14
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pemanasan Global Sistem iklim di bumi memang sudah berubah saat ini, khususnya setelah
dimulainya revolusi industri, dimana terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi, sebagai akibat terganggunya komposisi gas-gas rumah kaca utama seperti CO2 (karbon dioksida), CH4 (metan) dan N2O (nitrous oksida), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons) and SF6 (sulphur hexafluoride) di atmosfer. Gas rumah kaca tersebut dihasilkan secara alamiah maupun dari hasil kegiatan manusia. Namun sebagian besar yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer adalah gas-gas buang yang teremisikan ke angkasa sebagai “hasil sampingan” dari aktivitas manusia untuk membangun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini. Gas rumah kaca yang sangat kuat efeknya adalah sulfur heksafluorida (SF6) yang mempunyai nilai GWP (global warming potential) sebesar 23.900 GWP dari CO2. Potensi pemanasan global adalah sebuah nilai yang membandingkan potensi gas rumah kaca sebagai penyerap dan penahan sinar matahari untuk memanaskan bumi, dibandingkan dengan potensi karbondioksida. Angka GWP pada Tabel 2 dapat dijadikan acuan adalah CO2, karena berdasarkan usia CO2 berada dalam atmosfer sangat lama dan membutuhkan waktu selama 80-120 tahun untuk bisa terurai (Killeen 1996). Tabel 2 Nilai GWP (global warming potential)
Parameter Karbondioksida Methana Nitrous oxide HFCs Sulphur hexafluoride PFCs Sumber: IPCC, 2007
Simbol kimia CO2 CH4 N2O SF6 -
Potensi Global Warming100 1 25 298 124 – 14.800 22.800 7.390 – 12.200
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan suhu global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca
15
(greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca, sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai pustaka menunjukkan kenaikan suhu global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1.54.0oC pada akhir abad 21. Sebagaimana dilaporkan intergovernmental panel on climate change (IPCC), menyatakan iklim bumi telah berubah yang disampaikan secara resmi pada KTT bumi di tahun 1992 di Rio de Janeiro Brasil, hingga diadopsinya konvensi perubahan iklim bangsa-bangsa (United Nations Framework Convention On Climate Change-UNFCCC). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan atmosfer pada tingkat yang aman bagi sistim iklim. Namun belum ada kewajiban yang mengikat, seperti target tingkat konsentrasi GRK yang aman dan kerangka waktu pencapaian target. Pertemuan tahunan ke tiga tahun 1997 menghasilkan perjanjian internasional yang disebut Protokol Kyoto. Melalui protokol ini, negara maju atau negara Annex I diwajibkan untuk mengurangi emisi GRK-nya rata-rata sebesar 5.2% dari level emisi tahun 1990 pada periode 2008-2012. Berbagai laporan menyebutkan peningkatan konsentrasi karbondiosida (CO2) atmosfer dari sekitar 280 ppm menjadi 368 ppm selama 200 tahun terakhir (Karube et al. 1992). Menurut prediksi IPCC akan terjadi peningkatan suhu permukaan bumi sebesar 1.4-5.8o C pada tahun 2100. Rata-rata peningkatan suhu global dalam kurun waktu 150 tahun (1860-2010) sebesar 0.012o C, periode 100 tahun (1910-2010) meningkat menjadi 0.018o C, periode 50 tahun (1950-2010) meningkat cukup tajam yaitu 0.026o C dan pada 25 tahun terakhir (1985-2010) meningkat dua kali lipat yaitu 0.052o C dengan tingkat kepercayaan 95% (UNFCCC).
2.2
Fotosintesis Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan, alga, dan
beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (bahan organik) dengan memanfaatkan energi cahaya. Bahan organik yang dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut merupakan bahan makanan dan serat bagi organisme lain. Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis. Akibatnya fotosintesis menjadi sangat penting bagi kehidupan di bumi (Zhu 2008). Fotosintesis
16
juga menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena CO2 diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi (Stepan 2002). Tumbuhan bersifat autotrof.
Autotrof artinya dapat mensintesis makanan
langsung dari senyawa anorganik. Selama fotosintesis, energi cahaya ditangkap dan digunakan untuk mengubah air, karbondioksida, dan mineral menjadi oksigen dan bahan organik yang kaya akan anergi (Stepan 2002).
Reaksi fotosintesis yang
menghasilkan bahan organik adalah sebagai berikut : 6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 Tumbuhan menangkap cahaya menggunakan pigmen yang disebut klorofil. Pigmen inilah yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil terdapat dalam organel yang disebut kloroplas. Rumus empiris klorofil adalah C55 H72 O5 N4 Mg (klorofil a) dan C55H70O6N4 Mg (klorofil b) (Haryono 2009). Alga juga termasuk tumbuhan karena memiliki klorofil untuk berfotosintesis. Alga terdiri dari alga uniseluler dan multiseluler. Meskipun alga tidak memiliki struktur seperti tumbuhan darat, fotosintesis pada alga dan tanaman tingkat tinggi terjadi dengan cara yang sama.
Namun karena alga memiliki berbagai jenis pigmen dalam
kloroplasnya, maka panjang gelombang cahaya yang diserapnya pun lebih bervariasi.
2.3
Karbondioksida Karbondioksida (CO2) atau zat asam arang merupakan sejenis senyawa kimia
yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. Karbondioksida (CO2) adalah salah satu gas rumah kaca yang penting karena mampu menahan energi panas matahari yang memancarkan sinarnya ke bumi sehingga permukaanya selalu dalam kondisi hangat. Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang dihasilkan oleh semua hewan, fungi dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis. Oleh karena itu, karbondioksida (CO2) merupakan komponen penting
17
dalam siklus karbon (C). Karbondioksida (CO2) juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran bahan bakar fosil. Karbondioksida (CO2) anorganik dikeluarkan dari gunung berapi dan proses geothermal lainnya seperti pada mata air panas (Nilsson 1992) Karbondioksida (CO2) merupakan hasil akhir dari organisme yang mendapatkan energi dari penguraian gula, lemak dan asam amino dengan oksigen sebagai bagian dari metabolism dalam proses yang dikenal sebagai respirasi sel. Hal ini meliputi semua tumbuhan, hewan, kebanyakan jamur dan beberapa bakteri. Pada hewan tingkat tinggi, karbondioksida (CO2) mengalir di daerah dari jaringan tubuh ke paru-paru untuk dikeluarkan. Pada tumbuh - tumbuhan, karbondioksida (CO2) diserap dari atmosfer sewaktu fotosintesis (Anonimus2 2008). Karbondioksida merupakan salah satu nutrien yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan maupun mikroalga. Keberadaan karbon dioksida di perairan bisa dalam bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3−) dan asam karbonat (H2CO3). Karbondioksida bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di perairan yang membentuk kesetimbangan dengan CO2 di atmosfer. Nilai CO2 yang terukur biasanya berupa CO2 bebas. Proses fotosintesis di perairan memanfaatkan karbondioksida bebas sebagai sumber karbon, akan tetapi dapat juga memanfaatkan ion bikarbonat (Effendi 2000). 2.3.1 Emisi Karbondioksida (CO2) Menurut Eko (2008) sumber sumber emisi karbondioksida secara global dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara), yang dihasilkan dari berbagai aktivitas dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan dengan pihak industri susu, diketahui bahwa emisi dari tungku panas (boiler) yang akan dijadikan sebagai sumber emisi pada kegiatan ini memiliki suhu sekitar 120 - 2300C, sedangkan informasi beberapa parameter dan komponen dari bahan bakar LNG dapat dilihat pada Tabel 4. Jenis bahan bakar hasil destilasi minyak bumi dapat dilihat pada Tabel 5.
