HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TERHADAP KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA BALITA DI KELURAHAN TALANG BENIH WILAYAH KERJA PUSKESMAS CURUP TAHUN 2015 Hendri Heriyanto¹, Jon Farizal², Poltekkes Kemenkes Bengkulu Prodi Keperawatan Curup Jalan Sapta Marga No.95 Curup Kabupaten Rejang Lebong Telp. 0732-22980 Email:
[email protected] Abstrak Anak melakukan tantrum di Pusat Perbelanjaan adalah suatu pemandangan yang biasa dilihat, namun tingkah laku tantrum harus segera diatasi pada usia dini agar tidak menjadi tingkah laku yang menetap pada usia selanjutnya. Temper Tantrum menempati urutan pertama permasalahan terbesar perilaku anak. Hal yang bisa menyebabkan balita mengalami Temper Tantrum adalah keinginan anak yang tidak tercapai atau terlaksanakan. Temper Tantrum adalah masalah tingkah laku yang jika tidak diatasi segera akan menjadi pola tingkahlaku yang menetap dan berkembang menjadi masalah tingkah laku yang serius di usia berikutnya, seperti impulsif, melawan orang tua, dan melanggar aturan di rumah.Diketahui hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian temper tantrum pada balita.Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analitik dengan desain Cros Sectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 45 orang ibu balita. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner,uji statistik yang digunakan adalah Chisquare.Hasil analisis univariat didapat hampir seluruh ibu balita (82,2%) memiliki pengetahuan yang tidak baik mengenai temper tantrumdan hampir seluruh responden (55,6%) memilki anak yang mengalami temper tantrum. Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap Kejadian Temper tantrum pada Balita dengan hasil P=0.002>0.05.Penyuluhan kesehatan tentang Temper tantrum perlu dilaksanakan agar ibu memiliki pengetahuan yang baik sehingga dapat mengatasi Temper tantrum pada balita. Kata kunci: Pengetahuan, Temper tantrum, balita.
The relationship Of Mother’s Of Knowladge On The Incidence Of Temper Tantrums In Toddlers Abstract Children does tantrum Shopping Centre is a common sight to see, but tantrum behavior must be overcome at an early age so as not to become sedentary behavior at a later age . Temper the biggest problems Tantrum is first order behavior. It can cause Temper Tantrum toddlers experience is the wishes of children who are not achieved or fulfilled. Temper Tantrum is a behavioral problem that if not addressed immediately will be a pattern of behavior that persist and develop into a serious problem behavior in the next age, such as impulsivity, against the parents, and breaking the rules at home.Determine the relationship of mother's level of knowledge on the incidence of temper tantrums in toddlers.This study used a descriptive analitic method with Crossectional design. The sampling technique using purposive sampling technique, with a total sample of 45 people mother toddler. The data was collected using a questionnaire, statistical tests used were Chi–square.Results of univariate analysis obtained almost all toddlers mother (82.2%) had good knowledge about tempering tantrum and not almost all respondents (55.6%) have children who have temper tantrums. The results of bivariate analysis of the relationship between the level of knowledge of the incident Mother Toddler Temper tantrums on the results of P=0.002>0.05 level.The health promotions about Temper tantrums should be implemented so that the mother has a good knowledge so that it can cope with Temper tantrum to toddlers. Key Worsds: Knowledge, Temper tantrums, toddler
PENDAHULUAN Anak balita adalah sosok individu yang unik. Anak balita berada pada rentang usia 2-5 tahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan. Pada masa ini anak berada di periode keemasan perkembangan dan pertumbuhan. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa ini bergerak dengan cepat dan merupakan dasar bagi perkembangan tahap selanjutnya (Depdiknas, USPN, 2004).
