Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
IDENTIFIKASI ADOPSI TEKNOLOGI PADA PETERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN SEMARANG (Identification of Technological Adoption by Dairy Cattle Farmers at Semarang Regency) Wiludjeng Roessali, Eddy BT, Marzuki S Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang Semarang
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study was to identify the technology adoption on dairy farming and the perception of farmer on technological needs in Semarang Regency. A survey was done at purposively selected 2 districts, namely Getasan and Ungaran Barat. Respondents were selected at random from two farmers groups at each sub-district of 15 respondents per farmers group, so that the total number of the respondents was 60. Farmer needs on technologies were assessed using scores. Data were analyzed descriptively. Results showed that there were six technologies already known by the farmers, namely artificial insemination (AI), roughage fermentation, complete feed, composting, bio-urine and biogas. All the technologies were needed by the farmers in some levels of acceptance and application. All of the farmers stated that they need the AI, most of the farmers (71.6%) stated that they need both silage and complete feed, while 51.67% of them stated that they did not need complex technology composting yet, but they already applied simple composting technology on their farming. Although, 56.67 and 71.67% of the farmers stated that they need technology of bio-urine and biogas respectively. The constraints of application of compost technology was lack of number of animals and lack of labor, whereas the constraint in application of bio-urine and biogas technology were the cost limitation in supporting installation of construction. Key Words: Technology Adoption, Dairy Cattle ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi adopsi teknologi dan persepsi peternak sapi perah terhadap teknologi yang dibutuhkan di Kabupaten Semarang. Survei dilakukan di dua kecamatan terpilih secara purposif, masing-masing Kecamatan Getasan dan Ungaran Barat. Responden dipilih secara acak dari dua kelompok peternak di setiap lokasi, 15 responden untuk setiap kelompok dengan total responden 60 orang kebutuhan peternak akan teknologi dikaji secara skoring dan data dianalisis secara deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa terdapat enam teknologi yang sudah diketahui peternak, yaitu perkawinan IB, fermentasi hijauan, pakan lengkap, pengomposan, pembuatan biourin dan biogas. Semua teknologi tersebut diperlukan peternak untuk begerapa tingkat penerimaan dan aplikasi. Sebagian peternak (71,6%) menyatakan bahwa teknologi IB, pakan lengkap dan pengomposan diperlukan serta secara konsisten menerapkannya pada peternakan. sebagian peternak menyatakan perlu teknologi pengomposan, biourin dan biogas masing-masing sebesar 51,6; 56,7 dan 71,7%. Hal ini tidak dapat diimplementasikan secara rutin. Kendala dalam mengaplikasikan teknologi pengomposan adalah terbatasnya pemilikan ternak dan kurang tenaga kerja sedangkan pada teknologi biourin dan biogas adalah terbatasnya biaya untuk membangun instalasi. Kata Kunci: Adopsi Teknologi, Sapi Perah, Biourin, Biogas
PENDAHULUAN Sampai saat ini kebutuhan susu di Indonesia masih belum terpenuhi. pertumbuhan produksi susu secara rata-rata negatif, sementara pertumbuhan konsumsi susu menunjukkan
peningkatan, yaitu rata-rata 41,39%. Perkembangan konsumsi di sektor peternakan khususnya sapi perah memegang peranan sangat penting bagi masyarakat. Peningkatan konsumsi susu diharapkan menjadi peluang dalam mengembangkan agribisnis persusuan.
