i
IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA
JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2010
Julinda Bendalina Dengga Henuk NRP A352080011
iii
ABSTRACT JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK. Identification and Patogenicity Test of Basal Stem Rot Disease on Citrus spp. from Citrus Central Production Area in Indonesia. Under the direction of MEITY SURADJI SINAGA and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT Basal stem rot (gummosis) is one of the important diseases in citrus. This disease can be caused by several species of Phytophthora, such as Phytophthora nicotianae Dast., P. palmivora and P. citrophthora, Lasiodiplodia theobromae (synonyms Botryodiplodia theobromae and Diplodia natalensis; teleomorph Botryosphaeria rhodina). The objectives of the study are to identify the species of pathogenic fungi causing basal stem rot from several citrus central production in Indonesia based on morphological and molecular characteristics and to evaluate the pathogenicity differences between species of pathogenic fungi in citrus basal stem rot from Indonesia. This study includes four activities: (1) collection, isolation and identification of pathogenic fungi from basal stem rot, (2) extraction of DNA genomic and amplification DNA fragment using PCR technique, (3) analysis of genetic diversity, (4) pathogenicity test of pathogenic fungi of basal stem rot. Based on morphological characteristics and confirmation with DNA sequence data from the internal transcribed spacer regions (ITS4 and ITS5), basal stem rot was caused by Botryodiplodia theobromae Pat. (teleomorph Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx.)) and P. citrophthora. Nine isolates of Botryosphaeriaceae from citrus and other hosts from different location further genetic analysis showed that those isolates can be differentiated into two clusters, showing the possible genetic differences among them. Pathogenicity test showed positive result on citrus seedlings and citrus explant in vitro. Keyword: citrus, basal stem rot, morphology and molecular identification, pathogenicity.
iv
RINGKASAN JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK. Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang Jeruk (Citrus sp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting karena dapat mematikan tanaman dan saat ini telah berkembang luas di beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Penyakit disebabkan oleh beberapa spesies seperti Phytophthora nicotianae Dast., P. palmivora dan P. citrophthora, Botryodiplodia theobromae dan atau Diplodia natalensis. Sampai saat ini belum ada identifikasi yang tepat mengenai patogen utamanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi yang akurat dalam identifikasi awal patogen tanaman sebagai dasar untuk menentukan strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spesies patogen BPB jeruk dari 11 sentra produksi jeruk di Indonesia berdasarkan karakteristik morfologi dan molekulernya, dan mengevaluasi patogenisitas tiap spesies patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Peubah yang diamati secara makroskopis yaitu warna dan bentuk koloni, lama tumbuh patogen. Secara mikroskopis, karakter morfologis Phytophthora yang diamati yaitu bentuk dan ukuran sporangium, papilla, ada tidaknya sekat dan klamidospora; sedangkan karakter morfologis Diplodia atau Botryodiplodia yang diamati yaitu hifa, stroma, piknidia, konidiofor, klamidospora, bentuk dan ukuran konidia. Identifikasi spesies Phytophthora menggunakan kunci identifikasi Erwin & Ribeiro 1996 sedangkan Diplodia dan atau Botryodiplodia menurut Barnett & Hunter (1998). Identifikasi secara molekuler menggunakan PCR dengan pasangan primer ITS4 dan ITS5. Karakteristik molekuler yang diamati yaitu ukuran fragmen pasangan basa (pb) atau sekuen DNA hasil amplifikasi. Peubah yang diamati pada uji patogenisitas yaitu kejadian penyakit berdasarkan gejala yang terbentuk setelah inokulasi patogen. Hasil isolasi diperoleh 12 isolat yang terdiri dari 1 isolat Phytophthora sp. dari Desa Oehala, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT); 11 isolat Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. dari Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muaro Jambi (Jambi), Tulang Bawang Barat (Lampung), Garut (Jawa Barat), Jember dan Batu-Malang (Jawa Timur), Bangli (Bali), TTS (NTT), Banjarmasin dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Karakter morfologi Phytophthora sp. antara lain koloni berwarna putih, pada PDA rosaceous sedangkan pada V8, biakan muda stellate dan biakan tua cottony. Pada suhu kamar, Phytophthora sp. di PDA dapat memenuhi cawan petri pada 21 HSI, sedangkan di V8 pada 10 HSI. Koloni memiliki hifa hialin, tidak bersekat, bercabang, corraloid dan membengkak. Klamidospora globose terbentuk secara interkalar. Bentuk sporangia bervariasi yaitu globose, ellipsoid, ovoid, limoniform, dan beberapa bentuk distorsi atau asimetris. Ukuran sporangia berbeda-beda dengan rerata 15.00–28.12 µm x 9.37–15.75 µm. Hasil identifikasi berdasarkan karakteristik morfologi menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro
v (1996), isolat Phytophthora sp. yang berasal dari Desa Oehala, TTS (NTT) adalah Phytophthora citrophthora (RE Smith & EH Smith) Leonian (1925). Isolat Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. dapat memenuhi cawan petri 3–7 HSI jika dikulturkan pada media PDA. Miseliumnya aerial, awalnya putih, menjadi hitam kehijauan sampai abu-abu akhirnya menjadi hitam. Hifa bersekat, hialin kemudian menjadi coklat. Klamidospora terbentuk secara interkalar. Piknidia lebih cepat tumbuh jika ditanam pada WA yang diberi potongan jerami padi steril, yaitu ± 2 minggu setelah isolasi, sedangkan isolat yang diisolasi pada PDA, piknidia tumbuh sangat lambat yaitu ± 1 bulan setelah isolasi. Piknidia terbentuk secara berkelompok dalam stroma, konidiofor tunggal, konidia dihasilkan di dalam piknidia. Konidia terdiri dari konidia muda dan konidia matang. Keduanya berbentuk ovoid dan ellipsoid. Konidia muda hialin, dindingnya terdiri dari 2 lapisan, granular dan tidak bersekat sedangkan konidia matang berwarna coklat, dinding selnya 1 lapisan dan memiliki satu sekat. Ukuran konidia bervariasi dengan rerata 25.31 µm x 15.00 µm. Hasil identifikasi menggunakan sistem klasifikasi Saccardo menurut Barnett & Hunter (1998), 11 isolat dari lokasi berbeda memiliki karakter yang merupakan ciri khas Botryodiplodia theobromae Pat. Identifikasi molekuler dengan PCR menggunakan primer ITS4 dan ITS5 mampu mengamplifikasi fragmen DNA B. theobromae dan P. citrophthora. Produk hasil amplifikasi isolat B. theobromae berukuran ± 550 bp, sementara isolat P. citrophthora berukuran ± 700 bp. Ukuran produk hasil PCR sesuai yang diharapkan. Hasil BLAST menunjukkan kesepuluh isolat target mempunyai kemiripan yang tinggi (lebih dari 90%, e-value 0.0) dengan B. theobromae (sinonimnya Lasiodiplodia theobromae; teleomorp Botryosphaeria rhodina). Artinya hasil identifikasi yang telah dilakukan secara konvensional sudah tepat. Hasil analisis kekerabatan menunjukkan hubungan kekerabatan isolat-isolat B. theobromae dari 10 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia berbeda atau terpisah dengan isolat dari GenBank sehingga terbagi menjadi dua kelompok utama. Isolat Indonesia sendiri terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari Muaro Jambi, Jember dan Kampar, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Bangli, TTS, Malang, Banjarbaru, Berastagi, Garut dan Tulang Bawang Barat. Hasil analisis identitas matriks menunjukkan sesama isolat Indonesia sendiri mempunyai kesamaan yang tinggi ditunjukkan dengan nilai kesamaannya >90%, sedangkan jika dibandingkan dengan isolat-isolat dari GeneBank, ternyata isolat Indonesia mempunyai nilai kesamaan yang sangat rendah (<50%). Uji patogenisitas pada tanaman eksplan secara in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain dengan menggunakan isolat B. theobromae dan P. citrophthora yang sama, secara berturut-turut menunjukkan gejala klorosis, berkembang menjadi nekrosis, membentuk gum sampai mengakibatkan kematian (8 HSI jika diinokulasi dengan P. citrophthora, dan 12 HSI jika diinokulasi dengan B. theobromae). Sedangkan Uji patogenisitas yang dilakukan di rumah kasa memperlihatkan gejala yang positif meskipun perkembangan gejalanya sangat lambat. Kata kunci: Jeruk, busuk pangkal batang, identifikasi morfologi dan molekuler, patogenisitas.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA
JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Fitopatologi, Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, M.Si
ix Judul Tesis
: Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia
Nama
: Julinda Bendalina Dengga Henuk
NRP
: A352080011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji Tuhan karena atas pertolongan dan kasih karunia-Nya, tesis dengan judul Identifikasi dan Uji Patogenisitas penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mempersembahkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis serta segala bimbingan yang diberikan dengan setulus hati kepada penulis demi terelesaikannya tesis ini. Penelitian ini dapat terlaksana dengan adanya bantuan sebagian dana penelitian melalui program KKP3T Kementrian Pertanian RI, Tahun Anggaran 2009 atas nama Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. dan dukungan bahan-bahan untuk identifikasi molekuler dari Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB atas ijin dari Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Terima kasih penulis sampaikan kepada Pak Dadang selaku laboran dan teknisi Laboratorium Mikologi Tumbuhan yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di laboratorium; saudari Tuti S. Legiastuti, yang dengan sabar telah memberikan pengarahan kepada penulis selama bekerja di Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB, saudari Rut Normasari, Pak Irwan Lakani dan saudari Devi Agustina yang telah membantu menganalisis hasil sekuensing, serta Pak Sodik yang membantu pelaksanaan penelitian di rumah kasa Departemen Proteksi Tanaman IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk semua anggota Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB serta teman-teman Fitopatologi khususnya angkatan 2008 (Nilda, Pipit, Tri dan Wawan), Keluarga Besar Persekutuan Oikumene Kampus IPB, dan Keluarga Besar Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (Gamanusratim) untuk semua kebersamaan kita dan dengan tulus telah memberikan kontribusi dengan caranya masing-masing terutama doa, kasih sayang dan semangat. Semoga Bapa Sorgawi senantiasa melimpahi berkat terutama kesuksesan dan kebahagiaan bagi kita semua. Rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis peruntukkan bagi papa Yesaya Yunus Pandie Henuk, S.H. (Alm), mama Yane Baceba Pandie Henuk Manafe, adik Novi dan Ai; kakak sekaligus kekasihku Arie serta keluarga besar Laukapitang atas limpahan doa, cinta, kasih sayang, fasilitas, pengorbanan, serta semangat yang tiada henti dan tulus demi terselesaikannya tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Bogor, Nopember 2010 Julinda B. D. Henuk
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 7 Juli 1979 dari ayah Yesaya Yunus Pandie Henuk, S.H. (Alm) dan ibu Yane Baceba Pandie Henuk Manafe. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum pada SMU Negeri 1 Kupang pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana (Undana) melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Gelar Sarjana diperoleh pada tahun 2002. Sejak tahun 2005, penulis menjadi staf dosen di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Undana, Kupang. Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana, penulis aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan yang berhubungan dengan bidang proteksi tanaman dan biologi molekuler; penulis juga menjadi anggota Paduan Suara Gita Pascasarjana (GSP) IPB.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang.............................................................................. Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Busuk Pangkal Batang: Gejala, Penyebab dan Pengendalian .............................................. Sifat-sifat Umum Phytophthora spp. ............................................ Sifat-sifat Umum Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. ........... Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Morfologi ............... Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Molekuler ...............
5 7 10 12 15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... Metode Pelaksanaan ..................................................................... Pengumulan Sampel Tanaman Sakit .................................... Isolasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia dari Jaringan Tanaman Sakit ............................................... Isolasi spora Tunggal Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia ..................................................................... Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Berdasarkan Karakter Morfologi ................................................... Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Menggunakan Teknik PCR ........................................................... Ekstraksi DNA Genomik Cendawan .................................... Amplifikasi DNA ................................................................ Visualisasi ........................................................................... Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetik .................... Uji Patogenisitas ........................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Cendawan Patogen BPB Berdasarkan Karakter Morfologi ..................................................................................... Identifikasi Cendawan Patogen BPB Jeruk Menggunakan Teknik PCR .............................................................................................. Perunutan Nukleotida (Sekuensing) .............................................. Uji Patogenisitas ...........................................................................
17 17 17 18 19 20 22 22 23 23 23 24
25 34 36 42
xiii SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ...................................................................................... Saran ............................................................................................
44 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
45
LAMPIRAN ..........................................................................................
49
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar Lokasi Pengambilan Sampel Tanaman Sakit ......................
18
2
Isolat Patogen yang diperoleh dari Bagian Pangkal Batang Jeruk Sakit dan dari tanah (rizosfer) .......................................................
27
3
Ukuran Sporangia P. citrophthora (panjang x lebar) .....................
29
4
Ukuran Konidia Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. ...........
33
5
Daftar Hasil Runutan Nukleotida Isolat penelitian dari .................
37
6
Hasil Analisis BLAST Sekuen Sepuluh Isolat Penelitian ...............
37
7
Daftar Runutan Nukleotida yang Digunakan untuk Analisis Kekerabatan ..................................................................................
38
Identitas Matriks Isolat-isolat Penelitian Dibandingkan dengan Outgroup dan Isolat dari GeneBank .............................................
41
8
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Morfologi Sporangium P. nicotianae (A), P. palmivora (B), dan P. citrophthora (C) menurut Erwin & Ribeiro (1996)....................
21
Morfologi Piknidia Diplodia spp. (A) dan Botryodiplodia spp. (B) Menurut Barnett & Hunter (1998) ................................................
21
Gejala BPB di Pembibitan Jeruk di KP Punten (Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Batu–Malang) ...........
26
4
Gejala BPB di Lapangan (Kabupaten TTS–NTT) .........................
26
5
Tipe koloni P. citrophthora ..........................................................
28
6
Morfologi Hifa, Miselium, dan Klamidospora P. citrophthora ......
28
7
Bentuk dan Papilla Sporangia P. citrophthora Asal Desa Oehala (TTS) ...........................................................................................
29
Perkembangan Warna Koloni Miselium Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada Suhu Ruang (25–30 oC) ............
30
9
Pembentukan Hifa dan Klamidospora B. theobromae....................
30
10
Morfologi Stroma, Piknidia, Konidia dan Konidiofor B. theobromae...............................................................................
31
Konidia B. theobromae (Perbesaran 400x pada mikroskop cahaya) .........................................................................................
32
12
Isolat Fusarium spp. ....................................................................
34
13
Isolat Mortierella sp. ....................................................................
34
14
Hasil Amplifikasi 11 Isolat B. theobromae dan 1 Isolat P. citrophthora Menggunakan Primer ITS4 dan ITS5 ...................
35
Filogeni Sekuen Isolat B. theobromae Hasil Penelitian Dibandingkan dengan beberapa Famili Botryosphaeriaceae dari Jeruk dan beberapa Inang yang Lain Asal Beberapa Wilayah di Asia. Polymyxa graminis dengan Nomor Aksesi EU244488.1 Digunakan sebagai Outgroup. Angka pada Percabangan Menunjukkan Tingkat Kepercayaan Perpisahan Cabang ..............
39
2
3
8
11
15
xvi 16
Gejala yang Muncul pada Uji Patogenisitas ..................................
42
17
Uji Patogenisitas pada Tanaman Eksplan Secara in vitro ...............
43
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Komposisi Medium PDA (1 liter) .................................................
49
2
Komposisi Medium V8 Agar (1 liter) ............................................
49
3
Protokol Penyiapan Inokulum Phytophthora (AVRDC Mycology 2000) ............................................................................................
50
Cara Kalibrasi Mikrometer Okuler dan Objektif pada Mikroskop Binokuler ......................................................................................
51
5
Sistem Klasifikasi Saccardo (Barnett & Hunter 1998) ...................
51
6
Pertumbuhan Koloni Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada Suhu Kamar (25 – 30 oC) ............................................
52
Konidia Botryodiplodia theobromae (Perbesaran 100x dan 400x pada Mikroskop Binokuler) ..........................................................
54
Hasil Perunutan Nukleotida Sepuluh Isolat B. theobromae (Format Contiq) ............................................................................
56
Hasil Penjajaran Nukleotida Isolat penelitian dan Isolat dari GeneBank .....................................................................................
