ANALISIS IMPLEMENTASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH Ida Arianingsih1 dan Fadjar Pambudhi2 1
2
Fahutan Untad Palu. Laboratorium Biometrika Hutan Fahutan Unmul
ABSTRACT. Analysis of Master Plan Implementation in Subdistrict Using Remote Sensing and Geographical Information System in Donggala Sub District, Central Sulawesi. The research purposes were to determine the usefulness of the land for usage area (HL area, conservation area, HPT area, HP area, HPK and APL area), then to analyze the appropriate usage of the land using master plan area of Donggala Subdistrict (solid and compatible maps) in 2003. According to the result of citra landsat interpretation ETM+ path/row 114/60-61 and 115/60/61 reported on May 2003, the total area in Donggala Subdistrict was 1,106,413.082 hectares. It was divided as follows: primary dry land forest was 292,437.093 hectares (26.431%), secondary dry land forest 463,357,695 hectares (41.879%), primary mangrove 1,840.552 hectares (2.58%), secondary mangrove 16,459.010 hectares (1.488%), plantation forest 2,062.035 hectares (0.186%), dry land agriculture 130,400.010 hectares (11.786%), farming 5,311.016 hectares (0.480%), coppice 184,325.864 hectares (16.660%), fishpond 843.071 hectares (0.076%) and opened land 9,157.080 hectares (0.828%). The spatial analysis of land usefulness in Donggala Subdistrict on the road province buffering and the big river buffering were dominated by dry land agriculture, meanwhile, on the small river buffering were dominated by secondary dry land forest. The people used land for settlement and dry land agriculture in the protection forest area, conservation area and production forest area. Some of the left lands for farming were being the coppice or opened ground. The usage land for non forestry was 1.144%. The instruction of spatial usage still need to be continue to discuss because the differences of condition and potential area. It needs to maximize treatment; meanwhile, it will give benefit so that the usage choice should be applied truly as the treatment in using potential land and the environmental continuity. Kata kunci: penggunaan lahan, kawasan pemanfaatan, penataan ruang, potensi daerah
Penataan ruang yang dilaksanakan suatu daerah memerlukan perencanaan yang baik dan jelas, sehingga hasilnya dapat berjalan sesuai harapan yang diinginkan. Landasan dalam penataan ruang adalah Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsurunsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hirarki dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Salah satu klasifikasi penataan ruang adalah penataan ruang yang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung, kawasan budidaya kehutanan dan kawasan non budidaya kehutanan (Anonim, 2003). 156
157
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
Wilayah Kabupaten Donggala telah melaksanakan penataan ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Donggala 2003−2013. Konsep dasar RTRW Kabupaten Donggala mengacu pada Undangundang Penataan Ruang (UUPR), namun begitu penerapannya banyak mengalami hambatan yang dikarenakan ketidaksiapan lembaga dalam menangani penataan ruang serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam memahami kebijakan/aturanaturan yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah penggunaan lahan yang kurang sesuai dengan RTRW, antara lain adanya pemukiman pada sempadan sungai ataupun sempadan laut, kawasan lindung terdapat pemukiman dan sebagainya. Sekalipun pemerintah daerah telah berupaya dalam mengatasi penyimpanganpenyimpangan yang terjadi, namun akan sulit terwujud bila bertambahnya jumlah penduduk tidak dapat dikendalikan. Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah secara administratif terdiri dari 20 kecamatan dengan luas 1.106.413,082 ha. Sebagai Kabupaten yang luas dan kaya sumberdaya alam sangat potensial bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Pengembangan kawasan di Kabupaten Donggala diprioritaskan yaitu: (a) kawasan strategis atau kawasan tumbuh pesat, (b) kawasan kritis, (c) kawasan belum berkembang. Namun pengembangan wilayah di Kabupaten Donggala di masa mendatang mengahadapi beberapa masalah, antara lain: (a) alih fungsi kawasan lindung dan kerusakan akibat proses pembangunan, (b) pada kawasan budidaya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, (c) pengembangan infrastruktur belum menjangkau seluruh kawasan (Anonim, 2003). Bertitik tolak pada kerangka pemikiran di atas, maka perlu dibuat informasi penggunaan lahan pada kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi konversi dan kawasan areal penggunaan lain dari hasil tumpang susun Citra Landsat ETM+ tahun 2003 dengan peta peduserasi (Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dongala) tahun 2003 sebagai bahan masukan kepada Bappeda Kabupaten Donggala di dalam perencanaan pengembangan dan pembangunan di Kabupaten Donggala dalam penyusunan rencana penatagunaan wilayah secara komprehensif. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang meliputi penggumpulan data serta analisis di studio pemetaan dari bulan April sampai November 2008. Dalam penelitian ini dicatat penggunaan lahan pada kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi konversi dan kawasan areal penggunaan lain serta menganalisis kesesuaian penggunaan lahan tersebut dengan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggala (peta paduserasi) tahun 2003 menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. Prosedur penelitian meliputi: pengumpulan peta digital dan data tabular; penafsiran citra satelit Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003; tumpang susun peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003 dengan peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
158
Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003, maka dapat diperoleh deskripsi penggunaan lahan pada 6 kawasan pemanfaatan (kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi konversi dan kawasan areal penggunaan lain) di Kabupaten Donggala; menganalisis kesesuaian penggunaan lahan pada 6 kawasan pemanfaatan (kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi konversi dan kawasan areal penggunaan lain) di Kabupaten Donggala; verifikasi lapangan Data yang diperoleh dianalisis dengan cara sebagai berikut: 1. Penentuan zonasi, meliputi: a) analisis spasial, yaitu untuk mengetahui penggunaan lahan pada kanan kiri jalan provinsi dengan jarak 1.000 m kanan kiri jalan, sempadan pada sungai besar dengan dengan jarak 100 m kanan kiri sungai, sempadan pada sungai kecil dengan dengan jarak 50 m kanan kiri sungai; b) analisis tumpangsusun, yaitu untuk mengetahui penggunaan lahan pada kawasan lindung, kawasan budidaya kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan. 2. Penyusunan arahan penataan ruang, berdasarkan hasil analisis tumpang susun, maka dapat disusun arahan penataan ruang yang berisi tentang kawasan lindung, kawasan budidaya kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan pada 6 Kawasan Berdasarkan hasil tumpang susun peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003 dengan peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003, maka dapat dianalisis penggunaan lahan pada 6 kawasan di Kabupaten Donggala sebagai berikut: 1. Penggunaan lahan pada kawasan Hutan Lindung (HL) Dari kriteria penetapan hutan lindung diketahui salah satu kriteria baku dalam penetapan kawasan hutan lindung yang dapat dijadikan sesuai dengan ketersediaan data fisik yakni kemiringan lahan (lereng) yaitu lahan yang terletak pada lereng >40% dapat dijadikan hutan lindung. Dari data yang ada dapat diketahui bahwa 745.411,926 ha (67,672%) wilayah Kabupaten Donggala terletak pada lereng >40%, dengan demikian total luas lahan yang potensial untuk dilindungi adalah 745.411,926 ha atau 67,672% dari luas wilayah kabupaten ini, sedangkan selebihnya terletak pada klasifikasi lereng yang lebih rendah. Berdasarkan hasil peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003 dapat diketahui luas kawasan hutan lindung adalah 216.828,852 ha. Jika dilihat pada kelas lereng >40% seluas 745.411,926 ha, maka diketahui luas lahan pada lereng >40% ini yang telah diarahkan sebagai kawasan hutan lindung adalah 29,098%, sisanya diarahkan untuk berbagai fungsi lindung lainnya. Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 dapat dilihat penggunaan lahan pada kawasan hutan lindung adalah hutan lahan kering primer