1
Beberapa masalah tentang tingkah laku anak adalah masalah anak yang temper tantrum, tidak patuh pada orang tua, susah makan (pilih-pilihmakanan), mengompol, dan bertengkar dengan kakak/adik (Markum, 2005). Salah satu ekspresi emosi dalam kehidupan sosial anak adalah temper tantrum. Temper tantrum merupakan aspek sosialemosional pada anak yang mendasari perilaku ekspresi emosi maupun respon terhadap stimulus baik itu secara internal maupun eksternal dari lingkungan (Dariyo, 2007). Temper Tantrum merupakan masalah perkembangan yang harus segera diatasi karena masalah tingkah laku yang tidak diatasi segera akan menjadi pola tingkah laku yang menetap dan berkembang menjadi masalah tingkah laku yang serius di usia berikutnya, seperti impulsif, melawan orang tua, dan melanggar aturan di rumah. Selain untuk mencegah tingkah laku yang serius, masalah temper tantrum juga harus segera diatasi karena dapat mengganggu tugas perkembangan anak usia balita. Anak balita berada pada fase anak usia dini dan sering disebut sebagai usia emas (golden age) karena anak pada usia ini mempunyai beberapa periode kritis perkembangan, yaitu perkembangan fisik, motorik, kognitif dan psikososial. Berdasarkan survei awal terhadap sepuluh orang ibu mengatakan belum mengetahui tentang temper tantrum. Setelah diberikan lembar kuesioner, dari sepuluh orang ibu yang diberi kuesioner, responden yang dapat menjawab benar mengenai temper tantrum hanya 30%, 70% lainnya menjawab salah dan belum mengetahui tentang temper tantrum. Survei awal yang dilakukan terhadap sepuluh orang ibu yang memiliki balita, banyak balita yang mengalami temper tantrum sebanyak 8 responden atau (80%) dari 10 responden. TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2007). Tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif ada 6 yaitu; 1)Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhanbahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.,2)Memahami (comprehension)Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari., 3)Aplikasi (application)Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).4) Analisis (analysis)Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponenkomponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (synthesis)Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.6) Evaluasi (evauation)Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo,( 2003) antara lain, Tingkat pendidikan, pengalaman, usia, serta informasi yang didapatkan. Tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
2
pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin semakin baik pula pengetahuannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan. Pendidikan merupakan unsur karakteristik personal yang sering dihubungkan dengan derajat kesehatan seseorang/masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah untuk menyerap informasi dalam bidang kesehatan. Mudahnya seseorang untuk menyerap informasi akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku baru yang lebih sehat. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu. Usia adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang. Menurut Hurlock (2005) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Menurut Suryabudhi (2003), seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan bahwa semakin lama hidup maka pengalaman semakin banyak, pengetahuan semakin luas, keahliannya semakin mendalam dan kearifannya semakin baik dalam pengambilan keputusan tindakannya. Demikian juga ibu, semakin lama hidup (tua), maka akan semakin baik pula dalam melakukan tindakan dalam perawatan kesehatan anak. Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang (Effendy Nasrul, 2003).
Temper tantrum adalah episode dari kemarahan dan frustrasi yang ekstrim, yang tampak seperti kehilangan kendali seperti dicirikan oleh perilaku menangis, berteriak, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang barang, berguling di lantai, membenturkan kepala, dan menghentakkan kaki ke lantai. Pada anak yang lebih kecil (lebih muda) biasanya sampai muntah, pipis, atau bahkan nafas sesak karena terlalu banyak menangis dan berteriak. Dalam kasus tertentu, ada pula anak yang sampai menendang atau memukul orang tua atau orang dewasa lainnya misalnya pada baby sitter (Tandry, 2010). Menurut Erikson (1993) dalam Potter & Perry (2005:662), temper tantrum adalah suatu ledakan kemarahan yang diekspresikan secara sangat dramatis, dengan agitasi motorik hebat seperti menjerit-jerit sambil berguling di lantai, menendang, menggigit, membenturkan kepala kelantai atau tembok, menghentakan kaki, memukuli diri sendiri dan orang lain, menangis, memaki dan lain sebagainya. Sebagian besar anak berumur 2 sampai 4 tahun memang suka mengamuk. Ada yang amukannya sangat keras, misalnya melemparkan barang mainannya atau mencoba menirukan kata-kata kasar orang dewasa yang pernah ia dengar tetapi ia sendiri tidak memahami artinya (Gichara, 2006). Anak-anak banyak memiliki perbedaaan dalam cara mereka menunjukkan kemaarahannya, tergantung pada banyak faktor yang berbeda-beda. Faktor tersebut bisa termasuk; temperamen anak, jenis kelamin anak, usia dan tahap perkembangan anak, keadaan fisik dan emosional anak, komunikasi keluarga, latar belakang budaya, harapan keluarga dan faktor-faktor sosial (Tandry, 2010). METODE PENELITIAN Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian diskriptif korelasi untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan belah lintang (Cross Sectional), dimana variabel sebab atau variabel bebas yaitu pengetahuan ibu dan
3
variabel akibat atau variabel terikat yaitu temper tantrum pada balita diukur dalam waktu yang bersamaan dan sesaat (Notoatmodjo, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak balita usia 2-4 tahun di Kelurahan Talang Benih wilayah kerja Puskesmas Curup Kabupaten Rejang Lebong Sebanyak 570 orang pada tahun 2015.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik purposive sampling yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili populasi yang telah dikenal sebelumnya. Dengan menggunakan rumus perhitungan besar sampel didapatkan hasil 45 responden.
HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Di Kelurahan Talang Benih Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Respondendi Kelurahan TalangBenih Wilayah Kerja Puskesmas Curup tahun 2015 Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Usia Ibu 1. 20-25 2. 26-30
28 17
62,2 37,8
Jumlah
45
100,0
Tingkat Pendidikan Ibu 1. SD 2 SMP 3. SMA 4. Perguruan Tinggi Jumlah
0 19 20 6 45
0 42,2 44,4 13,4 100,0
6 2 0 37
13,4 4,4 0 82,2
45
100,0
Pekerjaan Ibu 1. PNS 2.Wiraswasta 3. Buruh 4. IRT Jumlah
Tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar dari responden (62,2%) berusia antara 20-25 tahun, hampir sebagian dari responden (44,4%)
berpendidikan SMA, dan hampir seluruh responden (82,2%) adalah sebagai Ibu Rumah Tangga.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Temper Tantrum pada Balita di Kelurahan Talang Benih Tahun 2015 Variabel Tingkat Pengetahuan tentangtemper tantrum a. Baik b.Tidak Baik
Frekuensi
Persentase
8 37
17,8% 82,2%
Ibu
4
Jumlah
45
Tabel 4.2diketahui bahwa hampir seluruh responden (82,2%) memiliki pengetahuan tidak baik, sebagian kecil dari responden
100%
(17,8%) memiliki pengetahuan baik tentang Temper Tantrum pada Balita.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Temper Tantrum pada Balita di Kelurahan Talang Benih Tahun 2015 Variabel Tingkat Kejadiantemper tantrum Ya Tidak
Frekuensi
Persentase
25 20
55,6% 44,4%
45
100,0%
Jumlah Tabel 4.3 diketahui bahwasebagian besar dari responden (55,6%) memiliki anak yang mengalami Temper Tantrum.
. Tabel 4.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Temper Tantrum Pada Balita di Kelurahan Talang Benih Wilayah Kerja Puskesmas Curup Tahun 2015
Kejadian Temper Tantrum Total Ya
Tingkat Pengetahuan
Tidak Baik
Baik Total *Nilai P value = 0.002
Tidak
n
%
N
%
N
%
25
55.5
12
26.7
37
82.2
0
0
8
17.8
8
17.8
25
55.5
20
44.5
45
100
Tabel 4.4, diketahui bahwa dari 8 orang Ibu yang memiliki pengetahuan baik mengenai Temper Tantrum, (17,8%) Ibu memiliki anak tidak mengalami Temper Tantrum. Dari 37 orang Ibu yang memiliki pengetahuan tidak baik mengenai Temper Tantrum, (55,5%) Ibu memiliki anak mengalami Temper Tantrum,
P
PR 95% CI
0.002
0,324 0.2040.516
(26,7%) Ibu memiliki anak tidak mengalami Temper Tantrum. Berdasarkan Hasil uji Chi Square yang dilakukan, didapatkan hasil P=0.002≤0,05, maka Ha diterima artinya ada hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap Kejadian Temper tantrum pada Balita dan nilai PR=0,324 (95% CI=0,204-0,516), maka dapat
5
diinterpretasikan bahwa Ibu dengan pengetahuan tidak baik beresiko 0,324 kali terjadi Temper Tantrum pada balita PEMBAHASAN Hubungan TingkatPengetahuan Ibu terhadap kejadian Temper Tantrum. Hasil Analisis Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Temper Tantrum yang telah dilakukan didapatkan hasil P=0.002≤0,05, maka Ha diterima artinya ada hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap Kejadian Temper tantrum pada Balita dan nilai PR=0,324 (95% CI=0,204-0,516), maka dapat diinterpretasikan bahwa Ibu dengan pengetahuan tidak baik beresiko 0,324 kali terjadi Temper Tantrum pada balita dibandingkan dengan pengetahuan Ibu yang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Suryabudhi (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan bahwa semakin lama hidup maka pengalaman semakin banyak, keahliannya semakin mendalam, kearifannya semakin baik tentunya memiliki pengetahuan yang semakin baik pula. Begitu juga halnya dengan orang tua terutama Ibu yang memiliki pengetahuan baik akan berpengaruh dalam memberikan pendidikan dan mencontohkan perilaku yang baik kepada anaknya. Menurut Koentjoroningrat (2007) mengatakan semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka akan semakin mudah untuk menyerap informasi dari berbagai sumber untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Mudahnya seseorang dalam menyerap informasi akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku baru yang lebih sehat. Seperti informasi kesehatan untuk mengatasi anak yang berprilaku Temper Tantrum. Menurut Gordon (2005), perilaku anak sangat dipengaruhi oleh perilaku ibunya. Oleh sebab itu, ibu berperan dalam menentukan perilaku anak. Orang tua adalah tokoh panutan anak-anak, oleh karena itu diharapkan agar orang tua dapat menjadi teladan.