58
4
7
8
9
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Jeruk merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki arti penting sebagai sumber pendapatan karena merupakan komoditas perdagangan nasional dan internasional. Saat ini jeruk nasional cenderung kalah bersaing dengan jeruk impor dan luas panen pun cenderung menurun. Produksi jeruk nasional tahun 2007 sebesar 2.60 juta ton dengan luas panen 67,592 ha, jika dibandingkan dengan data 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 (72,390 ha, 2.78 juta ton) dan 2005 (67,883 ha, 2.62 juta ton), maka produksi dan luas panen jeruk tahun 2007 cenderung menurun (Basisdata Deptan 2009). Salah satu kendala utama yang menyebabkan penurunan produksi dan luas panen jeruk di Indonesia adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) atau disebut juga penyakit “blendok” atau “gummosis” yang merupakan salah satu penyakit penting pada jeruk setelah penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD). Penyakit BPB menjadi sangat penting karena dapat mematikan tanaman di lapang maupun saat masih di pembibitan. Saat ini, penyakit BPB telah berkembang luas di beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Selama ini penyebab penyakit BPB pada jeruk diidentifikasi sebagai Phytophthora spp., tetapi ternyata cendawan patogen lain yang berbeda juga dapat menimbulkan penyakit BPB, yaitu Diplodia natalensis dan atau Botryodiplodia theobromae. Namun sampai saat ini belum ada laporan dan identifikasi yang tepat mengenai patogen utama yang menyebabkan penyakit BPB di Indonesia. Siviero et al. (2006) melaporkan Phytophthora spp. sebagai penyebab penyakit BPB telah menyebar di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap kerugian pada budidaya jeruk. Menurut Erwin & Ribeiro (1996), penyakit BPB jeruk disebabkan Phytophthora spp. yaitu P. parasitica dan atau P. citrophthora; menurut Leoni & Ghini (2006) penyakit ini disebabkan oleh P. nicotianae
(P. parasitica) dan
P. citrophthora. Demikian pula Vial et al. (2006) melaporkan bahwa P. citrophthora (Smith & Smith) Leonian dan P. parasitica Dastur (sin. P. nicotianae Breda de Haan) telah diidentifikasi sebagai spesies yang paling banyak menimbulkan kerusakan akibat penyakit gumosis. Selanjutnya menurut
2 Ashari (1995), Phytophthora spp. yang penting dalam menyebabkan penyakit ini adalah P. nicotianae (dulu: P. parasitica Dast), P. citrophthora (dulu: Pythiacytic citrophthora R.E. Sm. Et E.H. Sm), P. palmivora (Butl), dan diantara ketiga spesies tersebut, spesies yang utama adalah
P. nicotianae var. parasitica.
Sedangkan menurut Timmer et al. (2000), penyakit ini disebabkan oleh Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon dan Maubl. (Sinonimnya Diplodia natalensis
Pole-Evans
dan
Botryodiplodia
theobromae
Pat.;
teleomorph
Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx). Identifikasi Diplodia dan Botryodiplodia hingga spesies juga belum dilaporkan. Pada dasarnya Phytophthora maupun Diplodia dan atau Botryodiplodia mempunyai sebaran inang yang relatif luas.
Spesies Phytophthora dapat
menginfeksi beberapa ratus spesies tanaman di seluruh dunia, termasuk sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman hutan (Erwin & Ribeiro 1996; Camele 2005). P. nicotianae (P. parasitica) diketahui merupakan spesies penting penyebab penyakit lebih dari 40 tanaman, bahkan P. cinnamomi Rands dilaporkan menginfeksi lebih dari 1000 spesies tanaman (Ho & Lu 1997), meskipun beberapa spesies dilaporkan mempunyai sebaran inang yang sangat terbatas, seperti P. colocasiae dan P. fragariae Hickman (Erwin dan Ribeiro 1997; Drenth & Guest 2004).
Demikian pula dengan beberapa spesies Botryosphaeriaceae diketahui
merupakan patogen penting lebih dari 50 spesies tanaman (Begoude et al. 2009; Wet et al. 2008; Slippers et al. 2005; Phillips et al. 2005); B. theobromae adalah cendawan polifag yang dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan termasuk jeruk (Semangun 2000).
Oleh karena itu, dalam satu spesies tanaman yang
menunjukkan gejala dan tanda yang sama, ada kemungkinan ditemukan lebih dari satu spesies patogen. Dalam hal ini penyakit BPB kemungkinan dapat disebabkan oleh Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia secara tunggal atau pun secara bersama-sama. Diagnosis patogen dan penyakit merupakan hal yang mendasar pada hampir semua aspek yang berhubungan dengan ilmu penyakit tanaman. identifikasi yang akurat dalam identifikasi awal patogen tanaman sebagai dasar untuk menentukan strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien (Ma & Themis 2007). Identifikasi dapat dilakukan secara konvensional berdasarkan karakteristik
3 morfologi dan identifikasi secara molekuler menggunakan teknologi polymerase chain reaction (PCR). Identifikasi spesies secara morfologi relatif lebih murah dibandingkan dengan identifikasi secara molekuler dan sudah bisa memberikan informasi yang jelas, tetapi memiliki kelemahan karena isolasi dan penetapan karakter morfologis dan fisiologis sulit dilakukan karena memerlukan waktu yang cukup lama; memerlukan keahlian khusus; sering bersifat subjektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman karena beberapa karakter fenotipik taksonomi bisa saling tumpang tindih di antara spesies dan variasi yang sangat nyata dapat terjadi antara isolat dari spesies yang sama dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Watanabe 2002). Sebaliknya identifikasi secara molekuler akan menghasilkan informasi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat, relatif lebih cepat, spesifik, sensitif, dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh lingkungan tetapi kelemahannya memerlukan bahan dan alat yang sangat mahal dan sebagian bahan berbahaya bagi kesehatan manusia (Ma & Themis 2007). Perkembangan teknik molekuler yang sedemikian pesat pada tiga dasawarsa terakhir memberikan peluang yang besar bagi dikembangkannya perangkat deteksi yang sensitif dan spesifik dan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Pendekatan molekuler pada berbagai bidang penelitian semakin
dipermudah dengan ditemukannya metode PCR untuk mengamplifikasi DNA secara in vitro. Perbedaan profil fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR dapat digunakan sebagai alat untuk membedakan mikroba pada tingkat genus, spesies bahkan genotipe spesifik dari patogen (Edel 1998). Pentingnya pemahaman dan kemampuan identifikasi keragaman spesies patogen, kaitan antara hubungan kekerabatan antar spesies patogen dan sifat virulensi antar spesies tersebut menjadi dasar utama untuk strategi pengendalian penyakit BPB pada beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia.
4 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spesies cendawan patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia berdasarkan karakteristik morfologi dan molekulernya; mengevaluasi perbedaan patogenisitas antar spesies cendawan patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies cendawan patogen utama BPB jeruk di Indonesia sehingga dapat menjadi dasar dalam menyusun strategi pengendalian penyakit yang sesuai demi keberhasilan pengendalian penyakit BPB di Indonesia.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Busuk Pangkal Batang: Gejala, Penyebab dan Pengendalian Penyakit BPB umumnya terjadi pada bagian pangkal batang, atau bagian sambungan antara batang atas dan bawah untuk bibit jeruk okulasi. Gejala awal tampak berupa bercak basah yang berwarna gelap pada kulit batang. Pembusukan dimulai dari pangkal batang dekat permukaan tanah sampai titik okulasi (40 cm). Jaringan kulit kayu bahkan permukaan kulit, kambium, kayu yang terinfeksi mengalami perubahan warna, lama-kelamaan akan mengelupas kulitnya dan jatuh sehingga menyebabkan luka lebar terutama pada serangan lanjut. Kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan gum, dan pada tanaman terserang sering berbentuk kalus (Ploetz 2003). Kematian tanaman akibat serangan penyebab penyakit ini terjadi apabila bercak pada kulit melingkari batang. Perkembangan bercak ke bagian atas, umumnya terbatas hingga 60 cm di atas permukaan tanah, sedangkan perkembangan ke bagian bawah dapat meluas ke bagian akar tanaman (Lutz & Menge 1986) . Gejala yang timbul pada pembibitan adalah menguningnya daun, kelayuan dan diikuti dengan kematian atau apabila pada pembibitan yang disiram dengan air tercemar patogen dapat menyebabkan kematian serentak.
Pada kasus ini
akar-akar tanaman menjadi busuk (Graham et al. 1992). Penyakit BPB jeruk dapat disebabkan oleh Phytophthora spp., Diplodia dan atau Botryodiplodia spp.. Erwin & Ribeiro (1996) melaporkan terdapat 11 spesies Phytophthora yang dapat diisolasi dari pohon jeruk sakit, yaitu P. boehmeriae, P. cactorum, P. cinnamomi, P. citricola, P. citropthora, P. drecshleri, P. hibernalis, P. megasperma, P. palmivora, P. parasitica (P. nicotianae), dan P. syringae namun di Indonesia dilaporkan terdapat tiga spesies Phytophthora yang penting yaitu P. parasitica Dast. (P. nicotianae), P. palmivora dan P. citraphthora, dan diantara ketiga spesies tersebut, spesies yang utama adalah P. nicotianae var parasitica (Ashari 1995). Penyakit lebih banyak terjadi pada kebun dengan ketinggian lebih dari 400 m dari permukaan laut.
Tingkat ketahanan varietas sangat berpengaruh
terhadap serangan patogen ini. Jeruk manis, jeruk nipis, sitrun italia, dan rough
6 lemon (RL) sangat rentan terhadap penyakit ini, sedangkan japanese citrun (JC) dan sour orange relatif lebih tahan. Tanah basah, adanya kabut, dan fluktuasi suhu yang kecil, pH tanah yang agak masam yaitu 6.0 sampai 6.5 merupakan kondisi yang cocok untuk perkembangan patogen (Ploetz 2003). Pengendalian terpadu lebih diutamakan untuk memperoleh hasil maksimal yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi, genetika, dan kimia (Agrios 2005). Menurut Feichtenberger (2001) dalam Siviero et al. (2006), strategi utama untuk mengendalikan penyakit ini antara lain dengan menggunakan bibit tanaman yang sehat, menghindari terjadinya kontaminasi pada area yang kelembabannya tinggi, menghindari luka pada tanaman, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan pengendalian kimiawi dengan produk yang sistemik.
Meskipun demikian, penggunaan kultivar resisten merupakan
metode yang paling ekonomis dan efisien untuk mengendalikan penyakit ini. Secara kultur teknis, pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah menanam jeruk di atas gundukan-gundukan setinggi 20–25 cm, tetapi tanaman tidak dibumbun agar batang atas tidak berhubungan dengan tanah; menggunakan benih dengan mata tempel setinggi 35–50 cm dari permukaan tanah, untuk mengurangi kemungkinan batang atas yang rentan terinfeksi cendawan dari tanah; menghindari air pengairan terkena langsung pangkal batang dengan membuat selokan melingkari batang; mengurangi kelembaban kebun dengan mengatur drainase, jarak tanam, pemangkasan, dan sanitasi lingkungan atau kebun; menghindari terjadinya pelukaan pada akar maupun pangkal batang pada waktu pemeliharaan atau penyiangan; pemupukan; pengamatan pangkal batang jeruk secara teliti dan teratur, terutama pada musim hujan, agar gejala penyakit dapat diketahui secara dini; pH tanah diupayakan lebih dari 6.5 dengan pemberian dolomit (Mehrotra & Ashok 2003). Secara mekanis, membongkar tanaman (termasuk akarnya) yang terserang berat, kemudian dibakar; memotong atau membuang bagian tanaman yang sakit, termasuk 1 sampai 3 cm bagian kulit sekitarnya yang sehat, kemudian diolesi fungisida 6.2% karbendazim + 73.8% mankozeb atau tembaga oksiklorida; menggunakan kaki ganda (multiple foot stock) dengan teknik sambung samping (aaneting) dengan batang bawah sehat satu atau beberapa, tergantung besar
7 tanaman yang akan ditolong untuk membantu fungsi akar dan pohon yang rusak (Khan 2007). Secara biologi, mengunakan agens antagonis cendawan Trichoderma spp., Gliocladium spp. yang dicampur dengan pupuk kandang atau kompos (Ashari 1995). Secara genetika atau dengan varietas tahan, menggunakan batang bawah yang tahan terhadap Phytophthora spp., misalnya Poncirus trifoliata dan Cleopatra mandarin; varietas tahan terhadap Phytophthora dan salinitas, yaitu taiwanica dan citromello 4475 (Ploetz 2003). Secara kimia, mengolesi pangkal batang dan akar-akar yang tampak dari luar dengan ter (Carbolineum plantarum 50%) sampai setinggi 50 cm. Perlakuan tersebut dimulai tahun ketiga setelah penanaman dan setiap awal musim hujan. Agar batang yang berwarna hitam tidak banyak menyerap panas sehingga kulitnya rusak (untuk mencegah infeksi setelah diberi ter), maka bagian yang diberi ter ditutup dengan larutan kapur yang ditambah dengan garam dapur (25 kg kapur mati, 2 kg garam dapur, dan 25–35 L air); mengoles luka (bekas tanaman yang terinfeksi
yang
dibuang)
dengan
bubur
california,
bubur
bordeux,
Carbolineum:parafin (8 : 92), mankozeb, atau tembaga oksiklorida. Kemudian luka ditutup dengan obat penutup luka, seperti ter, setelah kulit mengalami regenerasi; dan membersihkan alat-alat pertanian yang akan digunakan, misal dengan klorok (Mehrotra & Ashok 2003).
Sifat-sifat Umum Phytophthora spp. P. nicotianae sporangiumnya berbentuk jorong sampai agak bulat berbentuk buah pir dengan papilla yang jelas dan sporangiofor lebih halus dari pada hifa. Kadang-kadang terdapat dua papilla pada satu sporangium. Panjang sporangianya berkisar antara 11–60 µm dan lebarnya antara 20–45 µm (rerata 40.18 x 28.53 µm).
Sporangiofor tidak beraturan atau percabangan simpodial.
Spora
mempunyai dua bulu cambuk (flagella) dan membentuk klamidospora bulat berdinding agak tebal.
Klamidospora terbentuk pada interkalar atau terminal.
Koloni pada potato dextrose agar (PDA) berbentuk arachnoid, tetapi pada V8 juice agar lebih halus atau seperti benang halus (Graham et al. 1998).
8 P. citrophthora sporangiumnya berbentuk jorong atau berbentuk buah jeruk sitrun dan terbentuk pada bagian tengah atau ujung sporangiofor. Sporangiofor bercabang tidak teratur. Spora mempunyai 2 bulu cambuk. Patogen juga dapat membentuk klamidospora yang hialin. Pada PDA, koloni petalatte, sedangkan pada cornmeal agar, tipe koloninya stellate, lanose, indeterminate antara rosette dan lanose (Erwin & Ribeiro 1996). Selanjutnya menurut Timmer et al. (2000), P. citrophthora mempunyai sporangia dengan papilla yang di bawah kondisi sesuai akan melepaskan sejumlah zoospora yang memiliki dua flagella.
Sporangia
P. citrophthora, biasanya lebih panjang dibandingkan sporangia P. palmivora tetapi memiliki bentuk sporangia yang sangat bervariasi. P. citrophthora tidak menghasilkan oospora, temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu 24–28 oC. P. palmivora mempunyai sporangium jorong, dan dapat membentuk klamidospora berbentuk bulat dengan diameter 30–60 µm. Sporangia sporocysts kadang-kadang tidak mempunyai papilla. Sporangia dapat berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah, atau tidak langsung dengan membentuk zoospora atau spora kembara yang dapat berenang.
Membentuk
miselium bercabang dan tidak bersekat ketika muda, tetapi membentuk sekat pada hifa yang sudah tua, yaitu pada saat pembentukan organ reproduktif. Karakter koloni pada umumnya memounyai pinggiran yang tidak rata dan berwarna putih, tipe rosaceous, stelate dan cottony (Erwin & Ribeiro 1996). Sporangia lonjong, bentuknya seperti pir dengan ukuran 25–35 x 40–60 µm. Menghasilkan klamidospora yang melimpah, oospora berukuran 22–29 µm, dan temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu 27–30 oC (Timmer et al. 2000). Pada pembibitan cendawan ini dapat menyerang pada kondisi tanah atau air tercemar, tanah basah dengan pH agak asam yaitu 6–6.5.
Cendawan dapat
bertahan dalam tanah dalam bentuk sporangium dan klamidiospora. Cendawan terutama dipencarkan oleh air hujan dan air pengairan (run off) yang mengalir di atas permukaan tanah.
Infeksi terjadi melalui luka alami, luka karena alat
pertanian atau luka karena serangga (Ploetz 2003).
