HUTAN SEBAGAI PENGATUR TATA AIR DAN PENCEGAH EROSI TANAH: PENGELOLAAN dan TANTANGANNYA Oleh: Ary Widiyanto Balai Penelitian Kehutanan Ciamis RINGKASAN Terjadinya kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global dan berbagai akibat lainnya seperti
kekeringan, krisis air dan kekurangan
pangan di beberapa wilayah di bumi khususnya di Indonesia ini tidak dapat lepas dari ulah manusia sendiri. Penggundulan hutan, illegal logging, pembakaran dan pengubahan fungsi lahan merupakan beberapa diantaranya. Padahal hutan berperan sangat besar sebagai pengatur tata air dalam siklus air dan pencegah terjadinya erosi tanah, dengan adanya pohon dan tumbuh-tumbuhan yang menghalangi air hujan jatuh langsung ke tanah. Untuk itu diperlukan sebuah sistem pengelolaan hutan yang baik, sehingga fungsi hutan sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan dapat dijaga. Kata kunci: pengatur tata air, erosi tanah, pengelolaan hutan I. PENDAHULUAN Hutan merupakan suatu areal tanah yang di atas permukaan tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai ukuran terdiri dari tanaman tinggi dan tanaman rendah sampai rumput-rumputan.
Berbagai manfaat dapat diambil dari hutan, baik
berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu. Dilaksanakannya konferensi para pihak ke 15 (COP-15) di Denmark pada tahun 2009 yang lalu semakin menegaskan akan pentingnya fungsi hutan sebagai paru-paru dunia yang dapat menyerap emisi CO2, sebagai sistem pengatur tata air dan juga pencegah terjadinya erosi. Dalam forum itu pula dibahas dan disepakati berbagai upaya pelestarian hutan, termasuk di Indonesia (Kompas, 2009) Terjadinya bencana kekeringan, krisis air di beberapa daerah di Indonesia serta berbagai bencana tanah longsor juga disebabkan telah beralihnya fungsí hutan, praktek pembalakan liar (illegal logging) dan penggundulan hutan. Yang terakhir terjadi ádalah bencana tanah longsor pada bulan Mei 2010 di jalur Cadas Pangeran, yang merupakan jalar utama Bandung-Sumedang.
1
II. FUNGSI HUTAN SEBAGAI PENGATUR TATA AIR DAN PENCEGAH EROSI A. Pengatur tata air dan siklus hidrologi Siklus air merupakan sirkulasi/perputaran air yang tetap dari lautan ke udara untuk kembali lagi kelautan. Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer, air hujan yang jatuh ke permukaan daratan sebagian akan berinfiltrasi ke dalam tanah dan yang sebagian lagi akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai aliran permukaan atau run off. Dari bagian-bagian ini sebagian diuapkan kembali melalui tanaman (transpirasi) dan sebagian diuapkan melalui permukaan tanah dan air (evaporasi). Air yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan melanjutkan infiltrasinya ke lapisan-lapisan bawah tanah. Gerakangerakan air dalam tanah ini disebut perkolasi (percolation) dan akhirnya terbentuklah air tanah (Kartasapoetra, et al., 2005), dengan proses seperti terlihat pada gambar berikut:
Awan Radiasi Matahari
1 2
2
Sungai 2
4 3 Permukaan air
tanah Lautan
5 Lapisan kedap air Gambar 1. Siklus Hidrologi
Keterangan: 1. Hujan 2. Evaporasi dan Transpirasi 3. Infiltrasi 4. Aliran Permukaan (run off) 5. Perkolasi Gambar di atas menjelaskan pentingnya fungsi hutan sebagai penyimpan cadangan air yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Dengan adanya air tanah
2