227
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Perkembangan populasi sapi perah Jawa Tengah tahun 2007-2011 meningktat dari 115.158 ekor menjadi 149.931 ekor atau naik dengan laju rata-rata 7,16% per tahun. Tahun 2012 Kabupaten Semarang menempati urutan kedua dengan populasi sebanyak 36.952 ekor sesudah Kabupaten Boyolali yang mempunyai populasi sebanyak 87.793 ekor (Dinakkeswan Jateng. 2012). Kecamatan Getasan dan Kecamatan Ungaran Barat merupakan dua lokasi sentra peternakan penghasil susu. Meningkatkan produksi dan pendapatan merupakan tujuan utama dari usaha sapi perah. Adopsi teknologi merupakan suatu jembatan dalam upaya meningkatkan produktivitas suatu usaha. Demikian juga pada usaha sapi perah, peternak harus dapat mengadopsi teknologi yang secara empiris dapat meningkatkan produktivitas ternak. Teknologi reproduksi telah berkembang dan menjadi kebutuhan pada usaha sapi perah. Teknologi pakan merupakan kebutuhan teknologi yang paling prioritas bagi peternak utamanya teknologi complete feed dan formulasi ransum (Baba et al. 2011). Pada umumnya usaha ternak hanya merupakan usaha sampingan, usaha utama umumnya adalah bidang pertanian tanaman pangan. Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacang, dan limbah pertanian lainnya. Haryanto (2009) menyebutkan komponen teknologi yang harus dikuasai oleh petani dalam sistem integrasi tanaman dan ternak adalah teknologi pengolahan limbah yaitu teknologi pengolahan jerami padi sebagai pakan ternak, pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk (pupuk kandang dan pupuk cair) dan biogas. Suatu teknologi akan diadopsi oleh masyarakat pengguna jika teknologi tersebut memberi manfaat yang lebih tinggi atau nilai tambah relatif yang diperoleh bila suatu teknologi diadopsi (Fliegel et al. 1971; Musyafak dan Ibrahim 2005). Suatu inovasi teknologi diadopsi akan menyebar ke petani lain atau calon adopter apabila teknologi tersebut dapat memberikan dampak positif yaitu keuntungan bagi penggunanya. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi yaitu: 1) adanya pihak lain yang telah mengadopsi; 2) adanya proses
228
adopsi yang berjalan sistematis, sehingga dapat diikuti oleh calon adopter; dan 3) adanya hasil adopsi yang menguntungkan (Soekartawi 2005). Proses adopsi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adoption), konfirmasi (confirmation) (Mundy 2000). Beberapa aspek yang memberikan andil terhadap akselerasi adopsi diindikasikan oleh Hendayana (2011) adalah faktor kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektifnya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya pelibatan penyuluh di lapangan. Rogers (1983) mengemukakan kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan persepsi petani terhadap sifatsifat inovasi itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk identifikasi tingkat adopsi teknologi dan persepsi peternak sapi perah terhadap kebutuhan teknologi dan untuk meningkatkan nilai tambah usaha ternaknya. MATERI DAN METODE Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja pada Kecamatan Getasan dan Kecamatan Ungaran Barat yang merupakan dua wilayah dengan populasi sapi perah terbanyak pertama dan kedua. Pada masing-masing wilayah dipilih secara sengaja dua kelompok tani ternak (KTT) sapi perah. Terpilih dalam penelitian ini KTT Ngudi Lestari dan KTT Tani Makmur dari Kecamatan Getasan dan KTT Rukun Sentosa I dan KTT Karya Tani dari Kecamatan Ungaran Barat. Responden dipilih secara acak dari masing-masing KTT sebanyak 15 peternak sehingga total responden sebanyak 60 peternak sapi perah. Penelitian survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara sebagai alat bantu pengumpul data pokok. Data meliputi sosio-ekonomi, sosio-psikologi berkaitan dengan kondisi perilaku adopsi dan persepsi peternak terhadap teknologi. Pendekatan penelitian dilakukan melalui pengukuran indikator secara kuantitatif dan kualitatif dan data dianalisis secara deskriptif. Skor digunakan untuk mengukur sejauh mana tingkat adopsi peternak terhadap teknologi peternakan digunakan enam pernyataan yaitu