Penyakit ini mampu
menyerang banyak tanaman inang yang lain (polifag), yaitu kemiri, karet, kakao, cabai, anggrek vanda, kacang tanah, ubi kayu, tapak dara, ubi kayu, jarak, sirsak,
9 srikaya, aren, pepaya, kelapa, terung belanda, durian, pala, sirih, dan lada (Graham et al. 1998). Penyakit ini berkembang pada kebun-kebun yang mempunyai temperatur tanah cukup tinggi. Suhu cardinal antara 10 oC, 30–32 oC, dan 37 oC membantu perkembangan P. nicotianae. Penularan Phytophthora dalam tanah melalui spora yang aktif dalam air. Karena itu perkembangannya sangat cepat pada keadaan lembab dan umumnya kerusakan akar terjadi pada musim hujan. Jenis jeruk yang peka adalah batang bawah RL, sedangkan sour orange dan JC relatif lebih tahan. Varietas keprok dan manis sangat peka terhadap Phytophthora spp. Sambungan yang sangat dekat dengan tanah atau tanah tergenang di bedengan merupakan kondisi yang memudahkan terjadinya infeksi (Ploetz 2003). Di antara spesies Phytophthora yang menyerang jeruk, P. citropthora aktif pada suhu yang moderat yaitu kurang dari 30 oC, sedangkan P. nicotianae, aktif pada suhu tinggi yaitu di atas 30 oC (Erwin & Ribeiro 1996).
Selanjutnya
dilaporkan pula bahwa pada iklim mediteranian, misalnya di California, P. citropthora aktif selama musim dingin dan musim semi, tetapi tidak pada musim panas. Sebaliknya P. parasitica kebanyakan aktif selama musim panas. P. hibernalis dan P. syringae merupakan patogen pada suhu rendah yang aktif pada suhu 15 sampai 20 oC. P. palmivora umumnya menyerang jeruk di daerah tropik dan kadang-kadang di daerah subtropik dan bagian mediteranian selama musim panas dan lembab (Timmer et al. 2000). Cendawan dapat bertahan dalam tanah atau akar yang telah rusak atau membusuk dalam bentuk klamidospora atau oospora (Lutz & Menge 1986). Klamidospora berkecambah ketika ada kelembapan dan segera membentuk sporangia. Infeksi biasanya melalui zoospora yang dikeluarkan dari sporangia ketika kelembapan tinggi. Zoospora tertarik pada luka atau bagian ujung akar yang memanjang tempat zoospora akan berkecambah dan melakukan penetrasi secara pasif. Oleh karena itu luka sangat penting supaya bisa terjadi infeksi pada pangkal batang. P. citrophthora dan P. palmivora menghasilkan sporangia yang melimpah pada permukaan buah yang disebarkan melalui tiupan angin pada saat hujan, sebaliknya P. nicotianae bersifat tular tanah dan propagul terbawa melalui percikan tanah, akibatnya kebanyakan infeksinya tidak lebih dari satu meter di atas permukaan tanah (Graham et al. 1998). Sedangkan menurut Mehrotra & Ashok
10 (2003), P. citrophthora terdapat dalam tanah yang kedalamannya satu meter atau lebih dan dapat disebarkan ke buah dan daun oleh percikan air hujan. Infeksi terjadi pada kulit batang yang basah dan hanya terjadi melalui jaringan dimana terdapat propagul yang berkecambah.
Spesies Phytophthora yang lain dapat
bertahan dalam tanah untuk sementara waktu. Bagian testa benih dari benih jeruk yang terinfeksi akan membawa patogen ke kebun benih yang baru dan melalui transplantasi pada kebun bibit. Infeksi dapat terjadi melalui luka alami, luka karena alat pertanian atau luka karena serangga. Infeksi terjadi terutama pada musim hujan dan dibantu oleh pH tanah agak asam (6,0–6.5). Infeksi patogen juga dibantu oleh kabut dan fluktuasi suhu yang kecil yang akan memperlambat penguapan.
Penyakit ini mampu
menyerang banyak tanaman perkebunan yang lain (Ploetz 2003).
Sifat-sifat Umum Diplodia sp. atau Botryodiplodia sp. Botryosphaeriaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah spesies yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum, Pseudofusicoccum, Dothiorella, dan Sphaeropsis (Crous et al. 2006). Anggota Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi yang sangat luas dan terjadi dalam varietas yang luas pada berbagai tanaman inang termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae dan angiospermae, dimana anggota-anggota Botryosphaeriaceae ini dapat berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al. 2009). Von Arx (1987) dalam Begoude et al. 2009, melaporkan bahwa spesies-spesies pada Botryosphaeriaceae telah lama dikenal sebagai patogen penting pada beberapa tanaman. Tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala yang beragam misalnya die-back, kanker, hawar, dan busuk pada seluruh organ tanaman bagian atas. Berdasarkan gejalanya, Diplodia dibedakan menjadi Diplodia basah dan Diplodia kering.
Diplodia basah ditunjukkan dengan reaksi tanaman setelah
terinfeksi yaitu batang, cabang atau ranting yang terserang mengeluarkan gum berwarna kuning keemasan dan pada stadia lanjut, kulit tanaman mengelupas atau bahkan bisa mengakibatkan kematian. Cendawan berkembang di antara kulit dan kayu, merusak kambium, sehingga apabila serangan telah mengelilingi batang,
11 tanaman akan mati. Pada tahap awal patogen masuk pada kulit di daerah ketiak cabang terutama kulit yang luka, serangan di antara kulit dan kayu mengakibatkan tanaman mengeluarkan gum sebagai reaksi tanaman atas serangan patogen. Gum yang dikeluarkan tidak selalu mengandung patogen (Naqvi 2004). Pada Diplodia kering, gejala awal lebih sulit diamati karena kulit batang atau cabang tanaman yang terserang tidak mengeluarkan gum tetapi akan mengelupas dan langsung mengering. Pada permukaan kulit terdapat celah-celah kecil yang mengandung massa spora cendawan berwarna putih atau hitam, selanjutnya kulit yang terserang akan mengering dan mengelupas. Serangan pada batang utama akan lebih berbahaya dibanding pada cabang atau ranting.
Serangan yang
melingkar pada batang atau cabang mengakibatkan bagian tanaman di atas serangan akan kering atau mati dan berwarna hitam. D. nataliensis memiliki piknidium berwarna hitam dan letaknya tersebar, tidak berstroma dibedakan dengan B. theobromae Pat. yang memiliki piknidium berkumpul dan berstroma.
Penetrasi menyebabkan tanaman bereaksi dengan
mengeluarkan substansi pertahanan berupa gum berwarna kuning.
Gum
dikeluarkan oleh tanaman sebagai bentuk reaksi setelah adanya serangan patogen dalam jaringan, gum diproduksi untuk melokalisasi patogen agar tidak berkembang lebih luas. Gum yang keluar dari permukaan kulit jaringan tanaman menunjukkan tingkat serangan yang sudah lanjut. Patogen ini tumbuh sangat cepat pada medium PDA pada kisaran suhu 25–30 oC, membentuk miselium aerial berwarna putih sampai abu-abu terang atau abu-abu tua. Piknidia lebih cepat terbentuk jika dibiakkan pada potongan ranting jeruk yang steril. Piknidia berbentuk subglobose sampai globose, diameternya 300–700 µm, terbentuk secara tunggal atau berkelompok di dalam stroma, dapat menghasilkan spora berukuran 10–18 µm x 17–43 µm. Konidium muda hialin, nonsepta dan granular, sedangkan konidium dewasa tampak striated, berwarna gelap, tidak mempunyai lapisan lendir di luarnya dan memiliki satu sekat, (Timmer et al. 2000). Pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk berkembang, patogen dapat membentuk struktur bertahan. Pada kondisi dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan segera berkecambah dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu lingkungan yang
12 berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama musim kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan cendawan ini. Kondisi tanaman yang lemah didukung oleh kelembaban yang tinggi akan mendukung terjadinya penetrasi pada jaringan tanaman inang baru. Penetrasi pada pamelo (C. maxima Merr.) terutama terjadi pada pertengahan musim hujan karena kelembaban memenuhi syarat bagi pertumbuhan cendawan atau pada musim kemarau dimana kondisi tanaman kurang optimal sehingga pertahanan tanaman kurang. Penetrasi yang sudah berhasil selanjutnya akan terjadi kolonisasi dan cendawan akan tumbuh dan memperbanyak pada jaringan tanaman inang. Fase-fase kritis patogen adalah pada saat sebelum terjadi penetrasi, pada fase ini pengendalian akan lebih efektif dibanding apabila sudah lanjut. Umumnya pengendalian yang dilakukan untuk patogen ini yaitu : 1.
Menjaga kebersihan kebun; memangkas ranting kering, memotong bagian cabang yang terinfeksi dan bekas potongannya diolesi parafin atau bahkan membongkar tanaman terinfeksi berat. Bekas pemangkasan, pemotongan dan pembongkaran dibakar atau ditimbun. Drainase kebun perlu diperbaiki.
2.
Menjaga kebersihan alat pertanian; pisau, gunting pangkas maupun gergaji atau alat lainnya, sebelum dan setelah digunakan dicuci bersih dan kemudian sebaiknya diolesi kapas yang dibasahi alkohol 70% atau 10% pemutih atau kloroks.
3.
Menyaput batang utama, cabang primer dan sekunder dengan fungisida yang ada (bahan aktif benomil atau Cu) atau dengan bubur california yang dapat dibuat sendiri. Penyaputan batang dilakukan paling sedikit dua kali setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan. Bagian tanaman yang akan disaput, dibersihkan dari gumosis dan kulit kering yang mengelupas dengan cara disikat.
Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Morfologi Langkah pertama dan paling penting dalam mengelola penyakit tanaman adalah identifikasi yang akurat. Beberapa penyakit dapat diidentifikasi dengan cepat melalui pengamatan gejala, tetapi banyak penyakit yang lain diperlukan identifikasi melalui gejala, tanda dan postulat Koch atau pengujian lain di
13 laboratorium untuk diagnosis dan identifikasi.
Prosedur laboratorium yang
dikerjakan mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau minggu untuk menyelesaikan diagnosis dan identifikasi tersebut, untuk beberapa kasus relatif insensitif (Flynn 1994). Pengamatan dapat dilakukan dalam berbagai tingkatan, mulai dari pengamatan dengan mata telanjang atau secara visual melalui mikroskop stereo atau mikroskop compound sampai menggunakan mikroskop elektron. Akan tetapi dengan mikroskop compound saja, identifikasi sudah dapat dilakukan dan cendawan dapat diberi nama dengan jelas dalam kaitannya dengan kemampuan individual pada pengamatan morfologi, atau kemampuan teknikal untuk menginduksi sporulasi pada media kultur (Watanabe 2002). Spora merupakan salah satu karakteristik morfologi yang paling penting untuk identifikasi. Terdapat berbagai tipe spora yang dimiliki oleh cendawan. Berdasarkan
morfologi
spora
maka
cendawan
dengan
mudah
dapat
diklasifikasikan, tetapi beberapa cendawan mungkin diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologi yang lain selain spora, misalnya hifa, miselia, tubuh buah, kebiasaan tumbuh dan berbagai organ morfologi yang secara alami dapat diamati dalam kultur (Barnett & Hunter 1987). Pengamatan di bawah mikroskop compound merupakan cara pengamatan yang konvensional.
Tanpa menggunakan cover slip, cara sporulasi, rangkaian
spora, atau kepala spora dapat diamati di bawah mikroskop. Penting juga dengan menggunakan minyak imersi untuk pengamatan mikroskopis pada perbesaran kuat. Akan tetapi identifikasi secara konvensional harus dilakukan oleh orang yang ahli dan berpengalaman, bahkan pengamatan harus diulang beberapa kali untuk mengetahui karakteristik morfologis secara detail dan untuk akses takson yang sesuai sehingga diperlukan cukup banyak waktu (Watanabe 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa kunci identifikasi juga harus dipersiapkan pada berbagai level, termasuk pada level divisi, klas, ordo, famili, genus dan spesies. Meskipun pengamatan karakteristik morfologi paling penting untuk identifikasi, tetapi karakteristik kultur juga penting untuk beberapa cendawan dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Beberapa point perlu diperhatikan dan diikuti untuk pengamatan, walaupun masing-masing cendawan mempunyai perbedaan secara individu.
Lagipula karakteristik fisiologis, misalnya suhu, respon dan
14 kisaran inang dimasukkan dalam kunci identifikasi dan dapat dipelajari bersama-sama dengan karakteristik morfologisnya. Setelah disesuaikan dengan literatur untuk mencocokkan kembali morfologinya, barulah identifikasi selesai (Domsch et al. 1980). Watanabe (2002) mengemukakan beberapa karakteristik kultur, morfologi dan fisiologi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk identifikasi, yaitu antara lain : 1.
Karakteristik kultur : Warna pada permukaan dan dasar koloni, bau, kuantitas hifa aerial, tekstur koloni permukaan (cottony, shrunken, sloppy, resupinate, velvety, powdery atau floury, crustaceous, water soaked, embedded, yeast-like, sticky, homogenous atau heterogenous, ada atau tidaknya elevasi), tepi koloni (halus, tidak beraturan, terbatas, menyebar), pola (zonate, radiate, flowery, arachnoid), pigmen eksudat (berwarna, transparan), organ yang dibentuk (struktur tubuh buah, sklerotia, rhizomorf, synnema, sporodochia, stroma, setae).
2.
Karakteristik morfologi : Ukuran (panjang, lebar, ketebalan, dan lain-lain), warna (mengacu pada warna standar yang dipetakan), bentuk hifa (septa, aseptat, lokasi septa, clamp connection, hyphopodia), appresoria, klamidospora, dan berbagai struktur yang berbeda pada masing-masing klas, bentuk perkecambahan (secara langsung melalui tabung kecambah, tidak langsung melalui zoospora), pola formasi struktur tubuh buah (discrete, aggregate, caespitose).
3.
Karakteristik fisiologi : Suhu (suhu pertumbuhan, suhu optimum untuk pertumbuhan, suhu kardinal untuk pertumbuhan, suhu rata-rata untuk pertumbuhan), kebutuhan media dan nutrisi untuk pertumbuhan (yang cocok untuk sporulasi), reaksi terhadap reagent dan pewarna (lactophenol, cotton blue, acid fuchsin, KOH, FeSO4, melzer reagent), resisten terhadap bahan kimia, anastomosis hifa, reaksi kultur, parasitit alami, patogenisitas.
15 Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Molekuler Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan amplifikasi daerah internal transcribed spacer (ITS) dari DNA ribosom (rDNA) menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dengan pasangan primer oligonukleotida tertentu, baik yang general maupun yang spesifik. PCR merupakan teknik yang mulai berkembang pesat sekitar tahun 1987.
Teknik PCR merupakan teknik untuk keperluan
amplifikasi DNA secara in vitro yang seringkali mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mullis et al. 1986). Pada dasarnya, PCR mampu mengenali dan memperbanyak (amplifikasi) segmen DNA sasaran walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Reaksi amplifikasi sangat bergantung dari
keberadaan enzim polymerase sebagai katalisator, terutama yang tahan panas. Enzim yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah polimerase DNA Taq (Taq polymerase) yang diisolasi dari bakteri tahan panas thermus aquaticus (Bartlett and David. 2003). Bahan lain yang diperlukan adalah deoxynucleotide triphosphates (dNTPs), yang terdiri dari deoxyguanidine triphosphates (dGTP), deoxycytidine triphosphates (dCTP), dan deoxythymidine triphosphates (dTTP), serta buffer PCR yang mengandung MgCl2 (Taylor 1991). Salah satu faktor yang penting yang mempengaruhi kualitas PCR adalah pemilihan primer yang tepat (Ryclik 1995). Primer merupakan oligonukleotida yang berfungsi sebagai pemancing amplifikasi molekul DNA. Primer terdiri dari dua macam yaitu forward dan reverse. Primer forward mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kanan dengan arah sintesis dari ujung 5’P ke 3’OH. Sebaliknya primer reverse mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kiri. Dengan adanya kedua primer tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang PCR berlangsung. Amplikasi DNA secara in vitro dengan PCR terdiri atas beberapa siklus, yang setiap siklusnya terdiri dari 3 tahap reaksi dengan kondisi suhu yang berbeda secara berulang yaitu denaturasi, pelekatan primer (annealing) dan pemanjangan (elongation). Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah DNA sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (McPherson et al. 1992). Tahap denaturasi adalah pembentukan DNA utas tunggal dari DNA utas ganda (putusnya ikatan hydrogen dari kedua utas tunggal DNA komplementer) yang umumnya terjadi pada suhu ˃95 oC. Tahapan annealing, yaitu pelekatan
16 primer yang terjadi pada suhu antara 35–65 oC, bergantung pada panjang atau pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan.
