HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN STATUS GIZI PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI DESA PAMONGAN WILAYAH PUSKESMAS GUNTUR II KABUPATEN DEMAK Sri Lestari M. Arie Wuryanto, SKM, M.Kes Hanna Yuanita D.S, MMID
Abstract Background: Nutritional problems still become serious problem, especially in growth and development of 6-12 month’s infants. It can be impacted on physical growth disorder, metabolic disordes, especially for fat disorder, protein and carbohydrate metabolism, which can lead non-communicable diseases such as obesity, malnutrition, intelligence disorder and disorder of social behavior. Therefore, good nutritional status is needed to determine growth and development of infants further. Aim(s): To determine relationship between eating habit and nutritinal status of 612 month’s infants in Pamongan village Guntur II Public Health Center. Methods: Type of this study was analytical with cross sectional design. This study analyzed relationship between eating habit and nutritional status of the 6-12 month’s infants. Population in this study were 6-12 month’s infants, as many as 34 by used total sampling. Data analysis used Spearman Rho correlation test with P table=0.05 Results: From this study was found that 52.9% of the infants food was good, 58.8% of infant’s food type was good, 70.6% of food frequency was good, 58.8% of eating habit wasn’t good, 64.7% of infants had nutritional status was good. Correlation test between eating habit and nutritional status of infants showed that there wasn’t relationship between eating habit and nutritional status of 6-12 month’s infants with P value=0.083. Conclusion: There wasn’t relationship between eating habit and nutritional status of 6-12 month’s infants. Keywords: Number of food, type of food, food frequency, eating habit, nutritional status References: 40 references (2002-2012) Kerangka Pemikiran Pola makan adalah susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang atau penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu. Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk satu kelompok tertentu. Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 1
kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan sehari-hari. Pola makan seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain, sosial budaya, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa bahkan ras turut andil di dalamnya. Pola makanan bergantung pada jumlah, jenis, dan frekuensi, secara fisik seseorang akan sangat dipengaruhi oleh asupan makanan yang diterimanya. ASI merupakan sumber makanan utama dan paling sempurna bagi bayi usia 0-6 bulan. ASI juga mengandung nutrien-nutrien khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan sesuai dengan makanan bayi yang paling sempurna, baik secara kualitas maupun kuantintas. ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi normal sampai usia 4-6 bulan. ASI diberikan perhari antara 720-960 ml, dengan jumlah ASI yang diberikan untuk setiap kali bayi disusui berjumlah 100-200 ml. Pemberian ASI pada bayi 0-6 bulan dilakukan sesering mungkin (jika payudara sudah penuh) atau sesuai kebutuhan bayi, yaitu setiap 2-3 jam, atau 7-8 kali perharinya. Total jumlah ASI perhari 720-960 ml, sedangkan jumlah ASI yang diberikan untuk setiap kali bayi disusui berjumlah 100-200 ml. Berikan ASI saja ( ASI eksklusif) sampai berusia 6 bulan. Menginjak usia 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi bayi yang terus berkembang. Perlu diberikan makanan pendamping ASI. Bayi dilahirkan dengan kemampuan reflek makan, seperti mengisap,
menelan, dan akhirnya mengunyah. Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan perkembangan sistem alat pencernaan bayi, mulai makanan bertekstur cair, kental, semi padat hingga akhirnya makanan padat. Status gizi dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya ekonomi yang rendah yang dapat mengakibatkan pendidikan umum kurang, pendidikan gizi kurang, dan dapat berpengaruh pada hygiene dalam pemberian makan yang kurang, menyebabkan faktor penyakit pada bayi dan dapat mempengaruhi status gizi. Sedangkan pendidikan umum yang rendah dapat berpengaruh pada faktor sosial maupun budaya dan agama sehingga dapat berpengaruh pada pola makan dan status gizi bayi. Status gizi juga dipengaruhi oleh faktor genetik, gizi, obstetrik, seks, obatobatan, lingkungan, penyakit seperti endokrin, infeksi, kongenital, penyakit kronik, dan psikologis. Berdasarkan baku Harvard status gizi dapat dibagi menjadi empat yaitu: a. Gizi lebih untuk over weight, termasuk b. Baik untuk well nourished. c. Gizi kurang untuk under weight yang mencangkup mild dan moderate PMC (Protein Kalori Malnutrition). d. Gizi buruk untuk severe PMC, termasuk marasmus, marasmik-kwasiorkor dan kwasiorkor. Secara langsung menilai kecukupan ASI yang dikonsumsi bayi dapat dilihat dari kondisi bayi. Tandatanda bayi yang mendapat ASI dalam jumlah cukup adalah bayi terlihat puas dan tenang, tidur selama 2 jam setiap kali habis menyusu, buang air kecil minimal 6-8 kali dalam sehari, dan terjadi pertambahan berat badan. Secara jangka panjang, kecukupan konsumsi ASI dan gizi bayi dapat dilihat dari pertumbuhanya. Pertumbuhan bayi dapat dipantau
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 2
dengan melihat hasil penimbangan yang tercatat dalam KMS (Kartu Menuju Sehat). Catatan dalam KMS dapat menunjukkan proses tumbuh kembang berjalan normal sesuai bertambahnya umur atau tidak. Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Pemeriksaan klinik adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penilaian konsumsi pangan merupakan cara menilai keadaan/ status gizi masyarakat secara tidak langsung. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah: (1) Metode recall 24 jam Metode ini digunakan untuk estimasi jumlah pangan dan minuman yang dimakan oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum wawancara dilakukan.
Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi pangan berdasarkan ukuran rumah tangga (urt), kemudian dikonversi ke ukuran metrik (gram); (2) Food records Dengan metode ini responden mencatat semua pangan dan minuman yang dikonsumsi selama seminggu. Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga, atau menimbang langsung berat pangan yang dimakan. (3) Weighing method Metode penimbangan mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan/ pangan yang dikonsumsi oleh seseorang pada hari wawancara. (4) Food frequency questionnaire Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu, diperlukan kuesioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis makanan dan frekuensi konsumsi pangan. 5) Dietary history. Tujuan dari metode ini adalah untuk menemukan pola inti pangan sehari-hari pada jangka waktu lama serta untuk melihat kaitan antara intake pangan dan kejadian penyakit tertentu. Metode ini meliputi tiga komponen dasar, yaitu wawancara mendalam pola makan sehari-hari (termasuk recall 24 jam), checklist frekuensi pangan, dan pencatatan pangan dua-tiga hari, yang dimaksud sebagai teknik crosscheking (pemeriksaan silang).
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 3
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik, di mana penelitian ini menganalisis hubungan antara variabel (variabel bebas dan variabel terikat). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectiona.. Populasi ialah keseluruhan subyek penelitian yaitu bayi 6-12 bulan di Desa Pamongan Wilayah Puskesmas Guntur II Kabupaten Demak pada bulan maret berjumlah 34 bayi. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semua bayi usia 6-12 bulan di Desa Pamongan Wilayah Puskesmas Guntur II Kabupaten Demak berjumlah 34 bayi. Teknik Sampling Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel dengang total sampling yaitu semua anggota populasi terpilih menjadi sampling. Peneliti melakukan pengukuran antopometri secara langsung (pada bayi yang tidak ditimbangkan secara rutin oleh ibu) kemudian peneliti akan melakukan wawancara pada ibu yang memiliki bayi 6-12 bulan untuk mendapatkan data, mengingat sampel yang diambil besar maka peneliti melibatkan orang lain sebagai enumerator untuk membantu dalam pengambilan data primer. Data sekunder diperoleh dari catatan KMS (Kartu Menuju Sehat) Bayi di Wilayah Puskesmas Guntur II Kabupaten Demak. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah timbangan, metlin, pita LILA, KMS bayi tujuanya untuk mengelompokkan status gizi bayi. Pedoman wawancara digunakan untuk mengetahui pola makan bayi 6-12 bulan.
