Lokakarya Fungsional Non Peneldi 1997
IDENTIFIKASI VIRUS PENYEBAB MALIGNANT CATARRHAL FEVER (MCF) DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Muharam Saepulloh Balai Penelitian Veteriner, Jalan R .E . Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Malignant Catarrhal Fever (MCF) atau penyakit ingusan adalah penyakit menular yang bersifat akut dan fatal pada hewan ruminansia besar, ruminansia liar (rusa) serta beberapa hewan berteracak (hooped) . Di Indonesia, sapi Bali (Bos sondaicus) dan kerbau (Bubalus bubalis) dikenal sangat peka terhadap penyakit ingusan (Prabowo dan Ishitani, 1984 ; Sudarisman dkk., 1985 ; Daniels dkk ., 1988 ; Wiyono dkk ., 1994a) . Gejala klinik yang sering dijumpai pada hewan yang terserang MCF antara lain hewan sukar bergerak, bulu di seluruh tubuh menjadi kasar dan suram, hewan banyak mengeluarkan air mata dan photophobia ; demam dengan suhu mencapai 40 - 42 ° C, pembesaran kelenjar pertahanan superfisial (sehingga kelenjar tersebut dapat diraba), diare dan hipersensitivitas kulit, kekeruhan kornea mata hingga kebutaan, nekrosis pada mulut disertai perdarahan yang berbau busuk dan diakhiri dengan kematian hewan (Mansjoer, 1954 ; Jensen dan Meckey, 1971) . Secara histopatologik penyakit ini menyebabkan proliferasi dan infiltrasi limfoid yang diikuti nekrosis di berbagai jaringan (Plowright, 1984) . Wildebeest (Connochaetes gnou) dan domba dilaporkan sebagai hewan pembawa agen penyebab tanpa menunjukkan tanda klinik (Jubb dan Kennedy, 1970 ; Wiyono dkk ., 1994b) . Penyakit ini mempunyai derajad penularan (morbidity rate) rendah, akan tetapi derajad kematian (mortality rate) sangat tinggi yaitu dapat mencapai 100 % (Plowright, 1968) . Dikenal ada dua macam MCF, yaitu WA-MCF (wildebeest-associated MCF) atau MCF yang berkaitan dengan wildebeest, dan SA-MCF (sheepassociated MCF) atau MCF yang berkaitan dengan domba (Plowright dkk ., 1960) . Kedua tipe MCF secara klinik dan histologik tidak dapat dibedakan (Plowright, 1984) . Agen penyebab WA-MCF sudah dapat diisolasi yaitu Alcelaphine herpesvirus type 1 (AHV-1) (Plowright dkk ., 1960), sehingga deteksi serologi dapat dilakukan . Sedangkan pada SA-MCF agen penyebabnya belum dapat diisolasi, maka uji serologik tidak dapat dilakukan .
203
Lokakarya Fungsional
Non Peneliti 1997
Sungguhpun demikian, dalam mendiagnosis penyakit SA-MCF dapat dilakukan secara konvensional yaitu dengan melihat gejala klinik dan kelainan patologiknya . Akan tetapi seringkali diagnosis tersebut dikelirukan dengan penyakit lain yang gejala kliniknya serupa dengan MCF, sehingga diperlukan suatu cara pengidentifikasian virus yang lebih spesifik dibandingkan dengan cara konvensional . Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan uji yang spesifik dan sensitif untuk pengidentifikasian virus SA-MCF (Baxter dkk ., 1993) . Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Saiki dkk . (1985) dengan memanfaatkan enzim polymerase tahan panas . Dengan menggunakan uji PCR, asam deoksiribonukleat (DNA) virus SA-MCF yang terkandung dalam darah hewan tersangka MCF dapat diperbanyak dan dideteksi (Baxter dkk ., 1993) . Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi cara pengidentifikasian virus penyebab MCF secara dini pada kerbau dan sapi Bali yang diduga terserang penyakit MCF dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) . BAHAN DAN METODE Penyiapan spesimen Darah diambil sebanyak 10 ml secara aseptik dari bagian vena jugularis kerbau atau sapi Bali dengan menggunakan jarum "vacutainer" ukuran 18 G x 1,5 inch yang dilengkapi dengan tabung venoject berheparin 10 ml dan holder . Kemudian tabung tersebut digoyang perlahan selama 1 menit hingga heparin yang berada di dalam tabung tercampur sempurna (sampel dalam heparin dapat tahan selama 1-2 hari dalam kondisi 4°C . Darah berheparin dipindahkan dalam tabung Polypropylene 50 ml steril . Kemudian ditambah sebanyak 3 bagian volume dengan larutan amonium klorida 