159
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
seluas 117.895,642 ha (10,656%), hutan lahan kering sekunder 63.800,506 ha (5,766%), pemukiman 208,697 ha (0,019%), pertanian lahan kering 13.646,441 ha (1,233%), semak belukar 21.234,673 ha (1,919%) dan tanah terbuka 42,893 ha (0,004%) (Tabel 1). Tabel 1. Penggunaan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung (HL) di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Hutan primer Hutan lahan kering sekunder Mangrove primer Mangrove sekunder Pemukiman Perkebunan Pertanian lahan kering Sawah Semak belukar Tambak Tanah terbuka Jumlah
Luas (ha) 117.895,642 63.800,506 208,697 13.646,441 21.234,673 42,893 216.828,852
% 10,656 5,766 0,019 1,233 1,919 0,004 19,597
Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala Skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala Skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
Pada Tabel 1 terlihat bahwa hutan primer yang masih ada di Kabupaten Donggala adalah seluas 117.895,642 ha, ini berarti 54,373% hutan primer berada di kawasan hutan lindung. Areal hutan sekunder seluas 63.800,506 ha (5,766%) dari luas keseluruhan areal Kabupaten Donggala. Pada kawasan hutan lindung yang memiliki luas 216.828,852 ha maka hutan sekunder luasnya 29,424%. Hal ini menunjukkan adanya kegiatan yang sangat tinggi di hutan lindung yang menyebabkan kawasan ini mengalami perubahan dari habitat aslinya seluas 63.800,506 ha. Luas areal hutan sekunder di hutan lindung ini harus menjadi perhatian serius dari berbagai pihak, karena sangat terkait erat dengan konservasi dan lingkungan, setidaknya ada upaya untuk mengembalikan areal ini menjadi kawasan yang sesuai dengan kondisi fisiknya yaitu kawasan konservasi, karena bila kawasan ini sudah terbuka, maka akan sulit untuk mengembalikan ke fungsinya semula tanpa usaha yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Pada Tabel 1 tersebut terlihat pula semak belukar 21.234,673 ha (1,919%) dan tanah terbuka 42,893 ha (0,004%). Kondisi ini perlu mendapat perhatian karena semak belukar dan tanah terbuka tersebut berpotensi menjadi lahan kritis yang dapat menimbulkan terjadinya erosi, penurunan kualitas lahan, penurunan kualitas dan kuantitas debit air sungai. Semak belukar dan tanah terbuka terjadi akibat aktivitas manusia berupa pembukaan lahan (ladang berpindah) dan perambahan hutan. Penggunaan lahan lain yang tidak sesuai dengan fungsinya adalah adanya areal pemukiman 208,697 ha (0,019%), pertanian lahan kering 13.646,441 ha (1,233%) di kawasan hutan lindung. Areal ini melingkupi 1,252% dari seluruh areal hutan lindung yang terdapat di Kabupaten Donggala. Walaupun persentasenya kecil, tetapi kedua kegiatan ini perlu diwaspadai karena pembukaan lahannya sangat intensif dan
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
160
cenderung semakin luas dari tahun ke tahun, apalagi kalau pola pertaniannya menerapkan pola ladang berpindah-pindah dengan masa bera yang pendek. Lahan yang terbuka akan semakin luas, karena mencari tanah yang masih subur di areal hutan lainnya. Areal pemukiman, pertanian lahan kering di kawasan hutan lindung sebagian besar terletak pada kelerengan 0−2% yang merupakan daerah datar dan bercurah hujan antara 1.500−2.000 mm/tahun. Di dalam hutan lindung diperkenankan adanya budidaya kawasan hutan kemasyarakatan. Kegiatan pemanfaatan hutan kemasyarakatan di dalam hutan lindung dilakukan pada blok perlindungan dan blok budidaya. Di dalamnya termasuk mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum dan kegiatan wisata lain yang keberadaannya telah mendapat persetujuan menteri, seperti pos pengamatan kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk/penerangan, tiang listrik dan patok triangulasi. 