Analisis hasil penelitian pada desain cross sectional yaitu menggunakan: a) Analisis univariat untuk menggambarkan masingmasing variabel dengan menggunakan persentase dan frekuensi. b) Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel dengan skala data ordinal untuk mengetahui hubungan dari kedua variabel. Langkah pertama akan dibuat cross tabulating (tabel silang), kemudian dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan korelasi Spearman Rho (ρ) karena variabel yang digunakan merupakan skala ordinal. Hasil Penelitian Jumlah makanan sebagian besar bayi 6-12 bulan adalah baik, dengan persentase (52.9%). Dari hasil distribusi frekuensi berdasarkan jenis makan didapatkan sebagian besar bayi 6-12 bulan adalah baik, dengan persentase (58.8%). Hasil distribusi frekuensi makan menunjukkan sebagian besar bayi 6-12 bulan adalah baik, dengan persentase (70.6%). Hasil distribusi frekuensi pola makan bayi 6-12 bulan adalah tidak baik dengan persentase sebesar (58.8%). Hasil distribusi frekuensi status gizi bayi 6-12 bulan sebagian besar adalah normal dengan persentase (64.7%). Dalam kategori jumlah makan bayi, belum mendapatkan bubur saring, bubur susu, sebanyak ½ gelas sebesar (11.1%). Dan bayi yang mendapat takaran khusus dari ibunya sebesar (11.1%). Dalam kategori jumlah makan bayi 7-9 bulan terdapat bayi yang tidak memperoleh jumlah makan ½ gelas (70%). Yang tidak memberikan makanan bertahap (30%), dan yang memperoleh takaran khusus setiap makan ada (10%). Dalam kategori jumlah makan 9-12 bulan tidak memberikan makan sebanyak ¾ gelas (33.3%). Bayi belum mendapat
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 4
sayur (13.3%). Bayi tidak mendapat buah potongan kecil (6.7%). Dan bayi mendapat takaran kusus dari ibunya ada (33.3%). Dalam kategori jenis makan bayi 67 bulan tidak memberikan ASI sesering mungkin ada (11.1%). Dan bayi belum mendapat selingan sebanyak (11.1%). Dalam kategori jenis makan bayi 7-9 bulan bayi yang tidak mendapat ASI sesering mungkin ada (10%), bayi belum mendapat kacang-kacangan dan hati ayam (40%), dan bayi belum mendapat sari buah sebanyak (20%). Dalam kategori jenis makan bayi 9-12 bulan ada bayi yang belum diberikan minyak atau santan (6.7%). Dalam kategori frekuensi makan 67 bulan, bayi tidak mendapat ASI sesering mungkin (11.1%), tidak memberikan makanan selingan dan tidak makan sebanyak 2-3 kali sehari (22.2%). Dalam kategori frekuensi makan bayi 9-12 bulan, bayi tidak mendapatkan ASI sesering mungkin dari ibunya ada (20%), bayi tidak makan 2-3 kali dan bayi tidak mendapat makanan selingan ada (30%). Dalam kategori frekuensi makan umur 9-12 bulan, bayi tidak mendapat makan 3-4 kali sehari dan tidak mendapat makanan selingan 1-2 kali sehari ada (6.7%). Didapatkan hasil bahwa pada responden dg status gizi normal, proporsi terbanyak pada responden dengan jumlah makan yang baik yaitu 83.3%. Sedangkan pada responden dengan status gizi gemuk, proporsi terbanyak pada responden dengan jumlah makan tidak baik 18.7%. Pada responden dengan status gizi kurus proporsi terbanyak pada responden dengan jenis makan tidak baik yaitu sebesar 42.9%. Sedangkan pada status gizi normal proporsi terbanyak pada responden dengan jenis makan baik yaitu 80%. Pada responden dengan status gizi normal, proporsi terbanyak pada responden dengan
frekuensi makan tidak baik yaitu sebesar 66.7%. Sedangkan pada status gizi kurus proporsi terbanyak pada responden dengan frekuensi makan tidak baik yaitu 40%. Pada status gizi gemuk memilki frekuensi makan baik yaitu 25%. Pada responden dengan status gizi normal proporsi terbanyak pada responden dengan pola makan tidak baik yaitu sebesar 78.6%. Sedangkan pada status gizi gemuk proporsi terbanyak pada responden dengan pola makan baik yaitu 21.4%. Berdasarkan hasil uji korelasi didapatkan hasil sebagai berikut pvalue=0.083 dengan α=0.05 sehingga. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola makan dengan status gizi bayi 6-12 bulan.
