II.
2.1.
SINTESIS PERMASALAHAN KEJADIAN ANOMALI IKLIM SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LUAS TANAM DAN KALENDER TANAM PADI SAWAH
Pola dan Karakteristik Curah Hujan di Indonesia Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki variabilitas tinggi.
Hujan berasal dari air yang terdapat di atmosfer dan sebagai hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer tersebut. Menurut BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) suatu hari dikatakan hujan apabila menerima curah hujan 0,5 mm atau lebih. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain monsun, Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ), IOD, ENSO, dan sirkulasi lokal lainnya. Pola hujan bervariasi menurut skala ruang dan waktu sehingga curah hujan mempunyai karakteristik tertentu pada suatu wilayah apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Intensitas, frekuensi, distribusi dan wilayah hujan dipengaruhi oleh faktor iklim lainnya seperti angin, suhu, kelembaban udara dan tekanan atmosfer. Letak Indonesia diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, secara geografis berada di equator dengan ribuan kepulauan bisa dikatakan berada di posisi yang unik secara alamiah. Dua samudera tersebut dapat dikatakan sebagai pengendali iklim dunia sehingga dengan kondisi tersebut menjadikan wilayah Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh karakteristik monsun (Ramage 1971; Murakami and Matsumoto 1994; Wu and Kirtman 2007) berupa kondisi dinamika atmosfer seperti sirkulasi angin dan perubahan suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia. Indonesia dipengaruhi oleh angin monsun berupa angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun disebabkan oleh perbedaan sifat thermal antara benua dan perairan. Pada bulan Oktober – April, saat matahari berada di belahan Selatan dari Equator, benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan dibandingkan dengan benua Asia sehingga di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia.
10
Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudera Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Sebaliknya Pada bulan April – Oktober, matahari berada di belahan bumi Utara, sehingga benua Asia lebih panas dari benua Australia. Akibatnya, di Asia terdapat pusatpusat tekanan udara rendah, sedangkan di Australia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi yang menyebabkan terjadinya angin dari Australia menuju Asia. Di Indonesia, terjadi angin musim Timur di belahan bumi Selatan dan angin musim Barat Daya di belahan bumi Utara. Oleh karena tidak melewati lautan yang luas maka angin tidak banyak mengandung uap air oleh karena itu pada umumnya di Indonesia terjadi musim kemarau. Berdasarkan faktor-faktor pengendali cuaca dan iklim, Indonesia dibagi menjadi 153 daerah pola hujan yang selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga daerah utama (Aldrian and Susanto 2003), yaitu : 1. Daerah A merupakan pola yang dominan di Indonesia karena meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret dipengaruhi oleh monsun Barat Laut dan satu palung pada bulan Mei-September
dipengaruhi oleh monsun Tenggara yang kering,
sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan laut. 2. Daerah B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober-November dan pada bulan Maret - Mei. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke Utara dan Selatan dari ITCZ 3. Daerah C mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli (JJ) dan satu palung pada bulan November-Februari. Pola ini merupakan kebalikan dari pola A. Karakteristik curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena monsun yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan tekanan di benua Asia dan Australia secara bergantian yang terjadi pada skala waktu tahunan (Ramage, 1971). Musim hujan di Sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya bertepatan dengan monsun Barat yang terjadi pada Desember-Januari-Februari (DJF) dan musim
11
kemarau bertepatan dengan monsun Timur yang terjadi pada Juni-Juli-Agustus (JJA). Antara monsun Barat dengan monsun Timur terdapat musim pancaroba pertama yaitu bulan Maret-April-Mei dan musim pancaroba kedua yaitu bulan September-Oktober-November (SON). Variasi pola umum ini dapat berubah akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO (Philander 1989; Ropelewski and Halpert 1989; Halpert and Ropelewski 1992; Lau and Nath 2000). 2.2.
