969
Diagnosa penyakit Mycobakteriosis ... (Uni Purwaningsih)
DIAGNOSA PENYAKIT MYCOBAKTERIOSIS, Mycobacterium fortuitum PADA IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DENGAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Uni Purwaningsih dan Taukhid Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penyakit mycobakteriosis terutama yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium fortuitum merupakan salah satu penyakit potensial pada budidaya ikan gurame (Osphronemus gouramy), mengakibatkan kematian secara persisten hingga mencapai 40% dengan pola kronik. Kesulitan utama dalam upaya pengendalian penyakit tersebut antara lain adalah teknik diagnosa yang memerlukan waktu selama 3–4 minggu untuk mengetahui patogen penyebab secara definitif, sehingga upaya pengendaliannya sering terlambat. Tujuan penelitian ini yaitu pengembangan teknik diagnosa penyakit tersebut dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) diharapkan dapat digunakan sebagai perangkat diagnosa yang cepat dan tepat. Pada riset ini, dilakukan modifikasi terhadap teknik deteksi DNA bakteri Mycobacterium spp. yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti. Dua pasang primer, yaitu M1: T39 (GCGAACGGGTGAGTAACACG) dan T13 (TGCACACAGGCCACAAGGGA); dan primer M2: PreT43 (AATGGGCGCAAGCCTGATG); dan T531 (ACCGCTACACCAGGAAT) digunakan pada penelitian ini. Sensitivitas teknik diagnosa terhadap bakteri target, selanjutnya dibandingkan dengan teknik diagnosa melalui uji bio-kimia dan histopatologis. Deteksi DNA bakteri target dilakukan terhadap sampel yang diambil dari organ hati, limpa dan darah. Isolasi dilakukan dengan menggunakan media selektif Shouten Agar dan Lowenstain–Jenssen, sedangkan preparat histopatologi diambil dari organ hati, ginjal, dan limpa. Hasil penelitian menunjukkan metode PCR dapat mendeteksi penyakit mycobakteriosis secara definitif dalam waktu 2–4 hari hingga level spesies. Hasil analisis sekuensing dengan gen 16S rRNA menunjukkan similarity 99% dengan Mycobacterium fortuitum.
KATA KUNCI:
mycobakteriosis, Mycobacterium fortuitum, gurame, dan polymerase chain reaction
PENDAHULUAN Ikan gurame (Osphronemus gouramy) adalah salah satu komoditas ikan air tawar yang telah lama dibudidayakan secara meluas dan komersial. Kolam-kolam yang tersebar di seluruh kawasan baik sebagai kolam pekarangan, kolam irigasi maupun kolam tadah hujan merupakan basis pemasok protein hewani asal ikan budidaya bagi berjuta-juta masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun perkotaan. Salah satu kendala yang semakin kompleks sejalan dengan perkembangan budidaya ikan gurame adalah gangguan penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius. Beberapa jenis penyakit yang sering dihadapi pada budidaya ikan air tawar memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan bersifat per akut, sehingga sering mengakibatkan kematian total. Salah satu jenis penyakit yang cukup serius banyak menyerang budidaya ikan gurame adalah mycobakteriosis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium sp. Mycobakteriosis atau fish Tuberculosis adalah penyakit yang ditimbulkan oleh Mycobacterium sp. di Amerika Serikat bakteri ini menjadi penting karena dapat menimbulkan kerugian sangat besar terutama di perbenihan. Akibat serangan bakteri ini reproduksi ikan terganggu, produksi benih menurun dan benih yang dihasilkan kondisinya lemah. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia bakteri ini menjadi penting karena menimbulkan kerugian yang cukup besar terutama pada petani gurame. Gejala klinis yang ditimbulkan antara lain mata menonjol (exopthalmia atau pop eye ), pembengkakan vena dan luka pada tubuh. Pada ikan dewasa terjadi hambatan seksual, penurunan fekunditas, pertumbuhan terhambat, warna pucat, lordosis, skoliosis, ulcer, dan sirip rusak. Pada organ dalam terjadi bintil (nodular) atau tuberkel berwarna putih keabu-abuan antara lain pada hati, ginjal, dan limpa. Mycobakteriosis merupakan penyakit yang mendapat perhatian karena: 1) menyebabkan kematian kronik pada ikan dengan tingkat mortalitas rendah hingga sedang tetapi berlangsung terus-menerus,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