0,85% (w/v) pH 8,3 yang telah dilengkapi dengan Tris 0,2% (w/v) pH 8,0 . Sel darah merah (SDM) dibiarkan hingga lisis selama 15 menit, kemudian disentrifugasi dengan putaran 1800 rpm pada suhu 4 ° C selama 10 menit . Supernatan dibuang dan endapan sel darah putih (PBL) dicuci dengan menggunakan 20 ml larutan Phosphat Buffer Saline (PBS) steril pH 7,2 (NaCI 0,08%, KCI 0,02%, Na2 HPO 4 0,0115%, KH 2 PO 4 0,02%) . Dikocok dengan vorteks, dan disentrifugasi kembali 1800 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit . Pencucian, sentrifugasi dan pembuangan larutan PBS diulangi hingga endapan PBL bebas dari sel darah merah . Endapan PBL yang bebas dari sel darah merah dikocok dengan vorteks hingga menjadi sel-sel yang terpisah satu dengan yang lain, kemudian ditambah dengan 3 - 5 ml larutan lysis buffer (Tris-HCI pH 7,5 200 mM, NaCl 200 mM, EDTA 20 mM, SDS 0,2% w/v) dan dikocok dengan vorteks hingga
20 4
Lokakarya Fungsional Non Peneltti 1997
PBL homogen (dicirikan dengan larutan PBL tersebut kental dan bening seluruhnya) . Ekstraksi DNA Lima ml PBL diekstraksi dengan penambahan 5 ml campuran phenolkloroform (6 :4) kemudian dikocok dengan menggunakan vorteks hingga homogen . Disentrifugasi 3500 rpm pada suhu 16° C selama 15 menit . Diambil fase bagian atas kemudian dimurnikan dengan penambahan 5 ml kloroformisoamilalkohol (24 :1) . Disentrifugasi 3500 rpm selama 15 menit pada suhu 16 °C . Diambil fase bagian atas kemudian ditambah 1/10 bagian isi dengan ammonium asetat pH 8,3 . Akhirnya ke dalam campuran tersebut ditambahkan 3 bagian isi dengan alkohol absolut . Dikocok hingga diperoleh bentuk endapan yang menyerupai kapas berpilin yang selanjutnya disebut sebagai DNA . DNA yang berpilin ini diambil dan dicuci dengan alkohol 70% . Dikocok kemudian disentrifugasi 3500 rpm pada suhu 16 ° C selama 15 menit . Supernantan dibuang dan DNA ditambah dengan 300 (1 Tris-EDTA 1 M pH 8,3 . Selanjutnya DNA dikuantifikasi dengan menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (Sambrook dkk ., 1989) . Perbanyakan DNA secara in vitro Perbanyakan DNA secara in vitro dilakukan dengan menggunakan teknik PCR (Seiki dkk ., 1985) . Sepasang nested primer yang diberi nama 556/755 dan 556/555 digunakan dalam teknik PCR . Teknik PCR yang dipergunakan sesuai dengan yang digunakan oleh Baxter dkk . (1993) . Pasangan 556/755 dan 556/555 menghasilkan 238 by (base pairs/pasangan basa) . Reaksi perbanyakan ini menggunakan katalisator yang tahan panas yaitu Taq DNA Polymerase (Seiki dkk ., 1988) . Visualisasi hasil perbanyakan DNA Hasil perbanyakan DNA secara in vitro diekstraksi terlebih dahulu dengan menggunakan kloroform (1 :1) . Sebesar 5 persen dari hasil ekstraksi tersebut ditambah dengan 0,5 (I marker kemudian langsung dianalisis dengan gel agarose yang mengandung etidium bromida (Samboro dkk ., 1989) dan DNA dalam gel tersebut dilihat menggunakan alat transiluminator ultraviolet . HASIL DAN PEMBAHASAN Pada percobaan ini dilakukan pengujian PCR terhadap sampel darah yang diambil dari 10 ekor kerbau yang secara klinis normal, berasal dari Balai Penelitian Ternak (BALITNAK), Ciawi Bogor (Tabel 1) dan 6 ekor kerbau serta 1 ekor sapi Bali yang masing-masing berasal dari hewan yang secara alami sakit dan diduga terserang MCF (Tabel 2) . 205
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
Tabel 1 . Hasil pemeriksaan PCR terhadap PBL dad hewan yang secara klinik normal asal BALITNAK, Ciawi Bogor No .
Nomor Hewan
1.
387
2.
Spesies
Jenis Sampel
Hasil PCR
Kerbau Murrah
PBL
Negatif
295
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
3.
268
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
4.
437
Kerbau Murrah
PBL
Negatif
5.
156
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
6.
167
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
7.
166
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
8.
152
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
9.
4162
Kerbau Murrah
PBL
Negatif
10 .
