IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET
INDAH OCTAVIA PUTRI
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Indah Octavia Putri NIM I34110034
ABSTRAK INDAH OCTAVIA PUTRI. Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis subyek dan obyek agraria di Desa Bantar Karet, menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Aneka Tambang (PT. Antam) di Desa Bantar Karet, dan mengetahui serta menganalisis pengaruh implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. implementasi kegiatan pertambangan dilihat melalui dua kegiatan, yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan kuesioner, dan didukung data kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kesejahteaan masyarakat Desa Bantar Karet. hal ini dapat terlihat dari karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria yang teridentifikasi serta esensi UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang tidak mampu dijalankan seluruhnya oleh PT. Antam, sehingga menciptakan hubungan yang tidak harmonis antar subyek agraria. Kata kunci: agraria, pertambangan, kesejahteraan
ABSTRACT INDAH OCTAVIA PUTRI. Implementation of Mining Activity and Its Influence on Bantar Karet local Community’s Welfare. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO. This study aims to analyze the subject and object of agrarian in Bantar Karet village, analyzing the implementation of the mining activities of PT. Antam (PT. Antam) in Bantar Karet village, determining and analyzing the effect of the implementation of the mining activities of PT. Antam to the public welfare on Bantar Karet Village. Implementation of mining activity seen through two activities, namely land tenure arrangements and land dispute resolution. This study uses a quantitative approach with questionnaires, and supported by qualitative data using depth interviews method, participant observation, and study of literature. The results showed that the implementation of the mining activities of PT.Antam has a strong influence on society Welfare of Bantar Karet village. This can be seen from the characteristics of the agrarian subject and object identified and essence of UUPA No. 5 of 1960 were not able to run entirely by PT. Antam, thus creating a harmonious relationship between the agrarian subjects. Keywords: agrarian, mining, welfare
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET
INDAH OCTAVIA PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepadaAllah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah berjudul “Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet” ini dengan baik. Penelitian ini dilakukan sejak Oktober 2014 dengan mengangkat topik ketimpangan struktur agraria dengan lokasi penelitian di Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kegiatan pertambangan yang berpedoman pada kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal penguasaan atas tanah dan penyelesaian sengketa atas tanah juga pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Tujuan ini dicapai dengan terlebih dahulu menganalisis impelementasi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Aneka Tambang dari aspek penguasaan atas tanahdan penyelesaian sengketa atas tanah. Kemudian menganalisis subyek dan obyek agraria yang terlibat di dalamnya serta perannya dalam implementasi kegiatan pertambangan tersebut. Kemudian akan dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet yang dilihat dari aspek pendapatan, pengeluaran, fasilitas tempat tinggal, kesehatan, akses terhadap pendidikan dan kepemilikan alat transportasi. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Ibu Soleha selaku nenek, Ibu Eka Nurlela dan Bapak Pendi Rusmana selaku orangtua juga Ahmad Rifa’i, Ahmad Rizki dan Ramawan Hadi selaku paman tercinta yang selalu memberikan saran, masukan, dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka duka dan seperjuangan yaitu teman-teman SKPM 48 khususnya Nadia, Amanda, Ica, Linda dan Lingga yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih pun tidak lupa penulis sampaikan kepada Abdul Aziz yang selalu memberikan semangat dan menemani dalam pengumpulan data di lapangan. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum dikatakan sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2015
Indah Octavia Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
Vii Vii Viii 1 1 4 5 5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Agraria Ketimpangan Struktur Agraria Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Agraria Konsep Pertambangan dan Tata Kelolanya Konsep Kesejahteraan dan Indikator Karakter Subyek dan Obyek Agraria Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional
7 7 7 8 10 11 12 14 14 16 16 16
PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengambilan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21 21 21 22 23
PROFIL DAN STRUKTUR PENGUASAAN TANAH DESA BANTAR KARET Profil Desa Bantar Karet Kondisi Georgrafis Kondisi Sosial Kondisi Ekonomi Kondisi Sarana dan Prasarana Subyek dan Obyek Agraria Pemerintah Desa Bantar Karet Petani Kampung Nunggul dan Kampung Tugu PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor Obyek Agraria: Tanah Pertanian dan Cadangan Pertambangan Struktur Penguasaan Tanah di Desa Bantar Karet Penguasaan Tanah Sebelum Masuknya PT. Antam Penguasaan Tanah Sesudah Masuknya PT. Antam
25 25 25 26 28 29 30 30 31 32 33 35 35 36
JEJAK KELAM EKSPLORASI HINGGA EKSPLOITASI Tahun 1974-1981: Eksplorasi Gunung Pongkor Tahun 1981-1992: Peristiwa Gusuran (Pembebasan Tanah) Tahun 1992-1999: Pembangunan Kantor PT. Antam dan Peristiwa Pembakaran Tahun 2014: Konflik Penutupan Akses Jalan Menuju Kampung Ciguha IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN PT. ANEKA TAMBANG EMAS UBPE PONGKOR Pengaturan Penguasaan Tanah dan Langkah Kegiatannya Pertikaian dan Penyelesaian Sengketa Tanah
39 39 40 42 43
47 47 51
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET Tingkat Pendapatan Tingkat Fasilitas Tempat Tinggal Tingkat Akses Kesehatan Tingkat Akses Pendidikan Tingkat Kepemilikan Alat Transportasi Tingkat Implementasi Kegiatan Pertambangan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet
55 56 59 61 63 65
PENUTUP Simpulan Saran
69 69 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
71 73 91
66
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Indikator tingkat implementasi kegiatan pertambangan Indikator kesejahteraan masyarakat Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan status kewarganegaraan Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan agama dan aliran kepercayaan Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan mata pencaharian Jumlah sarana keagamaan Desa Bantar Karet Luas penggunaan sawah di Kecamatan Nanggung pada tahun 20082013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki sebelum dan sesudah ada pertambangan Jumlah dan persentase responden menurut tingkat implementasi kegiatan pertambangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet tahun 2014
17 17 22 26 27 27 28 28 29 33 34
68
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hubungan-hubungan agraria Hubungan aktor-aktor agraria Kerangka penelitian pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet sebelum masuknya PT. Antam Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet sesudah masuknya PT. Antam Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi (DU. 893/Jabar). Jenis dan pihak yang menyelenggarakan pengaturan penguasaan tanah menurut responden di Desa Bantar Karet tahun 2014 Tingkat pengaturan penguasaan tanah menurut responden di Desa Bantar Karet Tahun 2014 Tingkat penyelesaian sengketa tanah menurut responden di Desa Bantar Karet Tahun 2014 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat pendapatan yang dimiliki tahun 2014 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat fasilitas tempat tinggal yang dimiliki tahun 2014 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat kesehatan tahun 2014 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat pendidikan tahun 2014 Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut pemilikan alat transportasi tahun 2014
8 9 15 36 37 41 48 48 53 57 60 62 64 65
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta Desa Bantar Karet Kerangka responden Kuesioner penelitian Dokumentasi penelitian Bukti pembayaran ganti rugi pembebasan tanah
75 76 77 85 89
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Potensi sumberdaya alam yang melimpah merupakan gambaran Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan julukan “negara agraris”. Sumberdaya alam hayati maupun non-hayati yang melimpah mampu menjadi modal dasar dalam pembangunan nasional. Tanah merupakan salah satu sumberdaya agraria yang sangat penting peranannya. Tanah dapat dijadikan tempat untuk hidup, dan tanah juga memiliki peran penting untuk kelangsungan perekonomian, contohnya di bidang produksi pertanian, perikanan, kehutanan, dan yang paling baru adalah bidang produksi pertambangan. Peran penting ini yang menjadikan tanah sebagai sumberdaya alam yang banyak diburu oleh para subyek-subyek agraria di belahan dunia manapun sebagai modal dalam berbagai kegiatan produksi. Kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali memunculkan ketimpangan karena adanya beberapa kebijakan yang saling tumpang tindih. Selain itu, ketaatan para subyek agraria pada berbagai kebijakan yang dikeluarkan pun menjadi penentu keberhasilan dalam menjalin kerjasama dalam mengelola sumberdaya alam secara bersama tanpa adanya ketimpangan. Isu tentang akses terhadap sumber-sumber agraria kembali menguat. Media massa seperti surat kabar, di dalamnya sering memuat artikel yang berkaitan dengan agraria, mulai dari perubahan penguasaan sumberdaya agraria, sengketa tanah, bentuk perlawanan petani, hingga konflik besar yang menelan korban akibat ketimpangan struktur kepemilikan tanah. Struktur kepemilikan tanah yang semakin tidak jelas membuat konflik tidak kunjung berhenti. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kejelasan dalam memetakan struktur kepemilikan tanah di suatu daerah agar para subyek agraria mampu menjalankan perannya masing-masing dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Perubahan penguasaan sumberdaya agraria berakar dari masa pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik dan otoriter. Hal tersebut juga terkait pada kepemilikan hak tanah yang dikuasai oleh pemerintah yang sebelumnya merupakan tanah-tanah adat milik warga sekitar. Tanah tersebut kemudian disewakan kepada perusahaan-perusahaan dengan mengeluarkan surat izin dan HGU (Hak Guna Usaha) kepada perusahaan. Salah satu perusahaan yang diberikan izin pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria adalah perusahaan pertambangan. Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan mineral Indonesia untuk menjadi komoditas bernilai, sekaligus menjadi pionir dalam menghubungkan peradaban urban dengan daerah-daerah terpencil merupakan salah satu peran perusahaan pertambangan. Pertambangan menjadi salah satu sektor pembangunan yang mampu memberikan sumbangan terbesar pada pendapatan daerah. Akan tetapi perlu diketahui sejauh mana implementasi kegiatan pertambangan dan respon kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar, dan kebijakan apa saja yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal implementasi kegiatan pertambangan. Aktivitas penguasaan sumberdaya agraria tidak jarang memunculkan konflik akibat ketimpangan penguasaan. Kehadiran industri pertambangan diharapkan mampu menjadi salah
2
satu cara mengikis kemiskinan dari masyarakat sekitar. Relasi sosial antara penguasa, masyarakat, dan pemerintah di aras lokal yang terputus memicu konflik agraria yang kronis hingga berujung pada kekerasaan sampai memakan korban. Hal ini sejalan dengan pernyataan White dan Wiradi (2009) yang menyatakan: "Akibat putusnya relasi sosial di aras lokal, diiringi dengan kian meningkatnya marjinalisasi, menyebabkan terjadinya berbagai keresahan agraria di sejumlah negara, salah satunya di Indonesia. Kerusuhan dan pemberontakan terjadi dalam berbagai bentuk, baik di dalam rezim kolonial maupun setelah kemerdekaan, termasuk agitas petani dan gerakan petani (yang kadang dijadikan satu dengan gerakan nasionalis), pemberontakan petani melawan kelas tuan tanah, dan pada gilirannya pemberontakan itu menjadi kekuatan bagi beberapa gerakan revolusi yang terlibat dalam bentrok terbuka melawan aparat negara".
Menurut Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (2012), terjadi penembakan brutal oleh aparat Brimob Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam penanganan aksi masyarakat di Kabupaten Bima, NTB yang menolak izin pertambangan pada akhir tahun 2011. Peristiwa ini menjadi bukti putusnya relasi sosial di aras lokal yang menyebabkan jatuhnya korban. Tercatat 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45%), 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30%), 21 kasus di sektor pertambangan (11%), 20 kasus di sektor kehutanan (4%), 5 kasus di sektor pertanian tambak/pesisir (3%), dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1%) (KPA 2012). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kasus agraria pada sektor pertambangan berada pada tiga besar kasus agraria yang ada di Indonesia saat ini. Tumpang tindih kebijakan dan Undang-Undang dalam mengatur tentang agraria menyebabkan permasalahan agraria semakin pelik. Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang berkontribusi dalam peningkatan pendapatan nasional, khususnya pendapatan daerah. Pemenuhan pendapatan minimal daerah menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan yang mampu membantu meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Nurhayaty dan Sina (2013) yang menyatakan bahwa karena pemenuhan pendapatan daerah, maka pemerintah daerah berani mengeluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya agar pendapatan minimal daerah terpenuhi. Hal ini juga dibuktikan dari pendapatan negara yang meningkat dari hasil pertambangan mineral dan batubara pada periode tahun 2010-2014 berturut-turut sebesar 12.646,8 milyar, 16.369,8 milyar, 15.877,4 milyar, 18.620,5 milyar, dan 23.599,7 milyar (Kementerian Keuangan 2015). Pernyataan ini bertolak belakang dengan Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria yang menyatakan bahwa pertambangan menjadi tiga besar kasus agraria. Reduksi kemungkinan berbagai permasalahan agraria yang akan muncul dilakukan dengan cara mengetahui implementasi kegiatan pertambangan dan kebijakan-kebijakan yang menjadi landasan berjalannya kegiatan pertambangan tersebut. Hal ini perlu diketahui agar masyarakat dan para subyek agraria lainnya mampu memahami berbagai perannya dalam pengelolaan sumberdaya agraria, serta pemerintah mampu mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Relevansi kebijakan diharapkan mampu diwujudkan, mengingat
3
pertambangan menjadi salah satu sektor pembangunan yang berkontribusi besar pada pendapatan daerah, serta kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu poin keberhasilan pembangunan. Pengaturan penguasaan tanah yang tidak adil menyebabkan semakin tingginya ketimpangan penguasaan tanah baik di perkotaan maupun di pedesaan. Regulasi yang lemah menjadi alasan lanjutan ketimpangan struktur agraria yang tidak kunjung selesai. Merujuk pada Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012), melihat permasalahan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Amanat konstitusi diatas lalu diikuti dengan ketetapan pemerintah Tap MPR No. IX Tahun 2001 yang menggariskan bahwa kebijakan pertanahan harus bisa berkontribusi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumbersumber baru kemakmuran rakyat, mengembangkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, dan pemilikan tanah, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat khususnya tanah, sehingga menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa serta konflik dikemudian hari (Nirmala 2013). Pertambangan adalah usaha besar yang juga mampu memberikan sumbangan pada pendapatan daerah, maka kegiatan pertambangan sangat dipertimbangkan keberadaannya. Oleh karena itu, implementasi kegiatan pertambangan seharusnya berpedoman pada implementasi pengelolaan sumberdaya agraria melalui enam kegiatan di atas, agar terhindar dari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Keberhasilan dari implementasi kegiatan pertambangan ini diharapkan mampu melahirkan kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karena itu, perlu diuji apakah suatu daerah yang terdapat kegiatan pertambangan menjadi sejahtera ketika kegiatan pertambangan tersebut telah mengimplementasikan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria untuk menghindari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Desa Bantar Karet merupakan salah satu desa di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor yang lokasinya dekat dengan perusahaan pertambangan emas PT. Aneka Tambang (Antam) Pongkor. Desa yang dekat dengan lokasi pertambangan ini memberikan daya tarik bagi peneliti untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut terkait implementasi pengelolaan sumberdaya agraria. Implementasi pengelolaan sumberdaya agraria yang telah disebutkan di atas menjadi indikator untuk mengukur keberhasilan perusahaan pertambangan dalam menciptakan kesejahteraan dan menghindari berbagai ketimpangan penguasaan lahan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti untuk mengetahui dan menganalisis “bagaimana implementasi pengelolaan sumberdaya agraria dalam kegiatan pertambangan PT. Antam dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat?”
4
Masalah Penelitian Strukur agraria yang terdiri dari subyek agraria dan obyek agraria memiliki interaksi yang kuat. Subyek agraria yang beragam dengan latar belakang yang berbeda dapat memunculkan kepentingan yang berbeda pula. Subyeksubyek agraria harus membangun suatu relasi sosial dalam interaksinya dengan obyek agraria. Implementasi pengelolaan sumberdaya agraria tidak lepas dari peran subyek dan obyek agraria, dalam hal ini subyek agraria adalah para stakeholders dan obyek agraria adalah tanah yang dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak jarang keberhasilan suatu implementasi pengelolaan sumberdaya agraria pun dipengaruhi oleh subyek dan obyek agrarianya. Subyek dan objek agraria yang berbeda akan memunculkan suatu implementasi yang berbeda pula dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Desa Bantar Karet misalnya, memiliki sumberdaya tanah pertanian yang sejak dahulu mampu diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini akan berbeda ketika implementasi pengelolaan tersebut antara sumberdaya kehutanan dengan sumberdaya pertambangan. Oleh karena itu, penting dirumuskan suatu pertanyaan apa karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria di Desa Bantar Karet? Sumberdaya agraria berupa tanah yang menjadi salah satu modal pembangunan nasional menjadi hal yang sangat penting. Tanah sebagai modal produksi ini tidak jarang memicu berbagai permasalahan akibat ketimpangan dalam penguasaannya. Hal ini berkaitan erat dengan relasi sosial antar subyek agraria yang terkadang memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap tanah tersebut. Pertambangan menjadi salah satu sektor pembangunan yang bersentuhan langsung dengan tanah. Eksplorasi hingga eksploitasi memberikan pengaruh yang sangat berarti terutama bagi masyarakat yang berada di kawasan pertambangan tersebut. Pengaruh tersebut bisa jadi berupa pengaruh ekologis, pengaruh ideologis, hingga pengaruh sosial berupa kesejahteraan masyarakat sekitar. Kampung Nunggul sebagai salah satu kampung yang berada dekat dengan perusahaan pertambangan PT. Antam menjadi kampung yang sangat potensial untuk dianalisis terkait implementasi pengelolaan sumberdaya agraria. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan sejauhmana implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dilaksanakan di Desa Bantar Karet? Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012), melihat permasalahan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Pertambangan sebagai salah satu sektor yang menduduki peringkat tiga besar kasus agraria di Indonesia sangat bertolak belakang dengan peran pertambangan sebagai kontributor pendapatan nasional khususnya pendapatan daerah. Banyaknya kasus agraria yang muncul di sektor pertambangan mengindikasikan bahwa aktivitas pertambangan ternyata tidak mampu menyeimbangkan pengaruh keberadaannya pada berbagai aspek kehidupan. Idealnya aktivitas pertambangan mampu
5
melakukan pertimbangan-pertimbangan khusus dalam melakukan aktivitas pertambangan sebagai upaya menghindari ketimpangan sosial terutama ketimpangan dalam struktur agraria. Oleh karena itu, implementasi kegiatan pertambangan harus berpedoman pada implementasi pengelolaan sumberdaya agraria melalui enam kegiatan di atas, agar terhindar dari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Keberhasilan dari implementasi kegiatan pertambangan tersebut diharapkan mampu melahirkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu diuji apakah suatu daerah yang terdapat kegiatan pertambangan telah sejahtera ketika kegiatan pertambangan tersebut telah mengimplementasikan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria untuk menghindari ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan suatu pertanyaan bagaimana implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet? Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disampaikan sebelumnya, maka secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet dengan tujuan: 1. Menganalisis karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria di Desa Bantar Karet. 2. Menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dilaksanakan di Desa Bantar Karet. 3. Mengetahui dan menganalisis implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, antara lain ialah: 1. Akademisi Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai implementasi pengelolaan sumberdaya agraria pada kegiatan pertambangan, serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan membuat kebijakan mengenai peraturan penguasaan tanah dan hak-hak atas tanah yang dapat menguntungkan semua pihak, paling tidak meminimalisasi adanya fenomena ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria. Kemudian mampu menciptakan solusi apabila terjadi ketimpangan dan konflik
6
terhadap lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan. 3. Swasta Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan perusahaan pertambangan dalam menyusun kebijakan terkait implementasi kegiatan pertambangan, dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat untuk mereduksi ketimpangan terutama dalam hal struktur agraria antara masyarakat dan perusahaan pertambangan. Selain itu, perusahaan diharapkan mampu menciptakan iklim kolaboratif dalam implementasi kegiatan pertambangan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. 4. Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai implementasi pengelolaan sumberdaya agraria, mulai dari pengaturan penguasaan tanah, pemberian hak atas tanah dan penyelesaian sengketa tanah serta bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet melalui implementasi tersebut. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain yang lokasi desanya berada di dekat lokasi pertambangan agar mengetahui bagaimana implementasi pengelolaan sumberdaya agraria yang sesuai yang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
7
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Konsep Agraria Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian (Santoso 2009). Sedangkan pengertian Agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdapat pada pasal 1 ayat 2 yaitu “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...”. Definisi setiap unsur agraria tersebut pun terkandung di dalam UUPA No.5 tahun 1960 pasal 1 ayat 4 bahwa dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Kemudian pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa “air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut…”. Dan yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut (pasal 1 ayat 6 UUPA 1960). Berbeda dengan pernyataan Luthfi et al. (2010) bahwa agraria adalah ruang hidup bagi manusia, tetumbuhan, hewan, dan kehidupan ekologi itu sendiri, serta hubungan yang terjalin di antara kesemua makhluk itu. Agraria mula-mula adalah tanah. Di atas tanah itu terdapat tetumbuhan, sehingga kita menyebutnya pertanian dan kehutanan. Di atasnya juga terdapat air, sehingga kita menyebutnya pesisir dan kelautan. Di dalamnya terdapat berbagai materi mineral, sehingga kita menyebutnya pertambangan dan perairan. Juga udara. (Luthfi et al. 2010). Oleh karena itu, agraria tidak hanya sebatas tanah, tetapi apa yang terkadung diatas dan dibawah tanah tersebut. Agraria menjadi sebuah kata yang sangat kompleks pemaknaannya. Selain itu, agraria memiliki aspek-aspek penting, seperti yang dikemukakan oleh Sayogyo dikutip oleh Syahyuti (2006): ”Salah satu aspek penting dalam agraria adalah tentang “pemilikan” dan “penguasaan”. Pemilikan merupakan status hukum antara seseorang dengan sebidang tanah, sedangkan penguasaan lebih kepada aspek ekonomi yaitu akses pemanfaatan seseorang terhadap sebidang tanah. Namun, ada yang membedakannya menjadi: pemilikan merupakan penguasaan formal, sedangkan penguasaan merupakan penguasaan efektif.”