970
2) Mycobacterium tidak dapat diobati, dan 3) ikan yang terinfeksi memungkinkan menularkannya kepada manusia (Irianto, 2005). Kajian terhadap bakteri Mycobacterium sp. dalam dunia perikanan di Indonesia belum dilakukan secara mendalam sehingga penelitian ini benar-benar merupakan sesuatu yang penting di Indonesia. Kondisi geografi perairan Indonesia yang berada di daerah tropis, memungkinkan bakteri Mycobacterium sp. hidup dan berkembang di wilayah ini. Dugaan ini didukung fakta masih tingginya kejadian mycobakteriosis di Indonesia (Nugroho, 2008). Diagnosis laboratorik mycobakteriosis sampai saat ini masih dikembangkan untuk memperoleh metode yang cepat dan akurat. Tujuan dari penelitian ini adalah pengembangan teknik diagnosa penyakit tersebut dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) diharapkan dapat digunakan sebagai perangkat diagnosa yang cepat dan tepat. Dengan teknik konvensional, diagnosa definitif akibat infeksi bakteri tersebut memerlukan waktu 4 minggu; namun dengan teknik PCR diharapkan sudah diketahui dalam 2–4 hari. BAHAN DAN METODE Riset ini dilakukan pada skala laboratorium dengan prosedur pelaksanaan secara garis besar terdiri atas dua tahap yaitu sebagai berikut: Tahap Awal Ikan uji yang digunakan adalah ikan gurame dengan ukuran 100–200 g. Pakan diberikan 3% dari biomassa per hari dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Wadah yang digunakan bak fiber dengan kapasitas 300 L. Postulat Koch Isolat Mycobacterium sp. yang merupakan culture colection laboratorium patologi – BRPBAT dan hasil survai lapang. Bakteri tersebut diinfeksikan secara intra peritoneal (kelompok A) dan intramuscular (Kelompok B) ke ikan uji. Ikan yang menunjukkan gejala klinis dinekropsi, kemudian organ target infeksi Mycobacterium sp. diambil untuk selanjutnya dilakukan isolasi bakteri dari organ tersebut. Uji Virulensi Ikan uji diinfeksi bakteri Mycobacterium sp. dengan dosis 0,2 cc per ekor menggunakan isolatisolat Mycobacterium sp. yang diperoleh dari postulat. Masing-masing perlakuan menggunakan ikan uji sebanyak 10 ekor dengan 3 kali ulangan. Tujuan dari ini adalah untuk menentukan isolat yang memiliki tingkat virulensi paling tinggi untuk digunakan pada uji utama. Tahap Utama Ikan uji yang digunakan adalah ikan gurame yang berasal dari populasi homogen dan diasumsikan Specific Pathogen Free (SPF) Mycobacterium sp., selanjutnya populasi tersebut dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah populasi ikan gurame yang diinfeksi dengan isolat bakteri Mycobacterium sp. yang diperoleh dari uji virulensi melalui injeksi intra peritoneal (i.p). Sedangkan kelompok kedua adalah populasi ikan gurame SPF yang diinjeksi dengan Phosphate Buffered Saline (PBS) sebagai pembanding. Masing-masing perlakuan menggunakan ikan gurame sebanyak 25 ekor dan diulang 3 kali.
Sampling dan Pengamatan Pengamatan terhadap masa inkubasi patogen serta gejala klinis yang muncul dilakukan setiap hari. Sampel untuk keperluan diagnosa penyakit dilakukan secara selektif dari masing-masing kelompok, terutama terhadap spesimen yang menunjukkan tingkah laku, gejala klinis (anatomis– patologis). Sampling secara acak akan diberlakukan apabila selama periode pengamatan tidak dijumpai adanya tanda-tanda yang spesifik. Sampling rutin ada atau tidak adanya gejala klinis tetap dilakukan setiap 2 minggu sekali.
