II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan
mengambil bahan mineral dari dalam tanah (Acton 1973 dalam Rani 2004). U
U
Berdasarkan definisi sumber daya alam tidak terbarukan adalah sumber daya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, maka barang tambang dapat dikatakan sebagai sumber daya tidak terbarukan. Karena sifatnya yang tidak terbarukan ini, maka dalam kurun waktu tertentu cadangan sumberdayanya akan habis dan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan lingkungan sosial. Pada dasarnya kegiatan pertambangan akan menyebabkan perubahan bentang alam sehingga berpotensi mengubah tatanan ekosistem suatu wilayah. Permasalahan pembangunan ekonomi adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan pembangunan dapat dilakukan seiring dengan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan. Pada dasarnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam akan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan ke arah yang lebih buruk, sedangkan lingkungan merupakan fondasi dasar bagi kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan konsep keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan upaya agar generasi saat ini dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengurangi kemampuan dan kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan dapat U
U
diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:
8
•
Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan
dan
menghindari
terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. •
Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.
•
Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Lingkungan, sosial, dan ekonomi merupakan suatu kesatuan dan dengan pemahaman dari ketiga aspek ini maka pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan
pertambangan,
sebagai
salah
satu
pendukung
dalam
mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga perlu memperhatikan aspek lingkungan. Dengan terjaganya kelestarian lingkungan kegiatan pertambangan dapat berjalan secara berkelanjutan. Selain itu, pengelola harus memperhatikan tingkat ekstraksi dalam penambangannya agar kegiatan pertambangan dapat dilakukan selama mungkin. Menurut Djajadiningrat (2007) ciri-ciri praktek pertambangan yang baik, secara umum adalah sebagai berikut:
9
1. Mematuhi kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Mempunyai perencanaan yang menyeluruh tentang teknik pertambangan dan mematuhi standar yang telah ditetapkan; 3. Menerapkan teknologi pertambangan yang tepat dan sesuai; 4. Menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan di lapangan; 5. Menerapkan
prinsip
konservasi,
peningkatan
nilai
tambah,
serta
keterpaduan dengan sektor hulu dan hilir; 6. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan; 7. Melindungi dan memelihara fungsi lingkungan hidup; 8. Mengembangkan potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat; 9. Menghasilkan tingkat keuntungan yang memadai bagi investor dan karyawannya; 10. Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang. 2.2
Pertambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penambangan pasir termasuk salah satu jenis pertambangan mineral. Pertambangan pasir merupakan pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak, dan gas bumi, serta air tanah.
10
Menurut Soedarmo dan Hadiyan (1980), terdapat dua pasir kwarsa, yaitu pasir kwarsa putih dan pasir kwarsa hitam. Pasir kwarsa putih, yang kita sebut sehari-hari sebagai pasir putih, adalah batuan yang terbentuk karena pengendapan dari hasil pelapukan batuan, dan akhirnya dicuci oleh alam misalnya oleh air atau angin. Oleh karena itu, pasir putih banyak terdapat di tepi sungai, pantai-pantai laut dan dasar laut. Adanya warna yang abu-abu disebabkan karena adanya kotoran: seperti oksida logam dan bahan organik. Jenis dan banyaknya kotorankotoran yang melekat pada pasir kwarsa merupakan hal yang penting untuk menentukan mutu dan tujuan pemakaiannya. Pasir kwarsa hitam adalah pasir biasa yang kita kenal sehari-hari, yang berwarna kehitam-hitaman dan biasa dipakai bahan bangunan. Pasir ini terutama terdiri dari kristal-kristal silikat (SiO2). Terbentuknya pasir ini sama dengan terbentuknya pasir kwarsa putih akan tetapi berhubung banyaknya berbagai macam kotoran-kotoran yang melekat padanya, terutama kotoran-kotoran yang terdiri dari oksida-oksida logam dan bahan organik, maka warnanya tidak putih bersih lagi, tapi menjadi kehitam-hitaman. Pasir kwarsa hitam yang terdapat di tepi-tepi sungai, danau dan laut, bentuknya agak bulat dan licin, sedangkan di daratan umumnya runcing-runcing dengan permukaan yang agak besar. Mutu dari pasir kwarsa hitam bergantung dari bentuk butiran-butiran dan banyaknya kotoran-kotoran yang melekat padanya. Kotoran-kotoran yang dianggap berbahaya untuk keperluan bangunan adalah lempung, bahan-bahan organik, dan garam sulfat. Pasir kwarsa digunakan sebagai bahan utama atau bahan pelengkap dalam industri-industri gelas, barang-barang tahan api, keramik, pengecoran logam,