Tahap elongation terjadi
sebagai hasil aktifitas polymerase oleh enzim taq DNA polymerase, umumnya terjadi pada suhu 70 oC (Madigan et al. 1997).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 sampai Agustus 2010. Kegiatan isolasi dan identifikasi cendawan patogen BPB berdasarkan karakter morfologi dilakukan di laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Insitut Pertanian Bogor (IPB). Ekstraksi DNA genomik dan amplifikasi fragmen DNA dengan teknik PCR dilakukan di laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Purifikasi dan perunutan nukleotida dilakukan dengan mengirimkan sampel ke Macrogen Incorporation (Seoul – Korea Selatan). Uji patogenisitas dilakukan di rumah kasa Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Metode Pelaksanaan Pengumpulan Sampel Tanaman Sakit Sampel tanaman sakit diambil dari 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia (Tabel 1). Penentuan sampel dilakukan secara terarah (purposive) yaitu hanya pada tanaman jeruk yang menunjukkan gejala dan tanda terserang cendawan patogen BPB, yaitu gejala awal tampak berupa bercak basah yang berwarna gelap pada bagian kulit batang.
Pembusukan dimulai dari pangkal batang dekat
permukaan tanah sampai ke titik okulasi (40 cm). Jaringan kulit kayu bahkan permukaan kulit, kambium, dan kayu yang terserang mengalami perubahan warna, lama-kelamaan kulitnya akan mengelupas dan jatuh ke tanah sehingga menyebabkan luka lebar terutama pada serangan lanjut. Bagian kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan blendok atau gum. Sampel diambil pada pangkal batang, akar dan tanah di sekitar pohon jeruk sakit. Untuk setiap lokasi, diambil 5 sampel yaitu pohon yang terletak pada titik perpotongan diagonal. Patogen BPB diisolasi dari jaringan tanaman sakit yaitu pangkal batang atau akar, dan dari tanah (bagian permukaan dan bagian rizosfer).
18 Tabel 1 Daftar lokasi pengambilan sampel tanaman sakit No
Propinsi
1 2 3 4
Sumatera Utara Riau Jambi Lampung
5
Jawa Barat
6 7
Jawa Timur Jawa Timur
8 9
Bali Nusa Tenggara Timur (NTT)
Kabupaten/ Kotamadya Berastagi Kampar Muaro Jambi Tulang Bawang Barat Garut
Kecamatan -*) Tambang Tulang Bawang Udik Cikajang Bayongbong Cisurupan Samarang Wanaraja Tanggul Bumiaji Dau Kintamani Mollo Utara
Banjarbaru
Cempaka
Tambang Kagungan Ratu Cikajang Punten Bayung Gede Ajobaki dan Sikam Oelbubuk dan Oelekam Oehala Fatumnasi Kakan dan Kuanfatu Sitiung
Banjarmasin
Sambung Makmur Simpang Empat
Baliangin -
Jember Batu Malang Bangli Timor Tengah Selatan (TTS)
Mollo Tengah Mollo Selatan Fatumnasi Kuanfatu 10 Kalimantan Selatan 11 Kalimantan Selatan *)
Desa
Nama desa dan kecamatan tidak tercatat
Isolasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia dari Jaringan Tanaman Sakit Isolasi patogen dari batang sakit dilakukan dengan cara dicuci pada air mengalir untuk membersihkan bagian batang dari kotoran yang mungkin menempel, kemudian dilakukan desinfeksi permukaan menggunakan kloroks 0.5% selama 30 detik, dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali dan dilanjutkan dengan penanaman jaringan yang diambil dari batas antara jaringan sehat dan sakit pada medium PDA (Lampiran 1).
Cendawan yang tumbuh dibiakkan dan
dimurnikan pada medium yang sama sampai diperoleh biakan murni, kecuali koloni cendawan yang menunjukkan ciri koloni Phytophthora ditumbuhkan pada media V8 (Lampiran 2) untuk merangsang sporulasinya.
19 Sampel tanah diambil pada kedalaman 15 sampai 25 cm dari permukaan tanah dan dari bagian rizosfer. Isolasi patogen dari sampel tanah dilakukan dengan cara pengumpanan pada buah apel dan jeruk. Pengumpanan dilakukan dengan cara melubangi buah apel dengan cork borer sedalam ± 1 cm, kemudian tanah dimasukkan ke dalam lubang tersebut, lalu diinkubasi selama 3 hari atau jika telah terlihat bercak berwarna coklat maka buah apel tersebut dibelah dan diambil bagian bercak yang agak jauh dari tanah yang menempel pada buah tersebut, kemudian dikulturkan pada media PDA dan V8. Cara isolasi lainnya adalah dengan menggenangi sampel tanah dengan air steril, kemudian buah jeruk sehat yang dilubangi diletakkan di atas genangan tanah tersebut dan diinkubasi sampai buah menunjukkan bercak coklat.
Selanjutnya jaringan sakit diisolasi dan
ditumbuhkan pada media PDA atau V8 untuk merangsang sporulasinya.
Isolasi Spora Tunggal Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Isolasi spora tunggal dilakukan menurut Choi et al. (1999) yang telah dimodifikasi.
Masing-masing isolat cendawan ditumbuhkan pada media yang
sesuai selama 5 sampai 7 hari pada suhu kamar (± 25–30 oC), kemudian air steril dimasukkan ke dalam biakan tersebut dan disiapkan sebagai suspensi yang diencerkan sampai konsentrasi tertentu. Suspensi diteteskan ke water agar (WA) dan diinkubasi pada 25 oC selama 12–24 jam. Cawan petri tidak dibungkus agar tetesan suspensi mengering dan mengurangi kontaminasi. Spora diperiksa setelah 12 jam, selanjutnya setiap 24 jam untuk melihat perkecambahannya. Saat spora telah berkecambah, digunakan jarum steril untuk mengambil bagian agar yang mengandung spora. Bagian agar yang diambil harus setipis mungkin. Untuk memastikan bahwa spora yang diambil hanya satu maka slide tersebut disiapkan dan diamati pada mikroskop binokuler. Jika spora tidak berkecambah setelah 12 jam, maka cawan dibungkus dengan parafilm dan diamati secara periodik. Sepuluh kecambah spora dipindahkan dan didistribusikan pada PDA dan diinkubasi pada 25 oC sampai koloni tumbuh ± 1–2 cm. Sebagian kecil miselium dipotong dan dipindahkan pada cawan lain dan diinkubasikan selama beberapa hari. Jika tidak ada kontaminasi, maka biakan murni telah diperoleh. Selanjutnya untuk merangsang pembentukan sporangia Phytophthora spp. dan penyiapan
20 preparat inokulum untuk pengamatan karakter secara mikroskopis digunakan protokol menurut AVRDC Mycology 2000 (Lampiran 3).
Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi spesies Phytophtora dilakukan berdasarkan kriteria morfologi sporangium dan papilla menurut Erwin & Ribeiro (1996) (Gambar 1), sedangkan untuk spesies Diplodia
dan atau Botryodiplodia dilakukan menggunakan
kunci identifikasi morfologi piknidia dan konidia Diplodia sp.; piknidia, pembentukan konidiofor dan konidia Botryodiplodia sp. menurut Barnett & Hunter (1998) (Gambar 2). Untuk keperluan ini, sporangium tunggal Phytophtora sp. ditumbuhkan pada media PDA dan V8, sedangkan spora tunggal Diplodia sp. atau Botryodiplodia sp. ditumbuhkan pada PDA.
Masing-masing biakan
ditumbuhkan pada suhu kamar selama beberapa hari atau sampai koloni memenuhi cawan petri diameter 9 cm. Pengamatan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual, sedangkan pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop
binokuler
okuler dan mikrometer objektif.
yang dilengkapi dengan mikrometer
Pengamatan secara makroskopis yaitu warna
koloni, bentuk atau tipe koloni dan waktu atau lama tumbuh patogen yang diamati setiap hari dimulai sejak 1 HSI (Hari Setelah Isolasi) sampai koloni tumbuh memenuhi cawan petri diameter 9 cm. Pengamatan secara mikroskopis, terhadap karakter morfologis Phytophthora sp. meliputi bentuk dan ukuran (panjang dan lebar) sporangium, sporangiofor, papilla, warna sporagiosfor, ada tidaknya sekat dan klamidospora; sedangkan karakter
morfologis
Diplodia
sp.
atau
Botryodiplodia sp. yang diamati yaitu pembentukan hifa, stroma, piknidia, konidiofor, klamidospora, bentuk dan ukuran konidium. Morfologi
sporangium
Phytophthora
sp.
(panjang,
lebar,
rasio
panjang/lebar), ukuran konidium Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. diukur dengan mikrometer dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar; sedangkan karakter morfologi secara makroskopis dan mikroskopis lainnya dideskripsikan dan ditampilkan dalam bentuk gambar.
21
A
B
\ \
C Gambar 1
Morfologi sporangium dan papilla P. nicotianae (A), P. palmivora (B), dan P. citrophthora (C) menurut Erwin & Ribeiro (1996)
B
A
C Gambar 2 Morfologi piknidia dan konidia Diplodia sp. (A) dan piknidia, pembentukan konidiofor dan konidia Botryodiplodia sp. (B) menurut Barnett & Hunter (1998), pembentukan konidia dan konidia Lasiodiplodia spp. (C) (Burgess et al. 2006)
22 Identifikasi Phytophthora spp., Diplodia spp. dan atau Botryodiplodia spp. Menggunakan Teknik PCR Identifikasi secara
molekuler
dilakukan dengan amplifikasi daerah
internal transcribed spacer (ITS) DNA ribosom (rDNA) dengan teknik PCR, menggunakan pasangan primer universal cendawan yaitu primer forward ITS4
(5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’)
dan
primer
reverse
ITS5
(5’-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3’) (White et al. 1990).
Ekstraksi DNA Genomik Cendawan Isolat cendawan ditumbuhkan pada medium potato dextrose broth (PDB) dalam tabung erlenmeyer sebanyak 100 ml, digoyang dengan kecepatan 125 rpm pada suhu kamar selama 7 hari. Miselia disaring dengan kertas Whatman nomor 1, dicuci dengan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali, dan siap digunakan untuk ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA cendawan patogen dilakukan menurut metode Abd-Elsalam et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Miselium cendawan diinokulasi pada PDB selama 3 hari, kemudian dipanen dan digerus bersama nitrogen cair sampai halus. Selanjutnya ditambahkan bufer ekstraksi (200 mM Tris-HCl pH 8.5; 250 mM NaCl, 25 mM EDTA, 0.5% SDS) sebanyak 1 ml dan 10 µl merkaptoetanol kemudan dihomogenkan dengan cara divorteks.
Setelah itu dipanaskan
pada penangas air 65 oC selama 30 menit dan didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 750 µl
chloroform isoamil (24:1) ditambahkan ke dalam tabung
tersebut dan divorteks lagi kemudian dipresipitasi dengan sentrifugasi pada 11000 rpm selama 10 menit.
Supernatan dipindahkan ke tabung yang baru
dan ditambahkan dengan 1/10 volume Natrium asetat dan 2.5 x volume etanol absolut, dihomogenkan, diinkubasi pada -20 oC selama 30 menit, dipresipitasi lagi pada 14000 rpm selama 10 menit. Pelet dicuci dengan dengan 500 µl etanol 70% yang dingin kemudian disentrifugasi singkat. DNA dikeringkan dan dilarutkan dalam 100 µl bufer TE (10 mM Tris-HCl pH 8.1 mM EDTA) kemudian disimpan pada -20 oC atau langsung digunakan.
23 Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA menggunakan pasangan primer universal cendawan ITS4 dan ITS5. Komponen dan komposisi bahan PCR disiapkan yaitu terdiri dari 15.3 µl ddH2O; 2.5 µl buffer 10x + Mg2+ ; 2.5 µl sucrose cresol 10x; 0.5 µl dNTP 10 mM; masing-masing 1 µl primer forward dan reverse; 0.2 µl enzim Taq DNA polimerase rekombinan 5U/µl; 2 µl DNA sampel konsentrasi 25 – 50 ng/µl. Volume campuran reaksi 25 µl.
Amplifikasi dilakukan dengan thermocycler
GeneAmp PCR System 9700 sebanyak 35 siklus melalui tiga tahapan, yaitu denaturasi awal suhu 94 oC selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit; penempelan primer (annealing) pada suhu 52 oC selama 1 menit; dan pemanjangan (extension) pada suhu 72
o
C selama
2 menit. Setelah
35 siklus, PCR dibiarkan pada suhu 72 oC selama 10 menit kemudian suhunya diturunkan sampai 4 oC.
Visualisasi Visualisasi hasil amplifikasi DNA dilakukan secara elektroforesis pada 1% gel agarosa TBE. Sebanyak 0.2 g agarosa, 20 ml 0.5x TBE dipanaskan pada microwave selama 1 menit, diaduk rata dan dibiarkan sampai hangat. Selanjutnya ditambahkan 1 µl etidium bromida (0.5 µl/10 ml agarosa) kemudian diaduk rata. Gel tersebut dimasukkan ke dalam cetakan, dibiarkan dingin dan mengeras (˃30 menit).
Disiapkan 1 µl loading buffer (6x), ditambahkan produk PCR 5 µl,
dimasukkan ke dalam sumuran.
Ladder DNA diletakkan sesuai kebutuhan,
dielektroforesis dengan arus listrik 70 V selama 30 menit atau 130 volt selama 15 menit. Gel hasil elektroforesis diletakkan di atas transluminator ultra violet dan difoto untuk dokumentasi.
Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetik Fragmen DNA hasil amplifikasi digunakan untuk perunutan asam nukleat (sekuensing).
Sampel DNA hasil PCR dan pasangan primer ITS4 dan ITS5
dikirim ke Macrogen Inc. Korea Selatan untuk dipurifikasi dan disekuensing. Purifikasi fragmen DNA menggunakan QIAquick gel extraction kit (Qiagen). Hasil sekuensing diedit menggunakan program Genetix Win versi 4.0, kemudian
24 dilakukan penjajaran menggunakan Clustal X (Thompson et al. 1997) dan Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007). Analisis homologi nukleotida dilakukan melalui basic local alignment search tool (BLAST). Untuk analisis filogenetik, masingmasing runutan isolat yang ditemukan pada penelitian ini dan runutan homologinya
yang
dipilih
dari
GeneBank
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
disejajarkan menggunakan software ClustalW (http://www.ebi.ac.uk) kemudian hasil penjajaran nukleotida ditransfer ke Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007) untuk menghasilkan penjajaran final yang akan dipakai untuk membuat pohon filogenetik. Rekonstruksi filogeni menggunakan metode maximum parsimony (MP) dengan bootstrap 1000 kali. Perhitungan identitas matriks dilakukan untuk mengetahui kedekatan isolat cendawan asal Indonesia dengan isolat lainnya yang diambil dari GeneBank.
Uji Patogenisitas Batang jeruk sehat kultivar japanese citrun (JC) disemprot dengan air steril untuk menghilangkan kontaminan yang mungkin menempel pada permukaan kulit batang yang akan diinokulasi, kemudian diolesi dengan kloroks 0.5% dan dinetralkan dengan akuades. Permukaan batang jeruk dilukai dengan cara ditusuk dengan jarum sebanyak 5 tusukan (kedalaman tusukan ± 1 mm).
Potongan
inokulum Phytophthora sp., Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. berumur 6 hari ditempelkan pada bagian luka buatan tersebut, kemudian dilapisi dengan kapas lembab untuk merangsang perkecambahan dan infeksi patogen, dan diselotip. Peubah yang diamati adalah kejadian penyakit untuk melihat gejala yang terbentuk akibat inokulasi patogen.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Cendawan Patogen BPB Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi berdasarkan karakter morfologi dilakukan untuk mengamati setiap isolat cendawan patogen BPB secara makroskopis dan mikroskopis. Untuk keperluan tersebut diawali dengan survai dan pengambilan sampel ke 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia (Tabel 1). Di antara kesebelas lokasi tersebut, peneliti hanya berkesempatan untuk melakukan survai ke dua lokasi saja yaitu ke lokasi pembibitan jeruk di kebun percobaan (KP) Desa Punten (loka penelitian tanaman jeruk dan hortikultura subtropik, Kota Batu – Malang) dan lokasi penanaman jeruk di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi NTT.