Fenomena ENSO di Samudera Pasifik Variabilitas iklim Samudera Pasifik tropik memiliki fenomena yang khas
dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di bidang Oseanografi dan Iklim. Fenomena internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal (sejajar lintang) arah Timur Barat yang terjadi di pasifik Timur menuju pasifik Barat (dekat kepulauan Indonesia) yang dinamakan sirkulasi Walker. Gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation). El Niño (La Niña) merepresentasikan fase panas (dingin) dari siklus ENSO. Istilah El Niño (La Niña) mengacu pada pemanasan (pendinginan) pada suhu muka laut pada sentral dan sentral-timur Pasifik Equator (Gambar 2.1.). Kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator sangat berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rataratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai El Niño.
Sebaliknya, bila suhu
permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah daripada rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai La Niña sehingga kemudian dikenal dengan nama ENSO, berasal dari El Niño (fenomena laut) dan Southern Oscillation (fenomena atmosfer) (Wiratmo, 1998). Gejala ENSO yang membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada kejadian La Niña. Mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah hujan pada tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gutman et al. 2000). Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya digunakan data pengukuran Suhu Permukaan Laut (SPL). Dupe dan Tjasyono (1998) telah melakukan analisis terhadap grafik data SPL dan anomali SPL untuk seluruh
12
daerah pengamatan El Niño. Hasil visual menunjukkan bahwa daerah Nino 3.4 (170oBB - 120oBB, 5oLS - 5oLU) memperlihatkan distribusi yang lebih berpola, sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 adalah daerah yang lebih representatif untuk mendefinisikan El Niño. Kenaikan anomali SPL Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin passat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah Barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi El Niño, zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi menjelang akhir tahun, akibatnya musim penghujan di Indonesia yang biasanya terjadi pada akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena pengaruh El Niño.
Sumber : http://www.whoi.edu/oceanus/viewImage.do?id=83611&aid=53506
Gambar 2.1 Pola anomali suhu muka laut pada peristiwa El Niño dan La Niña Indikator ENSO lainnya adalah dengan menggunakan SOI (Southern Oscillation Index) atau Indeks Osilasi Selatan yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Nilai SOI semakin negatif berarti semakin kuat kejadian panas (El Niño), sebaliknya nilai SOI semakin positif kejadian dingin (La Niña) semakin kuat (Boer 1999). Pada kondisi normal, rata-rata tekanan di permukaan laut relatif tinggi di Pasifik Tengah bagian selatan (menggunakan stasiun rujukan 13
di Tahiti) dan relatif rendah di Pasifik Barat atau Australia Utara (stasiun rujukan di Darwin). Sehingga pemindahan neto udara di lintang rendah adalah dari Timur ke Barat – disebut sebagai angin Pasat Timuran. Setiap beberapa tahun perbedaan tekanan antara Barat dan Timur ini melemah, sehingga angin Pasat Timuran berhenti dan biasanya diiringi dengan kekeringan di Indonesia dan Australia. Gejala El Niño dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah hujan yang jauh dari normal.
Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La Niña
berlangsung (Gambar 2.2).
Sumber: http://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/elninosouthernoscillation.html
Gambar 2.2 Sirkulasi angin global pada kondisi La Niña dan El Niño
14
Berdasar intensitasnya El Niño dikategorikan sebagai : a.
El Niño Lemah (Weak El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +0.5º C s/d +1,0º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
b.
El Niño sedang (Moderate El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +1,1º C s/d 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
c.
