PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
SUCIANTINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik” adalah hasil karya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012 Suciantini NRP G261070031
ABSTRACT SUCIANTINI. Climate Risk Management Based on Operating Farming Systems for Rice through The Use of Dynamic Cropping Pattern. Supervised by RIZALDI BOER, IRSAL LAS, and AGUS BUONO. El-Nino events can lead to decreased production of rice, due to the addition of the planting area is experiencing drought and loss yield. Early withdrawal of the rainy season could lead to the resignation of a second crop. This second crop is susceptible to drought. Therefore, the scheduling of planting taking into account the possibility of extreme climate events are contained within a planting calendar is one solution. Research preparation of the planting calendar has been started since 2007 (Las et al, 2007) by the Ministry of Agriculture. Output produced in the early years, a map of the plant which is divided into four scenarios, using historical data. On the other hand, Boer et al (2007) also researched the planting calendar with use decision and bayesian network. However, the resulting decision regarding just planting time only. Therefore, to develop a planting calendar that has been generated, the research done by adding the decision issued by measuring the utility function as an approach, in addition to overcome the problem of drought due to improper planting time. This study aimed to look for alternative cropping patterns ideal economically advantageous in terms of a combination of rice cultivation (planting time, fertilizer, irrigation, varieties) on a farm in a particular season, which gives the maximum production with minimal loss rate. Key words : drought, Fuzzy Inference System, risk function
RINGKASAN SUCIANTINI. Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik. Dibimbing oleh: RIZALDI BOER, IRSAL LAS, dan AGUS BUONO. Salah satu informasi penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah kalender tanam. Informasi kalender tanam tanaman pangan secara nasional sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007. Output yang dihasilkan berupa peta waktu tanam yang terbagi ke dalam empat skenario, yaitu existing petani, waktu tanam tahun Normal, waktu tanam tahun La-Nina dan tahun El-Nino. Data yang digunakan merupakan data rata-rata historis jangka panjang. Kalender tanam ini mulai tahun 2011, diupdate setahun tiga kali, dan pada perkembangannya menyertakan juga hasil prakiraan musim BMKG. Sejalan dengan itu, tahun 2007 Boer et al. juga melakukan riset terkait kalender tanam yang sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan Bayesian network dan decision network. Namun demikian, decision yang dihasilkan oleh Boer et al. (2007) baru mencakup waktu tanam. Oleh karena itu, untuk mengembangkan kalender tanam yang sudah dihasilkan, dilakukan penelitian dengan menambah decision yang dikeluarkan. Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya. Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman. Decision yang dihasilkan, tidak saja menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian berdasarkan hasil usaha tani dan output keluaran simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003). Decision network dioptimasi dengan penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy, sebagai tool untuk mendukung penyusunan kalender tanam dinamik. Berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis teknologi tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) pada suatu usaha tani pada suatu musim tertentu yang memberi produksi maksimal dengan tingkat kerugian yang minimal dengan menggunakan fungsi utilitas. Kebaruan dari penelitian ini adalah penyusunan model fungsi utilitas dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy yang menghubungkan keragaman iklim dengan alternatif teknologi budidaya tanaman dengan menggunakan DSSAT sebagai tool, untuk diperoleh pilihan teknologi dengan tingkat risiko iklim minimum, atau memiliki nilai ekonomis yang terbaik. Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Simulasi yang dilakukan menggunakan perbedaan varietas, irigasi dan pemupukan. Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk setiap perlakuan, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen. Kerentanan terhadap
produksi tanaman tertinggi pada musim tanam kedua (MK1), sehingga penanaman untuk waktu tanam ini perlu diantisipasi dengan persiapan yang lebih awal. Hal itu terkait dengan informasi prakiraan iklim yang diberikan, dan pilihan waktu tanam dan teknologi yang diterapkan. Tanggal tanam merupakan peubah yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan, hal tersebut diindikasikan oleh error (RMSE) yang dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan. Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas. Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina didasarkan pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT Kecamatan Pacitan. Dengan menarik garis batas BC Rasio pada nilai 1.5, penanaman pada tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian lebih baik adalah pada 15 Februari hingga 15 Maret. Penanaman pada tahuntahun El-Nino, perlu mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang tahun, terutama dari Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun LaNina, penanaman 15 Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaikbaiknya. Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan. Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh. Kabupaten Pacitan seperti halnya wilayah lain yang memiliki pola hujan monsunal sangat terpengaruh oleh dampak keragaman iklim, yang apabila tidak diantisipasi dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya risiko penurunan hasil tanaman. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan perencanaan tanam yang baik. Untuk mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa hal terkait, diantaranya adalah aplikasi kalender tanam. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani perlu selalu diupdate. Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh hasil karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang Wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
SUCIANTINI G. 261070031
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi : Dr. Rini Hidayati Dr. Eleonora Runtunuwu
Judul Disertasi Nama NRP
: Pengelolaan Risiko Iklim pada Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik : Suciantini : G261070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Rizaldi Boer, M.Sc. Ketua
Prof. Dr.Ir.Irsal Las. M.S. Anggota
Dr. Agus Buono, M.Si,M.Kom Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1. Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian dan Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, atas perkenannya kepada penulis untuk melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar serta mendapatkan beasiswa. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc., atas kesediaannya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan, dukungan dan kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Irsal Las, M.S., dan Bapak Dr. Agus Buono, M.Si, M.Kom, atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing, Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar dan menyusun disertasi ini. 4. Ketua program Studi Klimatologi Terapan IPB (Bapak Prof. Rizaldi Boer, Bapak Dr. Sobri, Bapak Prof. Handoko, dan Bapak Dr. Impron), atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar. 5. Ibu Dr. Rini Hidayati dan Dr. Eleonora Runtunuwu, atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar. Juga kesediaan untuk menjadi Penguji Luar Komisi. 6. Bapak Prof. Ahmad Bey, Bapak Prof.Hidayat Pawitan, dan Bapak serta Ibu Dosen Geomet atas bimbingan, nasihat, selama penulis menjalani perkuliahan. 7. Bpk Prof. Istiqlal Amien, Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA, Dr. Yayan Apriyana, Dr. Ir. Aris Pramudia, M.Si, Ir. Erni Susanti, Dr. Nani Heryani, Haryono, SP,MM. Ir. Elza Surmaini, M.Si, Dr. Popi, Dr. Budi Kartiwa, Fadhlullah Ramadhani, ST, MSc. Slamet Effendi, Drs. Ganjar Jayanto, Pak Suprapto, Wahyu Sukendar, Pak Sidik Talaohu, dan Gina Maulana, ST, atas dukungan moril, dorongan semangat, kerjasama, serta masukan pemikirannya selama penulis menjadi petugas belajar dan menyusun disertasi ini. 8. Rekan rekan peneliti, teknisi, dan staf di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi atas dukungan, kerjasama, dan kemudahan dalam memanfaatkan fasilitas untuk pengolahan data dan penyusunan disertasi.
9. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan, Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan, Ibu Budi beserta Staf, Bapak Reno, Bapak KOPT dan Bapak-bapak POPT Kecamatan di Kabupaten Pacitan dan Bapak/Ibu yang membantu di lapangan, atas dukungan perizinan, koordinasi lapangan dan bantuan data. Juga untuk Pak Agus driver, yang selalu setia mengantar ke lapangan. 10. Bapak Koesnomo Tamkani, atas inspirasi dan transfer ilmu Beliau di lapangan. 11. Rekan seperjuangan mahasiswa S3 Program Studi Klimatologi Terapan IPB, Indah Prasasti atas kekompakan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan. Juga untuk Woro Estiningtyas, dan Salwati atas dukungan dan kerjasamanya. 12. Pak Jun, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Pono, Aziz, Nandang, Pak Udin dan lainlain di Departemen GEOMET atas partisipasinya dan bantuannya dalam berbagai aktifitas kepengurusan akademik. 13. Adik-adik CCROM (Adi, Kiki, Mbak Pipit, Ani, Sisi, Diva, Doddy, Ihsan, Gito, dan lain-lain) atas bantuannya selama masa tugas belajar. 14. Adik-adik yang membantu pengumpulan data di lapang (Icha, Rahmi, Galih, Andrea, Fajar, Fitri, Daniel dan Tamara). 15. Bapak R. Imam Mudrika Sanusi dan Bapak Iyeng Lendrawita beserta keluarga besar, atas do’a, kasih sayang, bimbingan serta dukungan moril. 16. Ayahanda H.O. Suryana (Alm), Ibunda tercinta Hj. Curasih, adinda Bena, Hadi, Yanti, Nur, atas do’a, kasih sayang, bimbingan, dukungan moril dan materil sampai selesainya tugas belajar. Juga untuk April, Rafi, Shaqila dan Afau, atas hari-hari yang menyenangkan. 17. Bapak dan Ibu Mertua, Bapak Damanhuri (Alm) dan Ibu Eti Suhaeti yang selalu memberikan do’a selama masa tugas belajar. 18. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) DIPA TA. 2008-2009, atas dukungan dana selama penelitian berlangsung. 19. Program I-MHERE B2C IPB, atas dukungan penelitian. 20. Mbak Sian dan Teman-teman di Trio, atas bantuannya. 21. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, yang telah turut berpartisipasi mendukung selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan. 22. Terakhir, untuk suami tercinta Ade S Daman atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi dan menghadapi masa tugas belajar penulis yang sangat tidak mudah untuk ditempuh. Penulis berharap semoga do’a, bimbingan, dukungan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi amal sholeh dan mendapat ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di bidang pertanian. Bogor, Agustus 2012 Suciantini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 30 November 1967 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H.O. Suryana (Alm) dan Hj. Curasih. Pendidikan dasar dan menengah penulis tempuh di SD Cibeber I Cimahi, lulus tahun 1980, SMP Negeri Leuwigajah Cimahi lulus tahun 1983, SMA Negeri I Cimahi lulus tahun 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di PS Agrometeorologi Jurusan Geofisika IPB dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi S2 di PS. Agroklimatologi, diselesaikan pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di PS Klimatologi Terapan Fakultas MIPA IPB
memperoleh beasiswa dari Badan
Litbang Pertanian. Sejak tahun 1994 hingga 1998 menjadi staf peneliti di Balai Penelitian Tanaman Hias Jakarta.
Tahun 1998 tercatat sebagai staf peneliti di Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, pada kelti Agroklimat dan Hidrologi (sekarang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumbedaya Lahan Pertanian). Sekarang penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang Agroklimatologi dan Hidrologi. Penulis juga adalah anggota dan pengurus Pusat Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia.
Sepanjang menempuh
pendidikan S3, penulis sudah menghasilkan beberapa tulisan, dan salah satu yang berkaitan dengan disertasi diterbitkan di Jurnal Tanah dan Iklim yang diberi judul “Penentuan Fungsi Risiko pada Pengelolaan Risiko Iklim untuk Mendukung Kalender Tanam Dinamik”.
xv
DAFTAR ISI DAFTAR ISI.........................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xviiiiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviiii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah / Kerangka Pemikiran .................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6 1.4. Keluaran Penelitian....................................................................... 6 1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7 1.6. Kebaruan (Novelty) ....................................................................... 7 1.7. Sistematika Penulisan .................................................................. 7 II.
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. III.
3.1. 3.2.
3.3.
3.4. IV.
SINTESIS PERMASALAHAN PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK ..................................... 11 Kabupaten Pacitan ..................................................................... 11 Roadmap Sektor Pertanian ......................................................... 12 Keragaman dan perubahan iklim dan efeknya terhadap produksi padi .............................................................................. 14 ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan kekeringan .................................................................................. 15 Model Simulasi DSSAT............................................................... 17 Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System) ...................... 20 Bayesian dan Decision Network ................................................ 24 Kalender Tanam ......................................................................... 25 EVALUASI DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP KERAGAMAN HASIL TANAMAN PADA BERBAGAI TEKNOLOGI BUDIDAYA SERTA KELAYAKAN EKONOMI ..................... 33 Pendahuluan .............................................................................. 36 Metodologi .................................................................................. 36 3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 36 3.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak ........................................... 36 3.2.3. Metodologi Penelitian .............................................................. 36 Hasil dan Pembahasan ............................................................... 42 3.3.1. Karakteristik sistem usaha tani di Pacitan ................................ 42 3.3.2.Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan 50 3.3.3. Dampak ENSO terhadap kekeringan ........................................ 57 3.3.4. Analisis hubungan keragaman Iklim dengan sistem usaha tani padi ......................................................................... 60 Simpulan .................................................................................... 70
ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI TEKNOLOGI BUDIDAYA UNTUK PENANGGULANGAN RISIKO IKLIM .......................................... 73 4.1. Pendahuluan .............................................................................. 73 4.2. Metodologi .................................................................................. 74
xvi
4.3.
4.4. V. 5.1. 5.2. 5.3.
5.4. 5.5. VI.
6.1. 6.2.
6.3.
6.4. VII. 7.1. 7.2.
7.3.
7.4.
4.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 74 4.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak .............................................. 74 4.2.3. Metodologi Penelitian .................................................................. 75 Hasil dan Pembahasan ............................................................... 77 4.2.1. Analisis BC Ratio Responden ..................................................... 77 4.2.2. Analisis kelayakan ekonomi teknologi budidaya ........................ 78 Simpulan.................................................................................. 86 PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK DI INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM ............................. 87 Pendahuluan .............................................................................. 87 Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal kalender tanam ........................................................................... 90 Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia ................. 95 5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian ................................... 95 5.3.2. CCROM-IPB dengan BMKG ..................................................... 101 5.3.3. I-MHERE B2C IPB.................................................................. 106 Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini .............................................................................. 108 Simpulan................................................................................... 110 PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK ..................................... 113 Pendahuluan ............................................................................ 113 Metodologi ................................................................................ 114 6.2.1. Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS ....................................................................................... 114 6.2.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS ....................................................................................... 115 Hasil dan Pembahasan ............................................................. 115 6.3.1. Analisis optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS .................................................................................. 115 6.3.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS ....................................................................................... 121 Simpulan................................................................................... 124 PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI ....................................................... 125 Pendahuluan ............................................................................ 125 Metodologi ................................................................................ 126 7.2.1. Penyusunan jejaring bayes (Bayesian Network) ...................... 126 7.2.2. Penyusunan jejaring pengambilan keputusan (Decision Network). ................................................................................... 128 7.2.3. Penyusunan kalender tanam dinamik....................................... 130 Hasil dan Pembahasan ............................................................ 131 7.3.1. Bayesian dan decision network ................................................ 131 7.3.2. Kalender tanam dinamik ........................................................... 133 7.3.3. Rekomendasi Teknologi............................................................ 136 Simpulan................................................................................... 138
xvii
VIII. POTENSI DAN KENDALA PENERAPAN KALENDER TANAM DALAM MENGANTISIPASI KEJADIAN IKLIM EKSTRIM....................... 141 IX. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 149 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 151 LAMPIRAN ...................................................................................................... 157
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9
Gambar 2.10 Gambar 2.11 Gambar 3.1
Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13
Rata-rata luas areal tanam musim kemarau yang dipengaruhi oleh kekeringan pada tahun-tahun El-Nino (Boer et al. 2011) ........................................................................... 2 Kerangka Penelitian ....................................................................... 9 Keterkaitan antar bab Penelitian .................................................. 10 Peta administrasi Kabupaten Pacitan. ......................................... 12 Kemungkinan pergeseran curah hujan di Jawa dan Bali (Naylor et al. 2007). ..................................................................... 15 Sekilas komponen dan struktur modular dari DSSATCSM............................................................................................ .19 Diagam blok Sistem Inferensi Fuzzy (Kusumadewi dan Hartati 2010) ............................................................................... 22 Kalender tanam existing (Lee et al. 2005) .................................... 26 Kalender tanam usulan (Lee et al. 2005) ..................................... 27 Peta kalender tanam level kabupaten untuk skenario tahun basah Pulau Jawa (Las et al. 2007a) ................................ 28 Peta Kalender Tanam level kabupaten untuk tahun basah di Pulau Jawa (Las et al. 2007a). ..................................... 29 Distribusi kalender tanam rata-rata propinsi Kalimantan: (a) Kalimantan Barat, (b) Kalimantan Tengah, (c) Kalimantan Timur, dan (d) Kalimantan Selatan (Runtunuwu et al. 2009). ............................................................ 29 Tampilan untuk masuk ke aplikasi web Kalender Tanam Terpadu ....................................................................................... 31 Tampilan peta tematik kekeringan skala nasional pada Kalender Tanam Terpadu ............................................................ 31 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT v3.5 (Jones et al. 2003).................. 39 Diagram alir evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman hasil tanaman ........................................................... 42 Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan ......................................................................................... 43 Hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Pacitan ........................................................................................ 43 Luas lahan yang diusahakan Responden..................................... 44 Waktu tanam pada MT-1, MT-2, MT-3 menurut Responden .................................................................................. 45 Tanaman yang diusahakan Responden pada setiap musim tanam ............................................................................... 46 Tren produktivitas ubi kayu di Kabupaten Pacitan ........................ 48 Pemakaian benih Responden pada MT-1 .................................... 49 Jarak tanam yang digunakan ....................................................... 50 Rata-rata CH bulanan setiap kecamatan...................................... 51 Rata-rata CH tahunan setiap kecamatan ..................................... 51 Rata-rata curah hujan bulanan dan simpangan baku setiap kecamatan ......................................................................... 52
xix
Gambar 3.14 Gambar 3.15 Gambar 3.16 Gambar 3.17 Gambar 3.18 Gambar 3.19 Gambar 3.20 Gambar 3.21 Gambar 3.22 Gambar 3.23 Gambar 3.24 Gambar 3.25 Gambar 3.26
Gambar 3.27
Gambar 3.28 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 6.1 Gambar 6.2
Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO .......................................................................... 54 Awal musim hujan vs anomali SST Nino4 bulan Agustus............. 55 Panjang musim hujan vs anomali SST Nino4 bulan Agustus........................................................................................ 56 Penyebab gagal panen menurut Responden ............................... 58 Tahun terjadinya kekeringan menurut Responden ....................... 58 Luas terkena dan puso areal padi tahun 1995-2010 .................... 59 Luas areal padi yang mengalami puso tahun 2006-2008 di Pacitan ..................................................................................... 59 Luas terkena kekeringan kecamatan pada tahun 1991, 1994, 1997, 2003, 2007 ............................................................... 60 Luas panen padi bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan....................................................................... 61 Luas tambah tanam bulanan (ha) dan curah hujan tahun 2006 hingga 2009 ........................................................................ 62 Luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten Pacitan dari tahun 1990 hingga 2010 ....................................................... 63 Anomali luas panen padi per tahun di Kabupaten Pacitan ........... 63 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan irigasi dan tanpa irigasi di Kecamatan Pacitan......................................................................................... 66 Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan perbedaan pupuk dan perbedaan irigasi di Kecamatan Pacitan ...................................................................... 66 Plot error pada setiap tanggal tanam ........................................... 70 Diagram alir analisis kelayakan teknologi budidaya ..................... 76 BC Ratio sebagian Responden .................................................... 78 BC Ratio pada tahun-tahun Normal ............................................. 80 BC Ratio pada tahun-tahun El-Nino ............................................. 80 BC Ratio pada tahun-tahun La-Nina ............................................ 81 Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al, 2009) ....................................................... 89 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html) ................. 92 Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial (Syahbuddin 2007) ................................................. 96 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu (Ramadhani et al. 2011).................................................. 98 Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi prakiraan iklim BMKG ................................................ 100 Bayesian network dengan tiga peubah ...................................... 104 Bayesian network....................................................................... 104 Decision network....................................................................... 105 Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al. 2010) ......................................................................................... 107 Model FIS untuk pendugaan nilai risiko...................................... 114 Fungsi keanggotaan untuk Anomali SST Nino4 ........................ 118
xx
Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 6.9 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 Gambar 7.4 Gambar 7.5 Gambar 7.6
Gambar 7.7 Gambar 7.8 Gambar 7.9
Fungsi keanggotaan untuk CHMK.............................................. 118 Fungsi keanggotaan untuk PMH ................................................ 119 Fungsi keanggotaan untuk kekeringan....................................... 119 Contoh pilihan skenario di fuzzy rule .......................................... 120 Contoh output di fuzzy rule......................................................... 120 Hasil verifikasi FIS dengan observasi ........................................ 122 Perbandingan nilai kekeringan observasi dengan hasil keluaran FIS ............................................................................. 123 Bayesian network dengan empat peubah .................................. 127 Decision network........................................................................ 129 Model Kalender tanam dinamik .................................................. 130 Pengkategorian bencana kekeringan (Buono et al. 2011) .......... 131 Peluang kekeringan pada tingkat/kategori kekeringan (K1 hingga K5) di 10 kecamatan di Pacitan................................ 133 Ilustrasi antara peluang terjadinya kekeringan dengan kejadian bencana kekeringan antara tahun 1988 hingga tahun 2007 (Buono et al. 2011) .................................................. 135 Tingkat / kategori kekeringan berdasarkan bayesian.................. 135 Ilustrasi pertanaman berdasarkan tanggal tanam....................... 136 Contoh prediksi kehilangan hasil ................................................ 137
xxi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3a Tabel 3.3b
Tabel 3.4 Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
3.5 4.1 4.2 4.3 4.4
Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 7.1
Prediktor untuk membentuk persamaan hasil tanaman ................... 41 Pola tanam existing petani .............................................................. 47 Pengelompokan tahun-tahun normal, El-Nino dan La-Nina berdasarkan Indeks ONI ................................................................. 53 Pengelompokan tahun-tahun normal, El-Nino dan La-Nina berdasarkan Indeks ONI yang diperbaharui tanggal 5 April 2012................................................................................................ 53 Pengurangan hasil antara perlakuan irigasi dengan tanpa irigasi di Kecamatan Pacitan ........................................................... 65 Persamaan hasil untuk Kecamatan Pacitan ................................... 67 Prediktor untuk mendapatkan persamaan BC Ratio ....................... 77 Ilustrasi penghitungan BC Ratio (Kecamatan Arjosari) ................... 79 Persamaan BC Ratio setiap tanggal tanam .................................... 81 Koefisien persamaan BC Ratio dan kontribusi masingmasing prediktor ............................................................................ 85 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal ................................................................................ 100 Nilai kelima peubah yang digunakan dalam penyusunan bayesian network (Boer et al. 2007) ............................................. 102 Contoh himpunan fuzzy untuk input (Anomali SST Nino 4, PMH dan CHMK) ......................................................................... 116 Contoh himpunan fuzzy untuk output (kekeringan) ....................... 117 Contoh himpunan fuzzy untuk kekeringan Kecamatan Tulakan ......................................................................................... 117 Kategori kekeringan ...................................................................... 128
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu sektor yang berperan penting terhadap perekonomian nasional
adalah sektor pertanian. Sektor ini menyerap sekitar 44,47% dari keseluruhan tenaga kerja Indonesia.
Pada tahun 2006, sektor ini menyumbang 13% PDB
nasional (Daryanto 2007), dan mencapai peningkatan pertumbuhan tertinggi dari Triwulan II 2009 ke Triwulan III 2009, yaitu sebesar 7,3% (Badan Pusat Statistik 2009). Dari tahun 2004 hingga 2008, sektor pertanian berhasil meningkatkan produksi padi dari 54,1 juta ton GKG pada tahun 2004 menjadi 60,3 juta ton GKG pada 2008 atau meningkat rata-rata 2,8% per tahun, bahkan laju peningkatan produksi padi tahun 2006-2008 mencapai 5,2% per tahun. Kenaikan produksi ini menjadikan Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2008. Selain padi, produksi jagung dan kedelai juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 9,5% dan 3,14% per tahun (Ditjen Tanaman Pangan 2009; Apryantono et al. 2009). Namun demikian, sektor pertanian terutama tanaman pangan pada umumnya paling rentan terhadap keragaman dan perubahan iklim (Stern et al. 2006) sehingga upaya adaptasi sangat diperlukan. Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai tingkat kekurangberdayaan sistem usaha tani dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara optimal dalam menghadapi cekaman iklim (Tim Roadmap Sektor Pertanian 2010). Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan.
Kerentanan dipengaruhi oleh tingkat
keterpaparan (exposure) terhadap bahaya dan tingkat sensitivitas adaptif. Hal lain yang berkaitan dengan kerentanan adalah dampak yang ditimbulkan yang mungkin terjadi.
Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara fisik,
produk, maupun secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim (Tim Roadmap Sektor Pertanian 2010). Di
Indonesia,
kejadian
akibat
cekaman
perubahan
iklim
yang
mengakibatkan kondisi iklim ekstrim umumnya dipengaruhi oleh kejadian ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Kejadian El-Nino (periode hangat ENSO) secara signifikan dapat mengurangi curah hujan pada musim kemarau. Selama periode La-Nina, curah hujan meningkat secara signifikan. Akibatnya, selama periode El-
2
Nino musim kemarau akan terjadi lebih panjang dibandingkan pada tahun-tahun normal, dan sebaliknya selama La-Nina, musim kemarau akan berakhir lebih cepat. Keeratan hubungan antara ENSO dan variabilitas iklim di Indonesia terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali pada sebagian wilayah Sumatera (Boer et al.
2011). Pengaruh yang kuat terjadi di sebagian besar wilayah
Kalimantan, Sulawesi dan sebagian Jawa, Nusa Tenggara dan Papua (Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Rata-rata luas areal tanam musim kemarau yang dipengaruhi oleh kekeringan pada tahun-tahun El-Nino (Boer et al. 2011). Fenomena ENSO memungkinkan terjadinya fluktuasi Produksi padi di Indonesia (Naylor 2007, Boer et al. 2011). Kejadian El-Nino dapat menjadi pemicu penurunan produksi padi, akibat penambahan luas areal tanam yang mengalami kekeringan dan puso.
Mundurnya awal musim hujan dapat menyebabkan
mundurnya pertanaman kedua. Pertanaman kedua inilah yang rentan mengalami kekeringan.
Pada periode 1989-2010 untuk tingkat nasional, akumulasi luas
tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 117 ribu sampai dengan 1,1 juta ha dan puso 8 ribu sampai dengan 263 ribu ha (Direktorat Perlindungan Tanaman 2011), terutama pada tahun-tahun El Nino. Tingkat kerentanan pertanaman padi di suatu wilayah, tergantung pada tingkat kesiapan wilayah tersebut dalam menghadapi bencana.
Dengan
melakukan antisipasi yang baik dari semua sektor terkait, akan membantu petani dalam mengeliminir kerugian yang mungkin terjadi, karena sosialisasi yang baik terhadap petani dalam menyesuaikan kegiatan pertanamannya akan memberikan dampak yang signifikan, sejauh aplikasi yang dilakukan petani dalam merespon
3
informasi yang disampaikan.
Oleh karena itu, penjadwalan tanam dengan
memperhitungkan kemungkinan kejadian iklim ekstrim yang tertuang dalam suatu kalender tanam merupakan salah satu solusi. Manfaat dari kalender tanam adalah untuk memandu petani dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, mengingat pentingnya jadwal penanaman, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman hingga panen. Dalam mengintegrasikan dan menganalisis berbagai faktor atau informasi penting dalam pelaksanaan strategi budidaya tanaman padi dalam kaitannya dengan perubahan dan keragaman iklim, diperlukan suatu kemasan pemodelan. Model tersebut merupakan gambaran pada kondisi bagaimana suatu informasi iklim dan budidaya yang diaplikasikan dapat dikatakan memiliki risiko gangguan iklim terendah secara sosial ekonomi.
Pemodelan yang dimaksud merupakan
suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utilitas yang dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam serta analisis sosial ekonomi dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman.
Dalam penyusunan model utilitas tersebut digunakan
sistem inferensi fuzzy. Informasi iklim yang dikeluarkan lembaga-lembaga penelitian dalam kaitannya untuk peningkatan produktivitas tanaman padi sudah banyak dilakukan. Salah satu informasi penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah kalender tanam.
Informasi kalender tanam tanaman pangan secara
nasional sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007. Produk kalender tanam yang sudah dihasilkan adalah Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan 1:1.000.000 dan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan 1:250.000 untuk Pulau Jawa (Las et al. 2007), Pulau Sumatera (Las et al. 2008), Pulau Kalimantan (Las et al. 2009a), Pulau Sulawesi (Las et al. 2009b), dan wilayah Indonesia timur yang meliputi tujuh provinsi (Bali, Maluku Utara, Maluku, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat), (Las et al. 2010). Adapun manfaat dari kalender tanam adalah untuk memandu petani dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, mengingat pentingnya jadwal penanaman, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman, dan panen. Informasi kalender tanam yang dibuat oleh Kementerian Pertanian tersebut mengembangkan kalender tanam untuk tahun kering, normal dan basah (Las et al.
4
2007). Kalender tanam yang sudah dikembangkan saat ini membagi tiga bentuk pola tanam rekomendasi pada tahun ENSO dan tahun normal, namun belum memperhatikan sifat (intensitas dan lama siklus) dari fenomena tersebut. Output yang dihasilkan berupa Atlas waktu tanam yang terbagi ke dalam empat skenario, yaitu existing petani, waktu tanam tahun Normal, waktu tanam tahun La-Nina dan tahun El-Nino. Data yang digunakan merupakan data rata-rata historis jangka panjang. Kalender tanam ini mulai tahun 2011, diupdate setahun tiga kali, dan pada perkembangannya menyertakan juga hasil prakiraan musim BMKG. Sejalan dengan itu, tahun 2007 Boer et al. juga melakukan riset terkait kalender tanam yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim, sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan Bayesian network dan decision network.
Dalam Decision Network (DN),
keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al. 2010). Informasi dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam. Hal itu sejalan dengan pendapat Lo et al. (2007) dan Robertson et a.l (2009) yang menyatakan bahwa awal musim serta kekuatan dan durasi dari musim hujan merupakan karakteristik kunci dari keragaman hujan dan berkaitan dengan kuat pada keragaman pola ENSO. Decision yang dihasilkan oleh Boer et al. (2007) baru mencakup waktu tanam.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan kalender tanam yang sudah
dihasilkan, dilakukan penelitian dengan menambah decision yang dikeluarkan. Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya.
Pemodelan tersebut
dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas padi, yang dikuantifikasi berdasarkan komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman. Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan
5
kerugian yang dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang digabung
dengan
hasil
simulasi
DSSAT
(Decision
Support
System
for
Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah jenis teknologi tersebut. Adapun tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan kalender tanam dinamik sebagai alat bantu pengambil keputusan dalam menyusun strategi pertanaman yang dapat meminimalkan risiko iklim tetapi di sisi lain akan meningkatkan keuntungan ekonomi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) pada suatu usaha tani pada suatu musim tertentu yang memberi produksi maksimal dengan tingkat kerugian yang minimal dengan menggunakan fungsi utilitas.
1.2.
Perumusan Masalah / Kerangka Pemikiran Keragaman hasil tanaman semusim di Indonesia sangat berkaitan erat
dengan keragaman curah hujan.
Bahkan pada kondisi iklim ekstrim, produksi
pertanian terutama tanaman pangan sangat terpengaruh.
Sektor
pertanian,
terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, teutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las et al. 2008). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.
Awal masuk, lama dan sifat musim yang merupakan kunci dalam
menentukan keragaman hasil tanaman, sangat dipengaruhi oleh fenomena global seperti ENSO, IOD dan lainnya (Lo et al.
2007; Robertson et al. 2009).
Mundurnya awal musim hujan akan menggeser pola dan rotasi tanaman yang menyebabkan risiko tanaman kedua terkena kekeringan meningkat. Sementara
6
peningkatan hujan yang signifikan sampai jauh di atas normal pada musim hujan juga berpotensi menimbulkan banjir. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, perlu diupayakan teknologi budidaya adaptif, sehingga dapat mengurangi dampak dari kejadian iklim ekstrim. Teknologi budidaya adaptif terhadap iklim ekstrim juga sudah dilakukan oleh petani. Dalam kaitan ini, teknologi budidaya adaptif tersebut juga dipilah berdasarkan hasil simulasi DSSAT yang digunakan untuk evaluasi dampak keragaman iklim dan keragaman hasil tanaman pada berbagai teknologi budidaya. Selanjutnya teknologi budidaya adaptif tersebut dievaluasi kelayakannya secara ekonomi,
baik teknologi adaptif yang sudah maupun yang belum digunakan
petani. Dalam menghubungkan keragaman iklim dan teknologi budidaya tanaman, dilakukan penyusunan model utilitas (fungsi risiko) dengan menggunakan system inferensi fuzzy (fuzzy inference system).
1.3.
Tujuan Penelitian 1. Melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman produksi tanaman yang dapat meminimumkan dampak negatif keragaman iklim. 2. Melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap kelayakan ekonomi teknologi budidaya untuk penanggulangan risiko iklim. 3. Menyusun state of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim. 4. Menyusun Decision Network
yang dioptimasi dengan sistem inferensi
fuzzy (Fuzzy Inference System) untuk penyusunan kalender tanam dinamik. 5. Melakukan evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk pengelolaan risiko iklim. 1.4.
Keluaran Penelitian 1. Informasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman hasil tanaman serta teknologi-teknologi budidaya terpilih untuk meminimumkan dampak negatif keragaman iklim. 2. Informasi teknologi-teknologi budidaya terpilih yang layak secara ekonomi untuk meminimumkan dampak negatif keragaman iklim.
7
3. State of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim. 4. Informasi Decision Network yang dioptimasi dengan sistem inferensi fuzzy (Fuzzy Inference System) untuk penyusunan kalender tanam dinamik. 5. Informasi hasil evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk pengelolaan risiko iklim. 1.5.
Manfaat Penelitian Kalender
tanam
dinamik
merupakan
pengembangan
alat
bantu
pengambilan keputusan yang diharapkan dapat membantu otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada musim tanam tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan.
Dengan
demikian dapat membantu dalam mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim ke depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam yang sesuai dengan kondisi iklim, dan diharapkan dapat memperkecil potensi risiko iklim pada musim tertentu. 1.6.
Kebaruan (Novelty) Model fungsi utilitas dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy yang
menghubungkan keragaman iklim dengan alternatif teknologi budidaya tanaman dengan menggunakan DSSAT sebagai tool,
untuk diperoleh pilihan teknologi
dengan tingkat risiko iklim minimum, atau memiliki nilai ekonomis yang terbaik. Mengintegrasikan data dan interpretasi SST Nino4, varietas, pemupukan, Irigasi, dan penggunaan bahan organik, yang digunakan sebagai input untuk menghasilkan opsi-opsi teknologi dan kelayakan ekonomi teknologi dalam penyusunan kalender tanam. 1.7.
Sistematika Penulisan Penulisan disertasi ini direncanakan terdiri atas 9 Bab. Secara khusus Bab
1 membahas tentang latar belakang penyusunan kalender tanam yang didasarkan kepada sektoral roadmap tentang kebijakan pemerintah, perumusan masalah yang mendasari penelitian, tujuan, keluaran, manfaat, kebaruan penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 berupa tinjauan pustaka yang memaparkan sintesis dari penelitian yang berkaitan dengan lokasi penelitian, keragaman iklim,
8
Roadmap Sektor Pertanian, ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan kekeringan, fungsi utilitas, sistem inferensi fuzzy, kalender tanam, Bayesian dan Decision Network dan mengenai model simulasi yang digunakan. Bab 3 membahas mengenai dampak keragaman iklim terhadap produksi padi, dikaitkan dengan sistem budidaya dan teknologi adaptasi serta penggunaan simulasi DSSAT, sebagai tool untuk menilai teknologi terpilih. Bab 4 membahas mengenai tinjauan kelayakan ekonomi pada teknologi budidaya. Bab 5 menguraikan state of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia. Bab 6 menjelaskan mengenai model fungsi risiko atau fungsi utilitas dalam bencana kekeringan dengan menggunakan sistem inferensi fuzzy (Fuzzy Inference System) untuk optimasi decision network dalam pengembangan kalender tanam dinamik. Bab 7 membahas mengenai pemanfaatan kalender tanam dinamik. Bab 8 menjelaskan mengenai potensi dan kendala penerapan kalender tanam serta kebijakan terkait. Bab 8 tersebut merupakan pembahasan menyeluruh dari bab 3 hingga bab 7. Simpulan dan saran disajikan pada Bab 9. Keterkaitan antar Bab secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.2 dan 1.3.