Pada perkembangannya, ranah agraria terbatasi pada wilayah pertanian belaka. Padahal, berbagai isu agraria dan konflik yang terjadi disana, serta klaimklaim/pendudukan tanah oleh rakyat pada periode sebelumnya berada di perkebunan (Luthfi et al. 2010). Konsep-konsep yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut sejalan dengan konsep yang dikemukakan Sitorus dikutip oleh Ningtyas dan Dharmawan (2010) bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan
8
kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disintesiskan bahwa agraria adalah keseluruhan sumberdaya alam baik yang terkandung di atas maupun di bawah tanah yang memenuhi bentang alam yang ada. Ketimpangan Struktur Agraria Pada kurun waktu tertentu, yaitu sejak tahun 1960 sampai awal pemerintahan orde baru, kasus agraria menjadi suatu isu yang sangat kompleks dan sentral. Kasus tersebut biasanya terkait ketimpangan struktur agraria. Menurut Sunito dan Purwandari (2006), dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dan obyek agraria. Lingkup hubungan agraria dari masa ke masa melibatkan tiga subyek agraria yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria. Hal ini dapat dilihat pada gambar hubungan-hubungan agraria (Sitorus dikutip oleh Sunito dan Purwandari 2006):
Pemerintah
Sumber-Sumber Agraria
Komunitas
Swasta
Keterangan: Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosio-agraria Gambar 1. Hubungan-hubungan agraria Konsep ini sejalan dengan penelitian Ningtyas dan Dharmawan (2010) yang menyatakan bahwa lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipisahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial). Pada kenyataan saat ini, hubungan-hubungan agraria yang telah dikemukakan oleh Sitorus dikutip oleh Sunito dan Purwandari (2006) tidak lagi
9
relevan dengan kondisi yang terjadi di lapangan saat ini. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: PEMERINTAH Peran ganda sebagai “aliansi” pengusaha (swasta)
LSM Peran ganda sebagai “aliansi” pemerintah/pengusahaa
SWASTA Peran ganda sebagai “aliansi” pemerintah
SUMBER-SUMBER AGRARIA
KOMUNITAS
Keterangan: Hubungan kerjasama Menunjukkan hubungan memanfaatkan Hubungan menciptakan Hubungan perbedaan kepentingan (konflik) Gambar 2. Hubungan aktor-aktor agraria Gambar di atas dapat dideskripsikan bahwa setiap aktor berusaha untuk dapat memiliki akses dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria. Pemerintah, yang juga memiliki peran ganda sebagai pengusaha, bekerjasama dengan swasta yang juga memiliki peran ganda yaitu mempunyai posisi di pemerintahan saling bekerjasama untuk melancarkan kepentingan mereka tanpa menyertakan partisipasi masyarakat yang dianggap tidak potensial dalam melancarkan pemenuhan kepentingan mereka. Kemudian pemerintah menciptakan LSM secara tanpa diketahui oleh masyarakat, yaitu LSM yang sengaja dibentuk oleh pemerintah tanpa diketahui oleh masyarakat bahwa LSM terrsebut adalah bentukan pemerintah. LSM ini kemudian menjadi jembatan penghubung untuk menyampaikan kepentingan masyarakat. Hal ini dilakukan pemerintah agar LSM mampu mempengaruhi masyarakat dalam mengambil tindakan yang pada akhirnya dapat melancarkan jalan pemerintah dalam memanfaatkan sumbersumber agraria. Subyek agraria yaitu komunitas dan swasta hampir tidak pernah terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Oleh sebab itu, dalam gambar ditunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan perbedaan kepentingan yang selalu memunculkan konflik. Gambar ini mampu dibuktikan oleh hasil penelitian dari Nurhayaty dan Sina (2013) yang menyatakan bahwa karena pemenuhan
10
pendapatan daerah, maka pemerintah daerah berani mengeluarkan izin pertambangan sebanyak-banyaknya agar pendapat minimal daerah terpenuhi. Hal ini menunjukkan adanya kerjasama dengan pihak swasta namun tidak memperhatikan kepentingan masyarakat. Selain itu, penelitian dari Cahyono et al. (2010) mengatakan konflik terjadi karena adanya perebutan penguasaan lahan (sumber-sumber agraria) karena adanya rencana proyek besar penambangan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) dengan penanam saham utama adalah keluarga besar Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta kerjasama dengan PT. Indomine Australia. Pemerintah Daerah Kulon Progo menyetujui rencana ini dengan alasan dapat meningkatkan pemasukan daerah. Masyarakat tidak menjadi bagian dari pertimbangan kerjasama ini, sehingga masyarakat menjadi kaum yang terpinggirkan. Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Agraria Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan, sedangkan pengelolaan adalah proses, cara, atau perbuatan mengelola atau proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan arti kata tersebut, maka dapat dikatakan bahwa implementasi pengelolaan sumberdaya agraria adalah pelaksanaan proses yang memberikan pengawasan pada sumberdaya agraria yang ada kaitannya dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan sumberdaya agraria sangat penting diterapkan untuk mengurangi ketimpangan dalam pemilikan/penguasaan tanah. Hal ini disampaikan dalam Jurnal Kajian Lemhannas (2012) yang menyatakan bahwa melihat permasalahan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah, dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Keenam kegiatan ini yang kemudian menjadi pedoman dalam implementasi pengelolaan sumberdaya agraria khususnya dalam kegiatan pertambangan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa peneliti hanya melihat dua kegiatan saja yang dirasa sangat penting dan terjadi di lapang, yaitu kegiatan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Kegiatan ini dinyatakan oleh Lemhannas dengan berpedoman pada UUPA No.5 Tahun 1960. Pada pengelolaan sumberdaya alam tertuang juga di dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 2 ayat 1 yaitu “atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian hak menguasai dari negara yang termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
11
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Tata kelola secara normatif menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 ini yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan Negara dalam lingkup kecil yaitu pemerintah diharapkan mampu melaksanakan perannya berdasarkan tiga butir wewenang yang disebutkan di atas. Selain itu, pada pasal 11 ayat 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 dikatakan bahwa perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk keperluan hukum yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional harus mempertimbangkan kepentingan golongan yang ekonomi lemah. Pasal ini juga kemudian akan dikaji dalam implementasi kegiatan pertambangan untuk melihat seberapa besar pertimbangan mereka dalam membangun usaha pertambangan pada golongan ekonomi lemah. Selain itu, Pada pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960 dikatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Tata kelola secara normatif dalam UUPA ini kemudian akan dilihat sinkronisasinya pada Undang-Undang yang berkaitan dengan pertambangan untuk menguji apakah Undang-Undang Pertambangan berpedoaman pada UUPA dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria dan kebijakan lainnya terkait implementasi kegiatan pertambangan yang responsif terhadap keberadaan masyarakat sekitar. Konsep Pertambangan dan Tata Kelolanya Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012, Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka penguasaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. Berdasarkan peraturan di atas, tahapan kegiatan pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu pra konstruksi yang terdiri dari penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan, kemudian konstruksi yang terdiri dari konstruksi penambangan/eksplorasi, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, dan terakhir yaitu pasca konstruksi yang terdiri dari kegiatan pasca tambang. Menurut Risal et al. (2013) Objek dari kegiatan pertambangan adalah sumberdaya alam yang tak terbaharukan (non-renewable), dimana dalam pengelolaan dan pemanfaatannya dibutuhkan pendekatan manajemen ruangan yang ditangani secara holistik dan integratif dengan memperhatikan empat aspek pokok yaitu, aspek pertumbuhan (growth), aspek
12
pemerataan (equity), aspek lingkungan (environment), dan aspek konservasi (conservation). Tata kelola kegiatan pertambangan pada saat itu berdasarkan pada beberapa peraturan normatif, diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Tata kelola kegiatan pra konstruksi dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 pasal 25 Ayat 1 Tentang Hubungan Kuasa Pertambangan dengan Hak-Hak Atas Tanah, dikatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Pada pasal 26a disebutkan bahwa sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaanpekerjaan itu akan dilakukan, dan pada pasal 26b disebutkan bahwa diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu, maksudnya bahwa pihak pertambangan memberi ganti kerugian dan jaminan ganti kerugian terlebih dahulu kepada pemegang hak tanah yang akan memberikan tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Kemudian pada pasal 27 disebutkan bahwa apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan. Tata kelola kegiatan konstruksi pertambangan dapat dilihat pada UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 106 yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada pasal 138 disebutkan juga bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Tata kelola pada kegiatan pasca konstruksi tidak ditemukan dalam peraturan normatif yang telah ada. beberapa landasan normatif inilah yang kemudian akan dilihat prakteknya di lapangan. Konsep Kesejahteraan Konsep kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk mengukur keadaan seseorang pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Konsep kesejahteraan berbeda di setiap daerah, sehingga tingkat kesejahteraan di setiap daerah dapat berbeda-beda pula, tergantung pendefinisian daerah tersebut mengenai kesejahteraan. Konsep kesejahteraan yang ideal digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dikemukakan oleh BPS dikutip oleh Bappenas (2005), bahwa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada tujuh yaitu, pendapatan, konsumsi atau pengeluatan keluarga, fasilitas tempat tinggal, kesehatan keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi, dan kemudahan mendapat akses pendidikan. Lebih rinci dijelaskan bahwa: 1. Pendapatan adalah penghasilan tetap yang diperoleh dalam satu bulan oleh responden yang merupakan pemasukan untuk pemenuhan
13
2.
3.
4.
5.
6.
7.
kebutuhan hidup mereka. Semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan pokok, namun cenderung semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan/minuman jadi atau yang berprotein tinggi. Penduduk miskin cenderung persentase pengeluaran untuk makanan pokok masih sangat tinggi. Konsumsi atau pengeluaran keluarga adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengeluaran yang menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan pendapatan yang diperoleh sehingga selisih tersebut merupakan kelebihan yang dapat disimpan sebagai tabungan. Secara nasional, modus rata-rata pengeluaran perkapita sebulan adalah pada golongan pengeluaran Rp. 300.000–Rp 499.999. Fasilitas tempat tinggal yang dapat diukur dari luas lantai rumah, penerangan, jenis alas/lantai rumah, kondisi MCK, kondisi bangunan, atap, sumber air. Kondisi dan kualitas rumah yang ditempati dapat menunjukkan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Semakin baik kondisi dan kualitas rumah yang ditempati dapat menggambarkan semakin baik keadaan sosial ekonomi (kesejahteraan) suatu rumah tangga. Kesehatan anggota keluarga merupakan indikator kebebasan dari penyakit. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan penduduk adalah dengan melihat kondisi keluhan kesehatannya. Akses terhadap layanan kesehatan merupakan kemudahan responden dalam menjangkau dan memperoleh fasilitas untuk kesehatan seperti JAMKESMAS dan lain-lain. Akses terhadap pendidikan merupakan kemudahan responden dalam memperoleh jenjang pendidikan yang baik dan tinggi. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat di suatu wilayah maka semakin tinggi taraf intelektualitas di wilayah tersebut. Kepemilikan alat transportasi merupakan jenis alat transportasi yang dimiliki responden untuk mempermudah akses ke berbagai tempat.
Secara umum kesejahteraan ada kaitannya dengan kemiskinan. Intervensi kapitalis ke dalam wilayah yang belum mengetahui secara jelas tentang konsepkonsep pemilikan tanah cenderung akan dipermainkan oleh para kapitalis, hingga terampasnya kesejahteraan mereka. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Tauchid (2009) yang menyatakan bahwa, arena penanaman modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga manusia yang cukup banyak dan murah, maka dicarilah tempat yang tanahnya baik dan cukup banyak penduduknya. Alhasil di daerah-daerah tersebut menjadi makin sempit dan rakyatnya makin terdesak. Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian di atas terkait kesejahteraan, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan adalah suatu konsep yang menggambarkan kondisi seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan sosial,
14
ekonomi dan politik serta memiliki akses pada sumberdaya agraria sesuai dengan ukuran kesejahteraan yang ditentukan pada daerah tersebut. Karakter Subyek Agraria dan Karakteristik Obyek Agraria Karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria adalah ciri khas yang dimiliki oleh aktor pemanfaat sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Subyek agraria yang pertama adalah pemerintah (Negara). Karakter yang melatarbelakangi pemerintah lebih cenderung kepada peran pemerintah dalam hal penguasaan atas sumber-sumber agraria. Seperti dalam penelitian Nirmala (2013) yang menyatakan bahwa negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia. Subyek agraria yang lain adalah swasta (perusahaan) dalam konteks ini adalah perusahaan pertambangan. Mengacu pada penelitan yang dilakukan Amran dan Devi (2008) bahwa karakteristik perusahaan dapat dilihat dari kepemilikan saham pemerintah (government shareholding), kepemilikan saham asing (foreign shareholding), ukuran perusahaan (corporate size), tipe industri (industry type), profitabilitas (profitability). Variabel tambahan adalah regulasi pemerintah (government regulation). Subyek agraria selanjutnya adalah masyarakat. Merujuk pada penelitian Sawitri dan Subiandono (2010) bahwa karakteristik masyarakat meliputi kependudukan, mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan perumahan. Berdasarkan keempat karakteristik tersebut, karakteri yang dominan kemudian lebih kepada pekerjaan utama, sampingan, dan pendidikan. Sesuai dengan kebutuhan peneliti, maka beberapa karakter masyarakat yang akan ditelusuri adalah pekerjaan utama, pekerjaan sampingan, kepemilikan lahan, dan tingkat pendidikan.
Kerangka Penelitian Isu penguasaan tanah yang semakin mencuat menjadi kajian yang menarik bagi para peneliti. Isu ini tidak kunjung menemukan titik terang dalam persoalan agraria terkait penguasaan/pemilikan tanah. Tumpang tindih peraturan dan kebijakan menjadi pemandangan khas dari berbagai kasus agraria. Salah satu isu penguasaan/pemilikan tanah yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu terkait implementasi kegiatan pertambangan. Peneliti menganalisis implementasi kegiatan pertambangan apakah telah berpedoman pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dan menganalisis pengaruh implementasi kegiatan pertambangan tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat. berikut kerangka penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 3.
15
Karakter Subyek Agraria Tingkat kesejahteraan masyarakat Implementasi Usaha Pertambangan
1. Tingkat Pendapatan 2. Tingkat Fasilitas tempat tinggal 3. Tingkat Kesehatan 4. Tingkat Akses pendidikan 5. Tingkat Kepemilikan alat transportasi
1. Tingkat Pengaturan Penguasaan Tanah 2. Tingkat Penyelesaian Sengketa Tanah
Karakteristik obyek agraria
Keterangan: : Mempengaruhi : Analisis secara kualitatif, bukan fokus analisis utama Gambar 3
Kerangka penelitian pengaruh implementasi pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat
kegiatan
Pada kerangka penelitian, terlihat bahwa yang menjadi fokus analisis adalah pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dilihat dari beberapa indikator pokok seperti pendapatan, konsumsi, fasilitas tempat tinggal, akses layanan kesehatan, akses pendidikan, dan kepemilikan alat transportasi. Implementasi kegiatan pertambangan tersebut kemudian dilihat dari beberapa kegiatan berdasarkan Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012) dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Enam kegiatan implementasi kegiatan pertambangan tersebut tidak semua diteliti secara kuantitatif. Berdasarkan hasil observasi, kegiatan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah menjadi hal yang paling krusial, sehingga penelitian difokuskan pada dua kegiatan, yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan. Komponen-komponen tersebut adalah
16
karakter subyek agraria dan karakteristik obyek agraria. Oleh karena itu, dalam kerangka analisis digambarkan bahwa subyek agraria dan obyek agraria mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka penelitian, maka hipotesis penelitian yang diajukan oleh penulis dibagi menjadi 2: Hipotesis pengarah: Diduga esensi UUPA No. 5 Tahun 1960 mampu dijalankan seluruhnya oleh PT. Antam. Hipotesis uji: Diduga implementasi kegiatan pertambangan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet.
Definisi Konseptual 1. Konsep agraria adalah keseluruhan sumberdaya alam baik yang terkandung di atas maupun di bawah tanah yang memenuhi bentang alam yang ada. 2. Karakter subyek dan obyek agraria adalah ciri khas yang dimiliki oleh aktor pemanfaat sumber-sumber agraria dan sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. 3. Ketimpangan struktur agraria adalah pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dan obyek agraria yang berat sebelah (tidak adil). 4. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan menganalisis, mengolah dan memasarkan sumberdaya tak terbarukan (renewable) seperti mineral atau batubara dengan konsekuensi kerusakan lingkungan dan keuntungan hanya untuk segelintir orang. 5. Implementasi kegiatan pertambangan adalah kegiatan penerapan pengelolaan sumberdaya agraria meliputi pengaturan penguasaan tanah, pemberian hak atas tanah dan penyelesaian sengketa tanah. 6. Tingkat kesejahteraan masyarakat adalah ukuran baik buruknya keadaan masyarakat pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Definisi Operasional 1. Tingkat implementasi kegiatan pertambangan adalah kegiatan penerapan pengelolaan sumberdaya agraria meliputi pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah.Indikator implementasi aktivitas pertambangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
17
Tabel 1
Indikator tingkat implementasi kegiatan pertambangan
Variabel/Indikator
Definisi Proses mengatur kesanggupan untuk menggunakan atau menguasai tanah secara adil sesuai ketentuan.
Tingkat Pengaturan Penguasaan Tanah
Upaya kolaboratif dalam menanggulangi konflik antar subyek agraria dalam akses terhadap sumbersumber agraria.
Tingkat Penyelesaian sengketa atas tanah
Definisi Operasional Kategori Pengukuran secara subyektif dilakukan untuk mengetahui tingkat pengaturan penguasaan tanah. Hal ini diukur dengan skor (1) Tidak (2) Ya Pengukuran secara subyektif dilakukan untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa atas tanah dengan kriteria skor: (1) Tidak Pernah (2) Jarang (3) Selalu
Skala Pengukuran
Ordinal
Ordinal
Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 23-36), sedang (skor 37-50), dan tinggi (skor 51-64). 2. Tingkat kesejahteraan masyarakat adalah ukuran baik buruknya keadaan masyarakat pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Indikator kesejahteraan dilihat berdasarkan pendapatan, pengeluaran atau konsumsi keluarga, fasilitas tempat tinggal, kesehatan, akses terhadap layanan kesehatan, akses terhadap pendidikan dan pemilikan alat transportasi. Indikator tersebut dapat dilihat dari: Tabel 2
Indikator tingkat kesejahteraan masyarakat
Variabel/Indikator
Tingkat Pendapatan
Definisi
Penghasilan tetap yang diperoleh dalam satu bulan oleh responden yang merupakan pemasukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Kondisi
dan
Definisi Operasional Kategori Pengukuran secara subyektif dilakukan untuk mengetahui pendapatan masyarakat. Variabel ini diukur dengan kriteria skor 1-3 yaitu: (1) Rendah (2) Sedang (3) Tinggi Kriteria ini ditentukan berdasarkan data lapang. Pengukuran secara subyektif dilakukan
Skala Pengukuran
Ordinal
18
kualitas rumah yang ditempati yang diukur dari jenis lantai rumah, penerangan, kondisi MCK, kondisi bangunan, atap sumber Tingkat Fasilitas rumah, air. Tempat Tinggal
Tingkat Kesehatan
Tingkat Akses Terhadap Pendidikan
untuk mengetahui fasilitas tempat tingga. Terdiri dari pertanyaan tentang jenis lantai rumah dengan skor: (1) Tanah (2) Kayu (3) Keramik Penerangan, dengan skor: (1) Lilin, lampu minyak (2) PLN (3) PLN dan genset pribadi Kondisi MCK, dengan skor: (1) Milik orang lain (2) Milik bersama (3) Milik pribadi Kondisi bangunan, dengan skor: (1) Tepas/anyaman bambu (2) Kayu (3) Tembok Atap rumah, dengan skor: (1) Rumbia (2) Seng (3) Genteng Sumber air, dengan skor: (1) Sungai (2) Sumur umum (3) Sumur sendiri Pengukuran secara subyektif dilakukan untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat. Variabel ini diukur dengan kriteria skor 1-3 yang akan ditentukan berdasarkan data di lapang.
Indikator kebebasan dari penyakit. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan penduduk adalah dengan melihat kondisi ke-luhan kesehatan-nya. Kemudahan res- Pengukuran secara ponden dalam subyektif dilakukan memperoleh jen- untuk mengetahui
Ordinal
Ordinal
Ordinal
19
Kepemilikan alat transportasi
jang pendidikan akses masyarakat yang baik dan terhadap pendidikan. tinggi. Terdapat 3 pertanyaan dengan kriteria skor: (1) tidak sekolah, SD (2) SMP, SMA (3) Diploma, Sarjana Pengukuran secara Jenis alat trans- subyektif dilakukan portasi yang untuk mengetahui dimiliki akses masyarakat responden untuk terhadap pendidikan. mempermudah Variabel ini diukur akses ke dengan kriteria skor: berbagai tempat. (1) tidak berkendara (2) motor (3) mobil
Ordinal
Akumulasi skor dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu rendah (skor 19-28), sedang (skor 29-38), dan tinggi (skor 39-48).
20
21
PENDEKATAN LAPANGAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pengaruh implemetasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet ini dilaksanakan di Desa Bantar Karet Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor selama 6 bulan terhitung mulai Bulan Juni 2014-Januari 2015. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan berbagai pertimbangan, yaitu: 1. Berdasarkan hasil observasi, Desa Bantar Karet merupakan desa yang dekat dengan lokasi pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam). Aktivitas pertambangan sudah dijalankan sejak tahun 1990 sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh dari implementasi kegiatan pertambangan dari PT. Antam tersebut. 2. Terdapat hubungan penguasaan tanah antara beberapa stakeholder, yaitu antara masyarakat dan PT. Antam yang terbentuk melalui kegiatan peralihan penguasaan tanah dalam bentuk jual-beli tanah/pembebasan tanah, sehingga dapat dilakukan suatu analisis implementasi penguasaan sumberdaya agraria. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Teknik Pengambilan Informan dan Responden Berdasarkan data yang diperoleh, Desa Bantar Karet memiliki 13 RW, 38 RT atau 34 kampung dengan jumlah penduduk 10.329 jiwa. Penelitian mengenai Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet ini membutuhkan responden yang tanahnya dibebaskan oleh PT. Antam. Berdasarkan informasi dari kantor desa bahwa Kampung Nunggul dan Kampung Tugu adalah kampung dengan populasi penduduk yang banyak dibebaskan tanahnya oleh PT. Antam, sehingga peneliti memilih kampung nunggul sebagai populasi dalam penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang memiliki tanah dan tanahnya dibebaskan oleh PT. Antam. Pemilihan responden diambil dengan metode pengambilan sampel jenuh (cencus sampling). Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah aparat desa, tokoh masyarakat, pihak PT. Antam serta pihak-pihak lainnya yang terkait dengan implementasi kegiatan pertambangan di Desa Bantar Karet, khususnya Kampung Nunggul dan Kampung Tugu. Teknik bola salju (snowball samping) dipilih dalam pengumpulan data dari infoman. Pengumpulan data dari informan melalui teknik ini digambarkan dengan perolehan dari satu informan ke informan lain. Pengumpulan data berhenti ketika informan lain tidak lagi menghasilkan pengetahuan dan informasi baru, sehingga dikatakan data berada pada titik jenuh. Dalam penelitian ini, informan yang potensial dalam pengumpulan infomasi adalah pemerintah desa, tokoh masyarakat yang mengetahui secara jelas kegiatan pertambangan tersebut, dan pihak dari PT. Antam.
