 4). Pada awal musim tanam (16 HSS), pH tanah berkisar antara 6,8-7,4 kemudian mengalami penurunan. Kenaikan pH tanah untuk perlakuan tergenang cenderung mendekati netral dengan nilai berkisar antara 6,3-7,1 untuk perlakuan non-PTT tergenang dan 6,0-7,3 untuk PTT tergenang. Sebaliknya pada perlakuan intermittent, kisaran pH tanah lebih luas, yaitu 5,5-7,4 untuk perlakuan non-PTT Intermittent, 5,3-7,4 untuk PTT Intermittent, dan 5,3-7,1 untuk SRI. Nilai pH tanah pada kondisi kering cenderung mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh perlakuan non-PTT tergenang dan PTT tergenang, di mana pada pengukuran setelah panen nilai pH menurun menjadi 5,5 dan 5,3. Tanah sawah umumnya memiliki pH netral. Perubahan pH setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi feri menjadi fero, sulfat menjadi sulfida, dan CO 2 menjadi CH 4 (Ismunadji 1988). Sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yang hidup pada kisaran pH 6-8. Wang et al. (1993) menemukan bahwa pembentukan metan secara maksimum akan terjadi pada kisaran pH 6,9-7,1. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan proses penggenangan menyebabkan tanah memiliki pH 6-7. Nilai Eh selama penelitian mengalami fluktuasi yang beragam (Gambar 5). Nilai Eh tanah pada perlakuan non-PTT tergenang dan PTT tergenang selalu negatif, kecuali setelah panen. Kondisi tergenang membuat tanah berada dalam keadaan reduktif, sehingga menurunkan nilai Eh. Pada perlakuan non-PTT tergenang, nilai Eh berkisar antara -184 mV hingga 217 mV, sedang
157
SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN
7,80 7,60 Pengeringan
7,40 7,20 7,00 pH
6,80
Panen
6,60 6,40 6,20 6,00 Non-PTT Intermittent PTT Intermittent SRI
5,80 5,60
Non-PTT Tergenang PTT Tergenang Pengeringan
5,40 5,20 16
30
45
57
59
61
63
71
75
78
80
85
100
113
86
101
113
Hari setelah sebar (HSS)
Gambar 4 Perubahan pH tanah selama pelaksanaan penelitian.
400 Non-PTT Tergenang PTT Intermittent SRI
300
Non-PTT Intermittent PTT Tergenang
200 Potensial redoks (mV)
Pengeringan 100
Pengeringan
0 16
30
45
57
59
61
63
71
75
78
80
-100
-200
-300 Hari setelah sebar (HSS)
Gambar 5. Perubahan nilai Eh tanah selama pelaksanaan penelitian.
pada PTT tergenang berkisar antara -188 mV hingga 281 mV. Berbeda dengan perlakuan tergenang, perlakuan pengairan intermittent memiliki kisaran nilai Eh yang beragam. Pada saat pengeringan Eh cenderung naik bahkan positif. Perlakuan non-PTT intermittent memiliki kisaran nilai Eh antara -159 mV hingga 271 mV, PTT intermittent -148 mV hingga 350 mV (setelah panen), dan SRI -216 mV hingga 341 mV (setelah panen). Nilai Eh mempengaruhi fluks CH4, semakin rendah nilai Eh
158
semakin meningkat aktivitas bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 dalam tanah. Eh merupakan petunjuk status reaksi oksidasireduksi pada tanah. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik (aerob), sedangkan reaksi reduksi berkaitan dengan kondisi tanah tergenang. Eh merupakan faktor penting pengontrol pembentukan CH4 (Wang et al. 1992). Bakteri metanogen dapat bekerja optimal pada potensial redoks
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