ini maka keberadaan sumber-sumber mata air dan sungai tetap terjaga, sehingga krisis air dan bencana kekeringan dapat dihindari. Jika intensitas curah hujan yang jatuh di bawah hutan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka kelebihan air yang tidak terserap oleh tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan atau disebut juga sebagai Hortonian flow atau infiltration excess. Air yang terinfiltrasi akan meresap ke dalam tanah dan besarnya tergantung pada daya hantar hidrolik vertikal dan lateral, kelembaban tanah dan kecuraman lereng, dengan melalui satu atau lebih alur untuk menuju sungai utama. Hutan memiliki daya tampung dan daya infiltrasi air yang tinggi, karena itu aliran permukaan jarang terjadi pada lahan hutan. Tingginya infiltrasi hutan disebabkan adanya serasah. Serasah yang terurai dapat menggemburkan tanah sehingga air mudah lolos ke dalam tanah. Serasah dan tumbuhan bawah juga dapat menahan sementara air hujan. Ketika hujan berhenti, air yang tertahan akan teruapkan atau terinfiltrasi ke dalam tanah. Proses inilah yang dapat menahan atau mengurangi laju aliran permukaaan. Jika terjadi, aliran permukaan dengan laju yang tinggi hanya terbatas pada daerah yang permukaan tanahnya terganggu, misalnya kebakaran yang menyebabkan lantai hutan bersih dari serasah dan tumbuhan bawah. Karena banyaknya pori di dalam tanah, maka sebagian besar air mengalir sebagai aliran cepat
dibawah permukaan tanah yang dapat
menyumbangkan aliran puncak di sungai. Tingginya kemampuan infiltrasi tanah hutan menyebabkan air dengan mudah mencapai sistem air tanah (ground water), sehingga jumlah air yang ditampung pada ”reservoir” air tanah menjadi tinggi. Air ini dilepaskan lagi secara bertahap sebagai aliran dasar (baseflow) ke sungai-sungai. Karena tingginya proses evaporasi dan tranpirasi, secara umum hutan melepas air ke sungai dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya. Pada hutan alam yang belum terganggu, umumnya aliran sungai di musim kemarau (base flow) dapat dipertahankan pada tingkat tertentu. B. Pencegah Erosi Tanah Erosi tanah yaitu proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang terjadi secara alamiah maupun akibat tindakan manusia. Selain jenis tanah dan kemiringan lahan, proses erosi juga dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah, apakah gundul atau terdapat tumbuhan/vegetasi di atasnya. Semakin banyak dan rapat tumbuhan di atasnya maka kemungkinan terjadinya erosi tanah akan semakin kecil (Kartasapoetra, et al. 2005).
3
Untuk lebih jelasnya, diterangkan dalam tabel berikut ini: Tabel 1. Jenis tanaman penutup tanah dan erosi yang ditimbulkannya Hutan dan jenis tanaman penutup tanah
Persentase air hutan
Besarnya erosi
di atas tanah
(ton/ha/thn)
Hutan Lebat
0,8
20
Hutan Terbakar
2,6
470
Tanah Berumput
1,5
540
Tanaman Jagung
17,6
41.500
Tanaman Kapas
19,9
46.900
Tanah Gundul
49,0
514.000
Sumber: Badrudin Mahbub, 1975 Dari tabel di atas, tanah gundul yang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, dalam kondisi curah hujan yang cukup deras dan cukup lama akan mengakibatkan aliran permukaan tanah (run off) yang sangat tinggi sehingga besarnya tanah yang tererosi sangat besar. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya tanah longsor, karena tanpa adanya akar pepohonan sebagai pengikat tanah, maka tanah yang telah jenuh oleh air hujan akan mudah meluncur di atas bidang batuan dasar. Hutan alam yang belum terganggu biasanya mempunyai laju erosi permukaan paling rendah dibandingkan penggunaan lainnya di daerah tropika basah. Pada hutan alam yang belum terganggu terdapat multi tajuk yang berlapis-lapis (strata tajuk) dan penutup tanah yang rapat yang dapat menahan tumbukan hujan langsung ke tanah sehingga dapat mengurangi terjadinya pemecahan agregat tanah menjadi partikel tanah (terdispersi). Penutup tanah yang terdiri dari tumbuhan bawah dan seresah, juga dapat mengurangi laju aliran permukaan yang timbul saat terjadi hujan berlebih (excess rainfall) atau hujan besar, akibatnya berkurang pula pengikisan terhadap tanah dan pengangkutan bahan erosi oleh aliran permukaan. Dengan demikian dampak dari kemampuan strata tajuk mengurangi tanah terdispersi (sebagai bahan erosi), dan kemampuan penutup tanah mengurangi laju aliran permukaan, adalah mengurangi laju erosi permukaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Critchley & Bruijnzeel (dalam Agus et al, 2004), seperti terlihat pada Gambar 2. Pada hutan tanaman muda dengan seresah dan tumbuhan bawah yang menutup lantai hutan, dihasilkan erosi permukaan yang relatif paling rendah dibanding hutan tanaman dengan seresah maupun hutan tanpa penutup tanah sama sekali. Pada hutan tanaman muda tanpa penutup tanah dihasilkan erosi yang paling tinggi, karena masih terdapat air hujan yang lolos dari tajuk
4
dan mengenai/ menumbuk tanah, serta berkurangnya kekasaran permukaan tanah yang dapat menahan laju aliran permukaan. Selain itu, pada saat hujan berhenti, tetes air hujan yang tertahan pada tajuk pohon akan terkumpul pada ujung daun menjadi butir air yang lebih besar, kemudian menetes dari ketinggian pohon yang menambah daya kinetik tetesan untuk mendispersi tanah di bawah pohon, dan terjadilah yang dinamakan erosi percik. Terciptanya bahan erosi di bawah kanopi pohon akan diperbesar jumlahnya dengan pengikisan tanah oleh laju aliran permukaan.
erosi (mg/ha)
0,09 tanpa tanaman penutup tanah, dengan kanopi
0,06
dengan serasah dan kanopi pohon
0,03
dengan serasah dan tumbuhan bawah
0 10
20
30
40
50
curah hujan (mm)
Gambar 2. Erosi permukaan di hutan tanaman yang masih muda sebagai fungsi dari kondisi permukaan (Critchley & Bruijnzeel, 1996) III.BEBERAPA TANTANGAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN A. Penggundulan Hutan dan Alih Fungsi Hutan Secara umum, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan, baik untuk kegiatan pertambangan, eksploitasi kayu, kegiatan pertanian, pembukaan lahan kelapa sawit dan sebagainya mengakibatkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah dan pengambilan air oleh pepohonan. Hal ini disebabkan sebagai berikut: 1) Tersingkapnya permukaan tanah gundul terhadap pukulan air hujan yang deras Jika tajuk dan lapisan serasah pelindung permukaan tanah dihilangkan, tanah akan terbuka sehingga mudah tererosi oleh tenaga air hujan. Sebagian pori-pori tanah tertutupi sehingga air tidak dapat meresap dan menyebabkan terjadi peningkatan aliran permukaan serta erosi. Akibat dari erosi ini, lapisan tanah atas yang subur dan permeabel (mudah meloloskan air) akan hilang atau memadat, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi. 2)
Menurunnya transpirasi Alih fungsi lahan hutan ke lahan-lahan pertanian menurunkan transpirasi karena
tanaman pertanian tidak mempunyai tajuk secara terus-menerus sepanjang tahun dan luas daun dari tanaman pertanian lebih rendah dibandingkan dengan luas daun tumbuhan hutan. Tanaman pertanian cenderung mempunyai sistem perakaran yang dangkal
5
dibandingkan sistem perakaran pepohonan dan sebagai konsekuensinya tanaman pertanian ini hanya menggunakan air tanah bagian atas saja. Dengan turunnya transpirasi berarti meningkatnya jumlah aliran air tahunan ke sungai. 3)