9 Data Seri Iklim
Data Sifat Genetis
Data Tanah
Teknologi Budidaya
Data ENSO
Data Sifat Musim
Bab III DSSAT (Evaluasi dampak keragaman iklim dan keragaman hasil tanaman)
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Data biayabiaya, harga, hasil tanaman
Evaluasi Kelayakan Ekonomi
State of the art Kalender Tanam Dinamik
Sistem Inferensi Fuzzy untuk Decision Network dalam pengembangan Kalender Tanam Dinamik
Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik
Gambar 1.2. Kerangka penelitian
Data Riil Observasi
10
Bab I. PENDAHULUAN
Bab II. Sintesis Permasalahan Pengelolaan Risiko Iklim untuk Sistem Usaha Tani Berbasis Padi melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik Bab III. Keragaman Iklim dan Teknologi Budidaya yang dapat Meminimumkan Dampak Negatif Keragaman Iklim Bab IV. Evaluasi Kelayakan Ekonomi Teknologi Budidaya yang dapat Meminimumkan Dampak Negatif Keragaman Iklim Bab V. State of the art pengembangan kalender tanam dinamik di Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim
Bab VI. Penyusunan Decision network yang dioptimasi dengan Sistem Inferensi Fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik
Bab VII. Evaluasi pemanfaatan model kalender tanam dinamik untuk pengelolaan risiko iklim
Bab VIII. Potensi dan Kendala Penerapan Kalender Tanam dalam Mengantisipasi Kejadian Iklim Ekstrim
Bab IX. SIMPULAN dan SARAN
Gambar 1.3. Keterkaitan antar bab penelitian
11
II.
SINTESIS PERMASALAHAN PENGELOLAAN RISIKO IKLIM UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
2.1.
Kabupaten Pacitan Kabupaten Pacitan yang terletak di bagian paling barat daya Propinsi Jawa
Timur dan berada di kawasan pantai selatan Pulau Jawa berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah daratan 1.419, 44 Km2. Secara administratif terbagi dalam 12 kecamatan, 5 kelurahan, 159 desa dan 1.032 dusun. Letak geografis berada antara 110 ˚55’
– 111˚25’ Bujur Timur dan
7˚55’ – 8˚17’ Lintang Selatan. Sekitar 21% dari luas Kabupaten Pacitan adalah kawasan pegunungan kapur (kars) dengan topografi:
85% wilayah berbukit
sampai bergunung, 10% bergelombang, dan 5% wilayah datar. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di Provinsi Jawa Timur. Hal itu sejalan dengan Wahab et al. (2007) menyatakan bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, luas tanam Kab. Pacitan seluas 13.005 Ha, sedangkan pada MK 2003 seluas 3.071 Ha. Terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso. Luas areal yang terkena bencana alam kekeringan pada MK-2003 adalah 2.074,67 Ha. Dari jumlah tersebut 1.570,67 Ha mengalami puso. Kabupaten Pacitan adalah
Bila rata-rata produktivitas padi di
38,5 kw/ha GKG, maka terjadi kehilangan hasil
produksi padi sebesar 79,87 ton GKG atau sekitar 67.56%. Dari hasil survei yang dilaksanakan pada 2(dua) desa menunjukkan bahwa semua petani mengalami kekeringan dalam berusahatani terutama untuk tanaman pangan (padi + palawija). Walaupun kekeringan yang melanda hampir terjadi setiap tahun, tetapi kekeringan paling serius yang dialami petani pada 5 (lima) tahun terakhir adalah terjadi pada tahun 2003 (Wahab et al 2007). Akibat kekeringan tahun 2003, luas panen tanaman padi mengalami penurunan sebesar 12,2 % dibanding luas tanam tahun 1999, sedangkan produksi terjadi penurunan lebih besar yaitu mencapai 15,2 %. Bahkan untuk tanaman kedelai telah terjadi penurunan lebih besar yaitu pada luas panen sebesar 28,5 %, sedangkan untuk produksi mencapai penurunan sebesar 23,8 % (Wahab et al. 2007).
12
Gambar 2.1 Peta administratif Kabupaten Pacitan 2.2.
Road Map sektor Pertanian Dalam hubungannya dengan pengelolaan risiko iklim terhadap pertanian,
diperlukan suatu acuan, yang tertuang dalam Road Map. Road Map 2012-2020 disusun berdasarkan analisis dan kajian secara komprehensif terhadap dinamika dan skenario perubahan iklim, kerentanan sektor pertanian dan berbagai kebijakan pemerintah terkait.
Road map dipilah berdasarkan tahapan dan waktu
pelaksanaan kegiatan sejak 2012 sampai 2020. Program dan kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam lima bagian utama: (1) penelitian dan pengembangan, (2) diseminasi dan advokasi, (3) antisipasi perubahan iklim, (4) adaptasi dan mitigasi, dan (5) manajemen adaptasi dan mitigasi (Tim Road Map Sektor Pertanian 2011). 1.
Penelitian dan Pengembangan Kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendukung rencana aksi
sektor pertanian secara umum bertujuan untuk melakukan inventarisasi emisi GRK dan penyerapan karbon sektor pertanian, analis dampak perubahan iklim, mencari teknologi mitigasi dan adaptasi, dan menetapkan strategi dan kebijakan.
13
Penelitian adaptasi perubahan iklim sektor pertanian difokuskan pada tanaman pangan dan hortikultura untuk RPJM 2012-2020. Ruang lingkup penelitian adaptasi mencakup pengembangan varietas tanaman yang adaptif, teknik pengelolaan tanah dan air, dan teknik budidaya tanaman. Penelitian mitigasi perubahan iklim difokuskan pada subsektor perkebunan dan pertanian di lahan gambut.
Hasil penelitian akan disintesis untuk menghasilkan usulan kebijakan
dalam pembangunan pertanian, terutama yang berkaitan dengan antisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim. 2.
Advokasi dan Diseminasi Penelitian advokasi kebijakan dan diseminasi teknologi diarahkan bagi
upaya peningkatan pemahaman petani dan masyarakat luas tentang pemanfaatan informasi iklim dan UU/peraturan terkait. Tindakan advokasi diarahkan pada sosialisasi
advokasi
peraturan
perundangan yang
menyangkut
ketentuan
pelestarian lingkungan dan pengembangan dan replikasi SLPTT. 3.
Antisipasi Perubahan Iklim Kegiatan antisipasi bertujuan untuk menetapkan arah dan strategi
kebijakan secara dini, serta menyiapkan program, teknologi, tool, pengembangan kapasitas (capacity building), roadmap dan pedoman umum dalam rangka menghadapi dampak perubahan iklim. Kegiatan antisipasi perubahan iklim tahun 2012-2020 diarahkan pada 1) pengembangan infrasruktur, terutama jaringan irigasi, 2) Pengembangan sistem prediksi hujan dan awal musim, peringatan dini banjir dan kekeringan, 3) penyusunan roadmap, pedoman umum mitigasi dan adaptasi, kalender tanam dinamik, 4) Peningkatan kapasitas SDM dalam pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan 5) Penyusunan dan penerapan (enforcement) peraturan perundangan mengenai lahan pertanian. 4.
Adaptasi dan Mitigasi Program adaptasi iklim mencakup fasilitasi pemerintah untuk aplikasi
teknologi budidaya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim (penyediaan varietas adaptif, fasilitasi penerapan teknik pengelolaan lahan dan air), peningkatan
indeks
panen,
penurunan
risiko
gagal
panen,
peningkatan
produktivitas dan kapasitas irigasi. Mitigasi GRK mencakup ekstensifikasi perkebunan pada lahan terlantar, pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, dan aplikasi teknologi rendah emisi seperti penyiapan lahan tanpa bakar,
14
pengembangan biofuel, penggunaan bahan organik dan pakan ternak rendah emisi. 5.
Manajemen Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Untuk dapat mengukur kerberhasilan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim diperlukan manajemen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup aspek perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
2.3.
Keragaman dan perubahan iklim dan efeknya terhadap produksi padi Perubahan iklim mempengaruhi sektor pertanian baik secara langsung
maupun tidak langsung diantaranya melalui efeknya terhadap suhu dan perubahan curah hujan dalam biologi dan fisik lingkungan (Brown dan Rosenberg 1997 yang diacu dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello 2009). Ketersediaan air merupakan salah satu konsekuensi paling dramatis perubahan iklim untuk sektor pertanian (Mestre-Sanchís
dan
Feijóo-Bello
2009).
Penurunan
kelembaban
tanah
menyiratkan pengurangan yang signifikan pada produktivitas tanaman lahan kering potensial. Di sisi lain, peningkatan hujan lebat berdampak pada erosi dan tanah. Ketika terjadi
perubahan iklim,
produksi tanaman terpengaruh.
Ada
banyak studi yang mempertimbangkan jenis dan jumlah produksi untuk perubahan tanaman tertentu, tempat dan skenario.
Lainnya mencoba memperluas
pengetahuan tentang perubahan produksi dan
dampak ekonomi serta
kesejahteraan daerah mereka (Adams et al. 1990; Brown dan Rosenberg 1997; Brown et al. 2000; Easterling et al. 2000 dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello 2009). Pendekatan yang digunakan untuk menilai respon tanaman untuk perubahan iklim bervariasi dari model regresi sederhana hingga model yang kompleks. Dalam lima tahun terakhir, petani di Jawa dan Sumatera telah mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal yaitu permulaan musim hujan bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kemarau sekitar 10-60 hari lebih cepat (Handoko et al. 2008). Perubahan iklim yang terjadi telah mengubah pola tanam yang dilakukan oleh petani. Secara umum Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang pasokan airnya lebih tersedia, memiliki intensitas tanam yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Jawa. Namun, di kedua
15
provinsi tersebut telah terjadi perubahan pola tanam, yang sebelumnya padi-padipadi menjadi padi-padi-palawija. Hal ini mengindikasikan bahwa petani telah menyesuaikan terhadap adanya perubahan iklim (utamanya berupa penurunan curah hujan dan jumlah bulan hujan) dengan menyesuaikan jenis tanaman yang diusahakan, yaitu dari padi yang memerlukan pasokan air yang banyak ke palawija yang memerlukan lebih sedikit air (Handoko et al. 2008) Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat (Gambar 2.2). Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan kekeringan.
Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007).
Frekuensi banjir meningkat
rainfall
Pola hujan sekarang
Pola hujan mendatang
Frekuensi kekeringan meningkat
Aug
Gambar 2.2
2.4.
Dec
May
Kemungkinan pergeseran curah hujan di Jawa dan Bali (Naylor et al. 2007)
ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan kekeringan Musim hujan di Indonesia dipengaruh oleh El Niño - Southern Oscillation
(ENSO) yang sangat kuat pengaruhnya pada bulan September-Desember (Hamada et al.
2002). Pengaruh ENSO semakin berkurang selama bulan
Desember – Februari (Giannini et al. 2007) sehingga waktu masuknya musim hujan dan kemarau dapat diramalkan dengan memperhatikan kekuatan pengaruh
16
ENSO. Mengingat prediktabilitas variabilitas iklim musiman terkait dengan ENSO, dapat digunakan untuk mengurangi resiko pertanian. Haryanto (1998) menyatakan bahwa curah hujan DAS Citarum terkait erat dengan fase SOI. Baik El-Nino maupun La-Nina hanya berkaitan erat dengan anomali curah hujan pada musim kemarau, sedangkan dengan anomali curah hujan musim penghujan keterkaitan fase SOI dengan curah hujan DAS Citarum menjadi lemah. Bila pada musim kemarau terjadi El-Nino maka anomali terbesar yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -84% atau rata-ratanya -36%. Sedangkan bila terjadi La-Nina, anomali terbesar yang pernah terjadi adalah +65% atau rata-ratanya +39%. Bila pada musim penghujan terjadi El-Nino, maka anomali terbesar yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -31% atau rata-ratanya -5%, sedangkan bila terjadi La-Nina anomali terbesar yang pernah terjadi adalah +8% atau rata-ratanya +5%. Falcon et al. (2006) melakukan pengamatan pengaruh ENSO terhadap keragaman hujan di seluruh Provinsi di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa keragaman curah hujan seluruh Provinsi di Pulau Jawa-Madura, dan Bali secara signifikan dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Lebih lanjut Battisti et al. (2007) menganalisis korelasi ENSO terhadap curah hujan bulanan di Indonesia. Untuk Pulau Jawa, keragaman curah hujannya pada bulan Januari-April tidak berkorelasi dengan fenomena ENSO, curah hujan bulan Mei-Agustus berkorelasi dengan ENSO sebesar 40-60%, sedangkan curah hujan pada bulan September-Desember sangat berkorelasi (Nilai korelasi 80-100%). Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah 2005).
Hal ini
menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini. Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal.
Pengamatan terhadap
tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap 1oC peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal (Boer dan Subbiah 2005).
17
Salah satu penyebab terjadinya kekeringan adalah musim hujan berakhir lebih awal dari biasanya atau dari normalnya. Menurut Boer et al. (2009), pada saat fenomena El-Nino berlangsung, pada banyak daerah musim hujan dapat berakhir lebih cepat dari biasanya atau hujan mendadak hilang pada bulan-bulan berikutnya, sehingga tanaman kedua terkena kekeringan.
Masalah ini muncul
karena pada waktu musim tanam pertama berakhir, hujan biasanya masih banyak dan petani biasanya akan melanjutkannya dengan penanaman kedua.
Setelah
penanaman dilakukan, musim hujan berakhir lebih cepat sehingga tanaman terkena kekeringan. Lebih lanjut Boer et al. (2009) menjelaskan bahwa dampak dari kekeringan yang terjadi adalah kegagalan panen pada tanaman musim kemarau. Gagal panen tidak hanya dapat terjadi pada lahan tadah hujan, tetapi juga pada lahan beririgasi.
Hal ini terjadi karena sumber air utama musim
kemarau adalah air irigasi, tetapi karena hujan turun di bawah normal, maka jumlah air irigasi menjadi berkurang sehingga tidak cukup untuk bisa mengairi semua pertanaman yang ada dan akhirnya menimbulkan masalah kekeringan. 2.5.
Model Simulasi DSSAT The decision support system for agrotechnology transfer (DSSAT) awalnya
dikembangkan oleh ilmuwan jaringan internasional, yang bekerja sama dalam proyek Benchmark Sites Network for Agrotechnology Transfer (Jones et al. 2003), untuk memfasilitasi penerapan model tanaman dalam pendekatan sistem penelitian agronomi. Penyusunan awalnya didorong oleh kebutuhan untuk mengintegrasikan pengetahuan tentang tanah, iklim, tanaman, dan manajemen untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam mentransfer teknologi produksi dari satu lokasi ke lokasi lain di mana tanah dan iklim berbeda (Jones et al. 2003). DSSAT adalah kumpulan program-program independen yang beroperasi bersama-sama. Database menggambarkan cuaca, tanah, kondisi percobaan dan pengukuran, dan informasi genotipe untuk menerapkan model pada situasi yang berbeda.
Perangkat lunak membantu pengguna mempersiapkan database
tersebut dan membandingkan hasil simulasi dengan pengamatan untuk memberi mereka keyakinan terhadap model atau untuk menentukan apakah modifikasimodifikasi diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Jones et al. 2003). Selain itu, program
yang
terdapat
dalam
DSSAT
memungkinkan
pengguna
untuk
18
mensimulasikan opsi untuk pengelolaan tanaman selama beberapa tahun untuk menilai risiko yang terkait dengan opsi masing-masing. DSSAT pertama kali dirilis (v2.1) pada tahun 1989; rilis tambahan dibuat pada tahun 1994 (V3.0) (Tsuji et al. 1994 dalam Jones et al. 2003) Dan 1998 (v3.5) (Hoogenboom et al. 1999 dalam Jones et al. 2003).
Dalam
perkembangannya DSSAT direvisi kembali dengan intinya adalah menyusun cropping system model yang baru (DSSAT-CSM). Tujuan dari DSSAT- CSM (Jones et al. 2003) adalah: 1. Untuk
simulasi
sistem
produksi
tanaman
monokultur
dengan
mempertimbangkan cuaca, genetika, tanah air, karbon tanah dan nitrogen, dan manajemen dalam satu atau beberapa musim serta rotasi tanaman pada setiap lokasi dimana input minimum disediakan. 2. menyediakan sebuah platform untuk menggabungkan modul faktor abiotik dan biotik lainnya secara lebih mudah, seperti fosfor tanah dan penyakit tanaman. 3. untuk menyediakan platform yang memungkinkan seseorang untuk dengan mudah membandingkan modul alternatif untuk komponen tertentu dalam memfasilitasi perbaikan model, evolusi, dan dokumentasi, dan 4. untuk menyediakan kemudahan dalam memperkenalkan CSM ke aplikasi tambahan program dalam suatu modul. DSSAT-CSM memiliki driver program utama, sebuah unit modul lahan, dan modul untuk komponen-komponen utama yang membentuk unit lahan dalam sistem tanaman (Gambar 2.3). Modul Primer adalah cuaca, tanah, tanaman, penghubung tanah-tanaman-atmosfer dan komponen-komponen pengelolaannya. Secara keseluruhan, komponen ini menggambarkan perubahan-perubahan waktu dalam tanah dan tanaman yang terjadi pada satu unit lahan sebagai respons terhadap cuaca dan manajemen. Untuk berjalannya model, DSSAT memerlukan data minimum, mencakup data di wilayah mana model akan dioperasikan, pada cuaca harian selama siklus pertumbuhan, karakteristik tanah pada awal siklus atau urutan tumbuh tanaman, dan pada pengelolaan tanaman (misalnya tingkat pembibitan, aplikasi pupuk, irigasi) (Jones et al. 2003 ; Thorp et al.
2008).
Data cuaca yang diperlukan
mencakup data harian intensitas radiasi matahari total pada bagian atas kanopi tanaman, suhu udara maksimum dan minimum di atas tanaman, dan curah hujan. Namun, diakui bahwa semua data cuaca yang diperlukan untuk wilayah tertentu
19
dan periode waktu tertentu sering tidak tersedia. Dalam kasus tersebut, untuk memenuhi data minimum diupayakan dengan menghitung nilai pengganti atau menggunakan data dari site di dekatnya. Untuk menghitung nilai pengganti, statistik iklim di site tertentu adalah penting dan sangat mungkin diperlukan (Jones et al. 2003).
Gambar 2.3
Sekilas komponen dan struktur modular dari DSSAT-CSM
Model tanaman DSSAT telah banyak digunakan selama 15 tahun terakhir oleh banyak peneliti pada aplikasi yang berbeda. Banyak dari aplikasi ini telah dilakukan untuk mempelajari manajemen pilihan pada lokasi penelitian, termasuk pupuk, irigasi, hama, dan pertanian spesifik lokasi. Aplikasi ini telah dilakukan oleh peneliti pertanian
dari berbagai disiplin ilmu,
sering bekerja dalam tim untuk
mengintegrasikan sistem analisis tanaman dengan menggunakan model bidang penelitian agronomi dan informasi sosial ekonomi untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang kompleks tentang produksi, ekonomi, dan lingkungan. Sebuah aspek penting dari banyak studi ini adalah pertimbangan bahwa cuaca mempengaruhi kinerja tanaman, berinteraksi dengan cara yang rumit dengan tanah dan tanaman.
Peneliti telah menerapkan model-model untuk
mempelajari ketidakpastian produksi tanaman terkait dengan variabilitas cuaca dan risiko ekonomi terkait dengan variabilitas iklim (Jones et al. 2003).
20
Pada DSSAT versi 4.0, tersedia EasyGrapher (Yang dan Huffman 2004) yaitu tampilan grafis dan program validasi statistik yang dirancang untuk model DSSAT. EasyGrapher dapat mempercepat validasi DSSAT output, yang biasanya membutuhkan waktu dan usaha untuk mengekspor output data ke dalam paket statistik eksternal. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membuat grafik validasi, menampilkan simulasi data terhadap kebenaran data tanah dan menghitung statistik validasi seperti root mean square error, mean error, efisiensi peramalan dan t-tes berpasangan. Selanjutnya Thorp et al. (2008) memperkenalkan sebuah prototipe sistem pendukung keputusan (DSS) yang disebut Apollo yang dikembangkan untuk membantu peneliti dalam menggunakan DSSAT model pertumbuhan tanaman untuk menganalisis set data pertanian secara presisi. Karena model DSSAT ditulis untuk mensimulasikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam unit tanah homogen, Apollo DSS memiliki fungsi khusus untuk menjalankan model DSSAT untuk mensimulasikan dan menganalisis variabel dan pengelolaan tanah secara spasial. DSS memiliki modul yang memungkinkan pengguna untuk membangun file input untuk model simulasi spasial di zona standar manajemen, mengkalibrasi model untuk mensimulasikan hasil variabilitas spasial secara history, validasi model untuk musim tidak digunakan untuk kalibrasi, dan memperkirakan respon tanaman dan dampak lingkungan dari nitrogen, populasi tanaman, kultivar, dan dosis irigasi. 2.6.
Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System) Logika fuzzy merupakan salah satu komponen pembentuk soft computing.
Pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lofti A. Zadeh pada tahun 1965. Dasar logika fuzzy adalah teori himpunan fuzzy. Pada teori himpunan fuzzy, peranan derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan elemen dalam suatu himpunan sangatlah penting. Nilai keanggotaan atau derajat keanggotaan atau membership function menjadi ciri utama dari penalaran logika fuzzy tersebut (Kusumadewi dan Purnomo 2010). Dalam banyak hal, logika fuzzy digunakan sebagai suatu cara untuk memetakan permasalahan dari input menuju output yang diharapkan. Logika fuzzy dapat dianggap sebagai kotak hitam yang menghubungkan antara ruang input menuju ke ruang output.
21
Beberapa keunggulan logika fuzzy (Kusumadewi dan Purnomo 2010), diantaranya adalah : 1.
Konsep logika fuzzy yang menggunakan dasar teori himpunan, mudah dimengerti.
2.
Sangat fleksibel, artinya mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan.
3.
Memiliki toleransi terhadap data yang tidak tepat, sehingga jika ada data yang tidak homogen, logika fuzzy memiliki kemampuan untuk menangani data tersebut.
4.
Mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat kompleks.
5.
Dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan.
6.
Dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendali secara konvensional.
7.
Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami, sehingga mudah dimengerti. Pada himpunan tegas (crisp), nilai keanggotaan hanya ada dua
kemungkinan, yaitu 0 atau 1. Pada himpunan fuzzy, nilai keanggotaan terletak pada rentang 0 sampai 1. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan probabilitas menimbulkan kerancuan, karena keduanya memiliki nilai interval [0,1], namun interpretasi nilainya sangat berbeda, antara fuzzy dan probablitas. Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan, sedangkan probabilitas mengindikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil bernilai benar dalam jangka panjang (Kusumadewi dan Purnomo 2010). Ada tiga operator dasar untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy, yang diciptakan Zadeh, yaitu operator AND, OR dan NOT (Kusumadewi dan Purnomo 2010). Tiap-tiap aturan (proposisi) pada basis pengetahuan fuzzy akan berhubungan dengan suatu relasi fuzzy.
Bentuk umum dari aturan yang
digunakan dalam fungsi implikasi adalah : IF x is A THEN y is B Dengan x dan y adalah skalar, dan A dan B adalah himpunan fuzzy. Proposisi yang mengikuti
IF disebut sebagai anteseden, sedangkan proposisi yang
mengikuti THEN disebut sebagai konsekuen. Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System atau FIS) merupakan suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada teori himpunan fuzzy, aturan fuzzy berbentuk IF-THEN, dan penalaran fuzzy (Kusumadewi dan Hartati 2010).
22
Sistem inferensi fuzzy menerima input crisp. Input ini kemudian dikirim ke basis pengetahuan yang berisi n aturan fuzzy dalam bentuk IF-THEN. Fire strength akan dicari pada setiap aturan. Apabila jumlah aturan lebih dari satu, maka akan dilakukan agregasi dari semua aturan.
Selanjutnya, pada hasil agregasi akan
dilakukan defuzzy untuk mendapatkan nilai crisp sebagai output system (Gambar 2.4).
Aturan-1
IF-THEN
fuzzy
crips AGREGASI
INPUT Aturan-n
fuzzy fuzzy
IF-THEN
DEFUZZY
crisp
OUTPUT
Gambar 2.4
Diagram blok Sistem Inferensi Fuzzy (Kusumadewi dan Hartati 2010)
Ada beberapa metode Fuzzy Inference System (FIS) (Kusumadewi dan Purnomo 2010), yaitu : 1.
Metode Tsukamoto Metode Tsukamoto merupakan perluasan dari penalaran monoton, pada metode ini, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-THEN harus direpresentasikan
dengan
suatu
himpunan
fuzzy
dengan
fungsi
23
keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength).
Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata
terbobot. 2.
Metode Mamdani Metode Mamdani dikenal sebagai metode max-min yang diperkenalkan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Untuk mendapatkan output pada metode Mamdani, diperlukan 4 tahapan, yaitu: a. Pembentukan himpunan fuzzy Pada Metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy. b. Aplikasi fungsi implikasi Pada metode Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min. c. Komposisi aturan Ada 3 metode komposisi aturan yang digunakan dalam melakukan inferensi sistem fuzzy, yaitu: max, additive dan probabilistik OR (probor).
Pada Metode Max, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan
cara mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya untuk memodifikasi daerah fuzzy, dan mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR (union). Jika semua proposisi telah dievaluasi, maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap preposisi. Pada metode Additive (sum), solusi himpunan fuzzy diperoleh denagn cara melakukan bounded-sum terhadap semua output daerah fuzzy.
Sedangkan
metode probabilistik OR (probor), solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan product terhadap semua output daerah fuzzy. d. Penegasan (defuzzy) Input dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. Sehingga jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range tertentu, maka harus dapat diambil suatu nilai crisp tertentu sebagai output.
24
3.
Metode Sugeno Penalaran menggunakan metode Sugeno hampir sama dengan penalaran pada metode Mamdani, hanya saja output system tidak berupa himpunan fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan linear. Metode ini diperkenalkan tahun 1985 oleh Takagi-Sugeno Kang, sehingga metode ini sering juga dinamakan dengan metode TSK (Kusumadewi dan Purnomo 2010)
2.7.
Bayesian dan Decision Network Dalam dekade terakhir, Bayesian Network semakin banyak diterapkan
dalam berbagai bidang ilmu. Barton et al. (2008) melaporkan bahwa Bayesian Network juga diterapkan di bawah ketidakpastian pengelolaan lingkungan dan juga untuk pengelolaan air terpadu. Bayesian Network terdiri dari struktur grafis dan deskripsi hubungan probabilistik antara variabel dalam sistem (Borsuk et al. 2004). Oleh karena itu, maka pada Bayesian Network, peluang dari suatu peubah tertentu dapat diketahui kalau diketahui nilai peubah lain. Lebih jauh Borsuk et al. (2004) menyatakan bahwa struktur grafis secara eksplisit merupakan asumsi sebab akibat yang memungkinkan suatu rantai sebab akibat terhubung secara kompleks yang memungkinkan adanya hubungan bersyarat. Setiap hubungan ini kemudian dapat secara independen diukur menggunakan sub model yang sesuai untuk jenis dan skala informasi yang tersedia. Pendekatan ini sangat berguna untuk pemodelan ekologis karena pola diprediksi dapat muncul pada berbagai skala, sehingga dibutuhkan bermacam-macam bentuk model. Sedangkan pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana kaitan dari tiga hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta ketidakpastian dari peubah-peubah dalam Bayesian Network. Decision Network (DN)
atau sering
disebut
juga
sebagai
Influenced
Network
merupakan
pengembangan dari Bayesian Network (BN). Ada tiga hal yang merupakan hal penting dalam suatu Bayesian Network yaitu : •
Himpunan node (setiap peubah diwakili satu node)
•
Link antar dua node (merepresentasikan keterkaitan sebab-akibat dari node sumber ke node terminal)
25
•
Tabel peluang bersyarat pada stiap node dengan syarat parent dari node tersebut. Pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana kaitan dari tiga
hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta ketidakpastian dari peubah-peubah dalam Bayesian Network.
Decision Network merupakan hasil
integrasi antara Bayesian Network dengan keputusan yang diambil dan fungsi utility (fungsi keuntungan/risiko). Decision Network (DN) terdiri dari tiga jenis node, yaitu : a. Chance node : node yang merepresentasikan peubah-peubah dalam BN. Node ini dilambangkan dengan simbol Chance node :
b. Decision node : node yang merepresentasikan peubah keputusan, sehingga nilai dari node ini adalah semua kemungkinan keputusan yang bisa diambil. Decision node dilambangkan dengan : Decision node :
c. Utility node : node yang merepresentasikan nilai resiko yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, nilai dari node ini adalah semua kemungkinan resiko yang bisa terjadi akibat dari keputusan yang diambil dan ketakpastian yang ada pada BN. Utility node dilambangkan dengan : Utility node :
2.8.
Kalender Tanam Sebuah studi mengenai kalender tanam dilakukan di Malaysia oleh Lee et
al. (2005).
Studi ini membahas cara-cara dan sarana untuk mengatasi masalah
kelangkaan air dengan menetapkan kalender untuk jadwal tanam dengan mempertimbangkan curah hujan, sungai yang tersedia dan kebutuhan air irigasi di aliran sebagai acuan. Sebuah pendekatan neraca air dengan menggunakan data cuaca dan curah hujan selama 48 tahun digunakan dalam penelitian ini.
26
Pola tanam existing adalah padi-padi (Gambar 2.5). Kalender tanam dicirikan oleh dua musim: main season dan off season. Dalam jadwal kalender ini, off season berlangsung dari Mei sampai Oktober sedangkan main season dari November sampai April. Pada off season, kalender tanam existing menghadapi kelangkaan air. Varietas yang ditanam merupakan varietas dengan produksi tinggi dan pematangan cepat, dengan durasi pertumbuhan 120-125 hari. Jadwal tanam secara tradisional mengikuti pola curah hujan di Malaysia (Hill, 1977 dalam Lee et al. 2005).
Gambar 2.5
Kalender tanam existing (Lee et al. 2005)
Jadwal penanaman tanaman yang telah disesuaikan untuk menghasilkan manfaat maksimal dari aliran sungai maupun dari distribusi curah hujan ditunjukkan pada Gambar 2.6. Jadwal tanam yang diusulkan memperhitungkan fitur penting sebagai berikut: (1)
periode persiapan lahan bertepatan dengan
curah hujan, (2) target panen dari tanaman dalam periode kering;
dan (3)
menghindari penanaman pada bulan November / Desember dimana intensitas angin musim timur laut pada puncaknya. Dengan demikian, tanaman main-season kemudian harus dijadwalkan antara bulan September dan Februari, sedangkan
27
panen off season ditetapkan antara bulan Maret dan Agustus. Jadwal tanam telah diatur sebagai berikut; tanaman main-season dimulai sebelum dimulainya musim timur laut, dan berakhir dengan panen pada bulan Februari, saat kering. Untuk tanaman off season, ditargetkan untuk panen pada bulan Agustus, menghindari datangnya monsun timur laut pada bulan September.
Kalender tanam yang
diusulkan dapat mengurangi kebutuhan air irigasi sebesar 30% dan 19% masingmasing pada saat main-season dan off season, sehingga jadwal tanam menjadi lebih baik (Lee et al. 2005).
Gambar 2.6
Kalender tanam usulan (Lee et al. 2005)
28
Gambar 2.7
Peta kalender tanam level kabupaten untuk skenario tahun basah Pulau Jawa (Las et al. 2007a)
Penyusunan mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai
TA 2007
(Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera) di Departemen Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan telah menyusun Peta Kalender Tanam Pulau Jawa dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala 1:1.000.000 (Gambar 2.7) dan berbasis kecamatan dengan skala 1:250.000 (Gambar 2.8). Peta ini menggambarkan waktu tanam dan pola tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b). Sedangkan pada tahun 2009, sudah disusun Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi 1:1.000.000 dan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi 1:250.000 (Runtunuwu et al. 2009). Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing kondisi iklim tersebut. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam, sesuai dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu dinamis, karena
29
disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada skala kecamatan, spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Gambar 2.8
Peta Kalender Tanam level kabupaten untuk tahun basah di Pulau Jawa (Las et al. 2007a). 30000
120000
Kalimantan Timur
2007 TN
2004 TB 2003 TN 2002 TN
60000
2001 TK 2000 TN
40000 20000
2004 TB
20000
2003 TN 2002 TN
15000
2001 TK 2000 TN
10000
5000
0
0
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J
Bulan
50000
F
M
A
M
Kalimantan Tengah
J
J
A
S
Kalimantan Selatan
2006 TN
Luas Tanam (ha)
2003 TN
30000
2002 TN 2001 TK 2000 TN
20000
N
D
N
D
2007 TN
100000
2006 TN
2005 TK 2004 TB
O
Bulan
120000
2007 TN
40000
Luas Tanam (ha)
2006 TN 2005 TK
2005 TK
80000
2007 TN
25000
Kalimantan Barat
2006 TN
Luas Tanam (ha)
Luas Tanam (ha)
100000
2005 TK 80000
2004 TB 2003 TN 2002 TN
60000
2001 TK 2000 TN
40000
20000
10000
0
0
J
J
F
M
A
M
J
J Bulan
Gambar 2.9
A
S
O
N
D
F
M
A
M
J
J
A
S
O
Bulan
Distribusi kalender tanam rata-rata propinsi Kalimantan: (a) Kalimantan Barat, (b) Kalimantan Tengah, (c) Kalimantan Timur, dan (d) Kalimantan Selatan (Runtunuwu et al. 2009).
30
Jika diperhatikan kalender tanam per propinsi pada Gambar 2.10, waktu tanam di Kalimantan Barat relatif seragam antar tahun. Tidak terlihat perubahan luas tanam yang signifikan pada tahun normal, tahun basah dan tahun kering. Selain itu juga luas penanaman pada MT2 sangat kecil dibanding dengan luas taman pada waktu MT1. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan kalender tanam Departemen Pertanian juga mulai melakukan sosialisasi kalender tanam. Pada tahun 2007 selain telah dihasilkan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Jawa yang berisikan saran informasi tanggal tanam untuk setiap kecamatan di Pulau Jawa dengan output yang dihasilkan, selain Atlas juga Buku, CD dan WEB.
Kegiatan ini
dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pertanian d seluruh Pulau Jawa. Pada bulan Desember 2007, kegiatan sosialisasi telah dlakukan oleh Litbang Pertanian melalui Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang diikuti oleh Dinas Pertanian di Pulau Jawa. Pada tahun 2008, Litbang Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air juga melakukan kegiatan sosialisasi Kalender Tanam di seluruh Indonesia secara bertahap (Runtunuwu et al. 2009). Materi utama yang disampaikan pada setiap kegiatan sosialisasi ada tiga hal, yaitu (1) Kalender Tanam Untuk Menghadapi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian, (2) Dasar Penyusunan Kalender Tanam, dan (3) Cara membaca Atlas dan Buku Kalender Tanam. Sejak tahun 2010 dirintis pengembangan model kalender tanam dinamik, yang mengakomodasi sifat dinamik perubahan variabel lain penentu sifat iklim, seperti fase SOI dan SST.
Model kalender tanam dinamik diharapkan dapat
mudah digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai alat bantu pengambil keputusan untuk menyusun strategi pertanaman pada musim tanam tertentu yang menyesuaikan dengan kondisi iklim.
Pengembangan alat bantu pengambilan
keputusan tersebut diharapkan juga dapat membantu otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan, sehingga dapat meminimalkan risiko iklim tetapi di sisi lain dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. Kegiatan ini dimulai dengan kegiatan di proyek I-MHERE IPB 2-C (Boer et al. 2010), dan pada saat yang sama risetnya dikembangkan lebih jauh lagi
31
dengan kegiatan KKP3T dengan menggunakan metode yang lebih diperluas cakupannya (Buono et al. 2010). Salah satu pendekatan model kalender tanam dinamik adalah jejaring pengambilan keputusan (Decision Network).
Dalam Decision Network (DN),
keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al. 2010). Informasi dimaksud diantaranya anomali SST yang dapat digunakan sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam. Hal itu sejalan dengan pendapat Lo et al. (2007) dan Robertson et al. (2009) yang menyatakan bahwa awal musim serta kekuatan dan durasi dari musim hujan merupakan karakteristik kunci dari keragaman hujan dan berkaitan dengan kuat pada keragaman pola ENSO.
Gambar 2.10 Tampilan untuk masuk ke aplikasi web Kalender Tanam Terpadu
Gambar 2.11 Tampilan peta tematik kekeringan skala nasional pada Kalender Tanam Terpadu
32
Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian yang dimotori oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian meluncurkan ”Soft Launching Kalender Tanam Terpadu”.
Pada kalender tanam terpadu sudah menggabungkan
teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi yang optimal, diantaranya
varietas,
pemupukan,
metodologi
identifikasi
bencana
banjir,
kekeringan dan OPT serta menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu ditunjang dengan basisdata yang terorganisir dengan baik.
Kalender tanam
terpadu dapat diakses pengguna dan bersifat user friendly.
Pengguna dapat
mengakses dan juga menambahkan data pada feature yang sudah disediakan, sesuai lokasi yang ingin diketahui. Pertanian,
Akses tersedia di situs Badan litbang
http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam Terpadu.
Contoh tampilan dari Kalender Tanam Terpadu disajikan pada Gambar 2.10 dan 2.11.
33
III. EVALUASI DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP KERAGAMAN HASIL TANAMAN PADA BERBAGAI TEKNOLOGI BUDIDAYA 3.1.