971
Diagnosa penyakit Mycobakteriosis ... (Uni Purwaningsih) Diagnosa Bakteriologi
Dilakukan melalui isolasi, pemurnian, dan karakterisasi. Isolasi menggunakan media selektif yaitu Shouthen Agar dan Lowenstain–Jenssen. Untuk karakterisasi antara lain dilakukan uji reduksi nitrat, pewarnaan tahan asam, pertumbuhan pada sukrose, hidrolisa tween, dan kemampuan tumbuh pada suhu 37°C. Diagnosa histopatologi Dilakukan dengan mengambil organ target hati, ginjal, dan limpa pada saat sampling. Proses histologi mengikuti metode Gurr (1956) yang terdiri atas enam proses yaitu fiksasi, clearing, embedding, blocking, cutting, dan staining. Sampel organ yang diambil difiksasi dengan menggunakan larutan fiksatif Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%. Organ yang telah difiksasi sekurang-kurangnya 24 jam dipotong setebal 3–5 mm dan 1 cm x 1 cm, selanjutnya jaringan tersebut dimasukkan dalam etanol bertingkat. Kemudian jaringan dimasukkan dalam xylene lalu parafin untuk dilakukan proses blocking. Jaringan dipotong dengan mikrotom rotary dengan ketebalan 3–5 μm dan diletakkan pada gelas objek. Setelah proses tersebut di atas tahap selanjutnya dilakukan proses pewarnaan dengan menggunakan Hematoksilin–Eosin. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop untuk mengamati perubahan jaringan yang terjadi. Diagnosa Polymerase Chain Rection (PCR) Sampel yang digunakan untuk deteksi PCR antara lain organ hati, limpa, bakteri isolasi, dan darah. Modifikasi teknik deteksi secara molekuler dilakukan dengan mengacu pada metode yang telah dikembangkan oleh Talaat et al. (1997) dan Nugroho (2008). Ekstraksi Ekstraksi untuk organ hati, limpa, dan sampel darah dengan atau tanpa antikoagulan dilakukan menggunakan DNeasy®Tissue Kit (Qiagen, Germany) dengan inkubasi pada suhu 56°C selama 1–2 jam untuk organ dan 10 menit untuk darah. Untuk sampel hasil isolasi bakteri terlebih dahulu dilakukan persiapan sampel sebagai berikut: 2 ose bakteri dimasukkan ke dalam 1,5 mL PBS+Tween 0,05% (Sigma) kemudian disentrifus 10 menit dengan kecepatan 5.000 rpm, supernatan dibuang kemudian ditambahkan lysis buffer atau TE buffer sebanyak 180 μL ke dalam pelet diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 37°C, lalu dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 menit, selanjutnya mengikuti prosedur dari DNeasy®Tissue Kit (Qiagen, Germany) hingga tahap ekstraksi. Amplifikasi Amplifikasi menggunakan dua primer yaitu M1 yang terdiri atas T39 (GCGAACGGGTGAGTAACACG) dan T13 (TGCACACAGGCCACAAGGGA) dan M2 yang terdiri atas PreT43 (AATGGGCGCAAGCCTGATG) dan T531 (ACCGCTACACCAGGAAT) (Talaat et al., 1997). Amplifikasi dilakukan untuk masing-masing primer dengan formulasi yang sama. Formulasi untuk amplifikasi PCR masing-masing primer yaitu 12,5 μL mastermix (MBI Fermentas), 9,5 μL aquades, Primer M1 1 μL, dan Primer M2 1 μL dan ditambahkan 10 μL DNA template. Program amplifikasi PCR yang digunakan adalah predenaturasi 1 siklus pada 94°C selama 10 menit kemudian 40 siklus denaturasi pada 94°C selama 1 menit, annealing pada 58°C selama 1 menit dan elongation pada 72°C selama 3 menit dan dilanjutkan dengan 1 siklus final elongation pada 72°C selama 7 menit. Visualisasi hasil dilakukan dengan mencampur 10 μL amplikon dengan 2 μL loading dye solution (MBI Fermentas, Germany), selanjutnya diseparasi dengan 2% gel agarose elektroforesis. Marker yang digunakan 100 bp DNA ladder, pewarna menggunakan ethidium bromide 0,5% dan gambar didokumentasikan dengan menggunakan UV trans-illuminator. Restriksi Produk PCR sebanyak 10 μL ditambah DDH20, 10x Buffer O dan enzim Apa 1 atau BshN 1 sesuai prosedur penggunaan enzim tersebut (MBI Fermentas, Germany). Kemudian dicampur perlahan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 16 jam.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