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
berkaitan dengan mengetahui (menyadari), minat, menilai, mencoba, menerapkan, komitmen. Penentuan skor alternatif jawaban pernyataan dengan metode likert menurut Rollins (1993), yaitu lima skor sebagai alternatif jawaban yang masing-masing mempunyai makna sangat tidak setuju (1); tidak setuju (2); ragu-ragu (3); setuju (4); dan sangat setuju (5). Skor jawaban dari setiap pernyataan dijumlahkan, berdasarkan skor jawaban tertinggi 5 dan skor jawaban terendah 1, diperoleh nilai skor maksimum dan skor minimum masing-masing adalah 30 dan 5. Penilaian kemudian dibagi dalam kategori rendah (≤10), sedang (11-20) dan tinggi (>20). Metode yang sama dengan satu pernyataan untuk mengetahui persepsi peternak terhadap kebutuhan teknologi berdasarkan skala likert 15 yaitu dari sangat tidak dibutuhkan sampai dengan sangat dibutuhkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak Karakteristik peternak sapi perah di lokasi pengkajian relatif beragam, profil responden yang dicirikan umur (tahun), tingkat pendidikan (tahun), tanggungan keluarga (jiwa), pengalaman beternak sapi (tahun) dan penguasaan/pemilikan ternak sapi (ekor) ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan 41,67% peternak berumur 41-50 tahun, berarti responden sebagian besar masih berada pada katagori umur produktif. Pada tingkat umur yang produktif mempunyai kecenderungan seseorang mempunyai etos kerja yang relatif tinggi yang ditunjukkan oleh produktivitas yang tinggi. Selaras dengan Syafaat et al. (1995) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan peternak akan semakin tinggi kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja. Menurut Eddy et al. (2012) meningkatnya umur cenderung meningkat pengetahuan, pengalaman dan keterampilan peternak. Tingkat pendidikan peternak responden relatif masih rendah, sekitar 60% responden masih berpendidikan SD. Kondisi ini dapat menjawab mengapa produktivitas peternak menjadi rendah. Padahal Ban dan Hawkins (1996) menjelaskan bahwa pendidikan membuat petani lebih memahami
permasalahannya dan kemudian memikirkan pemecahannya. Demikian juga, Krasachat (2008) menyebutkan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih efisien, hal tersebut disebabkan keterampilan lebih tinggi, akses terhadap informasi dan perencanaan pertanian lebih baik. Ditinjau dari pengalaman beternak, sebagian besar peternak responden sudah mempunyai pengalaman cukup lama berkisar 16-20 tahun sebanyak 41,67%. Hal ini menunjukkan bahwa peternak telah mengalami berbagai situasi baik yang menguntungkan maupun yang merugikan berkaitan dengan usaha ternak sapi perah. Pengalaman yang relatif cukup lama dapat diindikasikan bahwa dari segi keterampilan, peternak mempunyai kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi perah. Tabel 1. Sosio-demografi peternak responden Identitas
Jumlah (orang)
Usia <30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun >51 tahun Tingkat pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Mata pencaharian Peternak Petani Pedagang Pengalaman beternak 10-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun >26 tahun Jumlah anggota keluarga <3 orang 4-5 orang >6 orang Jumlah ternak (ST) Induk laktasi 1 Induk laktasi 2 Induk laktasi 3 Induk laktasi 4