Pendahuluan Keragaman iklim terutama curah hujan sangat besar variasinya, sesuai
dengan ruang dan waktu. Ada beberapa hal yang menyebabkan keragaman iklim di Indonesia, seperti letak Indonesia yang berada di antara dua samudera (Pasifik dan Hindia), posisinya diantara pulau-pulau, kondisi kontur dan pegunungan yang mempengaruhi kondisi lokal, dipengaruhi oleh dua sirkulasi besar dunia yaitu sirkulasi zonal (Walker) dan meridional (Hadley), pengaruh angin monsoon, Indonesia juga dilalui garis khatulistiwa yang menyebabkan variasinya hujannya semakin tinggi. Faktor-faktor di atas mempengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia, meskipun besar pengaruhnya bervariasi antara satu dengan yang lain, tergantung pada ruang dan waktu.
Variasi iklim yang cukup besar pengaruhnya adalah
kondisi perubahan suhu muka laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan di Indonesia. Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat. Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan kekeringan.
Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007). Selain curah hujan keragaman iklim dapat juga diakibatkan karena kondisi lain. Penelitian terbaru KP3I (Boer et al. 2008) menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan rata-rata hasil tanaman dan secara langsung juga akan menurunkan tingkat produksi. Dengan menggunakan asumsi bahwa tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan (Skenario 1), diperkirakan pada tahun 2025 produksi padi pada tingkat kabupaten akan mengalami penurunan antara 12.500 ton hingga 72.500 ton. Dengan menggunakan asumsi laju konversi lahan
34
sawah 0.77% per tahun dan tidak ada perubahan indeks penanaman (Skenario 2), maka penurunan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding produksi saat ini berkisar antara 42.500 ton sampai 162.500 ton. Apabila diasumsikan tidak terjadi konversi sawah di Jawa (Skenario 3), pengaruh negatif dari
kenaikan
suhu
terhadap
produksi
padi
dapat
dihilangkan
dengan
meningkatkan indeks penanaman padi. Dengan asumsi indeks penanaman padi dapat ditingkatkan mengikuti skenario 3, tingkat produksi padi tahun 2025 di sebagian besar Kabupaten di Jawa dapat dipertahankan atau bahkan meningkat dibanding tingkat produksi saat ini kecuali di beberapa kabupaten seperti Tulungagung, Kediri, Purworedjo, Wonosobo, Magelang, Sleman, Klaten dan Sukohardjo. Selanjutnya apabila konversi sawah tetap terjadi dengan laju 0.77% per tahun, peningkatan indeks penanaman (Skenario 4) dalam mengurangi dampak negatif kenaikan suhu pada tahun 2025 tidak lagi efektif terutama di kabupaten-kabupaten
di
Jawa
Tengah.
Upaya
peningkatan
IP
dapat
mempertahankan atau meningkatkan tingkat produksi tahun 2025 dari tingkat produksi saat ini pada sebagian kabupaten-kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kejadian kekeringan di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan fenomena El-Nino.
Namun demikian, apabila dikaitkan dengan produksi,
berlangsungnya El-Nino tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan produksi yang mencolok.
Misalnya produksi beras tidak mengalami penurunan yang
drastis akibat kejadian tersebut kecuali tahun 1991, 1994 dan 1997.
Ada
beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kondisi tersebut yaitu (Boer dan Meinke 2002; Malingreau 1987; Bottema
1997):
(a) Perhitungan
produksi didasarkan pada tahun kalender, sementara kejadian iklim ekstrim (ElNino) tidak mengikuti tahun kalendar, (b) Pengaruh El-Nino kuat hanya pada beberapa daerah pusat produksi saja. (c) Adanya perubahan keputusan petani, misalnya dari menanam padi menjadi menanam kedelai akibat kurangnya ketersediaan air pada waktu kejadian El-Nino (d) Terjadinya peningkatan hasil per satuan luas pada lahan beririgasi pada tahun El-Nino karena adanya peningkatan intensitas penurunan produksi juga terjadi setelah tahun El-Nino akibat menurunnya jumlah input (pupuk, pestisida dll) yang diberikan oleh petani sebagai akibat dari menurunnya daya beli.
35
Penurunan dampak negatif keragaman iklim, dilakukan melalui langkahlangkah berupa teknologi antisipasi yang dapat dilakukan. Dalam Sektoral Road Map yang sudah dikeluarkan pemerintah, dibahas mengenai teknologi-teknologi yang dapat diaplikasikan. Di samping itu, teknologi antisipasi dapat digali dari kebiasaan petani setempat yang merupakan indigenous knowledge. Di daerah tertentu, petani mempunyai langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko kehilangan hasil panen, yang sifatnya sudah menjadi kebiasaan setempat.
Di Indramayu Provinsi Jawa Barat dikenal beberapa
teknologi sederhana sebagai teknologi antisipasi, salah satunya adalah sistem culik. Sistem culik adalah suatu teknologi untuk percepatan tanam pada musim kemarau, sehingga kemunduran waktu tanam apabila awal musim hujan mundur, tidak berpengaruh terhadap penanaman musim kemarau.
Sisitem ini terkenal
dengan memanen sebagian kecil lahan lebih cepat, supaya dapat dilakukan pembibitan, dan begitu panen musim hujan, tidak begitu lama untuk transplanting tanaman musim kemarau, supaya tanaman pada musim kemarau tidak mengalami kekeringan, sehingga kegagalan panen dapat ditekan. Evaluasi teknologi adaptasi mengamati teknologi apa yang dilakukan petani, bagaimana variasi sarana produksi yang digunakan petani, misalnya bagaimana pupuknya, berapa takaran yang digunakan, varietas apa yang digunakan, bagaimana sistem irigasinya. Salah satu hal yang dilakukan petani untuk mempercepat panen diantaranya adalah dengan menggunakan varietas genjah. Meskipun pada dasarnya, hal tersebut sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Sedangkan teknologi dari sisi irigasi biasanya yang dilakukan petani adalah dengan membuat sumur bor, sehingga mempunyai cukup persediaan air untuk waktu tanam tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman produksi tanaman terutama padi yang dapat meminimumkan dampak negatif keragaman iklim.
Dengan menggunakan data-data yang
kemudian disimulasikan dalam DSSAT, akan diperoleh keragaman hasil (yield) tanaman berdasarkan skenario atau alternatif teknologi budidaya yang bervariasi. Teknologi budidaya yang menjadi input merupakan teknologi budidaya existing dan skenario.
36
3.2.
Metodologi
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di Provinsi Jawa Timur. Menurut Wahab et al. (2007) bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso dan terjadi kehilangan hasil produksi padi sekitar 67.56%. 3.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak Bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini, yaitu: 1.
Data hujan harian pada beberapa stasiun di Kabupaten Pacitan
2.
Data suhu harian dan bulanan dan data suhu maksimum dan minimum harian
3.
Data intensitas radiasi
4.
Naskah Roadmap Sektor Pertanian 2010-2014
5.
Data sawah Kabupaten Pacitan
6.
Data produksi dan produktivitas padi
7.
Data luas tanam dan panen
8.
Data fisik dan kimia tanah
9.
Data penggunaan pupuk existing
10.
Data irigasi
11.
Data varietas existing
12.
Data pola tanam existing
13.
Data tanah, meliputi fisik dan kimia tanah
3.2.3. Metodologi Penelitian
3.2.3.1.
Survai Teknologi Budidaya untuk mengetahui karakteristik sistem usaha tani padi di Pacitan
Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui teknik wawancara (survai) dan dipandu dengan kuisioner. Survai sistem usaha tani dimaksudkan untuk memahami model pola tanam, varietas yang digunakan, pemupukan, irigasi dan kejadian kekeringan yang dihadapi oleh petani di lokasi penelitian. Survai dilakukan di beberapa desa
37
terpilih yang didasarkan kepada kerentanannya terhadap kondisi kekeringan, namun demikian didominasi oleh sistem usaha tani berbasis padi. Pengambilan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Stratifikasi sampel berdasarkan golongan sistem pengairan yaitu irigasi teknis, setengah teknis dan non-teknis (tadah hujan). Survai dilaksanakan di Kecamatan Pringkuku, yang meliputi dua desa, yaitu Desa Pringkuku dan Desa Candi.
Desa Pringkuku mewakili wilayah
penelitian yang respondennya bervariasi. Ada petani yang menggunakan cara irigasi penuh, semi serta tadah hujan. Luas lahan kering di lokasi ini sangatlah besar persentasenya dari luas tanam tanaman pangan keseluruhan. Desa Candi mewakili lokasi yang menggunakan irigasi penuh. Informasi yang dikumpulkan melalui survai meliputi: -
Sumberdaya Pertanian.
Bentuk informasi ini antara lain meliputi status
kepemilikan lahan, jadwal pergiliran tanaman per tahun (pola tanam), produksi, sumber air di musim kemarau dan musim hujan, varietas, penggunaan pupuk dan informasi penunjang lainnya. -
Masalah Iklim. Kejadian bencana iklim yang diidentifikasi adalah kekeringan. Informasi yang diperlukan antara lain frekuensi dan distribusi waktu kejadian. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Pacitan,
Dinas Binamarga dan BMKG daerah.
Data yang dikumpulkan meliputi; data
penggunaan lahan, varietas, kebiasaan budidaya petani, status irigasi lahan pertanian, luas tanam dan panen, data iklim terutama curah hujan harian dan bulanan, data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan, data harga komoditas pertanian, bencana iklim (banjir, kekeringan, angin kencang). Pengumpulan data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan serta data iklim dari instansi terkait untuk mengetahui potensi curah hujan dalam kondisi iklim normal, basah, dan kering.
Pola tanam mencakup waktu tanam, intensitas
tanam, dan rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani selama satu tahun di masing-masing wilayah (desa).
Selain itu, untuk mengetahui perubahan kondisi
ENSO, dikumpulkan data ENSO. Hasil survai kemudian ditabulasi sesuai kebutuhan untuk pengolahan data. Sebagian satuan data yang tidak sama dilakukan konversi. Pengolahan data umumnya ditujukan untuk melihat persentase responden terhadap kondisi atau permasalahan tertentu. Selanjutnya persentase responden ini digunakan sebagai
38
acuan pengambilan kesimpulan untuk permasalahan tertentu, terutama ditujukan untuk melengkapi mengenai informasi karakteristik usaha tani padi di Pacitan. 3.2.3.2.
Analisis karakteristik ENSO dan hubungannya dengan sifat hujan
Analisis ini didasarkan kepada karakteristik ENSO pada tahun-tahun ElNino, Normal dan La-Nina yang dihubungkan dengan sifat curah hujan jangka panjang. Karakteristik ENSO diperoleh berdasarkan indikator suhu permukaan laut (SST pada NINO 4). Adapun tahapan analisis adalah sebagai berikut : a.
Data mengenai keterkaitan antara fenomena ENSO dengan kejadian iklim ekstrim dan bentuk informasi iklim yang diperlukan untuk penyusunan pola tanam direkapitulasi dan diolah secara statistik deskriptif dan disajikan hasilnya dalam bentuk tabulasi atau grafik sesuai kebutuhan.
b.
Data ENSO yang digunakan menyangkut data SST terutama pada NINO 4. Data yang diperoleh kemudian dihubungkan dengan kondisi curah hujan menyangkut lama musim hujan dan sifat musim.
3.2.3.3.
Analisis dampak ENSO terhadap kekeringan
Berdasarkan karakteristik ENSO, dilihat bagaimana hubungannya terhadap bencana kekeringan dengan menggunakan analisis statistik, menyangkut luas maupun bentuk bencana yang terjadi.
3.2.3.4.
Analisis hubungan keragaman iklim dan kinerja SUT Padi
Dampak keragaman iklim jangka panjang kaitannya dengan produksi, dikaji melalui tahapan sebagai berikut: a.
Data iklim menyangkut data curah hujan, suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan suhu udara minimum harian digunakan sebagai input untuk menghitung file .wth, yaitu salah satu file yang dibutuhkan dalam proses simulasi DSSAT.
File .wth diperoleh dengan memasukkan data-data
tersebut dalam format excel, dan dipanggil di software Math lab. terlebih
dahulu
ketersediaannya.
disusun
berdasarkan
urutan
tahun,
sesuai
Data
dengan
DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology
39
Transfer) adalah paket perangkat lunak yang mengintegrasikan pengaruh tanah, fenotipe tanaman, cuaca dan pilihan manajemen (Jones et al. 2003).
Gambar. 3.1 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT v3.5 (Jones et al. 2003) b.
Sebagai input untuk simulasi DSSAT, selain data iklim adalah data fisik dan kimia tanah menyangkut penggunaan pupuk tertentu, data varietas, irigasi, dan skenario penggunaan alternatif-alternatif teknologi. Data tanah diperoleh melalui pengambilan sampel tanah.
Dengan
menggunakan peta land system sebagai acuan, diperoleh beberapa lokasi pertanian yang mempunyai karakteristik tanah yang berbeda. Berdasarkan penentuan ini dilakukan pengambilan sampel tanah, dengan membedakan lahan sawah dan lahan kering pada beberapa kecamatan. Kecamatan yang diambil sampel tanahnya meliputi, Kecamatan Pacitan, Arjosari, Kebon Agung, Ngadirojo dan Pringkuku. Di Kecamatan Pacitan, sampel diambil dari Desa Kayen, Mentoro dan Arjowinangun, dengan kategori tanah sawah. Di Kecamatan Arjosari diambil dari Desa Burang dengan kategori tanah sawah.
Di Kecamatan Kebon Agung diambil dari Desa Kebon Agung
dengan kategori sawah.
Di Kecamatan Ngadirojo, pengambilan sampel
untuk kategori tanah sawah irigasi diambil dari Desa Ngadirojo, Cokro Kembang, dan Desa Tanjungpuro, sedangkan untuk kategori lahan kering
40
diambil dari Desa Hadiwarno dan Sidomulyo.
Di Kecamatan Pringkuku,
sampel di ambil dari Desa Candi dan Pringkuku yang mewakili tanah sawah, serta Desa Pringkuku yang mewakili kategori lahan kering. Sampel tanah untuk analisis fisik diambil dari dua kedalaman dengan menggunakan ring sampel, sedangkan untuk analisis kimia diambil secara komposit. Adapun analisis yang dilakukan adalah tekstur 3 fraksi (pasir, debu dan liat), pH, COrganik, N-Kjedahl, P tersedia, K tersedia, K-dd, Al-dd, NH4, NO3, Ca tersedia, bulk density, dan lain-lain. c.
Penelaahan teknologi adaptasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelaahan teknologi adaptasi yang dilakukan secara global dan penelaahan teknologi adaptasi yang dilakukan oleh petani setempat.
Penelaahan teknologi
didasarkan pada komponen teknologi apa yang digunakan oleh petani, seperti pupuk, varietas, irigasi dan juga terhadap teknologi-teknologi yang sudah dilakukan petani dalam waktu lama yang mungkin saja merupakan kearifan lokal. d.
Proses berikutnya adalah pemilihan perlakuan yang digunakan, banyaknya tahun untuk evaluasi dan running simulasi.
e.
Output dari hasil simulasi DSSAT adalah diantaranya ‘hasil’ dalam kg, yang menyatakan hasil pada tahun tertentu sesuai perlakuan yang digunakan.
f.
Masukan teknologi yang bervariasi akan memberikan keragaman hasil yang cukup menyebar.
Berdasarkan hasil yang tertinggi, dengan menelaah
teknologi yang digunakan, kemudian dilakukan pemilihan teknologi-teknologi budidaya. Proses tersebut disajikan pada Gambar 3.2. g.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang diproses dengan regresi menggunakan minitab ver. 14. Persamaan tersebut berasal dari prediktor yang beberapa diantaranya dibuat variabel dummy (Tabel. 3.1).
Untuk prediktor yang memberikan pengaruh yang signifikan, diberi
garis bawah pada persamaan, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf α=0.05.
41
Tabel 3.1 Prediktor untuk membentuk persamaan hasil tanaman No.
Prediktor
Keterangan
1.
V menunjukkan varietas, 0=IR 64, 1=IR 8
2.
AnoSSTNino4 adalah anomali SST Nino 4 bulan Agustus
3.
CHfase1 adalah curah hujan fase 1 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 1-55 hari)
Keluaran DSSAT
4.
CHfase2 adalah curah hujan fase 2 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 56-75 hari)
Keluaran DSSAT
5.
CHfase3 adalah curah hujan fase 3 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 76-95 hari)
Keluaran DSSAT
6.
Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm
Variabel dummy
7.
Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. -1 = Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0 = Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1 = Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi anjuran untuk Kecamatan Pacitan)
8.
Variabel dummy
Variabel dummy
Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. Variabel dummy 0 = tanpa BO, -1 = diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha, 1 = diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha ___________________________________________________________________ Keterangan : CH fase berdasarkan data curah hujan hasil keluaran simulasi DSSAT
42
Data iklim, sifat genetis, tanah, dan alternatif teknologi
Data irigasi dan SST Nino 4 bulan Agustus
Curah hujan fase1, 2 dan 3 (output DSSAT)
DSSAT
Hasil prediksi keluaran model simulasi
Opsi teknologi
Persamaan hasil
Pilihan teknologi
TEKNOLOGI REKOMENDASI berdasarkan Persamaan hasil terbaik
Gambar 3.2 Diagram alir evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman hasil tanaman
3.3.
Hasil dan Pembahasan
3.3.1. Karakteristik Sistem Usaha Tani di Pacitan Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan (2009) menyatakan
bahwa dari 12 Kecamatan di Kabupaten Pacitan, semua
kecamatan melakukan pertanian tanaman pangan dengan persentase terbesar di Kecamatan Nawangan (15%), Kebon Agung dan Tulakan (14%).
Persentase
tersebut didasarkan kepada luas sawah yang diusahakan pada setiap kecamatan (Gambar 3.3).
43
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan
Hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Pacitan
Secara umum Kabupaten Pacitan memiliki empat tipe irigasi, yaitu sawah dengan irigasi teknis seluas 264,17 Ha (0,19%), irigasi semi teknis sekitar 2.130,01 Ha (1,54%), irigasi sederhana sekitar 3.313,99 Ha (2,39%) dan sawah tadah hujan sekitar 6.707,09 Ha (4,85%). Irigasi teknis terluas dapat ditemukan di Kecamatan Ngadirojo, sedangkan irigasi semi teknis terluas di Kecamatan Bandar. Lahan tadah hujan terluas di Kecamatan Nawangan, yang merupakan sentra tanaman pangan terbesar di Pacitan. Di samping lahan tadah hujan yang cukup luas, Kabupaten Pacitan juga memiliki lahan kering (tegalan) yang cukup luas, yaitu sekitar 125.971,90 Ha
(Anonimus 2006).
Dari total luasan untuk lahan
sawah dan lahan kering sekitar 44.230 ha, maka 21.931 ha merupakan lahan kering dengan hanya ditanami palawija satu kali setahun (sumber Dinas Pertanian
44
dan Peternakan Kabupaten Pacitan 2010). Gambaran pertanaman pada kedua tipe lahan tersebut disajikan pada Gambar 3.4. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al. 2007), bahwa wilayah Pacitan yang cukup kritis terhadap bencana adalah wilayah sebelah barat meliputi Kecamatan Punung, Donorojo dan Pringkuku. Maka lokasi survai kemudian terpilih di Kecamatan Pringkuku, yang ditinjau dari segi pengairan maupun pola tanamnya relatif tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Donorojo maupun Punung. Untuk Kecamatan Pringkuku sendiri, lokasi diutamakan di Desa Pringkuku, yang dianggap sudah mewakili dari beberapa tipe irigasi.
Ada 4 tipe
irigasi di Pacitan, yaitu; irigasi teknis, irigasi semi teknis, irigasi swadaya dan lahan kering.
Ketiga sistem irigasi sudah terwakili di Desa Pringkuku, kecuali irigasi
teknis, yang banyak dilakukan di Desa Candi. Sehingga pengambilan sampel berikutnya ke Desa Candi. Survai ke petani dilakukan melalui wawancara mendalam. Diambil 75 sampel dari Desa Pringkuku dan 25 sampel dari Desa Candi. Pengambilan sampel di wilayah ini dianggap sudah mewakili kondisi Pacitan secara keseluruhan. Responden di Pacitan sebagian besar mengusahakan sendiri pertanaman tanaman pangannya, hanya sebagian kecil yang sewa atau maro.
Luas lahan
yang diupayakan Responden sebagian besar berada pada luas < 1 ha. Hanya sekitar 10% yang > 1 ha. ND >1 ha 0.76-1.00 ha 0.51-0.75 ha 0.26-0.50 ha <= 0.25 ha 0
5
10
15 20 25 Persentase Responden
30
35
40
Gambar 3.5 Luas lahan yang diusahakan Responden
Pola budidaya pertanian dalam penelitian dimaksudkan sebagai kombinasi dari Varietas, Pengolahan tanah, dan jarak tanam, pemupukan dan awal penanaman.
Pola tanam pada sawah dengan irigasi teknis secara umum
45
mencakup padi-padi-padi yang dimulai umumnya pada bulan Oktober, November atau Desember dan berakhir pada bulan September. Pertanaman MT II, dominan dilakukan Responden pada bulan Maret. Sebagian Responden ada juga yang melakukan penanaman MT II pada bulan Februari dan April. Penanaman MT III semakin berkurang dan dilakukan Responden pada bulan Juni dan Juli. Pertanaman padi musim tanam pertama (MT I) menggunakan varietas dengan umur sekitar 100-110 hari, sedangkan untuk MT II dan MT III menggunakan varietas yang lebih genjah. Varietas-varietas genjah (yang berumur pendek) tersebut diantaranya adalah : Situ Bagendit, Situ Patenggang, dan Batu Tegi.
Namun demikian, pola tanam seperti ini hanya digunakan oleh sebagian
kecil petani yaitu mencakup sekitar 434 ha. Selain pola tanam padi-padi-padi, pada lahan sawah irigasi teknis juga terdapat pola tanam padi-padi-palawija. Pola tanam ini cukup luas digunakan oleh Petani Pacitan yaitu sekitar 4.176 ha. Keserempakan waktu tanam, mempunyai toleransi lebih kurang 2 minggu. Jika hujan 3 kali berturut-turut dalam jumlah yang cukup, petani sudah melakukan penanaman. Tetapi jika hujan kurang lebat, petani ragu untuk mulai melakukan penanaman, sehingga waktu bertanam menjadi tidak seragam.
45 MT1
Persentase Responden
40
MT2
35
MT3 30 25 20 15 10 5 0
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Gambar 3.6
Jul Agus
Waktu tanam pada MT I, MT II, MT III menurut Responden
46
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
MT-3 MT-2 MT-1
Gambar 3.7 Tanaman yang diusahakan Responden pada setiap musim tanam
Berdasarkan catatan dari Responden diketahui bahwa pada umumnya penanaman pada MT-1 adalah >90% padi monokultur, dan hanya sebagian kecil yang menanam padi ditumpangsarikan dengan palawija. Tanaman pada MT II, lebih bervariasi, karena pada umumnya petani sudah memahami kesulitan pengairan untuk pertanaman padi, meskipun untuk sebagian kecil wilayah ada yang mengusahakan padi bahkan hingga pertanaman ke 3, seperti di Desa Candi Kecamatan Pringkuku. Varietas yang banyak digunakan di Pringkuku adalah Ciherang (110 hari) dengan produksi 4-6 ton/ha (di lahan sawah) dan 2-4 ton/ha (di lahan kering). Varietas lain yang cukup bagus di Pringkuku adalah Situ Bagendit, tetapi karena adanya serangan hama, petani kurang berminat untuk menanam kembali. Sedangkan di Kecamatan Ngadirojo, yaitu salah satu sentra padi di Pacitan, produksi padi sawah mencapai 5-8 ton/ha, dan kalau menggunakan Hibrida, produksi rata-rata 8-11 ton/ha. Varietas yang digunakan di Ngadirojo : Ciherang, IR 64, Cibogo, Situ Bagendit. Terdapat variasi pola ketatalaksanaan usaha tani dikaitkan dengan kondisi iklim dan produktivitas lahan di wilayah kajian.
Pola tanam existing petani di
Kecamatan Pringkuku dan Ngadirojo disajikan pada Tabel 3.2.
47
Tabel 3.2 Pola tanam existing petani Kecamatan
Pola tanam
Karakteristik wilayah
Pringkuku
Padi-padi-bera Dominasi lahan kering Padi-padi-padi Padi-kedelai-bera Padi-kacang tanah-bera Padi-kedelai-sayuran Padi-kedelai-kacang hijau Padi-kacang tanah-sayuran Padi gogo/jagung/ketela pohon-kacang tanah
Ngadirojo
Padi-padi Dominasi lahan sawah Padi-padi-padi Padi-padi-palawija Padi-palawija-palawija Palawija (kedelai, jagung, kacang tanah)
Pola tanam pada lahan sawah tadah hujan, umumnya adalah padipalawija/sayuran dan padi-bera. Pola tanam padi-palawija mencakup 1691 ha, dengan penanaman dimulai bulan Desember atau Januari.
Sedangkan pola
tanam padi-bera, mencakup luasan sekitar 5.027 ha. Di lahan kering penanaman lebih cepat, umumnya sekitar pertengahan bulan November
dengan pola
tanamnya adalah 1. padi gogo+palawija – palawija, 2. padi gogo+palawija-bera, 3. palawija-palawija-bera dan 4. palawija saja. Luasan yang menanam palawija saja di lahan kering merupakan luasan terbesar. Lahan kering ditanami padi gogo, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, ubi jalar dan sorgum. Untuk lahan kering selain padi gogo, ubi kayu mendominasi penanaman. Ubi kayu ditanam pada musim tanam kedua setelah padi. Ubi kayu dipanen pada saat menjelang musim hujan, dimana penanaman padi pada musim hujan akan dimulai. Produktivitas ubi kayu dari tahun 1990 hingga 2010 memperlihatkan tren kenaikan (Gambar 3.8). Tren produktivitas ubi kayu tersebut terlihat lebih dipengaruhi oleh penambahan luas tanam dibanding kondisi curah hujan. Hal ini dapat dilihat dari pola curah hujan dari tahun ke tahun sebagaimana yang disajikan pada gambar 3.8.
48
250
4000 3500
200 3000
ku/ha
2000 100
mm
2500
150
1500 1000
50 500 0 1990
1992
1994
1996
1998
2000
CH tahunan (mm)
Gambar 3.8
2002
2004
2006
2008
0 2010
Produktivitas (ku/ha)
Tren produktivitas ubi kayu di Kabupaten Pacitan
Tata cara pengolahan tanah secara umum ada dua, yaitu pengolahan tanah dengan traktor dan pengolahan tanah dengan bajak.
Pada umumnya,
petani di wilayah kajian melakukan pemupukan dengan komposisi Urea
(800
kg/ha) + TSP ( 400 kg/ha)+ pupuk kandang. Dalam hal penanaman awal, terlihat bahwa petani melakukan penanaman secara normal pada kisaran bulan Oktober-November, yaitu dalam hal ini tanam setelah 3 kali hujan dengan intensitas cukup tinggi. Rata-rata petani masih menggunakan pranatamangsa, adanya tolu (Guntur) yang menggelegar sebagai tanda akan mulai musim hujan. Jika ada hujan awal den-gan hitungan satu pacul tanah basah, sekitar 20 cm, petani sudah berani memulai pertanaman. Pada musim rendeng, pembenihan dilakukan dengan sistem “nyegat” (sebar benih pada saat belum ada hujan di lahan langsung, kira-kira 1 bulan sebelum hujan, pada saat hujan benih langsung tumbuh). Hal ini merupakan salah satu teknik adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satu hal yang mungkin terjadi akibat terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran musim, yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu. Salah satu kejadian yang mungkin terjadi di areal penanaman adalah adanya hujan tipuan atau ‘false rain’. Apabila terjadi hujan tipuan, biasanya benih akan rusak, sedangkan apabila tidak ada hujan selama 1 bulan dan untuk selanjutnya hujan turun dengan intensitas yang mencukupi untuk dilakukan penanaman, maka benih dapat berhasil tumbuh dengan baik. Menurut beberapa orang petani, lebih baik menanam segera, karena tanah masih ‘hangat’, hal ini dikaitkan dengan keaktifan
49
mikroorganisma di dalam tanah, yang dapat membantu kesuburan tanah, sehingga hasil panen lebih baik. Pengolahan tanah dilakukan dengan traktor dan pada sebagian petani dengan menggunakan bajak. Penanaman benih di lahan kering dilakukan dengan cara menugal. Bencana iklim yang kerap terjadi di Pacitan adalah kekeringan, apalagi pada topografi pengunungan karst. Namun demikian, banjir juga terjadi karena adanya luapan Sungai Grindulu sebagai pusat pengairan pada irigasi usahatani dan kondisi saluran yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. Produksi pertanaman ditentukan oleh banyak hal, diantaranya adanya OPT (organisma pengganggu tanaman). OPT utama yang berkembang pada tanaman padi dan palawija di Kabupaten Pacitan meliputi : belalang kumbara, tikus, wereng batang cokelat, penggerek batang, ulat grayak, keong mas, uret, Phyricularia oryzae, Xanthomonas oryzae dan cercosphora oryzae.
Berdasarkan hasil survai
pada petani megenai tingkat serangan OPT ternyata tingkat serangan OPT dirasakan petani lebih berat pada musim hujan. ND >50 kg 41-50 kg 31-40 kg 21-30 kg 11-20 kg <=10 kg 0
Gambar 3.9
5
10
15
20 25 30 Persentase Responden
35
40
45
50
Pemakaian benih Responden pada MT-1
Pada usaha tani padi di Pacitan, petani rata-rata menggunakan benih 1020 kg/ha (Gambar 3.9).
Harga benih di pasar sekitar Rp.7000 hingga Rp. 8000,
untuk IR-64 dan Ciherang. Banyak Responden mengusahakan benih sendiri dari pertanamannya. Benih ditanam ke lapang, setelah 20-25 hari di persemaian. Jarak tanam yang digunakan Responden bervariasi antara 10x25 hingga 40x80 cm. Namun umumnya Responden menggunakan jarak tanam 15x30 cm (Gambar 3.10). Pengeluaran untuk tenaga kerja berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 1.100.000.
Hal itu karena banyak Responden melaksanakan sendiri sebagian
50
penyelenggaraan bertaninya, sehingga biaya tenaga kerja tidak dihitung. Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan bersama dengan yang lain adalah tanam, penyiangan dan panen. Untuk kegiatan panen dan tanam, mereka melakukan secara bergotong royong.
Sedangkan untuk pengolahan tanah, sebagian
memakai cangkul, dan sebagian lain menggunakan traktor dengan cara menyewa. Untuk penggunaan pupuk, Responden kebanyakan menggunakan urea, ponska, NPK, dan TSP.
Sedangkan pemakaian KCl hanya ditemukan pada satu
responden.
Gambar 3.10 Jarak tanam yang digunakan 3.3.2. Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan Berdasarkan gambaran pola hujan setiap kecamatan di Pacitan, terlihat bahwa Pacitan seperti halnya wilayah Pulau Jawa lainnya, termasuk dalam pola monsunal dengan satu puncak hujan. Aldrian dan Susanto (2003) memaparkan bahwa El-Nino dan La-Nina di daerah dengan pola hujan monsun kuat pengaruhnya, pada daerah berpola equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan pada daerah berpola lokal tidak jelas. Curah hujan setiap kecamatan bervariasi pada jeluk hujannya, dengan bulan kering antara 2 hingga 5 bulan, dengan ratarata bulan kering 4 bulan (Gambar 3.11). Sedangkan bulan basah antara 4 hingga 6 bulan dan puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari. Hal itu sejalan dengan data yang diperoleh dari sebagian besar Responden di Pringkuku yang menyatakan bahwa puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari.
Curah
hujan rata-rata tahunan bervariasi di atas 2000 mm yaitu antara 2012 (Kecamatan Tegalombo) hingga 2837 mm (Kecamatan Kebonagung) (Gambar 3.12). Awal
51
musim hujan menurut sebagian besar responden umumnya terjadi pada bulan Oktober, sedangkan akhir musim hujan berakhir pada bulan Maret dan sebagian responden lain menyatakan musim hujan berakhir bulan Mei. 600 Arjosari
500
Bandar Donorojo
CH (mm)
400
Kebonagung Nawangan
300
Ngadirojo Pacitan
200
Pringkuku Punung Sudimoro
100
Tegalombo Tulakan
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun Jul bulan
Agu Sep
Okt Nov
Des
Gambar 3.11 Rata-rata CH bulanan setiap kecamatan
CH rata-rata tahunan (cm)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
kecamatan
Gambar 3.12 Rata-rata CH tahunan (bawah) setiap kecamatan Kecamatan Kebonagung merupakan kecamatan yang paling basah dengan hanya memiliki rata-rata dua bulan kering per tahunnya. Sedangkan wilayah yang paling kering di Pacitan, dengan 5 bulan kering terjadi di Kecamatan Arjosari, Pacitan, Pringkuku, Punung dan Tegalombo. Gambaran curah hujan setiap kecamatan yang diwakili dengan rata-rata curah hujan dan simpang bakunya disajikan pada Gambar 3.13. Pola curah hujan pada hampir seluruh kecamatan memperlihatkan gambaran bahwa bulan Agustus merupakan bulan terkering di Pacitan. Sedangkan bulan terbasah umumnya terjadi pada bulan Januari, kecuali di Kecamatan Pacitan, Kebonagung, Sudimoro dan Tulakan.
52
Bandar
400 350 300 250 200 150 100 50 0
600
500 400
400
100
0
0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
400 350 300 250 200 150 100 50 0
100
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
0
Pringkuku
Pacitan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Gambar 3.13
Tulakan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
350 300 250 200 150 100 50 0
Simpangan baku
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Tegalombo
Sudimoro 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Punung
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Rata-rata
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
200
Ngadirojo
Nawangan
Rata-rata
Simpangan baku
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
100
400 350 300 250 200 150 100 50 0
400
CH (mm)
200
200
500
CH (mm)
300
300
Kebonagung
CH (mm)
Donorojo
500
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (mm)
Arjosari
Rata-rata
Simpangan baku
Rata-rata curah hujan bulanan dan simpangan baku setiap kecamatan
Karakteristik ENSO diwakili oleh kondisi curah hujan pada tahun-tahun ElNino dan La-Nina, yaitu pada saat kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Pada saat terjadi El-Nino, curah hujan di wilayah Indonesia umumnya
53
akan berada di bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjangnya). Sebaliknya pada saat terjadi La-Nina, curah hujan akan berada di atas normalnya (di atas rata-rata jangka panjangnya). Hadi et al. (2003) memaparkan bahwa dampak ElNino di wlayah Indonesia yang utama adalah memperparah atau memperpanjang musim kering, sedangkan dampak
La-Nina adalah memungkinkan lebih
banyaknya pertumbuhan awan di musim hujan. Fenomena ENSO terjadi karena adanya perubahan tekanan antara Darwin dan Tahiti, yang menyebabkan berpindahnya massa udara panas, yang berakibat terhadap lebih banyak atau berkurangnya awan-awan hujan. Tabel 3.3a
Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina berdasarkan indeks ONI (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal 1981 1983 1985 1989 1990 1992 1993 1996 2001 2003 2005 2008
Tabel 3.3b
Lemah 1951 1963 1968 1969 1976 1977 2004 2006
Kuat 1957 1965 1972 1982 1991 1997 2009
Lemah 1950 1956 1962 1967 1971 1974 1984 1995 2000
La-Nina Sedang 1954 1964 1970 1998 1999 2007
Kuat 1955 1973 1975 1988
Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina berdasarkan indeks ONI yang diperbaharui tanggal 5 April 2012 (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal 1981 1983 1985 1989 1990 1992 1993 1996 2001 2003 2005 2008
El-Nino Sedang 1986 1987 1994 2002
Lemah 1969 1976 1977 2004 2006
El-Nino Sedang 1951 1963 1968 1986 1987 1991 1994 2002 2009
Kuat 1957 1965 1972 1982 1997
Lemah 1950 1954 1956 1962 1964 1967 1971 1974 1984 1995 2000 2011
La-Nina Sedang 1955 1970 1998 2007
Kuat 1973 1975 1988 1999 2010
54
Berbeda dengan kejadian El-Nino, pada saat terjadi La-Nina, curah hujan turun lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama sehingga waktu tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk pertanaman padi, kondisi La-Nina dianggap cukup menguntungkan. Pengelompokan tahuntahun Normal, El-Nino dan La-Nina berdasarkan indeks ONI (Oceanic Nino Index), seperti yang disajikan pada Tabel 3.3a. Tabel ini selanjutnya diacu dalam analisis penentuan El-Nino maupun La-Nina. Untuk mengetahui sejauhmana respon atau hubungan antara curah hujan di Kabupaten Pacitan dengan ENSO, maka dilihat pola hujan berdasarkan tahuntahun Normal, El-Nino serta La-Nina. Pada tahun Normal, curah hujan >200 mm terjadi pada bulan November hingga bulan Maret (Gambar 3.14). Sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, curah hujan maksimum pada bulan November, Desember, Februari dan Maret. Pada tahun-tahun El-Nino kuat, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember hingga Februari. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin kuat terjadi peristiwa El-Nino, maka curah hujan maksimum menjadi mundur waktunya dibandingkan dengan pada kondisi normal. El-Nino dapat menyebabkan lambatnya onset dan mundurnya awal musim hujan (Lansigan et al. 2000).
