HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA PENDERITA TUNA DAKSA
Leoni Dwi Andini Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
LEMBAR PENGESAHAN HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA PENDERITA TUNA DAKSA Oleh Leoni Dwi Andini 802008018 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Disetujui pada tanggal: 18 Agustus 2015 Oleh: Pembimbing Utama
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Diketahui oleh, Kaprogdi
Disahkan oleh, Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA
FKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACAN SALATIGA 2015
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertandatangan dibawah ini: Nama
: Leoni Dwi Andini
Nim
: 802008018
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul: HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA PENDERITA TUNA DAKSA Yang dibimbing oleh: 1. Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Adalah benar – benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya sensiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya. Salatiga,18 Agustus 2015 Yang memberi pernyataan
Leoni Dwi Andini
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama Nim Program Studi Fakultas Jenis Karya
: : : : :
Leoni Dwi Andini 802008018 Psikologi Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk diberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive free right) atas karya ilmiah saya berjudul : HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ANAK TUNA DAKSA Dengan hak bebas royalty-non exclusive ini, UKSW berhak menyimpan mengalih media/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Salatiga Pada tanggal 18 Agustus 2015 Yang menyatakan,
Leoni Dwi Andini
Mengetahui Pembimbing Utama
Dr.Chr.Hari.S.MS.
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA PENDERITA TUNA DAKSA
Leoni Dwi Andini Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada anak tuna daksa. Hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu ada hubungan positif antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada anak tuna daksa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan jumlah responden sebanyak 30 anak. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri yang berjumlah 36 item, dan skala penyesuaian diri sebanyak 22 item. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,361; p=0,025 (p<0,005), sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Kata kunci: penyesuaian diri, penerimaan diri, tuna daksa
i
ABSTRACT
The purpose of this study was find the relationship between self – acceptance with adjustment self on disabled children. The hypothesis proposed by the researchers that there is a positive relationship between self-acceptance with adjustment on disabled children. Other research method used in this research is quantitative method with respondents as many as 30 children. Measuring instruments used in this study were self-acceptance scale, amounting to 36 items, and the scale of adjustment as much as 22 items. Based on the analysis of data obtained correlation coefficient (r) 0,361; p=0,025 (p<0,005), so the hypothesis is accepted. Keyword: adjustment, self-acceptance, disabled
ii
1
PENDAHULUAN Anak berasal dari kata adolescene yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa anak ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosial. Tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh anakakan membentuk suatu perubahan dalam diri anak, baik secara fisik maupun psikologis (Hurlock, 2008). Reaksi anak terhadap perkembangan fisik dipengaruhi oleh llingkungan dan kepribadiannya, serta interpretasi terhadap lingkungan (Monks, 2010). Anak pada umumnya memiliki harapan, cita-cita, dan keinginan yang ingin diraih. Harapan tersebut akan hilang apabila anak mengalami atau menghadapi masalah atau cobaan yang dapat membuat hidupnya berubah dari kondisi semula. Setiap orang ingin dilahirkan dalam keadaan yang sempurna dan normal, akan tetapi tidak semua orang mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan atau kelainan. Mereka yang memiliki kecacatan fisik, biasanya disebut tuna daksa. Tuna daksa sendiri dibagi menjadi 2 kelompok besar oleh Dierektorat Pendidikan Luar Biasa, yaitu kelainan pada sistem selebral (Celebral system), dan kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System). Kelainan pada sistem otot dan rangka didasarkan pada penggolongan anak tuna daksa yang mengalami kelainan pada anggota tubuh , antara lain: kaki, tangan dan sendi, kemudian tulang belakang (Mangungsong, 1998). Tuna daksa jenis ini dibagi menjadi dua, yaitu : (1) poliomylitis biasanya penderita polio mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya lemah., dan (2) Muscle Dystrophy anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot yang sifatnya progresif, semakin hari semakin parah.