11
semen, dan sebagainya. Pasir kwarsa juga digunakan sebagai bahan baku untuk “fero silicon/silicon karbit” dan bahan baku pembuatan amplas. Dalam pertambangan umum kita mengenal beberapa macam cara penambangan yaitu penambangan dalam (under-ground mining), penambangan terbuka (open-pit mining), penambangan hydrolis (hydraulic mining), dan pengerukan (dredging), yang dapat dilakukan di darat maupun di laut (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976). Shenyakov (1970) dalam Rani (2004) U
U
menyatakan bahwa pertambangan bahan bangunan pasir dan batu menggunakan sistem pertambangan terbuka (open-cut mining). Hal ini dilakukan karena jenis bahan galian tersebut berada di permukaan tanah atau dalam kedalaman yang tidak terlalu dalam. Penambangan pasir dapat dilakukan dengan cara konvensional dan cara mekanis. Menurut Handoyo et al. (1999) dalam Rani (2004), penambangan pasir U
U
dengan alat mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader, dan Bulldozer. Penambangan pasir secara mekanis meliputi kegiatan: 1. Pengupasan, yaitu kegiatan memindahkan lapisan tanah penutup (over burden) yang tebalnya sekitar 0,5-5 meter dengan menggunakan alat berat Back Hoe dan Excavator. 2. Penggalian dan pemuatan, yaitu kegiatan penggalian lasir dari sumber lapisan dan sekaligus memuatnya ke dalam truk. Alat yang digunakan adalah Back Hoe, Excavator, dan Wheel Loader. 3. Pengangkutan, yaitu kegiatan mengangkut/memindahkan bahan galian pasir dari tempat penggalian ke tempat penimbunan atau langsung kepada konsumen dengan menggunakan truk berkapasitas ± 6m3.
12
Cara penambangan konvensional dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul, dan sekop. Penambangan dilakukan dengan cara berkelompok terdiri dari 4-5 orang. 2.3
Dampak Kegiatan Penambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, pengangkutan dan penjualan tidaklah menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang berarti untuk dipersoalkan. Penambangan, pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang cukup besar, apabila tidak dilakukan pengaturan-pengaturan sebagaimana mestinya. Kegiatan penambangan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan permukaan tanah. Usaha pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan pencemaran air (sungai, danau, laut) dan pencemaran udara akibat adanya bahanbahan kimia atau kotoran-kotoran sisa yang terjadi dalam pengolahan dan pemurnian atau sebagai akibat penggunaan bahan-bahan kimia tertentu dalam proses pengolahan dan pemurnian. Beberapa cara penambangan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut Barrow (1991) dalam Rani (2004), pertambangan permukaan terbuka U
U
(open-cut mining) akan mengakibatkan gangguan seperti menimbulkan lubang besar pada tanah, penurunan muka tanah atau cekungan pada sisa bahan galian
13
yang
dikembalikan
ke
dalam
lubang
galian.
Bahan
galian
apabila
ditumpuk/disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor atau senyawa beracun tercuci ke daerah hilir, serta kebisingan suara, debu, getaran, dari mesin-mesin dan ledakan bahan peledak. Sedangkan BPHN (1976) menyatakan bahwa penambangan dalam dapat mengakibatkan tanah runtuh apabila pengisian ruang-ruang kosong di bawah tanah tidak dilakukan. Penambangan dalam dapat juga mengakibatkan turunnya permukaan air tanah (ground water level). Penambangan terbuka dapat mengakibatkan tanah longsor, genangan-genangan air, dan mengakibatkan tanah menjadi gersang sehingga sukar untuk dihijaukan kembali. Dengan demikian maka masalah lingkungan hidup di pertambangan terutama berada dalam kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pengolahan. Dan menurut cara penambangannya, masalah yang besar akan timbul pada penambangan dalam dan penambangan terbuka, termasuk cara pengerukan (dredging), jika kegiatan penambangan ini dilakukan tanpa menerapkan prinsip konservasi dan upaya rehabilitasi lahan. Menurut Wardoyo et al. (1999) dalam Rani (2004), dampak fisik akibat U
U
pertambangan pasir adalah: 1.