Hal lain yang harus diwaspadai adalah terjadinya
penurunan curah hujan yang cukup signifikan pada kejadian El-Nino kuat terutama pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober). 450 400 350
CH (mm)
300 250 200 150 100 50 0 Jan
Feb
Mar
Apr
CH tahun Normal
Mei
Jun
Jul
CH tahun El-Nino
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
CH tahun La-Nina
Gambar 3.14 Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO
55
Bandar
Arjosari
40
Dasarian
36
32 28 28
28 Y= 2.8584X + 30.655 R² = 0.2113 p=0.005** -1
-0.5
0
0.5
1
Y= 1.9761X + 30.207 R² = 0.1441 p=0.039*
24
1.5
20 -1.5
-1
Y = 2.8786X + 28.623 R² = 0.2209 p=0.012*
36
-0.5
0
Y = 2.9149X + 30.809 R² = 0.2537 p=0.002**
24
0.5
1
1.5
20 -1.5
-1
Nawangan
Kebonagung
40
Dasarian
36
32
20 -1.5
-0.5
0
0.5
1
1.5
Ngadirojo
36
40
32
36
32
32 28
28
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
Pacitan
40
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
20 -1.5
Y= 2.5859X+ 29.517 R² = 0.1862 p=0.011*
36
32
28
28
28
24
24
24
-0.5
0
0.5
1
1.5
20 -1.5
-1
Sudimoro
-0.5
0
0.5
1
1.5
36
36
32
32
32
28
28
28
24
24
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Gambar
3.15
Y= 0.7991X+ 30.66 R² = 0.0211 p=0.413
20 -1.5
Awal Musim Agustus
-1
-0.5
0
vs
1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
1
1.5
Y = 3.7815X + 29.058 R² = 0.4025 p=0.001**
24
0.5
1
1.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Hujan
1
Tulakan 40
Y = 3.6009X+ 28.591 R² = 0.3571 p=0.001**
0.5
Y = 2.9218X + 30.527 R² = 0.2201 p=0.006**
20 -1.5
40
36
0
Punung
Tegalombo
40
-0.5
36
32
-1
-1
40
32
20 -1.5
Y= 2.9549X + 29.742 R² = 0.2423 p=0.003**
24
Pringkuku
40
Y = 3.073X + 29.112 R² = 0.3012 p=0.002**
36
28
Y = 2.4513X + 30.273 R² = 0.2845 p=0.002**
24
24
Dasarian
40
32
24
Dasarian
Donorojo
36
anomali
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
SST
Nino
4
bulan
56
Bandar
Dasarian
Arjosari 28
28
24
24
24
20
20
20
16
16
16
12
12 Y= -3.8779X + 17.196 R² = 0.2237 p =0.004**
8 4
12 Y = -1.8225X + 20.032 R² = 0.0691 p=0.176
8 4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
-1
Dasarian
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
32
28
28
28
24
24
24
20
20
20
16
16
4
4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
4
-1
Pacitan
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
28
24
24
24
20
20
20
16
16
16
12 Y = -2.4266X+ 17.803 R² = 0.16 p=0.035*
4
4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
Sudimoro
4
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
28
28
24
24
24
20
20
16
16
12
12
16 12 4
Y= -3.0905X + 18.499 R² = 0.1249 p=0.065
0
8 4
Y= -1.2857X + 19.057 R² = 0.0387 p=0.265
0 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Gambar 3.16
0
0.5
1
1.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
-0.5
0
0.5
1
1.5
0.5
1
1.5
Tulakan
28
8
-1
Tegalombo
32
20
-0.5
Y = -4.0912X + 17.604 R² = 0.2397 p=0.006**
8
0 -1.5
1.5
12 Y= -2.2205X+ 17.974 R² = 0.0975 p=0.072
8
1
Punung
28
8
-1
Pringkuku
28
12
0.5
Y = -3.5354X + 18.278 R² = 0.2175 p=0.046*
8
0 -1.5
0
12 Y = -2.5726X + 19.69 R² = 0.1267 p=0.005**
8
-0.5
16
12
Y = -3.4497X+ 19.444 R² = 0.2102 p=0.014*
8
-1
Ngadirojo
32
12
Y = -3.0361X + 16.92 R² = 0.1453 p=0.026*
4
Nawangan
Kebonagung
Dasarian
8
0 -1.5
Dasarian
Donorojo
28
Y = -3.6738X + 19.455 R² = 0.365 p=0.002**
8 4 0 -1.5
-1
-0.5
0
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Panjang Musim Hujan vs anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Hubungan antara anomali SST Nino 4 dengan curah hujan yang diwakili dengan awal musim hujan dan panjang musim hujan diperlihatkan pada Gambar 3.15 dan 3.16.
Penetapan SST Nino 4 dilakukan karena wilayah ini yang paling
dekat dengan Indonesia dan masih agak jarang penelitian di wilayah ini, juga
57
terbukti memiliki pengaruh yang nyata terhadap kondisi curah hujan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tingkat keterkaitan awal musim hujan yang nyata terpengaruh SST Nino4 pada hampir seluruh kecamatan. Data SST Nino 4 yang digunakan adalah data SST bulan Agustus. Hal ini diacu dari hasil penelitian Boer et al. (2010) yang menyatakan bahwa indeks SOI bulan Agustus tahun berjalan dapat digunakan untuk memperkirakan besar kerugian ekonomi MK tahun depan di Kabupaten Indramayu. Selain itu Boer et al. (2010) juga menyatakan bahwa fenomena ENSO sangat kuat pengaruhnya terhadap keragaman hujan musim transisi, maka kemampuan untuk memprakirakan (forecast skill) masuknya awal musim
hujan
dengan
menggunakan
indeks
ENSO
bulan-bulan
awal
pembentukannya (Juni hingga September) cukup tinggi. Mengingat antara SOI dengan SST, keduanya merupakan indikator ENSO, maka penetapan SST bulan Agustus tahun berjalan sebagai acuan dirasakan cukup tepat. Tingkat keragaman data awal musim hujan dalam kaitannya dengan SST Nino 4 diperlihatkan dengan cukup besarnya kisaran koefisien determinasi terkoreksi untuk kecamatan-kecamatan di Pacitan dari 0.0211 (Kecamatan Tegalombo) hingga 0.4025 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.15). Demikian juga untuk panjang musim hujan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 0.0387 (Kecamatan Tegalombo)
hingga 0.365 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.16).
Berdasarkan nilai p-value yang diperoleh awal musim hujan pada sebagian besar kecamatan nyata dan sangat nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4.
Hanya satu
kecamatan yang memperlihatkan nilai yang berbeda. Panjang musim hujan juga nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4, namun hanya terjadi pada delapan kecamatan.
3.3.3.
Dampak ENSO terhadap kekeringan Secara umum, masalah dalam pertanian di Pacitan adalah terjadinya
kegagalan panen, puso, salah prediksi iklim dan penanaman berulang kali. Masalah-masalah tersebut muncul karena terjadinya bencana iklim yang akhirnya menyebabkan produksi pertanaman menurun. Hasil survai menyatakan bahwa kegagalan panen akibat kekeringan menempati urutan pertama
(sekitar 60%
responden) di Pacitan (Gambar 3.17) dan tahun 1997 merupakan tahun yang kering menurut responden (Gambar 3.18).
58
Pada saat kejadian El-Nino berlangsung, Indonesia mengalami masa kekeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi pertanian, karena turunnya pasokan air hujan. Kerap kali musim hujan mundur dari waktu normalnya, dan curah hujan turun dalam selang yang lebih singkat dibanding pada kondisi normalnya, yang implikasinya terhadap sektor pertanian terutama tanaman pangan menyebabkan kerugian pertanaman. Kekeringan yang terjadi di Desa Pringkuku terutama terjadi pada MT 2005/06 yang menyerang tanaman kedelai dan jagung. Luasan lahan usahatani yang mengalami kekeringan pada MT 2005/06 hanya terjadi pada MT-3. Kerugian yang ditimbulkannya berupa penurunan produksi sebesar 58,7% (Wahab et al. 2007). Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Tanaman untuk luas terkena di Kabupaten Pacitan periode tahun 1995 hingga 2010, terlihat bahwa Kabupaten Pacitan mengalami kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997, 1999, 2007 dan 2009. Dari luasan tersebut yang mengalami puso terbanyak tahun 1997 dan 1999 (Gambar 3.19). Sedangkan tahun 2007, meskipun mengalami luas terkena yang sangat luas tetapi tidak sampai puso, hal itu dikarenakan terdapat cukup pasokan air pada kondisi-kondisi kritis tanaman.
Gambar 3.17
Penyebab gagal panen menurut Responden
Gambar 3.18 Tahun terjadinya kekeringan menurut Responden
59
luas kekeringan (ha)
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Terkena
Puso
Gambar 3.19 Luas terkena dan puso areal padi tahun 1995-2010
Gambar 3.20 Luas areal padi yang mengalami puso tahun 2006-2008 di Pacitan
Berdasarkan data tahun 2006 hingga 2008, luas puso paling besar terjadi pada bulan Agustus pada penanaman padi sawah.
Dibanding padi sawah, puso
padi gogo tidak terlalu signifikan, kecuali pada Januari 2008. Untuk padi sawah, puso terjadi mulai Juni hingga Januari dengan puncaknya terjadi pada bulan Agustus (Gambar 3.20). Hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al., 2007), bahwa wilayah Pacitan yang cukup kritis terhadap bencana kekeringan adalah wilayah sebelah barat meliputi Kecamatan Punung, Donorejo dan Pringkuku. Gambar 3.21 menunjukkan luas terjadi kekeringan setiap tahun di setiap kecamatan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa kecamatan di Pacitan berdasarkan data tahun 1989-2008, umumnya mengalami kekeringan mulai dari tahun 1991 dan meningkat pada tahun
60
1994, mencapai kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997 dan puncaknya terjadi pada tahun 2007. Kecamatan Tulakan merupakan kecamatan yang paling rentan terhadap bencana kekeringan, hal itu terlihat dari besarnya luasan yang terkena pada tahun-tahun yang disebutkan di atas.
800
luas kekeringan (ha)
700 600 500 400 300 200 100 0 Arjosari
Donorojo Kebonagung Nawangan 1991
1994
1997
Pacitan 2002
Pringkuku 2004
Punung
Tegalombo
Tulakan
2006
Gambar 3.21 Luas terkena kekeringan kecamatan pada 1991, 1994, 1997, 2003 dan 2007 3.3.4.
Analisis hubungan keragaman iklim dengan sistem usaha tani padi Berdasarkan data luas panen bulanan Pacitan tahun 2006 hingga 2010
(sumber data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan tahun 2007 hingga 2011) terlihat bahwa untuk padi sawah, persentase terbesar pada bulan Februari hingga Mei, untuk penanaman musim hujan, dan kemudian mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya. Umumnya penanaman 2 kali setahun, kecuali pada tahun 2010, karena curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun (Gambar 3.22). Sedangkan untuk padi gogo, penanaman dilakukan sekali setahun, dan panen dari bulan Januari hingga Mei.
Pada tahun 2007 terjadi
pergeseran puncak tanam yaitu pada bulan April, namun demikian luas panen lebih tinggi dibanding bulan lainnya, karena pada tahun tersebut terjadi La-Nina. Ilustrasi mengenai luas tambah tanam setiap kecamatan dari tahun 2006 hingga 2009 disajikan pada Gambar 3.23.
61
20000 18000
luas panen (ha)
16000 14000 12000
2006
10000
2007
8000
2008 2009
6000
2010
4000 2000 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des bulan
Gambar 3.22 Luas panen padi bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan Dari informasi luas panen dan luas tanam terlihat bahwa sentra produksi padi untuk Kabupaten Pacitan adalah Kecamatan Pringkuku, Punung dan Donorojo. Namun demikian, padi yang dihasilkan dominannya merupakan padi lahan kering. Karena memiliki lahan kering yang luas, maka selain mengusahakan padi, Kabupaten Pacitan juga mengusahakan
tanaman pangan lain, seperti
jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan lain-lain. Dari beberapa tanaman pangan non padi tersebut, ubi kayu ditanam paling luas, terutama pada tiga kecamatan penghasil padi gogo, yaitu Donorojo, Punung dan Pringkuku. Mengingat ketiga lokasi yang berada di sebelah Barat Pacitan ini memiliki kondisi iklim yang relatif mirip.
Ubi kayu biasa dipanen puncaknya pada bulan Agustus
hingga September. Luas panen dan produksi ubi kayu mengalami kenaikan cukup signifikan mulai tahun 2003 (Gambar 3.24), kecuali pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan, hal tersebut terjadi karena lahan yang biasa ditanami ubi kayu, beralih ditanami padi, mengingat hujan berlangsung terus hingga penanaman musim tanam ketiga.
62
Bandar
300
300
200
200
100
100 0
0
2009
2006
600 500 400 300 200 100 0
2006
2007
2008
2000
400
1500
300 1000
200
500
100 0
600
6000
500
5000
400
4000
300
3000
200
2000
100
1000
2008
2008
400 300 200 100 0
2007
2006
2007
2008
2009
600 500 400 300 200 100 0
2006
2007
2009
luas tambah tanam (ha)
600 500 400 300 200 100 0
2006 CH (mm)
2007
2008
2008
2009
Tulakan
1200 1000 800 600 400 200 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2008
2009
Punung
Tegalombo 600 500 400 300 200 100 0
2008
600 5000 4500 500 4000 400 3500 3000 300 2500 2000 200 1500 100 1000 500 0 0
0
2009
2009
500
2006
2009
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
luas tambah tanam (ha) luas tambah tanam (ha)
2007
2008
600
Pringkuku
600 500 400 300 200 100 0
CH (mm)
2007
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
0
Sudimoro
2007
0
Ngadirojo
500
2006
0
2006
100
2006
600
Pacitan
2007
2009
2500
2009
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
2006
2008
200
Nawangan
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
luas tambah tanam (ha)
Kebonagung
2007
300
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2008
100
400
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2007
200
500
2009
luas tambah tanam (ha)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
600 500 400 300 200 100 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2006
300
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
0
400
CH (mm)
400
600
CH (mm)
400
500
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
CH (mm)
500
600
CH (mm)
500
Donorojo
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
600
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Luas tambah tanam (ha)
Arjosari 600
2006
2007
CH (mm)
2008
2009
luas tambah tanam (ha)
Gambar 3.23 Luas tambah tanam bulanan (ha) dan curah hujan tahun 2006 hingga 2009
63
Gambar 3.24 Luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten Pacitan dari tahun 1990 hingga 2010
Gambar 3.25 Anomali luas panen padi per tahun di Kabupaten Pacitan Dalam kaitannya dengan produksi, tahun-tahun ENSO memperlihatkan perbedaan. Sebagai contoh, berdasarkan data luas panen padi, diperoleh bahwa pada tahun 1998 dan 1999
terdapat peningkatan luas panen (Gambar 3.25).
Meskipun demikian pada tahun 2003, yang menurut indeks ONI termasuk pada tahun Normal, luas panen padi pada tahun tersebut mengalami penurunan luas panen yang sangat signifikan, bahkan hingga hampir mencapai 4000 ha. Kejadian
64
El-Nino tahun 1991 terlihat cukup signifikan mempengaruhi luas panen padi di Pacitan, terjadi anomali luas panen negatif hingga mencapai 2000 ha. Hal tersebut sejalan dengan Boer dan Setyadipratikto (2003) yang menyatakan bahwa anomali produksi padi yang negatif umumnya terjadi pada tahun-tahun El-Nino sedangkan yang positif terjadi pada tahun-tahun bukan El-Nino.
Berdasarkan kajian yang
sudah dilakukan, penyebab penurunan produksi tersebut adalah; 1). El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada MH, menjadi mundur dari biasanya.
Akibatnya tanaman padi kedua
mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan sudah mengalami penurunan yang besar. 2). El-Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. 3). El-Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. Alternatif pola tanam bila terjadi kejadian El-Nino kuat adalah dengan waktu tanam padi mundur hingga beberapa dasarian atau mengganti dengan tanaman palawija.
Sedangkan pada kondisi La-Nina, waktu tanam padi dapat
dimajukan beberapa dasarian, atau dapat pula dilakukan penanaman palawija yang berumur pendek sebelum menanam padi. Untuk menjelaskan perbedaan perlakuan irigasi, dilakukan penghitungan hasil simulasi pada perlakuan irigasi yang dibandingkan dengan hasil pada perlakuan non irigasi. Untuk menghitung perbedaan hasil digunakan rumus yang mengacu pada Soler et al. (2007),
Dimana,
= pengurangan hasil (yield) = hasil (yield) pada kondisi tanpa irigasi = hasil (yield) pada kondisi irigasi
Pada Tabel 3.4 terlihat bahwa perbedaan hasil yang cukup signifikan akan diperoleh apabila penanaman dilakukan pada 1 Maret hingga 15 Juni untuk Kecamatan Pacitan.
Diperlukan input irigasi yang cukup banyak,
penanaman akan dilakukan pada Bulan ini.
apabila
Sedangkan pada awal Januari,
November dan Desember perbedaan hasil tidak begitu tinggi karena pada bulan tersebut curah hujan tinggi.
65
Tabel
3.4
Pengurangan hasil antara Irigasi di Kecamatan Pacitan
perlakuan
Irigasi
dengan
tanpa
Tanggal tanam
Tanpa Irigasi (kg/ha)
Dengan Irigasi (kg/ha)
Yr (%) (pengurangan hasil)
1-Jan
2745
4674
41.3
15-Jan
2641
4425
40.3
1-Feb
2093
4751
55.9
15-Feb
2041
5009
59.3
1-Mar
1915
5121
62.6
15-Mar
1492
5102
70.8
1-Apr
1578
5374
70.6
15-Apr
1669
5484
69.6
01-Mei
1579
5540
71.5
15-Mei
1543
5361
71.2
1-Jun
1634
5141
68.2
15-Jun
1687
4663
63.8
1-Jul
1868
4476
58.3
15-Jul
2185
4333
49.6
01-Agu
2653
4264
37.8
15-Agu
3072
4210
27.0
1-Sep
3384
4051
16.5
15-Sep
3585
3971
9.7
01-Okt
3727
3915
4.8
15-Okt
3714
3854
3.6
1-Nov
3705
3959
6.4
15-Nov
3576
4039
11.5
01-Des
2936
4095
28.3
15-Des
2767
4134
33.1
Ilustrasi mengenai ‘hasil’ yang diperoleh pada perlakuan irigasi-tanpa irigasi, varietas genjah-varietas dalam dan pemupukan di Kecamatan Pacitan disajikan pada Gambar 3.26 dan 3.27. Penggunaan pupuk yang ditambah bahan organik, sedikit meningkatkan hasil dari bulan Februari hingga Agustus, pada kondisi tanpa Irigasi. Namun demikian, pada kondisi adanya penambahan Irigasi, perlakuan pupuk tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa adanya irigasi, merupakan pelarut yang baik untuk pupuk yang diberikan, sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman.
‘Hasil’ pada varietas dipengaruhi oleh
kondisi endogen dan eksogen. Pada lingkungan eksogen yang sama, varietas yang berbeda menampakkan hasil yang berbeda. Gambar 3.27 memperlihatkan
66
bahwa pada kondisi tidak diirigasi, pemberian bahan organik dapat meningkatkan hasil cukup besar, walaupun tidak nyata. 6000
hasil (kg/ha)
5000 4000 3000 2000 1000 0
tanggal tanam Tanpa irigasi
Gambar
3.26
Dengan irigasi
Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan Irigasi dan tanpa Irigasi di Kecamatan Pacitan
6000
5000
hasil (kg/ha)
4000 Tanpa BO-non irigasi 3000
BO jerami-non irigasi BO pukan -non irigasi
2000
Tanpa BO + irigasi BO jerami + irigasi
1000
1-Jan 15-Jan 1-Feb 15-Feb 1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr 1-Mei 15-Mei 1-Jun 15-Jun 1-Jul 15-Jul 1-Agu 15-Agu 1-Sep 15-Sep 1-Okt 15-Okt 1-Nov 15-Nov 1-Des 15-Des
0
BO pukan + irigasi
tanggal tanam
Gambar
3.27
Perbedaan hasil setiap menggunakan perbedaan Irigasi di Kecamatan Pacitan
tanggal pupuk
tanam dengan dan perbedaan
67
Tabel 3.5 Persamaan hasil untuk Kecamatan Pacitan Tanggal tanam
Persamaan
R2
p
RMSE
1 Jan
Hasil_1 Jan = 3531 - 715 V – 43 AnoSSTNino4 - 0.877 CH-fase1 + 1.15 CH-fase2 - 0.596 CHfase3 + 2735 Irigasi - 1 Pupuk + 5 Organik Hasil_15 Jan = 2833 - 469 V - 492 AnoSSTNino4- 0.331 CH-fase1 - 0.660 CH-fase2 + 1.89 CHfase3 + 2528 Irigasi - 42 Pupuk + 103 Organik Hasil_1 Feb = 2161 - 604 V - 322 AnoSSTNino4 + 0.274 CH-fase1 - 0.595 CH-fase2 + 4.10 CHfase3 + 3040 Irigasi - 57 Pupuk + 166 Organik Hasil_15 Feb = 2279 - 415 V - 297 AnoSSTNino4 - 0.256 CH-fase1 + 1.51 CH-fase2 + 1.79 CHfase3 + 3266 Irigasi + 4 Pupuk + 78 Organik Hasil_1 Mar = 2335 - 400 V - 291 AnoSSTNino4 - 0.447 CH-fase1 + 1.68 CH-fase2 + 0.44 CHfase3 + 3390 Irigasi - 13 Pupuk + 87 Organik Hasil_15 Mar = 2202 - 603 V - 227 AnoSSTNino4 - 0.137 CH-fase1 - 0.758 CH-fase2 - 0.92 CHfase3 + 3636 Irigasi - 92 Pupuk + 187 Organik Hasil_1 Apr = 1714 - 603 V - 96 AnoSSTNino4 + 0.349 CH-fase1 - 1.74 CH-fase2 + 8.23 CHfase3 + 3636 Irigasi - 92 Pupuk + 187 Organik Hasil_15 Apr = 1590 - 549 V - 421 AnoSSTNino4 + 0.519 CH-fase1 + 3.34 CH-fase2 + 17.3 CHfase3 + 3610 Irigasi - 12 Pupuk + 0 Organik Hasil_1 Mei = 1579 - 428 V - 204 AnoSSTNino4 + 0.858 CH-fase1 + 8.31 CH-fase2+ 7.60 CHfase3 + 3538 Irigasi - 57 Pupuk + 143 Organik Hasil_15 Mei = 1412 - 441 V - 20 AnoSSTNino4 + 3.21 CH-fase1 + 7.83 CH-fase2+ 9.17 CHfase3 + 3375 Irigasi - 34 Pupuk + 189 Organik Hasil_1 Jun = 1551 - 495 V + 99 AnoSSTNino4 + 4.90 CH-fase1 + 6.03 CH-fase2 + 3.78 CHfase3 + 3124 Irigasi - 35 Pupuk + 198 Organik Hasil_15 Jun = 1604 - 599 V + 149 AnoSSTNino4 + 5.45 CH-fase1 + 0.16 CH-fase2 + 6.34 CHfase3 + 2890 Irigasi - 35 Pupuk + 286 Organik Hasil-1 Jul = 1733 - 590 V + 134 AnoSSTNino4 + 7.07 CH-fase1 + 4.60 CH-fase2 + 4.10 CHfase3 + 2547 Irigasi - 58 Pupuk + 300 Organik
58.4
0.000
1237.1
53.8
0.000
1242.3
66.4
0.000
1151.4
67.2
0.000
1181.2
62.3
0.000
1358.5
64.8
0.000
1382.1
71.1
0.000
1253.1
72.9
0.000
1229.8
70.4
0.000
1266.6
69.4
0.000
1227.3
70.0
0.000
1137.9
71.9
0.000
1047.7
67.8
0.000
1042.7
15 Jan
1 Feb
15 Feb
1 Mar
15 Mar
1 Apr
15 Apr
1 Mei
15 Mei
1 Jun
15 Jun
1 Jul
68
Tanggal tanam 15 Jul
Persamaan
Hasil_15 Jul = 2140 - 757 V + 145 AnoSSTNino4 + 7.11 CH-fase1 + 1.89 CH-fase2 + 3.06 CHfase3 + 2228 Irigasi - 34 Pupuk + 164 Organik 1 Agu Hasil_1 Agu = 2722 - 763 V - 265 AnoSSTNino4 + 3.59 CH-fase1 + 0.969 CH-fase2 + 2.26 CHfase3 + 1637 Irigasi - 32 Pupuk + 158 Organik 15 Agu Hasil_15 Agu = 3320 - 707 V - 440 AnoSSTNino4 + 1.56 CH-fase1 + 1.33 CH-fase2 + 0.427 CHfase3 + 1158 Irigasi - 25 Pupuk + 110 Organik 1 Sep Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CH-fase2 + 0.827 CHfase3 + 743 Irigasi + 2.0 Pupuk + 106 Organik 15 Sep Hasil_15 Sep = 4012 - 866 V - 215 AnoSSTNino4 + 0.562 CH-fase1 + 0.455 CH-fase2 + 0.722 CH-fase3 + 409 Irigasi + 0.5 Pupuk + 17.5 Organik 1 Okt Hasil_1 Okt = 4272 - 911 V - 53.5 AnoSSTNino4 + 0.373 CH-fase1 + 0.375 CH-fase2 + 0.439 CHfase3 + 244 Irigasi + 13.0 Pupuk - 6.0 Organik 15 Okt Hasil_15 Okt = 4389 - 922 V + 55.4 AnoSSTNino4 + 0.435 CH-fase1 + 0.224 CH-fase2 - 0.567 CH-fase3 + 320 Irigasi + 14.3 Pupuk - 11 Organik 1 Nov Hasil_1 Nov = 4576 - 937 V - 102 AnoSSTNino4 + 0.295 CH-fase1 - 1.78 CH-fase2 + 0.745 CHfase3 + 467 Irigasi + 24.8 Pupuk - 55 Organik 15 Nov Hasil_15 Nov = 3987 - 559 V - 317 AnoSSTNino4 + 0.041 CH-fase1 - 0.932 CH-fase2 + 0.471 CH-fase3 + 883 Irigasi + 14 Pupuk + 28 Organik 1 Des Hasil_1 Des = 3786 - 640 V - 361 AnoSSTNino4 - 0.424 CH-fase1 - 0.831 CH-fase2 + 0.957 CHfase3 + 1432 Irigasi + 20 Pupuk - 35 Organik 15 Des Hasil_15 Des = 4110 - 925 V - 333 AnoSSTNino4 - 0.625 CH-fase1 - 0.339 CH-fase2 + 0.629 CHfase3 + 1411 Irigasi + 16 Pupuk - 77 Organik Keterangan : yang diberi garis bawah, nyata pada taraf α=0.05
R2
p
RMSE
65.6
0.000
986.7
60.1
0.000
888.1
54.2
0.000
780.6
52.4
0.000
645.1
65.5
0.000
400.5
71.6
0.000
314.3
48.3
0.000
529.0
47.4
0.000
602.8
34.5
0.000
796.7
43.7
0.000
951.7
48.2
0.000
909.3
Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CHfase2 + 0.827 CH-fase3 + 743 Irigasi + 2.0 Pupuk + 106 Organik
69
Persamaan di atas bermakna : •
Konstanta
= 3604, menunjukkan hasil yang diharapkan akan diperoleh pada tanggal tanam 1 September kalau menggunakan varietas IR 8, SST pada kondisi rata-rata, tidak ada hujan pada fase 1, fase 2 dan fase 3, tanpa irigasi, paket pupuk yang digunakan paket 230 kg Urea-100 kg SP-36-50 kg KCl dan tanpa bahan organik.
•
- 824 V
= Kalau menggunakan varietas yang pertama (IR 64) maka akan memberikan hasil yang lebih rendah 824 kg/ha dibanding varietas yang kedua (IR 8).
•
- 298 AnoSSTNino4 = Kalau AnoSSTNino4 turun sebesar 1 satuan (1oC) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 298 kg/ha.
•
0.57 CH fase1 = Setiap peningkatan CHfase1 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.57 kg/ha.
•
0.904 CH fase2 =Setiap peningkatan CHfase2 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.904 kg/ha.
•
0.827 CH fase3 =Setiap peningkatan CHfase3 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.827 kg/ha.
•
743 Irigasi =kalau menggunakan Irigasi maka akan memberikan hasil yang lebih tinggi sebesar 743 kg/ha dibanding tanpa Irigasi pada tanggal tanam 1 September
•
2 pupuk = kalau menggunakan kombinasi pupuk yang pertama maka akan terjadi pengurangan hasil 2 kg/ha, dibanding kalau menggunakan kombinasi pupuk yang kedua, sedangkan kalau menggunakan kombinasi pupuk yang ketiga akan memberikan penambahan hasil sebesar 2 kg/ha.
•
106 organik = kalau menggunakan bahan organik jerami maka akan terjadi pengurangan hasil 106 kg/ha dibanding kalau tanpa menggunakan bahan organik, sedangkan kalau menggunakan bahan organik pukan 2 ton/ha akan memberikan penambahan hasil sebesar 106 kg/ha. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat
teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang disampaikan Tabel 3.5. Persamaan di atas memberikan tanggal tanam terbaik serta prediktor apa yang berpengaruh pada hasil yang diperoleh.
Prediktor tersebut sekaligus
merupakan indikator, teknologi apa yang perlu diperhatikan pada pertanaman setiap tanggal tersebut.
Tanggal tanam merupakan peubah yang paling
menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh
70
untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan,
hal tersebut diindikasikan oleh error (RMSE)
yang
dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei (Gambar 3.28). Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas.
Gambar 3.28 Plot error pada setiap tanggal tanam
3.4.
Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa iklim sangat
berpengaruh terhadap produksi tanaman, dan fluktuasi produktivitas tanaman pangan terutama padi di Kabupaten Pacitan. Curah hujan sebagai unsur iklim yang sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air selama pertanaman, sehingga fluktuasi
penurunan
curah
hujan
selama
mempengaruhi keragaman hasil tanaman.
pertumbuhan
tanaman
akan
Hal tersebut dijelaskan dengan
menurunnya produksi pada tahun-tahun kering, sebaliknya produksi tinggi pada tahun-tahun basah. Curah hujan erat terkait dengan suhu permukaan laut (SST), dan berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa terdapat hubungan nyata dan sangat nyata antara awal musim hujan dengan SST Nino 4 bulan Agustus pada hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan.
Informasi mengenai
dampak keragaman iklim di suatu daerah tertentu, merupakan informasi yang
71
menjadi perencanaan utama dalam menetapkan jadwal dan pola tanam, terutama tanaman pangan. Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi, bahan organik, yang didukung dengan informasi pola curah hujan dapat dijadikan sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik, untuk meminimalkan dampak variabilitas iklim.
Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik
yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Kerentanan terhadap produksi tanaman tertinggi pada musim tanam kedua (MK1), sehingga penanaman untuk waktu tanam ini perlu diantisipasi dengan persiapan yang lebih awal. Hal itu terkait dengan informasi prakiraan iklim yang diberikan, dan pilihan waktu tanam dan teknologi yang diterapkan. Tanggal tanam merupakan peubah yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman
bulan
Februari
yang
paling
menguntungkan,
hal
tersebut
diindikasikan oleh error (RMSE) yang dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei.
Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya
menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan. Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas. Bahasan pada Bab berikutnya adalah
kelayakan ekonomi teknologi
budidaya yang dihasilkan. Berdasarkan perhitungan ekonominya, dipilih teknologi yang terbaik dengan biaya minimal.
72
73
IV. ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI TEKNOLOGI BUDIDAYA UNTUK PENANGGULANGAN RISIKO IKLIM 4.1.
Pendahuluan Evaluasi teknologi adaptasi mengamati teknologi apa yang dilakukan
petani, bagaimana variasi sarana produksi yang digunakan petani, misalnya bagaimana pupuknya, berapa takaran yang digunakan, varietas apa yang digunakan, bagaimana sistem irigasinya, sehingga diperoleh pilihan teknologi terbaik. Untuk
melakukan
pemilihan
teknologi
terbaik,
dilakukan
dengan
pendekatan fungsi risiko. Fungsi risiko merupakan bagian dari fungsi produksi dalam pertanian.
Fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan
hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) (Pindyck dan Rubenfeld 2001 yang diacu dalam Rianse dan Abdi (2009)). Produksi merupakan penciptaan kegunaan atau penciptaan barang dan jasa yang ingin dibeli masyarakat menganalisis
perilaku
(Rianse dan Abdi 2009). suatu
usaha
dengan
Teori produksi adalah
teknologi
yang
ada
dan
menkombinasikan berbagai faktor input untuk menghasilkan output yang secara ekonomi efisien. Secara matematik fungsi produksi dapat diformulasikan sebagai berikut : Y =f(Xi,X2,X3,....Xn) Keterangan :
Y = output yang dihasilkan
Xi,....Xn = faktor-faktor produksi yang merupakan variabel input seperti tenaga kerja, pupuk, pestisida, bibit, jam penggunaan traktor dan lain-lain Sedangkan apabila dikaitkan dengan faktor tetap (Z), maka : Y = f (Xi, Zi), dimana Z terdiri dari lahan, peralatan, infrastruktur, pelayanan penyuluhan, dan kondisi eksogen seperti cuaca dan lain-lain. Dalam fungsi produksi yang ingin diketahui adalah seberapa besar keuntungan atau keuntungan maksimum yang mungkin diperoleh dari suatu usaha tani. Berkaitan dengan hal inilah fungsi risiko diperhitungkan.
Fungsi risiko
merupakan fungsi yang diperoleh dari input-input penentu yang mempengaruhi terhadap fluktuasi keuntungan atau kerugian suatu usaha tani. Menurut
Soekartawi (2006) adalah penting untuk memahami analisis
usaha tani. Ilmu usaha tani didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari bagaimana
74
seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan output yang melebihi input. Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi, bahan organik, yang didukung dengan informasi pola curah hujan dapat dijadikan sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik, untuk meminimalkan dampak variabilitas iklim. Pilihan teknologi yang ideal memungkinkan suatu usaha tani berlangsung secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Penelaahan teknologi ini dilakukan melalui evaluasi dampak keragaman iklim terhadap kelayakan ekonomi teknologi budidaya untuk penanggulangan risiko iklim. Termasuk di dalamnya adalah upaya untuk memahami sistem usaha tani petani, yang dilengkapi dengan cost analisis (benefit and cost ratio). Sehingga dengan penggunaan teknologi adaptasi yang dilakukan tersebut dapat dihitung untung ruginya.
Sehingga diperoleh komponen teknologi dengan output yang
terbaik, mengingat masukan teknologi yang bervariasi, akan memberikan output yang juga bervariasi. 4.2.
Metodologi
4.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pacitan. 4.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak Bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini, yaitu: 14.
Data penggunaan pupuk existing
15.
Data irigasi
16.
Data varietas existing
17.
Data pola tanam existing
18.
Output keluaran hasi simulasi DSSAT
19.
Data harga
20.
Data biaya
75
4.2.3. Metodologi Penelitian
4.2.3.1.
Analisis kelayakan ekonomi Teknologi budidaya
Dampak keragaman iklim jangka panjang kaitannya dengan produksi, dikaji melalui tahapan sebagai berikut: h.
Masukan teknologi yang bervariasi akan memberikan keragaman hasil yang cukup menyebar.
Berdasarkan hasil yang tertinggi, dengan menelaah
teknologi yang digunakan, kemudian dilakukan pemilihan teknologi-teknologi budidaya. Opsi teknologi tersebut kemudian digunakan sebagai input dalam penghitungan keuntungan dan kerugian.
Proses tersebut disajikan pada
Gambar 4.1. i.
Penilaian teknologi menyangkut keuntungan atau kerugian dilakukan berdasarkan kelayakan secara ekonomi, dengan menggunakan analisis biaya manfaat.
Dengan melakukan analisis biaya manfaat dapat dinilai
apakah suatu kegiatan atau teknologi dapat dilaksanakan atau tidak, sesuai dengan masukan teknologi terpilih. Dalam prakteknya digunakan kriteria investasi untuk menilai kelayakan yaitu Net Benefit-Cost
Ratio (BCR).