Di TTS (NTT), peneliti melakukan survai dan pengambilan sampel
di 8 lokasi (desa dan kecamatan) yang diketahui mempunyai populasi jeruk cukup banyak, yaitu Ajobaki dan Sikam (Mollo Utara), Oelbubuk dan Oelekam (Mollo Tengah), Oehala (Mollo Selatan), Fatumnasi (Fatumnasi), Kakan dan Kuanfatu (Kuanfatu). Ketinggian tempat di TTS secara keseluruhan berkisar antara 750 – 1799 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan rerata suhu 24 oC (NTT dalam Angka 2009). Tanaman jeruk di pembibitan maupun pada tanaman dewasa yang terkena penyakit BPB menunjukkan gejala yang khas. Pada pembibitan, permukaan kulit batang yang terserang menjadi cekung dan mengeluarkan gum yang pada saat basah terlihat bening, tetapi setelah mengering warnanya menjadi coklat keemasan. Bercak dapat meluas sampai mengelilingi batang. Gejala terjadi pada pangkal batang dekat permukaan tanah atau di dekat sambungan antara batang atas dan batang bawah (Gambar 3). Jika akar tanaman dibongkar terlihat akarnya membusuk sehingga bibit akan mengalami kematian. Gejala ini sesuai dengan deskripsi menurut Ploetz (2003) yaitu kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan gum, serta pada tanaman terserang sering berbentuk kalus. Kematian tanaman akibat serangan penyakit ini terjadi apabila bercak pada kulit melingkari batang, perkembangan bercak ke bagian atas umumnya terbatas hingga 60 cm di atas permukaan tanah, sedangkan perkembangan ke bagian bawah dapat meluas ke bagian akar tanaman (Lutz & Menge 1986).
26
A
B
Gambar 3
C
Gejala BPB di pembibitan jeruk di KP Punten (loka penelitian tanaman jeruk dan hortikultura subtropik, Batu–Malang). Batang yang terserang menjadi cekung dan mengeluarkan gum (A), bercak nekrosis mengelilingi batang (B), gum yang masih basah (C)
Gejala penyakit BPB pada tanaman jeruk dewasa hampir sama dengan gejala di pembibitan dan mudah dikenali. Namun pada tanaman dewasa yaitu pada kulit batangnya, terdapat banyak luka-luka yang meluas tapi dangkal yang lama-kelamaan akan mengelupas dan terlepas dengan sendirinya. Di bagian luka juga terlihat gum yang telah mengering sehingga kelihatan mengkilap sekalipun dilihat dari jarak yang cukup jauh. Pada serangan lanjut dapat menyebabkan kematian tanaman secara keseluruhan (Gambar 4).
A
B
Gambar 4
C
Gejala BPB di lapangan (Kabupaten TTS – NTT). Gum pada kulit batang (A); kulit batang yang mengelupas (B); bercak melingkari batang, berkembang ke bagian bawah dan meluas ke bagian akar tanaman yang menyebabkan kematian tanaman (C)
Gum yang telah mengering diambil dari pembibitan maupun dari lapangan dan diisolasi dalam medium PDA, namun tidak ditemui adanya patogen. Hal ini
27 sesuai dengan Naqvi (2004) yang menyatakan bahwa tanaman mengeluarkan gum sebagai reaksi tanaman atas serangan patogen, namun gum yang dikeluarkan tidak selalu mengandung patogen. Gum dihasilkan untuk melokalisasi patogen agar tidak berkembang lebih luas. Gum yang keluar dari permukaan kulit jaringan tanaman menunjukkan tingkat serangan yang sudah lanjut (Agrios 2005). Diperoleh 12 isolat dari bagian pangkal batang sakit dan dari tanah (rizosfer) yang terdiri atas satu isolat Phytophthora sp. berasal dari Desa Oehala, TTS (NTT) dan 11 isolat Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. yang masingmasing berasal dari Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muaro Jambi (Jambi), Tulang Bawang Barat (Lampung), Garut (Jawa Barat), Jember dan Batu – Malang
(Jawa Timur), Bangli (Bali), TTS (NTT), Banjarmasin dan
Banjarbaru (Kalimantan Selatan) (Tabel 2). Tabel 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Isolat patogen yang diperoleh dari bagian pangkal batang jeruk sakit dan dari tanah (rizosfer) Asal isolat Hasil isolasi
Oehala (TTS – NTT) Berastagi (Sumatera Utara) Kampar (Riau) Muaro Jambi (Jambi) Tulang Bawang Barat (Lampung) Garut (Jawa Barat) Jember (Jawa Timur) Batu – Malang (Jawa Timur) Bangli (Bali) TTS (NTT) Banjarbaru (Kalimantan Selatan) Banjarmasin (Kalimantan Selatan)
Phytophthora sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp.
Karakter morfologi Phytophthora sp. mencakup koloni berwarna putih, di media PDA berbentuk rosaceous (Gambar 5A), sedangkan di V8, biakan muda berbentuk stellate (Gambar 5B) dan biakan tua berbentuk cottony (Gambar 5C). Pada suhu kamar, Phytophthora sp. yang dibiakkan dalam PDA tumbuh memenuhi cawan petri diameter 9 cm pada 21 HSI, sedangkan dalam V8 pada 10 HSI. Secara mikroskopis, koloni memiliki hifa tidak bersekat, bercabang,
28 corraloid, hialin, halus sampai kasar, membengkak, bulat sampai lonjong (ovoid) dan tidak beraturan (Gambar 6 A–C). Klamidospora globose terbentuk secara interkalar (Gambar 6D). Terdapat beberapa bentuk sporangia (Gambar 7), yaitu globose (A, E–G), ellipsoid (B), ovoid (C), limoniform (D), dan beberapa bentuk distorsi atau asimetris (H–J). Masing-masing tipe sporangia mempunyai ukuran yang berbeda, dengan rerata 15.00–28.12 µm x 9.37–15.75 µm (Tabel 3). Berdasarkan karakteristik morfologi menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro (1996), isolat Phytophthora sp. yang berasal dari Desa Oehala (TTS) adalah Phytophthora citrophthora (RE Smith & EH Smith) Leonian (1925).
A C B Gambar 5 Tipe koloni P. citrophthora. Rossaceous pada media PDA (A); stellate (C), dan cottony (D) pada media V8
A
B
C
D
Gambar 6 Morfologi hifa, miselium dan klamidospora P. citrophthora. Hifa muda, tidak bersekat, hialin, belum membengkak, bercabang (A); miselium corraloid (B); hifa yang membengkak (C); pembentukan klamidospora secara interkalar (D).
29
A
B
D
C
E
F
G
H
I
J
Gambar 7
Bentuk dan papilla sporangia P. citrophthora asal Desa Oehala (TTS). Globose, semipapillate (A); ellipsoid, semipapillate (B); ovoid, nonpapillate (C); limoniform, nonpapillate (D); globose, bipapillate (E–G); bentuk distorsi (asimetris) (H–J); papillate sporangium (H, I); bilobed (2 apices), nonpapillate (J). Perbesaran 1200x
Tabel 3 Ukuran sporangia P. citrophthora (panjang x lebar) Bentuk sporangia
Ukuran sporangia (µm)
Rerata (µm)
Rasio (p/l)
A. globose B. ellipsoid C. ovoid D. limoniform E. globose, bipapillate F. globose, bipapillate G. globose, bipapillate H distorsi (asimetris) I. distorsi (asimetris) J. distorsi (asimetris)
15.00–18.75 13.12–18.75 x 11.25–16.87 26.25–30.00 x 9.37–13.12 22.50 x 9.37 15.00 18.75 15.00 22.50 x 15.00 18.75 x 15.00 26.25 x 18.75
15.75 17.19 x 15.00 28.12 x 11.25 22.50 x 9.37 15.00 18.75 15.00 22.50 x 15.00 18.75 x 15.00 26.25 x 18.75
1.00 1.15 2.50 2.40 1.00 1.00 1.00 1.50 1.25 1.40
Umumnya isolat Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. (Lampiran 6) mempunyai kemampuan tumbuh sangat cepat yaitu antara 3–7 HSI jika dikulturkan pada media PDA. Isolat Berastagi, Kampar, Muaro Jambi, Tulang
30 Bawang Barat, Garut, Batu – Malang, TTS, Banjarmasin dan Banjarbaru mampu memenuhi cawan petri pada 3 HSI, Jember pada 4 HSI dan Bangli pada 7 HSI. Koloni miseliumnya aerial, awalnya putih, setelah 4–5 hari menjadi hitam kehijauan sampai abu-abu, kemudian setelah 10 hari miselium menjadi hitam (Gambar 8).
B
A Gambar 8
C
Perkembangan warna koloni miselium Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. dalam PDA pada suhu ruang (25–30 oC). Miselium aerial berwarna putih (A); permukaan atas berwarna abu-abu, permukaan bawah berwarna hitam kehijauan (B); miselium menjadi hitam (C).
Secara mikroskopis, hifa awalnya hialin kemudian menjadi coklat dan bersekat. Saat akan membentuk sekat, hifa awalnya berbentuk lonjong kemudian akan memanjang dan mengelembung (pear shape) pada ujung sekat (Gambar 9 A–D). Klamidospora terbentuk secara interkalar (Gambar 9 E, F).
A
D Gambar 9
B
C
F E Pembentukan hifa dan klamidospora B. theobromae. Pembentukan hifa (A–D); pembentukan klamidospora secara interkalar (E, F)
31 Piknidia akan terbentuk jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, oleh karena itu piknidia akan lebih cepat tumbuh yaitu ± 2 minggu setelah isolasi jika isolat ditanam pada media yang miskin nutrisi yaitu WA yang diberi potongan jerami padi steril (Gambar 10D). Isolat yang diisolasi pada media PDA (Gambar 10 A, B), piknidia tumbuh sangat lambat yaitu ± 1 bulan setelah isolasi. Piknidia terbentuk secara berkelompok dalam stroma (Gambar 10B), sedangkan konidiofor tunggal (Gambar 10 H).
A
B
D
E
C
F
G H Gambar 10 Morfologi stroma, piknidia, konidia dan konidiofor B. theobromae. Piknidia pada PDA (A); piknidia terbentuk dalam stroma (B); stroma pada PDB (C); piknidia ditumbuhkan pada potongan jerami padi dalam WA (D); piknidia pada potongan jerami padi (E); piknidia terbentuk secara berkelompok pada E diamati secara mikroskopis (300x) (F); massa konidia muda yang keluar dari dalam piknidia (100x) (G); konidiofor tunggal (400x) (H) Konidia dihasilkan di dalam piknidia. Konidia terdiri dari konidia muda dan konidia matang. Keduanya berbentuk ovoid, dan ellipsoid, bedanya konidia muda hialin, dindingnya terdiri dari dua lapisan, granular dan tidak bersekat, sedangkan
32 konidia matang berwarna coklat, dinding selnya hanya satu lapisan, berwarna coklat tua dan memiliki satu sekat sehingga membentuk dua sel (Gambar 11). Konidia yang dihasilkan masing-masing isolat dari setiap lokasi terlihat pada Lampiran 7. Konidia matang akan berwarna gelap (coklat) dan bersekat hanya
setelah
keluar
dari
piknidia.
Ukuran
konidia
bervariasi
yaitu
panjangnya 18.75–31.87 µm dan lebarnya 11.25–18.75 µm, atau rerata panjang x lebar = 25.31 x 15.00 µm (Tabel 4).
A
B
Gambar 11
C
Konidia B. theobromae (perbesaran 400x pada mikroskop cahaya). Konidia muda yang tidak bersekat, transparan, dinding yang tebal (2 lapisan) dan granular (A); konidia matang yang bersekat, coklat dan bersekat (B); konidia muda dan konidia matang (C)
Berdasarkan hasil identifikasi menggunakan sistem klasifikasi Saccardo (Lampiran 5) menurut Barnett & Hunter (1998), 11 isolat dari setiap lokasi yang berbeda diketahui memiliki karakter antara lain konidia terbentuk dalam badan buah aseksual (piknidia); konidia berbentuk globose dan atau ellipsoid; umumnya konidia terdiri dari 2 sel; konidia berpigmen gelap; dan piknidia terbentuk secara berkelompok di dalam stroma. Dari beberapa karakter di atas diketahui bahwa isolat-isolat tersebut memiliki karakter yang merupakan ciri khas Botryodiplodia theobromae Pat.. Menurut Timmer et al (2000), B. theobromae Pat. merupakan sinonim dari Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon dan Maubl. dan Diplodia natalensis Pole-Evans; sedangkan teleomorphnya yaitu Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx). Jika dibandingkan dengan beberapa sumber pustaka, antara lain menurut Phillips (2002) konidia Lasiodiplodia spp. pada awalnya hialin kemudian menjadi berwarna dan memiliki satu sekat. Melanin tersimpan dalam bantuk garis yang teratur dan tetap pada bagian sebelah dalam dinding konidia, sehingga
33 kelihatan seperti garis yang membujur; demikian pula Sato et al. (2008) melaporkan konidia matang Lasiodiplodia spp. berwarna coklat tua, berdinding tebal, memiliki garis membujur di sekelilingnya dan terdapat satu sekat melintang pada bagian tengah konidia (Gambar 2C). Menurut Barnett & Hunter (1998), morfologi Diplodia spp. hampir sama dengan Botryodiplodia sp. Perbedaannya
hanya pada bentuk konidia matang dan piknidia, yaitu pada
Diplodia sp. konidia matang lebih lonjong dan piknidiumnya tidak berkelompok (Gambar 2A). Berdasarkan uraian di atas dan gambar rujukan pada Gambar 2, maka 11 isolat patogen yang berhasil dieksplorasi dari setiap lokasi yang berbeda merupakan B. theobromae Pat. (teleomorph B. rhodina (Cooke) Arx.)). Tabel 4 Ukuran konidia Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. Asal isolat Berastagi Kampar Muaro Jambi Tulang Bawang Barat Garut Jember Batu–Malang Bangli TTS Banjarbaru Banjarmasin
Ukuran konidia in vitro (pxl)
Rerata(µm)
Rasio (p/l)
26.26–30.00 x 13.12–15.00 26.25–28.12 x 13.12–16.87 24.37–28.12 x 13.12–16.87 24.37–28.12 x 15.00–16.87
27.75 x 14.25 27.37 x 14.62 26.25 x 15.00 26.25 x 15.37
1.95 1.87 1.75 1.71
26.25–30.00 x 15.00–16.87 28.12–30.00 x 15.00–18.75 22.50–26.25 x 13.12–15.00 18.75–24.37 x 11.25–15.00 18.75 – 26.25 x 11.25 24.37 – 26.25 x 15.00 28.12–31.87 x 15.00–18.75
27.75 x 16.12 28.50 x 16.87 24.75 x 14.25 21.75 x 13.12 22.50 x 11.25 25.50 x 15.00 29.62 x 16.50
1.72 1.69 1.74 1.66 2.00 1.70 1.79
Selain P. citrophthora dan B. theobromae, dari sampel tanaman jeruk sakit dari setiap lokasi juga berhasil diisolasi Fusarium spp. (Gambar 12) dan Mortierella sp. (Gambar 13).
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Erwin & Ribeiro (1996), yaitu pada pertanaman jeruk terdapat banyak cendawan patogen lain yang berasosiasi dengan patogen BPB antara lain Pythium dan Fusarium, yang biasanya dapat ditemukan dimana saja dan berasosiasi dengan tanaman yang sakit tapi tidak menjadi penyebab penyakit yang penting; sedangkan Mortierella belum diketahui peranannya terhadap tanaman jeruk.
34
A
B
C
D
E
F
Gambar 12 Isolat Fusarium spp. (A-C) ; hifa hialin, bersekat (D); mikrokonidia (tdk bersekat, 1 sel) dan makrokonidia (bersekat, 2–4 sel) (E); klamidospora yang terbentuk secara terminal pada makrokonidia (F)
A
B
C
D
Gambar 13 Isolat Mortierella sp. (A; sporangiofor dan sporangia (B,C); sporangia (D)
Identifikasi Cendawan Patogen BPB Jeruk Menggunakan Teknik PCR Identifikasi molekuler dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer universal cendawan yaitu ITS4 dan ITS5 mampu mengamplifikasi daerah ITS rDNA semua isolat sampel, yaitu B. theobromae asal 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia dan P. citrophthora asal Desa Oehala (TTS). Produk hasil amplifikasi isolat B. theobromae berukuran ± 550 bp, sementara P. citrophthora berukuran ± 700 bp (Gambar 14). Pasangan primer yang digunakan adalah primer universal yang dirancang untuk mengamplifikasi sebagian sub unit kecil
35 18S, keseluruhan daerah ITS4 dan ITS5 serta 5.8S, dan sebagian sub unit besar 28S rDNA berbagai jenis cendawan (White et al. 1990). P. citrophthora B. theobromae M
550 bp
BR KM MJ TB GR JM MG BG TS BB BM M
Pc
700 bp
Gambar 14 Hasil amplifikasi 11 isolat B. theobromae dan 1 isolat P. citrophthora menggunakan primer ITS4 dan ITS5. Marker 1 kb (M), Berastagi (BR), Kampar (KM), Muaro Jambi (MJ), Tulang Bawang Barat (TB), Garut (GR), Jember (JM), Batu – Malang (MG), Bangli (BG), TTS (TS), Banjarbaru (BB), Banjarmasin (BM) dan isolat P. citrophthora asal TTS (Pc) Ukuran produk hasil PCR tersebut sesuai dengan yang diharapkan seperti yang dilaporkan oleh Slippers et al. (2005) yang memperoleh ukuran DNA Botryosphaeria sp. sebesar 550 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Begoude et al. (2009) memperoleh ukuran DNA Botryosphaericeae yang bersasosiasi dengan Terminalia catappa sebesar ~580 bp jika diamplifikasi menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Ippolito et al. (2002) memperoleh ukuran DNA Phytophthora spp. sebesar 700 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS4 dan Ph2; Silvar et al. (2005) memperoleh ukuran sebesar 700 bp untuk DNA semua anggota ordo Peronosporales misalnya Phytophthora, Pythium dan penyebab downy mildews jika menggunakan pasangan primer DC6 dan ITS4. Perbedaan ukuran fragmen antara B. theobromae dan P. citrophthora disebabkan oleh adanya variasi panjang pendeknya daerah ITS pada masing-masing rDNA cendawan.