El Niño kuat (Strong El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik ekuator positif > 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut. Boer (2002) menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan terhadap data
hujan musim kemarau selama seratus tahun, rata-rata penurunan curah hujan akibat terjadinya El Niño bila dibadingkan dengan normalnya dapat mencapai 80 mm/bulan sedangkan peningkatan curah hujan akibat terjadinya La Niña tidak lebih dari 40 mm. Sehingga secara umum bencana yang ditimbulkan oleh kejadian El Niño lebih serius dibandingkan dengan la Niña. Dampak El Niño terhadap kondisi cuaca global dicirikan dengan angin pasat timuran dan sirkulasi munson semakin lemah dan akumulasi curah hujan berkurang di Indonesia (Pustekkom 2007). Berkurangnya akumulasi curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas El Niño tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang terdiri kepulauan maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh El Niño. Sir Gilbert Walker pada tahun 1924 menyatakan bahwa El Niño berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian Barat Lautan Pasifik) dan bagian Timur Lautan Pasifik. Variasi perbedaan tekanan Timur-Barat dihubungkan dengan sirkulasi Walker merupakan sebuah variasi antar tahun yang tidak teratur (Hastenrath 1988). Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan akibat kedua
15
fenomena global tersebut. Pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La Niña lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering. Pengaruh dari El Niño akan lebih terasa untuk wilayah Indonesia bagian timur, tetapi apabila terjadi gejala El Niño sangat kuat seperti kasus tahun 1997, pengaruh akan terasa hingga Indonesia bagian barat kecuali wilayah Jambi hingga Aceh karena El Niño kuat akan membuat bayangannya di Samudera Hindia (Aldrian and Susanto 2003) Pada beberapa tahun terakhir, terlihat jelas bahwa peristiwa kekeringan di Indonesia akibat El Niño kerap kali terjadi akibat peningkatan fluktuasi anomali suhu muka laut Samudera Pasifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa cuaca ekstrim regional dan anomali iklim yang direpresentasikan dengan kejadian El Niño akan mendorong peningkatan resiko iklim di wilayah Indonesia. Disamping itu anomali iklim dan cuaca regional berkaitan dengan El Niño diperburuk pula oleh peningkatan temperatur yang berkaitan dengan semakin tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir (Gambar 2.3).
Sumber : http://www.ncdc.noaa.gov/img/climate/research/1998/enso/ensotr2.gif
Gambar 2.3 Anomali temperatur permukaan global sepanjang 10 kejadian El Niño utama dalam abad ini (NCDC/NOAA) 16
Dalam dasawarsa terakhir ini frekuensi kejadian El Niño semakin sering terjadi. Selain tahun 1991, El Niño juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam tempo 12 tahun sudah terjadi enam kali El Niño. 2.3.
Fenomena IOD di Samudera Hindia Selain El Niño di Samudera Pasifik, terdapat pula fenomena interaksi
lautan-atmosfer lainnya yang diduga menyebabkan peristiwa kekeringan di Indonesia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole /IOD (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Hendon 2003), fenomena tersebut merupakan kejadian dipole yang terjadi di Samudera Hindia berupa mode dari variabilitas iklim antar tahun yang melibatkan peristiwa pembalikan gradien suhu muka laut dan angin yang melintas di atas Samudera Hindia Equatorial (Abram et al. 2007). IOD ditandai dengan penurunan suhu permukaan laut (SPL) di bagian Timur (pantai Barat Sumatera dan Selatan Jawa) disertai dengan meningkatnya SPL di Samudera Hindia bagian barat (Gambar 2.4). Kondisi tersebut dipicu oleh peningkatan intensitas angin Tenggara (southeasterly winds) di sepanjang pesisir Selatan Jawa dan Barat Sumatera. Peningkatan itu diikuti dengan perubahan angin baratan (westerly winds) menjadi angin timuran (easterly winds) di sepanjang ekuator Samudera Hindia. Evolusi anomali ini mulai terjadi di akhir Juni, kemudian menguat pada bulan-bulan berikutnya, dan mencapai puncaknya pada Oktober. Fenomena IOD akan menyebabkan musim kemarau yang parah di sebagian besar wilayah Indonesia dan akan mencapai puncaknya pada bulan September-Oktober (Saji 2000). Sebaliknya, di Benua Afrika khususnya daerah tropis, dan di daratan India akan terjadi peningkatan curah hujan di atas normal. IOD diyakini dapat menyebabkan musim panas dengan temperatur yang sangat tinggi di kawasan Eropa, Jepang, Korea dan Cina bagian Timur. Sementara itu, di belahan bumi bagian Selatan, IOD memicu musim dingin yang kering di Australia (Saji et al. 1999).