157
Kerbau Lokal
PBL
Negatif
Keterangan : PBL : Periferal blood limfosit (sel darah putih perifer)
Dari 10 hewan yang secara klinis normal dari BALITNAK, Ciawi Bogor, ternyata dapat dibuktikan dengan teknik PCR bahwa tidak satu pun hewan tersebut mengandung virus SA-MCF (Tabel 1) . Sehingga ada kesamaan antara diagnosis di lapangan dengan diagnosis yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan teknik PCR . Tabel 2 . Hasil pemeriksaan PCR terhadap PBL yang berasal dad hewan yang secara alami sakit clan dibunuh No .
Kasus MCF
Asal
Hasil Uji PCR
1.
Kerbau 226
Balitnak, Ciawi
Positif
2.
Kerbau 296
Balitnak, Ciawi
Positif
3.
Kerbau 159
Balitnak, Ciawi
Positif
4.
Kerbau 171
Balitnak, Ciawi
Positif
5.
Sapi Bali 05
Balitvet, Bogor
Positif
6.
Kerbau 101
Sindangbarang, Bogor
Positif
7.
Kerbau 103
Banjarsari, Bogor
Positif
206
Lokakarya Fungsionai Non Peneliti 1997
Sedangkan dari ketujuh hewan yang secara alami sakit dengan gejala klinis mencirikan MCF (Tabel 2) setelah dilakukan uji PCR terhadap sampel darah (PBL) ternyata semua hewan terinfeksi virus SA-MCF . Hewan yang terinfeksi MCF tersebut adalah kerbau No . 226, 295, 159 dan 171 dari BALITNAK, Sapi Bali No . 05 dari BALIVET, Kerbau 101 dari Sindangbarang, dan Kerbau 103 dari Banjarsari . Kemungkinan terjadinya penyakit MCF pada kerbau-kerbau yang ada di BALITNAK dikarenakan semua kerbau dipelihara secara intensif dalam kandang yang relatif dekat letaknya dengan kandang domba yang beberapa diantaranya ada yang melahirkan . Sedangkan diketahui bahwa domba mengandung SA-MCF (Wiyono dkk ., 1995) . Demikian pula untuk kasus Sapi Bali 05 di Balitvet . Sapi Bali No . 05 terletak kurang lebih 100 meter dari kandang domba bunting dan beranak . Sedangkan untuk kasus kerbau 101 dan 103, ternyata peternak tersebut memelihara beberapa ekor domba dan diantaranya terdapat yang sedang bunting . Dari beberapa kasus penyakit MCF yang terjadi di atas ternyata selalu berhubungan dengan keberadaan domba . Sehingga adanya domba terutama domba yang bunting di sekitar kandang kerbau atau sapi Bali merupakan ancaman besar bagi kelangsungan hidup hewan tersebut . Hal ini mengingat penyakit MCF pada sapi Bali atau kerbau memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi yaitu dapat mencapai 100 % (Plowright, 1968) . Dengan teknik PCR hewan-hewan tersebut (baik yang normal maupun yang memiliki gejala klinis mulai dari tingkat awal hingga khas MCF) dapat diidentifikasi agen virus penyebab penyakit MCF secara dini tanpa harus memotong hewan terlebih dahulu . Hal ini mengingat sebelum teknik ini ditemukan, maka untuk mendiagnosis penyakit MCF, hewan tersebut harus dipotong terlebih dahulu untuk memperoleh organ yang akan digunakan sebagai bahan pemeriksaan histopatologi . Selain hal tersebut, ternyata terdapat kesesuaian hasil dalam mendiagnosis penyakit MCF antara diagnosis secara klinis yang dilakukan di lapang dengan diagnosis menggunakan Uji PCR, walaupun kecenderungan terjadinya kekeliruan dalam mendiagnosis hanya melihat gejala klinis penyakit MCF di lapang sangat besar . Hal ini mengingat gejala klinis penyakit MCF sering keliru dengan gejala klinis penyakit lain, misalnya Infectious Bovine Rhinotracheitis ( IBR), Jembrana, dan Bovine Viral Diarhea (BVD) (Ressang, 1988) . KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengidentifikasian agen virus penyebab MCF dengan uji PCR terhadap sampel darah (PBL) yang berasal dari kerbau yang secara klinis normal, dan kerbau serta Sapi Bali yang secara alami diduga terserang penyakit MCF, maka dapat disimpulkan bahwa :
2 07
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