Pembahasan Dalam pengambilan data peneliti masih menemukan anggapan dari seorang ibu bahwa ketika ibu memberikan makan ½ gelas atau sesuai usianya, ibu menganggap bayinya nanti tidak akan kenyang. Ini membuktikan bahwa dalam penerapan jumlah makanan yang baik tidak sepenuhnya bisa diterapkan pada bayi. Pada dasarnya asupan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan oleh kelebihan zat gizi, sebaliknya asupan makanan yang kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit. kedua keadaan sama tidak baiknya sehingga disebut gizi salah. Menginjak 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi yang terus berkembang. Perlu diberikan makanan pendamping ASI, bayi dilahirkan dengan kemampuan reflek makan, seperti menghisap, menelan dan akhirnya mengunyah. Pemberian makan pendamping ASI harus disesuaikan dengan perkembangan
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 5
sistem alat pencernaan bayi, mulai makanan berstektur kental, semi padat, hingga makanan padat. Masih ditemukan anggapan dari ibu bahwa dalam pemilihan jenis makanan sesuai keinginan bayi, jika bayi senang dengan apa yang diberikan, maka ibu juga akan memberikan jenis makan itu. Pemilihan jenis makanan tambahan sebaiknya mengacu pada usia bayi dan perkembangan usia. Sebagian besar dalam kasus ini ibu beranggapan bahwa memberikan makanan lebih sering tanpa memperhatikan frekuensi yang dibutuhkan itu lebih baik. Kebutuhan bayi akan meningkat seiring tumbuh kembangnya, bayi tetap membutuhkan ASI pada usia 6-9 bulan. Bayi setidaktidaknya membutuhkan 4 porsi makan. Jika dengan takaran tersebut bayi masih lapar dapat diberikan makanan selingan, misal pisang atau biskuit. Buah-buahan merupakan makanan selingan yang sempurna. Bayi memerlukan makanan untuk dimakan setiap 2-3 jam, dan begitu bayi terbangun. Menginjak usia 9 bulan bayi telah mempunyai gigi dan mulai pandai mengunyah kepingan makanan. Sekitar usia 1 tahun bayi sudah mampu memakan makanan orang dewasa. Pada saat ini bayi makanan 4-5 kali sehari. Dalam penggolongan pola makan didapatkan pola makan bayi yang tidak baik sebanyak 20 bayi (58.8%). Kurangnya ilmu pengetahuan tentang cara penerapan pola makan yang baik, mereka mendapatkan buku KIA (Buku Kesehatan Ibu dan Anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik dalam pembelajaran tentang pola makan yang baik dan benar. Dalam hal ini pola makan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi yang baik. Pola makan yang tidak sesuai akan menyebabkan asupan gizi berlebih atau sebaliknya kekurangan. Pola makan yang baik juga perlu dikembangkan untuk
menghindari interaksi negatif dari zat gizi yang masuk dalam tubuh. Masingmasing interaksi dapat bersifat positif jika membawa keuntungan . negatif jika merugikan. Banyak yang beranggapan bahwa gemuk pada bayi adalah hal yang wajar dan sangat menyenengkan bila memilki bayi yang gemuk dan lucu, Namun kita juga harus memperhatikan bahwa kegemukan pada bayi bukan sepenuhnya baik. Kegemukan pada bayi akan berdampak tidak baik bagi tumbuh kembangnya oleh karena beratnya yang berlebih. Kegemukan juga merupakan salah satu faktor resiko dalam terjadinya penyakit.(11.22) Asupan gizi yang seimbang harus mengandung cukup energi dan semua zat esensial sesuai kebutuhan sehari-hari. Masih banyak ditemukan pendapat ibu bahwa memilki bayi dengan status gizi gemuk itu sangat lucu dan menyenangkan. Padahal gemuk merupakan malnutrisi pada bayi yang dapat menimbulkan faktor risiko terjadinya penyakit lebih banyak.(11) Dalam hal ini jika bayi mendapat susu formula dan dan terjadi pertumbuhan yang cepat perlu ditinjau lagi ketepatan susu formula yang dipakai dan aturan pakainya baik dari jumlah maupun frekuensi pemberian untuk 24 jam apakah sudah diberikan secara tepat atau belum. Dalam penelitian ini dapat dilihat adanya masalah dalam pemberian makanan yaitu kualitas makanan yang diberikan kurang karena hanya memberikan satu jenis pangan seperti nasi tim, tepung beras encer, lontong yang dilumatkan, atau hanya terdiri dari pisang saja tanpa ditambah protein hewani dan zat gizi lainya. Dalam penelitian ini ada peneliti masih menemukan perilaku ibu yang tidak baik yaitu memberikan makanan yang sudah dikunyah oleh ibu. Ibu menganggap bahwa dengan dikunyah makanan akan halus dan mudah
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 6
dicerna oleh bayinya. Hal ini sejalan dengan teori tentang faktor yang dapat mempengaruhi status gizi bayi yaitu di antaranya perilaku ibu yang terbiasa mengunyah makanan sebelum diberikan pada bayinya, kualitas yang diberikan kurang, dan terlalu dini dalam pemberian makanan pendamping ASI. Penelitian yang dilakukan di Desa Pamongan tentang hubungan pola makan dengan status gizi bayi 6-12 bulan secara statistik memang tidak ada hubungan antara pola makan dengan status gizi. Namun bukan berarti kita dapat mengabaikan pola makan yang semestinya diberikan pada bayi. Pola makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaa, dan pilihan makanan, yang terbantuk sebagai hasil dari pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, dan lingkungan.(11) Pola makan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi. Pola makan yang tidak sesuai akan menyebabkan asupan gizi berlebih atau sebaliknya kekurangan.