22
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapang melalui survei dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dengan informan dan pengamatan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor desa, kecamatan, dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Selain itu juga dapat diperoleh dari buku, Undang-Undang, dan jurnal-jurnal hasil penelitian terkait implementasi kegiatan pertambangan, tingkat kesejahteraan masyarakat dan data monografi serta profil desa. Berikut teknik pengumpulan data disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian No. Variabel Metode Wawancara Pengamatan Data Wawancara terstruktur Sekunder Mendalam 1.
Implementasi kegiatan pertambangan
2.
Tingkat kesejahteraan masyarakat Karakter subyek agraria
3.
4.
Karakteristik obyek agraria
Responden (masyarakat Kampung Nunggul dan Kampung Tugu) Responden
- Bukti jualbeli tanah - Dokumen monografi desa Responden
Lahan pertanian
- Dokumen PT. Antam dari Pemda Bogor - Dokumen PT. Antam dari Pemda Bogor
Masyarakat, pemerintah desa
Masyarakat, pemerintah desa
Pengumpulan data dari PT. Antam tidak dapat dilakukan karena pihak PT. Antam tidak memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian dengan topik agraria. Akan tetapi, peneliti meminta bantuan kepada Pemerintah daerah Bogor, khususnya Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral untuk mengumpulkan data-data berkaitan dengan kegiatan pertambangan dari PT. Antam. Data tersebut antara lain profil PT. Antam, sejarah pembangunan PT. Antam, dan deskripsi jenis tambang dari PT. Antam.
23
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis penelitian ini yaitu rumah tangga. Sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan yaitu mengenai implementasi kegiatan pertambangan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet, maka rumah tangga yang tanahnya dibebaskan untuk kegiatan pertambangan menjadi populasi sampel dalam mengetahui tingkat kesejahteraan. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis datanya, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft excel 2007 dalam bentuk tabel frekuensi, grafik, serta tabel tabulasi silang untuk melihat data dari masing-masing variabel dan pengaruh antar variabel. Pengolahan data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap. Pertama yaitu tahap reduksi data dimulai dari proses merangkum, memilih hal-hal pokok, menyederhanakan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi dan studi dokumen. Reduksi data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua yaitu penyajian data dalam bentuk uraian singkat yang mudah dibaca untuk mempermudah penelitian dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh. Ketiga yaitu penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah menjadi temuan baru.
24
25
PROFIL DAN STRUKTUR PENGUASAAN TANAH DESA BANTAR KARET
Profil Desa Bantar Karet Kondisi Geografis Desa Bantar Karet adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 841,04 ha. Desa Bantar karet memiliki bentuk wilayah berbukit dan bergunung dengan kemiringan 21-40o. Ketinggian desa ini adalah sekitar 700 mdpl dengan curah hujan 400-800 mm/tahun dan kelembaban dengan suhu rata-rata 26-34o C. Desa Bantar Karet terdiri dari 6 Dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun Tetangga. Desa Bantar Karet dikenal sebagai desa yang memiliki wilayah paling luas dibanding desa lain yang ada di Kecamatan Nanggung. Batas wilayah Desa Bantar Karet dapat dilihat dari: Sebelah Utara : Desa Pangkal Jaya SebelahTimur : Kecamatan Leuwiliang Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah Barat : Desa Curugbitung. Desa Bantar Karet memiliki kelembagaan pemerintahan/permasyarakatan dengan perangkat desa yang terdiri dari: Sekretaris Desa : 1 orang Kepala Urusan : 5 orang Kepala Dusun : 6 orang Bendahara Desa : 1 orang Staf : 3 orang Badan Permusyawaratan Desa : 11 orang Kelembagaan yang ada di Desa Bantar Karet di antaranya adalah LPM dengan jumlah pengurus sebanyak 11 orang, PKK dengan jumlah pengurus sebanyak 50 orang, dan Linmas dengan jumlah anggota sebanyak 40 orang. Jarak Desa Bantar Karet dari Ibu Kota Kecamatan sekitar 15 km sedangkan jarak dari Pemerintahan Kabupaten Bogor sekitar 70 km. Desa Bantar Karet memiliki jumlah penduduk sebanyak 10 329 jiwa dengan sebaran laki-laki sebanyak 5 269 orang dan perempuan sebanyak 5 060 orang. Dilihat dari angkatan kerja dan kepadatan penduduk, Desa Bantar Karet memiliki angkatan kerja usia produktif sebanyak 1 086 orang dan yang tidak produktif sebanyak 927 orang dengan ratarata kepadatan penduduk sebesar 92 jiwa/km dan rata-rata penyebaran penduduk sebesar 18 jiwa/km.
26
Kondisi Sosial Budaya Desa Bantar Karet dengan luas wilayah 841,04 ha memiliki jumlah penduduk sebanyak 10 329 jiwa. Desa Bantar Karet dikenal dengan desa terluas di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor sehingga Desa Bantar Karet terdiri dari 6 dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun Tetangga. Penduduk Desa Bantar Karet sangat beragam. Keberagaman ini bisa dilihat dari kelompok umur, jenis kelamin, mata pencaharian, stastus kewarganegaraan, agama hingga tingkat pendidikan. Berikut data penduduk Desa Batar Karet berdasarkan kelompok umur yang bersumber dari data monografi Desa Bantar Karet Tahun 2014: Tabel 4
Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok
Jumlah Jiwa Jumlah
Umur
Laki-Laki
Perempuan
0–4
439
452
891
5–9
349
363
802
10 – 14
396
395
791
15 – 19
378
375
753
20 – 24
565
366
931
25 – 29
400
392
702
30 – 34
413
410
823
35 - 39
312
314
626
40 – 44
312
320
632
45 – 49
291
295
586
50 – 54
261
293
554
55 – 59
229
234
463
60 - 64
498
604
501
65 – 69
62
63
125
70 Keatas
63
54
117
5269
5060
10329
Jumlah
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa penduduk berjenis kelamin laki-laki jumlah terbanyak ada pada kelompok umur 20-24 tahun. Pada penduduk berjenis kelamin perempuan jumlah terbanyak ada pada kelompok umur 60-64
27
tahun. Berdasarkan jumlah penduduk gabungan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak ada pada kelompok umur 20-24. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Bantar Karet berusia produktif. Secara keseluruhan, jumlah penduduk paling banyak adalah penduduk berjenis kelamin laki-laki walau terlihat hanya sedikit selisihnya dengan penduduk berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan kewarganegaraan dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5
Jumlah dan persentase penduduk desa Bantar Karet berdasarkan status kewarganegaraan
Status Kewarganegaraan WNI WNA WNI Keturunan
Jumlah Jiwa n 10. 239 0 0
% 100 0 0
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa seluruh penduduk Desa Bantar Karet memiliki status kewarganegaraan sebagai WNI. Selain itu, jumlah penduduk berdasarkan agama dan aliran kepercayaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 6
Jumlah dan persentase penduduk desa Bantar Karet berdasarkan agama dan aliran kepercayaan
Agama dan Aliran Kepercayaan Islam Khatolik Protestan Hindu Budha Konghucu Aliran Kepercayaan
Jumlah Jiwa n 10.233 6 0 0 0 0 0
% 99.95 0.05 0 0 0 0 0
Tabel di atas menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk asli Desa Bantar Karet Beragama islam. Hanya enam orang yang beragama khatolik dan statusnya adalah pendatang yang menetap di Desa Bantar Karet. Sebaran penduduk Desa Bantar Karet juga dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ini dapat dilihat mulai dari penguasaan terhadap baca tulis hingga perguruan tinggi. Berikut jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan tingkat pendidikan:
28
Tabel 7 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan
Buta huruf Belum Sekolah Tidak Tamat SD/Sederajat Tamat SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SMU/Sederajat Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat D4 Tamat S1 Tamat S2 Tamat S3
Jumlah (Orang) n 83 1.262 3.975 4.109 1.117 673 2 7 4 0 6 0 0
% 0.70 11.22 35.40 37.00 10.00 6.00 0.02 0.07 0.04 0 0.06 0 0
Kondisi Ekonomi Sebaran mata pencaharian masyarakat Desa Bantar Karet dapat dilihat melalui jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian sebagai berikut: Tabel 8 No. 1.
Jumlah penduduk Desa Bantar Karet berdasarkan mata pencaharian Jenis Mata Pencaharian
Petani Pemilik Tanah Petani Penggarap Buruh tani 2. Usaha Pengusaha Besar Pengusaha Menengah Pengusaha Kecil 3. Pengrajin 4. Buruh Industri 5. Buruh Bangunan 6. Buruh Pertambangan 7. Buruh Perkebunan 8. Pedagang 9. Pengemudi 10. Pegawai Negeri Sipil 11. TNI/POLRI 12. Pensiunan (TNI/POLRI/PNS) 13. Anggota DPRD Kabupaten 14. Anggota DPRD Provinsi 15. Anggota DPR 16. Anggota DPD 17. Anggota MPR Sumber: Data monografi Desa Bantar Karet tahun 2014
Jumlah (Orang) 2.223 1.011 639 0 2 1 12 0 25 65 0 200 21 24 0 0 0 0 0 0 0
29
Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian sebagai petani penggarap lebih banyak jumlahnya dibanding mata pencaharian lain. Hal ini didukung oleh kondisi geogafis Desa Bantar Karet yang berbentuk dataran rendah, berbukit dan bergunung-gunung dengan kemiringan 21-40 Derajat. Selain itu, mata pencaharian sebagai pedagang pun memiliki jumlah terbesar kedua dari petani penggarap. Hal ini dikarenakan Desa Bantar Karet adalah desa yang terdapat perusahaan tambang dan aktivitas pertambangan yang mendatangkan orang dari luar daerah, sehingga inisiatif ekonomi mulai muncul dengan membuka warung karena banyaknya pendatang dan kebutuhan desa yang semakin meningkat. Kondisi Perekonomian Desa Bantar Karet setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin beragamnya mata pencaharian masyarakat Desa Bantar Karet. Meskipun sebagian besar masyarakat desa adalah petani, namun masyarakat sudah mulai sadar akan berbagai mata pencaharian yang pada dasarnya sebagai sarana pemenuh kebutuhan masyarakat desa. Contohnya yaitu mata pencaharian sebagai pedagang. Banyak masyarakat yang mengembangkan mata pencahariannya menjadi pedagang karena akses terhadap pasar utama sangat jauh, sehingga masyarakat sadar untuk menjadi distributor kebutuhan masyarakat desa melalui kegiatan berdagang.
Kondisi Sarana dan Prasarana Desa Bantar Karet memiliki sarana prasarana yang telah didata dalam monografi Desa Bantar Karet tahun 2014. Sarana prasarana tersebut meliputi: Tabel 9
Jumlah sarana keagamaan Desa Bantar Karet
No. Sarana Keagamaan 1. Mesjid Agung 2. Mesjid Jami 3. Mushola 4. Langgar 5. Surau 6. Majelis Ta’lim 7. Gereja 8. Pura 9. Vihara 10. Klenteng 11. Pagoda Sumber: Data Monografi Desa Bantar Karet Tahun 2014
Jumlah (Buah) 2 15 37 12 0 5 0 0 0 0 0
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah sarana keagamaan terbanyak yaitu mushola. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Desa Bantar Karet memeluk agama islam. Akan tetapi, dilihat dari kondisi sarana yang tersedia
30
masih ada kekurangan secara fisik, yaitu ukuran yang belum bisa menampung kapasitas masyarakat Desa Bantar Karet yang sangat banyak jumlahnya. Selain sarana keagamaan, terdapat juga prasarana pemerintahan yaitu 1 buah kantor kelurahan. Kantor kelurahan merupakan tempat aparat desa melakukan aktivitas yang berkaitan dengan urusan masyarakat, mulai dari tempat musyawarah, tempat membuat berbagai data kependudukan dan lain-lain. Prasarana pengairan yang tersedia di desa yaitu sungai/kali yang berjumlah 12 buah. Selain itu ada juga prasarana perhubungan yaitu jalan kabupaten yang panjangnya 17 km dan jalan desa yang panjangnya 7 km. Kemudian tersedianya terminal di desa sebanyak 2 buah, jembatan beton sebanyak 8 buah dan jembatan gantung sebanyak 3 buah. Lembaga keuangan yang tersedia di desa dalam bentuk simpan pinjam berjumlah 1 buah. Prasarana perekonomian yang terdapat di desa terdiri dari toko yang berjumlah 15 buah, kios berjumlah 5 buah dan warung berjumlah 18 buah. Kemudian prasarana pertanian yang tersedia yaitu bedungan yang berjumlah 1 buah dan irigasi 1 buah. Sarana kesehatan di Desa Bantar Karet masih memprihatinkan. Hal ini terlihat dari minimnya fasilitas kesehatan karena hanya terdapat 1 buah poliklinik dan 13 posyandu. Jumlah ini sangat minim untuk menangani kesehatan masyarakat desa yang jumlahnya begitu banyak. Selain sarana kesehatan, sarana pendidikan di Desa Bantar Karet juga masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dari jumlah sekolah yang terdiri dari SMP swasta 1, SD Negeri 7 buah, TK swasta 3 buah dan TPA islam 3 buah. Jumlah ini terbilang minim untuk menunjang akses masyarakat Desa Bantar Karet terhadap pendidikan. Hal ini yang juga menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Bantar Karet karena sulit akses pada pendidikan terutama kurangnya fasilitas pendidikan. Fasilitas umum lainnya yang tersedia yaitu lapangan olahraga dengan luas 1,5 ha, pemakaman keluarga seluas 0,3 ha dan pemakaman umum seluas 2,5 ha.
Subyek dan Obyek Agraria Pemerintah Desa Bantar Karet Karakter pemerintah lebih cenderung kepada peran pemerintah dalam hal penguasaan atas sumber-sumber agraria. Seperti dalam penelitian Nirmala (2013) yang menyatakan bahwa negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia. Sebelum masuknya PT. Antam, pemerintah desa telah mampu mengatur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet. Hal ini dibuktikan dengan adanya
31
pendataan tanah-tanah milik warga desa dan pemerintah desa memberikan bukti kepemilikan tanah berupa girik. Kegiatan ini dilakukan untuk menghindari adanya sengketa tanah antar warga desa sehingga dilakukan kegiatan pendataan tanah milik warga. Karakter pemerintah sebagai pemegang wewenang dalam mengatur, mengurus memelihara, dan mengawasi pemanfaatan ini berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Implementasi kegiatan pertambangan dapat terlaksana dengan peran dari pemerintah sebagai pemberi kebijakan. Saat PT. Antam masuk ke Desa Bantar karet untuk melakukan kegiatan pertambangan, pemerintah desa berani menyetujui pembebasan tanah untuk kegiatan pertambangan. Pemerintah desa beranggapan bahwa dengan adanya perusahaan pertambangan, masyarakat akan menjadi lebih sejahtera. Sesungguhnya mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. Ketika usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat hilang, maka hilang pula sumber penghasilan masyarakat desa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah seperti bertindak sebagai pemilik tanah yang bebas menjual tanah yang dimiliki masyarakat desa. Orde baru pun menjadi alasan mengapa pemerintah desa mampu memberikan izin sebesar-besarnya untuk kegiatan pertambangan, karena pada masa itu pemerintahan bersifat sentralistik dan otoriter. Oleh Karena itu, tidak ada satupun masyarakat yang bisa membantah atau bahkan menolak adanya intervensi perusahaan dalam hal ini adalah PT. Antam. Sejak saat itu terlihat adanya keberpihakan pemerintah desa dalam hal pemberian akses penguasaan tanah.
Petani Kampung Nunggul dan Kampung Tugu Masyarakat Desa Bantar Karet memiliki jumlah penduduk sebanyak 10.239 jiwa dan terbagi ke dalam 13 kampung. Kampung-kampung di Desa Bantar Karet terdiri dari Kampung Cadas Leueur, Kampung Bojong Sari, Kampung Jatake, Kampung Leuwicatang, Kampung Sidempok, Kampung Bantar Karet, Kampung Gunung Dahu, Kampung Tugu, Kampung Nunggul, Kampung Ciguha dan Kampung Cilanggar. Salah satu kampung di Desa Bantar Karet yang menjadi lokasi penelitian adalah Kampung Nunggul dan Kampung Tugu. Mata pencaharian dari penduduk di Kampung Nunggul dan Kampung Tugu adalah pedagang, petani dan pengemudi. Hal ini dibuktikan dari responden yang sebagian besar bermata pencaharian pedagang, bertani dan pengemudi (ojeg). Sebelum masuk kegiatan pertambangan, penduduk Kampung Nunggul dan Kampung Tugu bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi, setelah masuknya kegiatan pertambangan, terjadi peristiwa pembebasan tanah dalam memenuhi kebutuhan perusahaan PT. Antam untuk kegiatan pertambangan. Pembebasan tanah yang dilakukan tersebut adalah untuk kebutuhan pembuatan kantor, jalan, dan pembuangan limbah. Hal ini berakibat pada perubahan mata pencaharian sebagian penduduk kedua kampung menjadi pedagang karena lahan pertaniannya harus dibebaskan untuk memenuhi kebutuhan pertambangan tersebut. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan pertanian, kegiatan pertanian tetap dijalankan namun hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga secara pribadi, dengan kata lain tidak untuk dijual. Akan tetapi, bagi penduduk yang sudah tidak memiliki tanah lagi, maka mata pencaharian utama yang ditekuninya adalah berdagang dengan sampingan sebagai gurandil
32
(penambang liar). Secara sosial, penduduk Kampung Nunggul jarang sekali terlibat konflik. Hal ini disebabkan karena dalam satu kampung tersebut merupakan penduduk yang terikat dengan ikatan saudara kandung. Jadi mulai dari kakek, nenek, orangtua dan anak semua ada dalam satu kampung. Konflik mulai hadir ketika ada intervensi perusahaan pertambangan, karena penduduk ketakutan tanah mereka akan dirampas oleh pihak perusahaan. Sebagian besar penduduk Kampung Nunggul adalah petani pemilik. Mereka memiliki tanah dengan bukti sertifikat berupa girik. Karakter kepemilikan tanah pertanian ini yang mempengaruhi implementasi kegiatan pertambangan, sehingga Kampung Nunggul dan Kampung Tugu menjadi kampung yang sebagian besar lahan pertaniannya dibebaskan oleh PT. Antam. Kepemilikan tanah tersebut merupakan warisan turun temurun, sehingga tidak jarang penduduk menganggap tanah milik mereka adalah tanah adat. Selain itu, tingkat pendidikan penduduk Kampung Nunggul dan Kampung Tugu juga menjadi karakter yang berpengaruh pada implementasi kegiatan pertambangan. Ketidakberdayaan masyarakat untuk akses informasi hukum pada saat itu dalam hal pengelolaan sumberdaya menyebabkan masyarakat tunduk dan menerima apapun keputusan pihak lain yang bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Akhirnya partisipasi masyarakat tidak terlihat pada implementasi kegiatan pertambangan, khususnya dalam berbagai musyawarah penetapan berbagai peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya agraria.
PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor PT. Antam merupakan perusahaan raksasa nasional yang bergerak di sektor pertambangan. Perusahaan ini merupakan perusahaan dengan berorientasi ekspor. PT. Antam merupakan perusahaan yang dibangun sebagai Badan Usaha Milik Negara pada tahun 1968. PT. Antam merupakan perusahaan yang sebagian besar sahamnya adalah milik Negara. Akan tetapi sejak 1997 PT. Antam telah menawarkan sahamnya sebesar 35% ke publik dan mencatatnya di Bursa Efek Indonesia. Jenis industri yang dikelola oleh PT. Antam UBPE Pongkor adalah industri pertambangan dengan konservasi lingkungan dan upaya penghematan biaya operasional. PT. Antam memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi, memulai eksplorasi pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1981 di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada akhir tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor dan menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Berdasarkan hasil tinjauan tersebut direncanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP), yang mana didapatkan KP Eksplorasi seluas 4 339 ha (KP DU 562/Jabar). Pelaksanaan kegiatan pertambangan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pada saat itu. Izin dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral
33
(ESDM) dapat dikeluarkan ketika perusahaan telah mampu memenuhi persyaratan mulai dari laporan eksplorasi, studi kelayakan, UPL (Upaya Pelestarian Lingkungan), rencana reklamasi, dan rencana pasca tambang. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, izin usaha pertambangan (IUP) dikeluarkan oleh Bupati, Namun saat ini IUP tidak lagi dikeluarkan oleh Bupati, melainkan oleh Gubernur. Kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk mengurusi berbagai hal tentang pertambangan telah dicabut. Saat ini yang mengurusi segala bentuk perizinan dan kebijakan adalah Pemerintah Provinsi. Informasi ini disampaikan oleh salah satu informan yaitu staf Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Bogor.