Digunakan data biaya, data harga, data iklim dan opsi teknologi berdasarkan keluaran model simulasi DSSAT yang diperoleh dari hasil sebelumnya. Perhitungan Net BCR dilakukan untuk melihat berapa manfaat bersih yang diterima oleh suatu kegiatan untuk setiap satu rupiah pengeluaran bersih. Net BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika Net BCR >1. Sedangkan apabila Net BCR= 1, maka kegiatan tersebut tidak untung dan juga tidak rugi (marjinal atau pas-pasan), sehingga terserah kepada penilai pengambil keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila Net BCR < 1 maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan. Persamaan net BC Ratio disajikan pada persamaan berikut.
j.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan mengenai BC Ratio yang diproses dengan regresi menggunakan minitab ver. 14.
76
Persamaan tersebut berasal dari prediktor yang beberapa diantaranya dibuat variabel dummy (Tabel. 4.1).
Untuk prediktor yang memberikan pengaruh
yang signifikan, diberi garis bawah
pada persamaan, yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf α=0.05.
Data biaya dan harga
Data iklim, sifat genetis, tanah, dan alternatif teknologi
‘Yield’ keluaran model simulasi teknologi budidaya
Pendapatan Keuntungan
BCR
Kelayakan teknologi budidaya
Tidak layak
Layak
TEKNOLOGI REKOMENDASI berdasarkan KELAYAKAN SECARA EKONOMI
Gambar 4.1. Diagram alir analisis kelayakan teknologi budidaya
Stop
77
Tabel 4.1 No.
Prediktor untuk mendapatkan persamaan BC Ratio Prediktor
Keterangan
7.
V menunjukkan varietas, 0=IR 64, 1=IR 8
Variabel dummy
8.
AnoSSTNino4 adalah anomali SST Nino 4 bulan Agustus
9.
CHfase1 adalah curah hujan fase 1 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 1-55 hari)
Keluaran DSSAT
10.
CHfase2 adalah curah hujan fase 2 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 56-75 hari)
Keluaran DSSAT
11.
CHfase3 adalah curah hujan fase 3 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 76-96 hari)
Keluaran DSSAT
12.
Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm
Variabel dummy
7.
Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. -1 = Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0 = Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1 = Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi anjuran untuk Kecamatan Pacitan)
Variabel dummy
8.
Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. Variabel dummy 0 = tanpa BO, -1 = diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha, 1 = diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha ___________________________________________________________________ Keterangan : CH fase berdasarkan data curah hujan hasil keluaran simulasi DSSAT
4.3.
Hasil dan Pembahasan
4.3.1. Analisis BC Ratio Responden Perhitungan usaha tani Responden di Kecamatan Pringkuku didasarkan kepada hasil survey Responden. Gambar 4.2 menyajikan hasil perhitungan BC Ratio Responden yang bervariasi mulai dari
0 hingga 2.4.
Asumsi yang
digunakan adalah tenaga kerja dihitung sebagai input biaya dan BC Ratio minus dianggap keuntungan sama dengan nol. Hanya sebagian Responden untung dalam usaha taninya, atau sekitar 42%. apabila nilai BC Ratio>1.
yang
Usaha tani dikatakan untung
78
Gambar 4.2 BC Ratio sebagian responden
4.3.2. Analisis kelayakan eknolomi teknologi budidaya Perhitungan BC Ratio dilakukan analisis usaha tani.
dengan terlebih dahulu menghitung
Sebagai input usaha tani adalah kebiasaan petani yang
diperoleh dari hasil survey. Sedangkan asumsi harga gabah disesuaikan dengan kondisi terakhir. Hasil analisis usaha tani kemudian dibandingkan terhadap ‘hasil’ yang diperoleh dari simulasi DSSAT. Hasil BC Ratio pada Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa tanggal tanam untuk musim tanam kedua akan memberikan penurunan hasil, apabila waktu tanam mundur.
Penanaman hingga 1 Maret masih memberikan peluang yang
menjanjikan (BC Ratio>1) artinya penanaman masih menguntungkan. Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal.
Simulasi yang dilakukan menggunakan perbedaan
varietas, irigasi dan pemupukan.
Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk
setiap perlakuan, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen.
Kombinasi tanggal
tanam dengan perlakuan pupuk, irigasi dan varietas, memberikan hasil bahwa untuk musim tanam kedua, akan memberikan hasil yang terbaik apabila ditanam pada pertengahan Januari atau awal Februari. Dengan pertimbangan saat itu,
79
penanaman pada MH sudah panen. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan.
Tabel 4.2 Ilustrasi penghitungan BC Ratio (Kecamatan Arjosari) Tanggal tanam
Hasil Arjosari
Harga gabah
Pendapatan
Biaya produksi
Keuntungan
BC RATIO
1-Jan
3,746.50
4,100.00
15,360,650.00
4,874,000.00
10,486,650.00
2.15
15-Jan
3,467.39
4,100.00
14,216,294.44
4,874,000.00
9,342,294.44
1.92
1-Feb
2,994.11
4,100.00
12,275,855.56
4,949,000.00
7,326,855.56
1.48
15-Feb
2,914.28
4,100.00
11,948,538.89
4,949,000.00
6,999,538.89
1.41
1-Mar
2,888.33
4,100.00
11,842,166.67
5,024,000.00
6,818,166.67
1.36
15-Mar
2,015.17
4,100.00
8,262,183.33
5,024,000.00
3,238,183.33
0.64
1-Apr
1,681.94
4,100.00
6,895,972.22
5,099,000.00
1,796,972.22
0.35
15-Apr
1,360.44
4,100.00
5,577,822.22
5,099,000.00
478,822.22
0.09
01-Mei
1,608.11
4,100.00
6,593,255.56
5,174,000.00
1,419,255.56
0.27
15-Mei
1,473.44
4,100.00
6,041,122.22
5,174,000.00
867,122.22
0.17
1-Jun
921.44
4,100.00
3,777,922.22
5,249,000.00
0
0.00
15-Jun
988.28
4,100.00
4,051,938.89
5,249,000.00
0
0.00
1-Jul
1,179.17
4,100.00
4,834,583.33
5,324,000.00
0
0.00
15-Jul
1,095.58
4,100.00
4,491,891.67
5,324,000.00
0
0.00
01-Agu
1,595.42
4,100.00
6,541,208.33
5,474,000.00
1,067,208.33
0.19
15-Agu
2,311.25
4,100.00
9,476,125.00
5,474,000.00
4,002,125.00
0.73
1-Sep
2,920.67
4,100.00
11,974,733.33
5,474,000.00
6,500,733.33
1.19
15-Sep
3,057.33
4,100.00
12,535,066.67
5,474,000.00
7,061,066.67
1.29
01-Okt
3,146.08
4,100.00
12,898,941.67
5,474,000.00
7,424,941.67
1.36
15-Okt
3,254.75
4,100.00
13,344,475.00
5,474,000.00
7,870,475.00
1.44
1-Nov
3,239.58
4,100.00
13,282,291.67
4,874,000.00
8,408,291.67
1.73
15-Nov
3,166.33
4,100.00
12,981,966.67
4,874,000.00
8,107,966.67
1.66
01-Des
3,063.67
4,100.00
12,561,033.33
4,874,000.00
7,687,033.33
1.58
15-Des
2,673.33
4,100.00
10,960,666.67
4,874,000.00
6,086,666.67
1.25
Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina diilustrasikan pada Gambar 4.2 hingga 4.4.
Penghitungan tersebut didasarkan
pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT Kecamatan Pacitan.
Dengan menarik garis batas BC Ratio pada nilai 1.5, penanaman pada
tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian lebih baik adalah
80
pada 15 Februari hingga 15 Maret. Penanaman pada tahun-tahun El-Nino, perlu mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang tahun, terutama dari Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, penanaman 15 Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.
BC Rasio Tahun-tahun Normal 6 5
Data
4 3 2 1.5 1 0
i i t t l l an an eb eb ar ar pr pr e e un un u u gu gu ep ep k k ov ov es es -J - J -F -F -M -M - A -A -M -M - J - J 1-J 5-J -A - A - S - S - O -O - N - N - D -D 01 15 01 15 01 15 01 15 01 15 01 15 0 1 01 15 01 15 01 15 01 15 01 15
Gambar 4.2
BC Ratio tahun-tahun Normal
BC Rasio Tahun-tahun El-Nino 6 5
Data
4 3 2 1.5 1 0
i i l l t t an an eb eb ar ar pr pr e e un un u u gu gu ep ep k k ov ov es es -J 5- J 1-F 5-F -M -M 1- A 5-A 1-M 5-M 1- J 5- J 1-J 5-J -A - A - S - S 1- O =O 1- N 5- N 1- D 5-D 1 0 1 0 1 01 15 0 1 0 1 0 1 0 1 01 15 01 15 0 15 0 1 0 1
Gambar 4.3
BC Ratio tahun-tahun El-Nino
81
BC Rasio Tahun-tahun La-Nina 6 5
Data
4 3 2 1.5 1 0
i i t t l l an an eb eb ar ar pr pr e e un un u u gu gu ep ep k k ov ov es es -J 5- J -F -F -M -M 1- A 5-A 1-M 5-M 1- J 5- J 1-J 5-J -A - A - S - S 1- O 5-O - N - N - D -D 1 0 1 01 15 01 15 0 1 0 1 0 1 0 1 01 15 01 15 0 1 01 15 01 15
Gambar 4.4
BC Ratio tahun-tahun La-Nina
Tabel 4.3 Persamaan BC Ratio setiap tanggal tanam Tanggal tanam
Persamaan
R2
p
RMSE
1 Jan
BCR_1 Jan = 2.20 - 0.605 V - 0.459 AnoSSTNino4 - 0.000863 CH-fase1 + 0.000607 CH-fase2 + 0.000137 CH-fase3 + 2.47 Irigasi - 0.476 Pupuk + 0.177 Organik
59.2
0.000
1.129
15 Jan
BCR_15 Jan = 1.56 - 0.391 V - 0.425 AnoSSTNino4 - 0.000268 CHfase1 - 0.000318 CH-fase2 + 0.00162 CH-fase3 + 2.28 Irigasi - 0.425 Pupuk + 0.138 Organik
54.8
0.000
1.130
1 Feb
BCR_1 Feb = 0.994 - 0.463 V - 0.299 AnoSSTNino4 + 0.000258 CHfase1 - 0.000537 CH-fase2 + 0.00374 CH-fase3 + 2.25 Irigasi - 0.331 Pupuk + 0.0935 Organik
58.4
0.000
1.047
15 Feb
BCR_15 Feb = 1.06 - 0.302 V - 0.276 AnoSSTNino4 - 0.000225 CHfase1 + 0.00137 CH-fase2 + 0.00163 CH-fase3 + 2.45 Irigasi - 0.324 Pupuk + 0.116 Organik
59.3
0.000
1.074
1 Mar
BCR_1 Mar = 1.11 - 0.291 V - 0.268 AnoSSTNino4 - 0.000399 CH-fase1 + 0.00152 CH-fase2 + 0.000389 CH-fase3 + 2.50 Irigasi 0.322 Pupuk + 0.108 Organik
53.1
0.000
1.232
15 Mar
BCR_15 Mar = 1.05 - 0.472 V - 0.210 AnoSSTNino4 - 0.000094 CHfase1 - 0.000710 CH-fase2 - 0.00085 CH-fase3 + 2.72 Irigasi - 0.318 Pupuk + 0.074 Organik
56.4
0.000
1.256
1 Apr
BCR_1 Apr = 0.831 - 0.457 V - 0.357 AnoSSTNino4 + 0.000011 CHfase1 - 0.00170 CH-fase2 + 0.00884 CH-fase3 + 2.57 Irigasi - 0.312 Pupuk + 0.0948 Organik
60.0
0.000
1.231
82
Tanggal tanam 15 Apr
Persamaan
R2
p
RMSE
BCR_15 Apr = 0.379 - 0.418 V - 0.385 AnoSSTNino4 + 0.000474 CHfase1 + 0.00308 CH-fase2 + 0.0157 CH-fase3 + 2.62 Irigasi - 0.362 Pupuk + 0.129 Organik
65.5
0.000
1.128
1 Mei
BCR_1 Mei = 0.460 - 0.318 V - 0.191 AnoSSTNino4 + 0.000779 CHfase1 + 0.00753 CH-fase2 + 0.00681 CH-fase3 + 2.51 Irigasi - 0.303 Pupuk + 0.0810 Organik
61.8
0.000
1.153
15 Mei
BCR_15 Mei = 0.337 - 0.332 V - 0.020 AnoSSTNino4 + 0.00291 CHfase1 + 0.00698 CH-fase2 + 0.00828 CH-fase3 + 2.38 Irigasi - 0.251 Pupuk + 0.0653 Organik
59.8
0.000
1.120
1 Jun
BCR_1 Jun = 0.458 - 0.365 V + 0.094 AnoSSTNino4 + 0.00443 CHfase1 + 0.00543 CH-fase2 + 0.00342 CH-fase3 + 2.06 Irigasi - 0.231 Pupuk + 0.0567 Organik
58.7
0.000
1.034
15 Jun
BCR_15 Jun = 0.553 - 0.449 V + 0.139 AnoSSTNino4 + 0.00495 CHfase1 + 0.00019 CH-fase2 + 0.00572 CH-fase3 + 1.87 Irigasi - 0.180 Pupuk + 0.0316 Organik
61.2
0.000
0.950
1 Jul
BCR_1 Jul = 0.681 - 0.435 V + 0.123 AnoSSTNino4 + 0.00640 CH-fase1 + 0.00419 CH-fase2 + 0.00368 CH-fase3 + 1.49 Irigasi 0.185 Pupuk + 0.0252 Organik
54.3
0.000
0.943
15 Jul
BCR_15 Jul = 0.965 - 0.570 V + 0.130 AnoSSTNino4 + 0.00643 CHfase1 + 0.00171 CH-fase2 + 0.00276 CH-fase3 + 1.20 Irigasi - 0.263 Pupuk + 0.0731 Organik
51.6
0.000
0.888
1 Agu
BCR_1 Agu = 1.68 - 0.586 V - 0.177 AnoSSTNino4 + 0.00298 CH-fase1 + 0.000849 CH-fase2 + 0.00168 CH-fase3 + 0.668 Irigasi - 0.304 Pupuk + 0.0942 Organik
49.7
0.000
0.684
15 Agu
BCR_15 Agu = 2.01 - 0.543 V - 0.394 AnoSSTNino4 + 0.00142 CHfase1 + 0.00119 CH-fase2 + 0.000390 CH-fase3 + 0.358 Irigasi - 0.342 Pupuk + 0.110 Organik
42.7
0.000
0.706
1 Sep
BCR_1 Sep = 2.31 - 0.608 V - 0.265 AnoSSTNino4 + 0.000446 CHfase1 + 0.000794 CH-fase2 + 0.000744 CH-fase3 + 0.0515 Irigasi - 0.393 Pupuk + 0.144 Organik
47.5
0.000
0.557
15 Sep
BCR_15 Sep = 2.58 - 0.686 V - 0.195 AnoSSTNino4 + 0.000506 CHfase1 + 0.000422 CH-fase2 + 0.000654 CH-fase3 - 0.199 Irigasi - 0.413 Pupuk + 0.152 Organik
67.4
0.000
0.366
1 Okt
BCR_1 Okt = 2.80 - 0.732 V - 0.0495 AnoSSTNino4 + 0.000341 CHfase1 + 0.000344 CH-fase2 + 0.000406 CH-fase3 - 0.245 Irigasi - 0.435 Pupuk + 0.166 Organik
76.6
0.000
0.288
15 Okt
BCR_15 Okt = 2.90 - 0.736 V + 0.0515 AnoSSTNino4 + 0.000398 CHfase1 + 0.000204 CH-fase2 - 0.000490 CH-fase3 - 0.177 Irigasi - 0.433 Pupuk + 0.166 Organik
52.6
0.000
0.482
1 Nov
BCR_1 Nov = 3.48 - 0.803 V - 0.0912 AnoSSTNino4 + 0.000268 CHfase1 - 0.00159 CH-fase2 + 0.000686 CH-fase3 + 0.422 Irigasi - 0.105 Pupuk - 0.614 Organik
56.8
0.000
0.541
15 Nov
BCR_15 Nov = 2.59 - 0.461 V - 0.288 AnoSSTNino4 + 0.000037 CHfase1 - 0.000841 CH-fase2 + 0.000430 CH-fase3 + 0.804 Irigasi - 0.450 Pupuk + 0.170 Organik
40.5
0.000
0.738
1 Des
BCR_1 Des = 2.37 - 0.545 V - 0.330 AnoSSTNino4 - 0.000380 CH-fase1 - 0.000731 CH-fase2 + 0.000868 CH-fase3 + 1.30 Irigasi 0.458 Pupuk + 0.180 Organik
47.4
0.000
0.867
15 Des
BCR_15 Des = 2.66 - 0.802 V - 0.309 AnoSSTNino4 - 0.000556 CHfase1 - 0.000332 CH-fase2 + 0.000507 CH-fase3 + 1.28 Irigasi - 0.495 Pupuk + 0.196 Organik
51.5
0.000
0.838
Keterangan : yang diberi garis bawah, nyata pada α=0.05
83
BCR_1 Jun = 0.458 - 0.365 V + 0.094 AnoSSTNino4 + 0.00443 CH-fase1 + 0.00543 CH-fase2 + 0.00342 CH-fase3 + 2.06 Irigasi - 0.231 Pupuk + 0.0567 Organik Persamaan di atas bermakna : •
Konstanta
= 0.458, menunjukkan BC ratio yang diharapkan akan diperoleh pada tanggal tanam 1 Juni kalau menggunakan varietas IR 8, SST pada kondisi rata-rata, tidak ada hujan pada fase 1, fase 2 dan fase 3, tanpa irigasi, paket pupuk yang digunakan paket 230 kg Urea-100 kg SP-36-50 kg KCl dan tanpa bahan organik.
•
- 0.365 V
= Kalau menggunakan varietas yang pertama (IR 64) maka akan memberikan BC ratio yang lebih rendah 0.365 dibanding varietas yang kedua (IR 8).
•
0.094 AnoSSTNino4= Kalau AnoSSTNino4 naik sebesar 1 satuan (1oC) akan menyebabkan penurunan BCR sebesar 0.094
•
0.00443 CH fase1 = Setiap peningkatan CHfase1 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00443.
•
0.00543 CH fase2 = Setiap peningkatan CHfase2 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00543.
•
0.00342 CH fase3 = Setiap peningkatan CHfase3 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan BCR sebesar 0.00342.
•
2.06 Irigasi
•
-0.231 pupuk
= kalau menggunakan kombinasi pupuk yang pertama maka akan terjadi peningkatan BCR sebesar 0.231, dibanding kalau menggunakan kombinasi pupuk yang kedua, sedangkan kalau menggunakan kombinasi pupuk yang ketiga akan menurunkan BCR sebesar 0.231.
•
0.0567 organik
=
= kalau menggunakan Irigasi maka akan memberikan prediksi BCR yang lebih tinggi sebesar 2.06 dibanding tanpa Irigasi pada tanggal tanam 1 Juni
kalau menggunakan bahan organik jerami maka akan terjadi pengurangan BCR 0.0567 dibanding kalau tanpa menggunakan bahan organik, sedangkan kalau menggunakan bahan organik pukan 2 ton/ha akan memberikan peningkatan BCR sebesar 0.0567.
84
Berdasarkan
penghitungan kelayakan ekonomi yang diwakili dengan
penghitungan BC Ratio, terlihat bahwa penanaman MT II pada tanggal tanam 1 Februari memberikan error yang paling rendah, dibanding bulan-bulan lain, dimana petani biasa melakukan penanaman untuk MT II dan pada saat itu penanaman pada MH sudah panen. Pada persamaan BC Ratio, selain irigasi dan varietas, pupuk juga memperlihatkan nilai yang signifikan.
Hal tersebut diperlihatkan
dengan kontribusi pupuk terhadap model persamaan yang diperoleh, yang ditunjukkan pada Tabel 4.4. Koefisien dan SS (sumbangan keragaman terhadap model/ persamaan yang dihasilkan
memperlihatkan bahwa irigasi memberi
pengaruh dominan pada tanggal tanam, kecuali tanggal tanam 15 Agustus hingga 1 November.
Pada tanggal-tanggal tersebut, keragaman persamaan lebih
diperlihatkan oleh perbedaan pupuk yang diberikan.
Dengan demikian, pada
tanggal tanam 15 Agustus hingga 1 November perbedaan perlakuan pupuk memberikan perbedaan BC Ratio yang cukup signifikan.
Sejalan dengan
penggunaan pupuk, penggunaan varietas pada tanggal-tanggal tersebut juga mmeberikan sumbangan keragaman yang dominan terhadap persamaan BC Ratio yag dihasilkan.
85
Tabel 4.4. Koefisien persamaan BC Rasio dan kontribusi masing-masing prediktor 15-Jan
1-Jan Koef isien
SS
Koef isien
1-Feb
SS
Koef isien
Koef isien
Koef isien
V
-0.39
2.54
-0.39
2.53
-0.46
3.58
-0.30
1.39
-0.29
1.27
AnoSST
-0.42
3.28
-0.44
3.28
-0.30
2.30
-0.28
1.77
-0.27
1.39
CH-f ase1
0.00
0.17
0.00
0.17
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.11
CH-f ase2
0.00
0.07
0.00
0.01
0.00
0.08
0.00
1.30
0.00
0.56
CH-f ase3
0.00
1.17
0.00
1.35
0.00
5.42
0.00
0.28
0.00
0.05
Irigasi
2.28
86.53
2.28
86.41
2.25
84.73
2.45
91.95
2.50
93.39
Pupuk
-0.42
5.61
-0.42
5.61
-0.33
3.61
-0.32
2.89
-0.32
2.88
0.14
0.63
0.14
0.63
0.09
0.29
0.12
0.41
0.11
0.35
15-Mar
1-Apr
SS
Koef isien
1.06
SS
1.56
Koef isien
0.99
1-Mar
SS
K
Organik
1.59
15-Feb
SS
15-Apr
SS
Koef isien
1 Mei
SS
Koef isien
Koef isien
V
-0.47
2.82
-0.46
2.37
-0.42
1.86
-0.32
1.21
-0.33
1.52
AnoSST
-0.21
0.62
-0.36
3.08
-0.38
2.87
-0.19
2.03
-0.02
1.12
CH-f ase1
0.00
0.09
0.00
0.00
0.00
0.05
0.00
1.40
0.00
8.84
CH-f ase2
0.00
0.14
0.00
1.18
0.00
9.39
0.01
13.43
0.01
7.61
CH-f ase3
0.00
0.07
0.01
16.16
0.02
9.69
0.01
4.20
0.01
1.06
Irigasi
2.72
93.47
2.57
74.89
2.62
73.27
2.51
75.37
2.38
77.96
Pupuk
-0.32
2.66
-0.31
2.11
-0.36
2.52
-0.30
2.20
-0.25
1.76
0.07
0.14
0.09
0.20
0.13
0.36
0.08
0.16
0.07
0.12
1 Juni
15 Juni
SS
Koef isien
0.46
SS
1.05
Koef isien
0.38
15 Mei
SS
K
Organik
0.83
1.11
1-Jul
SS
Koef isien
15-Jul
SS
Koef isien
0.68
1-Aug
SS
Koef isien
0.96
SS
K
0.46
V
-0.37
2.26
-0.45
3.64
-0.44
4.61
-0.57
9.93
-0.59
19.13
0.09
0.68
0.14
0.66
0.12
0.79
0.13
1.17
-0.18
17.97
AnoSST
0.55
0.34
1.68
CH-f ase1
0.00
21.28
0.00
21.78
0.01
23.95
0.01
18.38
0.00
9.94
CH-f ase2
0.01
1.28
0.00
0.29
0.00
9.74
0.00
13.58
0.00
12.18
CH-f ase3
0.00
0.76
0.01
9.16
0.00
5.24
0.00
8.45
0.00
5.15
Irigasi
2.06
71.79
1.87
63.14
1.49
53.71
1.20
43.99
0.67
24.82
Pupuk
-0.23
1.86
-0.18
1.30
-0.18
1.92
-0.26
4.18
-0.30
9.83
0.06
0.11
0.03
0.04
0.03
0.03
0.07
0.33
0.09
0.99
Organik
15-Aug Koef isien K
1-Sep
SS
Koef isien
2.01
15-Sep
SS
Koef isien
2.31
1-Oct
SS
Koef isien
2.58
15-Oct
SS
Koef isien
2.80
SS
2.90
V
-0.54
20.42
-0.61
33.94
-0.69
43.71
-0.73
51.13
-0.74
53.87
AnoSST
-0.39
27.56
-0.26
18.93
-0.19
8.96
-0.05
1.20
0.05
0.01
CH-f ase1
0.00
20.01
0.00
10.54
0.00
6.07
0.00
3.16
0.00
3.85
CH-f ase2
0.00
5.57
0.00
1.05
0.00
1.85
0.00
1.38
0.00
0.47
CH-f ase3
0.00
0.63
0.00
6.25
0.00
3.33
0.00
0.59
0.00
0.73
Irigasi
0.36
8.89
0.05
0.24
-0.20
3.67
-0.25
5.73
-0.18
3.12
Pupuk
-0.34
15.24
-0.39
25.22
-0.41
28.11
-0.44
31.54
-0.43
32.47
0.11
1.68
0.14
3.82
0.15
4.30
0.17
5.27
0.17
5.48
Organik
1-Nov Koef isien K
15-Nov
SS
Koef isien
3.07
1 Des
SS
Koef isien
2.59
15 Des
SS
Koef isien
2.37
SS
2.66
V
-0.80
42.95
-0.46
14.73
-0.54
11.27
-0.80
AnoSST
-0.09
0.26
-0.29
8.43
-0.33
5.37
-0.31
2.79
0.00
0.66
0.00
0.27
0.00
0.06
0.00
0.76 0.10
CH-f ase1
22.19
CH-f ase2
0.00
7.43
0.00
2.55
0.00
1.71
0.00
CH-f ase3
0.00
1.09
0.00
0.59
0.00
1.21
0.00
0.26
Irigasi
0.42
11.88
0.80
44.82
1.30
64.20
1.28
56.80
Pupuk
-0.51
30.15
-0.45
24.61
-0.46
13.71
-0.49
14.45
0.20
5.57
0.17
4.01
0.18
2.46
0.20
2.66
Organik
86
4.4. Simpulan Berdasarkan BC Ratio yang diperoleh untuk setiap perlakuan, seperti halnya produksi yang diperoleh, umumnya tanggal tanam merupakan peubah yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan panen.
Kombinasi
tanggal tanam dengan perlakuan pupuk, irigasi dan varietas, memberikan hasil bahwa untuk musim tanam kedua, akan memberikan hasil yang terbaik apabila ditanam pada pertengahan Januari atau awal Februari. Penanaman MT II pada tanggal tanam 1 Februari memberikan error yang paling rendah, dibanding bulanbulan lain. Penghitungan BC Ratio pada tahun-tahun Normal, El-Nino dan La-Nina didasarkan pada nilai curah hujan yang merupakan output hasil simulasi DSSAT Kecamatan Pacitan.
Dengan menarik garis batas BC Ratio pada nilai 1.5,
penanaman pada tahun-tahun Normal di Pacitan yang perlu mendapat perhatian lebih baik adalah pada 15 Februari hingga 15 Maret dan 1 Juni. Penanaman pada tahun-tahun El-Nino, perlu mendapatkan penanganan yang baik hampir sepanjang tahun, terutama dari Januari hingga Agustus, sedangkan pada tahun-tahun LaNina, penanaman 15 Maret hingga 15 April harus direncanakan dengan sebaikbaiknya. Analisis kelayakan ekonomi yang dilakukan adalah untuk menghitung pertanaman pada tanggal tanam berbeda yang didukung dengan pilihan teknologi budidaya, sehingga diperoleh gambaran untuk memilih teknologi yang dianggap terbaik. Informasi yang diperoleh ini merupakan salah satu dukungan terhadap informasi kalender tanam dinamik. Oleh karena itu, pada bab berikutnya akan dibahas mengenai state of the art (pengembangan) kalender tanam dinamik di Indonesia untuk pengelolaan risiko iklim.
87
V.
5.1.
PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK INDONESIA UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM
DI
Pendahuluan Kalender tanam pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat tani oleh
Kementerian Pertanian (Syahbuddin et al. 2007; Las et al. 2007). Di pihak lain, IPB melalui CCROM bekerja sama dengan BMKG, melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah Kalender Pertanian Indonesia (Boer et al. 2007). Gaung kalender tanam semakin terdengar, ketika kalender tanam dipromosikan Kementerian Pertanian mulai tahun 2007 dan dirangkum/direvisi dalam sebuah kalender tanam terpadu mulai akhir tahun 2011 (http://www.katam.litbang.go.id). Menurut Boer (2002), kalender tanaman merupakan sistem penanggalan yang menunjukkan tingkat kepentingan hubungan antara kondisi lingkungan dengan fase pertumbuhan tanaman. Jadi kalender tanaman akan memperlihatkan kondisi lingkungan yang bagaimana yang tidak diinginkan atau diinginkan tanaman dan pada fase pertumbuhan yang mana tanaman menjadi sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan tersebut.
Pendapat Syahbuddin et al. (2007) menyatakan
bahwa Kalender tanam adalah suatu informasi yang menggambarkan potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air. Kalender tanam ini merekomendasikan alternatif pola tanam. Pada awal perkenalan mengenai kalender tanam yang dikeluarkan Litbang Pertanian, kalender tanam yang ada merupakan tabulasi dari tahun Normal, ElNino,
La-Nina
dan
existing
petani
setempat.
Namun
demikian
sudah
merekomendasikan pola tanam sampai level kecamatan, meskipun masih bersifat statis. Di lain pihak, kalender pertanian yang diperkenalkan Boer et al. (2007), menyampaikan permulaan teknik-teknik yang menyajikan informasi kalender tanam yang dapat diakses dan digunakan pengguna dengan memasukkan nilai tertentu pada web.
Metode yang diperkenalkan dalam hal ini mengarah pada
penggunaan kalender tanam dinamik. Kalender tanam perlu dikembangkan ke arah yang berorientasi dinamik, karena dengan dikeluarkannya kalender tanam dinamik, dapat diketahui informasi untuk setiap musim tanam, berdasarkan hasil prakiraan iklim yang dikeluarkan.
88
Pengembangan
kalender
tanam
dinamik
berfungsi
sebagai
alat
bantu
pengambilan keputusan. Kalender tanam dinamik diharapkan dapat membantu otoritas lokal untuk mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan. Informasi iklim pada musim yang akan datang, memungkinkan petani mempunyai pilihan apakah akan menanam atau tidak, apa jenis tanaman yang akan ditanam, varietas apa yang akan ditanam dan lain-lain.
Sejalan dengan
pernyataan Buono et al. (2010) yang menegaskan bahwa penyusunan kalender tanam dimaksudkan untuk memberi informasi kepada pengguna secara lebih dinamis, sehingga diharapkan dapat menjadi panduan operasional baik bagi penyuluh pertanian maupun petani dalam menjalankan usahataninya secara berkelanjutan. Informasi yang komphrehensif dari berbagai sektor terkait dapat membantu otoritas lokal untuk mempersiapkan manajemen potensi risiko iklim ke depan dan membantu petani untuk memperkirakan waktu tanam menyesuaikan dengan kondisi iklim. Adapun manfaat Kalender Tanam, secara umum adalah (Runtunuwu et al. 2009): •
Menentukan waktu tanam per kecamatan berdasarkan kondisi iklim (basahkering-normal)
•
Menentukan pola tanam berdasarkan potensi sumber daya air
•
Menetapkan strategi penyediaan & distribusi sarana produksi
•
Perencanaan
budidaya
&
pengelolaan
tanaman
untuk
menghindari/mengurangi resiko iklim Dalam kaitannya dengan kalender tanam, ada beberapa hal
yang
melatarbelakangi mengapa kalender tanam perlu disusun. Hal ini terkait dengan perlunya pengelolaan risiko iklim. Hal-hal tersebut, yaitu : 1). kejadian bencana iklim terutama akibat iklim ekstrim dan pengaruhnya pada ketersediaan air untuk pertanian yang merupakan bagian dari risiko iklim, 2). Sebagai perencanaan awal pertanian kaitannya dengan sistem informasi iklim, 3). teknologi yang digunakan petani menyangkut pola bertanam petani sebagai bagian teknologi adaptasi yang perlu disiapkan dan 4). kelembagaan yang menyertai, baik itu kelembagaan pusat maupun daerah, menyangkut sarana dan prasarana. Pribadi (2008) yang diacu dalam Lassa et al. (2009) menyatakan bahwa suatu proses pengelolaan risiko bencana dapat melibatkan secara aktif
89
masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuannya.
Menurut Abarquez & Murshed (2004), dalam
pengelolaan risiko bencana diperlukan upaya pemberdayaan komunitas agar dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan pihak atau kelompok masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh masyarakat sendiri. Gambar 5.1. menyajikan sistem pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan mengutamakan komunikasi dan koordinasi pada pihak-pihak terkait.
Gambar 5.1
Ilustrasi salah satu pilar utama dalam sistem pengelolaan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Lassa et al. 2009)
Dalam kaitannya dengan kalender tanam, kegagalan dan keberhasilan panen merupakan bagian dari pengelolaan risiko iklim. Berbicara mengenai risiko (risk) berarti berbicara mengenai peluang (Boer 2002). Jadi dalam hal ini pilihan pola tanam pada kalender tanam diharapkan dapat mengkalkulasi / menentukan besarnya peluang suatu keadaan yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan kegagalan atau kerusakan.
5.2.
Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal kalender tanam
90
Secara tradisional, kalender tanam telah lama dikembangkan oleh petani Indonesia. Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Syahbuddin 2007) Pranata mangsa merupakan pengetahuan indigenous. Menurut Johnson (1992) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah. Pranata mangsa adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu. Pranata mangsa berbentuk kalender tahunan yang bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut (Wiriadiwangsa 2005). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau dan mungkin juga berperang. Tabel Pranata Mangsa selama setahun dengan sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100):
1.
Kasa (Kahiji) 22/23 Juni - 2/3 Agustus. Musim tanam palawija.
91
2.
Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.
3.
Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September.
Musim ubi-ubian
bertunas, panen palawija. 4.
Kapat (Kaopat) 18/19 September-13/14 Oktober. Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang.
5.
Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November.
Musim turun hujan,
pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda. 6.
Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
7.
Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.
8.
Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
9.
Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
10.
Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung- burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
11.
Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei.
Masih ada waktu untuk
palawija, burung-burung menyuapi anaknya. 12.
Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000).
(Sumber: Wiriadiwangsa, 2005 dari
92
Gambar 5.2
Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek moyang (http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540teknologi-kuno-bangsa-indonesia-yang-canggih.html)
Teknik membaca mangsa didasarkan atas nampaknya Rasi Waluku (Orion) Apabila Rasi Waluku terbit pada waktu shubuh, hal ini berarti hari tersebut adalah permulaan mangsa kasa (mangsa pertama). Dengan terbitnya Rasi Waluku merupakan pertanda bagi para petani untuk mempersiapkan bajaknya (walukunya). Apabila pada shubuh hari Rasi waluku telah merembang (dekat dengan zenith) maka berarti permulaan mangsa kapat (mangsa labuh/hujan kiriman). Apabila waktu shubuh Rasi Waluku mulai tenggelam berarti permulaan mangsa kapitu (mangsa ketujuh). Pada mangsa kapitu biasanya ditandai dengan musim hujan rendheng. Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku merembang maka pertanda permulaan awal mangsa kasanga (mangsa kesembilan). Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku mulai terbenam maka pertanda awal mangsa desta (mangsa kesebelas). Pada masa ini orang-orang tidak bisa melihat Rasi Waluku, sehingga diartikan sebagai masa selo atau apit. Yang artinya meng-apit walukunya (menyimpan bajaknya). Menurut Supriyono (2012), fenomena mongso untuk penciri dimulainya pertanaman terbagi ke dalam empat musim, yaitu; 1.
Fenomena Mongso Labuh (http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsafenomena-cuaca-pertanian/) Mongso labuh adalah saat dimulainya kegiatan bercocok tanam setelah
musim kemarau yang dimulai pada mongso IV yang diawali dengan kegiatan
93
pengolahan tanah.