%
8 9 25 18
13,33 15,00 41,67 30,00
36 13 11
60,00 21,67 18,33
5 52 3
8,33 86,67 5,00
18 25 14 3
30,00 41,67 23,33 5,00
23 29 8 3,02 24 20
38,33 48,33 13,33
14 2
40 33,33 23,33 3,33
229
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Pernyataan senada dikemukakan oleh Sarma dan Ahmed (2011) bahwa peternak dengan pengalaman yang lebih lama akan lebih efisien. Tingkat adopsi dan persepsi masyarakat terhadap teknologi Tingkat adopsi teknologi merupakan proses dinamis yang ditentukan oleh banyak faktor seperti karakteristik sosio-demografi, macam teknologi, situasi dan kondisi petani pengguna (Sinja et al. 2004). Proses adopsi akan diawali dengan mengetahui macam teknologi dan sumber teknologi diperoleh. Berdasarkan macam pengetahuan dan jenis teknologi yang sudah diketahui oleh peternak, terdapat enam teknologi peternakan yang pernah disuluhkan kepada masyarakat peternak. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi Artificial Insemination (AI) atau inseminasi buatan, fermentasi hijauan pakan (silase) dan pakan komplit (silase komplit) atau complete feed, pembuatan pupuk kompos dan urine serta biogas. Identifikasi berdasarkan criteria mengetahui teknologi, dipraktekkan dan diterapkan pada usaha peternakan (Tabel 2). Teknologi AI, rata-rata peternak telah tahu tentang artificial insemination (AI), 100% peternak sudah tahu berdasarkan 3 A (abang, abuh, anget) dan mengeluarkan lendir yang transparan sebagai tanda ternak harus segera dikawinkan. Pelaksanaan AI selalu dilakukan oleh inseminator bukan oleh peternak sendiri tetapi semua peternak menggunakan AI setiap mengawinkan ternak sapinya. Silase adalah teknologi pengawetan tanaman pakan ternak (TPT) yang berasal dari hijauan. Silase dilakukan dengan cara fermentasi hijauan tanaman pakan untuk meningkatkan kualitas hijauan dan untuk kontinuitas ketersediaan pakan pada ternak ruminansia. di musim kemarau sekaligus
memperbaiki kualitas gizi pakan ternak. (Sofyan dan Febrisiantosa 2007). Tabel 2 menunjukkan peternak telah tahu tentang teknologi fermentasi hijauan. Peternak pernah mengikuti penyuluhan tentang cara-cara meningkatkan nilai gizi untuk meningkatkan kualitas hijauan pakan, khususnya dengan menggunakan jerami padi. Sekitar 86,67% peternak pernah mengikuti penyuluhan dan 53,33% pernah melakukan praktek secara berkelompok, namun hanya 5% yang pernah melakukan secara mandiri. Pakan komplit (complete feed) sebenarnya merupakan silase yang dibuat dengan menambahkan beberapa bahan yang berasal dari limbah pertanian dan industri, sehingga disebut silase komplit. Sunarso et al. 2011 mendeskripsikan sebagai kombinasi konsentrat dan serat dalam satu diet. Pembuatan silase komplit dapat dijadikan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan pakan (Sofyan dan Febrisiantosa 2007). Peternak yang sudah mengetahui tentang penggunaan pakan komplit sebanyak 63,33%, mereka menyatakan pernah mengikuti penyuluhan tentang materi ini dan sebanyak 66,67% peternak sudah menerapkan pada aktivitas usaha sapi perahnya. Teknologi pembuatan kompos secara sederhana telah dilakukan secara turun temurun, namun demikian cara pembuatan kompos masih tradisional, yaitu menimbun menyimpan hingga beberapa waktu dianggap baik untuk digunakan sebagai pupuk, dengan atau tanpa penambahan kapur. Semua peternak menyatakan telah melakukan cara ini. Peternak yang mengetahui metode pembuatan pupuk kompos komersil dengan menggunakan bahan pengompos atau effective microorganism misalnya EM4 hanya sekitar 78,33% dan pernah melakukan praktek secara berkelompok, namun hanya 6,67% yang menerapkan dalam usahataninya.