18
No 1
2
3
Tabel 3 Sumber emisi karbondioksida Sumber Emisi Sektor Energi 36% Pembangkit listrik bertenaga batubara menghasilkan energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan, misalnya energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan 35. Maka energi yang terbuang sebesar 65 unit. Jadi setiap 1000 megawatt listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5.6 juta ton karbondiokasida (CO2) pertahun. Sektor Transportasi Pembakaran bahan bakar yang dihasilkan oleh 27% kendaraan bermotor. Kendaraan yang mengkomsumsi bahan bakar sebanyak 7.8 liter, maka setiap tahunnya akan mengemisikan 3 ton karbondioksida (CO2) ke udara. Sektor Industri 21% Sektor Rumah Tangga dan Jasa 15 % serta 1% dari sektor lain – lain Dengan berlandaskan hukum yang ada di Indonesia maka pencemaran udara
diatur dalam serangkaian peraturan yang disusun sebagai pedoman yaitu : 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
2.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Untuk Jenis Kegiatan Lain
3.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah.
Isi dari Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999, mengatur mengenai Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang didalamnya belum diatur mengenai emisi karbondioksida demikian juga dengan Kepmen LH No.13 Tahun 1995. Karbondioksida keberadaan di atmosfer sangat banyak, sehingga akan mengalami kesulitan di dalam menentukan baku mutu untuk CO2. Tetapi dengan adanya peningkatan efek gas rumah kaca yang diakibatkan salah satunya keberadan gas CO2, sebaiknya pemerintah mulai mengupayakan langkah langkah di dalam mengurangi CO2 di industri.
19
Sumber energi dari tungku pemanas (boiler) dari industri susu dengan bahan bakar gas LNG (liquid natural gas). LNG adalah gas alam yang dicairkan dengan cara pendinginan sampai -82.45oC. Sebelum dicairkan terlebih dahulu dilakukan purifikasi untuk menghilangkan inpurities (CO2, H2S, RSH, air dan Hg). LNG yang dipakai di industri masih mengandung kondensat. Berikut adalah spesifikasi teknis dari LNG dan beberapa jenis bahan bakar hasil destilasi minyak bumi.
Tabel 4 Spesifikasi liquid natural gas (LNG) Komponen C1 C2 C3 iC4 nC4 iC5 nC5 C6+ N2 CO2 H2S S total Hg H2O Density GHV
satuan % mol % mol % mol % mol % mol % mol % mol % mol
Mg/Nm3 Ppm Kg/m3 BTU/SCF
Spesifikasi LNG Min 85 C2 + C3, mak. 12 iC4 + nC4 + iC5 + nC5 + C6: maks. 2.0 iC5 + nC5 + C6+: maks. 1.0
Maks 1.00 50 ppm Maks 1.0 ppm atau 0.25 grains/100 SCF Maks 1.3 grains/100 SCF
Min 1070, maks 1165
Tabel 5 Jenis bahan bakar hasil destilasi minyak bumi No 1 2 3
4
Jenis bakar Gas
bahan Rentang rantai Titik didih karbon C1 – C5 0o – 50oC
Gasolin (bensin) Kerosin (minyak tanah)
C6 – C11
50oC – 85oC
C12 – C20
85oC – 105oC
Solar
C21 – C30
105oC 135oC
Peruntukan Gas tabung, BBG, petrokimia Bahan bakar motor Bahan bakar rumah tangga, motor dan industri Bahan bakar motor, bahan bakar industru
Sumber: Zuhra (2009)
2.3.2
Peranan Karbondioksida (CO2) dalam Proses Fotosintesis Tumbuh - tumbuhan dapat mengurangi kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer
dengan melakukan fotosintesis, hal ini disebut juga sebagai asimilasi karbon, yang
20
menggunakan
energi
matahari
untuk
memproduksi
materi
organik
dengan
mengkombinasi karbondioksida (CO2) dengan air. Oksigen (O2) bebas dilepaskan sebagai gas dari penguraian molekul air (H2O), sedangkan hidrogen (H) dipisahkan menjadi proton dan elektron, dan digunakan untuk menghasilkan energi kimia melalui fotofosforilasi. Energi ini diperlukan untuk fiksasi karbondioksida (CO2) pada siklus Calvin untuk membentuk gula. Gula ini kemudian digunakan untuk pertumbuhan tumbuhan melalui respirasi (Anonimus2 2008).
2.3.3
Studi pustaka Kadar Emisi CO2 dari Industri dengan Sistem Pembakaran Berdasarkan informasi yang diperoleh (Habmigern 2003), diketahui bahwa sistem
pembakaran dengan bahan bakar gas, seperti pada boiler, akan mengemisikan CO2 sebesar 10-12% vol, sedangkan sistem pembakaran dengan bahan bakar minyak, misalnya solar akan mengemisikan CO2 sekitar 12-14%.
Dalam rangka melengkapi informasi tentang emisi gas yang dihasilkan dari berbagai kegiatan industri, maka berikut ini akan diuraikan hasil studi pustaka tentang emisi gas dari tiga jenis industri, yaitu industri PLTU, industri pembakaran sampah (municipal waste incinerator) dan industri logam. a. Industri PLTU Berdasarkan informasi yang diperoleh dari majalah Science Daily (2007), diketahui bahwa pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara akan mengemisikan CO2 lebih besar daripada pembangkit listrik dengan bahan bakar nuklir. Sebagai contoh, sebuah pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara di Amerika Serikat dapat mengemisikan 16-25 juta ton CO2 per tahun, sedangkan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti The South Texas plant in Wadsworth, Texas, yang menghasilkan 20.9 juta Mwh, tidak mengemisikan CO2. Sedangkan pembangkit tenaga listrik di Indonesia, menurut sumber yang sama (majalah Science Daily 2007) berada di urutan ke-18 dalam daftar 50 negara-negara pengemisi CO2 dari sistem pembangkit listrik dengan total
21
emisi 92.900.000 ton CO2 per tahun. Selain
CO2, pembangkit tenaga listrik juga
mengemisikan gas-gas emisi lainnya ke atmosfer sebagai dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Emisi beberapa gas polutan dari PLTU No. 1. 2. 3.