Daerah ITS sebagai daerah yang tingkat konservasinya rendah
sedangkan daerah sub unit kecil 18S, 5.8S, sub unit besar 28S dan 5S diketahui
36 sebagai daerah yang sangat konservatif pada rDNA yang mempunyai sekuen hampir pasti sama di antara organisme (Darmono et al. 2006). Walaupun demikian identifikasi dengan teknik PCR harus dilanjutkan dengan tahapan perunutan nukleotida (sekuensing) untuk memastikan identitas cendawan yang teramplifikasi.
Perunutan Nukleotida (Sekuensing) Hasil perunutan nukleotida telah diperoleh untuk 10 isolat sampel DNA B. theobromae yang diamplifikasi dengan PCR (Tabel 5). Hasil perunutan tersebut digunakan untuk analisis penjajaran dengan program BLAST untuk mengetahui identitas B. theobromae. Hasil analisis nukleotida menunjukkan bahwa sekuen kesepuluh isolat penelitian mempunyai kemiripan yang tinggi (lebih dari 90%, e-value 0.0) dengan isolat cendawan B. rhodina dan L. theobromae (Tabel 6). Clavarie & Notredame (2003) menyatakan bahwa dua gen atau fragmen DNA dikatakan homolog jika 70% urutan nukleotida atau 25% urutan asam aminonya identik, dengan panjang urutan minimal 100. Berdasarkan hasil analisis penjajaran dengan program BLAST maka dapat dipastikan bahwa produk PCR kesepuluh isolat target asal jeruk dari lokasi yang berbeda adalah B. theobromae (sinonimnya L. theobromae; teleomorp B. rhodina).
Hal ini
berarti bahwa hasil identifikasi yang telah dilakukan berdasarkan karakter morfologi sudah tepat. GeneBank
Sekuen nukleotida B. theobromae yang tersimpan di
menggunakan
nama
teleomorphnya
L. theobromae (sinonim dari B. theobromae).
yaitu
B.
rhodina
dan
Hal ini terjadi karena sekuen
nukleotida tersebut umumnya berasal dari negara subtropis yang memungkinkan ditemukannya fase seksual (teleomorp) patogen untuk bertahan pada kondisi tertekan (stress), antara lain karena temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kekeringan yang sangat ekstrim dan ada atau tidaknya tumbuhan inang. Untuk analisis kekerabatan (filogenetik), masing-masing runutan nukleotida isolat yang ditemukan pada penelitian ini dan runutan beberapa famili Botryosphaeriaceae yang dipilih dari GeneBank (Tabel 7) disejajarkan menggunakan
software
ClustalW
(http://www.ebi.ac.uk)
kemudian
hasil
penjajaran nukleotida ditransfer ke Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007) untuk
37 menghasilkan penjajaran final (Lampiran 8) yang digunakan untuk membuat pohon filogenetik. Hasil penjajaran nukleotida menunjukkan bahwa kesepuluh isolat penelitian tidak memiliki kesamaan dengan outgroup dan sembilan isolat cendawan dari famili Botryosphaeriaceae yang terpilih dari GeneBank tetapi hanya memiliki kesamaan antar isolat penelitian saja.
Hal ini diindikasikan
dengan kolom-kolom nukleotida yang tidak terkonsentrasi dengan baik (Lampiran 9). Tabel 5 Daftar hasil runutan nukleotida isolat penelitian dari tanaman jeruk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Isolat B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae B. theobromae P. citrophthora
Lokasi
Fragmen (bp)
Berastagi (Sumatera Utara) Kampar (Riau) Muaro Jambi (Jambi) Tulang Bawang Barat (Lampung) Garut (Jawa Barat) Jember (Jawa Timur) Batu – Malang (Jawa Timur) Bangli (Bali) TTS (NTT) Banjarbaru (Kalimantan Selatan) Banjarmasin (Kalimantan Selatan Oehala (TTS – NTT)
542 602 537 535 570 420 527 559 513 555 -*) -**)
)
* tidak ada data nukleotida karena kualitas DNA yang rendah ) ** tidak ada fragmen kemungkinan DNA terkontaminasi dengan cendawan lainnya
Tabel 6 Hasil analisis BLAST sekuen sepuluh isolat penelitian
Mangga Mangga Mangga
% homologi*) 100 100 100
EU938329.1 EU938329.1 EU938329.1
B. rhodina B. rhodina B. rhodina
Asal aksesi Brazil Brazil Brazil
EU938329.1
B. rhodina
Brazil
Mangga
99
FJ904838.1 FJ904838.1 EU938331.1 EU938332.1 GQ502460.1 HM008598.1
L. theobromae L. theobromae B. rhodina B. rhodina L. theobromae L. theobromae
Kenya Kenya Brazil Brazil Taiwan Taiwan
Mimba Mimba Mangga Mangga Mangga Alpukat
100 99 100 98 100 99
No. aksesi
*)
Spesies
Inang
Aksesi dipilih berdasarkan sekuen dengan % homologi tertinggi
Asal isolat Banjarbaru Bangli Berastagi Tulang Bawang Barat Muaro Jambi Kampar Batu-Malang TTS Garut Jember
38 Tabel 7 Daftar runutan nukleotida yang digunakan untuk analisis kekerabatan Outgroup dan Famili Botryosphaeriaceae
No. Aksesi
Polymyxa graminis Lasiodiplodia sp. Botryosphaeria parva Botryosphaeria sp. L. pseudotheobromae Lasiodiplodia sp.
EU244488.1 GU066721.1 EF173922.1 GU066640.1 EF622081.1 AB297716.1
Sphaeropsis sapinea
AY253294.1
B. rhodina L. theobromae L. theobromae
EU407235.1 GQ502461.1 GU066603.1
Ukuran Fragmen (bp) Switzerland (2007) Gandum 610 Malaysia (2010) Jeruk 545 Australia (2007) Jeruk 515 Malaysia (2009) Jeruk 548 Suriname (2008) Jeruk 542 Kaltim-Indonesia Meranti 539 (2007) Sumut-Indonesia Pinus 504 (2003) China (2008) Nangka 542 Taiwan (2009) Mangga 533 Malaysia (2009) Sirsak 545 Asal aksesi (tahun)
Inang
Hasil analisis kekerabatan menunjukkan hubungan kekerabatan isolatisolat
B. theobromae dari 10 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia
berbeda
atau terpisah dengan 10 isolat yang terpilih dari GeneBank
tersebut
sehingga terbagi menjadi dua kelompok utama (Gambar 15). Isolat
dari Indonesia membentuk kelompok tersendiri pada kelompok pertama sedangkan B. parva_Australia_jeruk [EF173922.1], Sphaeropsis sapinea_ Sumut-Indonesia_pinus Indonesia_meranti [GU066721.1],
[AY253294.1],
[AB297716.1], L.
Lasiodiplodia
Lasiodiplodia
sp._Kaltim-
sp._Malaysia_jeruk
theobromae_Malaysia_sirsak
[GU066603.1],
B. rhodina_China_nangka [EU407235.1], Botryosphaeria sp._Malaysia_jeruk [GU066640.1],
L.
theobromae_Taiwan_mangga
[GQ502461.1],
dan
L. pseudotheobromae_Suriname_jeruk [EF622081.1] berada pada kelompok kedua. Isolat dari Indonesia sendiri terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari Muaro Jambi, Jember dan Kampar, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Bangli, TTS, Batu – Malang, Banjarbaru, Berastagi, Garut dan Tulang Bawang Barat.
Dari hasil analisis identitas matriks
menunjukkan sesama isolat Indonesia sendiri mempunyai kesamaan yang tinggi ditunjukkan dengan nilai kesamaannya >90% (Tabel 8), sedangkan jika dibandingkan dengan isolat-isolat dari GeneBank, ternyata isolat Indonesia mempunyai nilai kesamaan yang sangat rendah (<50%).
39
Garut Banjarbaru
Bangli Kintamani Malang Berastagi
TTS Soe Tulang Bawang Barat Lampung Kampar
Muaro Jambi Jambi Jember BP Australia jeruk SS Sumut pinus L Kaltim meranti L Malaysia jeruk LT Malaysia sirsak BR China Artocarpus B Malaysia jeruk LT Taiwan mangga LP Suriname jeruk PG Switzerland gandum
Gambar 15 Filogeni sekuen isolat B. theobromae hasil penelitian dibandingkan
dengan beberapa famili Botryosphaeriaceae dari jeruk dan beberapa inang yang lain asal beberapa wilayah di Asia. Polymyxa graminis dengan nomor aksesi EU244488.1 digunakan sebagai outgroup. Angka pada percabangan menunjukkan tingkat kepercayaan perpisahan cabang Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Prof. Dr. Ir. Meity S. Sinaga, M.Sc, pengelompokan pada isolat B. theobromae dari 11 lokasi di Indonesia sesuai dengan asal daerah bibit jeruk.
Misalnya pada sentra produksi Kampar dan
Muaro Jambi, bibit jeruk berasal dari Jember; Banjarbaru, Berastagi dan Tulang Bawang Barat, bibit jeruk berasal dari Garut; TTS mengambil bibit jeruk dari Malang atau disiapkan di TTS dengan bantuan teknisi dari Malang; sedangkan Bangli, bibit berasal dari daerah itu sendiri karena ada larangan
40 pengambilan bibit dari luar daerah. Perbedaan yang terjadi antara isolat penelitian dari Indonesia dan isolat-isolat yang tersimpan di GeneBank menggambarkan kemungkinan telah terjadinya evolusi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini mungkin terjadi karena pada dasarnya B. theobromae merupakan cendawan dari kelas Deuteromycetes yang relatif mudah melakukan perubahan genetik yang akan membentuk ras baru.
Perubahan atau evolusi tergantung pada waktu
generasi, jumlah unit reproduksi yang dibentuk per generasi, mekanisme keragaman
genetik
dan
tekanan
perkembangannya (Agrios 2005).
ekstrim
untuk
pertumbuhan
dan
Perubahan-perubahan yang terjadi pada
patogen dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan sifat patogenisitasnya, dengan demikian pada suatu saat akan dapat terbentuk suatu ras baru yang lebih virulen dan dapat menyerang varietas inang yang resisten atau sebaliknya dapat terbentuk ras patogen yang avirulen (Sinaga 2006).
41
Tabel 8 Identitas matriks isolat-isolat penelitian dibandingkan dengan outgroup dan isolat dari GeneBank Sekuen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Garut Tulang Bawang Berastagi Banglitamani Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru Soe L_Malaysia_Jeruk BR_China_Nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk
0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.93 0.92 0.94 0.91 0.34 0.34 0.34 0.33 0.33 0.33
1 1 1 0.99 0.99 0.98 1 0.97 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
1 1 0.99 0.99 0.98 1 0.97 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
1 0.99 0.99 0.98 1 0.97 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
0.99 0.99 0.98 1 0.97 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
1 0.98 0.99 0.96 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
0.98 0.99 0.96 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
0.98 0.97 0.32 0.32 0.32 0.31 0.31 0.31
0.97 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32
0.31 0.31 1 0.31 1 0.31 0.99 0.31 0.99 0.31 0.99
1 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99
1 1
1
17 18 19 20
L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerland_gandum
0.34 0.36 0.36 0.34
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.32 0.34 0.34 0.36
0.31 1 0.34 0.82 0.33 0.89 0.36 0.49
1 1 0.82 0.82 0.89 0.89 0.49 0.49
0.99 0.81 0.89 0.49
0.99 0.81 0.88 0.49
16
17
18
19
0.99 0.81 0.89 0.49
0.82 0.89 0.49
0.86 0.51 0.51
20
42 Uji Patogenisitas Uji patogenisitas yang dilakukan di rumah kasa memperlihatkan perkembangan gejala yang positif meskipun perkembangan gejalanya sangat lambat. Pada permukaan batang, umumnya gejala terlihat kurang jelas, tetapi bila pada titik inokulasi disayat, terlihat perbedaan yang jelas antara perlakuan dengan patogen dan kontrol.
Gejala terlihat lebih jelas lagi bila disayat sampai
permukaan jaringan kayu. Pada perlakuan patogen terjadi nekrosis beberapa milimeter, sedangkan pada kontrol tidak ada gejala (Gambar 16).
A Gambar 16
B Gejala pada uji patogenisitas. Nekrosis pada permukaan jaringan kayu (A), tidak ada gejala (B). (Foto oleh Tri Maryono)
Menurut Umezurike (1979), nekrosis yang terjadi karena adanya aktivitas patogen yang menghasilkan enzim selulolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat dimanfaatkan oleh patogen dan sebagai akibatnya jaringan tersebut mati. Agrios (2005) menjelaskan bahwa enzim selulolitik yang disekresikan oleh patogen berperan untuk melunakkan dan menguraikan bahan penyusun dinding sel. Enzim-enzim tersebut memudahkan penetrasi dan penyebaran patogen dalam inang dan menyebabkan pecah dan terurainya struktur seluler sehingga dapat terjadi penyakit.
Sementara menurut Begoude et al.
(2009), cendawan patogen ini dapat hidup sebagai endofit dalam organ tanaman, dalam fase laten, tanpa menghasilkan gejala dan tanda yang jelas, dan penyakit hanya muncul apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi tanaman.
43 Hal ini mengimplikasikan bahwa patogen akan dengan mudah berpindah melalui bagian tanaman yang digunakan untuk perbanyakan tanaman.
Tipe
berkembangan gejala penyakit seperti ini disebut gejala laten, yaitu merupakan tipe perkembangan yang berbahaya dan menyulitkan dalam pengendalian bila tindakan pengendalian didasarkan pada munculnya gejala karena pada saat gejala sudah dapat dilihat maka tanaman harus dipotong atau dimusnahkan. Uji patogenisitas pada tanaman jeruk eksplan secara in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain dalam tim penelitian penyakit BPB jeruk dengan menggunakan isolat B. theobromae dan P. citrophthora yang sama, secara berturut-turut menunjukkan gejala klorosis, berkembang menjadi nekrosis, membentuk gum sampai mengakibatkan kematian (Gambar 17).
A Gambar 17
B Uji patogenisitas pada tanaman eksplan secara in vitro. P. citrophthora (A), B. theobromae (B). Gejala nekrosis (anak panah), gejala gumosis (lingkaran). (Foto oleh Windi Ditha)
Perkembangan gejala dan tanda akibat inokulasi P. citrophthora lebih lambat dibandingkan dengan B. theobromae, meskipun diawali dengan klorosis pada waktu yang sama yaitu pada 3 HSI. Gum yang terbentuk pada tanaman yang diinokulasi dengan P. citrophthora kelihatan lebih encer bila dibandingkan dengan gum pada tanaman yang diinokulasi dengan B. theobromae. Tanaman akan mengalami kematian setelah 12 HSI jika diinokulasi dengan P. citrophthora, dan 8 HSI jika diinokulasi dengan B. theobromae, selanjutnya inokulum patogen tumbuh memenuhi seluruh bagian tanaman kemudian membentuk stroma yang mengandung piknidia.
44
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Identifikasi
berdasarkan
karakteristik
morfologi
dan
molekuler
menunjukkan bahwa penyebab penyakit BPB pada 11 lokasi sentra produksi di Indonesia (Berastagi, Kampar, Muaro Jambi, Tulang Bawang Barat, Garut, Jember, Batu – Malang, Bangli, TTS, Banjarbaru, dan Banjarmasin) adalah B. theobromae Pat. sedangkan penyebab penyakit BPB jeruk pada Desa Oehala (TTS), Propinsi NTT adalah P. citrophthora. Uji patogenisitas secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa kedua spesies patogen yang diisolasi memiliki patogenisitas yang tinggi.