17
Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/
Gambar 2.4 Gambaran pola suhu muka laut pada saat IOD positif dan IOD negatif Ciri dari terjadinya peristiwa IOD yang menyebabkan kekeringan di sebagian wilayah Indonesia ialah dengan mendinginnya SPL dekat Sumatera serta menghangatnya SPL di bagian barat Samudera Hindia. Intensitas IOD direpresentasikan oleh gradien ASPL antara bagian barat Samudera Hindia Ekuator (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dan bagian tenggara Samudera Hindia Ekuator (90°-110°BT, 0°-10°LS). Apabila DMI bernilai positif, maka fenomena yang terjadi dikenal dengan IOD positif. Pada kondisi ini suhu permukaan laut di pantai barat Sumatera lebih dingin yang menyebabkan massa udara bergerak ke Teluk Bengal yang menyebabkan rendahnya curah hujan di wilayah bagian barat Indonesia. Kejadian sebaliknya terjadi apabila DMI bernilai negatif, massa udara bergerak ke arah pantai barat Sumatera yang menyebabkan tinggi curah hujan di kawasan Indonesia bagian Barat. Kajian mengenai dampak El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan dipole mode samudera Hindia (Indian Ocean Dipole atau IOD) merupakan tema kajian yang sangat penting dan menarik (Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Saji et al. 2003) karena kompleksitas dan dampaknya yang luas pada berbagai bidang kehidupan. Sampai saat ini hubungan kejadian antara ENSO dan IOD di dua Samudera tersebut masih belum jelas diketahui keterkaitannya. Beberapa kejadian terlepas satu sama lain namun beberapa kejadian lainnya memiliki keterkaitan yang cukup kuat (Saji and Yamagata 2003). Independensi IOD terhadap ENSO disampaikan oleh Saji et al. (1999) dan pendapat tersebut diperkuat oleh Rao et al. (2002) yang menyatakan bahwa 18
selama 127 tahun terakhir terjadi 14 kejadian IOD positif dan 19 kejadian IOD negatif yang kuat dan 5 kejadian IOD positif dan 7 kejadian IOD negatif yang terjadi bersamaan dengan ENSO. Dengan kata lain, 65% yang kuat berlangsung ketika tidak ada kejadian ENSO. Kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan ENSO seperti pada tahun 1997 ditengarai memperkuat pengaruh ENSO di wilayah Indonesia, sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan dengan ENSO akan mengurangi dampak ENSO. Secara hampir bersamaan Saji et al., (1999) dan Webster et al. (1999) menyatakan bahwa pada tahun 1997 ketika terjadi El Niño kuat, secara bersamaan terjadi pula IOD positif kuat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan pengaruh ENSO dipengaruhi pula oleh fenomena IOD. 2.4.
Kalender Tanam FAO (1997) mendefinisikan kalender tanam (cropping calendar) sebagai
salah satu aspek pertanian yang sering dipetakan orang untuk mengetahui waktu dan pola tanam di daerah tertentu selama setahun. Wiliamson (2001) melaporkan kalender tanam di Kosovo (Gambar 2.5) yang dikembangkan oleh FAO. Kalender tersebut memberikan informasi mengenai jenis tanaman yang tumbuh, saat tanah diberakan, persiapan lahan, masa vegetatif, masa generatif, serta panen selama setahun di Kosovo.
Gambar 2.5 Kalender tanam di Kosovo (Wiliamson, 2001) Selain di Kosovo, FAO juga telah mengembangkan kalender tanam di Iraq, Gambar 2.6 (Edirisinghe, 2004), dengan komoditas yang biasa tumbuh di daerah tersebut, seperti padi, jagung, kapas, buah-buahan dan sayuran. Dengan kalender tanam tersebut terlihat bahwa tanaman yang tergantung air hujan (rained 19
crops) akan tumbuh terutama selama bulan basah dari November sampai April tahun berikutnya.
Gambar 2.6 Kalender tanam di Iraq (Edirisinghe, 2004) Di Indonesia kalender tanam secara tradisional diperoleh petani secara turun temurun. Selama ribuan tahun mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, akhirnya nenek moyang kita membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut. Pranata Mangsa dibutuhkan sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Tabel 2.1.). Hal tersebut tentunya tidak keliru selama dunia tidak mengalami perubahan baik iklim, penutupan ataupun penggunaan lahan. Namun perubahan global bukan merupakan isu lagi tetapi suatu yang telah terjadi baik secara global, regional ataupun lokal (Syahbuddin et al. 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang bagaimana kalender tanam yang ada berdasarkan kondisi iklim setelah terjadi perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh Viet et al. (2001) bahwa untuk keberlanjutan pertanian akibat adanya perubahan iklim perlu dilakukan perubahan baik kalender tanam, pola tanam, maupun rotasi penanaman untuk setiap zone agroekologi.