Emisi Industri SO2 NO2 Debu
Konsentrasi 9,38 – 671,75 mg/m3 6,84 – 442,91 mg/m3 28,56 – 36502 mg/m3
b. Insinerator Limbah Sampah Kota Bahan bakar yang digunakan pada insinerator di atas adalah 90.000 ton sampah/hari. Beberapa informasi yang diperoleh, diantaranya adalah gas CO2 dan O2 yang diemisikan dari insinerator di Republik Cekoslowakia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil rata-rata pemantauan berkala emisi yang dihasilkan dari insinerator di Rep.Cekoslowakia No 1. 2.
Emisi Industri CO2 O2
Konsentrasi 10 – 13 % (v/v) 8 – 10 % (v/v)
c. Industri Logam dan Elektronik
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Advance Industrial Science and Technology 2009, diketahui bahwa beberapa negara di Asia, antara lain di Jepang, Taiwan dan Malaysia menghasilkan sekitar 0.5-1 kg CO2 per kWh dari setiap barangbarang elektrik yang dihasilkan oleh industri-industri logam di negara-negara tersebut. Sedangkan berdasarkan informasi dari suatu industri logam, informasi yang diperoleh adalah emisi gas-gas SOx, NOx serta partikel debu dengan konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil rata-rata pemantauan berkala emisi yang dihasilkan No. 1. 2. 3.
Emisi Industri SOx NOx Debu
Konsentrasi 1.700 ppm 185 ppm 0,25 g/Nm3
Ket: perusahaan logam Kita Kyusu, Jepang
22
2.4
Faktor Utama yang Menentukan Laju Pertumbuhan Mikroalga
2.4.1
Cahaya Pencahayaan merupakan parameter yang sangat penting dalam pendisainan dan
perakitan suatu FBR. Meski demikian parameter ini sangat sulit ditentukan kisaran yang paling ideal untuk peruntukan suatu FBR. Pencahayaan bisa diterapkan secara terus menerus sepanjang hari atau berdasarkan periode tertentu (light-dark cycles) tergantung dari biologi spesies yang dibiakkan dalam FBR. Beberapa alga ada yang menyukai pencahayaan yang terbatas, ada pula yang bersifat phototrophs yang memerlukan intensitas pencahayaan yang tinggi dan terus menerus.
Secara umum, mikroalga
bersifat phototroph sehingga tingginya tingkat pencahayaan akan meningkatkan growth rate nya (Acien 2000). Tabel 9 memperlihatkan hasil kajian para peneliti berkaitan dengan intensitas cahaya dalam fotobioreaktor yang digunakan. Tabel 9 Peneliti dan aplikasi penggunaan cahaya dalam FBR No 1 2 3 4
Peneliti Wu et al. 2002 Minoo et al. 1991 Acien 2000 Doucha 2005
Intensitas cahaya yg digunakan 250 uE.m-2 s-1 1-2 mW/cm2 185 uE.m-2 s-1 300-380 W.m-2
Keterangan luar ruangan luar ruangan luar ruangan luar ruangan
Cahaya merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk mikroalga untuk melakukan fotosintesis. Lewis (1967) dalam Paramita (2008) menyatakan bahwa siklus hidup Chlorella sp yang optimum berlangsung pada intensitas cahaya 400-2500 lux. Pemeliharaan mikroalga di laboratorium biasanya memakai lampu fluoresen yang memiliki keunggulan antara lain hemat energi karena seluruh energi listrik diubah menjadi energi cahaya, tidak menghasilkan panas yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi kultur miktoalga (Paramita 2008). Intensitas cahaya dalam lampu flouresen sebesar 40 Watt = 4000 lux. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang pesat pada awal pertumbuhan, tetapi kemudian sel mati (Paramita 2008).
23
Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintetis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Kebutuhan akan cahaya bervariasi tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux cocok untuk kultur dalam Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk volume yang lebih besar. 2.4.2
Sirkulasi Media dan Gas dalam FBR Sirkulasi media dan gas juga merupakan parameter penting yang dipertimbangkan
dalam perakitan FBR. Fungsi utama sirkulasi dalam FBR antara lain (Merchuk 2000): a. menjaga sel mikroalga selalu dalam kondisi suspended b. mengurangi stratifikasi suhu yang tinggi c. membantu distribusi nutrien d. meningkatkan perpindahan gas/menambah permukaan reaksi antara gas dan media e. mengurangi mutual shading dan photoinhibition Beberapa variasi sirkulasi media yang sering diaplikasikan dalam FBR antara lain (Vunjak et al. 2005): a. menggunakan stirerred-tank b. bubling udara secara langsung c. bubling udara secara tidak langsung dengan airlift sistem d. static mixer Sirkulasi yang kita berikan dalam FBR harus disesuaikan dengan kemampuan adaptasi mikroalga yang kita pelihara. Tingginya kecepatan bubling udara dalam FBR akan menyebabkan stress pada mikroalga. Oleh karena itu kecepatan bubling udara ini harus ditentukan seoptimal mungkin bagi kehidupan mikroalga. Beberapa pengalaman peneliti dalam penerapan kecepatan bubling dalam FBR disajikan dalam Tabel 10.
24
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 10 Peneliti dan penerapan kecepatan bubling dalam FBR Peneliti Kecepatan bubling udara Keterangan -1 Contreras et al. 1998 V=0.055 m.s luar ruangan -1 Ugwu et al. 2002 kLa=0.02 s luar ruangan Merchuk 2000 V=0.02 m.s-1 luar ruangan -1 Zhang et al. 1999 V=0.024 m.s luar ruangan -1 Acien 2000 V=0.25 m.s luar ruangan Camacho 1999 V=0.16 m.s-1 luar ruangan
Aplikasi injeksi gas CO2 dalam FBR sering dilakukan dalam upaya selain untuk meningkatkan produktivitas FBR juga dalam rangka misi lingkungan yakni mengurangi gas CO2. Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam injeksi gas tersebut adalah mengusahakan agar proses injeksi yang dilakukan tidak menurunkan pH media, untuk itu strategi yang harus dilakukan adalah meningkatkan kegiatan mengontrol pH media dalam FBR.
2.4.3 Suhu Suhu dapat berpengaruh secara langsung terhadap metabolism sel. Suhu minimum yang diperlukan Chlorella sp untuk tumbuh adalah 5oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 20–35oC. Jika suhu di bawah 5oC maka pertumbuhan akan terhambat dan menurunkan kelarutan karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) serta akan menggeser keseimbangan reaksi respirasi dan fotosintesis. Sedangkan jika suhu kultur diatas 35oC akan menyebabkan kematian sel (McVey 1993 dalam Paramita 2008). Menurut Reynolds (1990) suhu optimal bagi pertumbuhan mikroalga adalah 2540oC. Suhu mempengaruhi proses-proses fisika, kimia dan biologi yang berlangsung dalam sel mikroalga. Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktivitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Enzimenzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim. Selain gas CO2 dan O2, pH dan suhu adalah parameter penting yang harus selalu diukur dan dikontrol selama pembiakan dalam FBR berlangsung. Banyak metode yang digunakan dalam mengontrol dinamika parameter pH dan suhu, baik yang automatic maupun manual. (Tubalawoni 2001).