SARAN Eksplorasi ke pertanaman jeruk dengan gejala BPB masih perlu dilakukan di daerah lain
untuk memastikan penyebab utama penyakit BPB (gumosis) di
Indonesia. Penetapan penyebab utama BPB tersebut sangat ditentukan oleh hasil uji patogenisitas masing-masing isolat menggunakan metode inokulasi yang tepat dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic Press. Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Barnett HL, Hunter BB. 1998. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. Minnesota: Burgess Publishing Company. Bartlett JMS, David S. 2003. PCR Protocols vol 226: Methods in Moleculer Biology. Ed ke-2. Totowa, New Jersey: Humana Press. Begoude BAD, Bernard S, Michael JW, dan Jolanda R. 2009. Botryosphaeriaceae associated with Terminalia cattapa in Cameroon, South Africa and Madagascar. Mycological Progress 9:101-123. Burgess TI, Paul AB, Sari M, Geoff P, Wilhem de B, Michael JW. 2006. The new Lasiodiplodia spp. from the tropics, recognized based on DNA sequence comparison and morphology. Mycologia 98:423–435. Camele I, Carmine M, Gennaro C. 2005. Detection and identification of Phytophthora species in southern Italy by RFLP and sequence analysis of PCR-amplified nuclear ribosomal DNA. European Journal of Plant Pathology 113:1-14. Choi YW, Kevin DH, Wellcome WHH. 1999. Single spore isolation of fungi. Fungal Diversity 3:29-38. Crous PW, Slippers B, Wangfield MJ, Rheeder J, Marasas WFO, Phillips AJL, Alves A, Burgess T, Barber P, Groenewald JZ. 2006. Phylogenetics lineages in Botryospaeriacea. Studies in Mycology 55:239-257. Darmono TW, Ilyas J, Dwi AS. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74:87-96 [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Data luas panen, produksi dan produktivitas tanaman hortikultura Tahun 20005–2007. Dalam www. deptan.go.id. Diakses tanggal 10 April 2009. Domsch KH, Gams W, Anderson TH. 1980a. Compendium of Soil Fungi Vol 2. London: Academic Press. Edel, V. 1998. Polymerase chain reaction in mycology: an overview. Di dalam: Bridge PD et al. (editor). Applications of PCR in Mycology. United Kingdom: CAB International. p. 1 – 20. Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor. 1983. Phytophthora: Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. St Paul, Minnesota: APS Press. Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Minnesota: APS Press.
Phytophthora Disease Worldwide. St Paul,
46 Flynn PH. 1994. Plant Disease Diagnosis. Di dalam: Glenda DW, editor. Biotechnology Information Series. Iowa: Office of Biotechnology, Iowa State University. Godwin R, Mchau A, Coffey MD. 1994. Isozyme diversity in Phytophthora palmivora evidence for Southeast Asian center of origin. Mycological Research 98:1035-1043. Graham JH, Timmer LW. 1992. Phytophthora Disease of Citrus. Di dalam: Kumar J, Chaube HS, Singh US, Mukhopodhy AN, editor. Plant Disease of International Importance Vol III Disease of Fruit Crops. New Jersey: Prentice Hall. hlm 33-39. Graham JH, Timmer LW, Drouillard D, Peever TL. 1998. Charactherization of Phytophthora spp. causing outbreaks citrus brown rot in Florida. Phytopathology 88:724-729. Ho HH, JY Lu. 1997. A synopsis of the occurrence and patgogenicity of Phytophthora species in mainland China. Mycopathologia 138:143-161. Ippolito A, Leonardo S, Franco N. 2002. Detection of Phytophthora nicotianae and P. citrophthora in roots and soils by nested PCR. European Journal of Plant Pathology 108:855-868. Khan IA. 2007. Citrus Genetics, Breeding and Biotechnology. Washington DC: CAB International. Leoni C, R Ghini. 2005. Sewage sludge effect on management of Phytophthora nicotianae in citrus. 2006. Crop protection 25:10-22. Lutz A, Menge J. 1986. Citrus root health II: Phytophthora root rot. Citrograph 72:33-39. Ma Z, Themis JM. 2006. Approaches for eliminating PCR inhibitors and designing PCR primers for the detection of phytopathogenic fungi. Crop Protection 26:145-161. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1997. Brock, the Biology of Microorganism. Ed ke-8. New Jersey: Prentice Hall. Manohara, D. and N. Sato. 1992. Morphological and physiological observation on the Phytophthora isolates from black pepper. Industrial Crops Research Journal 4:14-19. McPherson MJ, Oliver RJ, Gurr SJ. 1992. The Polymerase Chain Reaction. Di dalam Gurr SJ, McPherson MJ, Bowles DJ, editor. Moleculer Plant Pathology Vol 1 a Practical Approach. Oxford: Oxford University Press. hlm 123-145. Mehrotra RS, Ashok A. 2003. Plant Pathology. Ed ke-2. New Delhi: Tata McGraw-Hill. Motulo HFJ. 2000. Keragaman genetik beberapa isolat Phytophthora palmivora penyebab gugur buah kakao berdasarkan penanda random amplified polymorphic DNA (RAPD) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
47 Motulo HFJ, Meity SS, Alex H, Gede S, Hajrial A. 2007. Karakter morfologi dan molekuler isolat Phytophthora palmivora asal kakao dan kelapa. Jurnal Littri 3:111-118. Mullis KB, Faloona FA, Scharf SJ, Saiki RK, Horn GT, Erlich HA. 1986. Specific enzimatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Symp Quant Biol 51:263-273. Naqvi SAMH. 2004. Disease of Fruit and Vegetables: Diagnosis and Management. Vol II. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers. Orozco-Castillo C. Chalmers KJ, Waugh R, Powell W. 1994. Detection of genetic diversity and selective gene introgession in coffee using RAPD markers. Theoretical and Applied Genetics 89:934-938. Phillips AJL, IC Rumbos, A Alves dan A Correia. 2005. Morphology and phylogeny of Botryosphaeria dothidea causing fruit rot of olives. Mycopathologia 159:433-439. Phillips AJL. 2002. Anamorph genera associated with Botryosphaeria. Centro de Recursos Microbiológicos, Faculdade de Ciências e Tecnologia, Universidade Nova de Lisboa, 2829-516 Caparica, Portugal. Ploetz RC. 2003. Disease of International.
Tropical Fruit Crops. Washington DC: CAB
Ristaino JB, Madritch M, Trout CL, Parra G. 1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied and Environmental Microbiology 64:948-954. Rychlick W. 1995. Selection of primer for polymerase chain reaction. Molecular Biotechnology 3:129-134. Sato T, Yumi I, Keisuke T, Satoshi T, Atsushi O, Kazuko T. 2008. Black band of Jew’s marrow caused by Lasiodiplodia theobromae. Journal of General Plant Pathology 74:91-93. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Silvar C, JM Duncan, DEL Cooke, NA William, J Diaz, F Merino. 2005. Development of specific primers for identification and detection of Phytophthora capsici Leon. European Journal of Plant Pathology 112:4352. Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta. Siviero A, Mariangela C, Edson LF, Antonio AFG, Alexandre SGC, Marcos AM. 2006. Identification of QTLs associated with citrus resistance to Phytophthora gummosis. Journal of Applied Genetics 47:23-28. Slippers B, Greg IJ, Pedro WC, Teresa AC, Brenda DW, dan Michael JW. 2005. Phylogenetic and morphological re-evoluation of the Botryosphaeria species causing disease of Mangifera indica. Mycologia 97:99-110.
48 Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evalutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution 10.1093/molbev/msm092. Taylor GR. 1991. Polymerase Chain Reaction Di dalam: McPherson MJ, P Quirke, Taylor GR, editor. PCR Basic Principles and Automation. Oxford: Oxford University Press. hlm 1 – 14. Thompson JD et al. 1997. The Clustal X Windows Interface: flexible strategies for multiple sequence alignment aided by quality analysis tools. Nucleid Acids Research 24:4876-4882. Timmer LW, SM Garnsey, JH Graham. 2000. Compendium of Citrus Disease. Ed ke-2. Minnesota: APS Press. Toruan-Mathius N, T Hutabarat, D Suhendi. 1997. The use of RAPD to evaluate genetic variability of hybrid parent in Theobromae cacao L. Plants Menara Perkebunan 65:53-63. Vial A, Bernardo AL, Juan O. Characterization of Phytophthora citrophthora and P. inundata associated to foot and root rot of citrus trees in Chile. 2006. Cien. Inv. Agr. 33:173-184. Wahyuno D, Dyah M, Dwi NS. 2007. Variasi morfologi dan virulensi Phytophora capsici asal lada. Buletin Plasma Nutfah 13:70-80. Waller JM, JM Lenne’, SJ Waller. 2002. Plant Pathologist’s Pocketbook. Ed ke-3. New York: CABI Publishing. Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morfologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-2. United State of america: CRC Press. Wet JD, Bernard S, Oliver P, Brenda DW, dan Michael JW. 2008. Phylogeny of the Botryosphaeriaceae reveals patterns of host association. Molecular Phylogenetics and Evolution 46:116-126. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and Direct Sequencing of Fungal Ribosomal RNA Genes for Phylogenetics. Di dalam: Innis MA, (editor). PCR Protocols: a Guide to Methods and Application. San Diego: Academic Press. hlm 315-322. Zadoks JC, Schein RD. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford: Oxford University Press.
49 Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) No Bahan
Takaran
1
Kentang
200 g
2
Dekstrosa
15 g
3
Agar
20 g
4
Air steril
1000 ml
200 g kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong direbus dalam 1000 ml air steril dan dididihkan sampai empuk. Air hasil rebusan disaring dan ditambahkan air steril lagi hingga volumenya menjadi 1 L, kemudian 15 g dextrosa dan 20 g agar dimasukkan ke dalamnya dan diautoklaf. Dextrosa dapat diganti dengan sukrosa untuk merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan.
Lampiran 2 Komposisi Medium V8 Agar (1 liter) No Bahan
Takaran
1
V8 jus
200 ml
2
Agar
20 g
3
CaCO3
3g
4
Air steril
800 ml
Media ini digunakan untuk membantu pertumbuhan merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan sebagai pengganti PDA. 200 ml sari V8 jus, 3 g CaCO3, 20 g agar dicampurkan dengan 800 ml air steril. pH-nya diatur 7 – 7.5 dengan cara mengatur banyaknya jus yang dipakai atau diberikan CaCO3. Jika sari mengandung banyak serat, sebaiknya disentrifius dan disaring terlebih dahulu dengan kertas saring.
50 Lampiran
1.
2.
3.
4. 5. 6. 7. 8.
9.
3
Protokol penyiapan (AVRDC Mycology 2000)
inokulum
Phytophthora
Tumbuhkan Phytophthora pada medium V8 jus agar. Pindahlan 7 mm potongan miselial ke bagian tengan cawan petri diameter 9 cm dan inkubasi pada 28 oC dengan lampu yang tetap menyala selama 4 hari. Potong setiap kultur agar menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama menggunakan pisau steril; pindahkan setiap potongan pada cawan petri baru yang steril dan potong menjadi beberapa bagian berbentuk kotak berukuran ± 0,5 cm2. Tambahkan air steril sampai menutupi agar block dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam; tuang airnya dan ganti dengan 18 ml air steril sampai menutupi seluruh permukaan agar block. Inkubasi selama 24 jam pada 28 oC dengan lampu yang tetap menyala untuk pembentukan sporangia. Pindahkan lagi ke incubator (4 oC) selama 2 jam untuk inisiasi pembentukan zoospora. Kembalikan lagi pada incubator yang tetap menyala suhu 28 oC selama 1 jam untuk pelepasan zoospora. Tuang suspensi zoospora dan jika diperlukan cuci agar block untuk mendapatkan zoospora baru yang lebih besar (menggunakan cheese cloth). Pindahkan suspensi sampel yang representatif ke haemocytometer dan panaskan slide pada pemanas (50 oC selama 1 menit) dengan tujuan agar zoospora menjadi tidak bergerak sehingga mudah dihitung. Sediaan suspensi zoospora harus disimpan di tempat yang dingin atau dalam air dingin.