20
Tabel 2.1 Pranata Mangsa selama setahun (Wiriadiwangsa 2005) No
Nama
Mulai
Akhir
Kegiatan
1. Kasa (Kahiji)
22/23 Jun
2/3 Ags
Musim tanam palawija.
2. Karo (Kadua)
2/3 Ags
25/26 Ags
Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3. Katiga (Katilu)
25/26 Ags
18/19 Sep
Musim ubi-ubian bertunas, panen palawija.
4. Kapat (Kaopat)
18/19 Sep
13/14 Okt
5. Kalima (Kalima)
13/14 Okt
9/10 Nov
6. Kanem (Kagenep)
9/10 Nov
22/23 Des
7. Kapitu (Katujuh)
22/23 Des
3/4 Feb
8. Kawolu (Kadalapan)
2/3 Feb
28/29 Feb
9. Kasonga (Kasalapan)
1/2 Mar
26/27 Mar
10. Kadasa (Kasapuluh)
26/27 Mar
19/20 Apr
11. Desta (Kasabelas)
19/20 Apr
12/13 Mei
12. Sada (Kaduabelas)
121/13 April-
22/23 Juni.
Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering. Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari.
Adanya informasi mengenai pola tanam dan sistem usaha tani berdasarkan tingkat sensitifnya pada berbagai kondisi iklim diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan dalam hal perencanaan pertanian. Selain itu juga diharapkan dapat berdampak ke tingkat petani di dalam menerapkan pola tanam dan sistem usaha tani yang mempertimbangkan aspek variabilitas iklim.
21
2.5.
Dampak Anomali Iklim terhadap Waktu dan Pola Tanam Padi. Anomali dan perubahan iklim sering berdampak terhadap pertumbuhan
dan produktivitas tanaman. Adanya perubahan jumlah dan pola hujan serta frekuensi pergeseran musim berupa maju mundurnya musim hujan dan kemarau berpengaruh terhadap waktu dan pola tanam khususnya padi. Di Jawa, pergeseran musim akibat kejadian El Niño menyebabkan perubahan realisasi luas areal tanam secara nyata dan pengunduran waktu tanam berakibat terhadap musim tanam berikutnya (Naylor et al. 2002). Walaupun tidak selalu disebabkan oleh El Niño, penyimpangan iklim yang menyebabkan hari-hari kering pada awal musim hujan 2002/2003 (NopemberDesember 2002) telah menggeser pola tanam di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Dalam kondisi normal, realisasi tanam MH pada bulan Desember di Jalur pantura Jabar mencapai 80%, namun hingga minggu ke II Januari 2003 realisasi tanam MH 2002/2003 baru mencapai 45-55%. Anomali iklim menyebabkan penanaman padi awal musim hujan (Nopember - Desember) hanya bisa dilakukan pada daerah yang dekat dengan saluran air irigasi. Hal yang mirip juga berlanjut pada MT 2003 (MK-I 2003). Luas kerusakan pertanaman padi mencapai lebih dari 450.000 ha akibat kekeringan, dan lebih dari 91.000 ha mengalami puso. Kerusakan tersebut sebagian besar berada wilayah bagian selatan Indonesia, terutama Jawa, Sulsel dan Lampung sedangkan tanaman palawija yang mengalami kerusakan mencapai 42.000 ha lebih dan mengalami puso lebih dari 2.700 ha. Kerusakan tanaman padi dan palawija pada tahun 2003 tersebut jauh lebih tinggi dibanding 10 tahun sebelumnya pada periode yang lama (Boer 2006). Secara teknis, tanaman padi sawah membutuhkan air 800-1200 mm/musim sedangkan jagung, kedelai dan kacang tanah 350-400, 300-350, dan 400-500 mm/musim. Dengan demikian, tanaman padi dan palawija tumbuh dan berproduksi baik jika memperoleh pasokan air antara 6-10 mm/hari dan 3,5-6 mm/hari atau 60-100 dan 35-60 m3/ha/hari. Oleh sebab itu, pola tanam (jenis tanaman dan waktu tanam) sangat ditentukan oleh lama dan pola ketersediaan air yang terakit dengan durasi anomali iklim. Berdasarkan kejadian anomali iklim sejak lebih 100 tahun yang lalu menunjukkan bahwa rata-rata durasi kejadian El
22
Niño sekitar 8,5 bulan dengan kisaran 4-12 bulan, sedangkan kejadian La Niña bulan dengan kisaran 5-15 bulan (Harger 1995). 2.6.