Pemadatan tanah lapisan atas Jika hutan tropis dialihgunakan ke lahan-lahan pertanian, pemukiman, atau ke
dua-duanya, maka luas areal yang kedap air seperti jalan, pekarangan dan atap akan meningkat sehingga menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan penurunan infiltrasi. 4) Lenyapnya aktivitas fauna tanah secara perlahan-lahan Sebagian besar fauna tanah tergantung pada kontinuitas pasokan bahan organik dalam bentuk serasah daun, buah, atau serasah kayu. Alih guna hutan cenderung menurunkan serasah yang juga menurunkan persediaan makanan bagi fauna tanah. Lebih jauh, penggunaan pupuk dan pestisida menurunkan aktivitas fauna tanah, dengan demikian, menurunkan laju olah tanah (soil tillage) secara alamiah oleh fauna. B. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan peningkatan kebutuhan hasil hutan Tantangan lain yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah peningkatan jumlah penduduk yang tinggi yang disertai kebutuhan akan hasil-hasil hutan khususnya kayu. Rata-rata pertumbuhan penduduk di atas 1% pertahun (BPS, 2006), menimbulkan berbagai dampak termasuk dalam kebutuhan akan kayu pertukangan (konstruksi rumah, mebel dsb) dan juga kebutuhan untuk kayu bakar, khususnya bagi masyarakat sekitar hutan. Hal di atas bisa dijelaskan dalam gambar berikut: Pertumbuhan Penduduk + Konsumsi Pangan
_ Rasio Lahan/Orang
+ + Angkatan Konsumsi Kerja Kayu Bakar
+ Konsumsi Kayu Pertukangan
+ Kemiskinan di Pedesaan + Tanaman Gagal
+ Penggembalaan Ternak
_ Potensi Tegakan _ Etat Tebangan Sumber : Hasanu Simon, 1993
+ Pencuri Kayu + Degradasi Hutan
6
Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kebutuhan bahan makanan (pada gambar di atas diberi tanda +), meningkatkan jumlah pencari kerja, mengurangi rasio lahan per orang (tanda -), atau dengan kata lain menambah kepadatan penduduk serta meningkatkan kebutuhan akan kayu bakar dan konstruksi, yang bila tidak diimbangi dengan lapangan kerja diluar sektor pertanian yang mencukupi akan meningkatkan angka kemiskinan. Untuk sektor kehutanan hal ini bisa menyebabkan peningkatan pencurian kayu sehingga menyebabkan degradasi hutan dengan indikasi menurunnya jumlah tegakan dan etat tebangan (Simon, 2008) Meskipun tidak sebanyak kebutuhan kayu untuk konstruksi, kebutuhan kayu untuk kayu bakar yang diambil dari hutan jika tidak terkontrol dan tepat juga akan mengakibatkan degradasi hutan. Pola pengambilan kayu bakar oleh masyarakat bisa tercermin dari tabel berikut ini: Tabel 2. Sumber kayu bakar yang dipergunakan di sektor rumah tangga Tempat Asal
Jumlah Responden
Pekarangan
26
Kebun/ tegalan
220
Hutan/semak
18
Pekarangan dan kebun
17
Pekarangan dan hutan
4
Kebun dan hutan
5
Lainnya
7
Sumber: Diolah dari hasil survei energi pedesaan CSIS (1980) Dalam hal jual beli kayu bakar ternyata bahwa tidak hanya ranting-ranting dan cabang pohon saja, melainkan juga batang dari pohon-pohon tersebut yang berarti sejumlah pohon ditebang sepenuhnya. Padahal harganya menurut tingkat hidup pedesaaan dapat merangsang untuk terus melakukan penebangan dan eksploitasi pohonpohon di hutan (Kartasapoetra, et all, 2005). IV. ALTERNATIF SOLUSI Untuk dapat terus menjaga fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah erosi tanah, dapat dilakukan beberapa hal dan pendekatan sebagai berikut: 1. Mempertahankan hutan dengan sedikit atau sama sekali tanpa campur tangan manusia, melalui penetapan hutan lindung.