Perubahan bentang alam Perubahan bentang alam merupakan dampak pertambangan yang terlihat jelas. Permukaan lahan ini akan mengakibatkan tingginya run off. Kondisi bentang alam sebelum pertambangan merupakan perbukitan yang rata-rata Kemiringannya adalah 6°-16°. Setelah adanya kegiatan pertambangan kemiringan akan mencapai 45°-90° disertai lubang-lubang bekas galian.
14
2.
Perubahan iklim mikro Kegiatan pertambangan pasir akan mengakibatkan perubahan arah angin, kecepatan angin, dan suhu.
3.
Terganggunya habitat biologi Perubahan lahan dan hilangnya vegetasi akan mengakibatkan terganggu dan hilangnya habitat flora dan fauna.
4.
Terganggunya jalur akuifer air tanah Pemotongan bukit akan mengganggu jalur akuifer air tanah. Akuifer air tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat.
5.
Berkurangnya produktivitas tanah Penurunan kualitas tanah akibat hilangnya lapisan top soil akan mengakibatkan kesuburan tanah berkurang.
2.4
Alih Fungsi Lahan Utomo, et al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya
disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
15
Kelurahan Mulyaharja, Sihalaho (2004) memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yakni (1) faktor pada aras makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan ‘marginalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi, (2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi). 2.4.1
Faktor Penyebab Konversi Lahan Konversi lahan pada umumnya dipengaruhi oleh transformasi struktur
ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan perumahan. Secara umum, pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997). Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekalipun
16
pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. 2.4.2
Dampak Konversi Lahan Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indicator kesejahteraan masyarakat desa (Furi, 2007). Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal). Menurut Munir (2008), dampak konversi lahan pertanian menjadi penambangan pasir dan batu di Desa Candimulyo, Wonosobo dapat dilihat pada berbagai kehidupan masyarakat berupa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan rumah tangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta berkurangnya tingkat pengangguran karena banyaknya masyarakat yang pada awalnya menganggur ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah perubahan sikap sebagian masyarakat selalu ingin mengambil bagian keuntungan dari orang lain dan dampak lingkungan yang menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak. 2.4.3
Produktifitas Lahan Produktifitas
lahan
sawah
menentukan
pendapatan
petani
dari
usahataninya. Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk yang
17
dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah dan selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani akan semakin rendah. Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktifitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengkonversi lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktifitas rendah (Utama, 2006). 2.5
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Indonesia memilki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, namun
bangsa Indonesia belum dapat menghargai/menilai sumberdaya alam ini secara benar dan semestinya. Nilai yang diberikan terhadap sumberdaya alam hanya sebatas nilai pasarnya dan nilai pasar ini pada umumnya didasarkan atas kegunaan dari sumberdaya alam tersebut. Akibatnya sumberdaya alam yang belum diapresiasi pasar memiliki nilai yang rendah, bahkan tidak bernilai sama sekali. Dan pada akhirnya masyarakat Indonesia menjadi kurang peduli atas sumberdaya alamnya,termasuk kondisi lingkungan. Pengelolaan sumberdaya alam selalu ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat nyata (tangible benefits) maupun manfaat tidak nyata (intangible benefits). Untuk memahami manfaat sumberdaya alam ini, perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut. Nilai dari suatu barang atau jasa lingkungan sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil keputusan (Ansahar, 2005). Sedangkan menurut Kramer et al. (1994) dalam U
U
18
Handayani (2002), penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai sumberdaya alam ini sangat bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup: apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilai dan sebagainya (Davis dan Johnson dalam Ansahar 2005). U
U
Terdapat
hubungan
ekonomi/pembangunan
dan
timbal
balik
lingkungan.