Fenomena ENSO dan IOD dalam Hubungannya dengan Sistem Produksi Padi di Indonesia Fenomena anomali iklim merupakan gejala alam yang bersifat global dan
besar pengaruhnya terhadap pola iklim global dan regional, bahkan lokal. Kedatangannya
tidak
mudah
diduga,
sehingga
langkah
antisipasi
dan
penanggulangan cukup sulit, terutama El Niño. Anomali iklim telah berulang kali terjadi dan umumnya merusak sistem produksi padi. Sistem produksi padi nasional merupakan salah satu sistem yang dinilai rentan terhadap fenomena ENSO dan IOD. Misalnya, pada kondisi iklim ekstrim, luas dan intensitas lahan pertanian yang terkena bencana meningkat tajam. Pengamatan tahun 1994 dan 1997 yang disinyalir sangat dipengaruhi oleh fenomena El Niño dan IOD positif menunjukkan bahwa kumulatif luas sawah yang mengalami kekeringan dari bulan Mei sampai Agustus melebihi 400 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan La Niña kurang dari 75 ribu ha. Demikian pula pada tahun La Niña 1995, kumulatif luas banjir dari bulan Oktober sampai Desember mencapai 250 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan tahun El Niño umumnya kurang dari 100 ribu ha (Boer dan Alimoeso 2002). Kehilangan produksi padi akibat kejadian kekeringan dan banjir khususnya pada tahun-tahun iklim ekstrim dapat mencapai 2 juta ton. Di beberapa wilayah seperti di Jawa, Lampung dan Bali, pengaruh kejadian ENSO terhadap curah hujan sangat nyata, terutama pada musim kering. Pada tahun El Niño, curah hujan pada Musim Kemarau II (Juli sampai Oktober) dapat turun sampai 57% curah hujan tahun normal Sebaliknya pada tahun La Niña, curah hujan MK II dapat meningkat sampai 152% curah hujan normal (Las, 2000). Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El Niño juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. Pada tahun El Niño 1982, awal musim kemarau di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terjadi lebih awal 20 hari dari normal sedangkan akhir musim kemarau mundur 30-40 hari dari normal (Soerjadi 1984). Perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan pola
23
iklim tahunan seperti terlambatnya awal musim hujan maupun musim kering. Disamping itu periode musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek. Di Indonesia, kondisi kekeringan sepanjang musim kemarau (Juni – November) terjadi bersamaan dengan perkembangan El Niño di Pasifik. Tipe tersebut direpresentasikan dengan anomali SST dingin di sekitar Indonesia, sedangkan anomali panas berkembang di sebelah Timur Pasifik dan sebelah Barat Samudera Hindia. Sebaliknya peningkatan curah hujan di Indonesia sepanjang musim kemarau. Bila terjadi anomali iklim maka yang paling merasakan dampaknya adalah petani padi yang umumnya miskin, tidak mampu menabung dan tidak mempunyai pekerjaan alternatif. Anomali iklim, terutama El Niño, tidak hanya menyebabkan turunnya produksi padi, tetapi juga berdampak terhadap mundurnya waktu tanam pada musim berikutnya. Penurunan curah hujan secara nyata pada musim kemarau akibat El Niño berdampak pada kekeringan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia. Seperti halnya kekeringan yang terjadi antara tahun 1990-1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan hebat yaitu tahun 1991, 1994, dan 1997 yang ditandai dengan tingginya lahan yang terkena dampak dan yang mengalami puso (Gambar 2.7).