Obyek Agraria: Tanah Pertanian dan Cadangan Pertambangan Struktur agraria tidak lepas kaitannya antara subyek agraria dan obyek agraria. Subyek agraria dikenali sebagai pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan obyek agaria atau sumberdaya agraria. Obyek agraria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanah pertanian dan cadangan pertambangan. Tanah pertanian di Desa Bantar karet terbilang cukup luas. Sekitar 11. 718 ha tanah pertanian yang ada di Desa Bantar Karet dengan jenis lahan yaitu lahan tadah hujan. Lahan tadah hujan merupakan jenis lahan yang sumber air utama berasal dari curah hujan. Jenis lahan ini bergantung dengan turunnya hujan. Curah hujan di Desa Bantar Karet sebesar 400-800 mm/tahun.Menurut Yulianto dan Sudibyakto (2012), tanaman padi dapat hidup baik didaerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1 500-2 000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi yaitu 23 °C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 -1 500 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya curah hujan di Desa Bantar Karet masih belum cukup untuk mengairi lahan pertanian dengan jenis lahan tadah hujan. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 10. Tabel 10 Luas penggunaan sawah di Kecamatan Nanggung pada tahun 20082013 Luas Penggunaan Lahan Tahun Irigasi Sederhana Tadah Hujan Pasang Surut (ha) (ha) (ha) 2008 214 364 2009 425 364 2010 405 355 2011 443 325 2012 349 330 2013 1571 54 Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa luas penggunaan sawah tadah hujan di Kecamatan Nanggung pada tahun 2008-2013 semakin menurun. Hal ini
34
disebabkan oleh intensitas curah hujan yang semakin rendah setiap tahunnya di Bogor. Pada irigiasi sederhana, luas lahan yang digunakan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh sistem pengairan irigasi yang lebih baik dibanding sistem pengairan tadah hujan, karena sistem pengairan tadah hujan menjadikan curah hujan sebagai faktor pembatas yang menentukan keberhasilan padi sawah tadah hujan (Widyantoro dan Toha 2010). Berdasarkan hasil kuesioner mengenai luas lahan yang dimiliki oleh responden, maka analisis mengenai luas lahan yang dimiliki responden dapat diilustasikan melalui tabel di bawah ini. Tabel 11
No. 1. 3. 4.
Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki sebelum dan sesudah ada pertambangan Luas Lahan
< 1.800 m 1.800-12.000 m > 12.000 m Total
Sebelum ada pertambangan n % 10 33 16 53 4 14 30 100
Sesudah ada Pertambangan n % 20 67 8 27 2 6 30 100
Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa 10 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m sebelum ada pertambangan dan 20 responden menyatakan luas lahan yang dimilikinya kurang dari 1 800 m. Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak masyarakat yang memiliki lahan kurang dari 1.800 m setelah ada pertambangan. Selanjutnya, terdapat 16 responden yang menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m sebelum ada pertambangan dan 8 responden menyatakan bahwa luas lahan yang dimilikinya berada pada kisaran 1 800-12 000 m setelah ada pertambangan. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah responden yang menyatakan luas lahan yang dimiliki berada pada luas 1 800-12 000 m yang artinya semakin sedikit responden yang memiliki lahan dengan luas tersebut. Terakhir yaitu sebanyak 4 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sebelum ada pertambangan, dan 2 responden menyatakan bahwa luas lahannya lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah responden yang memiliki lahan dengan luas lebih dari 12 000 m sesudah ada pertambangan. Peningkatan dan penurunan luas lahan yang dimiliki ini disebabkan oleh kegiatan pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Antam untuk membuat jalan, kantor dan tempat pengolahan limbah. Kegiatan pembebasan tanah ini menyebabkan banyak masyarakat Desa Bantar Karet mengalami penurunan luas lahan untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian dan perkebunan sayur. Obyek agraria yang lain adalah cadangan pertambangan. PT. Antam merupakan unit bisnis pertambangan emas yang tentunya menjadikan emas sebagai produksi tambang utama. Berdasarkan informasi dari hasil studi dokumen yang didapat dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral, diketahui bahwa endapan emas yang terdiri dari sembilan urat kwarsa-adularia sub paralel yang kaya akan oksigen mangan dan limonit dan sangat miskin akan sulfida (Milesi et al 2000, Warmada et al 2003 seperti dikutip oleh PT. Antam 2013) yang dikenal dengan tipe Pongkor Deposit (Basuki et al 1994 seperti dikutip oleh PT. Antam
35
2013). Urat-urat ini mempunyai panjang antara 700-2 500 m, tebal rata-rata antara 2-10 m dengan maksimal ketebalan 24 m dengan kedalaman lebih dari 200 m yang memotong satuan batuan volkanik. Urat yang mempunyai nilai ekonomis meliputi urat Ciurug, Ciguha, Kubang Cicau, Pasir Jawa, dan Gudang Handak. Endapan emas-perak Pongkor merupakan endapan epitermal sulfida rendah (kwarsa karbonat-adularia). Dari hasil analisis inklusi fluida yang diambil dari kwarsa maupun kalsit dapat diinterpretasikan bahwa suhu pembentukannya berkisar antara 180-220OC. Hal ini yang menjadikan emas memiliki nilai ekonomi sangat tinggi karena proses pembentukan dan pengolahannya yang memerlukan waktu cukup lama. Oleh karena itu, banyak pengusaha maupun masyarakat sekitar yang memburu endapan emas hingga tidak jarang perburuan ini memunculkan konflik kepentingan diantara pihak-pihak terkait. Obyek-obyek agraria di atas menjadi sumberdaya yang sangat bernilai. Hal ini yang menyebabkan munculnya kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Antam untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Struktur Penguasaan Tanah Desa Bantar Karet
Penguasaan Tanah Sebelum Masuk nya PT. Antam Masyarakat Desa Bantar Karet sejak dahulu hidup dengan bergantung pada tanah pertanian yang mereka miliki. Dahulu, status kepemilikan tanah yang dipegang adalah berupa tanah adat. Menurut kisahnya, tanah adat yang dimaksud oleh masyarakat Desa Bantar Karet adalah tanah yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang. Pada zaman Belanda, sistem penguasaan tanah tersebut berupa “siapa yang mengelola dia yang memiliki”. Jadi setiap individu dari masyarakat Desa Bantar Karet yang menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk kegiatan pertanian kemudian tanah tersebut di “rincik”. Rincik tersebut merupakan nama dari masyarakat Desa Bantar Karet yang artinya adalah “ukur”. Maka siapa yang menggunakan atau memanfaatkan tanah tersebut kemudian tanahnya dirincik/diukur. Kegiatan rincik tersebut dilakukan oleh pemilik tanah dan disaksikan oleh pemerintah desa pada waktu itu. Setelah kegiatan rincik selesai, maka dilanjutkan dengan membayar rincikan atau membayar biaya pengukuran. Setelah pembayaran selesai dilakukan, baru dibuatkan akta tanah atas nama orang yang menggunakan atau memanfaatkan tanah tesebut. Pada tahun 1990 akta tanah yang dimiliki masyarakat bukanlah berupa sertifikat, tetapi berupa girik yang didalamnya memuat nama pemilik tanah dan luas tanah yang dimanfaatkannya. Dapat dilihat bahwa struktur penguasaan tanah sebelum PT. Antam masuk adalah sebagai berikut:
36
Pemerintah Desa Bantar Karet
TANAH
Masyarakat Desa Bantar Karet
Gambar 4 Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Keret sebelum masuknya PT. Antam Gambar di atas memperlihatkan bahwa tanah pertanian dimanfaatkan sepenuhnya hanya oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Bantar Karet sebagai tanah pertanian. Pada masa itu tanah di desa Bantar Karet merupakan tanah pertanian. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di desa ini hanya melibatkan masyarakat dan aparat desa saja tanpa campur tangan pihak lain. Kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya alam berupa tanah pertanian tersebut dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Bantar Karet sendiri. Kegiatan pertanian di desa ini menggunakan irigasi yang airnya berasal dari mata air pegunungan.
Penguasaan Tanah Sesudah Masuknya PT. Antam Sejak tahun 1974 hingga 1981, PT. Antam telah memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi. Lokasi eksplorasi dilakukan di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada Akhir tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor. Sejak saat itu perusahaan pertambangan mulai memasuki Desa Bantar Karet karena desa ini yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Gunung Pongkor. Setelah mendapat izin kuasa pertambangan, PT. Antam memulai kegiatan dengan pembangunan jalan. Pembangunan jalan dilakukan dari Parengpeng sampai Pongkor dengan panjang 12,5 km pada tahun 1992 dan pembangunan fisik pabrik dengan kapasitas 2,5 ton emas per tahun dan pembuatan tailing dam/tempat pembuangan limbah. Pembuatan jalan ini dilakukan untuk membuka jalan dan memudahkan akses keluar masuk kendaraan pertambangan sekaligus untuk memudahkan akses masyarakat yang dahulu jalanannya masih berupa jalan
37
setapak. Ketiga agenda yang dicanangkan oleh PT. Antam saat itu erat kaitannya dengan tanah. Pengadaan jalan, kantor pertambangan, dan tempat pembuangan limbah tentunya memerlukan lahan, sedangkan lahan di Desa Bantar Karet merupakan lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan agenda tersebut PT. Antam melakukan pembebasan tanah atas tanah pertanian masyarakat yang ada di Desa Bantar Karet untuk pembuatan jalan dan khususnya pembebasan tanah di Kampung Nunggul untuk pembuatan kantor pertambangan dan pembuatan tempat pembuangan limbah. Struktur penguasaan tanah pada saat itu berubah dan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pemerintah Desa Bantar Karet
TANAH Masyarakat Desa Bantar Karet
Masuknya PT. Antam dan melakukan pembebasan tanah
Masyarakat Desa Bantar Karet
Pemerintah Desa Bantar Karet
TANAH
PT. Antam UBPE Pongkor
Gambar 5
Struktur penguasaan tanah di Desa Bantar Karet Sesudah Masuknya PT. Antam
Gambar 5 memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara struktur penguasaan sebelum dan sesudah masuknya PT. Antam. Sebelum masuknya PT. Antam, tanah di Desa Bantar Karet dikelola oleh masyarakat dan pemerintah Desa Bantar Karet saja. Akan tetapi, sesudah masuknya PT. Antam peristiwa pembebasan tanah terjadi untuk mewujudkan agenda perusahaan dalam hal
38
pembuatan jalan, pembuatan kantor pertambangan dan pembuatan tempat pembuangan limbah. Pada gambar ditunjukkan bahwa pemerintah desa bekerjasama dengan PT. Antam dalam pengelolaan tanah tersebut, dalam hal ini bentuk kerjasama tersebut adalah permohonan izin PT. Antam kepada pemerintah desa untuk melakukan pembebasan tanah. Kerjasama lain dilakukan oleh pemerintah desa dengan masyarakat dalam hal lobi dan negosiasi agar masyarakat mau membebaskan tanah pertanian milik mereka guna kepentingan PT. Antam. Pada kondisi ini masyarakat tidak bekerjasama dengan PT. Antam dalam penguasaan tanah karena masyarakat pada saat itu masih “awam” atau dengan kata lain orang biasa yang bukan ahli di bidang tersebut. Segala bentuk kegiatan lobi dan negosiasi antara masyarakat dan PT. Antam difasilitasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah desa berperan dalam menjembatani kesepakatan kegiatan pembebasan tanah tersebut. Pada akhirnya penguasaan tanah sesudah masuknya PT. Antam memunculkan satu penguasa baru, yaitu PT. Antam.
39
JEJAK KELAM EKSPLORASI HINGGA EKSPLOITASI
Desa Bantar Karet merupakan desa yang lokasinya berada di dataran tinggi dan dekat dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa ini dihuni oleh masyarakat pribumi yang bersuku Sunda. Hamparan sawah dan kebun menjadi pemandangan khas di Desa ini. Masyarakat Desa Bantar Karet sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Sejak zaman kolonial belanda hingga kini hamparan sawah dan kebun tersebut masih nampak terlihat. Eksistensi pertanian di desa ini menjadi harga mati bagi masyarakat Desa Bantar Karet. Oleh karena itu, hingga kini sawah dan kebun masih mampu dinikmati oleh anak cucu para leluhurnya walau tidak seluas pada zaman dahulu. Peningkatan mutu kehidupan tidak lepas dari peran pembangunan. Pembangunan dianggap menjadi jalan keluar untuk mewujudkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Hal ini terjadi di Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sumberdaya alam yang melimpah dan keaslian alamnya menjadi daya tarik para investor atau pengusaha besar untuk mengeksplorasi kekayaan tersebut. Pada saat itu pengusaha yang melihat sumberdaya alam yang melimpah dari Desa Bantar Karet adalah PT. Aneka Tambang (PT. Antam). PT. Antam merupakan perusahaan raksasa nasional yang bergerak di sektor pertambangan. Perusahaan ini merupakan perusahaan milik negara atau disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibangun untuk mengelola sumberdaya alam guna kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Desa Bantar Karet. Perjalanan panjang pembangunan oleh perusahaan tambang di desa ini terekam di dalam fikiran masyarakat Desa Bantar Karet. Kisah tersebut tertuang dalam kronologi jejak kelam eksplorasi hingga eksploitasi yang akan dijelaskan pada subbab berikut.
Tahun 1974-1981: Eksplorasi Gunung Pongkor PT. Aneka Tambang (PT. Antam) UBPE Pongkor merupakan perusahaan raksasa nasional milik negara atau yang disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibangun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat sekitar yaitu Desa Bantar Karet. PT. Antam memulai kegiatan ekplorasi melalui salah satu unit kerjanya yaitu unit geologi, memulai eksplorasi pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1981 di daerah Gunung Limbung, Cibugis dan sekitarnya yaitu sebelah Utara – Timur Gunung Pongkor, dengan tujuan utamanya adalah mencari cebakan bijih logam dasar (base metal) yang saat itu permintaan pasaran masih tinggi. Pada Akhir Tahun 1979, saat eksplorasi di daerah Gunung Limbung, juga diperoleh informasi adanya mineralisasi sulfida pirit di daerah sekitar Gunung Pongkor. Selanjutnya pada tahun 1981, tim unit geologi melakukan reconnaissance (survei tinjau) ke daerah Gunung Pongkor dan menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Berdasarkan hasil
40
tinjauan tersebut direncanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP), yang mana didapatkan KP Eksplorasi seluas 4 339 ha (KP DU 562/Jabar). Survei ini dilakukan dalam waktu cukup lama karena untuk mendapatkan kadar bijih sangat sulit. Tahapan dalam menemukan kadar bijih dimulai dari penyelidikan umum. Penyelidikan umum dalam eksplorasi tambang menjadi usaha untuk memetakan secara geologi maupun fisik baik dari darat maupun dari udara untuk menetapkan lokasi mana yang terdapat bahan galian/bahan tambang. Setelah ditemukan, bahan tambang tersebut harus melalui proses ilmiah di laboratorium untuk mengukur kadar atau kandungan bijih yang ada dalam bahan tambang tersebut. Informasi kadar bijih tersebut kemudian menjadi lompatan pertama untuk melakukan ekplorasi lanjutan dan jika hasilnya valid, menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengandung kadar bijih dalam jumlah besar.
Tahun 1981-1992: Peristiwa Gusuran (Pembebasan Tanah) Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, pada tahun 1981 tim ekplorasi dari PT. Antam mulai melakukan survei di Gunung Pongkor. Gunung Pongkor terletak di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan memiliki potensi sumberdaya alam yang baik, terutama sumberdaya yang terdapat di perut gunung tersebut. Pada eksplorasi kali ini tim eksplorasi dari PT. Antam menemukan urat kwarsa dengan kandungan logam Au = 4 ppm dan logam Ag = 126 ppm di lokasi Pasir Jawa. Sejak saat itu PT. Antam merencanakan untuk mengambil kuasa pertambangan (KP) dengan luas eksplorasi 4 339 Ha. Kegiatan eksplorasi ini hanya berjalan dalam waktu satu tahun yaitu pada tahun 1981-1982, kemudian dilakukan penundaan kegiatan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi dilanjutkan di daerah lain yaitu di daerah Cikotok pada tahun 1983-1988. Hal ini disebabkan fokus perusahaan yang sedang mencari cadangan emas di sekitar daerah Cikotok (UPEC) dan Jawa Barat mengingat menipisnya cadangan UPEC. Tahun 1988 adalah tahun ditemukannya deposit emas Gunung Pongkor (discovery Pongkor Deposit). Eksplorasi di Gunung Pongkor kemudian dilanjutkan kembali setelah mengalami penundaan pada tahun 1982. Kegiatan eksplorasi di Gunung Pongkor ini dilanjutkan pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1991 dalam bentuk kegiatan eksplorasi lanjutan yang lebih sistematis dan lengkap sampai dengan drilling/pemboran yang cukup rapat. Kemudian pada tahun 1992 mulai dilakukan perencanaan tambang yang dilanjutkan dengan kegiatan development. Setelah melakukan studi kelayakan, PT. Antam mendapatkan Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KP DU 893/Jabar) seluas 4 058 Ha yang berada dalam wilayah KP Eksplorasi DU 868/Jabar seluas 8 829,25 Ha. Pada masa ini, PT. Antam membutuhkan lahan yang cukup luas untuk membangun sarana dan prasarana pertambangan seperti jalan, kantor pertambangan, dan tempat pembuangan limbah. Jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan pertambangan adalah dengan melakukan pembebasan tanah masyarakat Desa Bantar Karet. Pro dan kontra menjadi gambaran kondisi antara masyarakat dan PT. Antam pada saat itu. Kuasa pertambangan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
41
Memberi kuasa Pertambangan sebesar 4 058 hektar.
Gambar 6
Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi (DU. 893/Jabar)
Gambar di atas menunjukkan bahwa Direktur Jendral Pertambangan Umum memberikan keputusan mengenai kuasa pertambangan yang diberikan kepada PT. Antam untuk kegiatan eksplorasi seluas 4 058 Ha. Intervensi dadakan yang dilakukan oleh PT. Antam membuat sebagian besar masyarakat kaget dan bingung harus melakukan apa. Kehadiran yang mendadak ini ditandai dengan pengumuman dari Kepada Desa kepada masyarakat desa khususnya tokoh-tokoh masyarakat yang dikumpulkan di kantor desa tentang akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah. Pada saat itu masyarakat mengaku tidak tahu apa-apa dan mau tidak mau harus menuruti perintah dari kepada desa. Masyarakat diperintah untuk mengumpulkan girik atau yang saat ini dikenal dengan sertifikat tanah bagi tanahnya yang terkena ”gusuran”(istilah pembebasan tanah pada saat itu). Kemudian diadakan juga forum yang mengumumkan harga ganti rugi bagi tanah yang terkena gusuran. Bagi tanah darat, harga ganti rugi per meter adalah sebesar Rp. 1.250 dan untuk tanah sawah sebesar Rp. 1.500. Harga Ganti rugi ini dibuktikan dalam surat tanda terima jual beli tanah yang dapat dilihat pada lampiran. Masyarakat Desa Bantar Karet merasa ganti rugi sebesar itu tidak sesuai untuk ukuran perusahaan nasional yang besar seperti PT. Antam. Hal ini diutarakan oleh salah satu masyarakat desa dalam percakapan bersama peneliti sebagai berikut: “saya sebagai warga yang digusur tanahnya oleh pihak PT. Antam merasa ganti rugi itu tidak sesuai neng. Sangat kecil nilainya dibanding perusahaan yang akan dibangun. Tanah pertanian ini kan mata pencaharian utama warga sini, kalo cuma dibayar segitu mah gak bisa kebeli tanah lagi neng. (SRA, 40 tahun)”
42
Hal yang sama dikatakan juga oleh para responden bahwa ganti rugi pembebasan tanah tidak sesuai karena terlalu murah. Masyarakat berusaha melakukan negosiasi harga ganti rugi kepada pihak PT. Antam dan pemerintah desa, namun hal itu sia-sia. Harga ganti rugi sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak), sehingga pemerintah daerah juga tidak memiliki wewenang untuk menurunkan harga. Selain itu, UndangUndang Otonomi Daerah juga belum dikeluarkan pada tahun 1991 sehingga pemerintah daerah hanya bisa melaksanakan peraturan pemerintah pusat tanpa bisa merubah atau berwenang dalam pengelolaan sumberdaya alam daerahnya sendiri. Ada masyarakat yang juga responden penelitian ini yang menolak harga ganti rugi tersebut dengan cara tidak mau membebaskan tanahnya. Akan tetapi, niat tersebut diurungkan oleh responden karena terdapat ancaman yang disampaikan oleh salah satu pihak yang tidak disebutkan oleh responden. Ancaman tersebut diutarakan oleh responden dalam kutipan di bawah ini: “Saya sempet gak mau digusur tanahnya sama PT. Antam. Saya nolak atuh, da harga ganti ruginya gak sesuai menurut saya mah, terlalu murah. Tapi saya gak jadi tuh neng nolak digusur gara-gara diancam pengikut PKI kalo gak nurut sama pemerintah. kan saya takut neng. Zaman dulu mah masyarakat mana ada yang berani kalo udah dituduh pengikut PKI, gak kayak zaman sekarang yang bebas. Semua ketakutan dituduh pengikut PKI. Jadi saya nerima aja tanah saya digusur. (HRD, 70 tahun)”
Pemerintah maupun PT. Antam tidak sedikit pun memberikan ruang untuk negosiasi kepada masayarakat dalam melakukan negosiasi harga ganti rugi. Kegiatan pembebasan tetap terjadi walaupun banyak masyarakat menolak. Ganti rugi yang diberikan oleh PT. Antam kemudian diberikan kepada Pemerintah Daerah dan didistribusikan kepada masyarakat Desa Bantar Karet. Kegiatan pembebasan tanah dan pembayaran ganti rugi telah selesai dan dilanjutkan dengan kegiatan pra pertambangan. Kegiatan pertambangan terus berjalan dengan terlebih dahulu melakukan pembuatan jalan dari Parengpeng sampai Pongkor dengan panjang 12,5 km pada tahun 1992 dan pembangunan fisik pabrik dengan kapasitas 2,5 ton emas per tahun dan pembuatan tailing dam. Pembuatan jalan ini disetujui oleh pemerintah daerah dan pembangunan jalan dilakukan oleh Bakti ABRI. Kegiatan pembangunan jalan tidak lepas dari persetujuan masyarakat Desa Bantar Karet sebagai penduduk pribumi.