Untuk menanam
menjadi dingin dan cukup lembab. petani adalah mulai
benih, petani menunggu sampai tanah
Indikasi dinginnya tanah yang dipedomani
bertunasnya umbi-umbian, baik yang disimpan di rumah
maupun yang masih berada di kebun, seperti, gadung, uwi, talas dll. Apabila saat itu tanah masih kering, mereka menunggu pergantian musim yang ditandai dengan hembusan angin konstan berubah-ubah arah selama beberapa hari dan pada saat angin berhenti itulah saat pergantian mongso yang sering disertai dengan turunnya hujan yang disebut sebagai hujan menjelang pergantian mongso (udan mapag mongso). Komponen cuaca yang relevan dengan fenomena dinginnya tanah adalah suhu tanah permukaan setiap jam 13.00 yang mendekati suhu maksimum hariannya. Rata2 dasarian suhu tanah permukaan mencapai puncaknya pada dekade ke 28 atau dekade-1 Oktober yang masih masuk mongso IV dan pada dekade berikutnya yang mulai masuk mongso V suhu tanah permukaan mulai menurun dan pada perioda tersebut umbi2an mulai bertunas dan rumput mulai menghijau meskipun hujan belum turun. Penyimpangan cuaca yang bisa mengacaukan perhitungan ini adalah curah hujan berkepanjangan pada musim kemarau, terlebih pada saat munculnya fenomena alam La-Nina, karena penyakit bulai sudah mulai muncul pada mongso V. Meskipun demikian, pertanaman pada mongso V resikonya tetap lebih rendah. 2.
Fenomena Mongso Bedhidhing Mongso ke II dikenali masyarakat sebagai musim dingin atau mongso
bedhidhing dan masih bisa dijumpai setiap tahun. Fenomena alam yang sering terjadi pada mongso ini adalah minyak kelapa membeku di pagi hari, banyak ayam sakit dan mati sehingga sering disebut juga musim aratan atau pagebluk. Kapuk randu mulai membentuk kuncup bunga sehingga
ada
masyarakat yang
menyebut bunga kapuk sebagai Karo. Pada mongso I, bumi berada pada jarak terjauh ke matahari dan dampaknya mulai dirasakan pada mongso ke II dimana udara malam sangat dingin. Data cuaca pertanian yang relevan dengan fenomena ini adalah rata2 suhu udara minimum di malam hari, yang setiap tahun mencapai suhu terendah pada dekade 23 atau dekade-2 Agustus, artinya yang masih bagian dari mongso karo.
94
3.
Fenomena Mongso Rendengan Sampai saat ini mongso VI masih diyakini sebagai masa tanam terbaik
untuk padi sawah dan sepanjang situasinya mendukung para petani berupaya agar bisa tanam pada mongso VI. Kenyataan yang belum berubah sampai saat ini adalah,
padi yang ditanam pada
mongso kanem memiliki resiko terendah
terhadap penyakit tanaman disamping produktivitasnya paling tinggi. Selama tiga dekade pengamatan, dengan jenis padi dan cara tanam yang sama, tanaman dengan sedangkan
masa panen memasuki
sekitar mongso
mongso IX memiliki produktivitas tertinggi, X
produktivitasnya
mulai
menurun
dan
penurunannya bisa mencapai 50%. Faktor cuaca pertanian yang berperan disini bukan saja cuaca pada saat tanam, tetapi juga cuaca menjelang panen, terutama untuk ukuran padi genjah, yang relevan dengan jenis padi yang ditanam saat ini. Di dalam hal ini suhu tanah pada kedalaman 1 meter setiap jam 07.00 pagi adalah komponen cuaca yang paling berperan, terutama di dataran rendah. Suhu tanah ini mencapai puncaknya pada dekade ke 10 atau dekade 1 April yang masuk mongso ke- X. Pada kondisi suhu tinggi dari dalam tanah sawah akan keluar cairan berwarna merah pada malam hari yang pada pagi harinya berubah menjadi kuning kecoklatan dan dikenal sebagai karat tanah.
Cairan inilah yang
menyebabkan kerusakan
perakaran tanaman yang potensial dan mengganggu proses fisiologis sehingga pengisian malai tidak sempurna atau dalam kata lain banyak bulir padi yang kosong atau hampa. 4.
Fenomena Mongso Gadu Padi sawah yang ditanam pada mongso X – XI pertumbuhannya sangat
lambat dan anakannya kurang sehingga produktivitasnya juga kurang, tetapi yang jauh lebih penting bagi petani adalah masalah hama tikus. Tanaman yang masa tanamnya mongso X – XI apabila terserang hama tikus
tingkat kepulihannya
<30%, sebaliknya, pertanaman mulai mongso XI pertumbuhannya berangsurangsur lebih bagus dan apabila terserang tikus tingkat kepulihan masih bisa >80%. (Supriyono, 2012 diambil dari
http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa-
fenomena-cuaca-pertanian/). Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang atas Bulan-4 sampai Bulan-6 yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan
95
pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4 ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintangbintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi 1997). Pranata mangsa yang merupakan kearifan lokal ini merupakan kalender tanam tradisional yang sudah diadopsi petani di suatu wilayah tertentu secara turun temurun.
Suatu tool untuk sinkronisasi kalender tanam dinamik dengan
pranata mangsa akan sangat berguna untuk menggabungkan keduanya.
5.3.
Pengembangan Model Kalender Tanam di Indonesia
5.3.1. Kalender Tanam Kementerian Pertanian Hasil-hasil penelitian mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai TA 2007 (Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera), tahun 2009 (Pulau Sulawesi dan Kalimantan) dan 2010 (Bali, Papua Barat, NTB, NTT, Maluku) di Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kalender
tanam Kementerian Pertanian telah menyusun Peta Kalender Tanam Pulau Jawa dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala 1:1.000.000
dan berbasis
kecamatan dengan skala 1:250.000. Peta ini menggambarkan waktu tanam dan pola tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b). Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing kondisi iklim tersebut. Dengan kata lain, dalam penggunaannya kalender tanam ini bersifat ‘look up table’. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian, kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam, sesuai dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu dinamis, karena disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada
96
skala kecamatan, spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna karena disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Gambar 5.3
Diagram alir penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial (Syahbuddin 2007) Dalam kalender tanam yang disusun Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : •
Pola Tanam (waktu tanam, jenis tanaman, dll) dengan 4 skenario :
Eksisting
CH Normal,
Kering (El-Nino),
Basah (La-Nina)
•
Pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi
•
Elastisitas ketersediaan air menurut skenario perubahan/anomali iklim (maju-mundur, Basah, Kering, Normal) awal musim & jumlah CH
•
Indeks & tingkat kekeringan, perubahan waktu dan durasi ketersediaan air
•
Alternatif pola tanam (waktu tanam, varietas, dan jenis tanaman, dll) Kalender tanam hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
ditampilkan dalam dua bentuk yaitu : -
Spatial dalam bentuk Peta Kalender Tanam
-
Tabular dalam bentuk Tabel Rekomendasi Pola Tanam (& Waktu Tanam) per Kecamatan, oleh karena itu kalender tanam ini berdasarkan ‘look up table’.
97
Publikasi dalam bentuk Atlas Kalender Tanam sudah disusun sebanyak 3 volume: -
Volume I
-
Valume II : Sumatera, Kalimantan (2008)
-
Valume III : Bali, NTB, Sulawesi,dll (2008/09)
-
Volume IV : Papua, Maluku, Malut, Bali, NTT, NTB, dan Makasar (2010)
: Jawa (+ Madura) (2007)
Kalender Tanam Terpadu Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian Launching Kalender Tanam Terpadu”.
meluncurkan ”Soft
Pada kalender tanam terpadu sudah
menggabungkan teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi yang optimal, diantaranya varietas dan proporsi benih yang dianjurkan, pemupukan berimbang, metodologi identifikasi bencana banjir, kekeringan dan OPT serta menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu ditunjang dengan basisdata yang terorganisir dengan baik. Kalender tanam yang dihasilkan diharapkan dapat membantu di dalam menetapkan strategi penyediaan dan distribusi sarana produksi serta perencanaan pola tanam, teknik budidaya pengelolaan tanaman untuk menghindari/mengurangi resiko iklim pada tanaman pangan lahan sawah.
Oleh
karena itu, diharapkan para pengambil kebijakan dapat dengan mudah dan cepat melakukan perencanaan pertanian tanaman pangan di lahan sawah yang mempertimbangkan prediksi iklim near real time yang meliputi waktu tanam, luas tanam, rekomendasi dan kebutuhan pupuk, rekomendasi varietas dan kebutuhan benih, serta informasi wilayah rawan banjir, kekeringan dan rawan OPT (Ramadhani et al. 2011). Pengguna dapat mengakses dan juga menambahkan data pada feature yang sudah disediakan, sesuai lokasi yang ingin diketahui. Akses tersedia di situs Badan litbang Pertanian,
http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam
Terpadu. Desain sistem kalender tanam terpadu terdiri dari tiga tahapan (Gambar 5.4) (Ramadhani et al, 2011): 1.
Desain database, data yang sudah dikumpulkan dalam tahap sebelumnya disimpan dalam bentuk tabel relasional. Dalam tahap ini, tabel dibuat sesuai dengan tingkat data administrasi dan data pendukungnya.
98
2.
Desain aplikasi berbasis desktop untuk mendukung kemampuan updating data secara otomatis, aplikasi desktop ini dibutuhkan sebagai alat penghasil data dinamis jika data tertentu atau algortima analisis diperbaruhi sewaktuwaktu, sehingga aplikasi berbasis web dapat menampilkan data atau informasi yang telah diubah secara cepat dan mudah.
3.
Desain aplikasi berbasis web untuk publikasi data, perancangan antar muka dalam aplikasi berbasis web ini akan terdiri dari peta digital dan interaktif, data tabular yang mudah digunakan, dan kemampuan menyediakan peta digital yang sudah di-layout dalam bentuk Portable Document Format (pdf) dan tabel tabularnya secara dinamis.
Brainstorming
Pembuatan desain sistem kalender tanam terpadu
Pembuatan sistem informasi kalender tanam terpadu
Desain database
Layout peta kalender tanam
Inventarisir hasil penelitian
Penyusunan algoritma analisis
Desain aplikasi berbasis web
Desain aplikasi berbasis desktop
Verifikasi lapang
Pembuatan Aplikasi berbasis web
Pembuatan Aplikasi desktop
Testing aplikasi berbasis web dan desktop Instalasi server di tempat colocation
Gambar 5.4 Diagram alir proses pembuatan sistem kalender tanam terpadu (Ramadhani et al. 2011)
Kalender tanam terpadu ini direncanakan akan diupdate setiap 3 kali setahun, yaitu untuk informasi awal musim hujan, awal musim kemarau dan informasi untuk MK II.
Update pertama untuk tahun 2012 dilakukan untuk
informasi musim tanam II (MK I). Adapun pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kalender tanam terpadu pada dasarnya sama dengan informasi yang dikeluarkan sebelumnya, yaitu penyusunan peta kalender tanam aktual dan potensial dengan
99
menggunakan analisis klimatologis.
Kalender tanam aktual didasarkan pada
informasi luas baku sawah dan luas tanam dengan menginformasikan kalender tanam existing petani. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam rata-rata sepuluh harian per kecamatan untuk periode lima sampai sembilan tahun terakhir tergantung ketersediaan data di setiap provinsi. Awal tanam MT I ditentukan pada saat 8% dari luas baku sawah kecamatan yang bersangkutan telah ditanami padi. Awal tanam MT II ditentukan pada saat 6% dari luas baku sawah telah ditanami padi. Sedangkan awal tanam MT III ditentukan pada saat 2% dari luas baku sawah telah ditanami padi (Runtunuwu et al. 2008). Kalender tanam potensial berdasarkan informasi curah hujan (isohyets, onset dan indeks pertanaman), informasi yang dikeluarkan berupa kalender tanam pada kondisi tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Penyusunan kalender tanam potensial menggunakan informasi iklim/curah hujan sebagai parameter utama di dalam penentuan onset musim tanam. Komponen utama deliniasi kalender tanam adalah curah hujan dan ketersediaan air irigasi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap awal adalah menginventarisasi data sumberdaya iklim, terutama curah hujan, yang kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik curah hujan, yaitu variabilitas iklim, zona agroklimat, potensi awal musim tanam (onset), dan intensitas pertanaman (IP) (Runtunuwu et al. 2008). Onset Waktu Tanam Potensial Onset mencirikan waktu tanam pada MT I. Onset dimulai apabila curah hujan telah melebihi 35 mm/dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. Penentuan ini sangat terkait dengan jumlah dasarian (1 dasarian = 10 hari) selama setahun yang memiliki curah hujan lebih dari 35 mm/dasarian (LGP, length growth period). Karakteristik sumberdaya iklim di atas masih merupakan informasi per stasiun iklim, sehingga perlu dispasialkan untuk mendapatkan informasi utuh di seluruh wilayah. Spasialisasi dilakukan berdasarkan tiga variabilitas iklim, yaitu tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Dari masing-masing variabilitas iklim tersebut dibuat dua layer zonasi digital, yaitu layer zona agroklimat dan layer gabungan antara onset kalender tanam potensial dan IP. Kedua layer digital selanjutnya ditumpangtepatkan (overlay) untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki karakteristik iklim yang relatif homogen.
Agar informasi yang diperoleh
sesuai dengan target, yaitu mengenai sawah, maka kedua layer tersebut juga ditumpangtepatkan dengan layer distribusi sawah dari setiap kecamatan. Hasil
100
overlay merupakan basis data kalender tanam yang kemudian digunakan untuk menentukan onset setiap kecamatan, berdasarkan onset areal sawah yang terluas. Pada kalender tanam terpadu ada penambahan informasi baru berupa informasi hasil prakiraan iklim sebagai input dinamik sekaligus mengembangkan Atlas
Kalender
Tanam
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian
Kementerian Pertanian menjadi suatu informasi yang dinamik dan interaktif. Hasil prakiraan yang dikeluarkan merupakan hasil prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hingga Januari 2012, terhadap hasil prakiraan BMKG ini tidak dilakukan analisis, hanya dilakukan interpretasi saja.
Tabel 5.1 Contoh kalender tanam tanaman pangan (padi) pada tahun normal
Gambar 5.5
Diagram alir kalender tanam dengan menggunakan informasi prakiraan iklim BMKG
101
Informasi hasil prediksi musim yang terdiri dari prediksi awal musim, pergeseran musim dan sifat hujan, serta perkembangan prediksi iklim near real time dari BMKG sedemikian rupa dimanfaatkan sebagai input dinamik yang akan menjadi dasar pemilihan skenario anomali iklim pada Kalender Tanam yang akan diterapkan pada musim yang akan datang. Beberapa hal yang dilakukan antara lain, mempelajari peluang kejadian skenario anomali iklim dalam 2-3 musim berurutan, penyetaraan satuan peta dasar terkecil dari zona musim (ZOM) atau daerah bukan zona musim (Non-ZOM) menjadi berbasis administrasi di tingkat kecamatan, menterjemahkan informasi prediksi musim dari berbasis ZOM dan Non-ZOM menjadi berbasis kecamatan, serta menyusun informasi awal tanam dan luas tanam berdasarkan informasi prediksi musim dan perkembangan prediksi iklim near real time (Gambar 5.5) (Pramudia et al. 2011). Pada kalender tanam terpadu, selain dilengkapi dengan hasil informasi prakiraan iklim, juga dilengkapi dengan informasi identifkasi OPT dan analisis wilayah rawan banjir dan kekeringan, varietas dan pupuk.
Untuk
identifikasi
wilayah rawan kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dilakukan analisis tingkat kerawanan banjir dan kekeringan, analisis wilayah endemis OPT dan waktu puncak luas serangan banjir, kekeringan dan OPT.
5.3.2. CCROM-IPB dengan BMG Sejalan dengan penyusunan kalender tanam Kementerian Pertanian, pada tahun yang sama (tahun 2007) Boer et a.l juga melakukan riset terkait kalender tanam yang disebut sebagai kalender pertanian. Kalender tanam yang dihasilkan sudah lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan musim, sebagai alat bantu pengambilan keputusan. Kalender tanam yang dihasilkan menggunakan Bayesian network dan decision network. Dalam Decision Network (DN), keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al 2010). Informasi dimaksud diantaranya adalah indeks ENSO yang dapat digunakan sebagai indikator tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam.
102
Dalam penyusunan decision network, ada lima jenis data yang digunakan, yaitu; data ENSO (dalam kajian ini ialah data SOI Phase), lama musim hujan, sifat musim, luas tanam dan kejadian kekeringan untuk pengambilan keputusan bentuk pola tanam dengan tingkat risiko terkena kekeringan minimum. Keterkaitan antara informasi-informasi ini disusun dalam suatu perangkat lunak SIPOTAN dengan menggunakan bahasa pemograman PHP berbasis web. Ke lima jenis data ini disusun dalam bentuk Bayesian Network dan nilai yang digunakan dalam bentuk kode nilai. Tabel 5.2
No 1
2
3
4
5
Nilai ke lima peubah yang digunakan dalam penyusunan Bayesian Network (Boer et al. 2007)
Variabel
Nilai
E-Phase : SOI Phase Bln Agustus
1
Near Zero
2
Consistent Negative, Rapidly Falling
3
Consistent Positive, Rapidly Rising
CH : Curah Hujan
1
CH<(0.85*Rataan tahunan)
2
(0.85*Rataan Tahunan)
3
CH>(1.15*Rataan Tahunan)
SDMH : Sisa Dasarian Musim Hujan
1
Sisa MH <10 dasarian
2
Sisa MH : 10, 11, 12, dan 13 dasarian
3
Sisa MH > 13 dasarian
LT : Luas Tanam
1
LT<0.85*LT Rataan tahunan
K: Kekeringan
Arti
Ketersedi aan Data Ags ’89 s/d Nov. ’07
Jan s/d tahuan)
’89 Sep.
Nov. ’89 s/d Des. ’01
2
Okt. ’89 s/d Sep. 0.85*LT Rataan tahunan
3
LT>1.15*LT Rataan Tahunan
1
Tidak ada lahan kekeringan
2
0
3
5000 Ha
4
luas lahan kekeringan>15.000 Ha
Jan. ’89 s/d Des. ’04
Praproses untuk mentransformasi mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori tersebut adalah sebagai berikut (Boer et al. 2007):
1. SOI (SOI Phase) : diambil dari situs www.longpadock.qld.gov.au. 2. CH (Curah Hujan) :
103
a. Dihitung rata-rata tahunan nilai curah hujan untuk setiap bulan (ada 12 bulan) b. Untuk setiap bulan, nilai CH adalah : CH = 1 jika : Nilai CH < 0.85*Rata-rata Tahunan CH = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan
1.15*Rata-rata Tahunan
3. SDMH (Sisa Dasarian Musim Hujan) : a. Ditentukan Jumlah Sisa Dasarian pada setiap bulan berdasar informasi Awal Musim Hujan (AMH) dan Lama Musim Hujan (LMH). b. Nilai SDMH adalah sebagai berikut : SDMH=1 Jika Jumlah Sisa Dasarian <10 dasarian SDMH=2 Jika Jumlah Sisa Dasarian 10, 11, 12, atau 13 dasarian SDMH=3 Jika Jumlah Sisa Dasarian >13
4. LT (LuasTanam) : a. Dihitung rata-rata tahunan nilai LuasTanam untuk setiap bulan (ada 12 bulan) b. Untuk setiap bulan, nilai Luas Tanam adalah : LT = 1 jika : Nilai LT < 0.85*Rata-rata Tahunan LT = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan1.15*Rata-rata Tahunan
5. K (Kekeringan) : Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti pada berikut : 1
Tidak ada lahan kekeringan
2
0
3
5000 Ha
4
luas lahan kekeringan>15.000 Ha
Dari grafik di atas, maka luas lahan kekeringan dibagi menjadi 4 daerah seperti telah disebutkan di atas. Dalam kajian ini, untuk menentukan tingkat kekeringan terdapat empat peubah, yaitu SOI Phase, Curah Hujan (CH), Sisa Dasarian Musim Hujan (SDMH) dan Kejadian Kekeringan (K). Keterkaitan tiga peubah tersebut adalah seperti dalam Gambar 5.6 berikut (Boer et al. 2007):
104
CH
ENSO Phase
Gambar 5.6
K
SDMH
Bayesian Network dengan tiga peubah
Setelah diperoleh diagram keterkaitan di atas, dengan menggunakan data sample, maka pada setiap node dihitung tabel peluang bersyaratnya, (Conditional Probability Table, CPT).
Secara lengkap akan diperoleh suatu BN, seperti
digambarkan pada Gambar 5.7 berikut :
E 1 2 3
1 0.3774 0.4737 0.3889
P(CH|E) 2 0.2075 0.0702 0.1944
3 0.4151 0.4561 0.4167
CH Nilai 1 2 3
P(ENSO) 0.3630 0.3904 0.2466
E 1 2 3
1 0.6792 0.6316 0.6667
ENSO Phase
P(SDMH|E) 2 3 0.1132 0.2075 0.1579 0.2105 0.0833 0.2500 K
SDMH
CH
SDMH 1
1 1 1 2 2 2 3 3 3
Gambar 5.7 Bayesian network
1 2 3 1 2 3 1 2 3
0.6304 1 0.8750 0.8182 1 0.8333 0.8462 1 1
P(K|CH,SDMH) 2 3 0.1957 0 0.1250 0.1818 0 0.1667 0.1538 0 0
0.0652 0 0 0 0 0 0 0 0
n 4 0.1087 0 0 0 0 0 0 0 0
46 7 8 11 5 6 39 6 18
105
Kemudian dibentuk decision network untuk membentuk pola tanam (Gambar 5.8) CH
SOI Phase
K
SDMH
U
D: Pola Tanam
Gambar 5.8 Decision network Nilai dari keputusan (D) adalah berupa pilihan pola penanaman, yaitu : a. D1= padi-padi penanaman dimulai awal musim hujan b. D2= padi-padi penanaman dimulai satu bulan setelah musim hujan c. D3= padi-padi penanaman dimulai dua bulan setelah musim hujan d. D4= padi-padi penanaman dimulai tiga bulan setelah musim hujan Sedangkan node U adalah fungsi utilitas yang nilainya tergantung dari Keputusan (D) yang diambil dan kemunculan (outcome) dari node Kekeringan (K).
Oleh
karena node K mempunyai 4 kemungkinan nilai (Tabel 3.2) dan D juga mempunyai 4 kemungkinan tindakan, maka node U terdiri dari 4x4=16 kemungkinan/baris. Dari sini dapat dihitung nilai harapan kerugian yang timbul dari setiap keputusan yang
diambil.
Sedangkan penghitungan
Fungsi
Utilitasnya
dengan
menggunakan alur logika sebagai berikut : a. Penetapan 3 bulan mundur setelah AMH sebagai tanam kedua dari D1, satu bulan berikutnya adalah tanam kedua dari D2, satu bulan berikutnya lagi sebagai tanam kedua dari D3, dan satu bulan berikutnya sebagai tanam kedua dari D4. b. Penghitungan proporsi luas tanam setiap D1, D2, D3, dan D4 pada bulan berjalan. c. Proporsi luas tanam dikalikan dengan total luas lahan kekeringan
106
5.3.3. I-MHERE B2C IPB Mulai tahun 2010 riset tentang kalender tanam dilaksanakan oleh Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan CCROM melalui I-MHERE B2C IPB (Boer et al. 2010).
Penelitian ini diberi judul besar “Improving Research
Excellence On Agricultural Adaptation (A)” dengan aktivitas “Increasing The Resilience Of Agriculture System To Global Warming and Climate Change (A2)”. Topik ini merupakan salah satu upaya dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. Salah satu rekomendasi untuk mengatasi penurunan produksi padi dalam menghadapi keragaman dan perubahan iklim adalah dengan pengaturan waktu tanam. Penelitian pada tahun I telah menghasilkan sistem penentuan kalender tanam dinamik dan semi-dinamik berdasarkan kondisi iklim yang digambarkan oleh kondisi ENSO. dilakukan tahun 2007.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari riset yang Hasil penelitian tersebut memerlukan verifikasi dan
sosialisi kalender tanam yang telah dihasilkan. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui detail wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam pada kondisi normal. Sebagai bahan sosialisasi dibuat modul/panduan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Modul/panduan berupa booklet dan dapat di download di website, berisi cara menggunakan kalender tanam dinamik maupun semi-dinamik. Namun demikian pemanfaatan kelendar tanaman dinamik tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan pembangunan kemampuan kelembagaan daerah untuk memanfaatkannya dalam menyusun strategi dan program pengelolaan risiko iklim. Penguatan kelembagaan daerah dalam pengelolaa risiko iklim dilakukan melalui konsultasi dengan pejabat berwenang, diskusi, workshop dan pelatihan untuk para pemangku kepentingan terkait serta pembentukan kelompok kerja yang akan berperan dalam melakukan penataan dan penyusunan perangkat yang diperlukan dalam pengembangan sistem pengelolaan risiko iklim yang lebih efektif.
107
Gambar 5.9
Model DN untuk kalender dinamik tanaman (Boer et al. 2010)
Untuk tahun 2011, penelitian dilaksanakan dalam bentuk penelitian lapang dan desk study.
Penelitian lapang dilakukan untuk meninjau langsung
persawahan dan wawancara dengan PPL dan petugas lapangan pelapor gangguan tanaman di setiap wilayah hujan untuk mendapatkan informasi mengenai ketersediaan air irigasi dan periode tanam pada bagian wilayah
108
kecamatan yang mendapat rekomendasi tanam. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui wilayah mana saja yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam dan memverifikasi berapa luas tanam maksimum yang dapat ditanami pada ketiga musim tanam pada kondisi normal. Kegiatan lapang juga dilakukan dalam rangka identifikasi dan penetapan SKPD yang akan menjadi pengguna kalender tanam dinamik dan semi dinamik serta pelatihan terhadap petugas PPL dan SKPD dalam memanfaatkan informasi kalender tanam yang telah disusun. Desk
studi
dilakukan
untuk
melakukan
validasi,
evaluasi
sistem
pengelolaan risiko iklim dan menyusun bahan panduan penggunaan kalender tanam sebagai bahan sosialisasi hasil yang telah diperoleh dari penelitian tahun 2010. Bahan panduan yang disusun akan di upload di website CCROM_SEAP dan Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.
5.4.
Pengembangan Model Kalender Tanam Dinamik dalam penelitian ini Pengembangan kalender tanam dinamik dalam penelitian ini dititikberatkan
pada penambahan decision yang dihasilkan. Decision network yang dihasilkan menggunakan suatu pemodelan risiko iklim dengan mengukur fungsi utility sebagai pendekatannya. dikembangkan
Dengan demikian, kalender tanam dinamik yang
merupakan
sistem
informasi
yang
menyajikan
pemilihan
tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman, pemupukan, irigasi, varietas , teknik budidaya lain) yang mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat
kombinasi pilihan
tatalaksana terbaik. Pemodelan tersebut dikaitkan dengan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya
dengan
produktivitas
padi,
yang
dikuantifikasi
berdasarkan
komponen-komponen sistem informasi dan kalender tanam dalam hubungannya dengan produktivitas tanaman.
Sehingga decision yang dihasilkan, tidak saja
menyangkut waktu tanam, tetapi juga sudah memasukkan pilihan teknologi budidaya seperti pupuk, irigasi dan varietas. Mengingat pemilihan pupuk, varietas maupun penggunaan irigasi akan memberikan produksi yang berbeda pada tanaman. Disamping itu, juga dilakukan analisis keuntungan dan kerugian yang dijabarkan melalui penggunaan Sistem Inferensi Fuzzy yang digabung dengan
109
hasil simulasi DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer) (Jones et al. 2003), sehingga berdasarkan pilihan kombinasi pada decision, dapat diketahui keuntungan atau kerugian akibat pemilihan salah satu jenis atau kombinasi teknologi tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pola alternatif tanam ideal yang menguntungkan secara ekonomi, ditinjau dari kombinasi teknologi budidaya padi (pupuk, irigasi, varietas) suatu usaha tani pada suatu musim tertentu. Kombinasi teknologi budidaya tersebut diharapkan dapat memberi produksi maksimal dengan tingkat kerugian yang minimal Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System) Fungsi utility diharapkan dapat menggambarkan potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air, serta kalkulasi input dan output pada suatu usaha tani, sehingga diketahui keuntungan dan kerugiannya.
Nilai risiko untuk setiap
kombinasi antara keputusan pola tanam dengan kemunculan kejadian peubah iklim diprediksi sebagai rata-rata dari beberapa tahun kejadian bencana kekeringan.
Dengan demikian, komponen ketakpastian dari data kurang
diakomodasi oleh model.
Oleh karena itu, fungsi risiko yang memetakan
kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasikan dengan model Fuzzy Inference System (FIS).
Dengan model FIS, tranformasi
dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko dilakukan berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut selanjutnya diformalkan dalam dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan dinyatakan dalam logika fuzzy.
Dengan demikian, faktor ketidakpastian
terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi. Pada Gambar 2, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3 peubah, yaitu nilai anomali SST Nino4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah Hujan Musim
Kemarau (CHMK).
Selanjutnya ketiga input tersebut akan
memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua rule.
110
Hasil keluaran dari FIS berupa nilai kekeringan dalam ha. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian usaha tani per ha, digunakan hasil dari simulasi DSSAT yang digabungkan dengan hasil analisis usaha tani, sehingga diperoleh input, output dan keuntungan / kerugian dalam bentuk rupiah. Kombinasi yang paling menguntungkan itulah yang dipilih sebagai alternatif pola tanam ideal. Dengan demikian pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi. Kombinasi tersebut merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam, terutama ketersediaan air
Irigasi yang sangat mempengaruhi hasil
tanaman. Hasil riset sebelumnya utility berupa table sehingga nilainya discret dan data terbatas. 5.5.
Simpulan Riset kalender tanam dimulai sejak tahun 2007 oleh Kementerian Pertanian
yang lebih bersifat ‘look up table” dengan menggunakan tahun-tahun El-Nino, La-Nina dan Normal yang diperoleh berdasarkan data rata-rata historis jangka panjang. Prediksi disesuaikan dengan pola yang terbentuk
pada tahun-tahun
tersebut dengan panduan peta dan table-tabel. Riset kalender tanam yang disusun oleh Boer et al, lebih bersifat dinamik, karena sudah memasukkan hasil prakiraan iklim, dan menggunakan Peluang yang ditampilkan dalam Bayesian network. Decision yang dihasilkan adalah pilihan pola tanam. Pengembangan penelitian ini dari riset sebelumnya adalah jumlah decision yang lebih banyak.dengan kombinasi yang bervariasi.
Kombinasi tersebut
merupakan gabungan dari teknologi budidaya dengan tanggal tanam. Dengan demikian,
kalender tanam dinamik yang dikembangkan merupakan sistem
informasi yang menyajikan pemilihan tatalaksana pertanaman (pola, awal penanaman,
pemupukan,
irigasi,
varietas,
teknik
budidaya
lain)
yang
mempertimbangkan kemunculan kejadian iklim yang bersifat probabilistik untuk mengurangi risiko terkait kejadian iklim tersebut, dengan menggunakan analisis ekonomi untuk melihat kombinasi pilihan tatalaksana terbaik.
111
Berdasarkan state of the art kalender tanam ini, maka pada bab berikutnya akan dipaparkan mengenai pengembangan decision network yang dioptimasi dengan sistem inferensi fuzzy untuk penyusunan kalender tanam dinamik.
112
113
VI.
PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK
6.1.
Pendahuluan Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah
menentukan solusi terbaik yang optimal dari suatu tujuan yang dimodelkan melalui suatu fungsi objektif.
Dalam hal ini, konsep dan prinsip ekonomis memegang
peranan penting sebagai parameter/indikator keberhasilan. Solusi optimal yang dimaksud adalah solusi yang layak untuk diambil sebagai suatu keputusan dan dapat mengatasi semua kendala yang muncul dalam pencapaian fungsi tujuan tersebut. Dalam berbagai bidang, tingkat keuntungan yang maksimal atau tingkat kerugian yang minimal menjadi fungsi tujuan yang ingin dicapai. Sehingga secara alamiah, proses optimisasi sangatlah familiar dengan kehidupan manusia secara umum (Sudradjat et al. 2009). Lebih lanjut Sudradjat et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi optimal akan menjadi suatu tantangan untuk dicapai apabila muncul berbagai kendala yang membatasi pencapaian kondisi optimal tersebut. Sebagai contoh pada pemodelan optimisasi pola tanam pada lahan kering, terdapat variabel keputusan yang tidak diketahui besarannya sebelum kondisi terbaik yang optimal tercapai dengan mengatasi seluruh kendala yang ada. Optimisasi decision network dimaksudkan dengan mencari nilai fungsi utilitas yang paling optimal
sebagai masukan untuk kalender tanam dinamik.
Optimisasi diformulasi dengan menggunakan fuzzy inference system (FIS). Pengujian keabsahan model merupakan tahapan yang penting dalam pemodelan, karena harus selalu disadari bahwa tidak ada model simulasi yang berlaku untuk segala keadaan. Model selalu dikembangkan berdasarkan sejumlah asumsi yang membatasi keabsahan model. Pertimbangan akhir dari model yang teruji adalah model yang memenuhi kriteria : (1) model konseptual yang memberikan representasi baik bagi proses sesungguhnya; dan (2) lulus pengujian yang dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi model dengan hasil pengamatan eksperimental dan pengukuran lapang (Pawitan 2002). Pengujian tersebut merupakan
validasi model. Menurut Handoko (2002) validasi model
identik dengan pengujian hipotesis yang dalam hal ini, model itu sendiri merupakan hipotesisnya. Validasi model dapat dilakukan melalui beberapa cara
114
mulai dari yang bersifat deskriptif misalnya melalui perbandingan secara grafis, yaitu membandingkan antara hasil keluaran model dengan hasil pengukuran lapang pada grafik. Cara ini lebih mudah dilihat dan dibayangkan proses yang dimodelkan serta bagaimana kesamaan atau perbedaannya dengan hasil pengamatan lapang. Dalam bab ini, selain pemaparan mengenai fungsi risiko, juga dipaparkan perihal verifikasi (validasi) fungsi risiko. 6.2.
Metodologi
6.2.1. Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Fungsi risiko yang memetakan kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasi dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Hal ini dengan pertimbangan bahwa data yang tersedia sangat sedikit, sehingga tidak mampu memprediksi parameter model dengan baik. tranformasi
Dengan model FIS,
dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko
dilakukan berdasarkan kepakaran.
Pengetahuan berdasar pakar tersebut
selanjutnya diformalkan dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi. Diagram model FIS secara umum adalah sesuai gambar berikut :
VI. VII.
Gambar 6.1
Model FIS untuk pendugaan nilai risiko
Pada Gambar 6.1, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3 peubah, yaitu indeks SST Nino 4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah Hujan
115
Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua rule.
Proses
Fuzzy Inference System (FIS) dilakukan di Mathlab ver.7. Pada optimisasi dengan menggunakan FIS digunakan data observasi dan digunakan untuk menghitung fungsi risiko Kabupaten Pacitan.
6.2.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Verifikasi terhadap fungsi risiko dilakukan dengan membandingkan kekeringan yang diperoleh dari data observasi lapang dan dibandingkan dengan kekeringan yang diperoleh dari model. 6.3.
Hasil dan Pembahasan
6.3.1. Analisis Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko. Ada beberapa tahapan dalam proses fuzzy inference system (FIS). Tahapan tersebut meliputi; perumusan masalah, penyusunan fuzzy membership, penyusunan rule, serta proses lain di mathlab. Perumusan masalah merupakan penentuan input dan output sebagai peubah penentu.
Terdapat tiga peubah
o
penentu, yaitu; anomali SST Nino 4 bulan Agustus ( C), panjang musim hujan (PMH) dalam dasarian, dan akumulasi curah hujan musim kemarau (bulan Mei hingga Agustus). Digunakan SST Nino 4 bulan Agustus sebagai acuan untuk prediksi curah hujan, karena pada bulan Agustus hampir >60% anomali curah hujan di wilayah Indonesia mencapai nilai negatif (Aldrian 2003). Sedangkan output adalah bencana kekeringan. tahunan.
Data yang digunakan merupakan data
116
Langkah selanjutnya adalah penyusunan fuzzy membership (penetapan fungsi keanggotan), yaitu penentuan range nilai sehingga dapat diketahui pada posisi mana nilai tersebut berada. Range nilai tersebut adalah sebagai berikut; peubah SST Nino 4 meliputi range nilai antara -2 hingga 2 dengan acuan penetapan dari data jangka panjang (Tabel 6.1), panjang musim hujan berada dalam kisaran 1 hingga 36 dasarian, curah hujan musim kemarau berada pada kisaran <85% hingga >115% dari rata-rata tahunan untuk empat bulan musim kemarau (Mei hingga Agustus).
Sedangkan bencana kekeringan diklasifikasikan
menjadi tidak terkena, terkena ringan, terkena sedang, berat dan puso. Dimana tidak terkena berarti tidak mengalami kejadian, atau kejadian tersebut sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Terkena ringan mempunyai rentang dari nol hingga Q3). Rentang fuzzifikasi ini dapat berbeda-beda pada setiap kecamatan, karena baik input terutama curah hujan musim kemarau dan panjang musim hujan berbeda, juga outputnya, mengalami luas kekeringan yang berbeda, sehingga rentangnya menjadi tidak sama antar kecamatan.