2. Penggunaan lahan pada kawasan Konservasi Tujuan penetapan kawasan suaka alam adalah melindungi keanekaragaman biota, jenis ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kehidupan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Berdasarkan kriteria teknis penetapan suatu kawasan suaka alam di wilayah Kabupaten Donggala sesuai potensi yang dimiliki dalam peta paduserasi telah ditetapkan kawasan suaka alam yakni Cagar Alam Pegunungan Sojol dan Suaka Margasatwa Pulau Pasoso (Anonim, 2003). Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 diketahui bahwa penggunaan lahan pada kawasan hutan suaka alam, hutan wisata adalah hutan lahan kering primer seluas 76.282,366 ha (6,895%), hutan lahan kering sekunder 49.215,495 ha (4,448%), mangrove primer 2.140,552 ha (0,193%), mangrove sekunder 319,656 ha (0,029%), pemukiman 42,457 (0,004%), pertaniann lahan kering 382,736 ha (0,035%), semak belukar 6.833,445 ha (0,618%) dan tanah terbuka 57,129 ha (0,005%) (Tabel 2). Pada Tabel 2 terlihat, bahwa di kawasan Cagar Alam Pegunungan Sojol, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso dan Taman Nasional Lore Lindu terdapat areal penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Tekanan kegiatan penduduk karena tuntutan kebutuhan lahan pertanian pada beberapa tempat kawasan Cagar Alam Pegunungan Sojol, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso dan Taman Nasional Lore Lindu telah dirambah sebagai lahan usaha budidaya pertanian yaitu sawah dan pertanian lahan kering. Areal pemukiman, pertanian lahan kering, sawah di kawasan konservasi sebagian besar terletak pada kelerengan 0−2% yang merupakan daerah datar dan dan bercurah hujan antara 1.500−2.000 mm/tahun. Penebangan liar pada kawasan hutan ini terjadi dengan intensif, sehingga menimbulkan kawasan terbuka dan semak belukar. Hal ini perlu diwaspadai karena tanah terbuka bisa menyebabkan erosi yang sangat berat, karena itulah kegiatan reboisasi sebaiknya dilakukan pada areal tanah terbuka ini agar ada tanaman pelindung tanah dari curah hujan langsung dan mengurangi limpasan permukaan.
161
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 Tabel 2. Penggunaan Lahan pada Kawasan Konservasi di Kabupaten Donggala
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 76.282,366 6,895 Hutan lahan kering sekunder 49.215,495 4,448 Mangrove primer 2.140,552 0,193 Mangrove sekunder 319,656 0,029 Pemukiman 42,457 0,004 Perkebunan Pertanian lahan kering 382,736 0,035 Sawah 17,587 0,002 Semak belukar 6.833,445 0,618 Tambak Tanah terbuka 57,129 0,005 Jumlah 135.291,423 12,228 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
3. Penggunaan lahan pada kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Pada kawasan hutan produksi terbatas masih diperkenankan adanya penggunaan lahan budidaya non hutan lahan kering, lahan perkebunan serta jalan tembus. Semua jenis penggunaan yakni mempertahankan penggunaan lahan yang telah ada saat ini (Anonim, 2003). Ekspansi luas penggunaan lahan budidaya non hutan ini harus diikuti dengan penerapan teknologi, sehingga tidak mengurangi fungsi konservasi dari kawasan penyangga. Penggunaan lainnya seperti pertambangan dan bangunan fasilitas penunjang bagi penggelolaan hutan produksi terbatas dan fasilitas pariwisata khususnya wisata alam perlu diatur secara khusus. Tabel 3. Penggunaan Lahan pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 81.814,757 7,395 Hutan lahan kering sekunder 174.831,620 15,802 Mangrove primer Mangrove sekunder Pemukiman 346,642 0,031 Perkebunan 455,232 0,041 Pertanian lahan kering 3.724,317 0,337 Sawah Semak belukar 24.591,626 2,223 Tambak Tanah terbuka 137,865 0,012 Jumlah 285.902,059 25,840 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
162
Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 diketahui lahan terbesar pada kawasan hutan produksi terbatas adalah hutan lahan kering sekunder seluas 174.831,62 ha (15,802%), sedangkan hutan lahan kering primer 81.814,757 ha. Eksploitasi kayu dalam kawasan hutan produksi terbatas alami (bukan hutan tanaman) diatur dengan sistim tebang pilih (terbatas) hingga mampu memerankan fungsi hidro-orologis. Luas dan penyebaran penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Donggala dapat dilihat pada Tabel 3. 4. Penggunaan lahan pada kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) Penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi tetap tidak diperkenankan untuk penggunaan lahan budidaya non hutan. Eksploitasi kayu dalam kawasan hutan produksi tetap (bukan hutan tanaman) diatur dengan sistem tebang pilih hingga mampu memerankan fungsi hidro-orologis. Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 diketahui bahwa penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi tetap adalah hutan lahan kering primer seluas 1.091,847 ha (0,099%), hutan lahan kering sekunder seluas 15.633,710 ha (1,413%), pemukiman 34,062 ha (0,003%), pertanian lahan kering 965,632 ha (0,087%), semak belukar 1.047,640 (0,095%) (Tabel 4). Tabel 4. Penggunaan Lahan pada Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 1.091,847 0,099 Hutan lahan kering sekunder 15.633,710 1,413 Mangrove primer Mangrove sekunder Pemukiman 34,062 0,003 Perkebunan 965,632 0,087 Pertanian lahan kering 93,794 0,008 Sawah Semak belukar 1.047,640 0,095 Tambak Tanah terbuka Jumlah 18.866,685 1,705 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
5. Penggunaan lahan pada kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) Penggunaan lahan pada hutan produksi konversi dapat dikonversi penggunaan lahannya sesuai kebutuhan dan kesesuaian lahan. Penggunaan lahan budidaya non hutan yang telah ada saat ini seperti lahan kering, perkebunan rakyat tetap dipertahankan (Anonim, 2003). Pada kawasan hutan produksi konversi, konversi penggunaan lahan dari penggunaan lahan budidaya non hutan yang telah ada saat ini harus mendapat
163
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
persetujuan dari masyarakat. Eksploitasi kayu dalam hutan produksi konversi (bukan hutan tanaman) harus mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 diketahui bahwa penggunaan lahan pada kawasan hutan produksi konversi adalah hutan lahan kering primer seluas 2.739,725 ha (0,247%), hutan lahan kering sekunder 23.556,198 ha (2,129%), pertanian lahan kering 106,376 ha (0.010%), semak belukar 7.740,024 ha (0,700%) (Tabel 5). Tabel 5. Penggunaan Lahan pada Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 2.739,725 0,248 Hutan lahan kering sekunder 23.556,198 2,129 Mangrove primer Mangrove sekunder Pemukiman Perkebunan Pertanian lahan kering 106,376 0,010 Sawah Semak belukar 7.740,024 0,700 Tambak Tanah terbuka Jumlah 34.142,323 3,086 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
6. Penggunaan lahan pada kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) Pada peta penggunaan lahan hasil dari interpretasi Citra Landsat ETM+ path/row 114/60−61 dan 115/60−61 liputan bulan Mei tahun 2003 diketahui, bahwa penggunaan lahan pada kawasan areal penggunaan lain adalah hutan lahan kering primer seluas 12.612,756 ha (1,140%), hutan lahan kering sekunder 136.320,166 ha (12,321%), pemukiman 15.827,152 ha (1,430%), perkebunan 641,171 ha (0,058%), pertanian lahan kering 112.446,346 ha (10,163%), semak belukar 6.833,779 (0,687%), sawah 5.293,429 ha (0,478%) dan tanah terbuka 8.919,93 ha (0,806%) serta tambak 843,071 ha (0,076%) (Tabel 6). Kriteria teknis kawasan tanaman pangan lahan kering adalah kawasan yang tidak mempunyai sistem atau potensi pengairan, terletak pada ketinggian 1.000 m dpl, lereng <40%, kedalaman efektif lapisan tanah atas >30 cm, curah hujan 1.500−4.000 mm/tahun. Secara definitif berdasarkan acuan yang ada diketahui kawasan ini diperuntukan bagi tanaman pangan lahan kering untuk tanaman palawija, hortikultura atau tanaman tahunan. Definisi umum kawasan tanaman perkebunan adalah suatu kawasan yang diperuntukan bagi tanaman tahunan/perkebunan yang menghasilkan baik bahan pangan dan bahan baku industri, sedangkan kriteria teknis suatu kawasan tanaman tahunan/perkebunan yaitu ketinggian <2.000 m dpl, kelerengan <40%, curah hujan >1.500 mm/tahun.