<-150 mV (Setyanto 2004), sedangkan Ponnamperuma (1972) menyebutkan bahwa pembentukan CH4 akan terjadi pada kisaran potensial redoks -250 hingga -300 mV. Menurunnya nilai Eh pada saat penggenangan disebabkan oleh turunnya jumlah oksigen dalam tanah yang disertai dengan meningkatnya aktivitas bakteri metanogen dan kondisi anaerobik dengan nilai Eh -150 mV (Setyanto 2004). Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tanaman padi mempunyai jaringan khusus (aerenkima) berupa rongga-rongga udara, di mana udara dapat diangkut dari pucuk daun menuju akar, sehingga kerusakan akar karena keadaan anaerob dapat diatasi. Dalam kondisi tergenang, bahan organik juga akan melapuk lebih lambat dan kurang sempurna dibanding pada lahan kering. Tinggi Tanaman Perbedaan tinggi tanaman antarperlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan uji DMRT, tinggi tanaman pada 39 HSS berbeda nyata pada perlakuan PTT intermittent, PTT tergenang, dan SRI. Pada perlakuan non-PTT tergenang dan non-PTT intermittent nilainya tidak berbeda nyata. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan PTT intermittent sebesar 45,9 cm dan terendah pada perlakuan non-PTT intermittent 35,1 cm. Pada 52 HSS
tinggi tanaman untuk non-PTT tergenang (52,9 cm) dan SRI (55,0 cm) tidak berbeda nyata, begitu juga dengan PTT intermittent (61,7 cm) dan PTT tergenang (60,1 cm). Untuk non-PTT intermittent (45,6 cm) nilainya berbeda nyata di antara kelima perlakuan. Pada 66 HSS dan 82 HSS, tinggi tanaman berbeda nyata untuk perlakuan non-PTT tergenang, non-PTT intermittent dan SRI. Untuk perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang, nilainya tidak berbeda nyata. Dengan sistem tanam jajar legowo semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir). Dengan adanya baris kosong (legowo), penyerapan nutrisi oleh akar menjadi lebih sempurna dan tentu mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di mana tinggi tanaman pada perlakuan PTT lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemupukan juga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil panen. Jika dilihat dari penampakan morfologinya, tanaman padi pada perlakuan PTT memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan non-PTT dan SRI. Perlakuan PTT menerapkan pemupukan berimbang antara pupuk organik dan anorganik. Pupuk anorganik yang diberikan tidak
Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot biomas kering tanaman pada beberapa perlakuan. Tinggi tanaman (cm) Perlakuan
Non-PTT tergenang Non-PTT intermittent PTT intermittent PTT tergenang SRI
39 HSS
52 HSS
66 HSS
82HSS
96 HSS
36,8 c 35,1 c 45,9 a 41,2 b 44,6 ab
52,9 45,6 61,7 60,1 60,1
69,1 b 62,5 c 78,8 a 78,4 a 78,4
86,0 b 77,1 c 96,8 a 98,9 a 80,8 bc
94,2 b 87,7 c 95,9 b 100,6 a 84,9 c
b c a a a
104 HSS 94,3 86,6 96,0 99,4 85,5
b c b a c
Jumlah anakan (batang) Non-PTT tergenang Non-PTT intermittent PTT intermittent PTT tergenang SRI
6a 5b 5 ab 5b 6 ab
13 a 11 ab 8b 8b 13 a
16 a 16 a 10 c 10 c 13 b
12 a 11 a 8b 7b 11 a
10 a 9a 6b 7b 10 a
10 a 9a 6b 7b 11 a
Bobot biomas tanaman (g)
Non-PTT tergenang Non-PTT intermittent PTT intermittent PTT tergenang SRI
40 HSS
53 HSS
67 HSS
83 HSS
97 HSS
1,0 a 1,1 a 2,3 a 1,9 a 2,5 a
3,7 b 3,5 b 7,4 a 3,2 b 5,9 ab
18,7 18,8 22,5 20,3 32,9
39,2 29,6 44,9 47,8 52,5
45,0 45,0 41,0 39,1 49,9
a a a a a
a a a a a
a a a a a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
159
SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN
berlebihan, dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman berdasarkan BWD. Jumlah Anakan Perbedaan jumlah anakan antarperlakuan juga dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan uji DMRT, jumlah anakan pada umur 39 HSS tidak berbeda nyata pada perlakuan non-PTT intermittent dan PTT tergenang, begitu juga perlakuan PTT intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan non-PTT tergenang dengan jumlah anakan 6. Jumlah anakan maksimum terdapat pada umur tanaman 66 HSS, di mana jumlah anakan terbanyak terdapat pada perlakuan non-PTT tegenang dan non-PTT intermittent dengan jumlah anakan masing-masing 16, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI sebanyak 