Tabel 2. Jenis-jenis teknologi berdasarkan pengetahuan, praktek dan penerapan (%) Jenis teknologi Artificial Insemination (AI) Pembuatan silase Pakan komplit Pupuk kompos komersil Pupuk urine (biourine) Biogas
230
Mengetahui 100,00 86,67 63,33 78,33 53,33 53,33
Praktek berkelompok 0,00 53,33 40,00 78,33 3,33 3,33
Menerapkan 100,00 5,00 66,67 8,33 3,33 3,33
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Peternak yang menyatakan tahu tentang teknologi pupuk urine dan biogas sebesar 53,33%, namun hanya 3,33% peternak yang telah menerapkan dalam lingkungan usaha. Walaupun teknologi biourie dan biogas telah diketahui tetapi peternak mengaku sulit untuk menerapkan dalam usaha taninya. Hal ini disebabkan karena rata-rata pemilikan ternak sedikit, sedangkan untuk membuat instalasi biogas memerlukan biaya yang cukup besar. Juga kontinuitas kotoran yang harus disediakan harus cukup untuk bisa mengakifkan proses biogas dengan baik. Menurut Wellinger dan Lindenberg (2000), komposisi biogas yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Rata-rata biogas yang dihasilkan dari kotoran 1 ekor sapi adalah 0,023-0,040 m3/kg BK, dan 1 m3 biogas dapat menyalakan lampu 60-100 watt selama 6 jam (Panjaitan 2013). Tingkat adopsi teknologi di wilayah penelitian (Tabel 3) menunjukkan teknologi AI adalah teknologi yang diadopsi dengan katagori tinggi (80%). Teknologi silase, pakan komplit, pupuk kompos komersil sebagian besar peternak berada pada katagori sedang. Minat peternak terhadap teknologi peternakan cukup besar namun banyak peternak yang kurang berani mengambil risiko, terutama berkaitan dengan tambahan korbanan seperti biaya produksi dan tenaga. Kondisi ini mengakibatkan penerapan teknologi tidak berlangsung kontinyu. Sedangkan teknologi pupuk cair dan biogas berada pada kategori rendah. Hal ini disebabkan masih kurang pengetahuan tentang teknologi ini, selain itu adopter contoh masih sedikit sehingga belum mengetahui nilai tambah yang dapat diperoleh, oleh karena itu peternak masih takut untuk mencoba. Menurut Baba (2008) suatu
teknologi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada di sekitar masyarakat dan harus dirasakan sebagai kebutuhan. Kesadaran peternak akan kebutuhan suatu teknologi maka teknologi tersebut akan mudah diadopsi. Persepsi adopter terhadap teknologi akan ditunjukkan oleh perilaku adopsi atribut inovasi. Karakteristik adopter dalam konteks percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian mempunyai arti penting sebagai landasan untuk menjelaskan perilaku adopsi (Adesina dan Baidu-Forson 1995). Artinya keragaman perilaku adopter menghadapi inovasi teknologi sangat tergantung pada karakteristik adopter yang ditunjukkan banyak hal, antara lain seperti umur, latar belakang pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman berusaha tani. Adopsi teknologi tergantung pada penilaian pengguna dari nilai teknologi bagi mereka. Pengguna akan menolak teknologi yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka, tidak cocok untuk lingkungan kerja mereka serta yang dapat mengganggu kegiatan lain yang dianggap lebih penting. Persepsi merupakan proses stimulus yang akan menggerakkan peternak untuk mengadosi atau tidak teknologi yang diintroduksikan pada mereka. Persepsi peternak dalam mengadopsi teknologi ditinjau dari teknologi yang paling dibutuhkan dan kemudahan teknologi tersebut diterapkan. Persepsi peternak tentang teknologi untuk menilai yang paling dibutuhkan hingga yang sangat tidak dibutuhkan (Tabel 4). Persepsi peternak berdasarkan tingkat kebutuhan mereka menjelaskan apakah teknologi yang sudah mereka ketahui tersebut dibutuhkan oleh mereka atau tidak. Kenyataan teknologi disebut dibutuhkan namun dalam pelaksanaan penerapan pada kegiatan usaha mereka, peternak merasa kesulitan. Kesulitan