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
164
Tabel 6. Penggunaan Lahan pada Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 12.612,756 1,140 Hutan lahan kering sekunder 136.320,166 12,321 Mangrove primer Mangrove sekunder Pemukiman 15.827,152 1,430 Perkebunan 641,171 0,058 Pertanian lahan kering 112.046,346 10,127 Sawah 5.293,429 0,478 Semak belukar 122.878,456 11,106 Tambak 843,071 0,076 Tanah terbuka 8.919,193 0,806 Jumlah 415.381,740 37,543 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
Definisi kawasan pemukiman adalah kawasan yang diperuntukan bagi pemukiman, sedangkan kriteria teknis suatu kawasan pemukiman meliputi lahan sesuai dengan input teknologi yang ada, sumber air bersih terjamin, lokasi terkait dengan kawasan hunian yang telah ada/berkembang, tidak terletak di kawasan berfungsi lindung, di kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas (Anonim, 2007). 7. Penggunaan Lahan Sempadan Sungai a. Penggunaan lahan pada sempadan sungai besar. Penggunaan lahan pada sempadan sungai selebar 100 m kanan kiri sungai besar di Kabupaten Donggala yang terbesar berupa pertanian lahan kering dengan luas 6.401,890 ha (39,342%) (Tabel 7). Tabel 7. Penggunaan Lahan Sempadan Sungai Besar di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder 4.671,681 28,709 Mangrove primer 60,723 0,373 Mangrove sekunder Pemukiman Perkebunan 6.401,890 39,342 Pertanian lahan kering 85,151 0,523 Sawah 3.386,753 20,813 Semak belukar 88,406 0,543 Tambak 555,899 3,416 Tanah terbuka 1.022,076 6,281 Jumlah 16.272,579 100,000 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
165
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
b. Penggunaan lahan pada sempadan sungai kecil. Penggunaan lahan pada sempadan sungai selebar 50 m kanan kiri sungai kecil di Kabupaten Donggala yang terbesar berupa hutan lahan kering sekunder dengan luas 10.579,882 ha (37,805%) (Tabel 8). Tabel 8. Penggunaan Lahan Sempadan Sungai Kecil di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 7.606,070 27,179 Hutan lahan kering sekunder 10.579,882 37,805 Mangrove primer 120,519 0,431 Mangrove sekunder 3,946 0,014 Pemukiman Perkebunan 3.036,424 10,850 Pertanian lahan kering 175,263 0,626 Sawah 5.813,746 20,774 Semak belukar 61,094 0,218 Tambak 200,963 0,718 Tanah terbuka 387,590 1,385 Jumlah 27.985,497 100,000 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
8. Penggunaan lahan kiri kanan jalan provinsi Sempadan jalan bertujuan melindungi jalan dari kerusakan akibat banjir dan longsor serta aktivitas manusia yang berada di dalam/di sekitar sempadan jalan. Penduduk yang bermukim di sempadan jalan sudah melakukan usaha pertanian intensif menetap maupun tidak menetap dan kegiatan lain seperti keberadaan warung serta toko di sepanjang sempadan jalan. Penggunaan lahan selebar 1 km kanan kiri jalan provinsi di Kabupaten Donggala terbesar berupa pertanian lahan kering dengan luas 9.218,316 ha. Hal ini menunjukkan, bahwa penduduk yang bermukim di sepanjang jalan sudah memanfaatkan lahannya dengan usaha yang produktif. Penggunaan lahan pada kiri kanan jalan provinsi seperti ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 9. Penggunaan Lahan Kiri Kanan Jalan Provinsi di Kabupaten Donggala No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan lahan Luas (ha) % Hutan lahan kering primer 1.235,384 4,540 Hutan lahan kering sekunder 4.313,637 15,851 Mangrove primer 170,315 0,626 Mangrove sekunder Pemukiman 71,938 0,264 Perkebunan 9.218,316 33,875 Pertanian lahan kering 555,130 2,040 Sawah 7.787,056 28,615 Semak belukar 252,719 0,929 Tambak 812,770 2,987 Tanah terbuka 2.795,785 10,274 Jumlah 27.213,050 100,000 Sumber: peta penggunaan lahan Kabupaten Donggala skala 1 : 250.000 tahun 2004 dan peta paduserasi Kabupaten Donggala skala 1 : 100.000 tahun 2003. Persentase (%) adalah persentase luas penggunaan lahan terhadap luas Kabupaten Donggala