Kesimpulan 1. Bayi yang memiliki jumlah makan baik sebanyak 18 bayi (52.9%) sedangkan bayi yang mimiliki jumlah makan yang tidak baik sebanyak 16 bayi (47.1%). 2. Bayi yang memiliki jenis makan baik sebanyak 20 bayi (58.8%) dan bayi dengan jenis makanan tidak baik sebanyak 14 bayi (41.2%). 3. Frekuensi makan bayi baik sebanyak 24 bayi (70.6%) dan frekuensi makan tidak baik sebanyak 10 bayi (29.4%).
4. Pola makan bayi baik sebanyak 14 bayi (41.2%) dan pola makan tidak baik sebesar 20 bayi (58.8%). 5. Tidak ada hubungan antara pola makan dengan status gizi bayi 6-12 bulan di Desa Pamongan Wilayah Puskesmas Guntur II. Saran 1. Puskesmas Guntur II diharapkan dalam setiap pelayanan posyandu yang dilakukan secara rutin juga menyelipkan pendidikan kesehatan gizi bagi ibu-ibu bayi dan balita agar mereka dapat menerapkan pola makan yang baik bagi anaknya. 2. Petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan petugas kesehatan tidak hanya melakukan pemantauan gizi bayi saja, tetapi dapat ditambah dengan pemantauan pola makan yang diterapkan oleh ibu pada bayinya, terutama pada bayi dengan dengan malnutrisi 3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi sehingga penelitian yang selanjutnya dapat meneliti semua aspek yang dapat berpengaruh pada status gizi. Dan dalam penelitian analitik diharapkan peneliti berikutnya dapat mempertimbangkan jumlah responden lebih dari 40 responden.
Daftar Pustaka 1. Hidayat A A. Pengantar ilmu kesehatan anak pendidikan kebidanan. Jakarta:Salemba Medika; 2011. h. 2-3 2. Badan Pusat Statistik. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Badan Statistik; 2008. 3. Anonymous. Profil kesehatan Kota Semarang 2011. 9 juli 2012 [diakses tanggal 31oktober 2012]. Didapat dari:
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 7
http://www.dinkes.kotasemarang.g o.id. 4. Dinas Kesehatan Kabupaten Demak. Profil kesehatan demak tahun 2011 terwujudnya masyarakat demak yang semakin sehat dan mandiri. Demak: Dinas Kesehatan Kabupaten Demak; 2011. 5. Anonymous. Penuhi kebutuhan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan. 14 agustus 2012 [Diakses tanggal 2 oktober 2012]. Didapat dari: http://www.depkes.go.id/index.php/ berita/press-release/2014-penuhi kebutuhan-gizi-pada-1000-haripertama-kehidupan.html. 6. Sitorus R. Makanan sehat dan bergizi. Bandung: Yrama Widya; 2009. h.837 7. Path E, Rumdasih Y, Heryati. Gizi dalam kesehatan reproduksi. Jakarta: EGC; 2005. h. 104-5, 107. 8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Menuju perbaikan gizi perseorangan dan masyarakat yang bermutu. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak; 2012. 9. Siti. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Ibu Dalam Pemberian Makanan Bagi Anak Balita Berstatus Gizi Kurang Di Wilayah 10. Puskesmas Bergas, Kabupaten Semarang. 2003. [Diakses tanggal 03 november 2012]. Didapat dari: http://ejournals1.undip.ac.id/index. php/jnc/article/view/725. 11. Anugraheni HS, Kartasurya MI. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-36 Bulan Di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. 2007. [Diakses tanggal 03 november 2012]. Didapat dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/12 3456789/41876. 12. Sulistyoningsih H. Gizi untuk kesehatan ibu dan anak.