13 dan jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang, masing-masing 10. Jumlah anakan menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada saat tanaman 82 HSS jumlah anakan pada perlakuan non-PTT tergenang, non-PTT intermittent, dan SRI nilainya tidak berbeda nyata, begitu juga perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang. Jarak tanam berbeda yang diterapkan pada masing-masing perlakuan mempengaruhi jumlah anakan aktif. Jumlah anakan pada perlakuan non-PTT, baik tergenang ataupun intermittent dan SRI, selalu konsisten berada pada kisaran 5-16 anakan sejak awal tanam sampai menjelang panen. Demikian juga pada perlakuan PTT, selalu konsisten pada kisaran 5-10 anakan/ rumpun. Apabila masing-masing perlakuan diambil nilai tengahnya untuk jumlah anakan, maka perlakuan nonPTT dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm mempunyai jumlah anakan rata-rata 250/m2 dan SRI dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm juga memiliki anakan 160/m2, sedangkan PTT dengan sistem logowonya mempunyai jumlah anakan 280/m2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan bahan organik dalam jumlah besar dikombinasi dengan jarak tanam yang lebar tidak menghasilkan anakan yang lebih banyak dari sistem legowo. Artinya, upaya peningkatan produksi padi dengan SRI bersifat spesifik lokasi. Hasil penelitian di Aerik Eutropet Jakenan membuktikan bahwa pemberian pupuk kandang 15 t/ha pada cara SRI tidak nyata meningkatkan jumlah anakan. Biomas Tanaman Perbedaan nilai biomas tanaman juga disajikan dalam Tabel 1. Biomas tanaman yang diukur adalah biomas total, di mana bobot kering akar dan bagian atas tanaman dihitung seluruhnya. Biomas pada 40, 67, 83, dan 97 HSS tidak berbeda nyata antarperlakuan. Perbedaan
160
bobot biomas hanya tampak pada saat tanaman berumur 53 HSS. Dengan jarak tanam yang lebih lebar pada cara SRI diharapkan menghasilkan jumlah biomas yang lebih besar dibanding perlakuan dengan jarak tanam yang rapat. Jarak tanam yang lebar menyebabkan persaingan tanaman dalam merebut hara esensial menjadi lebih kecil, hal ini berbeda dengan tanaman dengan jarak tanam rapat. Pada penelitian ini, jarak tanam yang lebar dengan takaran pupuk kandang yang tinggi tidak merangsang pembentukan biomas lebih banyak. Hal ini diduga karena tingkat kesuburan tanah Aerik Eutropept tidak mendukung pembentukan biomas tanaman yang lebih baik. Besarnya jumlah biomas total tanaman sangat identik dengan tingginya emisi CH4 yang dilepas dari satuan luas pertanaman padi. Setyanto (2004) menyebutkan bahwa fluks CH4 sangat dipengaruhi oleh jumlah biomas tanaman, semakin tinggi biomas semakin tinggi pula emisi CH4 dari lahan sawah. Jumlah biomas tanaman sangat identik hubungannya dengan jumlah eksudat akar yang dilepas tanaman padi, semakin besar biomas semakin tinggi eksudat akar tanaman padi (Aulakh et al 2000) Hubungan antara CH4 dengan Parameter Tanaman Hal yang menarik dari penelitian ini adalah tidak didapatkannya hubungan linier positif antara jumlah anakan dan fluks CH4 seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti (Setyanto 2004; Aulakh et al. 2000, Neue and Roger 1994). Korelasi antara fluks CH4 dengan jumlah anakan terjadi secara eksponensial, di mana pada awal pertumbuhan tanaman mengarah ke arah negatif sampai berumur 53 HSS (Gambar 6 dan 7). Hubungan eksponensial antara fluks CH4 dengan jumlah anakan dan bobot biomas tanaman terjadi pada pengairan intermittent (PTT, non-PTT, dan SRI), sedangkan pada pengairan terus tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Penyebab dari kondisi ini masih belum jelas, tetapi diduga CH4 lebih banyak