972
HASIL DAN BAHASAN Banyak kasus kejadian Mycobakteriosis kadang tidak teridentifikasi yang menyebabkan salah diagnosa ( mis-diagnosis) . Diagnosa Mycobakteriosis berdasarkan pada gejala klinis, perubahan histopatologi, dan identifikasi bakteri penyebab. Isolasi dan karakterisasi bakteri dapat menjadi diagnosa definitif namun membutuhkan waktu cukup lama dan biaya bahan uji yang mahal. Perubahan makroskopik dan mikroskopik pada target organ yang ditandai dengan adanya nekrogranuloma berbagai ukuran menunjukkan tingkat keparahan penyakit Mycobakteriosis juga dapat menjadi acuan diagnosa tetapi lagi-lagi untuk hal tersebut membutuhkan waktu yang lama. Morfologi sel dan koloni Mycobacterium sp. juga tidak dapat menjadi acuan utama. Karena berbagai alasan tersebut maka metode Polymerase Chain Reaction (PCR) diharapkan menjadi metode alternatif yang tepat untuk diagnosa penyakit tersebut. Isolat Mycobacterium sp. yang digunakan dalam penelitian ini telah melalui tahap uji virulensi, reisolasi Koch’s postulat, dan uji karakterisasi. Berdasarkan uji karakterisasi, isolat M2G definitif terhadap Mycobacterium fortuitum dengan hasil uji sebagai berikut yaitu tumbuh pada suhu 37°C, sucrose (+), uji reduksi nitrat (+), non motil, acid fast, tumbuh 3–7 hari pada media Shouten dan media Lowenstein–Jenssen serta mampu menghidrolisa tween. Hal ini sesuai dengan pendapat Cowan (1974) bahwa M. fortuitum memiliki ciri-ciri karakteristik tersebut di atas. Ikan gurame uji yang diinjeksi dengan isolat tersebut secara intraperitoneal menunjukkan mortalitas pada hari ke–5 pasca infeksi, gejala luka borok pada permukaan tubuh terlihat setelah 1 minggu pasca infeksi, pendarahan pada organ hati, ginjal, dan limpa terlihat pada minggu ke–6 pasca infeksi, exophtalmia dan peradangan pada mata terjadi pada minggu ke–8 pasca infeksi (Gambar 1). Mycobacterium merupakan agen infeksi yang bersifat kronik, oleh sebab itu membutuhkan waktu yang cukup lama berkisar antara 2 bulan hingga bertahun-tahun untuk dapat menimbulkan gejala klinis dan kerusakan jaringan.
Gambar 1. Ikan gurame yang diinfeksi Mycobacterium menunjukkan luka borok pada permukaan tubuh (kiri), perdarahan organ (tengah), dan exopthalmia (kanan) Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya multifokal granuloma pada organ hati, ginjal, dan limpa. Mycobacterium kaya akan lipid, terutama asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78–C90), lilin, dan fosfatida. Dalam sel, lipid sebagian besar terikat pada protein dan polisakarida (Jewetz et al., 1996). Granuloma merupakan kerusakan jaringan yang terjadi akibat dipeptida muramil yang merupakan salah satu jenis protein yang dimiliki oleh jaringan terikat kompleks dengan asam mikolat yang dihasilkan oleh bakteri Mycobacterium sp. Granuloma terlihat sebagai kumpulan sel-sel epiteloid yang berasal dari histiosit. Nekrosis ditemukan di daerah sentral granuloma. Di dalam granuloma juga ditemukan jaringan ikat fibrosit dan sejumlah limfosit (Gambar 2). Hasil pemeriksaan dengan metode PCR dari sampel hati, limpa ,darah, dan bakteri isolasi dengan menggunakan primer M1 yang terdiri atas T39, T13, dan M2 yang terdiri atas PreT43 dan T531 (Talaat et al., 1997) dari hasil amplifikasi pertama (Step ke–1) terbaca pada band 600 bp kemudian setelah dilanjutkan dengan amplifikasi ke–2 (Step ke–2) terbaca pada band 300 bp. Untuk sampel organ yang difiksasi terlebih dahulu dengan alkohol 95% dan sampel segar (tidak difiksasi) tidak menunjukkan perbedaan hasil (Gambar 3). Untuk sampel isolasi bakteri yang di pre-treatment dengan lysis buffer ataupun TE buffer menunjukkan perbedaan hasil di mana sampel yang menggunakan lysis buffer memberikan ekspresi band lebih jelas dibanding TE buffer (Gambar 4 dan 5). Hal yang sama
973