2
Pada dasarnya setiap manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Aspek fisik pada penderita Musculus Skeletal system memiliki keterbatasan atau ketidaksempurnaan. Kondisi tersebut menyebabkan ruang gerak kehidupan penderita Musculus Skeletal system juga akan terbatas. Menurut Piaget (dalam Somantri, 2006), anak tersebut tidak mampu memperoleh skema baru dalam berpartisipasi dengan suatu laju perkembangan yang normal. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara anak-anak normal dan anak-anak tuna daksa musculus skeletal system menjadi lebih jelas dengan bertambahnya besar anak tersebut. Kesenjangan ini akan lebih Nampak pada masa anak dimana anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan baik fisik maupun psikis. Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang penyandang Cacat, pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah dimana setiap orang memiliki kelaina fisik dan / atau mental yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak, yang diantar lain : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental (Karyanta) . Ikraputra (2002) mengungkapakan kata “cacat” secara tidak langsung menunjukkan suatu diskriminasi yang tanpa disadari telah mempengaruhi sikap masyarakat sehingga timbul perlakuan yang berbeda terhadap mereka yang cacat.Ketua panitia Hari Penyandang Cacat 2005, Sakaril mengungkapkan bahwa,penyandang cacat mengahadapi banyak kendala, misalnya ada diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat, adanya keterbatasan akses untuk fasilitas umum dan kesempatan bekerja bagi mereka. Akibat seringnya kendala yang penyandang tuna daksa dihadapi, maka mereka berfikir bahwa mereka berbeda dengan orang yang normal. Pandangan seperti ini dapat mempengaruhi pandangan individu tuna daksa tentang keberadaan pada dirinya, sehingga membuat para
3
penyandang tuna daksa tersebut merasa kurang bisa berfikir positif tentang keberadaannya, sehingga akan mempengaruhi pula penerimaan diri individu tersebut terhadap keberadaannya. Keterbatasan yang dimiliki serta anggapan negative dan perlakuan buruk yang diterima dari masyarakat dapat menjadikan tuna daksa semakin rendah diridan menarik diri dari lingkungan, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka benar-benar menjadi orang yang tidak berfungsi secara sosial dan tidak dapat merawat diri sendiri. Hal-hal ini yang pada akhirnya mempengaruhi penilaian mereka mengenai kualitas hidup yang dimiliki. Peneliti menjumpai fenomena yang terjadi, adanya gangguan yang dimilki oleh seorang anak yang mengalami gangguan fisik atau tuna daksa yang tidak diterima oleh orang tua, keluarga, dan bahkan lingkungan sekitarnya sehingga membuat seorang yang mengalami tuna daksa ini kurang mampu bahkan tidak mampu menerima dirinya dengan keadaan yang tidak sempurna. Menurut hasil wawancara penulis terhadap dua orang ibu yang mempunyai anak tuna daksa di SLB Wahid Hasyim Bringin, menunjukan bahwa penerimaan diri anak kurang maka anak tersebut juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan dirinya dimana dia berada, mereka merasa kurang percaya diri dengan keadaannya, kurang bisa menerima kritikan dan saran dari orang lain, dan merasa bahwa dirinya selalu berbeda dengan orang lain. Manusia dengan latar belakang apapun seharusnya bisa menerima dengan baik apapun keadaan dirinya, karena apapu yang kita miliki adalah pemberian dari Tuhan bagaimanapun keadaanya (Khoiri, 2012). Mampu menerima dirinya dengan mampu menerima pujian, kritikan, dan hidup sebagaimana orang lain maka mereka yang mengalami tuna daksa juga tidak akan merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
4
Menurut salah seorang guru di SLB Wahid Hasyim Bringin, penerimaan diri seseorang yang mengalami tuna daksa memang masih rendah. Karena kurangnya dukungan dari orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar, bahkan terkadang mereka memaksakan anaknya untuk tidak bergaul atau tidak memberikan penjelasan pada anak sehingga anak juga kurang mampu menerima keadaanya. Ada juga yang orang tuanya merasa mau apabila memiliki anak yang tidak sempurna seperti dirinya sehingga membuat sang anak hanya bisa terdiam tanpa ingin menunjukan hal positif yang ada pada dirinya. Mempunyai kecacatan fisik bila tidak disikapi dengan baik maka akan menimbulkan kecemasan, kebingungan, bahkan mengalami stress dalam diri seseorang yang mengalami tuna daksa. Belajar menerima keadaan, dalam hal ini menerima keadaan fisik yang tidak sempurna seringkali seseorang cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi negatife dan jarang sekali orang melihat dari sisi positif. Ada 2 faktor yang mempengaruhi dalam proses penerimaan diri, yaitu : (1) faktor keluarga