Tabel 3. Tingkat adopsi teknologi Jenis teknologi Artificial Insemination (AI) Pembuatan silase Pakan komplit Pupuk kompos komersil Pupuk cair (biourine) Biogas
Kategori Tinggi
Sedang
Rendah
80,00 3,33 8,33 16,67 3,33 8,33
20,00 50,00 50,00 41,67 30,00 38,33
0,00 46,67 41,67 41,67 66,67 53,33
231
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 4. Presepsi berdasarkan kebutuhan teknologi (%) Jenis teknologi Artificial Insemination (AI)
5
4
3
2
1
100,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Fermentasi hijauan
11,67
71,67
16,67
0,00
0,00
Pakan komplit
26,67
71,67
0,00
0,00
0,00
Pupuk kompos
45,00
26,67
51,67
0,00
0,00
Pupuk urine (biourine)
0,00
3,33
56,67
40,00
0,00
Biogas
3,33
3,33
71,67
21,67
0,00
1= Sangat tidak dibutuhkan 2= Tidak dibutuhkan 3= Bisa dibutuhkan dan bisa tidak dibutuhkan 4= Dibutuhkan 5= Sangat dibutuhkan
disebabkan dana yang harus disediakan untuk biaya pembuatan atau pengadaan instalasi pendukung. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa semua peternak setuju bahwa teknologi AI sangat dibutuhkan mereka. Sebagian besar peternak (71,67%) menyatakan teknologi fermentasi jerami (silase) dan teknologi pakan komplit (silase komplit) dibutuhkan. Pakan merupakan salah satu faktor kunci yang dapat mempengaruhi produksi susu. Peternak menyadari betul pakan yang berkualitas akan meningkatkan produksi susu, namun demikian 16,67% peternak merasa kebutuhan fermentasi hijauan belum begitu mendesak karena hijauan tersedia sepanjang waktu. Teknologi kompos untuk komersil dengan metode yang memerlukan tambahan biaya dan tenaga bagi sebagian besar peternak (51,67%) belum mendesak. Mereka menyadari kebutuhan pupuk itu penting untuk meningkatkan hasil pertanian, termasuk tanaman pakan. Teknologi pembuatan pupuk kompos secara sederhana sudah dilakukan secara turun temurun, namun pembuatan pupuk untuk tujuan komersil dengan mengolah pupuk dengan cara yang berbeda memerlukan korbanan biaya tambahan, waktu dan tenaga belum ada yang melakukan. Teknologi biourin dan teknologi biogas bagi sebagian besar peternak dapat memberi nilai tambah ekonomi keluarga jika mampu menerapkan pada kegiatan usaha mereka. Peternak di lokasi menyadari biourine (51,67%) dan biogas (71,67%) bermanfaat dan dibutuhkan, namun keterbatasan mereka dari segi dana dan waktu sehingga walaupun teknologi tersebut bermanfaat dan dibutuhkan tetapi belum dapat diadopsi oleh mereka.
232
Kendala utama yang dihadapi adalah tambahan biaya untuk membangun instalasi biogas. Selain itu, jumlah ternak yang dimiliki per peternak sangat sedikit untuk mampu menyediakan jumlah kotoran untuk penerapan teknologi tersebut. Penerapan teknologi ini di lokasi penelitian harus dilakukan secara berkelompok, mereka berharap ada bantuan dana dan pendampingan secara teknis untuk membantu penerapan teknologi biogas dan biourine. KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa beberapa teknologi yaitu AI, silase, pakan komplit, pupuk kompos, biourine dan biogas telah dikenal peternak. Untuk menerapkan teknologi yang sudah diketahui sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial dan ekonomi peternak, ketersediaan dana dan waktu yang mereka miliki. DAFTAR PUSTAKA Adesina A, Baidu-Forson J. 1995. Farmers’ perception of new agricultural technologyevidence from analysis in Burkina Faso and Guinea, West Africa. Agric Econom. 