25
2.4.4
Derajat Keasaman (pH) Rentang pH yang baik untuk pertumbuhan mikroalga adalah 6-9. Menurut
Salisbury (1992) dalam Paramita (2008), perubahan pH medium dapat menyebabkan perubahan kelarutan ion ion misalnya garam-garam besi (Fe), seng (Zn), mangan (Mn), dan kalsium (Ca) menjadi sukar larut sehingga menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. McVey (1993) dalam Paramita (2008) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi pH maka semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida (CO2) bebas padahal kebutuhan organisme produsen akan karbondioksida (CO2) cukup tinggi untuk melakukan proses fotosintetis. 2.4.5
Nutrien Pertumbuhan suatu jenis mikroalga sangat erat kaitannya dengan faktor
ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu, hara makro dan mikro. Pada kultur mikroalga sangat dibutuhkan berbagai senyawa anorganik baik hara makro yaitu Nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), kalium (Cl), natrium (Na), kalsium (Ca) dan karbon (c) maupun unsur hara mikro yaitu besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn) iodium (I), boron (Br), silicon (Si), tembaga (Cu), molybdenum (Mo), dan kobalt (Co). Setiap unsur hara memiliki fungsi fungsi khusus yang tercermin pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai, tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan sulfur (S) penting untuk pembentukan protein, sedangkan kalium (Cl) berfungsi sebagai metabolism karbohidrat. Besi (Fe) dan natrium (Na) berperan untuk pembentukan klorofil, kemudian silicon (Si) dan kalsium (Ca) merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel. Vitamin B12 banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo et al. 1995). Di daerah yang mengalami pencemaran bahan organik, ketersediaan unsur hara tersedia dalam jumlah yang sangat tinggi yang jika disuplai oleh kesesuaian beberapa faktor fisik perairan seperti ketersediaan cahaya dan dinamika air, dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan mikroalga. Kejadian ini disebut dengan blooming
26
phytoplankton. Daerah yang mengalami proses penyuburan berlebih ini disebut sebagai daerah yang mengalami proses eutrofikasi. Dampak lanjutan dari proses eutrofikasi ini berupa: (1) deplesi oksigen (2) kematian ikan secara massal dan biota air karena deplesi oksigen dan racun (3) blooming algae yang beracun (toxic algae). Di beberapa daerah di Indonesia, kematian biota laut yang diakibatkan oleh blooming phytoplankton telah sering terjadi seperti di daerah Teluk Jakarta (Adnan 1994, Damar 2003).
2.5
Mikroalga Mikroalga/fitoplankton didefinisikan sebagai organisme tumbuhan mikroskopik
yang hidup melayang, mengapung di dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang terbatas (Garno 2002). Mikroalga merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai akar, batang dan daun, namun memiliki klorofil a sebagai pigmen fotosintesis utama disamping klorofil b, klorofil c, karotenoid dan plikobilin sehingga mampu mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi dari cahaya matahari ataupun bahan kimia. Bentuk tubuh mikroalga sangat beragam, mulai dari sel soliter yang berukuran kecil, memiliki flagel, amoeboid, berkoloni dalam lapisan mucilase, membentuk filament, hingga struktur sel multiseluler yang kompleks dan berukuran besar. Beberapa jenis mikroalga dapat tumbuh dan berkembang melimpah dalam waktu singkat (Adnan 1998). Dewasa ini mikroalga telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain bidang : 1. Bidang perikanan sebagai makanan larva ikan, dilakukan melalui isolasi untuk mendapatkan satu spesies tertentu, misalnya skeletonema sp. Kemudian dibudidayakan pada bak bak terkontrol pada usaha pembibitan ikan untuk keperluan makanan larva ikan. 2. Industri farmasi dan makanan suplemen, mikroalga yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi digunakan sebagai makanan suplemen bagi penderita gangguan pencernaan dan yang membutuhkan energi tinggi. Contoh produk yang beredar dari jenis Chlorella sp.
27
3. Pengolahan limbah logam berat, dalam pengolahan limbah logam berat mikroalga dapat digunakan untuk mengikat logam dari badan air dan mengendapkannya pada dasar kolam, sehingga logam dalam air menjadi berkurang. 4. Sumber energi alternatif biodiesel. Biomasa mikroalga selain mengandung protein, karbohidrat dan vitamin juga mengandung minyak. Bahkan jenis mikroalga tertentu, misal Bbotrycoccus braunii memiliki kandungan minyak yang komposisinya mirip seperti tanaman darat dengan jumlah yang lebih tinggi bila dibanding dengan kandungan minyak pada kelapa, jarak dan sawit. Mikroalga atau alga planktonik merupakan jenis thallophyta (tumbuhan yang tidak mempunyai akar, batang dan daun) yang memiliki klorofil a sebagai pigmen fotosintesis utama disamping klorofil b, klorofil c, karotenoid dan plikobilin. Bentuk tubuh mikroalga sangat beragam, mulai dari sel soliter yang berukuran kecil, memiliki flagel, amoeboid, berkoloni dalam lapisan mucilase, membentuk filament, hingga struktur sel multiseluler yang kompleks dan berukuran besar. Perbedaan tipe stuktur tubuh sangat penting dalam pengelompokan jenis mikroalga pada klasifikasi. Dalam setiap klas mikroalga, satu atau beberapa tipe berbeda dapat terlihat (Lee 1989, Sze 1993 dalam Nanaban 2007). Secara alami dalam suatu siklus karbon, mikroalga adalah biota utama yang memfiksasi karbon di suatu badan air. Karbon dioksida yang terlarut di dalam air (disebut sebagai DIC atau dissolved inorganik carbon) bersama-sama dengan nutrien serta bantuan cahaya akan digunakan oleh mikroalga untuk membangun sel tubuhnya. Selanjutnya, siklus karbon akan dilanjutkan ketika sel-sel mikroalga yang mati serta feses yang berasal dari zooplankton yang memangsa mikroalga (dikenal sebagai detritus)
akan
tenggelam
perlahan-lahan
(menghasilkan
particulate
organik
carbon/POC maupun dissolved organik carbon/DOC) ke dasar perairan. Dalam perjalanannya DOC dapat terdekomposisi, namun POC akan tenggelam ke dasar perairan. Di dasar perairan inilah karbon akan terkubur dalam jangka waktu yang cukup lama. Proses ini dikenal sebagai biological pumping.