dibandingkan dengan pengetahuan Ibu yang baik. Menurut Notoadmodjo (2007) bahwa pengetahuan terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa dan lingkungan. Menurut asumsi penulis bahwa pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap apa yang dilakukannya. Sama halnya kejadian Temper Tantrum pada balita yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu-ibu mayoritas tidak baik yang disebabkan oleh pengalaman ibu dan kebiasaan ibu untuk membaca, menambah wawasan masih kurang. Hasil analisis Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden diketahui bahwa sebagian besar dari responden (62,2%) berusia antara 20-25 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Hurlock (2005) yang menyatakan bahwa pada faktor usia orang tua, usia sangat mendasari rasa tanggung jawab sebagai orang tua, orang tua dengan usia yang sudah dewasa memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pada orang tua yang berusia lebih muda. Berdasarkan hasil penelitian hampir sebagian dari responden (44,4%) berpendidikan SMA. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Tandry (2010) yang menyatakan bahwa orang tua dengan latar belakang pendidikan tinggi akan bersikap lebih siap dalam mendidik anaknya, karena pengetahuan yang luas diperoleh melalui kegiatan membaca artikel ataupun mengikuti kemajuan mengenai perkembangan anak. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar dari responden 37 orang (82,2%) adalah sebagai Ibu Rumah Tangga. Orang tua (khususnya ibu) yang tidak bekerja mempunyai waktu banyak untuk selalu mendampingi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Sementara ibu yang bekerja hanya sedikit mempunyai waktu untuk bisa berinteraksi dengan anak dibandingkan ibu yang tidak bekerja, tapi
6
sebenarnya pendapat ini tidak sepenuhnya benar, ada ibu yang bekerja di luar rumah
lebih sukses dalam mendidik anak-anak mereka dibanding ibu yang tidak bekerja.
SIMPULAN
Sebagian besar dari responden berusia antara 20-25 tahun, dan hampir sebagian dari responden berpendidikan SMA,, hampir seluruh responden adalah Ibu Rumah Tangga. dan memiliki pengetahuan tidak baik mengenai Temper Tantrum. Dan dari
keseluruhan responden Sebagian besarmemiliki anak yang mengalami Temper Tantrum. Sehingga ada hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Temper tantrum pada Balita di Kelurahan Talang Benih Wilayah Kerja Puskesmas Curup Tahun 2015.
SARAN Saran yang dapat diberikan kepada responden yaitu agar meningkatkan informasi dan pengetahuan ibu mengenai perilaku Temper Tantrum pada Balita serta dampak kedepannya jika Temper Tantrum tidak ditangani sedini mungkin.dan diharapkan kepada pihak Puskesmas agar dapat memberikan penyuluhan kesehatan mengenai
perilaku Temper Tantrum pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Curup. Saran bagi peneliti selanjutnya adalah dapat meneliti variabel-variabel atau faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian Temper Tantrum pada Balita disertai dengan metode yang lebih baik untuk mengatasi anak yang mengalami Temper Tantrum
DAFTAR PUSTAKA Effendy N, 2003, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Notoatmodjo,(2003).Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Suryabudhi, M. (2003). Perkembangan Bayi Dan Anak. Pioner Jaya: Bandung Gordon, Thomas. (2005). Menjadi Orang Tua Efektif. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hurlock. (2005). Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta: Erlangga Markum, dkk. (2005). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI. Dennis, Tracy. (2006). Emotional SelfRegulation in Preschoolers: The Interplay of Child Approach Reactivity, Parenting, and Control Capacities. Developmental Psychology. Vol42, No. 1, AmericanPsychological Association. Gichara, Jenny. 2006. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Depok:PT Kawan Pustaka
Setiawan, Adam, (2006). Psikologi Umum. Bandung.Rosdakarya Dariyo, Agoes (2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, Bandung : PT. Refika Aditama Koentjoroningrat. (2007). Metode-Metode Penelitian masyarakat. Edisi Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta. Tandry, Novita. (2010). Bad Behaviour, Tantrums, and Tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Tjokroprawiro,(2010). Fenomena Kejadian Pengetahuan Masyarakat Indonesia. Di unduh tanggal 1April 2015 dari http:/www.Infoterbaru.go.id Dinkes, RL. (2014). Profil Kesehatan Rejang Lebong. Dinkes Rejang Lebong.
7
8