teroksidasi di tanah sebelum lepas ke atmosfir. Hubungan yang nyata antara bobot biomas tanaman dengan fluks CH4 diduga sebagai satu indikasi peningkatan jumlah aerenkima tanaman dengan semakin besarnya jumlah biomas. Total Emisi CH4, Hasil, dan Komponen Hasil Total emisi CH4 dan hasil gabah (baik aktual maupun potensial) dari semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat peningkatan produktivitas sebesar 5,4% dengan menerapkan PTT tergenang dibandingkan dengan non-PTT tergenang. Begitu juga penerapan PTT intermittent, di mana terdapat peningkatan produktivitas sebesar 3,9% dibandingkan dengan non-PTT intermittent.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
450
y = 3,16x2 - 87,95x + 636,96 R2 = 0,839**, n=12
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
400 300 200
a.
100
y = 3,42x2 - 82,83x + 369,9 R2 = 0,788**, n=9
350 250 150
a.
50 -50 0
0 0
5
10
15
20
5
10
20
25
-150
-100
Biomas kering (g)
Jumlah anakan 400
350
y = 10,02x2 - 193,4x + 959,38 R2 = 0,718**, n=12
300 200 100
b.
0 0
5
10
15
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
15
20
y = 0,60x2 - 24,38x + 258,19 R2 = 0,853**, n=9
250
b.
150 50 -50 0
5
10
-150
15
20
25
30
35
Biomas kering (g)
-100 Jumlah anakan 350
y = 2,13x2 - 53,76x + 369,37 R2 = 0,535**, n=12
300 200 100
c.
0 0
5
10
15
20
-100
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
400
y = 0,18x2 - 10,17x + 143,39 R2 = 0,6084**, n=9
250 150
c. 50 -50 0 -150
5
10
15
20
25
30
35
40
Biomas kering (g)
Jumlah anakan * Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 1%
* Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 1%
Gambar 6. Hubungan antara jumlah anakan dengan fluks CH4 harian pada perlakuan (a) non-PTT intermittent, (b) PTT intermittent, (c) SRI.
Gambar 7. Hubungan antara biomas kering tanaman dengan fluks CH4 harian pada perlakuan (a) non-PTT intermittent (b) PTT intermittent, (c) SRI.
Perlakuan intermittent mampu menekan emisi CH4 sebesar 79,5% dibandingkan dengan cara tergenang. Dari kelima perlakuan, total emisi CH4 yang dihasilkan dari perlakuan non-PTT intermittent paling rendah
(57±6,7 kg/ha), diikuti oleh perlakuan SRI (60±9,1 kg/ ha), PTT intermittent (78±42,0 kg/ha), non-PTT tergenang (282±36,4 kg/ha), dan tertinggi pada PTT tergenang (347±28,4 kg/ha). Variasi (CV) dari nilai rata-
161
SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN
Tabel 2. Total emisi CH4 dan komponen hasil dari lima perlakuan selama satu musim tanam. Perlakuan
Biomas panen (t/ha)
Non-PTT tergenang Non-PTT intermittent PTT intermittent PTT tergenang SRI
8,70 7,18 8,80 8,81 2,50
+ + + + +
0,82 0,63 1,62 1,03 0,31
a a a a b
Potensi hasil1 (t/ha)
Emisi CH4 (kg/ha/musim tanam)
9,08 + 0,30 b 8,14 + 1,16 bc 10,61 + 1,00 a 8,81 + 0,74 b 7,30 + 0,60 c
282,93 + 36,46 b 57,87 + 6,76 c 78,33 + 42,02 c 347,03 + 28,41 a 60,73 + 9,13 c
*Hasil GKG, ka 14% (t/ha) 6,72 6,49 6,76 7,10 2,41
+ + + + +
0,19 1,15 0,14 0,08 0,34
a a a a b
* GKG: gabah kering giling Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
rata emisi CH4 antarperlakuan cukup baik. Perlakuan PTT tergenang memiliki nilai CV terendah, yaitu 8,19%, kemudian diikuti oleh perlakuan non-PTT intermittent (11,7%), non-PTT tergenang (12,9%), SRI (15%), dan PTT intermittent (53,6%). Besarnya variasi emisi CH4 untuk PTT intermittent kemungkinan karena perataan tanah kurang sempurna yang menyebabkan beberapa lokasi dalam satu hamparan masih dalam keadaan reduksi walaupun telah dilakukan pengeringan lahan. Perataan tanah (land levelling) penting artinya bagi keberhasilan irigasi intermittent dalam menekan laju emisi CH4 dari lahan sawah. Perbedaan jarak tanam