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
166
9. Evaluasi penggunaan lahan terhadap fungsi pemanfaatan ruang Evaluasi penggunaan lahan terhadap fungsi pemanfaatan ruang diperoleh melalui tahap tumpang susun peta penggunaan lahan terhadap peta paduserasi (Tata Ruang Wilayah Kabupaten Donggla), data ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa ketidaksesuaian, yaitu: pada kawasan lindung terdapat pemukiman, semak belukar dan tanah terbuka. Selain itu terdapat perkebunan di kawasan ini yang menunjukkan bahwa penduduk sekitar masih membuka tempat-tempat baru di kawasan lindung. Perkebunan di kawasan lindung sering ditemui berupa coklat, kopi, cengkeh serta buah-buahan. Meskipun keberadaannya telah lama, namun fungsi lindungnya harus tetap terjaga. Selain itu perlu pemilihan tanaman yang sesuai, baik untuk lahan basah maupun di lahan kering. Pemukiman yang ada di kawasan lindung jika dilihat dari luas kawasan lindung, hal ini tidak begitu luas. Kondisi di lapangan menunjukkan adanya pemukiman berpindah pada lereng-lereng terjal, sehingga dalam satu areal terkecil paling tidak hanya terdapat 2 atau 3 rumah tangga, sedangkan pemukiman padat umumnya tersebar di dataran atau pada lereng dengan kemiringan <20%. Pemukiman di daerah lindung terutama di lereng curam/terjal sering membuka lahan untuk tegalan/ladang dengan pembuatan teras. Mengingat kondisi lereng yang >40%, hal ini cukup rawan, selain itu kepekaan tanah pada lereng ini dapat mempercepat terjadinya erosi ataupun longsor lahan. Semak belukar termasuk areal yang cukup luas yang ada di kawasan lindung. Semak belukar juga dapat berfungsi sebagai kanopi tanah terbuka. Tanah terbuka sekitar 1 km2 sering terdapat di sekitar semak belukar atau sengaja dikosongkan untuk keperluan penduduk setempat. Umumnya tersebar hampir di semua kecamatan, baik di dataran hingga perbukitan dan pegunungan. Tanah terbuka yang dibiarkan dapat berubah menjadi semak belukar. Ketidaksesuaian pada kawasan budidaya, yaitu adanya perbedaan antara penggunaan lahannya, seperti: pada hutan produksi tetap dijumpai semak belukar, hutan produksi terbatas ditemui pemukiman, persawahan dan semak belukar. Karena adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan pada kawasan lindung dan budidaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat, dikhawatirkan areal kawasan lindung dapat dirambah untuk berbagai pemanfaatan, begitu pula pada penggunaan lahan yang tidak memperhitungkan daya dukung lahannya. 10. Arahan tata guna lahan untuk pemanfaatan ruang Penataan ruang sangat berkaitan dengan pemanfaatan dan pendayagunaan lahan untuk kepentingan tertentu serta kemungkinan pengembangan pada penggunaanpenggunaan baru yang lebih produktif sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya (Hadi, 2004). Sebagaimana yang diatur dalam RTRW Kabupaten Donggala, hutan diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi). Sebagai kawasan lindung hutan yang ada berfungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup, perlu dipertahankan luas kawasan lindung yang ada dan perlunya mengendalikan kegiatan budidaya yang ada di kawasan lindung.