24
Maize
Rice
800
90
Completely damage Lightly-heavily affected
700 600 500 400 300 200 100
Completely damage Lightly-heavily affected
80 Drought Area (thousand ha)
Drought Area (thousand ha)
900
0
70 60 50 40 30 20 10 0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
1990 1991
25
Completely damage Lightly-heavily affected
Drought Area (thousand ha)
Drought Area (thousand ha)
30 25 20 15 10 5 0
1990 1991 1992 1993 1994
1995 1996 1997
Peanut
Soybean 35
1992 1993 1994
1995 1996 1997
20
Completely damage Lightly-heavily affected
15 10 5 0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Gambar 2.7 Pengaruh El Niño terhadap padi dan palawija (Boer and Subbiah, 2005). Berdasarkan data historis pengaruh peristiwa El Niño terhadap produksi beras nasional, mengindikasikan bahwa sistem produksi beras nasional sangat rentan terhadap peristiwa iklim ekstrim. Saat El Niño terjadi, kehilangan produksi padi meningkat secara nyata dan total kehilangan hasil juga cenderung meningkat. Rata-rata kehilangan hasil disebabkan kekeringan pada periode 1980-1990 tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada periode 1991-2000, dari seratus ribu ton per hektar per tahun sampai dengan 300 ribu ton per hektar per tahun (Boer dan Las 2003). Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ketika terjadi El Niño tahun 2002- 2003, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. Kemarau panjang yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini sangat erat kaitannya dengan fenomena anomali iklim El Niño. Sebaliknya, bila fenomena La Niña yang muncul, curah hujan cenderung akan tinggi. Menurut Fagi dan Manwan (1991) pada musim kering 1991 diperkirakan produksi padi nasional turun 2,2 persen. Menurut Panggabean (1995) kekeringan 1994 menyebabkan produksi padi nasional turun 3,7 persen. Musim kemarau disusul dengan banjir
25
tahun 1994 telah mengurangi luas panen sebesar 3,1 persen atau 341.000 ha, demikian juga hasil per hektar menurun sebesar 0,6 persen atau 0,27 ku/ha. Pada tahun 2003, akibat curah hujan yang rendah terjadi kekeringan di areal sawah di sentra padi (Jawa) seluas 430.295 ha disamping 82.696 ha yang mengalami puso (BAPENAS 2004), bila terjadi kekeringan berlanjut maka akan mengganggu stabilitas pangan karena 50% pasokan padi nasional berasal dari Pulau Jawa. 2.7.
Pengembangan Model Prediksi Curah Hujan dalam Mendukung Penyesuaian Kalender Tanam Prediksi curah hujan diperlukan untuk merencanakan waktu dan pola
tanam beberapa bulan ke depan bahkan satu tahun ke depan. Berbagai teknik analisis dan pemilihan model sudah banyak digunakan dalam penyusunan model prediksi curah hujan. Dengan mengembangkan model yang tervalidasi dengan baik diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat dalam waktu yang cepat sehingga penyesuaian kalender tanam dapat direncanakan sedini mungkin dalam mengantisipasi anomali iklim yang terjadi. Wigena (2006) menyatakan bahwa penyusunan model prediksi curah hujan tergantung pada keberadaan autokorelasi dan kolinieritas data pada peubah tak bebas yang akan diduga. Variasi keberadaan antara autokorelasi dengan kolinieritas dapat diterapkan dengan menggunakan analisis jaringan syaraf tiruan. Jaringan saraf tiruan (JST) dalam Bahasa Inggris dinamakan artificial neural network (ANN), atau juga disebut simulated neural network (SNN), atau pada umumnya disebut neural network (NN). JST pertama kali ditemukan Warren McCulloch, seorang neurophysiologist, dan rekannya seorang matematikawan Walter Pitts pada tahun 1943. ANN merupakan sebuah alat pemodelan data statistik non linier berupa jaringan dari sekelompok unit pemrosesan yang dimodelkan berdasarkan interkoneksi syaraf buatan yang menggunakan suatu model komputasi untuk memproses informasi yang terdistribusi dan bekerja secara pararel (Hecht-Nielsen 1988). Fungsinya ditentukan oleh struktur jaringan dan kekuatan hubungan, kemudian pengolahan dilakukan pada komputasi elemen simpul atau nodes (DARPA 1998).