7
2. Pengelolaan hutan secara lestari bagi kelanjutan produksi kayu dan komoditas lainnya serta jasa lingkungan seperti konservasi tanah dan air, kehidupan hewan liar serta rekreasi. 3. Penegakan hukum yang tegas dalam mengatasi kegiatan pembalakan liar (illegal logging). 4. Kegiatan reboisasi, melalui partisipasi aktif masyarakat, seperti dalam program One Man One Tree. 5. Meningkatkan
pemahaman
mengenai
social
forestry,
mendorong
pengembangannya serta secara terus-menerus melakukan dialog dengan masyarakat sekitar hutan mengenai kendala-kendala yang dihadapi dan apa solusinya. 6. Peningkatan pelaksanaan Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) seperti yang telah dilakukan oleh Perhutani di beberapa wilayah, dengan terus mengevaluasi sistem bagi hasil yang ada sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 7. Ekoturisme memberikan kesempatan pada pengunjung untuk mendapatkan pengalaman berkaitan dengan alam, kebudayaan dan pengetahuan mengenai konservasi keanekaragam hayati. Pada saat yang bersamaan hal ini dapat meningkatkan pendapatan untuk keuntungan konservasi dan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan, sebagai contoh program Participation Action Research Community Base Ecotourism (PARCBE) yang dilakukan di Desa Curugmuncar, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah. 8. Penerapan Sustainable Forest Management (SFM), melalui pembentukan Model Forest (MF) yang merupakan proses pembentukan sistem pengelolaan sumber daya hutan (SDH) dengan mengintegrasikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan lingkungan satuan wilayah DAS, melalui keterlibatan partisipatif semua stakeholder di wilayah tersebut. V. PENUTUP Hutan memiliki nilai yang sangat tinggi, tidak hanya pada hasil hutan kayu, tetapi pada fungsi-fungsi hutan sebagai pemegang peranan dalam siklus hidrologi dan konservasi tanah, khususnya pencegah erosi. Meskipun demikian banyak ditemui kendala dalam proses pengelolaan hutan, khususnya praktek-praktek penggundulan hutan,
8
pencurian kayu, alih guna lahan hutan dan meningkatnya kebutuhan kayu hutan akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Untuk itu perlu selalu dilakukan langkah-langkah mengatasi tantangan-tantangan tersebut, melalui berbagai alternatif solusi. Menimbang luasnya wilayah hutan kita dan beragamnya karakteristik masyarakat maka perlu penanganan yang tepat untuk tiap wilayah. Diantaranya melalui program Participation Action Research Community Base Ecotourism (PARCBE), penerapan Sustainable Forest Management (SFM), melalui pembentukan Model Forest (MF) yang merupakan proses pembentukan sistem pengelolaan sumber daya hutan (SDH) dengan mengintegrasikan berbagai aspek serta kegiatan reboisasi melalui program One Man One Tree, khususnya untuk kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan yang cukup parah. DAFTAR PUSTAKA Agus, S., M.v. Noordwijk dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestry dan Pertanian Lahan Kering Sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat, 25-28 Pebruari 2004 Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Pertumbuhan penduduk Indonesia. http://demografi.bps.go.id/versi2/index.php?option=com_content&view=article &id=917&Itemid=100081&lang=in. Diunduh tanggal 27 Mei 2010. Kartasapoetra, A.G., G. Kartasaputra dan M.M. Sutedjo. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta Kompas. Indonesia Perlu Lebih Serius. Tanggal 21 Desember 2009. Konservasi tanah dan air di Indonesia, antara kenyataan dan harapan. library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-Inon3.pdf. Diunduh tanggal 27 Mei 2010. Pusat Dokumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti. 2008. Abstrak Hutan dan Kehutanan, Kehutanan Masyarakat No 1, 2008 Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
9