Tahun 1992-1999: Pembangunan Kantor PT. Antam dan Peristiwa Pembakaran Selanjutnya pada tahun 1992 kantor PT. Antam mulai dibangun di daerah Kampung Nunggul Desa Bantar Karet. Sebelum pembangunan kantor PT. Antam, kantor sementara terletak di pinggir kali (sungai kecil). Bangunan kantor sementara ini hanya terbuat dari papan. Seiring berjalannya waktu setelah selesai membangun jalan, kantor PT. Antam pun dibangun. Pembangunan jalan diprioritaskan terlebih dahulu untuk memudahkan perusahaan membawa bahan baku pembangunan kantor PT. Antam dan melancarkan transportasi dalam mendistribusikan hasil tambang. Setelah selesai membangun kantor dalam waktu
43
satu tahun, agenda selanjutnya adalah membangun pabrik produksi. Pada tahun 1993 mulai dibangun pabrik pertama dengan kapasitas 2,5 ton emas yang mampu diproduksi. Kapasitas yang terbilang fantastis yang didapat untuk produksi pertama bagi PT. Antam. Commisioning pabrik dan awal produksi pada bulan April tahun 1994 dan pada tahun yang sama Proyek Pembangunan Tambang Emas Pongkor dirubah menjadi Unit Pertambangan Emas Pongkor. Kemudian pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 aktivitas pertambangan berlangsung dan produksi pertambangan berusaha ditingkatkan dari kapasitas 2,5 ton emas menjadi kapasitas 5 ton emas yang mampu diproduksi, maka dibangun pabrik pengolahan kedua. Hal ini menjadi bukti bahwa sumberdaya agraria yang ada di desa tersebut sangat luar biasa melimpah. Pada tahap awal, kegiatan produksi tambangan berasal dari lokasi tambang Ciguha, Kubang Cicau, dan Pasir Jawa. Setelah cadangan-cadangan bijih di lokasi tersebut mulai habis, maka kegiatan produksi tambang sebagian besar berasal dari vein Ciurug dan sebagian kecil dari vein Gudang Handak. Pada tahun 1998 terjadi peristiwa yang tidak dapat dilupakan oleh masyarakat dan terutama pihak PT. Antam. Tepatnya pada tanggal 3 Desember 1998 kantor PT. Antam diserang oleh “gurandil” (penambang liar) karena terjadi kesalahpahaman antara gurandil dengan pihak PT. Antam. Tindakan yang dilakukan oleh para gurandil tersebut dalam bentuk pembakaran kantor PT. Antam. Kesalahpahaman ini dikarenakan ada pihak gurandil yang mengatakan bahwa ada gurandil lain yang ditembak oleh pihak PT. Antam. Akan tetapi pengakuan tersebut dibantah oleh pihak PT. Antam karena pihak PT. Antam mengatakan bahwa tidak mungkin pihaknya melakukan penembakan secara sembarangan. Penembakan itu hanya tembakan ke udara sebagai bentuk peringatan kepada gurandil yang pada dasarnya kegiatan penambangan liar tersebut dilarang untuk dilakukan. Akibat kejadian tersebut, aktivitas di kantor PT. Antam dihentikan selama lima hari mengingat situasi kantor yang tidak memungkinkan karena seluruhnya telah hangus terbakar. Akan tetapi untuk aktivitas penambangan tetap berjalan. Tahun 1999 PT. Antam mulai bangkit kembali. Satu tahun waktu yang digunakan untuk membangun kembali kantor PT. Antam sebagai pusat pengendali kegiatan pertambangan. Sejak saat itu kegiatan pertambangan mulai berlangsung seperti sediakala.
Tahun 2014: Konflik Penutupan Akses Jalan Menuju Kampung Ciguha Sejak tahun 1999 setelah tragedi pembakaran kantor PT. Antam oleh massa dalam hal ini adalah gurandil, kegiatan pertambangan terus berlanjut dan menunjukkan eksistensinya dalam industri pertambangan. Kegiatan pertambangan berjalan dengan baik dalam kurun waktu 15 tahun. Perjalanan industri pertambangan tidak lepas kaitannya dengan peran masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat sekitar yang menerima kehadiran PT. Antam tentu dengan latar belakang pemikiran yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang beranggapan bahwa menerima kehadiran perusahaan masuk desa adalah upaya untuk mengembangkan desa, mereka berharap perusahaan dapat merekrut mereka menjadi pekerja di perusahaan tersebut. Sesungguhnya sumberdaya lokal dalam hal ini sumberdaya manusia patut diutamakan dalam hal penyerapan tenaga kerja.
44
Hal ini menjadi bentuk tanggungjawab pihak perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang memanfaatkan sumberdaya alam lokal masyarakat tersebut. Akan tetapi hal ini berbeda dengan kenyataan di lapang. Salah satu informan mengatakan bahwa PT. Antam hanya menyerap tenaga kerja lokal sebesar 10%, dan mungkin persentase yang kecil ini dengan alasan bahwa banyak masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah, sehingga sulit dijadikan tenaga kerja sebagai staf di kantor, kemungkinan hanya sebagai buruh kasarnya saja seperti mengangkut hasil tambang (TMN, 49 tahun). Sejak saat itu masyarakat menjadi semakin sensitif dengan segala pergerakan dan tingkah laku PT. Antam karena sulitnya akses masyarakat terhadap pekerjaan di perusahaan. Hal ini menjadi alasan bagi masyarakat menambang liar untuk menambang sendiri sumberdaya alam mereka dan tidak jarang mereka harus “kucing-kucingan” dengan pihak PT. Antam karena kegiatan ini dilarang. Pada tahun 2014 muncul berbagai intrik antara masyarakat dan PT. Antam yang dipicu oleh peraturan-peraturan yang tidak dipahami oleh masyarakat Desa Bantar Karet. Kantor PT. Antam yang berlokasi di antara Kampung Nunggul dengan Kampung Ciguha, dan gerbang utama kantor PT. Antam yang berada di tengah-tengah jalan menuju Kampung Ciguha menyebabkan masyarakat Desa kerap kali hilir mudik melewati gerbang utama Kantor PT. Antam. Hal ini dikarenakan tidak ada jalan alternatif menuju Kampung Ciguha selain melewati gerbang utama PT. Antam. Sejak dahulu hal ini tidak menjadi masalah bagi perusahaan. Perusahaan juga merasa bahwa akses jalan menjadi hak semua masyarakat Desa Bantar Karet yang merupakan penduduk pribumi. Kegiatan pertambangan semakin meningkat sejalan dengan berdatangannya penambang liar yang dikenal oleh perusahaan dan masyarakat sebagai PETI (penambang tanpa izin) atau gurandil. PETI atau gurandil ini banyak melakukan kegiatan di Kampung Ciguha, salah satu kampung yang menjadi wilayah pertambangan PT. Antam. Hal ini membuat PT. Antam geram dengan kegiatan pertambangan liar, karena penambangan liar sesungguhnya membahayakan penambang karena tidak dilengkapi dengan peralatan yang aman dan juga lokasi bekas tambang tidak dipulihkan kembali, melainkan dibiarkan rusak. Akan tetapi semakin lama PT. Antam semakin resah dengan hilir mudik orang-orang yang melewati gerbang PT. Antam menuju Kampung Ciguha, karena bisa jadi orang-orang tersebut bukan orang asli Kampung Ciguha, melainkan orang dari luar desa yang mencoba untuk menjadi penambang liar. Akibat semakin banyaknya PETI atau gurandil, akhirnya PT. Antam mengeluarkan peraturan bahwa yang diizinkan melewati jalan menuju Kampung Ciguha hanya warga asli Kampung Ciguha. Selain warga Kampung Ciguha dilarang melewati jalan pada gerbang utama perusahaan dan menuju Kampung Ciguha. Masyakarat kemudian kaget ketika ingin menuju ke Kampung Ciguha diberhentikan oleh pihak keamanan PT. Antam dan diperintah untuk mengeluarkan kartu identitas seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang ternyata merupakan cara untuk melihat orang tersebut adalah warga asli Kampung Ciguha atau bukan. Sejak kejadian itu masyarakat marah dengan tindakan PT. Antam yang mengeluarkan peraturan tanpa melakukan musyawarah dengan masyarakat sekitar. Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya menuju Kampung Ciguha dan jika ditutup masyarakat akan sulit menuju Kampung Ciguha. Masyarakat mengatakan bahwa tidak semua orang yang masuk ke Kampung Ciguha adalah untuk
45
melakukan penambangan liar, tetapi ada juga yang ingin menemui sanak saudara dan kerabat atau yang memiliki usaha berdagang di Kampung Ciguha. Peraturan ini yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. masyarakat merasa hak akses terhadap jalan dirampas begitu saja oleh pihak perusahaan tanpa ada kompromi. Masyarakat pun mengatakan bahwa tindakan perusahaan ini merupakan tindakan yang tidak menghargai warga pribumi. Sejak saat itu hubungan sosial antara masyarakat dengan PT. Antam semakin tidak baik. Peraturan yang dikeluarkan oleh PT. Antam kemudian memuculkan suatu tragedi besar pada tahun 2014. Beberapa hari menjelang puasa, ada beberapa orang yang akan menuju Kampung Ciguha dengan menggunakan mobil. Tiba-tiba mobil tersebut diberhentikan oleh pihak keamanan PT. Antam, namun orang yang mengemudi mobil tersebut tidak memberhentikan mobilnya bahkan melajukan mobilnya semakin kencang hingga melindas pihak keamanan yang berusaha memberhentikan mobil tersebut. Akhirnya terjadi tragedi pelindasan pihak keamanan PT. Antam oleh orang tidak dikenal yang berusaha menerobos gerbang PT. Antam menuju Kampung Ciguha. Sejak tragedi itu PT. Antam semakin ketat dalam hal peraturan izin melewati jalan menuju Kampung Ciguha. Masyarakat berusaha mengajak PT. Antam untuk bermusyawarah menangani masalah ini, namun pihak PT. Antam tidak menanggapi ajakan masyarakat. Hingga kini tidak ada upaya sama sekali yang dilakukan dari berbagai pihak untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria.
46
47
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN PT. ANEKA TAMBANG UBPE PONGKOR
Pengaturan Penguasaan Tanah dan Langkah Kegiatannya Pengaturan penguasaan tanah sesungguhnya berlandaskan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Kemudian dalam pengelolaan sumberdaya alam tertuang juga di dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 2 ayat 1 yaitu “atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian hak menguasai dari negara yang termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk: d. mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; e. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; f. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pengaturan penguasaan tanah di Desa Bantar Karet sebelum masuknya kegiatan pertambangan dikendalikan oleh beberapa stakeholder, yaitu pemerintah desa dan masyarakat desa. Pemerintah menjalankan fungsinya dalam mengatur dan menyelenggarakan pengaturan penguasaan tanah. Hal ini terlihat dari pendapat responden yang banyak mengatakan bahwa pengaturan penguasaan tanah sebelum adanya kegiatan pertambangan adalah oleh pemerintah. Persentase jenis dan pihak yang menyelenggarakan pengaturan penguasaan atas tanah dapat dilihat pada pie chart di bawah ini:
48
Jenis dan Pihak yang Menyelenggarakan Pengaturan Penguasaan Tanah 10%
Peraturan Pemerintah Peraturan Adat 90%
Gambar 7 Jenis dan pihak yang menyelenggarakan pengaturan penguasaan tanah menurut responden di Desa Bantar Karet tahun 2014 Gambar di atas menunjukkan bahwa sebesar 90% responden atau 27 dari responden mengatakan bahwa pihak penyelenggara pengaturan penguasaan tanah adalah pemerintah dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan dalam melakukan pendaftaran atas tanah. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah atas penguasaan tanah oleh masyarakat Desa Bantar Karet. Pengaturan penguasaan tanah dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
30
Jumlah responden
25 20 15 10 5 0
pengaturan penguasaan tanah
Rendah
Sedang
Tinggi
0
28
2
Gambar 8 Tingkat pengaturan penguasaan tanah menurut responden di Desa Bantar Karet Tahun 2014
49
Gambar di atas menunjukkan tingkat pengaturan penguasaan tanah yang sebelumnya dikemukakan Jurnal Kajian Lemhannas RI (2012) bahwa implementasi pengelolaan sumberdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: 1). Penatagunaan tanah, 2). Pengaturan penguasaan tanah, 3). Pendataan sebidang tanah, 4). Pemberian hak atas tanah, 5). Pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), serta 6). Penyelesaian sengketa tanah. Pada penelitian ini hanya dikaji mengenai kegiatan pengaturan penguasaan tanah. Tingkat implementasi pengaturan penguasaan tanah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan didukung oleh pihak lain seperti pihak perusahaan PT. Antam dan masyarakat sekitar dapat dilihat berdasarkan pendapat responden. Sebanyak 28 responden mengatakan bahwa implementasi kegiatan pertambangan dalam kegiatan pengaturan penguasaan tanah ada pada tingkat sedang. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kegiatan pertambangan pada kegiatan pengaturan penguasaan tanah dilakukan sebatas pelaksanaan secara prosedural. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat salah satu informan berinisial SNP 95 Tahun. “Pemerintah desa mah neng jalanin peraturan dari pemerintah pusat. Kadang mihak petani kadang mihak perusahaan. Dijalanin mah dijalanin, tapi gak sepenuhnya. Kita yang awan teh teu bisa ngomong apa-apa, ngikut aja neng”
Demikian pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu informan yang merupakan tokoh di Desa Bantar Karet. Secara prosedural pengaturan penguasaan tanah dilaksanakan, namun pihak PT. Antam yang kurang transparan mengenai luas tanah yang dibutuhkan untuk kegiatan pertambangan. Kegiatan pembebasan tanah dan ganti rugi pun menjadi salah satu masalah yang rumit pada waktu itu. Berdasarkan butir-butir pertanyaan yang diajukkan dalam kuesioner, dapat dianalisis bahwa menurut responden, sistem pengaturan penguasaan tanah di Desa Bantar Karet telah berjalan dengan adil. Hal ini dibuktikan dari pemberian hak atas tanah kepada responden yang sesuai dengan luasan lahan yang digarap oleh responden dan kemudian diukur untuk dicatat dan dibuatkan girik sebagai bukti pemilikan tanah. Seluruh responden menggarap sendiri tanah yang dimilikinya dengan diusahakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Tanah yang dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama bagi para responden. Pada saat kegiatan pembebasan tanah, seluruh responden menyatakan bahwa PT. Antam tidak memberikan sosialisasi secara langsung terkait akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah. Lain halnya dengan pemerintah desa yang pada saat itu memberikan sosialisasi kepada responden terkait akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah dan dilanjutkan dengan kegiatan pertambangan. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah yang menjadi jembatan dalam menghubungkan kepentingan perusahaan dan masyarakat. Berbeda dengan kegiatan ganti rugi,
50
sebagian besar responden tidak diberikan kesempatan untuk melakukan negosisasi harga ganti rugi karena ganti rugi tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan NJOP. Kegiatan pertambangan sesungguhnya telah menjalankan amanat UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 Pasal 25 Ayat 1 yang mengatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Kagiatan pertambangan telah melalui prosedur pembebasan tanah serta ganti rugi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Pasal 25 Ayat 1. Kemudian PT. Antam telah menjalankan amanat pada pasal 26b bahwa diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu. Responden mengatakan bahwa mereka mendapatkan ganti rugi terlebih dahulu sebelum pembangunan pertambangan dilaksanakan. Akan tetapi lain halnya dengan pasal 26a yang tidak diikuti oleh pihak PT. Antam. Berdasarkan penuturan beberapa informan dan responden, kegiatan pertambangan hanya melalui sosialisasi oleh kepala desa saja dan pihak perusahaan tidak memperlihatkan kuasa pertambangan dan salinannya yang sah diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaanpekerjaan itu akan dilakukan. Kemudian terdapat pasal lain dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 yang kemudian tidak dijadikan pedoman oleh PT. Antam. Pasal 27 yang berisi bahwa apabila telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan. Akan tetapi, pada kenyataannya hal itu tidak terjadi. Masyarakat Desa Bantar Karet tidak diikutsertakan dalam penentuan harga ganti rugi. Ketika mereka tidak setuju dengan harga ganti rugi dan tidak membebaskan tanahnya, maka mereka akan diancam dan dituduh sebagai pengikut PKI. Oleh karena itu, mereka hanya bisa menuruti keinginan penguasa dan menerima keputusan apapun walau tidak diberikan kesempatan untuk negosiasi harga. Pihak pemerintah dalam hal ini yang berfungsi mengatur dan penyelenggarakan kegiatan pengaturan penguasaan tanah pun tidak mampu bersikap tegas, sehingga semua keputusan sesungguhnya hanya ada di tangan pemerintah dan PT. Antam tanpa mempertimbangkan pendapat dari masyarakat Desa Bantar Karet. Kemudian pada Undang-Undang No.4 Tahun 2009 pasal 106 menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Hal ini belum dijalankan oleh PT. Antam sepenuhnya, karena
51
berdasarkan informasi dari informan hanya sekitar 10% masyarakat desa yang menjadi tenaga kerja PT. Antam. Pada pasal 138 disebutkan juga bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Pasal ini jelas dinyatakan, namun dalam praktik di lapang tidak dilaksanakan. Tragedi pelindasan pihak keamanan PT. Antam menjadi akibat dari tindakan PT. Antam yang menganggap IUP menjadi bukti legal pemilikan hak atas tanah, sehingga masyarakat tidak diberikan akses terhadap jalan menuju Kampung Ciguha dengan alasan mencegah masuknya penambang liar. Keputusan yang ditetapkan tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat sekitar hingga tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan peraturan menunjukkan bahwa PT. Antam menganggap IUP sebagai bukti legal pemilikan hak atas tanah. Berdasarkan pemaparan di atas, sesungguhnya peraturan yang dibuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 telah mengoperasionalkan peraturan dari UUPA No. 5 Tahun 1960 atau dengan kata lain telah berpedoman pada UUPA No.5 Tahun 1960, namun kajian mengenai implementasi kegiatan pertambangan secara sosiologi yaitu mengaitkan keberadaan masyarakat sekitar masih kurang mendalam. Belum terlihat adanya keberpihakan terhadap masyarakat sekitar terutama yang ekonomi lemah. Selain itu praktek di lapang menunjukkan sebagian kenyataan yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Oleh karena itu, responden menganggap bahwa implementasi kegiatan pertambangan dalam hal pengaturan penguasaan tanah masih terbilang sedang, artinya pengaturan penguasaan tanah hanya dilakukan secara prosedural, ada amanat yang ditaati dan ada juga yang tidak ditaati.
Pertikaian dan Penyelesaian sengketa tanah Isu ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah hingga saat ini masih terjadi. Banyak dari isu ini terjadi di daerah pedesaan, karena daerah pedesaan adalah daerah yang bisa dikatakan jauh dari akses informasi, terutama mengenai kebijakan-kebijakan penguasaan tanah. Isu ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah ini tidak jarang memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah sengketa tanah antara pihak yang berkepentingan. Sengketa pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 adalah perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pihakpihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan sengketa tanah. Pada penelitian ini, penyelesaian sengketa tanah menjadi indikator dari variabel implementasi kegiatan pertambangan. Penyelesaian sengketa tanah merupakan upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menanggulangi
52
berbagai pertikaian yang berkaitan dengan legalitas hukum terhadap tanah yang dimiliki sehingga memunculkan ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Penyelesaian sengketa tanah yang baik tentunya mengutamakan partisipasi dari pemerintah, masyarakat dan perusahaan PT. Antam untuk menyelesaikan sengketa tanah dengan jalan musyawarah dan mufakatserta menguntungkan semua pihak. Penyelesaian sengketa tanah ini kemudian menjadi indikator yang mampu menilai tingkat implementasi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Antam dengan klasifikasi rendah, sedang, atau tinggi. Pertikaian yang terjadi di Desa Bantar Karet disebabkan oleh perbedaan pendapat terhadap pemberian hak atas tanah, yaitu penutupan akses pada jalan menuju Kampung Ciguha. Menurut masyarakat walaupun PT. Antam memiliki izin pertambangan, tetapi PT. Antam seharusnya tidak melakukan tindakan atau mengeluarkan peraturan tanpa dimusyawarahkan kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat sekitar merupakan warga pribumi yang telah tinggal di Desa Bantar Karet sebelum masuknya pertambangan. Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan pihak pertambangan mampu menghargai keberadaan masyarakat sekitar sebagai warga pribumi yang telah lama berada di desa tersebut. Berbeda dengan tanggapan pihak PT. Antam yang telah mengantongi IUP sehingga mampu membuat peraturan apapun berkaitan dengan tanah yang dikuasainya tanpa mengikutsertakan masyarakat dalam penguasaan tersebut, contohnya dengan penutupan akses jalan menuju Kampung Ciguha. Penutupan akses jalan untuk warga yang berdomisili selain di Kampung Ciguha dilakukan oleh pihak PT. Antam untuk mengurangi jumlah PETI atau gurandil yang melakukan penambangan liar di wilayah izin pertambangan PT. Antam. Akan tetapi, peraturan yang dikeluarkan oleh PT. Antam ini sesungguhnya tidak melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan, sehingga masyarakat banyak yang marah dan tidak menerima peraturan ini. Walaupun PT. Antam telah memegang IUP, tetapi bukan berarti PT. Antam bebas mengeluarkan peraturan penutupan akses jalan bagi warga lain karena jalan tersebut juga merupakan jalan satusatunya untuk menuju Kampung Ciguha. Pertikaian ini menunjukkan bahwa PT. Antam dalam implementasi kegiatan pertambangannya tidak berpedoman pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Pasal 138 yang menyatakan bahwa hak atas IUP, IPR, atau IUPK, bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa IUP bukan menjadi bukti pemilikan hak atas tanah yang membuat PT. Antam mengeluarkan peraturan tanpa melibatkan masyarakat dalam musyawarah untuk mengeluarkan peraturan, terutama peraturan yang berkaitan dengan masyarakat sekitar perusahaan PT. Antam. Berdasarkan setiap butir pertanyaan yang dicantumkan dalam kuesioner, dapat dianalisis bahwa menurut sebagian besar responden menyatakan bahwa pemerintah desa jarang mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanah. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa pemerintah dalam menyelesaikan sengketa tanah hanya melibatkan pihak masyarakat saja, tetapi tidak melibatkan PT. Antam dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut. Pada level masyarakat pun sebagian besar responden menyatakan bahwa yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tanah adalah masyarakat yang mengalami sengketa tersebut. Selain itu, sebagian besar responden menyatakan bahwa PT. Antam tidak pernah memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah. Penyelesaian sengketa tanah juga tidak melibatkan
53
pihak LSM untuk membantu dalam menyampaikan aspirasi dari masyarakat. Hal ini juga yang kemudian menjadi kendala berbagai dalam menyelesaikan sengketa tanah di Desa Bantar Karet. Indikator penyelesaian sengketa tanah ini terdiri dari 8 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban yaitu tidak pernah, jarang, selalu. Daftar pertanyaan dapat dilihat pada kuesioner terlampir. Tingkat penyelesaian sengketa tanah dapat dilihat pada Gambar 9.