28
2.5.1 Pemilihan Jenis Mikroalga Pemilihan atau penentuan jenis mikroalga baik air tawar, air laut ataupun mikroalga alam yang akan digunakan untuk kultur pada fotobioreaktor adalah penting untuk dilakukan, karena mikroalga tersebut harus sesuai dengan tujuan maupun target akhir dari kegiatan fotobioreaktor mikroalga yang akan dilakukan. Salah satu tujuannya adalah melihat efektivitas tingkat serapan dari beberapa jenis mikroalga dengan beberapa pertimbangan bahwa mikroalga yang terpilih memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan yang cukup tinggi; 2. Mampu adaptasi terhadap fluktuasi suhu yang cukup tinggi dan 3. Memiliki kandungan lipid yang cukup baik untuk potensi biofuel.
Berdasarkan analisis komposisi kimia yang terkandung dalam 11 spesies mikroalga (Feinberg 1984), diketahui bahwa: 1. Komposisi kimia pada mikroalga yang berpotensi untuk dijadikan biofuel meliputi: a. Lipid, yang dapat berupa ester fuel (melalui proses esterifikasi) maupun serupa seed oil b. Karbohidrat, yang dapat difermentasi menjadi etanol c. Protein 2. Kandidat spesies penghasil lipid tinggi adalah : a. Botryococcus braunii b. Nannochloropsis sp. 3. Kandidat spesies penghasil karbohidrat tinggi adalah: Dunaliella salina
Berdasarkan hasil uji di Balai Teknologi Lingkungan – BPPT, pertumbuhan antara 3 spesies (Chaetoceros gracilis, Tetraselmis dan Chlorella sp.) diketahui bahwa Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan yang paling tinggi (k=1.1986), sedangkan Tetraselmis dan Chlorella sp. masing-masing adalah k=0.9870 dan k=0.6486. Hasil uji pengaruh kepadatan awal terhadap pertumbuhan Chaetoceros gracilis di laboratorium diperoleh hasil bahwa kepadatan awal berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan. Dari perbandingan pertumbuhan berdasarkan perbedaan
29
kepadatan awal (100 sel/ml; 1000 sel/ml; 10.000 sel/ml dan 100.000 sel/ml) diketahui bahwa kepadatan sel 10.000 sel/ml adalah kepadatan awal yang paling optimal dalam kultur Chaetoceros karena dapat menghasilkan kelimpahan sel tertinggi dibandingkan dengan kepadatan-kepadatan awal lainnya. Gambar 3 memperlihatkan hasil dari pengembang biakkan strain murni mikroalga yang berasal dari air tawar dan air laut serta mikroalga alam yang siap untuk dimasukkan dalam fotobioreaktor.
Gambar 3 Strain murni dan mikroalga alam
Gambar 4 Pengkulturan mikroalga di laboratorium Balai Teknologi Lingkungan Serpong
Gambar 5 Perbanyakan kultur murni mikroalga dan mikroalga alam di laboratorium Serpong
30
2.5.2 Morfologi dan Habitat Mikroalga Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian tugas yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan mikroalga dari tumbuhan tingkat tinggi. Menurut Wulamni (2010), parameter pertumbuhan mikroalga mencakup pH, salinitas, suhu, cahaya, karbondioksida, nutrien dan aerasi. Tubuh mikroalga disebut “Thalus”, dapat berbentuk pipih, bulat dan lain lain. Substansinya bermacam-macam, ada yang lunak seperti tulang rawan (cartilaginous), berserabut (spongious) dan lainnya. Thalus mikroalga bervariasi, mulai dari sel tunggal yang kecil hingga yang besar dengan struktur multiseluler yang kompleks. Tipe struktur yang berbeda sangat penting dalam pengelompokkan jenis pada tingkatan klasifikasi (Paramita 2009). a. Chlorella sp Chlorela sp merupakan mikroorganisme yang termasuk dalam filum Chlorophyta atau yang sering kita kenal sebagai alga hijau. Alga hijau memiliki struktur yang hampir sama dengan tumbuhan, salah satunya ialah dinding selnya. Chlorella sp juga mempunyai dinding sel yang tersusun atas selulosa.
Menurut Vashista (1979) dalam Rostini (2007), Chlorella termasuk dalam : Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Chlorococcales Famili : Chlorellaceae Genus : Chlorella Spesies : Chlorella sp.
31
Gambar 6 Mikroalga jenis Chlorella sp. (Sumber: kultur Chlorella sp, perbesaran 40x) Sel Chlorella sp berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 μm. Dalam sel Chlorella mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D, E dan K, disamping banyak terdapat pigmen hijau (Sachlan 1982). Di dalam tubuhnya terdapat kloroplas berbentuk mangkuk. Chlorella mengandung berbagai nutrien seperti protein, karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil, enzim, serat yang tinggi. b. Nannochloropsis sp. Ciri khas dari Nannochloropsis sp adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa. Berwarna kehijauan, tidak motil, dan tidak berflagel. Selnya berbentuk bola, berukuran kecil dengan diamater 4-6 µm (Gambar 7). Nannochloropsis sp bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ppt, suhu 25-300C merupakan kisaran suhu yang optimal Mikroalga ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9.5 dan intensitas cahaya 10010000 lux. Organisme ini merupakan divisi yang terpisah dari Nannochloris karena tidak adanya chlorophyl b. Merupakan pakan yang populer untuk rotifer, artemia, dan pada umumnya merupakan organisme filter feeder (penyaring) (Anon 2008). Menurut Adehoog dan Simon (2001) dalam Anon (2009) Klasifikasi Nannochloropsis sp adalah sebagai berikut: Kingdom : Protista Superdevisi : Eukaryotes Divisi : Chromophyta Kelas : Eustigmatophyceae Genus : Nannochloropsis Spesies : Nannochloropsis sp
32
Gambar 7 Mikroalga jenis Nannochloropsis sp (perbesaran 40x) Mikroalga yang banyak ditemukan di laut ini memiliki ukuran sebesar 1-2 µm. Memiliki karakteristik tubuh yang berwarna hijau, ber sel tunggal dan bukan termasuk golongan mikroalga yang beracun. C. Scenedesmus sp Menurut
Watanabe
et.al.
(1978)
Scenedesmus
termasuk
dalam
kelas
Chlorophyceae dan family Scenedesmaceae. Scenedesmus dimorphus diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Cholococcales Famili : Scenedesmaceae Spesies : Scenedesmus sp Ciri umum Scenedesmus sp berwarna hijau terang, kosmopolitan (air tawar, payau, asin, dari oligotrof sampai eutrof, memiliki anggota terbanyak, eukariot (umumnya uninucleate), ada yang unisel, koloni dan filamen, pigmen yang dimiliki: klorofil a,b, karoten (ֶα,β,γ) dan beberapa xantofil, dinding sel terbuat dari selulosa atau polimer xylosa atau mannosa atau hemiselulosa. Menurut Becker (1994) Scenedesmus sp. mengandung 8-56% protein, 10-52% karbohidrat, 2-40% lemak serta 3-6% asam nukleat. Asam lemak pada Scenedesmus terdiri atas 25.161% berupa linoleat 23.459% oleat serta 2.286% Palmitat.