Tabel 6.1 Contoh himpunan fuzzy untuk input (Anomali SST Nino 4, PMH dan CHMK) Himpunan Fuzzy Anomali
Klasifikasi
SST Nino4
PMH
CHMK
La-Nina
Representasi Interval 1
Rentang Fuzzifikasi trapesium < -2.0, -1.5, -1.0 -0.5>
Normal
2
trapesium < -1.0, -0.5, 0.5 1.0 >
El-Nino
3
trapesium < 0.5 1.0, 1.5, 2.0 >
Rendah
1
trapesium < 1, 1, 8, 12 >
Sedang
2
trapesium < 8, 12, 18, 22 >
Tinggi
3
trapesium < 18, 22, 36, 36 >
BN
1
trapesium < 0, 0, 115, 165>
N
2
segitiga
AN
3
trapesium < 165, 215, 600, 600>
<115, 165, 215 >
117
Tabel 6.2 Contoh himpunan fuzzy untuk output (Kekeringan) Himpunan Fuzzy Kekeringan
Klasifikasi Tidak ada
Representasi Interval 1
Rentang Fuzzifikasi 0 atau nilai dapat diabaikan
Ringan
2
< 25 % luas kekeringan
Sedang
3
25 - 50% luas kekeringan
Berat
4
50 – 75% luas kekeringan
Puso
5
>75% luas kekeringan
Tabel 6.3 Contoh himpunan fuzzy untuk kekeringan Kecamatan Tulakan Himpunan Fuzzy Kekeringan
Klasifikasi Tidak ada
Representasi Interval 1
Rentang Fuzzifikasi
Ringan
2
Sedang
3
1.86 < luas Kekeringan< 7.04 ha
Berat
4
7.04 < luas Kekeringan < 43.02 ha
Puso
5
Luas kekeringan >43.02 ha
0 atau nilai dapat diabaikan Luas kekeringan < 1,86 ha
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan. Berdasarkan
fungsi
keanggotaan
dan
penetapan
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi.
rule,
akan
diperoleh
sebagai contoh jika SST
Nino 4 bernilai +2, panjang musim hujan <10 dasarian, curah hujan musim kemarau <85% dari nilai rata-rata tahunan (bawah normal/BN), dan luas tambah tanam berada pada kisaran >115% (atas normal atau AN) maka bencana kekeringan yang terjadi akan berada pada kisaran yang cukup luas.
Misal, jika
SST Nino4 =1.12, PMH =13, CHMK =54, maka kekeringan yang mungkin terjadi adalah seluas 250 ha.
Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan
logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
118
Gambar 6.2 Fungsi keanggotaan untuk Anomali SST Nino4
Gambar 6.3 Fungsi keanggotaan untuk CHMK
119
Gambar 6.4 Fungsi keanggotaan untuk PMH
Gambar 6.5 Fungsi keanggotaan untuk kekeringan
120
Gambar 6.6 Contoh pilihan skenario di fuzzy rule
Gambar 6.7 Contoh output di fuzzy rule
121
6.3.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Verifikasi terhadap fungsi risiko disajikan pada Gambar 6.8. Dari aspek output nilai risiko kekeringan, terlihat bahwa prediksi nilai kekeringan dengan model FIS memberikan nilai prediksi yang mengikuti pola observasi sebenarnya. Namun demikian, secara umum ada trend bahwa prediksi dengan FIS berbias ke atas. Hampir semua prediksi berada di atas nilai observasi (kecuali pada tahun terakhir dan kecuali untuk Kecamatan Tulakan).
Hal ini terjadi karena ada
beberapa hal yang ditempuh. Pertama, karena sudah diperkirakan lebih dahulu, air tidak akan mencukupi, maka petani tidak melakukan penanaman.
Kedua,
dilakukannya strategi antisipasi/adaptasi, sehingga dilakukan langkah-langkah penanaman yang memperhitungkan kondisi ketersediaan air, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, maka pada kondisi observasi/riil di lapang, kekeringan sering mendekati nilai lebih rendah daripada yang dihitung dengan model, hal itu terjadi karena petani tidak melakukan penanaman.
Oleh karena itu perlu satu faktor koreksi dari model
tersebut agar hasil prediksi menjadi lebih tepat. Kepakaran dalam menentukan selang fuzzy (fuzzy membership) juga memberikan kontribusi terhadap ketepatan hasil prediksi. Hasil FIS sangat jelas terlihat terutama pada tahun-tahun ketika terjadi ElNino, dan terjadi kekeringan seperti pada tahun 1991, 1994, 1997 dan 2007 pada sebagian besar kecamatan (Gambar 6.8).
Dengan hasil tersebut, FIS dapat
digunakan untuk memprediksi kejadian kekeringan dalam bentuk luasan yang mungkin terjadi. Informasi SST Nino 4 yang dituangkan kemudian dalam prediksi curah hujan, sehingga berikutnya dapat menghitung CHMK dan PMH, diharapkan dapat memberikan informasi prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi. Hasil regresi linier antara nilai Kekeringan observasi dengan nilai kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo/ Gambar 6.9). Namun demikian, koefisien determinasi stasiun terbanyak berada pada nilai 0.7.
Hal ini memperlihatkan bahwa hingga sekitar 70% dari persamaan
diakomodir oleh model/persamaan, oleh model.
sedangkan sisanya tidak dapat dijelaskan
Prediksi FIS pada tahun 2003 memperlihatkan kemungkinan terjadi
kekeringan yang cukup luas, namun diperkirakan antisipasi petani sebelumnya dapat menekan kemungkinan terjadi kerugian pada wilayah yang luas.
200
100 50
0 0
350
300
300
250
600
500
Kebonagung
Ngadirojo
Punung
Tegalombo
400
300
200
Observasi 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
300
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
400
250 250
200 200
150 150
100 100
50 50
0 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Arjosari
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
500
200 200
150 150
100 100
50 50
0 0
100 300
0 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
122
300
250
Donorojo
200
150
100
300
250
Nawangan
200
150
100 50 0
350
300
Pacitan
300
250
Pringkuku
1500
1200
Tulakan
900
600
FIS
Gambar 6.8 Hasil verifikasi FIS dengan observasi Observasi FIS
123
Donorojo
FIS
Arjosari 400
400
300
300
200
200
y = 0.629x + 68.32 R² = 0.3763
100 0
0 0
100
200
300
400
500
0
50
100
200
200
y = 0.5483x + 41.86 R² = 0.7052
y = 2.0232x + 14.356 R² = 0.7631
100 0
0 0
200
400
600
0
800
50
100
Ngadirojo 350
150
200
Pacitan
500
300
400
250
FIS
250
300
300
100
300
200
y = 1.8843x + 9.4229 R² = 0.8821
150 100
200
y = 1.4875x + 38.197 R² = 0.7108
100
50 0
0 0
50
100
150
200
Punung
400
0
50
100
150
200
250
300
250
300
Pringkuku
400 300
300
FIS
200
400
400
200
200
y = 1.9578x + 14.425 R² = 0.7599
100
y = 1.3984x + 17.942 R² = 0.7628
100
0
0 0
50
100
150
200
0
50
100
Tegalombo
FIS
150
Nawangan
Kebonagung
500
FIS
y = 1.7979x + 15.532 R² = 0.7597
100
500
600
400
500
150
200
Tulakan
400
300
300
y = 0.7073x + 30.289 R² = 0.7344
200 100
200
y = 0.3424x + 67.828 R² = 0.6339
100
0
0 0
100
200
300
400
500
Luas terkena kekeringan observasi (ha)
600
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Luas terkena kekeringan observasi (ha)
Gambar 6.9 Perbandingan nilai kekeringan observasi dengan hasil keluaran FIS
124
6.4.
Simpulan Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa
besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko. Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan. Berdasarkan
fungsi
keanggotaan
dan
penetapan
rule,
akan
diperoleh
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh. Hasil regresi linier antara nilai kekeringan observasi dengan nilai kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo). Dalam penetapan rule untuk fuzzy inference system, diperlukan kepekaan yang cukup tinggi untuk menghasilkan prediksi yang mendekati ketepatan, oleh karena itu diperlukan suatu tool lain seperti algoritma genetika sebagai alat bantu dalam meningkatkan tingkat ketepatan. Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu alat ukur dalam penyusunan fungsi risiko, sebagai bagian dari decision network untuk mendukung kalender tanam dinamik.
Oleh karena itu, bahasan pada bab selanjutnya memaparkan
mengenai pengembangan kalender tanam dinamik.
125
VII.
PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI
7.1.
Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan
penjadwalan penanaman petani adalah kalender tanam. Manfaat dari kalender tanam adalah untuk memandu petani dalam menyesuaikan waktu dan pola tanam, mengingat pentingnya jadwal penanaman, mulai dari masa persiapan tanah, penanaman, dan panen. Informasi kalender tanam sudah mulai disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2007 dan semakin dikembangkan setiap tahun (Runtunuwu et al. 2009). Input awal dari kalender tanam yang telah dilakukan adalah peta kalender tanam. Peta ini menggambarkan potensi pola tanam dan waktu tanam tanaman semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007). Sejak tahun 2007 pula, Boer et al. merintis pengembangan model kalender tanam dinamik, yang mengakomodasi sifat dinamik perubahan variabel lain penentu sifat iklim, seperti fase SOI, decision dan bayesian network. Kegiatan ini dilanjutkan dengan kegiatan di proyek I-MHERE IPB 2-C (Boer et al. 2010), dan pada saat yang sama risetnya dikembangkan lebih jauh lagi dengan kegiatan KKP3T dengan menggunakan metode yang lebih diperluas cakupannya (Buono et al. 2010), dengan menggunakan pendekatan jejaring pengambilan keputusan (Decision Network). Decision Network (DN) dapat diaplikasikan sebagai strategi penyesuaian bentuk pola tanam dengan prakiraan musim, untuk mengatasi masalah kekeringan yang mungkin terjadi pada tanaman ke dua apabila sifat hujan di bawah normal, atau awal masuk musim hujan mengalami keterlambatan dari normal sehingga penanaman kedua mengalami kemunduran. Dalam penyusunan decision network sehingga dihasilkan pola tanam terbaik, dilakukan penggabungan fungsi utility dengan bayesian network sehingga merupakan suatu pendekatan yang lebih komprehensif.
Fungsi utility yang
merupakan strategi teknologi budidaya dalam hubungannya dengan produktivitas, diperoleh dari hasil bab sebelumnya (Bab VI), sedangkan dari Bayesian Network, kita dapat mengetahui peluang dari suatu peubah tertentu.
Pada dasarnya
126
Bayesian Network merupakan model visual menggunakan graph dari distribusi bersama sejumlah peubah. Mengingat Kalender tanam dinamik pada prinsipnya merupakan sebuah model, oleh karena itu validasi yang dilakukan merupakan validasi yang digunakan untuk sebuah model. Sedangkan validasi yang sebenarnya di lapangan, tidaklah demikian, karena pada prinsipnya kalender tanam dinamik adalah sebuah decision, yang dalam validasinya berbeda dengan simulasi biasa, namun didasarkan kepada kondisi yang diperoleh sebagai hasil decision yang dikeluarkan kalender tanam dinamik, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, sesuai skenario iklim yang terjadi. Mengingat harus dibuat skenarioskenario, untuk membedakan kondisi pada tahun-tahun Normal, tahun-tahun kering (El-Nino) dan basah (La-Nina). Namun demikian, karena tahun yang digunakan dalam penelitian terbatas, sehingga belum mampu untuk melakukan validasi pada kondisi tahun-tahun tersebut. Validasi yang dilakukan baru berupa validasi acak terhadap kondisi tahun yang digunakan sebagai data validasi. Salah satu hal lain yang kurang mendukung terhadap hal ini juga adalah kesulitan data yang diperoleh di lapangan. Padahal data tersebut merupakan data-data yang sangat diperlukan untuk mendukung akuratnya sebuah model dan validasinya. 7.2.
Metodologi
Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 7.2.1. Penyusunan jejaring bayes (Bayesian Network) Untuk penentuan pola tanam ideal, digunakan data ENSO, musim hujan, luas tanam, sifat musim dan kejadian bencana iklim. Bayesian Network merupakan suatu Directed Acyclic Graph (DAG) untuk merepresentasikan secara visual mengenai keterkaitan langsung antar peubah di atas. Tahapan dalam penyusunan Bayesian Network: a.
Penentuan peubah untuk kekeringan. Dalam kajian ini, untuk menentukan tingkat kekeringan terdapat empat peubah, yaitu 1). SST Nino 4, 2). Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK/CH bulan Mei+Juni+Juli+Agustus), 3). Panjang Musim Hujan (PMH) dalam setahun dan 4). Kejadian Kekeringan (K). Keterkaitan empat peubah tersebut adalah seperti dalam Gambar 5.1. berikut :
127
Bayesian Network P( I j | Q) =
P( I j ∧ Q) P(Q) S1
Q
queri
S2
S3
SST NINO4
CHMK C1
Gambar 7.1 b.
PMH C2
C3
P1
P2
K1
K2
K3
K4
K5
KEKERINGAN
I1
I2
I3
I4
I5
Peluang akhir
P3
Bayesian Network dengan empat peubah
Transformasi untuk mendapatkan nilai-nilai setiap peubah kategori tersebut adalah sebagai berikut: - SST NINO 4 : diambil dari situs http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/ersst3b.nino.mth.ascii - CHMK (Curah Hujan) : a. Dihitung total nilai curah hujan bulan Mei,Juni, Juli dan Agustus. b. Untuk setiap bulan, nilai CHMK adalah : CH = 1 Nilai CH < 0.85*Rata-rata Total Mei-Juni-Juli-Agustus CH = 2 0.85*Rata-Rata Tahunan1.15*Rata-rata Total Mei-Juni-Juli-Agustus Contoh : Rata-rata CH bulan Juni adalah 21, maka jika CH bulan tersebut kurang dari 21 akan diberi kode CH=1. - PMH (Panjang Musim Hujan) : a. Panjang Musim hujan ditentukan berdasarkan berapa lama musim hujan pada satu tahun. b. Dihitung berdasar informasi Awal Musim Hujan (AMH) hingga akhir musim hujan.
128
Untuk ilustrasi sebagai berikut : AMH 97/98 adalah dasarian 32 ini artinya AMH pada pertengahan November th 1997. PMH = 21 Dasarian - K (Kekeringan) : Penentuan kode untuk variabel K adalah mengikuti aturan seperti berikut : Tabel 7.1 Kategori kekeringan Tingkat kekeringan
Keterangan
1
Tidak ada lahan kekeringan
2
0
3
Q1
4
Q2
5
luas lahan kekeringan>Q3
Contoh teorema Bayesian :
Pada sistem yang akan dikembangkan, parameter model (yang berupa tabel peluang bersyarat untuk setiap peubah dalam Bayesian Network) diformulasikan selain menggunakan data historis, juga menggunakan informasi iklim yang muncul (baik yang berasal dari data observasi maupun berdasar model prediksi), sehingga secara dinamis sistem melakukan adaptasi terhadap kondisi nyata yang sedang terjadi. 7.2.2. Penyusunan jejaring pengambilan keputusan (Decision Network)
Penyusunan
kalender
tanam
dinamik
dilakukan
dengan
mengintegrasikan keseluruhan komponen yang dianggap menunjang terhadap keluarnya sebuah keputusan yang diharapkan lebih akurat dalam penentuan awal musim tanam, dalam suatu Decision Network (DN). Oleh karena itu terdapat kombinasi alternatif decision yang sangat beragam. Masing-masing alternatif decision dikembangkan sesuai dengan masukan dari bayesian network, fungsi utility (yang diakomodir oleh
129
Bayesian Network
S1
Q
queri
S2
S3
SST NINO4
CHMK C1
PMH C2
C3
P1
P2
K1
K2
K3
K4
K5
KEKERINGAN
I1
I2
I3
I4
I5
Peluang akhir
BAYESIAN
Pilihan perlakuan (Waktu tanam, Irigasi, varietas dan pemupukan)
SIMULASI DSSAT
P3
FUNGSI UTILITY
DSSAT ‘Yield’ hasil simulasi kg per hektar
INPUT (Rp.)
Asumsi harga gabah (Rp.)
OUTPUT (Rp.)
Keuntungan /kerugian
DECISON Decision D1 D2 D3 D4 D5 … Dn
Waktu tanam T1 T2 T3 T4 T5 … Tn
Gambar 7.2. Decision Network
Irigasi I1 I1 I1 I1 I1 … In
Varietas V1 V1 V1 V1 V1 … Vn
Pemupukan P1 P1 P1 P1 P1 … Pn
130
sistem inferensi fuzzy) dan hasil keluaran dari simulasi DSSAT.
Pilihan
yang dikeluarkan untuk pengambilan keputusan dalam suatu decision network sudah mengakomodir unsur-unsur itu, sehingga dapat diambil keputusan terbaik (pola tanam terbaik), berdasarkan pilihan yang dikeluarkan tersebut. Pola tanam terbaik adalah didasarkan kepada bukan saja memberikan hasil yang terbaik, tetapi juga memperhatikan biaya yang dikeluarkan. Sebagai ilustrasi Gambar 7.2. berikut menyajikan diagram dari suatu DN. 7.2.3. Penyusunan kalender tanam dinamik Dengan mengintegrasikan hasil survey, penyusunan jejaring bayes dan penyusunan Decision Network, yang dikaitkan dengan hasil prakiraan iklim, maka dapat dilakukan penentuan pola tanam dan onset musim tanam. Sebagai alat bantu pengambil keputusan, pengembangan dari Kalender Tanam dinamik diharapkan mampu menyediakan alternatif pola tanam atau teknologi berdasarkan prakiraan yang diberikan untuk musim tertentu dengan risiko minimum dan di sisi lain menyumbangkan hasil yang ditinjau secara ekonomi lebih tinggi.
Data CH
Data dinamika pola tanam petani
Penyusunan Bayesian dan Decision
Network
Data luas tanam
Penyusunan berbagai alternatif pola tanam
Penyusunan kalender tanam dinamik
Verifikasi
Gambar 7.3. Model kalender tanam dinamik
Informasi sifat hujan
Rekomendasi Teknologi
131
7.3.
Hasil dan Pembahasan
7.3.1. Bayesian dan decision network Peubah dalam BN yang berpengaruh langsung adalah kekeringan yang terjadi pada pertanaman kedua.
Dilakukan lima pengkategorian kekeringan.
Pengkategorian ini didasarkan pada data hasil observasi lapang mengenai kejadian kekeringan, dan secara visual terlihat pada Gambar 7.4. Batas-batas kategori kekeringan berdasar gembar di atas adalah sebagai berikut : K1 : tidak ada kekeringan K2 : terjadi kekeringan rendah, yaitu 0Q3 Hasil yang diberikan BN merupakan peluang kekeringan, yang dapat digunakan untuk menduga potensi kekeringan di suatu daerah tertentu berdasarkan peluang yang tersedia. 180 158
Luas lahan Kekeringan
160 131
140
139
120 96
100 80 55
60 40 20 1
1
2
2
3
4
5
15
16
20
22
23
25
25
34
42
61
45
0
1
3
5
K2
7
9
11
K3
13
15
17
19
K4
21
23
K5
Gambar 7.4 Pengkategorian bencana kekeringan (Buono et al., 2011) Berdasarkan perhitungan pada SST Nino 4, diperoleh hasil bahwa dalam kurun waktu penggunaan data dari tahun 1989 hingga 2010, diketahui bahwa peluang terjadi kekeringan hingga K5 lebih banyak didominasi pada kondisi ElNino. Sedangkan kondisi peluang K1 atau tidak terjadi kekeringan, diwakili pada kondisi tahun La-Nina, tahun Normal, dan sedikit pada tahun El-Nino. Secara umum peluang kekeringan untuk kondisi Elnino adalah lebih tinggi dibanding
132
kondisi Normal dan Lanina. Namun demikian, menurut Buono (2011), jika terjadi curah hujan di musim kemarau diatas normal ataupun normal, maka peluang ini mengecil.
Sedangkan jika curah hujannya di bawah normal, maka peluang
kekeringan langsung meningkat tajam, baik kondisi ENSO Elnino, Normal maupun Lanina.
Pendapat lain dipaparkan oleh Liong et al. (2003) yang menyatakan
bahwa pada saat intensitas El-Nino tinggi akan menyebabkan kekeringan di Indonesia, tetapi ketika intensitas El-Nino rendah pengaruh lain dapat menjadi dominan sehingga mungkin saja kekeringan terjadi. Seperti dipaparkan oleh Lubis et al. (2003), bahwa nilai anomali maksimum El-Nino tahun 1982/1983 > 1997/1998, akan tetapi Kekeringan yang terjadi tahun 1997/1998 > 1982/1983. Decision network merupakan gabungan bayesian network, keputusan dan fungsi utilitas. Dalam penelitian, risiko kekeringan diformulasikan dengan fungsi utilitas yang dimodelkan dengan FIS seperti pada Bab sebelumnya. Selanjutnya parameter Bayes diduga dengan data yang ada (dengan metode kemungkinan maksimum) yang digabungkan dengan pertimbangan pakar. Hal ini diperlukan mengingat data yang tersedia tidak mencukupi secara statistik untuk melakukan pendugaan terhadap semua parameter dalam model Bayes.
133
Donorojo
Peluang kekeringan
Arjosari 0.5 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0
0.5 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0 K1
K2
K3
K4
0.5 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0
K5
K1
Peluang kekeringan
K2
K3
K4
K5
K1
Ngadirojo
Nawangan 0.7
0.7
0.5
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.0
0.0
0.4 0.3 0.2
K2
K3
K4
K1
Pringkuku
K2
K3
K4
K5
0.6 0.5
0.5
0.2
0.2
0.1
0.1 0.0
0.0 K2
K3
K4
K5
K2
K3
K4
K5
K4
K5
0.5 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.0
0.3
0.3
K4
Tegalombo
0.4
0.4
K1
K1
Punung
0.6
K3
0.0
K5
0.7
K2
Pacitan
0.6
K1
Peluang kekeringan
Kebonagung
K5
K1
K2
K3
K4
K5
K1
K2
K3
Tulakan
Peluang kekeringan
0.5 0.4 0.3
La-Nina Normal
0.2
El-Nino
0.1 0.0 K1
Gambar 7.5
K2
K3
K4
K5
Peluang kekeringan pada tingkat / kategori kekeringan (K1 hingga K5) di 10 kecamatan di Pacitan
7.3.2. Kalender tanam dinamik Dalam Decision Network diintegrasikan antara Bayesian Network yang menyediakan informasi seberapa besar peluang kekeringan yang mungkin terjadi.
134
Sedangkan fuzzy inference system memberikan informasi potensi luas kekeringan yang mungkin terjadi.
Hasil simulasi DSSAT memberikan informasi seberapa
besar ‘yield’ yang akan diperoleh pada kondisi iklim tertentu, pada kondisi tanah tertentu dengan pemilihan teknik budidaya tertentu.
Sehingga ketiga potensi
penduga ini dapat diintegrasikan untuk melengkapi satu dengan yang lain. Berdasarkan nilai-nilai simulasi DSSAT maka nilai utility untuk setiap pasangan pola tanam yang dipilih, Di, dan kejadian kekeringan Kj, dihitung dengan rumus :
U(Di,Kj)=[Pi*(L-Kj)]*H-[Ci*(L-Kj)] dengan : U(Di,Kj)
: perolehan rupiah kalau memilih pola Di dan terjadi kekeringan kategori Kj, dengan i=1, 2, 3, …, 288, dan j=1, 2, 3, 4, 5.
Pi
: produktivitas lahan per hektar kalau memilih pola Di
L
: luas lahan yang tersedia
Kj
: luas lahan yang terkena kekeringan pada kategori Kj Kj merupakan perpaduan antara hasil peluang kekeringan yang diperoleh dari Bayesian network, dengan luas kekeringan yang diperoleh dari system inferensi fuzzy.
H
: harga produk
Ci
: biaya input yang harus dikeluarkan kalau memilih pola Di
Misal apabila diketahui peluang kekeringan sebesar 0.7 berdasarkan Bayesian network, Peluang tersebut kemudian dikonversikan ke luas lahan yang tersedia, akan diketahui luas lahan yang berpotensi kekeringan.
Potensi luas lahan
kekeringan tersebut, dibandingkan dengan hasil pendugaan luas kekeringan dari system inferensi fuzzy.
Dengan demikian proyeksi luas kekeringan yang
diberikan diharapkan akan lebih mendekati ketepatan.
Menurut Buono et al.
(2011), jika hasil observasi dikaitkan dengan kekeringan, dapat memperlihatkan hasil prediksi sistem sudah tepat, yaitu jika diprediksi bahwa tahun depan terjadi kekeringan dengan peluang tinggi, maka memang benar bahwa tahun depan terjadi.
Meskipun tidak menutup kemungkinan,
terdapat beberapa kesalahan,
namun semua kejadian kekeringan mampu diprediksi dengan peluang yang tinggi, seperti disajikan pada gambar berikut :
135
Gambar 7.6
Ilustrasi antara peluang terjadinya kekeringan dengan kejadian bencana kekeringan tahun 1988 hingga 2007 (Buono et al. 2011)
Gambar 7.7 Tingkat/kategori kekeringan berdasarkan bayesian Kesalahan dalam penggunaan model dapat terjadi yang disebabkan beberapa hal, seperti : keterbatasan data, atau bisa juga bahwa petani telah menerapkan teknik adaptasi dengan baik, sehingga meskipun hujan rendah, maka bencana kekeringan tidak terjadi. Sehingga meskipun diprediksi peluang akan terjadi kekeringan tinggi, namun karena petani sudah menyiapkan diri, maka Kekeringan tidak terjadi.
136
Dari hasil Bayesian dan FIS diketahui potensi terjadi kekeringan pada luas tertentu, kemudian prediksi tersebut digabungkan dengan hasil simulasi DSSAT. Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu, produksi rata-rata/musim tanam. Keluaran dari hasil simulasi DSSAT
(kg/ha), yang digabungkan dengan
produktivitas lahan dan luas lahan yang tersedia, yang ditunjang dengan input biaya, akan diperoleh nilai fungsi risiko dalam rupiah.
7.3.3. Rekomendasi Teknologi Rekomendasi
dilakukan untuk pilihan terbaik dari hasil DSSAT yang
diperoleh sebelumnya. Hasil simulasi DSSAT dapat memberikan alternatif pilihan kombinasi tanggal tanam dengan budidaya yang akan digunakan. Berdasarkan hasil tersebut, pada umumnya tanggal tanam merupakan indikator yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pertanaman kedua, untuk menghindari risiko kekeringan (Gambar 7.8). Pada prinsipnya, rekomendasi dipilih berdasarkan opsi-opsi teknologi yang dapat dikembangkan, dan dipilih opsi teknologi yang memberi risiko minimum akibat kejadian kekeringan.
Opsi tersebut sudah
termasuk di dalamnya tanggal-tanggal tanam, yang memberikan hasil yang tinggi tetapi dengan risiko minimum dengan keuntungan maksimum.
Risiko kekeringan pada MT 2 semakin bertambah akibat mundurya waktu tanam
Gambar 7.8. Ilustrasi pertanaman berdasarkan tanggal tanam
137
Gambar 7.9. Contoh prediksi kehilangan hasil Hasil masing-masing kombinasi perlakuan terlihat pada jumlah kehilangan hasil.
Perlakuan terbaik juga mengindikasikan perlakuan yang mempunyai
kehilangan hasil yang paling minimal. Gambar di bawah ini. dapat digunakan
Kehilangan hasil per tahun disajikan pada
Perlakuan yang memberikan kehilangan hasil terendah
sebagai acuan untuk rekomendasi teknologi budidaya pada
tahun-tahun El-Nino, La-Nina dan Normal.
Sebagai
pewakil tahun Normal
adalah tahun 1993, pewakil untuk tahun El-Nino adalah gambar dari tahun 1997, pewakil tahun La-Nina adalah tahun 1998. Pada tahun 1993, perlakuan I1V2P3 (perlakuan tanpa Irigasi, varietas IR 8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha)
merupakan yang terbaik. Sedangkan untuk
tahun 1997 perlakuan terbaik adalah I2V2P3 (perlakuan dengan Irigasi, varietas IR 8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha).
138
Sedangkan untuk tahun 1998, hanya dipengaruhi oleh perbedaan varietas. Berdasarkan gambaran dari kehilangan hasil tersebut juga terlihat bahwa pada tahun-tahun El-Nino, kehilangan hasil dalam rupiah mempunyai kemungkinan lebih besar daripada tahun-tahun Normal dan tahun-tahun La-Nina. Sebaliknya pada tahun-tahun La-Nina kehilangan hasil lebih rendah daripada tahun-tahun Normal dan tahun-tahun El-Nino. Perhitungan kehilangan hasil juga dilakukan dengan menggunakan persamaan dari BC Ratio, sehingga diperoleh pada tanggal kapan yang secara ekonomi layak dan memberikan keuntungan.
Untuk pertanaman kedua,
penanaman tanggal 1 Februari memberikan hasil yang terbaik, hal tersebut ditunjukkan dengan error yang paling rendah.
7.4.
Simpulan Kabupaten Pacitan seperti halnya wilayah lain yang memiliki pola hujan
monsunal sangat terpengaruh oleh dampak keragaman iklim, yang apabila tidak diantisipasi dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya risiko penurunan hasil tanaman. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan perencanaan tanam yang baik. Untuk mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa hal terkait, diantaranya adalah aplikasi kalender tanam. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani perlu selalu diupdate. Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia. Dalam Decision Network diintegrasikan antara Bayesian Network yang menyediakan informasi seberapa besar peluang kekeringan yang mungkin terjadi. Sedangkan fuzzy inference system memberikan informasi potensi luas kekeringan yang mungkin terjadi.
Hasil simulasi DSSAT memberikan informasi seberapa
besar ‘yield’ yang akan diperoleh pada kondisi iklim tertentu, pada kondisi tanah tertentu dengan pemilihan teknik budidaya tertentu.
Sehingga ketiga potensi
penduga ini dapat diintegrasikan untuk melengkapi satu dengan yang lain, sebagai unsur pendukung untuk kalender tanam dinamik.
139
Dalam aplikasinya, kalender tanam memerlukan keterpaduan banyak pihak, terutama sektor terkait, dalam hal ini pengambil kebijakan, petani/ kelompok tani/gapoktan, penyuluh, peneliti, LSM, lembaga yang terkait dengan keuangan dan lain-lain.
Sinergi antar sektor tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan
petani
pada
akhirnya,
mengingat
untuk
meningkatkan
kesejahteraan petani harus dilihat dari mulai hulu ke hilir, dari mulai penyiapan benih, subsidi pupuk, informasi tanam dan lain-lain, hingga ke pasca panen dan pemasaran. Metode ini dapat lebih dioptimalkan dengan memasukkannya ke dalam sistem yang terstruktur yang ketika suatu input dasar diterima, misalnya hasil prakiraan iklim, dapat secara cepat memperlihatkan kemungkinan output yang terjadi, sehingga informasi dapat lebih cepat disalurkan, dan bahkan pengguna dapat menggunakan langsung dengan memasukkan input dasar tersebut. Metode ini diharapkan dapat mendukung pengembangan sistem informasi Kalender Tanam Terpadu yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Pertanian.
140
141
VIII. POTENSI DAN KENDALA PENERAPAN KALENDER TANAM DALAM MENGANTISIPASI KEJADIAN IKLIM EKSTRIM Persoalan mendasar sektor pertanian menurut Tim Penyusun Road Map (2010) diantaranya adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air, status dan luas kepemilikan lahan yang kecil (< 0.5 ha pada 9,55 juta KK), lemahnya sistem perbenihan dan pembibitan nasional, keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya nilai tukar petani (NTP), belum terpadunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian dan kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Berkaitan dengan ketahanan pangan yang
dikorelasikan dengan adanya perubahan iklim global, menuntut perhatian yang lebih tinggi pada sektor pertanian.
Sektor pertanian mempunyai visi misi yang
jelas sesuai yang tertuang pada Road Map untuk 2009-2014.
Visinya adalah
“Pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan petani”. Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah mundurnya awal musim hujan dan semakin panjangnya musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari akan menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah 6.5% dan Bali 11%.
Sebagai langkah kebijakan strategis dalam menghadapi
kondisi di atas salah satunya adalah dengan menyiapkan beberapa tool dan pedoman/panduan,
yang
merupakan
bentuk
penuangan
dari
kebijakan
pemerintah. Menurut Pendleton dan Lawson (1988), iklim dan cuaca serta variasinya sangat berpengaruh terhadap fluktuasi ketersediaan pangan.
Handoko (2008)
menyatakan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama (padi) sebesar 20.6%, jagung sebesar 13,6% dan kedelai 12,4%.
142
Kehilangan produksi tanaman pangan mengharuskan risiko iklim dikelola dengan baik untuk meminimumkan kerugian. Pengelolaan risiko iklim, perlu diberikan target, apakah untuk jangka pendek, sedang atau panjang. Kaitannya dengan hal itu tentulah perencanaan menjadi bagian yang sangat penting, mengingat pengelolaan risiko iklim juga perlu sumberdaya yang terkait dengan masalah yang dihadapi.
Dalam tataran jangka panjang, kita menggunakan
skenario-skenario untuk pelaksanaannya.
Sedangkan untuk jangka pendek,
perencaan ini untuk meminimumkan dampak negatif yang mungkin terjadi. Perencanaan perlu dilakukan sebagai suatu early warning system dengan menyiapkan resources.
Contoh kalau sudah diketahui berdasarkan prakiraan
iklim, bahwa kan terjadi kemarau panjang, maka dapat merubah varietas yang akan digunakan dengan yang tahan kering. Dalam pengelolaan risiko bencana terutama bencana iklim, ada siklus sebagai berikut (Boer 2007): 1. Identifikasi: indetifkasi bahwa risiko ada dan beri nama risiko yang dimaksud, misalkan risiko banjir. 2. Analisis: Tentukan tingkat risiko dalam bentuk matrix. Apabila risiko dapat diabaikan maka tidak perlu diteruskan analisis, tapi kalau risiko dapat menimbulkan kerusakan maka lakukan analisis lebih lanjut. 3. Rencana: Tentukan bagaimana mengatasi risiko tersebut sesuai dengan tingkat keseriusannya dan kemungkinan terjadinya. 4. Mitigasi: Ikuti rencana yang telah disiapkan sebisa mungkin dan apabila gagal, lakukan perencanaan ulang dan lakukan lagi upaya mitigasi kalau masih belum bisa, lakukan analisis apakah tingkat kerusakan di bawah batas toleransi. 5. Traking: Apabila risiko dapat dimitigasi dan diatasi sehingga tingkat kerusakan berada dalam selang toleransi, simpan dan catat teknologi atau cara mitigasi tersebut untuk memastikan keberlanjtan upaya pengendalian risiko dimaksud di masa datang. Semakin seringnya terjadi bencana yang berpengaruh terhadap kestabilan pangan yang diakibatkan oleh iklim, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan terkait iklim yang tertuang dalam bentuk Sektoral Road Map. Riset yang dilakukan bertujuan untuk mendukung kebijakan pemerintah seperti yang tertuang dalam Road Map tersebut, untuk membantu petani dalam penentuan waktu tanam
143
dalam bentuk kalender tanam dinamik, supaya apabila terjadi bencana iklim, khususnya kekeringan, akan lebih cepat ditanggulangi dan kerugian yang dapat terjadi dapat diminimalkan.
Mengingat apabila akibat bencana iklim, tidak
diantisipasi dengan baik dapat menyebabkan kegagalan panen petani. Kegagalan panen akibat kejadian kekeringan merupakan salah satu bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi di Indonesia.
Kegagalan panen yang
terjadi lebih sering karena antisipasi yang kurang dalam menyikapi kejadian iklim ekstrim. Akibat kegagalan panen tentulah produksi menjadi menurun dari yang telah ditargetkan. Peran kalender tanam dalam hal ini adalah menurunkan risiko kegagalan panen tersebut, pada tingkat yang dapat diantisipasi, meskipun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan keterpaduan pada banyak komponen dan instansi pendukung.
Di samping itu, dampak terjadinya perubahan ikim, juga
menyebabkan tingkat kekerapan bencana iklim akhir-akhir ini lebih sering dari kurun waktu sebelumnya. Misalnya saja, kehilangan produksi padi nasional pada era 1990 hingga 2000 hingga tiga kali lipat dibandingkan era 1980-1990 (Boer 2007).