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011h.52; 57-8. 13. Jokohadikusumo P. pembangunan gizi untuk kualitas sumber daya manusia. Bandung: PT. Puri Delco; 2010. h.18. 14. Restianti H. Pola makan dan keseimbangan gizi. Bandung: Puri Pustaka; 2009. h.45; 49. 15. Arini H. Mengapa seorang ibu harus menyusui?. Yogyakarta: FlashBook; 2012. h.52-60. 16. Proverawati A, Rahmawati E. Kapita Selekta ASI dan menyusui. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010. h.15-8. 17. Rudolph’s. Buku ajar pediatri Rudolph,ed.20, vol.2. Jakarta: EGC; 2007. h.1109-10. 18. Yuniastuti A. gizi dan kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2008. h.113; 115- 20 19. Marimba H. Tumbuh kembang, status gizi dan imunisasi dasar pada balita. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010. h.22-6. 20. Vivian N. Asuhan neonatus bayi dan anak balita. Jakarta: Salemba Medika; 2010. h.27 21. Kementrian Kesehatan RI. Buku kesehatan ibu dan anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI dan JICA; 2011. 22. Boediman D. Sehat bersama gizi. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. h.6-7 23. Waryana. Gizi reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihana; 2010. h.76-8; 83; 88. 24. Arisman MB. Gizi dalam daur kehidupan:buku ajar ilmu gizi,ed.2. Jakarta: EGC; 2010. h.57-9. 25. Rahmawati S. sehat pangkal cerdas. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara; 2002. h.68. 26. Ester M. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC; 2002. h.33; 73-7 27. Adriani M, Wirjatmadi B. Pengantar gizi masyarakat. Jakarta: Kencana Permada Media; 2012. h.238-39.
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 8
28. Sitorus R. Makanan sehat dan bergizi. Bandung: CV Yrama Widya; 2009. h.83-87. 29. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman pelayanan anak gizi buruk. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011. 30. Rudolph’s. Buku ajar pediatri Rudolph,ed.20,vol.2. Jakarta: EGC; 2006.h.5 31. Sediaoetomo A. Ilmu gizi. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. h.47-50. 32. Sri Romdonah. Hubungan Pola Konsumsi Makan Dengan Status Gizi Anak Balita Studi Pada Anak Balita Umur 2-4 Tahun Di Desa Kuwaron Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan. 2010. [Diakses tanggal 12 desember 2012] Didapat dari http://eprints.undip.ac.id/16211/1/0 246.pdf 33. Tri Dyah Rahmawati. Hubungan Antara Pola Pemberian Makan Dengan Status Gizi Bayi (3-4 Bulan) Di Kecamatan Semarang Utara Kodia Semarang .2008. [Diakses tanggal 12 desember 2012] DIdapat dari http://eprints.undip.ac.id/16054/1/M aria.pdf 34. Susan. Hubungan Pola Asuh Makan Dengan Status Gizi Balita 13-59 Bulan Di Posyandu Srikandi 4 Kelurahan Tambak Wedi Surabaya. 2011. [Diakses tnggal 10 desember 2012] didapat dari
35.
36.
37.
38. 39. 40. 41.
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfi le/59114815966_abs.pdf Maria Novita Wello. Hubungan Antara Pola Makan Dengan Status Gizi Balita Di Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. 2011. [Dakses tanggal 10 desember 2012] didapat dari http://eprints.undip.ac.id/16125/1/0 395.pdf Endang Suwiji, Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora. 2006. [Diakses tanggal 10 desember 2012] didapat dari http://lib.unnes.ac.id/cgi/request_d oc?docid=4402. Suyanto, Salamah U. Riset kebidanan metodologi dan aplikasi. Yogyakarta: Mitra Cendikia; 2009. h.21. Riyanto A. Metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2011. h.28; 89-92. Setiawan A,saryono. Metodologi penelitian d3, d4, s1 dan s2. Yogyakarta: Nuha Medika; 2011. Riwidikdo H. Statistik kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012. h.86-9. Banudi L. Gizi Kesehatan Reproduksi Buku Saku Bidan. Jakarta: EGC; 2012. h.61-77
Jurnal Kebidanan Panti Wilasa, Vol. 4 No. 1, Oktober 2013____________________ 9