167
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
Untuk itu arahan tata guna lahan berdasarkan fungsi kawasan pada kawasan lindung dapat dilakukan: a). Mengalihkan hutan produksi menjadi fungsi lindung sebagai daerah resapan air. b). Memanfaatkan kegiatan tertentu untuk laboratorium alami bagi penelitian dan observasi ataupun wisata alam. c). Mengembangkan kawasan penyangga di sekitar hutan lindung. d). Hutan mangrove perlu dipertahankan sebagai tempat pembentukan ekosistem hutan mangrove dan tempat berkembangbiaknya biota laut, di samping sebagai pelindung pantai dari pengikisan air laut. Untuk itu pembukaan pemukiman nelayan di sempadan pantai dibatasi agar dataran lumpur tempat hidup mangrove tetap terjaga. e). Untuk kawasan yang rawan bencana, tidak diperbolehkan adanya permukiman tetapi dapat diganti berupa tegalan/ladang. Kawasan budidaya perlu memperhatikan kecenderungan pemanfaatan ruang saat ini melalui perluasan kegiatan budidaya dengan memperhatikan daya dukung lahan. Pembukaan kawasan baru dalam skala besar, perlu memperhatikan batasbatas antara kawasan budidaya dan kawasan lindung, sehingga tidak mengganggu kawasan lindung. a). Kualitas dan diversifikasi tanaman persawahan (termasuk di dalamnya pertanian holtikultura) ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan gizi masyarakat. b). Perkebunan diarahkan pada intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi tanaman dengan pengembangan agribisnis dan agroindustri. c). Tambak ditingkatkan hasil produksinya dengan melibatkan dunia usaha, koperasi dan lembaga ekonomi lainnya. d). Semak belukar sesuai keberadaannya dipertahankan sebagai lahan penggembalaan juga pengembangan peternakan. e). Pengembangan pemukiman mengikuti perkembangan dengan memperhatikan kondisi fisik lahan seperti sumber air bersih, lokasi hunian yang telah berkembang dan tidak terletak pada kawasan lindung, maupun kawasan hutan produksi. f). Tanah terbuka dijadikan areal resapan sekaligus dikonservasi dengan tanaman pelindung serta memperhatikan kondisi fisiknya seperti lereng. Selain itu lahanlahan kritis perlu direhabilitasi untuk menghindari terjadinya bahaya longsor. Penetapan tata ruang juga didasari oleh potensi dan daya dukung lahan dengan memperhatikan kemampuan dan kesesuaian lahannya. Peran serta masyarakat, swasta juga pemerintah setempat harus terlibat untuk menghindari benturan atau konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat penggunaan lahan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan lindung, kawasan konservasi maupun kawasan hutan produksi yang berupa pemukiman dan
Arianingsih dan Pambudhi (2009). Analisis Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
168
pertanian lahan kering. Sebagian penggunaan lahan pertanian yang ditinggalkan telah menjadi semak belukar atau tanah terbuka. Penggunaan lahan yang bukan kehutanan ini mencapai 1,144 %. Penggunaan lahan pada kiri kanan jalan provinsi, sempadan sungai besar dan sempadan sungai kecil di Kabupaten Donggala adalah hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, mangrove primer, mangrove sekunder, pemungkiman, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, tambak dan tanah terbuka. Saran Arahan pemanfaatan ruang masih perlu digali lebih lanjut mengingat kondisi dan potensi daerah berbeda-beda dan memerlukan penanganan yang maksimal. Agar dapat memberikan manfaat, maka arahan pilihan penggunaan dapat diaplikasikan secara nyata sebagai bentuk dalam mewujudkan pemanfaatan potensi lahan dan kelestarian lingkungan. Perlu peningkatan kerja sama antar semua pihak yang melibatkan masyarakat dalam pemahaman tentang sistem paduserasi sehingga tercipta suatu tatanan dalam pembangunan di wilayah Kabupetan Donggala. Penelitian ini merupakan penelitian yang masih perlu disempurnakan dan dilanjutkan, melalui pengukuran dan perolehan sumber data yang lengkap untuk skala rinci, mengingat potensi sumberdaya lahan sangat banyak dan cepat mengalami perubahan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala Tahun 2003−2013. Laporan Akhir. Bappeda Kabupaten Dati II Donggala Anonim. 2007. Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hadi, S. 2004. Penataan Ruang untuk Pemanfatan Kawasan Hutan. Modul Pelatihan Analisis Rencana Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan, 28 Nopember 2004−4 Desember 2004. Bogor.