30
Jumlah Responden
25 20 15 10 5 0 Penyelesaian Sengketa Tanah
Rendah 9
Sedang 21
Tinggi 0
Gambar 9 Tingkat penyelesaian sengketa tanah menurut responden di Desa Bantar Karet Tahun 2014 Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden menganggap penyelesain sengketa tanah berada pada taraf sedang. Hal ini ditunjukkan pada gambar tersebut bahwa dari 30 responden, sebanyak 21 responden memberikan penilaian sedang, 9 responden memberikan penilaian rendah dan tidak ada satu pun responden yang memberikan penilaian tinggi. Penilaian pada taraf sedang memiliki pengertian bahwa penyelesaian sengketa tanah secara prosedural dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait. Akan tetapi, hanya beberapa pihak yang melaksankan prosedur tersebut dan ada juga yang tidak, seperti pemerintah yang selalu berusaha mengajak PT. Antam dan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tanah, namun hanya masyarakat yang mau diajak musyawarah, sedangkan PT. Antam sulit untuk diajak dalam kegiatan musyawarah penyelesaian sengketa tanah. Selain itu, masyarakat pada masa itu banyak yang menempuh jalan protes langsung dalam menyelesaikan sengketa tanah. hal ini disebabkan PT. Antam tidak pernah menyediakan ruang musyawarah untuk mendekatkan diri kepada masyarakat bahkan untuk masalah sengketa tanah pun PT. Antam enggan mengajak masyarakat duduk bersama menyelesaikan sengketa tanah secara kekeluargaan. Di sisi lain, peran LSM yang diharapkan mampu menyuarakan aspirasi masyarakat kepada pihak pemerintah dan perusahaan pun belum hadir di tengah-tengah sengketa tanah pada masa itu, sehingga masyarakat kesulitan dan kebingungan untuk menyampaikan keinginannya.
54
55
IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET
Bab ini menjelaskan mengenai implementasi kegiatan pertambangan dan pengaruhnya pada kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Pembahasan pertama dijelaskan mengenai indikator kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai pengaruh implementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Tabulasi silang menjadi bentuk menyajian data yang mengilustrasikan secara jelas hubungan antara kedua variabel, yaitu variabel implementasi kegiatan pertambangan dan variabel kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Selanjutnya hasil dari ilustrasi dalam bentuk tabulasi silang tersebut akan dijelaskan secara deskriptif. Implementasi kegiatan pertambangan yang pertama yaitu pengaturan penguasaan tanah. Pengaturan penguasaan tanah merupakan proses mengatur kesanggupan untuk menggunakan atau menguasai tanah secara adil sesuai ketentuan yang berlaku. Pengaturan penguasaan tanah tersebut sesungguhnya telah tercantum di dalam UUPA No. 5 tahun 1960 bahwa hak menguasai pada tingkatan tertinggi ialah oleh Negara. Hak menguasai tersebut memberikan wewenang kepada Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persedian serta pemeliharaan bumi. Selain itu, pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi juga menjadi tugas dan wewenang Negara. Masalah pengaturan penguasaan yang terjadi di Desa Bantar Karet yaitu penyelenggaraan kegiatan pembebasan tanah untuk kegiatan pertambangan yang sesungguhnya masih penuh pro dan kontra. Selain itu, penyelenggaraan kegiatan pembebasan tanah tidak menyertakan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini kemudian didukung oleh masa orde baru yang tentunya bersifat otoriter, sehingga masyarakat tidak mampu menyuarakan pendapatnya. Mereka mengatakan jika mereka berani membantah, maka mereka dikenal sebagai pengikut PKI dan akan ditangkap oleh pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat memilih untuk diam dibanding dicurigai sebagai pengikut PKI. Selain itu, sebagian besar masyarakat Desa Bantar Karet dahulu masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai prosedur pengaturan penguasaan tanah. Masyarakat sesungguhnya hanya menggantungkan keputusan pada pemerintah desa dan tokoh masyarakat yang mereka anggap kaya akan informasi dan lebih baik pengetahuannya dibanding mereka. Oleh karena itu, apapun keputusan pemerintah desa dan tokoh masyarakat, mereka mengikuti walaupun ada beberapa yang menolak, tetapi penolakan tersebut tidak ditanggapi secara baik oleh pemerintah desa, tokoh masyarakat, maupun pihak PT. Antam. Implementasi kegiatan pertambangan yang kedua yaitu penyelesaian sengketa tanah. Penyelesaian sengketa tanah adalah upaya kolaboratif dari semua pihak yang bersangkutan dalam mencari solusi dan jalan keluar dari peristiwa sengketa tanah yang terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) PMNA / KBPN No. 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu hak,
56
pemberian hak atas tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya. Hal ini yang kemudian terjadi di Desa Bantar Karet pada jalan desa yang ditutup oleh pihak PT. Antam. Kejadian sengketa tanah yang pernah terjadi di Desa Bantar Karet ini berupa perbedaan pendapat mengenai pemberian hak atas tanah, terutama hak akses menuju desa lain yang melewati kantor PT. Antam. Penyelesaian sengketa tanah kemudian menjadi proses menetapkan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa serta mencari solusi terbaik dari pihak-pihak yang bersengketa hingga menemukan titik damai yang bersifat adil. Pengaruh implementasi pertambangan ini kemudian mampu dijelaskan secara langsung di dalam kajian mengenai kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Pendapatan Masyarakat Desa Bantar Karet sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian sebagai petani ini digeluti oleh masyarakat Desa Bantar Karet sebelum masuknya kegiatan pertambangan. Kegiatan pertanian menjadi sumber nafkah utama bagi masyakarat, sehingga pendapatan masyarakat dipastikan bersumber dari hasil pertanian. Komoditas pertanian yang unggul di desa ini adalah beras dan hasil perkebunan seperti pisang dan singkong. Tingkat pendapatan menjadi indikator dari kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Indikator ini digunakan sesuai dengan pendapat BPS dikutip oleh Bappenas (2005), bahwa indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada tujuh yaitu, pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, fasilitas tempat tinggal, kesehatan keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi, dan kemudahan mendapat akses pendidikan. Indikator pendapatan ini terdiri dari satu pertanyaan, yaitu sumber pendapatan dari responden. Berbeda dengan indikator yang lain, indikator pendapatan dijawab dengan memperhatikan data emik, yaitu data yang disesuaikan dengan kondisi di lapang. Masyarakat dibebaskan untuk menjawab sumber pendapatan dari berbagai jenis mata pencaharian, mulai dari mata pencaharian pertanian yang terdiri dari sawah, kebun dan ternak, hingga mata pencaharian non-pertanian. Mata pencaharian non-pertanian terdiri dari pegawai negeri, pedagang, pengemudi (ojek), buruh, wirausaha dan lain-lain. Selain menyebutkan sumber pendapatan tersebut, terkadang ada masyarakat yang tidak mampu menyebutkan jumlah pendapatannya karena hasil panen dari pertanian tidak bisa dipresiksi setiap tahunnya. Cara lain untuk mengetahui berapa pendapatan responden adalah dengan bertanya terkait pengeluaran responden sehari-hari dan kesanggupan responden dalam membeli barang-barang yang ada di rumahnya, contohnya sumber dana untuk membeli televisi, lemari, rice cooker dan lain-lain. Jawaban dari pertanyaan sumber mata pencaharian kemudian diolah dengan menggunakan standar deviasi untuk mengetahui sebaran normal dari data yang sifatnya beragam dan memiliki rentang yang panjang. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada pendapatan masyarakat, maka dilihat dari pendapatan sebelum dan sesudah ada kegiatan pertambangan. Penggolongan ke dalam pendapatan sebelum ada kegiatan pertambangan dan sesudah ada kegiatan pertambangan adalah untuk mengetahui
57
perubahan yang terjadi baik pada jumlah pendapatan maupun pada sumber pendapatan tersebut. Penggolongan ini akan memudahkan dalam melihat pengaruh dari kehadiran perusahaan pertambangan di Desa Bantar Karet. Setelah itu, dilakukan penggolongan ke dalam tiga taraf, yaitu pendapatan rendah, pendapatan sedang, dan pendapatan tinggi. Penggolongan ini berlaku pada kedua kualifikasi, yaitu pendapatan sebelum ada kegiatan pertambangan dan pendapatan sesudah ada kegiatan pertambangan. Sebelum masuk kegiatan pertambangan, pendapatan rendah responden berada pada ≤ Rp. 30.708. pendapatan sedang yaitu Rp. 30.709 – Rp. 711.452, dan pendapatan tinggi yaitu ≥ Rp. 771.453. Setelah masuk kegiatan pertambangan, pendapatan responden mengalami perubahan disesuaikan dengan kondisi keuangan di Desa Bantar Karet dengan pendapatan rendah yaitu ≤ Rp. 1.161.396, pendapatan sedang yaitu Rp. 1.161.395 – Rp. 2.867.936, dan pendapatan tinggi yaitu ≥ Rp. 2.867.937. Berdasarkan hal tersebut, maka tingkat pendapatan kemudian dapat dilihat pada Gambar 10.
30
Juumlah Reesponden
25 20 15 10
5 0 Sebelum ada pertambangan
Rendah 2
Sedang 25
Tinggi 3
Sesudah ada pertambangan
9
14
7
Gambar 10
Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut pendapatan yang dimiliki tahun 2014
Pada Gambar 10, dapat dilihat bahwa tingkat pendapatan responden berada pada taraf sedang. Hal ini ditunjukkan pada gambar tersebut bahwa sebelum ada kegiatan pertambangan, 2 responden menjawab tingkat pendapatannya ada pada taraf rendah, 25 responden menjawab bahwa tingkat pendapatannya ada pada taraf sedang, dan 3 responden lainnya menjawab ada pada taraf tinggi. Taraf sedang ini menunjukkan pendapatan responden yang berada pada kisaran Rp. 30.709 – Rp. 711.452 yang dihasilkan dari data lapang. Sesudah ada kegiatan pertambangan, tingkat pendapatan responden masih berada pada taraf sedang yang berkisar pada jumlah pendapatan sebesar Rp. 1.161.395 – Rp. 2.867.938. Kategori sedang pada pendapatan setelah ada pertambangan mengalami penurunan dibanding pendapatan sebelum ada pertambangan.
58
Penurunan pada kategori sedang setelah ada kegiatan pertambangan kemudian terdistribusi pada kategori rendah dan tinggi, sehingga terdapat peningkatan pada kategori rendah dan tinggi disertai penurunan pada taraf sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gambar di atas bahwa sesudah ada kegiatan pertambangan, 9 responden menjawab tingkat pendapatannya ada pada taraf rendah, 14 responden ada pada taraf sedang, dan 7 responden ada pada taraf tinggi. Perubahan tersebut menunjukkan ada pengaruh dari masuknya kegiatan pertambangan di Desa Bantar Karet. Pengaturan penguasaan tanah dalam hal pembebasan tanah ternyata mampu mempengaruhi pendapatan masyarakat Desa Bantar Karet. Hal ini dapat terlihat dari kegiatan pembebasan tanah yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pertambangan yang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Bantar Karet sebelum ada kegiatan adalah bertani, sehingga tentu pendapatan mereka berkurang karena tidak mampu berproduksi di bidang pertanian akibat pengurangan lahan pertanian. Selain perubahan pada tingkat pendapatan, sebagian besar masyarakat Desa Bantar Karet mengalami perubahan pada mata pencaharian. Sebelum ada kegiatan pertambangan, mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah bertani. Hal ini berdampak pada menurunnya produktivitas petani dalam kegiatan pertanian, sehingga mereka memilih untuk merubahmata pencahariannya. Mata pencaharian masyarakat setelah adanya kegiatan pertambangan sebagian besar adalah pedagang. Mata pencaharian ini dipilih dengan berbagai alasan yang beragam yang dikemukakan oleh responden maupun informan. Alasan tersebut diantaranya adalah untuk mendekatkan masyakarat dengan produk-produk konsumsi, belum adanya kegiatan berdagang seperti membuka warung, dan adanya kegiatan pertambangan menyebabkan banyak pendatang yang masuk sehingga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk membuka usaha baru dalam bidang perdagangan. Sedikit demi sedikit masyarakat mulai membuka usaha berdagang untuk membantu pemasukan/pendapatan keluarga bagi yang masih memiliki sisa lahan pertanian, namun hasil dari lahan pertanian tersebut tidak dijual melainkan untuk konsumsi pribadi. Masyarakat yang sudah tidak memiliki tanah pertanian akhirnya menjadikan kegiatan berdagang sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada implementasi penyelesaian sengketa tanah, ada beberapa perubahan pendapatan yang terjadi di masyarakat Desa Bantar Karet. Sengketa Tanah yang terjadi di Kampung Nunggul Desa Bantar Karet ialah terkait akses terhadap jalan menuju Kampung Ciguha. Kantor PT. Antam terletak diantara Kampung Nunggul dan Kampung Ciguha, sehingga untuk menuju Kampung Ciguha masyarakat pasti melewati gerbang kantor PT. Antam. Dahulu pertambangan membuka akses seluas-luasnya pada jalan menuju Desa Ciguha tersebut. Akan tetapi sejak semakin maraknya penambang liar (gurandil) atau sering disebut juga PETI (penambang tanpa izin) yang melakukan penambangan liar di Kampung Ciguha, maka PT. Antam membuat kebijakan terkait akses jalan menuju Kampung Ciguha. Jalan menuju Kampung Ciguhahanya boleh dilewati oleh masyarakat Kampung Ciguha saja, jadi sebelum masuk gerbang PT. Antam, masyarakat diharuskan menunjukkan identitas seperti KTP dan KTP tersebut harus menunjukkan bahwa orang tersebut adalah warga asli Kampung Ciguha, selain itu tidak diperbolehkan melewati jalan tersebut. Perlu diketahui bahwa jalan yang
59
melewati kantor PT. Antam tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menuju Kampung Ciguha, tidak ada jalan alternatif yang disediakan. Menurut pendapat informan di Kampung Nunggul bahwa tidak semua orang yang melewati gerbang PT. Antam dan menuju Kampung Ciguha adalah untuk kepentingan penambangan ilegal, tetapi ada juga yang memiliki kepentingan berdagang dan berkunjung menemui sanak saudara yang berada di Kampung Ciguha. Berikut pendapat salah satu responden mengenai penutupan akses terhadap jalan menuju Kampung Ciguha. “asal neng tau, masyarakat Kampung Nunggul sebenernya gak setuju jalan ke Ciguha teh ditutup. Antam itu buat peraturan sendiri tanpa ngajak masyarakat. Alasan mereka (Antam) mah supaya gurandil berkurang, tapi emang yang ke Ciguha teh ngan ukur nambang liar? Pan gak semuanya. Banyak yang kepentingannya nemuin sanak saudara di Ciguha, ada juga yang dia orang Nunggul trus kerjanya dagang makanan di Ciguha neng kayak saudara bapak tuh. Jadi seakan-akan kita gak bebas di Kampung kita sendiri. Masa kita diatur sama pendatang neng, kan gak pantes atuh…” (UKR, 66).
Hal ini menyebabkan masyarakat yang memiliki kepentingan berdagang atau memiliki usaha di Kampung Ciguha terhambat karena akses masuk ke Kampung Ciguha ditutup. Peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh PT. Antam tidak dibuat berdasarkan persetujuan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat marah dan tidak terima dengan keputusan ini. Hal ini menyebabkan pada suatu hari, tepatnya empat hari sebelum bulan puasa tahun 2014 terjadi peristiwa yang sangat menegangkan. Terdapat beberapa orang yang akan memasuki Kampung Ciguha dengan melewati gerbang kantor PT. Antam. Pada saat itu peraturan mengenai akses jalan yang hanya untuk masyarakat asli Ciguha sudah diterapkan. Beberapa orang tersebut berada di satu mobil. Petugas berusaha menghentikan kendaraan tersebut, namun pengemudi tidak berhenti bahkan semakin melajukan mobilnya. Petugas yang terus berusaha menghalang-halangi mobil melewati jalan tersebut ditabrak dan terjadi peristiwa pelindasan petugas keamanan PT. Antam. Petugas tersebut meninggal dunia di tempat akibat peristiwa pelindasan tersebut oleh orang yang belum diketahui identitasnya. Oleh karena itu, saat ini peraturan PT. Antam dibuat semakin ketat dan semakin sulit masyarakat Kampung lain untuk memasuki Kampung Ciguha. Hal ini yang menyebabkan beberapa usaha dari masyarakat Kampung Nunggul atau kampungkampung lain mengalami hambatan dan berpengaruh pada pendapatan mereka. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa tanah yang tak kunjung terwujud karena pihak PT. Antam tidak pernah memberikan ruang musyawarah pada masyarakat sekitar berpengaruh pada pendapatan masyarakat sekitar. Fasilitas Tempat Tinggal Fasilitas tempat tinggal ialah indikator kesejahteraan masyarakat berikutnya setelah pendapatan. Fasilitas tempat tinggal merupakan sarana yang dimiliki oleh suatu rumah/tempat tinggal untuk menyempurnakan fungsi sebagai rumah/tempat tinggal. Fasilitas tempat tinggal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah seperti kondisi atap, MCK, sumber air, sumber penerangan dan lain-lain
60
yang sudah terlampir pada kuesioner. Fasilitas tempat tinggal ini mampu diketahui melalui pengamatan di setiap rumah responden. Fasilitas tempat tinggal ini terdiri dari 6 pertanyaan dengan jawaban yang berbeda pada setiap pertanyaan. Tingkat fasilitas tempat tinggal menurut responden dapat dilihat pada Gambar 11.
30
Juumlah Responden
25
20 15 10 5 0
Fasilitas Tempat Tinggal
Gambar 11
Rendah 1
Sedang 7
Tinggi 22
Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut fasilitas tempat tinggal yang dimiliki tahun 2014
Pada Gambar 11, terlihat bahwa tingkat fasilitas tempat tinggal responden berada pada taraf tinggi. Hal ini ditunjukkan pada gambar bahwa 1 responden memiliki fasilitas tempat tinggal yang rendah, 7 responden memiliki fasilitas tempat tinggal yang sedang, dan 22 responden memiliki fasilitas rumah tinggal yang tinggi. Pertanyaan yang diajukan tersebut berupa pertanyaan mengenai keadaan lantai rumah, sumber penerangan, status mandi cuci kakus (MCK), terbuat dari apa bahan bangunan dan atap rumah serta sumber air. Jumlah responden yang sebagian memiliki tingkat fasilitas tempat tinggal yang tinggi yaitu mereka yang lantainya berjenis keramik, sumber penerangannya yaitu PLN, status MCK adalah milik pribadi, atap rumah terbuat dari genteng dan sumber air rata-rata berasal dari sungai. Ada beberapa pengakuan dari responden bahwa fasilitas tempat tinggal mereka terbilang tinggi karena hasil ganti rugi pembebasan tanah pertanian mereka kemudian digunakan untuk merenovasi rumah. Mereka mengakui bahwa sebagian besar uang ganti rugi pembebasan tanah pertanian mereka digunakan untuk merenovasi rumah atau untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah melalui kegiatan pembebasan tanah sesungguhnya memberikan pengaruh pada masyarakat sekitar. Kegiatan pembebasan tanah dilakukan secara prosedural dan terdapat ganti rugi
61
yang diberikan. Walaupun kegiatan pembebasan tanah tersebut disertai dengan pro dan kontra, namun sebagian besar masyarakat merasakan manfaatnya. Manfaat tersebut dirasakan setelah ada ganti rugi. Pengaruh ini memang merupakan pengaruh yang dirasakan secara tidak langsung. Ganti rugi yang diberikan oleh PT. Antam kepada responden atau masyarakat yang melakukan pembebasan tanah diakui dimanfaatkan untuk renovasi rumah atau untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Renovasi rumah dilakukan karena dahulu rumah para responden hanya beralaskan tanah dan atapnya hanya dari jerami. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan responden seperti dikutip di bawah ini. “rata-rata ganti rugi dari Antam itu dipake buat benerin rumah neng, atau buat naik haji. Makanya disini banyak kan yang udah pada haji. Trus rumahnya udah pada bagus, paling engga lantainya udah gak tanah neng, udah keramik sekarang. Benerin rumah sama naik haji itu make uang ganti rugi katanya mah supaya ketempel uangnya, ada hasilnya. Kalo uang disimpen doang mah cepet abis neng buat belanja” (SRK, 73).