Diagnosa penyakit Mycobakteriosis ... (Uni Purwaningsih)
G
G G
G G G
G
Gambar 2. Fotomikrograf jaringan limpa (kiri), ginjal (tengah), dan hati (kanan) pada ikan gurame uji yang diinfeksi dengan Mycobacterium menunjukkan granuloma (G) dengan berbagai ukuran dan stadium dan terlihat necrosis dan peradangan pada bagian granuloma tersebut, (pewarnaan H&E, 100x)
M A B C D E F G H I M A B C D E F G H i Gambar 3. Hasil diagnosa dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dari sampel organ ikan gurame uji yang diinfeksi Mycobacterium, hasil amplifikasi ke–1 (kiri) dan hasil amplifikasi ke–2 (kanan); M = marker, A = hati (fixatif alkohol), B = Limpa (fiksatif alkohol), C = kontrol positif (fiksatif alkohol), D = kontrol positif (tanpa fiksatif), E = hati (tanpa fiksatif), F = Limpa (tanpa fiksatif), G = Sampel B, H = Sampel E, I = DNA D2
MABCDE
FGH I J KL
MABCDE FGH I J KL
Gambar 4. Hasil diagnosa dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) sampel isolat bakteri dan darah dari ikan gurame uji yang diinfeksi Mycobacterium, hasil amplifikasi ke–1 (kiri) dan hasil amplifikasi ke–2 (kanan). M = marker, A = isolasi bakteri darI ikan A1, B = isolasi bakteri dari ikan B1, C = isolasi bakteri dari ikan C1, D = isolasi bakteri dari ikan D1, E = isolasi bakteri dari ikan E1, F = isolasi bakteri dari ikan A2, G = isolasi bakteri dari ikan B2, H = isolasi bakteri dari ikan C2, I = isolasi bakteri dari ikan D2, J = isolasi bakteri dari ikan E2, K = darah dengan antikoagulan, L = darah tanpa antikoagulan terjadi pada sampel darah tanpa antikoagulan menunjukkan ekspresi band yang lebih jelas dibanding darah yang ditambah antikoagulan (Gambar 4). Hasil pemeriksaan sampel isolasi bakteri yang di pre-treatment dengan TE buffer diamplifikasi langsung dengan primer M2 pada step ke–1 menunjukkan hasil positif pada band 300 bp tetapi jika dilakukan pada step ke–2 tidak memberikan hasil. Penggunaan primer M1 pada sampel isolasi bakteri yang di pretreatment dengan lysis buffer maupun TE buffer tidak memberikan hasil (Gambar 5).
974
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
M A B C D E F G H I
J K L
Gambar 5. Hasil diagnosa dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) sampel isolat bakteri dari ikan gurame uji yang diinfeksi Mycobacterium Step 1. M = Marker, A = Bakteri Myco D1 (pretreatment dengan lysis buffer), B = Bakteri Myco D2 (pretreatment dengan lysis buffer), C = Bakteri Myco D1 (pretreatment dengan TE buffer), D = Bakteri Myco D2 (pretreatment dengan TE buffer), E = Negatif Kontrol, F = positif kontrol, G = darah + antikoagulan, H = Bakteri D1 (pretreatment dengan TE buffer) dgn primer M2, I = Bakteri D2 (pretreatment dengan TE buffer) dengan primer M2, J = Bakteri D1 (pretreatment dengan lysis buffer) nested, K = Bakteri D2 (pretreatment dengan lysis buffer) nested, L = Negatif kontrol nested Analisis restriksi dari produk PCR nested menunjukkan hasil band terpecah menjadi 2 fragmen yaitu pada 210 bp dan 90 bp (Gambar 6) dengan menggunakan enzim restriksi BshN1, ini berarti bahwa isolat yang digunakan dalam penelitian ini definitif terhadap Mycobacterium fortuitum. Menurut Talaat et al. (1997), bahwa restriksi dengan menggunakan enzim BshN1 pada M. fortuitum akan menyebabkan terbentuk 2 fragmen yaitu 210 bp dan 90 bp. Tetapi jika menggunakan enzim Apa 1 band tidak menyebabkan fragmentasi, hal ini disebabkan enzim Apa 1 tidak mampu mensintesis atau memotong komponen rantai basa yang terkandung pada DNA bakteri tersebut atau dapat juga disebabkan Apa 1 tidak dapat mengenali lokasi pemotongan yang khas dari DNA tersebut. Menurut Schlegel & Schmidt (1994), enzim restriksi adalah enzim yang bekerja memetilasi atau mengglukosilasi basa-+basa tertentu dari DNA-nya, sehingga mampu memotong DNA berheliks rangkap.