antarperlakuan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil panen padi. Secara umum perlakuan PTT dengan jarak tanam 10 cm x 20 cm dan legowo 40 cm menghasilkan gabah lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan non-PTT. Dengan sistem legowo, jumlah gabah/malai, baik untuk perlakuan PTT intermittent maupun PTT tergenang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan non-PTT dan SRI. Jarak tanam tersebut mempengaruhi proses fotosintesis yang menjadi lebih sempurna karena tanaman cukup mendapatkan cahaya matahari. Aktivitas fotosintesis sangat penting terutama setelah stadia terbentuknya bunga sampai saat pengisian gabah dan sekaligus untuk memper-tahankan aktivitas akar. Penggunaan bibit muda pada perlakuan PTT dan SRI mempengaruhi periode tumbuh tanaman. Dari kedua perlakuan tersebut, waktu panen pada PTT dan SRI menjadi lebih cepat dibandingkan dengan non-PTT. Waktu tanam yang lebih singkat dapat mengurangi risiko kegagalan panen pada kedua musim tanam, terutama bila sumber air sawah tidak hanya berasal dari irigasi. Keuntungan menanam padi dengan menggunakan bibit muda, antara lain bibit akan lebih cepat beradaptasi dengan kondisi tanah setempat, akar lebih kuat dan dalam, tanaman akan menghasilkan anakan lebih banyak, tahan rebah, toleran kekeringan, dan dapat menyerap pupuk lebih efisien (BBP2TP 2004).
162
Daun tanaman padi pada perlakuan SRI menunjukkan gejala menguning yang disebabkan oleh kekurangan unsur N. Nitrogen dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar karena merupakan unsur pembentuk molekul organik yang penting bagi tanaman, misalnya dalam pembentukan asam amino, protein, enzim, asam nukleat, dan klorofil. Nitrogen diserap tanaman dalam bentuk ion NO3- dan NH4+. Tanaman yang kekurangan N menunjukkan pertumbuhan yang kerdil, khlorosis, daun berwarna kuning karena kekurangan klorofil dan pada gejala yang lebih parah daun akan mengering dan gugur. Sebaliknya, tanaman padi yang banyak menyerap unsur N akan berwarna hijau, tunas banyak, daun dan gabah lebih besar, kualitas gabah dan kadar protein lebih tinggi (Ismunadji 1993). Pemberian N juga mempercepat pembusukan bahan organik dalam tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SRI tidak sesuai diterapkan pada tanah Aerik Eutropept Jakenan.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan total emisi CH4 dari berbagai pengelolaan tanaman padi sawah. Total emisi CH4 yang dihasilkan pada non-PTT tergenang 282+36,4 kg/ha, non-PTT intermittent 57+6,7 kg/ha, PTT intermittent 78+42,0 kg/ha, PTT tergenang 347+28,4 kg/ha dan SRI 60+9,1 kg/ha. Terdapat kenaikan hasil gabah antara 3,9-5,4% dengan menerapkan PTT dibanding non-PTT. Penerapan pengairan intermittent, baik pada PTT maupun non-PTT, mampu menekan emisi CH4 sebesar 77,4-79,5% dibandingkan dengan penanaman padi tergenang. Walaupun terdapat penambahan bahan organik 15 t/ha, SRI intermittent tidak menghasilkan emisi CH4 yang besar. SRI tidak cocok diterapkan pada tanah Aerik Eutropept Jakenan karena hasil padi jauh lebih rendah dibanding PTT atau budi daya konvensional. Terdapat hubungan yang bersifat nonlinear antara jumlah anakan, biomas kering tanaman dengan fluks CH4 pada pengairan intermittent.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Ismnadji M., S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono. 1988. Padi buku 1. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada rekanrekan kelti dan teknisi GRK: Helena Lina Susilawati, Miranti Ariani, Titi Sopiawati, Yarpani, Suyoto, Suryanto, dan Yono serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Hartini (IPB) atas kerja samanya selama penelitian berlangsung.