26
ANN adalah sistem pengolah informasi yang mempunyai karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologis, yaitu jaringan syaraf pada otak manusia (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Konsep jaringan syaraf manusia dan model jaringan syaraf tiruan. (a) komponen- komponen syaraf (neuron), (b) gambaran mengenai synapses, dan (c) model jaringan syaraf. Biasanya terdapat paling tidak tiga lapisan pada suatu jaringan langkah maju, terdiri dari satu lapisan input (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan suatu lapisan output (output layer). Lapisan input memberi umpan kepada lapisan tersembunyi, kemudian lapisan tersembunyi memberi umpan kepada lapisan output. Pengolahan aktual dalam suatu jaringan terjadi di dalam simpul pada lapisan tersembunyi dan lapisan output (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Skema ANN feed forward Pemrosesan informasi dalam ANN dapat disingkat sebagai berikut, sinyal (baik berupa aksi atau potensial) muncul sebagai masukan unit (sinapsis); efek dari tiap sinyal dinyatakan sebagai bentuk perkalian dengan sebuah nilai bobot
27
untuk mengindikasikan kekuatan dari sinapsis. Semua sinyal yang diberi pengali bobot ini kemudian dijumlahkan satu sama lain untuk menghasilkan unit aktivasi. Jika aktivasi ini melampaui sebuah batas ambang tertentu maka unit tersebut akan memberikan keluaran dalam bentuk respon terhadap masukan. Model satu neuron ini, kemudian dibuat dalam bentuk jaring-jaring neuron sehingga kita memiliki sebuah jaring saraf buatan (Gambar 2.10). Aktivasi dari unit masukan diatur dan diteruskan melalui jaring hingga nilai dari keluaran dapat ditentukan. Jaring berperan sebagai fungsi vektor yang mengambil satu vektor pada masukan dan mengeluarkan satu vektor lain dikeluarkan.
Gambar 2.10 Jaring saraf buatan Model jaringan syaraf buatan dapat memiliki sebuah lapisan bobot, dimana masukan dihubungkan langsung dengan keluaran, atau beberapa lapisan yang di dalamnya terdapat lapisan tersembunyi. Tiap-tiap lapisan terdiri dari banyak simpul, interkoneksi hanya terjadi antara simpul-simpul yang terletak pada satu lapisan dengan simpul-simpul yang terletak pada lapisan tetangganya. Simpul-simpul yang berhubungan langsung dengan masukan dan terletak dalam satu lapisan yang sama, lapisan tersebut disebut "lapisan masukan" simpul-simpul yang memberikan keluaran dan terletak dalam satu lapisan disebut "lapisan keluaran". Simpul-simpul yang terletak dalam satu atau beberapa lapisan dan tidak berhubungan langsung dengan keadaan di luar jaringan disebut "lapisan dalam" atau lapisan tersembunyi. Banyaknya simpul pada lapisan masukan dan lapisan keluaran tergantung pada jenis pemakaian tertentu (Subiyanto 1998).
28
Dengan merekayasa lapisan tersembunyi, memungkinkan mendekati semua fungsi arsitektur jaringan saraf buatan tipe maju. ANN untuk prediksi data deret waktu (misalkan curah hujan) digunakan sebagai perseptron (perceptron) yang mempelajari sebuah curah hujan sedemikian sehingga mampu melakukan identifikasi dan aproksimasi dari data deret waktu tersebut. Kemudian model ini digunakan untuk memprediksi data curah hujan. Galat Propagasi Balik (error back propagation) merupakan model training yang sering digunakan untuk model ANN arus maju (multi layer feed forward neural network). Model training galat propagasi balik merupakan aturan koreksi kesalahan dimana kesalahan keluaran jaring saraf dipropagasikan kembali ke dalam lapisan tersembunyi untuk diproses kembali.
29