33
2.5.3
Fase Pertumbuhan Mikroalga Menurut Chilmawati (2007), terdapat lima fase pertumbuhan dalam siklus
mikroalga (Chlorella sp), yaitu: 1.Lag Fase Pertumbuhan fase awal dimana pertambahan kelimpahan sel yang terjadi jumlahnya sedikit. Fase ini mudah diobservasi ketika suatu kultur mikroalga yang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat media kultur. Pada fase ini biasanya terjadi stress fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media ke media yang baru. Hal ini juga dipengaruhi oleh kelarutan dari nutrien dan mineral yang lebih banyak pada media sebelumnya, sehingga mempengaruhi sintetis metabolik dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Dari perubahan perubahan ini sel mikroalga akan beradaptasi. 2.Fase Pertumbuhan Eksponensial Fase ini ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel. Pada fase ini struktur sel masih normal, secara nutrisi terjadi keseimbangan antara nutrien dalam media dan kandungan nutrisi dalam sel. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pada fase akhir exponensial, di dapatkan kandungan protein dalam sel yang sangat tinggi, sehingga kualitas sel benar benar terjaga. 3.Fase Pertumbuhan yang Berkurang Pada tahapan ini, pola pertumbuhan mengalami pengurangan kecepatan pertumbuhan sampai mencapai fase awal pertumbuhan yang stagnan. Fase ini ditandai dengan berkurangnya
nutrien
dalam
media sehingga
mempengaruhi pembelahan sel sehingga hasil produksi sel semakin berkurang. Walaupun kelimpahan sel masih bertambah namun nilai nutrisi dalam sel mengalami penurunan. 4.Fase Stationer
34
Fase dimana tingkat pertumbuhan kelimpahan sel mengalami pertumbuhan konstan akibat dari keseimbangan katabolisme dan metabolise sel. Pada fase ini ditandai dengan rendahnya tingkat nutrien dalam sel dan biasanya untuk kelimpahan sel alga yang rendah dalam kultur terjadi fase stationer yang pendek. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian 5.Fase Kematian Fase kematian pada sel terjadi karena perubahan kualitas air yang semakin memburuk, penurunan nutrien pada media kultur dan kemampuan sel yang sudah tua untuk melakukan metabolism. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah sel yang cepat. Secara morfologi pada fase ini biasanya ditandai dengan penurunan jumlah sel mikroalga, dimana kematian lebih banyak terjadi daripada pembelahan, warna air kultur berubah, terjadi buih di permukaan media kultur dan warna yang pudar serta gumpalan sel alga yang mengendap di dasar wadah kultur.
2.6
Fotobioreaktor Berbagai upaya telah dilakukan dalam pengurangan emisi karbondioksida (CO2)
di atmosfer. Salah satunya adalah bioteknologi dengan menggunakan mikroalga pada suatu fotobioreaktor yang telah dipelajari dan dikembangkan secara intensif pada awal tahun 1990 di berbagai negara. Penggunaan fotobioreaktor dianggap lebih efektif karena dapat mengontrol kondisi lingkungan seperti suhu, oksigen, nutrien, dan lain-lain (Andersen 2005). Fotobioreaktor (FBR) adalah sebuah wadah tertutup (terbebas dari kontak udara luar) untuk membiakkan sel bakteri/mikroalga dimana energi disuplai ke dalam wadah melalui energi cahaya (Behrens 2005). Secara umum faktor utama yang diperhitungkan dalam perakitan suatu fotobioreaktor ada dua hal yaitu penerapan biaya operasional yang efektif dan konsistensi dalam menjaga kualitas biomass yang dihasilkan. Beberapa keuntungan utama menggunakan sistem tertutup fotobioreaktor adalah produksi biomassa konsentrasi tinggi, lebih sedikit kemungkinan kontaminasi, dan mencegah kehilangan air akibat penguapan selama operasi rutin.
35
Pada awalnya FBR difungsikan untuk memproduksi suatu biomass (Merchuk et al. 2002), namun dalam perkembangannya kemampuan FBR menjadi multifuction antara lain: a. Menghasilkan pigmen, fatty acids, dan bioactive molecules (Behrens 1992) b. Menghilangkan beberapa senyawa toxic dan B3 dalam air (Camacho 1999) c. Menghasilkan gas dalam cyanobacteria (Kawai et al. 2005) d. Menyerap gas CO2 (Kawai et al. 2005) e. Memproduksi gas hydrogen (Kawai et al. 2005)
Dalam rangka mengakomodasi beberapa multi fungsi FBR di atas, FBR perlu didesain dan dirakit dengan mempertimbangkan beberapa parameter penting. Banyak model dan bentuk FBR yang telah dikembangkan mulai dari tubular hingga cylinder sistem. Berikut ini disajikan rangkuman beberapa konfigurasi parameter yang sering mendapat perhatian dalam pendisainan suatu FBR.
2.6.1
Bentuk Fotobioreaktor Beberapa bentuk fotobioreaktor yang bisa digunakan untuk budidaya mikroalga,
yaitu pipa (tubular) horizontal dan vertical, spiral (helical) dan panel tipis horizontal (horizontal thin-panel). Berdasarkan beebrapa macam model FBR tersebut, dasar pertimbangan yang sering menjadi acuan antara lain: bagaimana FBR dapat mensuplai cahaya, bagaimana mensirkulasi media dalam FBR, bagaimana mensuplai gas CO2 dan menyerap O2 dan bagaimana mengontrol pH dan suhu dalam FBR. Rancangan sistem fotobioreaktor (FBR) yang akan dipakai adalah model airlift seperti terlihat pada Gambar 8. Keuntungan penting lainnya menggunakan fotobioreaktor tubular dan vertikal adalah: (i) air di dalam reaktor lebih homogen dan lebih terkontrol pH reaktor dari kebanyakan jenis lain, (ii) meningkatkan homogenitas cairan sehingga relatif konsisten laju metabolisme sel nya, (iii) operasional lebih fleksibilitas dengan jumlah kolom lebih banyak, sehingga kalau scale up dengan mudah disesuaikan, (iv) kemampuan untuk budidaya beberapa ganggang yang berbeda pada saat yang sama di unit yang terpisah,
36
dan (v) secara substansial mengurangi kebutuhan energi untuk memompa udara kedalam reaktor. Reaktor dengan tipe airlift ini diketahui memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sistem kolom gelembung (bubble columns), dimana pola sirkulasi fluida ditentukan oleh desain reaktor yang memiliki saluran untuk aliran air-udara ke atas (riser) dan saluran terpisah untuk aliran ke bawah (downcomer) (Vunjak et al. 2005).