Ismunadji M., S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono. 1993. Padi buku 2. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Arafah. 2005. Pengkajian intensifikasi padi sawah berdasarkan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2). [terhubung berkala]. http://jabar. litbang.deptan. go.id/html.tp.009.html [05 Jan 2007]. Aulakh M.S., J. Bodenbender, R. Wassman, and H. Renneberg. 2000. Methane transport capacity of rice plant II, variation among different rice cultivar and relationship with morphological characteristic. J. Nut Cycl in Agroecosyst 58:367-375. Balasubramanian, V. 2006. Integrated Crop Management (ICM): Field evaluation and ssons learnt In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi, M.O. Adnyana (Eds.). Rice Industry, Culture and Environment. Book 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 33-42. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPPTP). 2004. Petunjuk lapang pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Bogor. International Atomic Energy gency (IAEA). 1993. Manual on measurement of methane and nitrous oxide emission from agricultural. Vienna.
Neue, H.U. and P.A. Roger. 1994. Potential of methane emission in major rice ecologies. In R.G. Zepp (Ed.). Climate biosphere interaction. Wiley and Sons. New York. p. 65-93,. Ponnamperuma, F.N. 1972. The chemistry of submerged soils. J. adv. agrm. 24:29-96. Seiler, W.A., Holzapfel-Pschorn, R. Conrad, and D. Schcarffe. 1984. Methane emission from rice paddies. J. Atmos. Chem. 1:241268. Setyanto P., Suharsih, A,K Makarim, dan J. Sasa. 1999. Inventarisasi emisi dan mitigasi gas CH4 pada lahan sawah di Jakenan. Simposium Tanaman Pangan IV. Bogor 22-24 November 1999. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Setyanto, P. 2004. Methane emission and its mitigation in rice field under different management practices in Central Java. Disertasi Fakultas Pascasarjana University Putra Malaysia. Setyanto, P. 2004. Mitigasi gas metan dari lahan sawah. Dalam F. Agus et al. (Eds.). Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. p. 287-294. Toha, H.M., Permadi K., Prayitno, dan I. Yuliardi. 2005. Peningkatan produksi padi gogo melalui model pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu. Seminar Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor, 28 Juli 2005. Wang, Z.P., R.D. Delaune, P.H. Masscheleyn, and W.H. Patrick Jr. 1993. Soil redox and pH effects on methane production in a flooded rice soil. J. Soil Sci. Soc. Atm. 57:382-385. Wang, Z.P, C.W. Lindau, R.D. Delaune, and W.H. Patrick Jr. 1992. Methane production from anaerobic soil amended with rice straw and nitrogen fertilizers. J. Fertl. Research 33:115-121. Yagi, K. and K. Minami. 1990. Effects of organic matter applications on methane emisión from Japanese paddy fields. Dalam A.F. Bouwan (Eds.). Soil and the greenhouse effect. John Wiley and Sons. New York. p.467-473.
163