Selain itu, pengaturan penguasaan tanah melalui kegiatan pembebasan tanah yang diapresiasi melalui ganti rugi, menurut masyarakat seperti yang dikatakan informan bahwa sebagian besar digunakan untuk merenovasi rumah dan untuk biaya naik haji, ada juga yang digunakan untuk membuka usaha baru seperti untuk modal dagang atau untuk membeli tanah baru di tempat lain. Berbeda dengan pengaturan penguasaan tanah, penyelesaian sengketa tanah tidak memberikan pengaruh yang begitu berarti pada fasilitas tempat tinggal. Pengaruh penyelesaian sengketa tanah ini hanya mampu dilihat melalui kemudahan masyarakat sekitar dalam ikut serta atau berpartisipasi dalam pembuatan peraturan atau kebijakan antara PT. Antam dengan masyarakat sekitar. Berbeda pula dengan penyelesaian sengketa tanah yang memiliki pengaruh yang kuat pada perubahan pendapatan masyarakat. Kesehatan Indikator kesehatan digunakan juga untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. indikator ini kemudian mampu menjelaskan keadaan kondisi tubuh responden, kondisi sarana prasarana kesehatan dan kondisi jarak ke lokasi pengobatan. Baik secara langsung maupun tidak langsung kesehatan masyarakat sekitar dipengaruhi oleh implementasi kegiatan pertambangan yang dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah.Perlu diketahui bahwa pembukaan kegiatan pertambangan tentu erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena kegiatan pertambangan tentu meninggalkan limbah pertambangan yang harus dipertimbangkan pengelolaannya agar masyarakat sekitar terhindar dari gangguan penyakit akibat terkontaminasi oleh limbah pertambangan. Limbah pertambangan bersifat korosif bahkan menjadi racun bagi makhluk hidup seperti manusia, ikan budidaya dan tumbuhan di sekitar limbah apabila terkontaminasi langsung dengan limbah tersebut. Tingkat kesehatan tersebut diketahui melalui 5 pertanyaan yang telah diberikan skor. Beberapa pertanyaan tidak disediakan pilihan jawaban karena data yang diambil berupa data
62
emik. Berdasarkan data lapang, maka pengolahan data tersebut menggunakan standar deviasi untuk mengetahui sebaran normal dan menentukan taraf tinggi, sedang dan rendahnya tingkat kesehatan. Tingkat kesehatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
30
Juumlah Responden
25 20 15
10 5 0
Tingkat Kesehatan
Gambar 12
Rendah 3
Sedang 21
Tinggi 6
Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat kesehatan tahun 2014
Pada Gambar 12, dapat dilihat bahwa tingkat kesehatan responden berada pada taraf sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gambar bahwa 3 responden berada pada tingkat kesehatan rendah, 21 responden berada pada tingkat kesehatan sedang, dan 6 responden berada pada tingkat kesehatan tinggi. Tingkat kesehatan tersebut dilihat dari intensitas sakit yang dialami responden dalam enam bulan terakhir, jenis sakitnya, jarak dari rumah menuju lokasi tempat berobat, dan besar biaya yang dikeluarkan untuk satu kali berobat. Hasil yang ditunjukkan adalah tingkat kesehatan responden berada pada taraf sedang. Hal itu berarti bahwa kondisi kesehatan responden berada pada taraf wajar atau tidak membahayakan baik dari sisi jenis sakit hingga jarak menuju tempat berobat. Pengaturan penguasaan tanah sesungguhnya memberikan pengaruh pada kesehatan masyarakat sekitar khususnya tempat untuk berobat. Sejak dahulu masyarakat Kampung Nunggul dan Kampung Tugu sulit untuk akses pada tempat berobat. Satu-satunya puskesmas terdekat hanya berada di Kecamatan Nanggung dengan jarak rata-rata ke puskesmas adalah 8 km, sedangkan jarak ke rumah sakit besar sekitar 12-15 km, yaitu rumah sakit Leuwiliang yang berada di Kecamatan Leuwiliang. Kegiatan pertambangan yang pada umumnya memberikan pengaruh kesehatan melalui limbah pertambangan, polusi udara dan polusi suara seharusnya mampu membangun fasilitas tempat berobat sebagai bentuk tanggungjawab pada masyarakat. Akan tetapi hal ini tidak dilaksanakan oleh PT. Antam. Kegiatan pembebasan tanah hanya difokuskan untuk membangun sarana
63
prasarana kegiatan pertambangan tetapi tidak membangun sarana pransarana penunjang kesehatan sebagai bentuk tanggungjawab kepada masyarakat sekitar. Privatisasi ini yang juga memunculkan pendapat bahwa implementasi kegiatan pertambangan hanya dilakukan secara prosedural saja, namun tidak ada bentuk intervensi mendalam untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. Begitu juga dengan penyelesaian sengketa tanah yang memberi pengaruh tidak langsung pada kesejahteraan masyarakat khususnya kesehatan. Penyelesaian sengketa tanah khususnya pemberian hak atas tanah yang baik sesungguhnya mampu memberikan kesejahteraan dengan cara memberikan hak atas tanah untuk pembangunan sarana kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit. Akan tetapi, pada kenyataannya penyelesaian sengketa tanah tidak terwujud, contohnya pada peristiwa penutupan akses jalan menuju Kampung Ciguha. Hal ini disebabkan oleh PT. Antam yang enggan memusyawarahkan berbagai hal dengan masyarakat sekitar, padahal masyarakat sekitar juga merupakan subyek agraria yang memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Oleh karena itu, sarana kesehatan tidak tersedia karena PT. Antam tidak memberikan hak atas tanah untuk pembangunan sarana bagi kesejahteraan masyarakat. Pendidikan Indikator kesejahteraan masyarakat selanjutnya adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan dilihat dari status pendidikan terakhir yang dimiliki setiap responden dan keluarganya. Kesanggupan responden dalam membiayai pendidikan anaknya mampu menunjukkan sejahtera atau tidaknya keluarga tersebut. Selain itu, pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden sebagai kepala keluarga menjadi latar belakang baginya untuk memandang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Selanjutnya, tingkat pendidikan ini mampu menunjukkan bagaimana responden mengerti dan mampu menjangkau berbagai informasi dan kemampuan berinterakasi dan bersinergi dengan berbagai pihak dalam hal pengelolaan sumberdaya agraria, diantaranya dalam hal pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Tingkat pendidikan menurut responden dapat dilihat pada Gambar 13.
64
30
Jumlah Responden
25 20 15 10 5 0 Tingkat Pendidikan
Gambar 13
Rendah 21
Sedang 3
Tinggi 6
Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut tingkat pendidikan tahun 2014
Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan responden dan keluarganya berada pada taraf rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa 21 responden memiliki tingkat pendidikan rendah, 3 responden memiliki tingkat pendidikan sedang, dan 6 responden memiliki pendidikan tinggi. Pendidikan rendah ditandai oleh responden dan keluarga yang memiliki pendidikan terakhir yang tergolong pada tidak sekolah, SD, dan SMP. Pendidikan sedang ditandai oleh responden dan keluarganya yang memiliki pendidikan terakhir yang tergolong pada SMA. Pendidikan tinggi ditandai oleh responden dan keluarganya yang memiliki pendidikan terakhir yang tergolong pada sarjana. Pengaturan penguasaan tanah sesungguhnya memberikan pengaruh secara tidak langsung pada tingkat pendidikan masyarakat desa. Tingkat pendidikan masyarakat ini didapat karena kesanggupan kepala rumah tangga membiayai sekolah anak-anaknya. Peristiwa pembebasan tanah sebagai salah satu bentuk pengaturan penguasaan tanah mengubah mata pencaharian hingga menghilangkan sumber pendapatan utama. Ketika sumber mata pencaharian utama masyarakat desa hilang, sangat sulit untuk beradaptasi dengan mata pencaharian baru yang juga membutuhkan modal yang besar, contohnya berdagang.Hal ini menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat desa untuk sementara waktu, padahal saat itu kepala keluarga dituntut untuk menyekolahkan anaknya. Akibatnya banyak petani yang kehilangan tanah pertaniannya karena dituntut untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pertambangan. Hal ini berakibat pada pendapatan petani yang semakin menurun. Oleh karena itu, secara tidak langsung pengaturan penguasaan tanah sesungguhnya memberikan pengaruh pada kemudahan akses pendidikan. Biaya ganti rugi dari kegiatan pembebasan tanah tidak serta merta memberikan kecukupan untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, baik pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan masing-masing rumah tangga. Selain itu, implementasi kegiatan pertambangan dalam bentuk penyelesaian sengketa tanah pun sesungguhnya berpengaruh secara tidak
65
langsung pada akses terhadap pendidikan. Menyelesaikan sengketa tanah akibat perbedaan pendapat dalam pemberian hak atas tanah yang terjadi di Desa Bantar Karet saja tidak mampu diwujudkan oleh PT. Antam. Sebaliknya, PT. Antam malah menutup jalan menuju Kampung Ciguha bagi masyarakat yang bukan warga asli Ciguha tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat Kampung Nunggul dan Kampung Ciguha. Hal ini menjadi bukti bahwa akses jalan saja dipersulit apalagi untuk menyediakan akses pada sarana pendidikan. Hal itu hampir mustahil terwujud. Oleh karena itu, banyak anak-anak di Desa Bantar Karet kesulitan pada akses sarana pendidikan seperti gedung sekolah karena jaraknya yang cukup jauh dari Desa Bantar Karet sendiri. Saat ini kemudahan akses sarana pendidikan yang tersedia adalah untuk gedung sekolah SD dan SMP. Gedung Sekolah SMA masih jauh ditempuh, bahkan ada yang sekolah SMA hingga ke Kecamatan Leuwiliang yang jaraknya sekitar 18 km dari Desa Bantar Karet. Kepemilikan Alat Transportasi Indikator terakhir dalam kesejahteraan masyarakat adalah kepemilikan alat tranportasi. Kepemilikan alat transportasi ini menunjukkan kesanggupan dan kemampuan responden untuk memiliki alat transportasi seperti motor dan mobil. Kondisi desa yang begitu jauh menuju ke pusat pemerintahan desa, pasar, sekolah maupun tempat-tempat lain yang dianggap penting memunculkan keinginan responden untuk memiliki alat transportasi untuk memudahkan menjangkau berbagai lokasi yang ingin dituju. Tingkat kepemilikan alat transportasi menurut responden ini dapat dilihat pada Gambar 14.
30
Jumlah Responden
25 20
15 10 5 0
Kepemilikan Alat Transportasi
Gambar 14
Rendah
Sedang
Tinggi
8
2
20
Jumlah responden di Desa Bantar Karet menurut kepemilikan alat transportasi tahun 2014
66
Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan alat transportasi sudah berada pada taraf tinggi. Hal ini ditunjukkan pada gambar bahwa 8 responden memiliki tingkat kepemilikan alat transportasi pada taraf rendah, 2 responden memiliki tingkat kepemilikan alat transportasi pada taraf sedang, dan 20 responden memiliki tingkat kepemilikan alat transportasi pada taraf tinggi. Masyarakat Desa Bantar Karet sebagian besar sudah memiliki kendaraan berupa motor untuk memudahkan transportasi ke lokasi-lokasi yang dianggap penting. Hal ini juga didukung oleh jalan desa yang telah dibangun saat perusahaan pertambangan masuk, hingga mampu menghubungkan jalan-jalan vital menuju ke Kecamatan Nanggung. Hal ini menjadi bentuk dari pengaruh pengaturan penguasaan tanah. Salah satu tujuan kegiatan pembebasan tanah adalah untuk membangun jalan desa yang tadinya hanya berupa jalan setapak menjadi jalan beraspal. Penyediaan fasilitas jalan ini kemudian memunculkan keinginan masyarakat Desa Bantar Karet untuk memiliki kendaraan agak cepat menuju ke berbagai lokasi yang diinginkan tanpa harus berjalan kaki seperti dulu. Berbeda dengan implementasi kegiatan pertambangan dalam bentuk kegiatan penyelesaian sengketa tanah. Berdasarkan wawancara mendalam kepada para informan, tidak terdapat pengaruh dari penyelesaian sengketa tanah terhadap kepemilikan alat transportasi. Kepemilikan alat transportasi sesungguhnya mampu dilihat dari kesanggupan responden untuk memiliki kendaraan seperti motor dan mobil. Hal ini berkaitan dengan pendapatan yang dimiliki oleh responden tersebut.
Tingkat Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Pengaruhnya pada Kesejahteraan Masyarakat Desa Bantar Karet Tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet diukur dari lima indikator yaitu tingkat pendapatan, tingkat fasilitas tempat tinggal, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, dan tingkat kepemilikan alat transportasi. Semua indikator tersebut telah dijelaskan dan dijabarkan pada subbab sebelumnya. Terlihat pada subbab sebelumnya bahwa tingkat pendapatan sebelum ada kegiatan pertambangan mengalami peningkatan sesudah masuknya kegiatan pertambangan. Hal ini terlihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat Desa Bantar Karet karena peluang usaha yang terbuka melalui keberagaman mata pencaharian, misalnya berdagang. Responden menyatakan bahwa penurunan produktivitasnya pada kegiatan pertanian kemudian disusul dengan munculnya berbagai mata pencaharian baru karena tuntutan kebutuhan dan perkembangan desa. Masyarakat pendatang sebagai pekerja PT. Antam mulai meningkat jumlahnya. Hal ini memunculkan ide para responden untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa Bantar Karet termasuk pendatang dengan mendekatkan pasar atau menjadi distributor bahan pangan dan produk-produk konsumsi. Pembangunan jalan oleh PT. Antam pun semakin memudahkan akses masyarakat Desa Bantar Karet untuk membeli produk-produk konsumsi dan bahan pangan untuk kemudian dibawa ke desa dan dijual kembali. Demikian pula dengan tingkat fasilitas tempat tinggal. Sebagian besar masyarakat Desa Bantar Karet khususnya responden memiliki tingkat fasilitas tempat tinggal yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kegiatan pembebasan tanah pada saat PT. Antam akan menjalankan kegiatan pertambangan. Uang ganti
67
rugi yang dibayarkan oleh PT. Antam kepada masyarakat Desa Bantar Karet sebagian besar digunakan untuk merenovasi rumah dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Tingkat kesehatan masyarakat Desa Bantar Karet berada pada taraf sedang. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan masyarakat desa bantar karet terbilang stabil. Intensitas sakit dan jenis sakit tidak begitu mengkhawatirkan. Akan tetapi, untuk jarak ke lokasi tempat berobat seperti rumah sakit dan puskesmas terbilang cukup jauh. Sarana dan prasarana pengobatan di Desa Bantar Karet belum tersedia. Hal ini yang sesungguhnya menjadi kecemasan masyarakat Desa Bantar Karet ketika menghadapi keadaan darurat saat ada warga yang sakit. Selanjutnya adalah tingkat pendidikan masyarakat Desa Bantar Karet yang terbilang rendah. Hal ini ditunjukkan dari sebagian besar masyarakat yang hanya memiliki pendidikan terakhir SD dan SMP, bahkan masih ada yang tidak sekolah. Kesadaran akan pendidikan masih terbilang kurang di desa ini. Faktor jarak lokasi sekolah pun menjadi alasan lanjutan mengapa mereka hanya menamatkan sekolahnya pada tingkat SD. Terakhir yaitu kepemilikan alat transportasi yang berdasarkan data yang didapat berada pada taraf tinggi. Hal ini ditunjukkan dari kepemilikan kendaraan seperti motor dan mobil untuk memudahkan menjangkau lokasi-lokasi penting bagi masyarakat. Ketersediaan jalan yang baik kondisinya pun mempengaruhi masyarakat untuk memiliki kendaraan. Variabel yang mendukung tingkat kesejahteraan masyarakat ini didapat sesuai kondisi di lapang, dengan kata lain bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada kondisi daerah tersebut. Intervensi perusahaan pada kehidupan masyarakat Desa Bantar Karet memuculkan berbagai dinamika kehidupan pada masing-masing individu, khususnya petani yang mengalami peristiwa pembebasan tanah. Huru-hara dan isu ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dan PT. Antam mengisi catatan kelam perjalanan kehidupan masyarakat Desa Bantar Karet. Pro dan Kontra kehadiran PT. Antam di Desa Bantar Karet pun tidak luput dari pandangan. Implementasi kegiatan pertambangan dirasa menjadi jalan penghubung antar berbagai kepentingan. Pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah merupakan kegiatan yang mendukung implementasi kegiatan pertambangan tersebut. Variabel implementasi kegiatan pertambangan dan variabel kesejahteraan masyarakat kemudian dilihat hubungannya dengan menggunakan tabulasi silang. Pada variabel implementasi kegiatan pertambangan, tahap pertama yang dilakukan yaitu menjumlahkan skor pada seluruh pertanyaan di variabel ini. Seluruh pertanyaan berjumlah 23 pertanyaan, kemudian diakumulasi seluruhnya hingga didapat skor terendah sebesar 23 dan skor tertinggi sebesar 64. Tahap kedua ialah mengategorikan skor dari penjumlahan tersebut ke dalam tiga kategori yaitu rendah (23-36), sedang (37-50), dan tinggi (51-64). Pada variabel kesejahteraan masyarakat juga dilakukan hal sama seperti tahap-tahap di atas. Seluruh pertanyaan pada variabel ini berjumlah 19 pertanyaan, kemudian diakumulasi seluruhnya hingga didapat skor terendah sebesar 19 dan skor tertinggi sebesar 48. Selanjutnya mengategorikan skor dari penjumlahan tersebut ke dalam tiga kategori yaitu rendah (19-28), sedang (29-38), dan tinggi (39-48). Data dimasukkan ke dalam tabel tabulasi silang yang dapat dilihat pada Tabel 12.
68
Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat implementasi kegiatan pertambangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet Tahun 2014 Tingkat Implementasi Kegiatan Pertambangan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Rendah n
Sedang
%
n
Total
Tinggi
%
n
%
N
%
Rendah
0
0
3
10
2
7
5
17
Sedang
0
0
9
30
16
53
25
83
Tinggi
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
0
0
12
40
18
60
30
100
Tabel tabulasi silang menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada kategori rendah dan sedang pada variabel tingkat implementasi kegiatan pertambangan. Pada variabel kesejahteraan masyarakat, mayoritas responden berada pada sedang dan tinggi. Pada variabel implementasi kegiatan pertambangan tidak ada satu pun responden yang berada pada kategori tinggi, sedangkan pada variabel kesejahteraan masyarakat tidak ada satu pun responden yang berada pada kategori rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh antara variabel tingkat implementasi kegiatan pertambangan dengan variabel kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ini mampu dibuktikan oleh tabel tabulasi silang yang menunjukkan pada saat tingkat implementasi kegiatan pertambangan berada pada kategori sedang yang berarti ada beberapa peraturan yang dijalankan ada juga yang tidak, maka tingkat kesejahteraan masyarakat berada pada kategori tinggi. Responden yang menyatakan bahwa implementasi kegiatan pertambangan sudah berada pada kategori sedang sebanyak 16 orang yang juga berada di dalam kategori tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Mereka merasa bahwa secara prosedural implementasi kegiatan pertambangan sudah dijalankan, mulai dari pengaturan penguasaan tanah hingga penyelesaian sengketa tanah. Kesejahteraan masyarakat secara ekonomi pun didapat dari muculnya beragam mata pencaharian baru setelah masuknya kegiatan pertambangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi implementasi kegiatan pertambangan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Secara keseluruhan berdasarkan data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif, hasil analisis menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat berada pada kategori tinggi jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, sedangkan tingkat kesejahteraan masyarakat terbilang masih rendah jika dilihat dari sudut pandang sosial. Hal ini dibuktikan pada hasil data kuantitatif yang sebagian besar kuesioner mengenai kesejahteraan masyarakat tersebut bersifat ekonomi, yaitu melihat dari sisi peningkatan finansial. Akan tetapi kesejahteraan masyarakat pada sisi sosial yang dilihat melalui data kualitatif belum terwujud. Hal ini terlihat dari hubungan yang kurang harmonis antar subyek agraria, yaitu antara pemerintah, masyarakat dan PT. Antam.
69
PENUTUP
Simpulan Ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah merupakan isu agraria yang mengandung unsur ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah terjadi di berbagai sektor pembangunan, salah satunya ialah di sektor pertambangan. Implementasi pengelolaan sumberdaya agraria yang dilihat dari kegiatan pengaturan penguasaan tanah, pendataan sebidang tanah, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifikasi), dan penyelesaian sengketa tanah merupakan upaya untuk menanggulangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah. Desa Bantar Karet adalah salah satu desa di Kecamatan Nanggung yang dekat dengan lokasi pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam) UBPE Pongkor. Penelitian di desa ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pengelolaan sumberdaya agraria oleh para pihak, yaitu pemerintah desa, masyarakat, dan PT. Antam serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Implementasi pengelolaan sumberdaya agraria yang dirasa sangat krusial di Desa Bantar Karet yaitu pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah, maka kegiatan ini menjadi fokus penelitian. Implementasi Kegiatan pertambangan tidak lepas dari peran subyek-subyek agraria dalam pengelolaan obyek-obyek agraria. Hasil identifikasi dan analisis menunjukkan bahwa subyek-subyek agraria yang berperan dalam implementasi kegiatan pertambangan PT. Antam adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan kepentingan mengatur penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya agraria, masyarakat Desa Bantar Karet yang sebagian besar merupakan petani dengan kepentingan mengedepankan pertanian sebagai sumber pendapatan utama, dan PT. Antam sebagai perusahaan dengan kepentingan ekploitasi sumberdaya agraria. Obyek Agraria yang mampu diidentifikasi yaitu tanah pertanian dan cadangan pertambangan berupa emas. Implementasi kegiatan pertambangan dilihat dari kegiatan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai tingkat implementasi kegiatan pertambangan berada pada kategori sedang. Hal ini berarti secara prosedural terdapat implementasi kegiatan pertambangan yang dilaksanakan berdasarkan amanat Undang-Undang dan kebijakan yang mengaturnya dan ada juga yang tidak. Undang-Undang dan kebijakan yang mengatur kegiatan pertambangan tersebut antara lain Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 24 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang juga sejalan dan merupakan bentuk operasionalisasi dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan pembebasan tanah disertai dengan ganti rugi, namun ganti rugi yang diberikan belum sesuai menurut para responden dan informan karena responden tidak diberi kesempatan melakukan negosisasi harga ganti rugi. Selain itu, masyarakat juga tidak diberikan kesempatan untuk berpatisipasi dalam
70
penetapan peraturan dan ada ketidaksamaan pendapat mengenai hak atas tanah. Hal ini yang kemudian memunculkan sengketa tanah dan upaya penyelesaian sengketa tanah hanya melibatkan pemerintah dan PT. Antam saja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada pengaruh dari impelementasi kegiatan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Semakin tinggi tingkat implementasi kegiatan pertambangan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat Desa Bantar Karet. Hal ini terlihat dari tabel tabulasi silang yang menunjukkan responden yang menyatakan bahwa implementasi kegiatan pertambangan sudah berada pada kategori sedang yang juga berada di dalam kategori tinggi pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat berada pada kategori tinggi jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, sedangkan tingkat kesejahteraan masyarakat terbilang masih rendah jika dilihat dari sudut pandang sosial. Hal ini dibuktikan pada hasil data kuantitatif yang sebagian besar kuesioner mengenai kesejahteraan masyarakat tersebut bersifat ekonomi, yaitu melihat dari sisi peningkatan finansial. Akan tetapi kesejahteraan masyarakat pada sisi sosial yang dilihat melalui data kualitatif belum terwujud. Hal ini terlihat dari hubungan yang kurang harmonis antar subyek agraria, yaitu antara pemerintah, masyarakat dan PT. Antam.