Gambar 8 Desain Fotobioreaktor (Santoso et al.2009) Model airlift ini dipilih untuk menjadikan FBR akan lebih produktif dan mudah pengoperasiannya. Dalam satu unit FBR terdiri dari satu kolom dengan draught tube. Satu (1) sistem FBR terdiri atas tujuh kolom dan terdapat lima sistem fotobioreaktor dalam rencana penelitian ini.
Volume air masing masing kolom sekitar 10 liter,
ditambah dengan volume U PVC sekitar 4 liter, terdapat 6 buah U PVC yang terletak 3 di bagian atas dan 3 buah di bagian bawah seperti yang terlihat pada Gambar 8. Total dalam satu sistem mempunyai volume 100 liter air. Kolom ini berfungsi untuk menjaga sirkulasi media dan gas selalu stabil. Pergerakan air akan melalui draught tube sampai ke atas dan kemudian turun ke bawah melalui kolom dan naik kembali ke atas melalui draught tube. Pergerakan kolom air berjalan seimbang pada ke tujuh kolom. Tabel 11 memperlihatkan spesifikasi penyusun fotobioreaktor.
37
Berkaitan dengan daya tembus cahaya, diamater reaktor tidak boleh terlalu besar sehingga sumber cahaya yang diberikan dapat mencapai bagian yang paling dalam, terutama ketika konsentrasi alga di dalam reaktor semakin besar. Kedalaman penetrasi cahaya dapat dihitung dengan rumus d=60/c, dimana d dan c berturut turut menyatakan kedalaman penetrasi (dalam mm) dan konsentrasi alga (dalam gr/liter) (Javanmardian et al. 1991). Jadi dengan konsentrasi alga sekitar 1 gr/liter. Kedalaman penetrasi cahayanya adalah 60 mm. Tabel 11 Spesifikasi penyusun FBR Nama Peralatan
Spesifikasi
Keterangan
1. Tabung reaktor
Bahan akrilik 5 mm diameter akrilik 10 cm tinggi 160 cm Bahan akrilik 3 mm diameter 8 cm tinggi 80 - 120 cm Bahan PVC ukuran 10 cm Bahan stainless steel volume 5 liter
Volume tabung 10 liter (1 sistem terdiri atas 7 tabung reaktor). (5 sistem reaktor) Berfungsi membantu di dalam sirkulasi media. Terletak di dalam tabung reaktor Dilengkapi dengan silt karet 3 mm. Berfungsi sebagai pendingin udara (cooler) dari genset sebelum masuk ke dalam fotobioreaktor Valve sebagai tempat masuk/keluarnya gas emisi dipasang di bawah pada setiap kolom reaktor drain tube dan pada setiap bagaian atas kolom reaktor Untuk pengambilan sampel
2. Draught tube
3. U kolom 4. Heat exchanger 5. Stick input/output
6.
2.6.2
Kran sampel
Bahan tembaga/stainless steel ukuran 5/8” Bahan PVC ukuran 1/4”
Dinamika Fluida dalam FBR Menurut Merchuk et al. (2002), terdapat beberapa parameter desain dan operasi
yang mempengaruhi pola aliran liquid, solid dan gas dalam air lift reaktor (ALR), antara lain : 1. Gas input : input kecepatan gas yang diinjeksikan ke dalam reaktor. 2. Top clearance (CL) : jarak antara upper part draft tube (flens atas) dengan media/liquid.
38
3. Area ratio (Ad/Ar) : merupakan perbandingan antara luas permukaan downcomer dengan riser. 4. Tinggi reaktor. 5. Bottom clearance : jarak antara dasar reaktor dengan tube gas input 6. Disain separator.
Parameter-parameter diatas merupakan variabel independen yang dapat diatur dalam rancangan awal reaktor. Variabel disain merupakan parameter awal yang dapat ditentukan dalam disain ALR, sedangkan variabel operasi merupakan rancangan awal kondisi percobaan yang akan dilakukan.
Ilustrasi parameter desain dan proses
diperlihatkan pada Gambar 9.
Top Clearance (Cl)
Desain separator
Tinggi Reaktor
Gas input Bottom Clearance (Cb) Ar Ad
Ad
Gambar 9 Komponen – komponen airlift fotobioreaktor (Merchuk et al. 2002) Hubungan antara variabel disain, variabel operasi dan variable hidrodinamik dapat digambarkan secara lengkap oleh Merchuk et al. 2002 pada Gambar 10.
39
Opeartion Variable
Design Variable
Top Pressure Drop
Friction Pressure Drop
Area Ratio
Liquid Velocity
Bottom Pressure Drop
Reactor Height
Gas Input
Riser Hold Up
Viscosity
Bottom Clearance
Top Clearance
Separator Hold Up
Down Comer Hold Up
Separator design
Gambar 10 Hubungan antara variabel disain, variabel operasi dan variable hidrodinamik Viskositas merupakan salah satu variabel penting dalam dinamika fluida dalam ARL, akan tetapi skema diatas menunjukkan bahwa viskositas bukan variabel independen yang dapat diatur, karena merupakan fungsi yang dipengaruhi gas hold-up dan kecepatan cairan (liquid) dalam keadaan fluida non-newtonian. Pada saat proses reaktor berjalan viskositas juga akan berubah seiring berubahnya komposisi cairan Konfigurasi aliran: Pada riser, gas dan liquid mengalir ke atas. Kecepatan gas pada umumnya lebih tinggi daripada kecepatan liquid, kecuali pada keadaan homogenous flow dimana gas dan liquid mengalir dalam kecepatan yang sama. Hal ini terjadi bila gelembung (bubble) yang sangat kecil terbentuk. Pada downcomer, liquid mengalir dan membawa bubble kebawah. Agar ini terjadi, kecepatan liquid harus lebih besar dari kecepatan mengambang (free rise velocity) dari bubble. Jika kecepatan gas input kecil; drag force yang dihasilkan akan tidak mencukupi untuk melawan buoyancy, akibatnya terjadi feed back loop dalam downcomer dan terjadi stratifikasi bubble. Diperlukan gas input dan rasio Ar/Ad yang tepat untuk membentuk aliran yang uniform dan tipe aliran yang diinginkan.
40
Gas separator. Disain geometris dari separator akan mempengaruhi banyaknya bubble yang lepas dari riser. Disain gas separator yang diperlebar bertujuan untuk mengurangi kecepatan liquid dan menampung bubble yang terlepas. Gas holdup. Gas holdup merupakan fraksi volumetrik gas dalam total dispersi liquid, gas dan solid. Persamaannya ditunjukan oleh persamaan dibawah ini oleh Merchuk et al. (2002). [1]:
i
Vg Vl Vg Vs
(1)
Subindeks menunjukkan liquid, gas dan solid; sedangkan i menunjukkan area yang diamati. Gas holdup merupakan parameter penting karena (1) nilai gas holdup menunjukkan indikasi potensi dari transfer massa, semakin besar nilai gas hold up menunjukkan semakin besarnya area interfacial liquid-gas, (2) perbedaan nilai gas holdup, riser dan downcomer menghasilkan driving force untuk sirkulasi liquid. Persamaan gas hold up dalam internal ALR ditunjukkan oleh persamaan 2 :
r a ( Jc) (
Ad ) Ar
(2)
Dengan memasukkan persamaan untuk menghitung kecepatan superficial Jc, maka didapat persamaan 3 :
ra(
Q Ad ) ( ) Ar Ar
(3)
a, , ,
merupakan konstanta yang disesuaikan disain geometri reaktor. Dengan menaikkan kecepatan superficial, nilai gas hold up juga akan meningkat, akan tetapi
, perlu diperhatikan bahwa konstanta
bernilai negatif, sehingga untuk menaikkan
gas hold up, diperlukan perbadingan (Ad/Ar) yang semakin kecil. Persamaan di atas juga dapat menjelaskan pengaruh viskositas dari liquid, semakin besar nilai viskositas, nilai gas hold up akan semakin kecil.