51 Lampiran 4
Cara kalibrasi mikrometer okuler dan objektif pada mikroskop binokuler
1 skala mikrometer objektif = 0,01 mm atau 10 µm;
sedangkan
1 skala okuler = Jarak yang diketahui antara 2 garis pada mikrometer objektif Jarak skala pada mikrometer okuler = 0,01 x skala objektif skala okuler
(dalam mm)
= 10
(dalam µm)
x skala objektif skala okuler
Lampiran 5 Sistem klasifikasi Saccarado (Barnett & Hunter 1998) SPHAEROPSIDALES 1a. Conidia globose to oblong or ellipsoid, not filiform…………………………2 1b. Conidia filiform, at least several times longer than wide, 1-to several-celled (scolecosporous)…………………………………………………………….62 2a. Conidia 1-celled……………………………………………..........................3 2b. Conidia typically 2-celled…………………………………………………..45 2c. Conidia typically 3-to several-celled……………………………………….52 45a. Conidia hyaline……………………………………………………………..46 45b. Conidia with distinct dark pigment………………………………………...51 51a. Pycnidia separate, not in stroma……………………..........................Diplodia 51b. Pycnidia clustered in stroma…………………………………..Botryodiplodia
52 Lampiran 6
Pertumbuhan koloni Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada suhu kamar (25 – 30 oC)
Asal Isolat Berastagi (3 HSI)
Kampar (3 HSI)
Muaro Jambi (3 HSI)
Tulang Bawang Barat (3 HSI)
Garut (3 HSI)
Jember (4 HSI)
Permukaan atas
Permukaan bawah
53 Lampiran 6 (Lanjutan) Batu - Malang (3 HSI)
Bangli (7 HSI)
TTS (3 HSI)
Banjarbaru (3 HSI)
Banjarmasin(3 HSI)
54 Lampiran 7 Konidia B. theobromae (perbesaran 100x dan 400x pada mikroskop binokuler) Asal Isolat Berastagi
Kampar
Muaro Jambi
Tulang Bawang Barat
Garut
Jember
Hasil Foto Mikroskopis
55 Lampiran 7 (Lanjutan) Batu - Malang
Bangli
TTS
Banjarbaru
Banjarmasin
56 Lampiran 8
Hasil perunutan nukleotida sepuluh isolat B. theobromae (format contiq)
Banjarbaru 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541
TTGATATGCT TCAGAAGGTT CTTGAGGGCT CCAATTCCAA ACCAAGGGGC TACTTATCGC AGTTTTAGTT CCTTTGGCGG AGCCGGAGCT ACGACTTTTA
TAAGTTCAGC CGTCCGGCGG GAACAGCCAC GCAGAGCTTG GCAATGTGCG ATTTCGCTGC TATTAACTTG CCGGAGCCGC CGAAAACTCG CTTCC
GGGTATCCCT GCGACGCCAA CGCCGAGGTC AGGGTTGTAA TTCAAAGATT GTTCTTCATC TTTATCAGAC CAAAGCAACA GTAATGATCC
ACCTGATCCG CCGCTCCAAA TTTGAGGCGC TGACGCTCGA CGATGATTCA GATGCCAGAA GTCTGCGTTT GAGGTACGTT TTCCGCAGGT
AGGTCAACCT GCGAGGTGTA GTCCGCAGTG ACAGGCATGC CTGAATTCTG CCAAGAGATC ACTGACTGGA CACAAAGGGT TCACCTACGG
TGAGAAAAGT TTCTACTACG AGGACGGTGC CCCCCGGAAT CAATTCACAT CGTTGTTGAA GTTTGAAGGT GGGAGAGTCG AAACCTTGTT
GATATGCTTA AGAAGGTTCG TGAGGGCTGA AATTCCAAGC CAAGGGGCGC CTTATCGCAT TTTTAGTTTA TTTGGCGGCC CCGGAGCTCG GA
AGTTCAGCGG TCCGGCGGGC ACAGCCACCG AGAGCTTGAG AATGTGCGTT TTCGCTGCGT TTAACTTGTT GGAGCCGCCA AAAACTCGGT
GTATCCCTAC GACGCCAACC CCGAGGTCTT GGTTGTAATG CAAAGATTCG TCTTCATCGA TATCAGACGT AAGCAACAGA AATGATCCTT
CTGATCCGAG GCTCCAAAGC TGAGGCGCGT ACGCTCGAAC ATGATTCACT TGCCAGAACC CTGCGTTTAC GGTACGTTCA CCGCAGGTTC
GTCAACCTTG GAGGTGTATT CCGCAGTGAG AGGCATGCCC GAATTCTGCA AAGAGATCCG TGACTGGAGT CAAAGGGTGG ACCTACGGAA
AGAAAAGTTC CTACTACGCT GACGGTGCCC CCCGGAATAC ATTCACATTA TTGTTGAAAG TTGAAGGTCC GAGAGTCGAG ACCTTGTTAC
TTGATATGCT TCAGAAGGTT CTTGAGGGCT CCAATTCCAA ACCAAGGGGC TACTTATCGC AGTTTTAGTT CCTTTGGCGG AGCGTTCACA GCAGGTTCAC
TAAGTTCAGC CGTCCGGCGG GAACAGCCAC GCAGAGCTTG GCAATGTGCG ATTTCGCTGC TATTAACTTG CCGGAGCCGC AAGGGTGGGA CTACGGAAAC
GGGTATCCCT GCGACGCCAA CGCCGAGGTC AGGGTTGTAA TTCAAAGATT GTTCTTCATC TTTATCAGAC CAAAGCAACA GAGTCGAGCC CTTGTTACGA
ACCTGATCCG CCGCTCCAAA TTTGAGGCGC TGACGCTCGA CGATGATTCA GATGCCAGAA GTCTGCGTTT GAGGTACGTT GGAGCTCGAA
AGGTCAACCT GCGAGGTGTA GTCCGCAGTG ACAGGCATGC CTGAATTCTG CCAAGAGATC ACTGACTGGA CACAAAGGGT AACTCGGTAA
TGAGAAAAGT TTCTACTACG AGGACGGTGC CCCCCGGAAT CAATTCACAT CGTTGTTGAA GTTTGAAGGT GGGAGAGTCG TGATCCTTCC
CGAGGTGTAT TCCGCAGTGA CAGGCATGCC TGAATTCTGC CAAGAGATCC CTGACTGGAG ACAAAGGGTG
TCTACTACGC GGACGGTGCC CCCCGGAATA AATTCACATT GTTGTTGAAA TTTGGAGGTC GGAGAGTCGA
TTGAGGGCTG CAATTCCAAG CCAAGGGGCG ACTTATCGCA GTTTTAGTTT CTTTGGCGGC GCCGAAAACT
AACAGCCACC CAGAGCTTGA CAATGTGCGT TTTCGCTGCG ATTAACTTGT CGGAGCCGCC CGGTAATGAT
GCCGAGGTCT GGGTTGTAAT TCAAAGATTC TTCTTCATCG TTATCAGACG AAAGCAACAG CCTTCCGCAG
TTGAGGCGCG GACGCTCGAA GATGATTCAC ATGCCAGAAC TCTGCGTTTA AGGTACGTTC GTTCACCTAC
TCAGCGGGTA GGCGGGCGAC GCCACCGCCG GCTTGAGGGT GTGCGTTCAA GCTGCGTTCT ACTTGTTTAT GCCGCCAAAG ACTCGGTAAT
TCCCTACCTG GCCAACCACT AGGTCTTTGA TGTAATGACG AGATTCGATG TCATCGATGC CAGACGTCTG CAACAGAGGT GATCCTTCCG
ATCCGAGGTC CCAAAGCGAG GGCGCGTCCG CTCGAACAGG ATTCACTGAA CAGAACCAAG CGTTTACTGA ACGTTCACAA CAGGTTCACC
AACCTTGAGA GTGTATTCTA CAGTGAGGAC CATGCCCCCC TTCTGCAATT AGATCCGTTG CTGGAGTTTG AGGGTGGGAG TACGGAAACC
AAAGTTCAGA CTACGCTTGA GGTGCCCAAT GGAATACCAA CACATTACTT TTGAAAGTTT GAGGTCCTTT AGTCGAGCCG TTGTTAC
Berastagi 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541
Garut 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541
Jember 1 61 121 181 241 301 361
Muaro Jambi 1 61 121 181 241 301 361 421 481
TTGCTTAAGT AGGTTCGTCC GGGCTGAACA TCCAAGCAGA GGGGCGCAAT ATCGCATTTC TAGTTTATTA GGCGGCCGGA AAGCCCGAAA
57 Lampiran 8 (Lanjutan) Bangli 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541
TTGATATGCT TCAGAAGGTT CTTGAGGGCT CCAATTCCAA ACCAAGGGGC TACTTATCGC AGTTTTAGTT CCTTTGGCGG AGCCGGAGCT ACGACT
TAAGTTCAGC CGTCCGGCGG GAACAGCCAC GCAGAGCTTG GCAATGTGCG ATTTCGCTGC TATTAACTTG CCGGAGCCGC CGAAAACTCG
GGGTATCCCT GCGACGCCAA CGCCGAGGTC AGGGTTGTAA TTCAAAGATT GTTCTTCATC TTTATCAGAC CAAAGCAACA GTAATGATCC
ACCTGATCCG CCGCTCCAAA TTTGAGGCGC TGACGCTCGA CGATGATTCA GATGCCAGAA GTCTGCGTTT GAGGTACGTT TTCCGCAGGT
AGGTCAACCT GCGAGGTGTA GTCCGCAGTG ACAGGCATGC CTGAATTCTG CCAAGAGATC ACTGACTGGA CACAAAGGGT TCACCTACGG
TGAGAAAAGT TTCTACTACG AGGACGGTGC CCCCCGGAAT CAATTCACAT CGTTGTTGAA GTTTGAAGGT GGGAGAGTCG AAACCTTGTT
TTTGATATTA TGATATGCTT CAGAAGGTTC TTGAGGGCTG CAATTCCAAG CCAAGGGGCG ACTTATCGCA GTTTTAGTTT CTTTGGCGGC GCCGAAGCCC AC
AAAGTCGTAA AAGTTCAGCG GTCCGGCGGG AACAGCCACC CAGAGCTTGA CAATGTGCGT TTTCGCTGCG ATTAACTTGT CGGAGCCGCC GAAAACTCGG
CCAAGGCAAC GGTATCCCTA CGACGCCAAC GCCGAGGTCT GGGTTGTAAT TCAAAGATTC TTCTTCATCG TTATCAGACG AAAGCAACAG TAATGTATCC
CTTCCGACTT CCTGATCCGA CGCTCCAAAG TTGAGGCGCG GACGCTCGAA GATGATTCAC ATGCCAGAAC TCTGCGTTTA AGGTACGTTC TTCCGCAGGT
CGGGATTTTC GGTCAACCTT CGAGGTGTAT TCCGCAGTGA CAGGCATGCC TGAATTCTGC CAAGAGATCC CTGACTGGAG ACAAAGGGTG TCACCTACGG
CACCCTTTTT GAGAAAAGTT TCTACTACGC GGACGGTGCC CCCCGGAATA AATTCACATT GTTGTTGAAA TTTGGAGGTC GGAGAGTCGA AAACCTTGTT
TTCAGCGGGT CGGCGGGCGA AGCCACCGCC AGCTTGAGGG TGTGCGTTCA CGCTGCGTTC AACTTGTTTA AGCCGCCAAA AACTCGGTAA
ATCCCTACCT CGCCAACCGC GAGGTCTTTG TTGTAATGAC AAGATTCGAT TTCATCGATG TCAGACGTCT GCAACAGAGG TGATCCTTCC
GATCCGAGGT TCCAAAGCGA AGGCGCGTCC GCTCGAACAG GATTCACTGA CCAGAACCAA GCGTTTACTG TACGTTCACA GCAGGTTCAC
CAACCTTGAG GGTGTATTCT GCAGTGAGGA GCATGCCCCC ATTCTGCAAT GAGATCCGTT ACTGGAGTTT AAGGGTGGGA CTACGGATAC
AAAAGTTCAG ACTACGCTTG CGGTGCCCAA CGGAATACCA TCACATTACT GTTGAAAGTT GAAGGTCCTT GAGTCGAGCC CTTGT
TTCAGCGGGT CGGCGGGCGA AGCCACCGCC AGCTTGAGGG TGTGCGTTCA CGCTGCGTTC AACTTGTTTA AGCCGCCAAA AACTCGGTAA
ATCCCTACCT CGCCAACCGC GAGGTCTTTG TTGTAATGAC AAGATTCGAT TTCATCGATG TCAGACGTCT GCAACAGAGG TGATCCTTCC
GATCCGAGGT TCCAAAGCGA AGGCGCGTCC GCTCGAACAG GATTCACTGA CCAGAACCAA GCGTTTACTG TACGTTCACA GCAGGTTCAC
CAACCTTGAG GGTGTATTCT GCAGTGAGGA GCATGCCCCC ATTCTGCAAT GAGATCCGTT ACTGGAGTTT AAGGGTGGGA CTACGGAAAC
AAAAGTTCAG ACTACGCTTG CGGTGCCCAA CGGAATACCA TCACATTACT GTTGAAAGTT GAAGGTCCTT GAGTCGAGCC CTTGTTA
AAGGTTCGTC AGGGCTGAAC TTCCAAGCAG AGGGGCGCAA TATCGCATTT TTAGTTTATT TGGCGGCCGG GGAGCTCGAA
CTACCTGATC AACCGCTCCA TCTTTGAGGC AATGACGCTC TTCGATGATT TCGATGCCAG ACGTCTGCGT CAGAGGTACG ACCTACGGAA
CGAGGTCAAC AAGCGAGGTG GCGTCCGCAG GAACAGGCAT CACTGAATTC AACCAAGAGA TTACTGACTG TTCACAAAGG ACCTTGTTAC
CTTGAGAAAA TATTCTACTA TGAGGACGGT GCCCCCCGGA TGCAATTCAC TCCGTTGTTG GAGTTTGAAG GTGGGAGAGT GACTTTTACT
GTTCAGAAGG CGCTTGAGGG GCCCAATTCC ATACCAAGGG ATTACTTATC AAAGTTTTAG GTCCTTTGGC CGAGCCGGAG TCC
TTCGTCCGGC CTGAACAGCC AAGCAGAGCT GCGCAATGTG GCATTTCGCT TTTATTAACT GGCCGGAGCC CATGATCCTT
GGGCGACGCC ACCGCCGAGG TGAGGGTTGT CGTTCAAAGA GCGTTCTTCA TGTTTATCAG GCCAAAGCAA CCGCAGGTTC
Kampar 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601
Tulang Bawang Barat 1 61 121 181 241 301 361 421 481
TATGCTTAAG AAGGTTCGTC AGGGCTGAAC TTCCAAGCAG AGGGGCGCAA TATCGCATTT TTAGTTTATT TGGCGGCCGG GGAGCTCGAA
Batu - Malang 1 61 121 181 241 301 361 421 481
TTS 1 61 121 181 241 301 361 421 481
58 Lampiran 9 Hasil penjajaran nukleotida isolat penelitian dan isolat dari GeneBank Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCACTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA -----------CGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA CCGCTCCAAAGCGAGG--------TGTATTCTACTACGCTTGAGGGCTGA TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGCTC-------------------------CGG------TTGCTTTGGCGGGCCGCGGTCCTCCGCACCGGCGCCCTTCGGGGGGCTGG TTGCTTTGGCGGCTC----TTTGCCGCGAGGAGGCCCTCGCGGGCCCCCC GCGTTAATTGGTCTTGGTGCCATGCGAAAAACATGTGGATCGTGGGCTAT *
132 128 130 132 118 127 191 31 132 104 103 101 103 105 93 101 118 109 104 183
ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ACAGC----CACCGCCGAGGTCTTTGAGGCGCGTCCGCAGTGAGGACGGT ----------CCGCCAAAGGACCTTCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTTCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTTCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTCCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTCCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTCCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC ----------CCGCCAAAGGACCTTCAAACTCCAGTCAGTAAACGCAGAC CCAGCGC---CCGCCAGAGGACCATAAAACTCCAGTCAGTGAACTTCGCA CGCGCGCTTTCCGCCAGAGGACCTTCAAACTCCAGTCAGTAAACGTCGAC GTGACCC--CTCTGTGGGGGGTATTTTGTCGCGAACTTGGAGATTTGGCT * ** * * * *
178 174 176 178 164 173 237 77 178 150 143 141 143 145 133 141 158 156 154 231
59 Lampiran 9 (Lanjutan)
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GCCCAATTCCAAGCAGAGCTTGAGGGTTGTAATGACGCTCGAACAGGCAT GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGAAAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GTCTGATAAAC-----AAGTTAA----TAAACTAAAACTTTCAACAACGG GATGGATATATTATATAGATAAA----CAAAATACAACTCTTAGCAATGG * * * * * * * ** *
228 224 226 228 214 223 287 127 228 200 184 182 184 186 174 182 199 197 195 277
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 278 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 274 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 276 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 278 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 264 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 273 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 337 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 177 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 278 GCCCCCCGGAATACCAAGGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT 250 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 232 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 230 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 232 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 234 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 222 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 230 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 247 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 245 ATCTCTTGG--TTCTGGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGT 243 ATATCTTGG--TTCCCACAACGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATACGT 325 * ** * * * * ** * ** **** *
60 Lampiran 9 (Lanjutan)
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC CAC-TGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTC AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGTGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATT AATGCGAATTGCAGAATTCA-GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCAAGTT * ***** ****** * * * **** ** * ** *
327 323 325 327 313 322 386 226 327 299 281 279 281 283 271 279 296 294 292 374
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA ATCGATGCCAGAA--CCAAGAGATCCGTTGTTGAAAGTTTTAGTTTATTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGGGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCCCCTTGGTATTCCGAGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTT GCGCCCCTTGGCATTCCGAGGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCA-----TTA GCGCTTTCGAGAGCCCTCGGAAGCATGCCTCTCTGAGTATCGGTTT-CTA * * * * * ** * *
375 371 373 375 361 370 434 274 375 347 326 324 326 328 316 324 341 339 337 423
61 Lampiran 9 (Lanjutan)
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGGAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGGAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGGAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ACTTGTTTATCAGACGTCTGCGTTTACTGACTGGAGTTTGAAGGTCCTTT ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGAATTGGGCACCGTCCTCACTGCG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGTATTGGGCCCCGTCCTCC--ACG ---CAACCCTCAAGCTC---TGCTTGGTATTGGGCGCCGTCCTCTCTGCG ---TATCTCTCACACTGGTGTGCTGGAGAATGGGAGTTGCTGCACCTCTC *** * * * **
425 421 423 425 411 420 484 324 425 397 370 368 370 372 360 368 385 381 381 470
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGGGA GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GGCG-GCCGGAGCCGCCAAAGCAACAGAGGTACGTTCACAAAGGGTGG-GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTCAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTTGAAGACCTCGGCGGTGGCGTCTTG--CCTCAAGCGTAGTA GACGCGCCTTAAAGACCTCGGCGGTGGCTGTTCAGCCCTCAAGCGTAGTA TGCATCTCCTGAAGTCAACGTCGGCCGAAGTCCA----TCGGGT-----* * * * * *
474 468 470 472 458 467 531 371 472 444 420 418 420 422 410 418 435 429 431 510
62 Lampiran 9 (Lanjutan)
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
GAGTCGAGCGTTCACAAAGGGTGGGAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGAAGCCCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGAAGCCCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGAA-------AACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGCTCGAAAACT ------------------------GAGAGTCGAGCCGGAGC--------GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGCGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGCGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGCGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGTGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGTGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGTGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGCGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG GAAAA-------CACCTCGCTTTGGAGCGCACGGCGTCGCCCGCCGGACG GAATA-------CACCTCGCTTTGGAGCGGTTGGCGTCGCCCGCCGGACG -------------------TCTTGGAACG------ATAATCCGTC--ATG ** *
524 494 496 498 484 493 557 390 498 461 463 461 463 465 453 461 478 472 474 533
Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_merant BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerld_gandm
CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGA--CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGATACCTTGT-------CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGA--CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTCGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTA-----CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTAC----CGGTAATGTATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTAC----CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTAC------------------CGGTAATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTT -----ATG-ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTT AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTT-CTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGGGATACCC AACCTTTGAATTATTTCTCAAGGTTGACCTCGGATCAGGTAGG------AACCTTCTGAACTTTTCTCAAGGTTGACCT-------------------G--CGCCCAAACCATACACACAA--GATCTCAGATGAGGTAAGACTACCC * * * **
570 535 542 546 527 537 602 420 547 505 513 511 513 515 502 511 528 515 504 579
63 Lampiran 9 (Lanjutan) Garut Tulang BawangBarat Berastagi Bangli Batu-Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru TTS L_Malaysia_jeruk BR_China_nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerland_gandum
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------TTACTTCC------------------------TTACTTCC------------------------GCTGAACTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGAA GCTGAACTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGAGCTGAACTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGAA GCTGAACTTAAGCATATCAATAAGGCGGAGGAA GCTGAACTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGAGCTGAACTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGAGCTGAACTTAA-------------------------------------------------------------------------------------GCCGAATTTAAGCATATCAATAAG-CGGAGGA-
555 513 545 542 545 548 533 542 539 610