M A B C D E F G H I Gambar 6. Hasil restriksi M = marker, A = hati (Apa 1), B = Limpa (Apa 1), C = kontrol positif (Apa 1), D = kontrol positif (Apa 1), E = hati (BshN1), F = Limpa (BshN1), G = Sampel B (BshN1), H = Sampel E (BshN1), I = DNA D2 (BshN1) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa metode PCR memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi dibanding 2 metode yang lain. Sementara dari metode isolasi dapat diketahui bahwa media lowenstainJenssen memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi dibanding menggunakan media Shouten Agar sebaliknya nilai spesifisitasnya rendah. Diagnosa histopatologi pada organ limpa dan ginjal memiliki nilai sensitivitas lebih tinggi dibanding histopatologi dari organ hati. Hal ini dimungkinkan karena limpa merupakan organ yang berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi patogen sehingga akumulasi patogen di jaringan tersebut lebih banyak dibanding organ dalam lainnya sedangkan pada ginjal terjadi akibat patogen masuk menginvasi ke jaringan secara aktif dan terus-
975
Diagnosa penyakit Mycobakteriosis ... (Uni Purwaningsih)
menerus yang terkait dengan proses metabolisme dan ekskresi tubuh sehingga secara akumulatif kerusakan jaringan tidak dapat dihindari. Jaringan hati memiliki kondisi yang lebih baik karena hati memiliki kemampuan regenerasi sel hingga 80% dan mampu mendetoksifikasi toksin yang dihasilkan patogen sehingga kerusakan sel hati dapat diminimalisir. Dari hasil metode isolasi diketahui media Lowenstain–Jenssen memiliki tingkat kepekaan tumbuh terhadap Mycobacterium lebih tinggi dibanding media Shouten Agar , hal ini disebabkan Lowenstain – Jenssen merupakan media selektif yang menggunakan penambahan suspensi telur segar yang mengandung garam tertentu, gliserol, dan substansi organik kompleks. Malachite green yang terkandung di dalamnya bermanfaat untuk menghambat bakteri lain sehingga media ini selektif untuk Mycobacterium. Analisis gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam kelompok Mycobacterium fortuitum dengan indeks kemiripan mencapai 99% yang merupakan anggota kelompok filogenik dari genus Mycobacterium. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk deteksi penyakit mycobakteriosis pada ikan gurame memerlukan waktu 2 hari dan 4 hari untuk sampai ke level spesies dengan analisis restriksi. 2. Metode PCR memiliki tingkat sensitifitas mencapai 96,67% dibanding metode isolasi sebesar 68,34% dan 77,78 % dengan metode histopatologi. Analisis sekuensing gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat Mycobacterium yang digunakan dalam penelitian ini definitif M. fortuitum dengan tingkat kemiripan mencapai 99%. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Mikdarullah, Bambang Priadi, Edy Farid, dan Ahmad Wahyudi yang telah memberikan bantuan teknis selama penelitian. Makalah ini merupakan bagian kegiatan riset pemantapan dan teknologi budidaya yang didanai oleh DIPA tahun 2009 di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. DAFTAR ACUAN Cowan, S.T. 1974. Manual for the identification of medical bacteria. Press Syndicate of University of Cambridge, Melbourne, Australia, p. 73–75. Gurr, 1956. A Practical Manual of Medical and Biological Staining Technique, Leonard Hill Ltd. London, 373 pp. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan teleostei. Edisi ke–1. Gadjah Mada University Press, 157 pp. Jawetz, E., Melnick, J.L., & Adelberg, E.A. 1996. Microbiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC Press, Jakarta, p. 302–305. Nugroho, S.W. 2008. Disertasi : Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis pada sapi perah, susu pasteurisasi dan susu formula lanjutan di Bogor. Institut Pertanian Bogor. Schlegel, H.G. & Schmidt, K. 1994. Microbiologi Umum : diterjemahkan oleh Tedjo Baskoro dan Joke R. Wattimena. Edisi ke–6. Gadjah Mada Press. Jogjakarta. Stevenson, M. 2005. An Introduction to Veterinary Epidemiology. Massey University, Palmerston North, New Zealand, p. 50–51. Talaat, A.M., Reimschuessel, R., & Trucksis, M. 1997. Identification of mycobacteria infecting fish to the species level using polymerase chain reaction and restriction enzyme analysis. Veterinary Microbiology, 58: 229–237.