yang Kegiatan
erat
antara
aktivitas
ekonomi/pembangunan
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Diperlukan apresiasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, agar daya dukung lingkungan terhadap pembangunan tidak menurun. Sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) menghasilkan barang yang dapat dikonsumsi langsung sebagai energi dan merupakan penyedia jasa lingkungan yang memberi bentuk manfaat lain yang berasal dari fungsi ekologis sistem lingkungan. Selain itu, SDAL memiliki manfaat potensial yang kemungkinan baru diketahui di masa yang akan datang dan perlu dipertahankan
19
keberadaannya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan kata lain, sumberdaya alam dan lingkungan memiliki fungsi ekonomis dan ekologis dan keduanya perlu diapresiasi untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Nilai dari sumberdaya alam dan lingkungan merupakan total dari barang dan jasa yang perlu diapresiasi tersebut. Untuk kemudahan dalam menentukan nilai tersebut, diperlukan tolak ukur yang relatif mudah dan relatif dapat diterima dari berbagai sudut pandang keilmuan, yaitu harga. Ada tiga langkah yang dikemukakan oleh Ruitenbeek (1991) dalam Wawo (2000) dalam menilai suatu ekosistem secara U
U
ekonomi, yaitu: (1) identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem, (2) kuantifikasi segenap manfaat ke dalam nilai uang, dan (3) pilihan dan evaluasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung dalam ekosistem itu. Seperti dijelaskan sebelumnya, penentuan harga/nilai SDAL ini pada umumnya didasarkan pada nilai pasar. Nilai pasar untuk SDAL dapat dikatakan masih terlalu rendah. Oleh karena itu, penilaian ekonomi terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan biasanya dicerminkan dengan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total dianggap sama dengan manfaat bersih yang diterima individu dari sumberdaya alam dan lingkungan.
20
Nilai Ekonomi Total
Nilai Penggunaan
Nilai guna langsung
Nilai guna tidak langsung
Nilai Non-Penggunaan
Nilai pilihan
Nilai keberadaan
Nilai warisan
Gambar 1. Nilai ekonomi total Penjelasan mengenai komponen-komponen nilai ekonomi total: 1.
Nilai Kegunaan Konsumtif (use value) Merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan dari sumber daya alam.
Use value, seperti terlihat dalam gambar 1. terdiri dari : a.
Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu
dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan. b.
Nilai guna tak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau
dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. 2.
Nilai Kegunaan Non Konsumtif ( non-use value) Merupakan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang muncul karena
keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai ini lebih sulit untuk diukur karena didasarkan pada preferensi individual terhadap sumberdaya alam dan lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Non-use value, seperti terlihat dalam gambar terdiri dari:
21
a.
Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai yang didasarkan pada
terpeliharanya SDA tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut. b.
Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai yang diberikan oleh
generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang. Selain kedua manfaat tersebut ada juga nilai lain yaitu nilai pilihan (option value), yaitu nilai pemeliharaan SDAL untuk kemungkinan dimanfaatkan pada masa yang akan datang. Manfaat dari penentuan nilai ekonomi total adalah: (1) apresiasi yang tinggi terhadap SDAL, (2) merupakan data/informasi penting untuk menentukan kebijakan pengelolaan SDAL, (3) sebagai bahan analisis dalam menentukan proyek pemanfaatan SDAL. 2.6
Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Methode) Menurut Dewi (2006), metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi
asset
produktif
yang
rusak karena penurunan kualitas sumberdaya atau
kesalahan pengelolaan. Biaya ini diperlukan sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan menunjukkan perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota-biota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek lain, misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat : • Hilangnya tempat bertelur (spaning ground)
22
• Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) • Penurunan produktivitas primer diperairan. Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk nilai uang, maka hasil perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan. 2.7
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai penambangan pasir masih relatif sedikit jumlahnya.
Penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ansahar (2005), mengenai valuasi ekonomi dan dampak lingkungan pada penambangan pasir darat di Tarakan. Dalam penelitiannya, Ansahar juga mencoba mengidentifikasi dampak dari kegiatan penambangan pasir darat dan menilainya. Terdapat perbedaan komponen biaya pengganti yang digunakan sebagai penilaian kerusakan lingkungan antara penelitian yang dilakukan Ansahar dengan penelitian ini. Ansahar menggunakan tiga komponen biaya pengganti, yaitu biaya dampak kualitas udara dan partikel debu; biaya penurunan tanaman produktif; dan biaya dampak erosi tanah, sedimentasi dan kerusakan lahan. Selain itu, penambangan pada penelitian Ansahar bersifat legal, sedangkan penambangan pasir di Kecamatan Tamansari bersifat liar dan tidak memiliki izin. Hasil dari penelitian Ansahar menunjukan bahwa nilai ekonomi dari aktifitas penambangan pasir lebih besar dibandingkan nilai kerusakan lingkungannya. Penelitian yang dilakukan Rani (2004) lebih menunjukan kepada pengaruh fisik akibat penambangan pasir, yaitu bagaimana kualitas tanah dan produktivitas lahan. Nilai dampak akibat penambangan pasir tidak diperhitungkan.
23