41
Pengaruh Viskositas. Semakin rendah viskositas liquid, akan mempengaruhi nilai gas hold up yang cenderung semakin tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena free rise velocity yang semakin meningkatkan nilai residence time. Pengaruh top clearance. Percobaan yang dilakukan Merchuk et al. (2002) menunjukkan hasil, semakin rendah nilai top clearance, nilai gas hold up akan cenderung semakin meningkat. Berdasarkan rangkungan studi pustaka tentang kreteria dan dinamika fluida di atas, beberapa referensi di bawah ini diharapkan dapat membantu kegiatan perakitan dan kegiatan operasional FBR. 1. Untuk membentuk homogenous bubbly flow, Inlet superficial gas velocity pada riser sebaiknya dibawah 0.05 m/s, karena dengan menaikkan gas flow rate dapat merubah aliran menjadi slug flow, dimana buble yang cukup besar dan kapasitas mass transfer yang kecil akan terbentuk (Merchuk et al. 2000). 2. Superficial gas velocity (riser based) JG ) adalah 0.334 cm/s 3. Intensitas cahaya pada dinding reaktor adalah 250 íE/m2âs 4. Tinggi kolom adalah 1 m. 5. Rasio riser dan downcomer (Ar/Ad ) adalah 0.5
Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 12.
42
Tabel 12 Penelitian dan metode serta hasil penelitian terkait novelty No
Peneliti
Metode
1.
Molina (2001)
et
al. Membuat disain tubular photobioreactor untuk mengkultur alga. Volumenya 0,2 m3 dengan jenis mikroalga phaeodactylum tricornutum. Disain lebih ditekankan kepada mekanisme aliran, percampuran massa gas dan tingkat radiasi sinar matahari
Dengan tubular photobioreaktor dan jenis mikroalga phaeodactylum tricornutum mempunyai produktifitas 1,90 gram/liter/hari dengan dilution rate 0,04/hari. Kecepatan linier aliran 0,35 – 0,50 m/detik akan meningkatkan produktifitas, sedangkan kecepatan aliran kurang dari nilai tersebut akan menyebabkan kematian mikroalga yang ada.
2
Yanlie (2006)
et
al. Memanfaatkan CO2 hasil power plant batubara dengan tipe fotobioreaktor salah satunya berbentuk Lshaped glass plate dengan luas area 2,16 m2, memakai cahaya matahari dan injeksi flue gas 11% CO2. Jenis mikroalga yang dipakai chlorococcum, chlorella dan galdieria sp.
Dengan bentuk fotobioreaktor Lshaped glass plate, injeksi CO2 11% dan jenis mikroalga chlorococcum mempunyai kemampuan terhadap temperatur 15-27oC, pH 4-5 dan toleransi CO2 > 70%, sedangkan chlorella toleransi temperatur 15-45 oC, pH >7, CO2 > 60% (toleransi temperatur tinggi), sedangkan galdieria mempunyai toleransi temperatur 50oC, ph 1-4 dan CO2 100% (toleransi suhu dan CO2 tinggi)
3
Chrismadha (2007)
dkk Penelitian dengan pemanfaatan fenomena flashing light effect untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis dalam kultur alga di fotobioreaktor tubular tegak . Jenis mikroalga Ankistrodesmus convulutus ditumbuhkan secara batch di dalam fotobioreaktor.
Uji coba dilakukan dengan perlakuan variasi intensitas cahaya yang berbeda, yaitu sekitar 1200 luks, 2500 luks, dan 5500 luks, yang berasal dari sumber cahaya lampu TL 2 X 40 watt, 4 x 40 watt, dan 6 x 40 watt. Hasil percobaan memperlihatkan respon peningkatan produksi biomassa dan kandungan klorofil yang Iebih tinggi pada kultur alga dalam reaktor sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya.
4.
Rahmania (2008)
Melakukan uji kultur mikroalga fotobioreaktor menyerap CO2, pada spesies air
Hasil Penelitian
coba pada untuk baik tawar
Konsentrasi CO2 sekitar 12% dapat diturunkan dalam waktu sekitar 7 hari oleh spesies Chlorella sp, dan sekitar 13 hari
43
maupun air laut dalam oleh spesies Chaetoceros sp skala batch. Sumber gas input dari CO2 murni. 5.
Sheng (2008)
6
REW’s Power Plant, di BergheimNiederaussem Jerman. (2008)
7.
et
al. Penelitian menggunakan strain chlorella sp yang cukup kental dengan beberapa variasi CO2 pada semicontinuous photobioreactor.
Selama 8 hari cultivation terjadi peningkatan biomass Chlorella secara signifikan dengan berbagai variasi injeksi CO2. Konsentrasi CO2 sebesar 2%, 5%, 10% dan 15% akan menurunkan CO2 sebesar 0,261, 0,316, 0,466 dan 0,573 gram/hari
Penelitian ini baru dimulai tahun 2008 dan berskala cukup besar. Input yang dipakai berasal dari REW’s Power menggunakan mikroalga di dalam upaya untuk mereduksi CO2. Fotobioreaktornya menggunakan bahan berdasar plastik yang bening dan kuat, tetapi tetap lentur, berbentuk V
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroalga dapat mengurangi konsentrasi
kultur Program Insentif Melakukan mikroalga dengan botol Dikti (2009) duran melalui spesies air laut yaitu Tetraselmis sp. dan Skeletonema sp. yang dikultur dalam skala batch,. Untuk gas input menggunakan CO2 murni.
Dalam waktu kultur selama 5 hari dengan skala batch, Tetraselmis sp. mampu menurunkan konsentrasi gas CO2 sebesar 8-9% setara dengan 2.22 gr CO2.. Sedangkan Skeletonema sp. dalam mereduksi CO2 dengan pasokan konsentrasi gas 10%, 8% dan 4% CO2 telah mengakibatkan kematian mikroalga setelah 2-3 hari masa kultur, yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya kelimpahan sel.
CO2 yang diemisikan dari PLTU E.On Ruhrgas 350 MW sebesar 1%.