13:1-9. Baba S, Muktiani A, Ako A, Dagong MI. 2011. Keragaman dan kebutuhan teknologi peternak sapi perah di Kabupaten Enrekang. Med Pet. 34:146-154. Baba S. 2008. Rekayasa teknologi biogas untuk diadopsi peternak sapi potong di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Sapi Potong di Palu. hlm. 140-150.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Ban AWVD, Hawkins HS. 1996. Penyuluhan pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Dinakkeswan Jateng. 2012. Statistik 2012 Peternakan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Ungaran. Eddy BT, Roessali W, Marzuki S. 2012. Dairy cattle famers’ behavior And factors affecting the effort to enhanche The economic of scale at Getasan District Semarang Regency. J Indonesian Trop Anim Agric. 37:34-40. Fliegel EC, Kivlin JE, Sekhon GS. 1971. Message distortion and the diffusion of innovations in Nothern India. Sociologica Ruralis. Haryanto B. 2009. Inovasi teknologi pakan ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak bebas limbah mendukung upaya peningkatan produksi daging. Pengembangan Inovasi Pertanian. 2:163-176. Hendayana R. 2011. Analisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi percepatan adopsi teknologi usaha ternak: kasus pada usaha ternak sapi potong di Boyolali, Jawa Tengah. Prasetyo LH, Damayanti R, Iskandar S, Herawati T, Priyanto D, Puastuti W, Anggareni A, Tarigan S, Warhana AH, Darmayanti NLPI, penyunting Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner hlm. 243-249. Krasachat W. 2008. Livestock production system and technical inefficiency of feedlot cattle farms in Thailand. Chulalongkorn Journal of Economics. 20:141-154. Mundy P. 2000. Adopsi dan adaptasi teknologi baru. PAATP3. Bogor. Musyafak A, Ibrahim TM. 2005. Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung prima tani. Analisis Kebijakan Pertanian. 3:20-37. Panjaitan SI. 2013. Analisis perhitungan daya yang dihasilkan dari kotoran sapi yang diolah menjadi biogas di daerah pinggiran Kota Batam http://www.academia.edu/3441345/ Analisis_Perhitungan_Daya_yang_Dihasilkan _dari_Kotoran_Sapi_yang_Diolah_Menjadi_ Biogas_di_Derah_Pinggiran_Kota_
Rogers EM. 1983. Difusion of innovation (Third Edition). The Free Press. A. Division of Macmillan Publishing Co., Inc., New York. Rollins TJ. 1993. Profile of farm technology adopters. J Extension. 31:38-39. Sarma PK, Ahmed JU. 2011. An economic study of small scale cattle fattening enterprise of Rajbari district. J Bangladesh Agril Univ. 9:141-146. Sinjaa J, Karugiab J, Baltenwecka I, Waithakac M, Mianoc MD, Nyikalb R, Romney D. 2004. Farmer perception of technology and its impact on technology uptake: the case of fodder legume in Central Kenya Highlands. Proceedings of the Inaugural Symposium: Shaping the Future of African Agriculture forDevelopment: The Role of Social Scientists. Kenya, 6-8 December 2004. Kenya (African): Association of Agricultural Economists. http://ageconsearch.umn.edu/bitst ream/9543/1/cp04si01.pdf. Soekartawi. 2005. Prinsip dasar komunikasi pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sofyan A, Febrisiantosa A. 2007. Pakan ternak dengan silase komplit. UPT. BPPTK-LIPI, Yogyakarta. Majalah INOVASI Edisi 5 Desember 2007. Sunarso LK, Nuswantara, Setiadi A, Budiyono. 2011. The performance of beef cattle fed by complete feed. International Journal of Engineering & Technology IJET-IJENS 11:196-199 Syafaat N, Agustian A, Pranaji T, Ariani M, Setiadjie I, Wirawan. 1995. Studi kajian SDM dalam menunjang pembangunan pertanian rakyat terpadu di KTI. Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Wellinger A, Linberg. 2000. Biogas upgrading and utilization. IEA Bioenergy Task 24. International Energy Association, Paris, France. http://www.iea-biogas.net/_download/ publi-task37/Biogas%20upgrading.pdf.
233