1 . Semua sampel PBL asal kerbau yang secara klinis normal tidak mengandung agen virus penyebab penyakit MCF . 2 . Semua sampel PBL asal kerbau dan sapi Bali yang secara alami diduga terserang penyakit MCF dengan mencirikan gejala klinis yang khas dengan PCR dapat teridentifikasi mengandung agen virus penyebab penyakit MCF . 3 . Teknik PCR dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit MCF secara dini . SARAN Untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara sampel satu dengan yang lainnya, terutama bagi sampel yang berasal dari hewan yang dicurigai MCF, maka dalam pengerjaan PCR sebaiknya menggunakan sarung tangan karet yang setiap tahapan pemrosesan PCR diganti dengan yang baru . Selain itu peralatan dan bahan yang digunakan harus dalam keadaan steril, sedangkan untuk peralatan yang tidak bisa disterilkan melalui autoclave seperti mikro pipet dapat disimpan pada kotak yang dipasang lampu ultra violet dan pada saat digunakan harus dibersihkan dengan kertas tissue yang terlebih dahulu dibasahi dengan HCI 0,1 M . DAFTAR BACAAN Baxter, S .I .F ., I . Pow, A . Bridgen, dan H .W . Reid . 1993 . PCR Detection of the Sheef-Associated Agen of Malignant Catarrhal Fever . Archieves of Virology, 132 : 145-159 . Daniels, P .W ., Sudarisman, A . Wiyono, dan P . Ronohardjo . 1988 . Epidemiological aspect of malignant catarrhal fever in Indonesia . In : Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock . ACIAR . Canberra . pp. 20-31 . Jensen, R ., dan D .R . Meckey . 1971 . Disease of Feedlot Cattle . Second editions . Lea and Febiger, Philadelphia . pp . 18-24 . Jubb, K .V .F . dan P .C . Kennedy . 1970 . Pathology of Domestic Animals . Second editions, Volume II . New York, Academic Press . pp . 27-34 . Mansjoer, M . 1954 . Penyelidikan tentang Penyakit Ingusan pada Sapi dan Kerbau di Indonesia terutama di Pulau Lombok . Thesis Universitas Indonesia Bogor . pp . 187 . Plowright, W ., R .D . Ferris dan G .R . Scott . 1960 . Blue Wildebeest and the Aetological Agent of Bovine Malignant Catarrhal Fever . Nature, 188 : 1167-1169 . Plowright, W . 1968 . Malignant Catarrhal Fever . J . Avma ., 152 : 795-804 .
20 8
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
Plowright, W . 1984 . Malignant Catarrhal Fever Virus : a Lymphotrophic Herpesvirus of Ruminants . In : Wittman, G ., R .M . Gaskel and H .J . Rhiza, eds . Laten Herpes Virus Infection in Veterinary Medicine . The Haque, Martinus Nijhoff . pp . 279-305 . Prabowo, H . dan R . Ishitani . 1984 . Studies on Rama Dewa, the Enzootic Disease of Cattle Occuring in Lampung Province of Sumatera, Indonesia-its Histology and Critical Views on Name of the Disease . Report, JICA . pp . 51 . Ressang, A . A . 1988 . Penyakit Viral pada Hewan . Universitas Indonesia, Jakarta . 3-20 Saiki, R .K ., Scharf . S ., Faloona F ., Mullis K .S ., Horn G .T ., Erlich H .A . dan Arnheim N . 1985 . Enzymatic Amplification of Betha-Globin Genomic DNA Sequences and Restriction Site Analysis for Diagnosis of Sickle Cell Anemia . Sci ., 230 : 1350-1354 . Sambrook, J ., E .F . Fritsch dan T . Maniatis . 1989 . Molecular Cloning : a Laboratory Manual . 2nd . Ed ., Cold Spring Harbor Laboratory Press . Sudarisman, P . W . Daniels, P . L . Young, A . Wiyono, R . Dharsana, dan P . Ronohardjo . 1985 . Epidemiological aspect of control and prevention of malignant catarrhal fever in Indonesia . In : Proceedings, 4th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics . Singapore Veterinary Association, Singapore . pp . 230-232 . Wiyono, A ., S .I .F . Baxter, Muharam S ., Sudarisman, Rini D ., P .W . Daniels dan H .W . Reid . 1994a . Diagnosis Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dengan menggunakan teknik Reaksi Berantai Polimerase (PCR) . Dalam : Proseeding Seminar Teknologi Veteriner Tahun 1994 . Balitvet, Bogor . pp . 112-120 . Wiyono, A ., S .I .F . Baxter, Muharam S ., Rini D ., P . Daniels dan H .W . Reid ., 1994b . PCR detection of ovine herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminant-normal sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever . Veterinary Microbiology, 42 : 45-52 . Wiyono, A ., Muharam S ., Rini D ., dan Sudarisman . 1995 . Teknik PCR untuk mendeteksi virus Malignant catarrhal fever pada sediaan usap mukosa domba . Dalam : Proseeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner . Puslitbangnak, Bogor . pp . 963-969 .
209