Intensitas bencana yang semakin sering, menjadi ancaman terhadap
produktivitas, karena menjadi semakin seringnya kegagalan panen terjadi, ujungujungnya mempengaruhi terhadap perekonomian petani. Frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode 1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer dan Subbiah 2005; Boer 2007). Suatu informasi iklim yang baik didukung oleh beberapa hal yang tertangani dengan baik, diantaranya adalah kebutuhan terhadap data yang akurat dapat dipenuhi,
kelembagaan terstruktur dengan baik dan juga lancar dalam
realisasinya, analisis yang dilakukan akurat yang didukung dengan data dan tool yang memadai dan lain-lain, yang semuanya itu mendukung terhadap sistem informasi yang efektif dan efisien. Hal-hal tersebut merupakan permasalahan yang kompleks di lapangan. Sebagai contoh, faktor kelembagaan merupakan daya dukung yang sangat tepat untuk terciptanya suatu informasi dalam pelaksanaan usaha tani oleh petani bahkan dapat mendukung kegiatan ekonomi di daerah. Kelembagaan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika didukung dengan adanya pembagian kerja yang jelas, berorientasi pada peningkatan pendapatan, petani memberi keleluasaan pada perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang ekonomi (Daryanto 2004).
144
Berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktivitas padi, terdapat beberapa instrumen kebijakan yang yang harus dipenuhi untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional meliputi: (1) pengembangan infrastruktur untuk mendukung usaha tani padi, (2) peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber pemodalan, (3) peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (4) ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru dan (5) peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran (Kasryno et al. 2004). Program kalender tanam merupakan program yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk terus dikembangkan. Agar diperoleh hasil yang baik, diperlukan dukungan berupa informasi teknik budidaya untuk efisiensi, sehingga input biaya lebih rendah dengan tingkat risiko gagal panen lebih rendah. Potensi pemanfaatan kalender tanam untuk petani antara lain menjadi salah satu teknologi terutama terkait dengan informasi untuk mendukung perencanaan waktu dan pilihan teknologi penanaman untuk petani, agar diperoleh dari input yang minimal, hasil yang optimal atau risiko kerugian yang minimal.
Hal ini diharapkan terkait
dengan semakin optimalnya produktivitas yang diperoleh petani. Dengan adanya kalender tanam yang merupakan acuan penjadwalan waktu tanam petani, dapat diberikan pemahaman kepada petani dan pengambil kebijakan mengenai waktu tanam yang tepat dan teknologi yang perlu diambil terkait waktu tanam tersebut. Dalam penyusunan kalender tanam, seperti halnya penyusunan model lain mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan, namun di sisi lain dalam penerapannya dapat terkendala oleh hal-hal lain. Kendala-kendala yang dihadapi tidak lepas dari kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk terwujudnya suatu informasi iklim yang dapat diterima petani dan diaplikasikan di lapangan. Untuk terwujudnya suatu sistem informasi yang baik diperlukan data dukung yang cukup baik, juga pelayanan lain seperti infrastruktur, sarana produksi, serta sistem penyaluran informasi yang diteruskan ke petani, mengingat yang diperlukan petani adalah layanan yang tepat pada waktu yang tepat, sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kesadaran petani akan pentingnya informasi yang akurat merupakan salah satu hal yang perlu disediakan. Keterpaduan berbagai sektor terkait dalam mengupayakan diterimanya informasi oleh petani sehingga dapat diaplikasikan diharapkan dapat mengurangi risiko kerugian petani.
145
Salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan usaha pertanian diantaranya adalah tingkat adopsi petani terhadap teknologi yang didiseminasikan. Semakin tinggi tingkat adopsi petani, yang diperlihatkan dengan aplikasinya di lapang, maka kemungkinan untuk terjadinya kegagalan dapat diturunkan, dan sebaliknya. Meskipun tidak menutup kemungkinan petani merasa bahwa teknologi budidaya yang dilakukan, sudah cukup baik sehingga dirasakan tidak perlu lagi mengadopsi teknologi budidaya yang dianjurkan. Boer dan Surmaini (2006) menyatakan bahwa petani yang konsisten menggunakan informasi prakiraan iklim, pada kurun waktu yang panjang akan mendapatkan income yang lebih tinggi dibanding yang tidak merespon terhadap prakiraan iklim. Dalam kaitan dengan tingkat adopsi petani, sebagai penerima dari teknologi ini, mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima bahkan cenderung untuk menolak seperti : 1.
Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan atau bukan dari kalangan petani seperti mereka.
Kebiasaan seperti ini,
sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka. 2.
Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau “dosa” terhadap
norma-norma tradisional yang harus dipertahankan
atau
dihormati serta dijunjung tinggi (Tamba 2007). Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003) ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan
ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang
direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan
146
dengan tepat. (6) Adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya). Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, irrasional, malas atau bodoh (De Boef et al. diacu dalam Sunaryo dan Joshi 2003), tetapi lebih dikarenakan 3 rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani. Perkembangan teknologi pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam menyikapi perubahan atau dinamika lingkungan tempat mereka tinggal. Cerita panjang dan kejadian alam dari tempat mereka tinggal menjadi sumber inspirasi, termasuk tanggapan mereka dalam mengatasi gejolak alam yang menjadi catatan penting mereka, yang kemudian diceritakan dari generagi ke generasi sebagai pengetahuan dalam menyikapi alam dan perubahannya (Noor dan Jumberi 2012). Keberhasilan kalender tanam di Indonesia tentunya tidak lepas dari riset instansi lain yang mendukung. Misalnya, BB Padi secara aktif mengembangkan teknologi budidaya untuk menanggulangi dampak perubahan iklim global salah satunya
adalah
dengan
penyaluran
benih
dari
UPBS
BB
Padi
untuk
menanggulangi dampak perubahan iklim (Sembiring
2011).
BB Padi sebagai
lembaga penelitian padi satu-satunya di Indonesia, terus aktif mencari inovasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengembangan varietas sangat genjah, tahan kering, tahan rendaman, tahan salinitas, dan tahan OPT. Pembentukan varietas sawah tadah hujan toleran kekeringan dan berumur sangat genjah. Pada tahun 2009, menyalurkan benih VUB 49.6 ton yang terdiri dari tahan kekeringan (5.2 ton), umur sangat genjah (39 ton), tahan rendaman (253 kg), tahan salinitas (367 kg), dan tahan wereng coklat (4.7 ton). Sedangkan tahun 2010 juga menyalurkan benih VUB 79.5 ton yang terdiri dari tahan kekeringan (11.2 ton), umur sangat genjah (27.1 ton), tahan rendaman (2.6 ton), tahan salinitas (19 kg), dan tahan wereng coklat (38.6 ton).
147
Untuk tidak lanjut berikutnya, dapat diupayakan beberapa hal diantaranya adalah; penggabungan dengan kearifan lokal, dengan mengeksplor kearifan lokal yang
dapat
digabungkan
pada
kalender
tanam
yang
telah
ada,
dan
penggabungan unsur-unsur iklim lain, serta memprogramkan kalender tanam supaya lebih user friendly. Hasil penelitian ini diharapkan merupakan salah satu pendukung dalam upaya menyempurnakan Kalender Tanam Terpadu yang sedang dikembangkan dan terus dikembangkan, mengingat informasi mengenai kalender tanam merupakan suatu terobosan teknologi yang perlu terus dikembangkan sehingga diharapkan secara kontinyu menjadi acuan rutin untuk petani dalam pelaksanaan budidayanya.
148
149
BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan Informasi mengenai dampak keragaman iklim di suatu daerah, merupakan informasi yang perlu untuk ditindaklanjuti lebih lanjut terkait pelaksanaan tanam, terutama tanaman pangan,
mengingat aspek inilah yang paling rentan dalam
kaitannya dengan variabilitas iklim yang terjadi. Informasi akurat yang diberikan kepada petani diharapkan dapat meminimalkan tingkat kerugian petani, akibat fluktuasi unsur iklim. Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi, bahan organik, yang dilakukan pada tanggal tanam tertentu, dapat dijadikan sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik yang dipadukan dengan teknologi yang diaplikasikan, untuk meminimalkan dampak variabilitas iklim. Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk setiap perlakuan, umumnya tanggal
tanam
merupakan
peubah
yang
sangat
menentukan
terhadap
keberhasilan atau kegagalan panen. Pertanaman yang sangat rentan terhadap ketersediaan air terutama pada MT II, mengingat pada awal penanaman biasanya air masih berlimpah, tetapi pada akhir penanaman kerap mengalami kekeringan yang dapat menjadikan puso, terutama apabila kekeringan pada fase-fase dimana tanaman masih membutuhkan cukup air. Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan,
hal tersebut terlihat dari error
yang dihasilkan
yang paling
rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei. Demikian pula berdasarkan penghitungan kelayakan ekonomi yang diwakili dengan penghitungan BC Rasio, terlihat bahwa penanaman MT II pada tanggal tanam 1 Februari juga memberikan error yang paling rendah dibanding bulan-bulan lain dimana petani biasa melakukan penanaman untuk MT II, dengan pertimbangan penanaman pada MH sudah panen. Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan teknologi, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan. Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
150
Berdasarkan
fungsi
keanggotaan
dan
penetapan
rule,
akan
diperoleh
gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh. Dalam mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa hal terkait kalender tanam, baik oleh Kementerian Pertanian maupun Perguruan Tinggi seperti IPB. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani semakin disempurnakan.
Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi
mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia.
9.2. Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, rekomendasi untuk tanggal tanam terbaik pada MT II sebaiknya dilakukan pada bulan Februari, terutama tanggal 1 Februari.
Apabila terjadi kemunduran
awal musim hujan yang menyebabkan
mundurnya penanaman pada MH (MT I), maka perlu diantisipasi dengan persiapan penanaman pada MT II yang dilaksanakan lebih cepat, dengan melakukan pembibitan lebih awal dan penggunaan varietas genjah. Dalam pelaksanaan kegiatan ini masih banyak hal yang diperlukan untuk memperbaiki metodologi yang dilakukan, mengingat hasil yang diperoleh sangat terkait dengan spesifik lokasi dan dibutuhkan data yang berbeda untuk ruang yang berbeda. Demikian pula dengan metodologi yang diaplikasikan, masih banyak hal yang dapat dikembangkan yang disesuaikan dengan penggunaannya. Diharapkan kerjasama yang baik antar sektor secara berkesinambungan, sehingga informasi yang diperoleh dapat didelegasikan pada sektor yang berhubungan dengan penyiapan musim tanam dan pasca panen hingga informasi sampai ke petani pada waktu yang tepat dan hasil yang akurat.
Untuk
meningkatkan kesejahteraan petani, banyak sektor yang harus dilibatkan, harus dilihat dari mulai hulu ke hilir, mulai penyiapan benih, subsidi pupuk, informasi tanam dan lain-lain, hingga ke pasca panen dan pemasaran.
151
DAFTAR PUSTAKA Abarquez I, Murshed Z. 2004. Community based disaster risk management: Field practitioners handbook. ADPC : Bangkok. Adams RM, Houston LL, McCarl BA, Tiscareño LM, Matus GJ, Weiher RF.2003. The benefits to Mexican agriculture of an El Niño-southern oscillation (ENSO) early warning system. Agricultural and Forest Meteorology 2003;115: 183–194. Aldrian E. 2003. Simulations of Indonesian rainfall with a hierarchy of climate models, PhD dissertation, Max Planck Institute for Meteorology. Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol. 23 : 1435-1452. Apryantono. A. Irianto SG, Suyamto, Las I, Soedaryanto T, Alamsyah T. 2009. Indonesia Experience : Regaining Rice Self-Sufficiency. Indonesian Ministry of Agriculture Badan Pusat Statistik. 2009. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2009. Berita Resmi Statistik-Badan Pusat Statistik No.69/11/Th.XII, 10 November 2009. [http://dds.bps.go.id/brs_file/pdb-10nov09.pdf][5 Februari 2009]. Barton DN, Saloranta T, Moe SJ, Eggestad HO, Kuikka S. 2008. Analysis Bayesian belief networks as a meta-modelling tool in integrated river basin management — Pros and cons in evaluating nutrient abatement decisions under uncertainty in a Norwegian river basin. Ecological Economics 2008;66: 91-104. Boer R. 2002. Analisis Resiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Disampaikan pada Pelatihan Dosen perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Boer R, Meinke H. 2002. Pertumbuhan tanaman dan Osilasi Selatan. Dalam Kapan Hari Akan Hujan? Department of Primary Industry, Quensland, Australia. Boer R, Setyadipratikto A. 2003. Nilai Ekonomi Prakiraan Iklim. Disajikan dalam Workshop “Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di Sumatera Barat” Auditorium Universitas Bung Hatta, Padang, 11-13 Agustus 2003. Boer R, Subbiah AR. 2005. Agriculture drought in Indonesia. Dalam Vijendra S. Boken, Arthur P. Cracknell and Ronald L. Heathcote (eds.). Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A Global Study. Oxford University Press, pp 330-344. Boer R, Surmaini E. 2006. Economics benefits of using SOI Phase Information fo Crop Management Decision in Rice-Base Farming System of West Java, Indonesia. International Conference on Living with Climate Variability and Change : Understanding the Uncertainties and Managing the Risks.EspooFinland, 17-21 July 2006. Boer R et al. 2007. Penyusunan Kalender Pertanian. Laporan Hasil Penelitian Tim Peneliti IPB dan Badan Litbang BMG.
152
Boer R. 2007. Konsep tentang analisis risiko iklim. Bahan kuliah Klimatologi Pertanian Terapan. FMIPA-IPB. Bogor. Boer R et al. 2008. Pengembangan Sistim Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Boer R, Buono A, Sumaryanto, Surmaini E, Estiningtyas W, Kartikasari K, Fitriyani. 2009. Agricuture Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta. Boer R, Buono A, Suciantini. 2010. Pengembangan Kalender Tanaman Dinamik sebagai Alat dalam Menyesuaikan Pola Tanam dengan Prakiraan Iklim Musiman. Bogor: Laporan Hasil Penelitian I-MHERE B2C-IPB. Boer R, Faqih A, Ariani R. 2011. Relationship between Pacific and Indian Ocean Sea Surface Temperature Variability and Rice Production, Harvesting Area and Yield in Indonesia. Poster Presented at the 1st Intrenational Conference on Climate Services Columbia University, New York 17-19 November 2011. Borsuk ME, Stow CA, Reckhow KH. 2004. A Bayesian Network of eutrophication models for synthesis, prediction, and uncertainty analysis. Ecological Modelling 2004;173: 219–239. Bottema, J.W.T. 1997. A note on the estimation of the impact of a long dry season. Paper for UN/ESCAP/CGPRT Bogor. [BMKG]. 2011. Prakiraan Musim Hujan 2011/2012. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. 88 hal. Buono A, Boer R, Runtunuwu E, Suciantini, Ramadhan A. 2010. Pengembangan Fungsi Utilitas pada Decision Network untuk Model Kalender Tanam Dinamik dalam Pengelolaan Risiko Iklim Guna Menekan Kerugian Pertanaman hingga >40%. Bogor : Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Kerjasama IPB-Sekretariat Badan Litbang Pertanian. Buono A, Boer R, Pramudia A, Suciantini, Febriyanti S. 2011. Optimasi Fungsi Risiko pada Decision Network untuk Model Kalender Tanam Dinamik dan Sosialisasinya dalam Pengelolaan Risiko Iklim. Bogor : Laporan Hasil Penelitian KKP3T, Kerjasama IPB-Sekretariat Badan Litbang Pertanian. Daryanto A. 2004. Penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat sebagai modal sosial pembangunan. Agrimedia Vol 9 No. 1, Maret 2004. Daryanto, A. 2007. Peranan dan Pengembangan Hortikultura melalui Pendekatan Klaster dan Contract Farming. Kertas Kerja disampaikan dalam Konperensi Nasional (Konpernas) ke XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Hotel Sahid Raya, Solo, 3-5 Agustus 2007. Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan. Data Produksi Padi dan Palawija di Kabupaten Pacitan tahun 2006 hingga 2010. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman. 2011. Data luas kekeringan kabupaten. Direktorat Perlindungan Tanaman-Jakarta.
153
Falcon W, Naylor R, Battisti D, Burke M. 2006. Climate variability, climate change, and Indonesian rice production. Makalah pada Roundtable Discussion : Coping With Climate Variability and Changes in Food Production. 8 November 2006. Bogor. Giannini A, Robertson AW, Qian JH. 2007. A role for tropical tropospheric temperature adjustment to ENSO in the seasonality of monsoonal Indonesia precipitation predictability. J. Geophys. Res. (Atmosphere). 112: D16110, doi:10.1029/2007JD008519. Hadi TW, Dupe ZL, Lubis A. 2003. Evolusi El-Nino/La-Nina di Pasifik dan dampaknya di Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, 2002, Bandung 31 Juli 2002. Hamada JI., Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J. Meteo. Soc. of Japan. 80 : 285-310.
Handoko. 2002. Validasi Model. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan perubahan iklim dan produksi pangan strategis : telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Haryanto U. 1998. Keterkaitan fase Indeks Osilasi Selatan (SOI) terhadap curah hujan di DAS Citarum. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jones JW, Hoogenboom G, Porter CH, Boote KJ, Batchelor WD, Hunt LA, Wilkens PW, Singh U, Gijsman AJ, Ritchie JT. 2003. The DSSAT cropping system model. Europ. J. Agronomy 2003; 18: 235-265. Kasryno F. 2004. Reposisi padi dan beras dalam perekonomian nasional. Dalam F Kasryno, E Pasandaran dan A.M. Fagi (Ed). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian, Jakarta. Kusumadewi S, Hartati S. 2010. Neuro-Fuzzy, Integrasi Sistem Fuzzy & Jaringan Syaraf. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kusumadewi S, Purnomo H. 2010. Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. Lansigan FP, Santos WLDL, Coladilla JO. 2000. Agronomic impacts of climate variability on rice production in the Philippines. Agriculture, Ecosystems and Environment 82 (2000): 129-137. Las I, Unadi A, Subagyono K, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2007a. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 96 hal. Las I, Surmaini E, Runtunuwu E. 2007b. Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim: Antisipasi, Mitigasi, dan Adaptasi. Dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX: “Harmonisasi IPTEK, Alam, dan Budaya Menuju Masyarakat Sejahtera”, Jakarta, 20-22 November 2007.
154
Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2008. Atlas Kalender Tanam Pulau Sumatera. Edisi I. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor : Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2009a. Atlas Kalender Tanam Pulau Kalimantan. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor:Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Las I, Unadi A, Syahbuddin H, Runtunuwu E. 2009b. Atlas Kalender Tanam Pulau Sulawesi (8 Jilid). Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Bogor :Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Las et al. 2010. Atlas Kalender Tanam Provinsi Bali, Maluku Utara, Maluku, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat. Bogor :Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Lassa J, Pujiono P, Pristiyanto D, Paripurno ET, Magatani A, Purwati H. 2009. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komoditas (PRBBK). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Lee TS, Haque MA, Najim MMM. 2005. Scheduling the cropping calendar in wetseeded rice schemes in Malaysia. Agricultural Water Management 2005; 71 :71–84. Liong TH, Siregar P, Bannu. 2003. Peranan pengelompokan dalam prediksi kekeringan di Indonesia. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional 2002; Pengembangan dan Aplikasi Teknik Prediksi Cuaca dan Iklim, Bandung, 31 Juli 2002. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). ISBN 979-8554-65-5. Lo F, Wheeler MC, Meinke H, Donald A. 2007. Probabilistic forecasts of the onset of the North Australian wet season. Monthly Weather Review, 135: 3506– 3520. Lubis A, Dupe ZL, Hadi TW. 2003. Definisi Karakteristik El-Nino dan La-Nina. Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, 2002, Bandung 31 Juli 2002. Malingreau, J.P. 1987. The 1982-83 drought in Indonesia: Assessment and monitoring. In M. Blantz, R. Katz and M. Krenz. Climate crisis: The societal impacts associated with the 1982-83 worldwide climate anomalies. UNEP. Mestre-Sanchís F, Feijóo-Bello ML. 2009. Analysis Climate change and its marginalizing effect on agriculture. Ecological Economics 2009; 68: 896904. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc. Nat. Acad. Sci. 104 : 7752-7757. Noor M, Jumberi A. Kearifan budaya lokal dalam perspektif pengembangan pertanian di lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. [http://balittra.litbang.deptan.go.id./lokal/Kearifan-1%20M-Noor.pdf.] [15 Juli 2012]. Pawitan, H. 2002. Terapan Pemodelan Hidrologi Daerah Aliran Sungai dalam Pertanian dan Pengelolaan Lingkungan. Disampaikan pada Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi
155
Pertanian dan Lingkungan 1-13 Juli 2002. Bogor: FMIPA IPB kerjasama dengan Bagpro PKSDM Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional. Pendleton JW, and Lawson TL. 1988. Climatic Variability and Sustainability of Crop yields in the humid tropics. International Symposium on Climatic Varability and Food Security in Developing Countries 5 – 9 Februari 1987. New Delhi. IRRI: 54 – 58. Pramudia A, Hariyanti KS, Trinugroho MW, Sarvina Y, Las I. 2011. Pengembangan Model Integrasi Kalender Tanam Dinamik Berdasarkan Hasil Prediksi BMKG. Pada Kegiatan Pengembangan Kalender Tanam Dinamik Terpadu Untuk Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan. Ramadhani F, Las I, Setyanto P, Syahbuddin H, Runtunuwu E, Nugroho MWT, Rahayu B. 2011. Pengembangan Kalender Tanam Terpadu Untuk Mengamankan Produksi Pangan Menghadapi Perubahan Iklim. Pada Kegiatan Pengembangan Kalender Tanam Dinamik Terpadu Untuk Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan. Rianse U, Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi. Bandung : Alfabeta. Robertson AW, Moron V, Swarinoto Y, 2009. Seasonal predictability of daily rainfall statistics over Indramayu district, Indonesia. Int. J. Climatology, 29 : 1449-1462. Runtunuwu et al. 2009. Penyusunan Kalender Tanam Kalimantan dan Sulawesi untuk Mengurangi Resiko dan dampak Variabilitas dan Perubahan Iklim. [Laporan Tengah Tahun 2009]. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sembiring H. 2011. Kesiapan Teknologi Budidaya Padi Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementrian Pertanian. 2011. ISBN 978-979-540-056-1. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press). Soler CMT, Hoogenboom G, Sentelhas PC, Duarte AP. 2007. Growth analysis of maize grown off-season in a subtropical environment under rainfed and irrigated conditions. Journal of Agronomy and Crop Science. 193(4) : 247261. Sudradjat, Chaerani D, Supriatna AK, Hadi S. 2009. Model Optimasi Pola Tanam Pada Lahan Kering di Kabupaten Bandung. Laporan Akhir Hibah Penelitian Strategis Nasional 2009. Fakultas MIPA-Universitas Padjadjaran. Sunaryo, Joshi L. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforetri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia.
156
Supriyono, 2012 diambil dari http://infotani.com/2012/01/05/pranata-mangsa fenomena-cuaca-pertanian/ Stern
N, Peters S, Bakhshi V, Bowen A, Cameron C, Catovsky S, Crane D, Cruickshank S, Dietz S, Edmonson N, Garbett SL, Hamid L, Hoffman G, Ingram D, Jones B, Patmore N, Radcliffe H, Sathiyarajah R, Stock M, Taylor C, Vernon T, Wanjie H, Zenghelis D.. 2006. Stern Review : The Economics of Climate Change. HM Treasury. London.
Syahbuddin H, Las I, Unadi A, Runtunuwu E. 2007. Identifikasi Dan Delineasi Kalender Tanam Dan Pola Tanam Pada Lahan Sawah Terhadap Anomali Iklim Di Pulau Jawa. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi-Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian-Departemen Pertanian. Laporan Akhir Kegiatan. Tamba M. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran : Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, kasus di Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thorp KR, DeJonge KC, Kaleita AL, Batchelor WD, Paz JO. 2008. Methodology for the use of DSSAT models for precision agriculture decision support. Computers and Electronics in Agriculture 2008; 64 : 276–285 Tim Roadmap Sektor Pertanian. 2010. Road Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Pertanian. Departemen Pertanian. Tim Roadmap Sektor Pertanian. 2011. Road Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Pertanian. Departemen Pertanian.
Map Strategi Sektor Pertanian Penelitian dan Pengembangan Map Strategi Sektor Pertanian Penelitian dan Pengembangan
Wahab MI, Antoyo, Boer R. 2007. Farming System and Climate Related Problems at Pacitan District, East Java. Laporan Akhir CAPaBle. Wiriadiwangsa D. 2005. Pranata Mangsa, Masih Penting untuk Pertanian. Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005. Wisnubroto S, Attaqi R. 1997. Pengenalan waktu tradisional “Bulan Berladang” kesamaannya dengan keadaan meteorologis dan pemanfaatannya untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Desember 1997. 1(1): 6166. Yang JY, Huffman EC. 2004. EasyGrapher: software for graphical and statistical validation of DSSAT outputs. Application note. Computers and Electronics in Agriculture 45 (2004) 125–1321 [http:/ggweather.com/enso/oni.htm].El-Nino-La-Nina.[10 Oktober 2011]. [http:/ggweather.com/enso/oni.htm].El-Nino-La-Nina.[20 April 2012]. [http://www.katam.litbang.go.id [12 Desember 2011]. [http:/www.longpadock.qld.gov.au] [17 Januari 2010]. [http:/www.litbang,deptan.go.id].Kalender Tanam Terpadu.[12 Desember 2011]. [http://meteora.ucsd.edu/~pierce/elnino/nino_4_region.html. [5 Desember 2010]. [http://forum.vivanews.com/sejarah-dan-budaya/130540-teknologi-kuno-bangsaIndonesia-yang-canggih.html][ 5 Februari 2012].
157
Lampiran 1. Paket teknologi budidaya
Tanggal tanam
Paket teknologi
V (varietas)
Irigasi
Pupuk
Bahan Organik
Biaya (x Rp.1,000.00)
1 Januari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0
-1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0
0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1
3.990 4.744 4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964 3.990 4.744 4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964 3.990 4.744 4.914 4.515 5.269 5.439 4.040 4.794 4.964 4.565 5.319 5.489 3.990 4.744 4.914 4.515 5.269 5.439 4.040 4.794 4.964 4.565 5.319 5.489 3.990 4.744 4.914 4.590 5.344 5.514 4.040 4.794
15 Januari
1 Februari
15 Februari
1 Maret
158
15 Maret
1 April
15 April
1 Mei
15 Mei
9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0
0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1
1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1
1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0
4.964 4.640 5.394 5.564 3.990 4.744 4.914 4.590 5.344 5.514 4.040 4.794 4.964 4.640 5.394 5.564 3.990 4.744 4.914 4.665 5.419 5.589 4.040 4.794 4.964 4.715 5.469 5.639 3.990 4.744 4.914 4.665 5.419 5.589 4.040 4.794 4.964 4.715 5.469 5.639 3.990 4.744 4.914 4.740 5.494 5.664 4.040 4.794 4.964 4.790 5.544 5.714 3.990 4.744 4.914 4.740 5.494 5.664 4.040 4.794 4.964 4.790
159
1 Juni
15 Juni
1 Juli
15 Juli
1 Agustus
11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1
0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1
-1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1
5.544 5.714 3.990 4.744 4.914 4.890 5.644 5.814 4.040 4.794 4.964 4.940 5.694 5.864 3.990 4.744 4.914 4.890 5.644 5.814 4.040 4.794 4.964 4.940 5.694 5.864 3.990 4.744 4.914 5.040 5.794 5.964 4.040 4.794 4.964 5.090 5.844 6.014 3.990 4.744 4.914 5.040 5.794 5.964 4.040 4.794 4.964 5.090 5.844 6.014 3.990 4.744 4.914 4.890 5.644 5.814 4.040 4.794 4.964 4.940 5.694 5.864
160
15 Agustus
1 September
15 September
1 Oktober
15 Oktober
1 November
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1
0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0
-1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0
0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1
3.990 4.744 4.914 4.890 5.644 5.814 4.040 4.794 4.964 4.940 5.694 5.864 3.990 4.744 4.914 4.740 5.494 5.664 4.040 4.794 4.964 4.790 5.544 5.714 3.990 4.744 4.914 4.740 5.494 5.664 4.040 4.794 4.964 4.790 5.544 5.714 3.990 4.744 4.914 4.590 5.344 5.514 4.040 4.794 4.964 4.640 5.394 5.564 3.990 4.744 4.914 4.590 5.344 5.514 4.040 4.794 4.964 4.640 5.394 5.564 3.990 4.744
161
15 November
1 Desember
15 Desember
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1
1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1 -1 0 1
1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1 0 -1 1
4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964 3.990 4.744 4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964 3.990 4.744 4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964 3.990 4.744 4.914 3.990 4.744 4.914 4.040 4.794 4.964 4.040 4.794 4.964
Keterangan : Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. -1=Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0=Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1=Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi untuk Kec.Pacitan) Bahan Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. 0=tanpa BO, -1=diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha 1=diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha
162
Lampiran 2. Contoh perhitungan BC Ratio pada suatu usaha tani padi
a.
Biaya produksi
Unit
Nilai / unit
Rp.
1
Sewa lahan
1
500,000.00
500,000.00
2
Benih
25
7,000.00
175,000.00
3
Pupuk 200
1,580.00
316,000.00
- ZA
50
1,650.00
82,500.00
- SP-35
100
1,640.00
164,000.00
-Ponska
50
3,000.00
150,000.00
- KCl
75
3,800.00
285,000.00
- PPC/ZPT
1
50,000.00
50,000.00
-pukan
40
3,000.00
120,000.00
4
Pestisida
1
100,000.00
100,000.00
5
Tenaga kerja
- Urea
6
- Persemaian
5
15,000.00
75,000.00
- Pengolahan tanah dgn mesin
1
500,000.00
500,000.00
- Menanam
20
20,000.00
400,000.00
- Penyiangan
15
15,000.00
225,000.00
- Pemupukan
9
25,000.00
225,000.00
- Pemberantasan OPT
4
25,000.00
100,000.00
72
20,000.00
1,440,000.00
Panen dan pascapanen - Merontok, keringkan, angkut - Ongkos angkut ke pasar
7
0.00
Bunga Bank
300,000.00
Jumlah biaya produksi b.
Pendapatan
c.
Keuntungan
d.
Parameter kelayakan usaha
5,207,500.00 3535
4,000.00
B/C Ratio
14,140,000.00 8,932,500.00 1.72 Layak
Ket : asumsi harga gabah Rp. 4,000.00 dan hasil panen 3.54 ton
163
Lampiran 3. Koefisien dan SS (sumbangan keragaman terhadap model) untuk 'yield'/hasil 1-Jan Koefisien
15-Jan
SS
Koefisien
1-Feb
SS
2832.7
Koefisien
15-Feb
SS
K
3531.4
2161.2
V
-714.7
6.131
-468.9
3.156
-604.5
3.594
AnoSST
Koefisien
SS
2279.4 -414.6
1.548
-437.4
2.504
-491.8
3.472
-322.2
1.573
-296.7
1.205
CH-fase1
-0.9
0.968
-0.3
0.198
0.3
0.000
-0.2556
0.001
CH-fase2
1.1
0.407
-0.7
0.012
-0.6
0.051
1.5075
0.927
CH-fase3
-0.6
0.180
1.9
1.408
4.1
3.820
1.788
0.200
Irigasi
2735.4
89.810
2528.2
91.716
3040.0
90.885
3266.2
96.061
Pupuk
-1.0
0.000
-41.6
0.004
-57.3
0.017
4.5
0.045
4.6
0.000
102.7
0.034
165.8
0.060
78
0.012
Organik
1-Mar Koefisien
15-Mar
SS
Koefisien
1-Apr
SS
SS
SS
2335.3
V
-400.1
1.354
-602.6
2.655
-602.6
2.421
-548.8
1.902
AnoSST
-290.8
0.924
-227
0.417
-96.1
0.380
-420.7
2.035
CH-fase1
-0.4468
0.081
-0.1369
0.076
0.3487
0.061
0.5188
0.031
CH-fase2
1.684
0.388
-0.7582
0.093
-1.74
0.686
3.34
6.682
CH-fase3
0.442
0.035
-0.924
0.047
8.231
8.255
17.344
7.048
Irigasi
3390.2
97.183
3635.9
96.656
3635.9
88.145
3610
82.300
Pupuk
-13.3
0.020
-91.5
0.000
-91.5
0.000
-11.8
0.002
86.7
0.014
187.3
0.057
187.3
0.052
0.1
0.000
1 Mei Koefisien
15 Mei
SS
K
1578.7
V
-428
1.234
AnoSST
1714.5
Koefisien
K
Organik
2202.4
Koefisien
15-Apr
Koefisien
1589.7
1 Juni
SS
1412.3
Koefisien
15 Juni
SS
1550.8
-440.9
1.464
-495.3
Koefisien
SS
1604.3 2.086
-598.9
3.288
-204
1.356
-19.9
0.743
99.3
0.436
149.3
0.420
CH-fase1
0.8578
0.961
3.2133
5.912
4.8974
13.068
5.4533
13.390
CH-fase2
8.315
9.213
7.826
5.195
6.03
0.793
0.156
0.171
CH-fase3
7.597
2.930
9.173
0.715
3.779
0.465
6.3405
5.718
Irigasi
3537.6
84.271
3375.3
85.836
3123.7
82.987
2889.7
76.560
Pupuk
-57.2
0.004
-34
0.074
-35.4
0.091
-34.7
0.286
Organik
142.9
0.031
189.5
0.060
197.8
0.074
285.8
0.166
164
Lampiran 3. Lanjutan 1-Jul Koefisien K
1733.4
V
-589.8
15-Jul
SS
Koefisien
1-Aug
SS
2139.6 3.918
-756.6
Koefisien
15-Aug
SS
2721.5 7.938
Koefisien
SS
3319.8
-762.9
12.591
-707.14
17.856
AnoSST
134.1
0.452
144.8
0.642
-265
12.786
-440.11
17.610
CH-fase1
7.0718
13.567
7.105
10.161
3.5904
5.326
1.5605
12.491
CH-fase2
4.605
5.500
1.8924
7.548
0.9686
7.480
1.3294
3.551
CH-fase3
4.1005
3.009
3.0598
4.700
2.2558
3.605
0.4274
0.388
Irigasi
2547.2
73.074
2228.2
68.843
1636.9
57.963
1158.45
47.921
Pupuk
-58.1
0.255
-34.1
0.085
-31.6
0.129
-25
0.087
Organik
300.5
0.226
164
0.083
157.8
0.120
110.4
0.097
1-Sep Koefisien
15-Sep SS
Koefisien
1-Oct
SS
SS
SS
3603.7
V
-824.35
38.139
-865.71
63.391
-910.87
85.641
-922.46
83.797
AnoSST
-298.36
15.282
-214.84
9.963
-53.48
1.540
55.42
0.016
CH-fase1
0.5697
9.379
0.5624
6.761
0.37324
4.106
0.4353
4.537
CH-fase2
0.904
0.867
0.4555
1.992
0.3752
1.775
0.2245
0.574
CH-fase3
0.8265
4.722
0.7221
3.702
0.4394
0.742
-0.5668
0.962
Irigasi
743.38
31.014
409.24
14.166
244.44
6.168
320.1
10.091
Pupuk
2.03
0.455
0.53
0.020
13.02
0.028
14.27
0.020
106.3
0.141
17.55
0.006
-5.96
0.001
-11.2
0.003
1-Nov Koefisien
4271.59
Koefisien
K
Organik
4011.62
Koefisien
15-Oct
15-Nov SS
Koefisien
4389.4
1 Des
SS
K
4576.5
3986.8
V
-936.69
68.955
-558.62
23.992
AnoSST
-101.65
0.378
-316.89
CH-fase1
0.2952
0.939
0.0412
CH-fase2
-1.7849
11.000
CH-fase3
0.7447
Irigasi Pupuk Organik
Koefisien
15 Des
SS
3786
Koefisien
SS
4110.4
-640.4
15.039
-924.9
28.651
11.294
-360.9
0.360
-0.4245
6.155
-332.9
3.156
0.064
-0.6245
0.902
-0.932
3.459
-0.8311
2.103
-0.3393
0.102
1.516
0.471
0.789
0.9574
1.422
0.6293
0.386
467.23
17.157
24.77
0.002
882.9
59.931
1432.1
75.207
1411.4
66.714
13.9
0.160
20.1
0.001
16
0.046
-55.5
0.054
28
0.013
-34.8
0.010
-77.2
0.044
165
Lampiran 4. Rekomendasi pemupukan di Kabupaten Pacitan (Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/I/2006. Tgl 3 Januari 2006) Kecamatan
Donorojo Punung Pringkuku Pacitan Kebonagung Arjosari Nawangan Bandar Tegalombo Tulakan Ngadirojo Sudimoro
Tanpa BO
Penambahan 5 ton jerami/ha
Penambahan pukan 2 ton/ha
Urea
SP-36
KCl
Urea
SP-36
KCl
Urea
SP-36
KCl
200 200 200 250 250 250 250 200 200 200 250 200
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
180 180 180 230 230 230 230 180 180 180 230 180
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
150 150 150 200 200 200 200 150 150 150 200 150
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80 80
166
Lampiran 5. Posisi Nino 4 (http://meteora.ucsd.edu/~pierce/elnino/nino_4_region.html )
167
Lampiran 6. Anomali SST Nino 4 (2006-2010)