Saran Beberapa saran yang diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: 1. Pemerintah terutama institusi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Pertahanan, Badan Pertanahan Nasional, serta instansi-instansi terkait lainnya untuk bersinergi terutama dalam hal pembuatan kebijakan terkait implementasi kegiatan pertambangan dan menyelesaikan sampai tuntas segala bentuk sengketa tanah yang terjadi. Transparansi dalam penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah dan penyelesaian sengketa tanah sangat dibutukan oleh masyarakat. 2. Masyarakat Desa Bantar Karet diharapkan selalu berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria dan tetap memperjuangkan hak akses terhadap jalan menuju Kampung Ciguha dengan cara yang baik tanpa memunculkan konflik fisik dalam bentuk kekerasan. 3. PT. Antam diharapkan selalu memberi kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria serta pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan yang menyangkut masyarakat karena masyarakat berada di lokasi dekat pertambangan, sehingga segala bentuk kegiatan pertambangan pasti akan memberikan pengaruh kepada masyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA
Amran A, Devi. 2008. The Impact Of Government And Foreign Affiliate Influence On Corporate Social Reporting (The Case Of Malaysia). Accounting, Auditing and Accountability Journal[Internet]. [Diunduh 2014 Juni 22]; 23(4):386-404. Dapat diunduh dari: http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1722649&show=abs tract [Antam] Aneka Tambang. 2013. Rencana Penutupan Tambang dan Pasca Tambang UBP Emas Pongkor. Bogor (ID): PT. Antam UBPE Pongkor. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Bab 16 : Penanggulangan Kemiskinan. [Internet]. [Diunduh2014 Juni 10]. Dapat diunduh dari: http://www.bappenas.go.id/files/5413/6082/9497/bab-16penanggulangan-kemiskinan.pdf Cahyono E, Yanuardi D, Sauki M. 2010. Konflik Lahan Pasir Besi dan Dinamika Sosial-Ekonomi Petani Pesisir Kulon Progo. Di dalam: Savitri LA, Shohibuddin M, Saluang S, editor. Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. 2009; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Hlm 175220. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2015. Nota Keuangan APBN Tahun 2015. [Internet]. [Diunduh 2015 Januari 30]. Dapat diunduh dari: http://www.kemenkeu.go.id/Data/nota-keuangan-apbn-2015 [KPA] Konsorsium Pembaruan Agraria. 2012. Terkuburnya Keadilan Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria. Jakarta (ID): Sekretariat KPA. [Lemhannas] Lembaga Pertahanan Nasional. 2012. Revitalisasi Kebijakan Agraria. Jurnal Kajian Lemhannas [Internet]. [Diunduh 2014 Juni 19]; 14:20-30. Dapat diunduh dari: www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/.../jurnal/jurnal_politik.pdf Luthfi AN, Razif, Fauzi M. 2010. Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Yogyakarta (ID): STPN Press. 79 hal. Ningtyas PMK, Dharmawan AH. 2010. Dampak Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) Terhadap Keadilan Sosial Ekonomi dan Ekologi Masyarakat Lokal. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4(3): 333-344. Nirmala P. 2013. Rekonstruksi Sistem Birokrasi Pertanahan Menuju Konsep Keadilan Dalam Kerangka Politik Hukum Agraria: Tinjauan terhadap Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001. Jurnal Uniyap[Internet]. [Diunduh 2014Juni22]; 11(3): 59-64. Dapat diunduh dari: http://222.124.177.147/index.php/uniyap/article/view/8 Nurhayaty, Sina L. 2013. Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan Batubara. Jurnal Beraja Niti[Internet]. [Diunduh 2014 Maret 19]; 2(10): 1-25. Dapat diunduh dari: http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja/article/view/166 [Permen] Peraturan Menteri. 2012. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
72
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara [Internet]. [Diunduh 2014 Okt 9]. Dapat diuduh dari: prokum.esdm.go.id/pp/2012/PP%2024%202012.pdf [PMNA/KBPN] Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. 1999. Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. [Internet]. [Dikutip 2015 Jan 8]; Dapat diunduh dari: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-Menteri Negara/peraturan-menteri-negara-nomor-1-tahun-1999-788 Risal S, Paranoan DB, Djaja S. 2013. Analisis Dampak Kebijakan Pertambangan Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Makroman. E-Journal Administrative Reform[Internet]. [Diunduh 2014 Feb 28]; 1(1): 117-131. Dapat diunduh dari: http://ar.mian.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2013/06/Artikel_ejournal_mulai_hlm_g anjil-ok%20%2806-03-13-03-52-45%29.pdf Santoso U. 2009. Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah. Jakarta (ID): Kencana. Sawitri R, Subiandono E. 2011. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam[Internet]. [Diunduh2014 Juni 23]; 8(3): 273285. Dapat diunduh dari: fordamof.org/files/08.Reny_Karakteristik_klm_.pdf Sunito S, Purwandari H. 2006. Mekanisme Kotrol Tata Kelola Sumber-Sumber Agraria: Membangun kelembagaan Kolektif Lokal yang Demokratis. Project Working Paper. [Internet]. [Dikutip 2014 Juni 22]; Project Working Paper Series No.7. Dapat Diunduh dari: psp3.ipb.ac.id/file/WP07.doc Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta(ID): PT. Bina Rena Pariwara. 262 hal. Tauchid M. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta(ID): STPN Press. 691 hal. [UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria. 1960. UUPA No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia. [Internet]. [Diunduh 2014 Mar 29]. Dapat diunduh dari: http://dkn.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5Tahun-1960-tentang-Pokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf White B dan Wiradi G. 2009. Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif: Hasil Lokakarya Kebijakan Reforma Agraria di Selabintana. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Stephanus Aswar Herwinko). Bogor (ID): Brighten Press. 144 hal. [Judul asli Agrarian Reform in Comparative Perspective: Policy Issues and Research Needs] Widyantoro, Toha HM. 2010. Optimalisasi Pengelolaan Padi Sawah Tadah Hujan Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Prosiding Pekan Sereaalia Nasional[Internet]. [Diunduh 2015 Jan13]. Dapat diunduh dari: balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/p83.pdf Yulianto, Sudibyakto. 2012. Kajian Dampak Variabilitas Curah Hujan terhadap Produktivitas Padi Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Magelang. [Internet]. [Diunduh 2015 Jan 13]. Dapat diunduh dari: lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/37/
73
LAMPIRAN
74
75
Lampiran 1 Peta Desa Bantar Karet
76
Lampiran 2 Kerangka responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama SNP HRD KRN BSR MHD PRM JMN JJN EMH PDM WND SRK SNN UCI ONT UKR MMI UWR MST UDN SBR BDR SRA IRZ SHL ACM ARN NIT SRT JYA
Umur (Tahun) 95 70 48 53 72 66 57 55 52 68 43 73 67 46 55 66 49 60 60 55 67 27 40 43 50 62 42 50 40 85
77
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT IMPLEMENTASI KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN PENGARUHNYA PADA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA BANTAR KARET : No. Kuesioner Tanggal Wawancara
:
Jam
:
1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10.
Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dari responden dalam rangka penelitian skripsi program sarjana yang dilakukan oleh: Nama/NRP : Indah Octavia Putri/I34110034 Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Universitas : Institut Pertanian Bogor Peneliti meminta kesediaan Anda untuk meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini secara jujur, jelas dan benar. Informasi yang diterima dari kuesioner ini bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk keperluan akademik. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. I. Data Responden Nama : Alamat : RT _______/RW _______ Usia : Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan Pendidikan Terakhir : ( ) Tidak Sekolah ( ) SD/Sederajat ( ) SMP/Sederajat ( ) SMA/Sederajat ( ) Perguruan Tinggi Status Kependudukan : ( ) Warga Asli ( ) Warga Pendatang Jumlah tanggungan ….. Orang Jumlah anak ….. Orang Jumlah Pendapatan : Rp……… Luas Lahan yang dimiliki :
78
11.
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
sebelum ada tambang Luas lahan yang dimiliki setelah ada tambang
:
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda (√) Pada jawaban yang paling tepat menurut anda! PENGATURAN PENGUASAAN TANAH Pengaturan dan Penguasaan Tanah Pertanyaan Jawaban Pertanyaan lanjutan Adakah pengaturan penguasaan [ ] Ya Jika Ya, pengaturan tersebut tanah di desa anda sebelum ada [ ] Tidak mengikuti peraturan apa? kegiatan pertambangan? a. peraturan adat b. peraturan pemerintah Jika pengaturan penguasaan tanah mengikuti peraturan adat, siapa yang berhak mengatur penguasaan tanah tersebut? a. kepala suku bersama masayarakat b. kepala suku saja Jika pengaturan penguasaan tanah berasal dari pemerintah, siapa yang berhak mengatur penguasaan atas tanah tersebut? a. kepala desa bersama masyarakat b. kepala desa saja Apakah anda memiliki bukti [ ] Ya Jika ya, bukti akta tanah tersebut akta tanah? [ ] Tidak dalam bentuk apa? a. girik/SPPT b. Sertifikat tanah Apakah pengaturan penguasaan [ ] Ya tanah tersebut masih berlaku [ ] Tidak sampai saat ini? Apakah pemerintah melakukan [ ] Ya pendataan atau pengukuran [ ] Tidak tanah terlebih dahulu sebelum memberikan akta tanah? Jika Ya, Apakah kegiatan [ ] Ya pendataan tanah dilakukan [ ] Tidak secara serempak di kampungkampung di Desa Bantar Karet pada saat itu? Apakah menurut anda sistem [ ] Ya Jika tidak, mengapa? pengaturan penguasaan tanah [ ] Tidak pada saat itu terbilang adil?
79
7. 8.
9.
Apakah tanah milik anda digarap sendiri oleh anda? Jika Ya, diusahakan untuk apa tanah yang anda miliki? apakah tanah yang anda usahakan tersebut sebagai sumber pencaharian utama?
[ ] Ya [ ] Tidak [ ] Pertanian [ ] pertanian dan perkebunan [ ] Ya [ ] Tidak
Proses Pembebasan Tanah dan Ganti Rugi No. Pertanyaan Jawaban 10. Ketika ada kegiatan [ ] Ya [ ] Tidak pembebasan tanah, apakah pihak PT. Antam memberikan sosialisasi secara langsung terkait akan diadakannya kegiatan pembebasan tanah kepada anda? 11. Apakah pemerintah desa [ ] Ya [ ] Tidak memberikan sosialisasi kepada anda tentang kegiatan pembebasan tanah? 12. Apakah pihak PT. Antam [ ] Ya [ ] Tidak dan pemerintah desa memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat desa bantar karet? 13. Apakah anda [ ] Ya [ ] Tidak diikutsertakan dalam penentuan harga ganti rugi tanah yang akan dibebaskan? 14. Apakah ada perbedaan [ ] Ya [ ] Tidak harga ganti rugi yang diberikan bagi yang memiliki sertifikat dengan yang tidak memiliki sertifikat? 15. Apakah ganti rugi yang [ ] Ya [ ] Tidak telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut sesuai bagi anda?
Keterangan
jika Tidak, siapa yang menetapkan harga ganti rugi? Jika ya, bagaimana perbedaannya?
Jika tidak, apa alasannya?
80
No. 16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
PENYELESAIAN SENGKETA ATAS TANAH Pertanyaan jawaban Pertanyaan lanjutan Ketika ada sengketa tanah, apakah [ ] tidak pernah pemerintah desa mengadakan [ ] jarang musyawarah untuk menyelesaikan [ ] Selalu sengketa tersebut? Siapa saja yang dilibatkan oleh [ ] pihak PT. Antam saja pemerintah desa dalam musyawarah [ ] pihak Masyarakat tersebut? Saja [ ] pihak masayarakat dan PT. Antam Pada level masyarakat, siapa saja yang [ ] tokoh masyarakat dilibatkan dalam musyawarah saja penyelesaian sengketa atas tanah? [ ] masyarakat yang bersengketa [ ] tokoh masyarakat dan masyarakat yang mengalami sengketa tanah Apakah pihak pertambangan [ ] tidak pernah memberikan kesempatan untuk [ ] jarang bermusyawarah dalam menyelesaikan [ ] selalu sengketa tanah? Apakah masyarakat melakukan tindakan [ ] tidak pernah untuk menyelesaikan sengketa atas [ ] jarang tanah? [ ] Selalu Tindakan dalam bentuk apa yang [ ] demo dilakukan masyarakat untuk [ ] protes langsung menyelesaikan sengketa atas tanah? [ ] mengajak para pihak bersangkutan bermusyawarah Apakah penyelesaian sengketa tanah [ ] Tidak Pernah melibatkan pihak lain seperti LSM? [ ] Jarang [ ] Selalu Apakah musyawarah penyelesaian [ ] Tidak Pernah sengketa atas tanah melibatkan pihak [ ] Jarang kepolisian? [ ] Selalu
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT A. Tingkat Pendapatan Isilah dengan nominal angka (contoh: 1.000.000) No Jenis Penerimaan Pendapatan Sebelum Ada Pendapatan Setelah Ada Tambang Tambang perminggu perbulan pertahun Perminggu perbulan pertahun 24. A. Pertanian 1. Sawah
81
2. Kebun 3. Ternak (unggas, ternak besar) Total B. Non Pertanian 1. Pegawai Negeri 2. Pedagang 3.Pengemudi (ojeg) 4. Buruh 5. Wirausaha 6. Lainnya …………………… Total
No. 25. 26. 27. 28.
Lingkari jawaban yang sesuai dengan kondisi anda. Pertanyaan Sebelum Ada Tambang Bagaimana kondisi pendapatan anda di K C B sektor pertanian? Bagaimana kondisi pendapatan anda di K C B sektor non-pertanian? Bagaimana peluang kerja dan usaha K C B anda di bidang pertanian? Bagaimana peluang kerja dan usaha K C B anda di bidang non pertanian? Ket: (K) Kurang; (C) Cukup; (B) Baik
Setelah Ada Tambang K
C
B
K
C
B
K
C
B
K
C
B
Berilah tanda (√) pada kolom yang disediakan sesuai dengan jawaban anda! (pilihlah hanya satu jawaban di setiap pertanyaan) B. Tingkat Fasilitas Tempat Tinggal No. Pertanyaan Jawaban 29. Apa jenis lantai rumah anda? ( ) tanah ( ) Kayu ( ) Keramik 30. Apa sumber penerangan rumah anda? ( ) lilin, lampu minyak ( ) PLN ( ) PLN dan genset pribadi 31. Apa status MCK anda? ( ) milik orang lain ( ) milik bersama ( ) milik pribadi 32. Terbuat dari apa bangunan rumah anda? ( ) tepas/anyaman bambu ( ) Kayu
82
33.
Terbuat dari apa atap rumah anda?
34.
Dari mana sumber air di rumah anda?
C. Tingkat Kesehatan No. Pertanyaan 35. Berapa kali anda mengalami sakit dalam 6 bulan terakhir? 36. Jika ada anggota keluarga yang sakit, maka dibawa ke?
37.
Sakit apa yang sering dialami?
38.
Berapa biaya yang dikeluarkan untuk berobat? (contoh: 150.000/1x berobat) Berapa Jarak rumah sakit atau puskesmas dari rumah anda?
39.
( ( ( ( ( ( (
) tembok ) Rumbia ) Seng ) Genteng ) Sungai ) Sumur umum ) Sumur sendiri
Jawaban
( ) Dukun ( ) Puskesmas ( ) Rumah Sakit ( ) lainnya, sebutkan…. ( ) sakit dalam [misal: jantung, paru-paru, hati] ( ) kulit ( ) Flu ( ) lainnya, sebutkan…
Isi dengan tepat sesuai pendidikan terakhir anda! D. Tingkat Akses Terhadap Pendidikan No. Anggota Keluarga Pendidikan Terakhir 40. Suami Istri Anak ke-1
Berilah tanda (√) pada kolom yang disediakan sesuai dengan jawaban anda! (pilihlah hanya satu jawaban di setiap pertanyaan) E. Tingkat Kepemilikan Alat Transportasi No. Pertanyaan Jawaban 41. Apa alat transportasi yang anda miliki? ( ) Tidak Berkendara ( ) Motor
83
42.
Bagaimana cara anda mendapatkan alat transportasi itu?
( ( ( (
) Mobil ) pemberian/hibah ) Kredit ) beli kontan
Pedoman Wawancara Mendalam untuk Pemerintah Desa Hari, tanggal
:
Lokasi
:
Nama dan Umur
:
Alamat
:
No. Tlp/Hp
:
Pertanyaan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Sejak kapan Anda tinggal di Desa Bantar Karet? Sejak kapan Anda menjadi aparatur Desa? Apa saja pekerjaan masyarakat di desa ini? Pada tahun berapa PT. Antam memulai aktivitas pertambangan? Bagaimana tanggapan pemerintah desa saat masuknya PT. Antam ke desa? Apa status lahan pertambangan sebelum dimulainya kegiatan pertambangan? Bagaimana proses pengaturan penguasaan tanah? Siapa saja aktor yang berperan dalam pengaturan penguasaan tanah? Bagaimana proses pemberian hak atas tanah? Siapa saja aktor yang berperan dalam pemberian hak atas tanah? Apakah ada konflik tanah antara masyarakat dan perusahaan? Mengapa terjadi konflik? Siapa sajakah aktor yang terlibat dalam konflik tersebut? Bagaimana proses penyelesaian konflik? Apakah perusahaan memiliki Sertifikat Izin Usaha Pertambangan? Apakah masyarakat diberi kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan penambangan? Berapa persen masyarakat lokal yang ikut bekerja di pertambangan? Sampai kapan Izin Usaha Pertambangan tersebut berlaku? Prosedur apa saja yang disepakati dalam kegiatan pertambangan? Adakah tanah masyarakat yang diambil alih untuk usaha pertambangan? Tanah siapa saja yang diambil alih dan berapa luas tanah tersebut? adakah pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan ini terhadap kesejahteraan masyarakat? Bagaimana pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan ini terhadap kesejahteraan masyarakat?
84
Pedoman Wawancara Mendalam untuk Tokoh Masyarakat Hari, tanggal
:
Lokasi
:
Nama dan Umur
:
Alamat
:
No. Tlp/Hp
:
Pertanyaan
:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Sejak kapan Anda tinggal di Desa Bantar Karet? Apa pekerjaan anda saat ini? Apa saja pekerjaan masyarakat di desa ini? Pada tahun berapa PT. Antam memulai aktivitas pertambangan? Bagaimana tanggapan para tokoh masyarakat saat masuknya PT. Antam ke desa? Apa status lahan pertambangan sebelum dimulainya kegiatan pertambangan? Bagaimana proses pengaturan penguasaan tanah? Siapa saja aktor yang berperan dalam pengaturan penguasaan tanah? Bagaimana proses pemberian hak atas tanah? Siapa saja aktor yang berperan dalam pemberian hak atas tanah? Apakah ada konflik tanah antara masyarakat dan perusahaan? Mengapa terjadi konflik? Siapa sajakah aktor yang terlibat dalam konflik tersebut? Bagaimana proses penyelesaian konflik? Apakah perusahaan memiliki Sertifikat Izin Usaha Pertambangan? Apakah masyarakat diberi kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan penambangan? Berapa persen masyarakat lokal yang ikut bekerja di pertambangan? Sampai kapan Izin Usaha Pertambangan tersebut berlaku? Prosedur apa saja yang disepakati dalam kegiatan pertambangan? Adakah tanah masyarakat yang diambil alih untuk usaha pertambangan? Tanah siapa saja yang diambil alih dan berapa luas tanah tersebut? adakah pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan ini terhadap kesejahteraan masyarakat? Bagaimana pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan ini terhadap kesejahteraan masyarakat?
85
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
Tugu Kujang PT. Antam
Kantor Desa Bantar Karet
Sungai Cikaniki
Tailing Dam (Lokasi Pengolahan Limbah)
Plang Nama PT. Antam
Gerbang Utama PT. Antam
86
Gerbang Menuju Kantor PT. Antam
Kendaraan Pengangkut Penambang
Plang Informasi Masuk Kawasan Obyek Vital Nasional
Rumah Tempat Tinggal Peneliti di Desa
87
Wawancara dengan Responden
Keluarga di Desa
Pipa Pembuangan Limbah
Alat Transportasi Desa
Peta Lokasi Izin Kuasa Pertambangan PT. Aneka Tambang UBPE Pongkor
88
Peta Penggunaan Tanah Wilayah Kuasa Pertambangan
89
Lampiran 5 Bukti Pembayaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah
90
91
RIWAYAT HIDUP
Indah Octavia Putri dilahirkan di Bogor pada tanggal 09 Oktober 1993, dari pasangan Pendi Rusmana dan Eka Nurlela. Pada saat usia 8 bulan, saya dan kedua orangtua pindah ke Bandung kota parahyangan karena ayah bekerja di Bandung. Kemudian pada saat saya menginjak usia 2 tahun, nenek dan paman saya datang dari Lampung ke Bandung untuk membawa saya ke Lampung. Pendidikan formal yang pernah dijalani dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Hukama di Lampung, SDN 1 Pengajaran di Lampung, kemudian saat kelas 4 pindah ke rumah saudara yang masih berada di Lampung juga, karena nenek akan pindah rumah ke daerah yang berada di pelosok dan jauh, sehingga ada saudara yang peduli untuk menyekolahkan saya di kota karena menyayangkan kemampuan saya jika tinggal di pelosok desa. Maka saya pindah ke SDN 1 Durian Payung Bandar Lampung. Kemudian setelah lulus SD saya melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 25 Lampung pada tahun 2005 dan setelah lulus SMP melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2008, dan pada tahun 2011 saya diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain Aktif dalam perkuliahan di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), saya juga aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa dan organisasi di IPB. Unit Kegiatan Mahasiswa yang saya ikuti adalah Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara IPB pada tahun 2012. Selain UKM, saya juga mengikuti organisasi yaitu Himpunan Profesi (HIMPRO) Departemen SKPM bernama Himasiera (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) pada divisi Broadcasting periode 2012-2013.