yaitu adanya hubungan yang relative harmonis keluarga dan (2) faktor lingkungan sosial yaitu didalam lingkungan sosial mengembangkan sikap perhatian, dukungan, penerimaan, dan sikap empatik pada sesama manusia. Wardhani(2012) menemukan terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri terhadap anak yang mengalami cacat fisik (tuna daksa). Hal ini menyatakan bahwa anak yang mengalami cacat fisik dapat menerima diri dan dapat menyesuaiakan diri sehingga dapat perilaku yang matang nantinya akan dapat lebih mudah menerima keadaannya. Seseorang akan lebih sulit dalam penerimaan diri dalam menerima keadaanya yang mengalami kekurangan, misalnya Musculus sceletal system, yaitu kecacatan yang ditunjukan dengan keterbatatasan fungsi intelektual dan perilaku selama masa perkembangan atau sebelum
5
usia 18 Tahun. Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individu tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Penerimaan diri disini dimaksudkan adalah menerima dirinya dengan keterbatasan yang diberi oleh Tuhan. Biasanya seseorang akan merasa sedih, kecewa, dan marah terhadap kondisi yang serba terbatas pada dirinya. Ini membuat penerimaan diri pada penderita tuna daksa ini semakin menjurus ke pemikiran negative pada dirinya sehingga membuat rasa percaya dirinya berkurang dan akan berpengaruh pada punyesuaian diri untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi terhadap duania luar. Orang yang memiliki kecacatan fisik cenderung mempunyai rasa malu, minder, serta kecemasaan terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya. Bahkan terkadang seseorang yang mengalami cacat fisik ini enggan untuk bersosialisasi. Sheerer (Cronbach,1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri sendiri dan keadaanya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya. Aspek-aspek penerimaan diri menurut Supratiknya (dalam Rahmawati) dan Sheerer (dalam Cronbach, 1954), meliputi pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis, orientasi keluar, bertanggung jawab, berpendirian, dan menyadari keterbatasan. Hurlock menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kesadaran individu tentang karakteristik diri dan kemauan untuk hidup dengan keadaan dirinya. Ketika individu dapat menerima dirinya akan terbentuk sikap yang positif terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga individu mampu melihat keadaan yang dialaminya secara rasional, tidak mudah putus asa atau menghindar dari keadaan yang dialami secara rasional, tidak mudah
6
putus asa atau menghindar dari keadaan yang tidak menyenangkan tetapi akan mencari jalan keluar atas permaslahan yang dihadapi. Penyesuaian diri menurut Schneiders (1964) merupakan satu proses yang mencakup respon-respon mental dan gtingkah laku,yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami didalam dirinya. Menurut
hasil
penelitian
sebelumnya
yang
dilakukan
oleh
Septian
Agung
(2005),menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif yang berarti antara penerimaan diri dan penyesuaian diri. Adanya penerimaan tersebut mempengaruhi seseorang yang mengalami tuna daksa untuk menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan luar. Semakin rendah rasa penerimaan diri makan akan semakin rendah pula rasa untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan luar. Dan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Renaldhi Ardian Putra
juga
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara penerimaan diri dan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa.Dimana saat seseorang tidak ada dukungan untuk dapat memberi pengertian tentang keadaan dirinya maka seseorang yang mengalami tuna daksa merasa stress dan membuat penyesuaian dirinya terganggu. Peneliti mengambil subjek anak yang mengalami cacat fisik atau Ketuna daksaan karena pada penelitian sebelumnya beberapa peneliti lebih mengarah terhadap anak yang cacat mental, sehingga peneliti tertarik mengambil dengan subjek lain. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dalam latar belakang penelitian, maka perumuan masalah adalah apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada anak yang mengalami tuna daksa.
7
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang penerimaan diri dengan penyesuaian diri anak yang mengalami tuna daksa. Diharapkan dapat membantu anak yang mengalami tuna daksa supaya dapat menerima keadaannya dan dapat menyesuaikan dirinya agar mampu menyingkirkan pikiran negative tentang keadaannya.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas,dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa?”
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran ada tidaknya hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa.
Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri penderita tuna daksa. Manfaat Praktis ►Bagi pembaca : Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan wacana agar lebih menghargai orang-orang yang berada disekitarnya yang tidak sempurna dan menambah pengetahuan agar dapat membatu sesamanya yang memilki tubuh yang kurang sempurna agar dapat menerima dirinya dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
8
►Bagi peneliti :Manfaat bagi peneliti selanjutnya, adalah untuk bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya agar dapat dikembangkan semakin dalam.
TINJAUAN PUSTAKA Penerimaan diri Santrock (2008) menyatakan bahwa penerimaan diri sebagai salah satu kesadaran untuk menerima diri sendiri dengan apa adanya. Sheerer (Cronbach (1954), dalam Nurul „Azizah) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahankelemahannya. Penerimaan diri ini bukan berarti seseorang menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa berusaha mengembangkan diri dengan lebih baik. Individu yang menerima diri berarti individu tersebut telah mengenali apa dan bagaimana dirinya serta mempunyai motivasi untuk mengembangkan diri kea rah yang lebih baik lagi untuk menjalani kehidupan (Ridha, 2012). Penerimaan diri yang positif banyak dipengaruhi oleh rasa bangga terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Sedangkan penerimaan diri yang negative terjadi jika hanya memikirkan kekurangan-kekurangannya saja tanpa memikirkan kelebihan atau potensi yang dimilikinya. Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang positif ( Rakhmat,2001). Salah satu factor keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ditentukan oleh kesanggupan individu dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Seorang individu dengan penerimaan diri yang baik akan menangkal emosi yang muncul karena dapat menerima diri dengan apa adanya.
9
Anak tuna daksa yang memiliki penerimaan diri yang rendah cenderung akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiran-pikiran negative terhadap kondisi fisik yang dimiliki anak tuna daksa saat itu. Sebaliknya anak tuna daksa yang mempunyai penerimaan diri yang tinggi akan lebih mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, yang disebabkan oleh anak tuna daksa dapat menerima kekurangan dan kelebihan serta mampu memahami dan kemudian mengembangkannya. Anak tuna daksa yang mampu menerima dirinya dapat membuka diri dan berusaha menjalin hubungan sosial, sebab dengan penerimaan dirinya atas kelebihan serta kekurangannya anak tuna daksa memiliki kemampuan serta kemampuan untuk menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya serta menjalin hubungan antar pribadi. Anak tuna fisik yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki keaktifan yang akan mendorong anak tuna fisik untuk mudah bergaul dengan orang lain maupun dengan lingkungannya, serta aktif dan memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat sehingga penyesuaian diri pada individu tersebut akan menjadi tinggi. Jenis variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah selfacceptance (penerimaan diri) milik Sheerer yang kemudian dimodifikasi oleh Berger. Definisi penerimaan diri menurut Sheerer yang kemudian dimodifikasi Berger adalah sebagai berikut yaitu yang pertama nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain, dan tidak mau atau rendah diri (Denmark, 1973).
10
Skala penerimaan diri yang telah diadaptasi Berger (dalam Denmark,1973) terdiri dari 9 karakter, yaitu: 1. Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar 2. Keyakinan dalam menjalani hidup 3. Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan 4. Mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin 5. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain 6. Menganggap dirinya sama dengan orang lain 7. Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun 8. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain 9. Tidak mau atau rendah diri.
Penyesuaian diri Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Schneiders mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku,yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami didalam dirinya. Menurut Patil (2014) penyesuaian diri adalah suatu proses untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal individu yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Lazarus (dalam Gunarsa, 2006) lebih spesifik mengartikan penyesuaian diri sebagai usaha individu dalam memenuhi tuntutan lingkungan fisik dan sosialnya. Seorang Individu tidak mampu memenuhi maka akan menimbulkan perasaan tidak tenang dan menimbulkan gangguan keseimbangan, sebaliknya jika
11
individu tidak mampu memenuhi maka akan menimbulkan perasaan tidak tenang dan menimbulkan gangguan keseimbangan, sebaliknya jika individu berhasil menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan lingkungan psikologis maka akan menimbulkan perasaan puas, superior dan menumbuhkan rasa percaya diri. Usaha tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Schneiders juga mengatakan bahwa orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya,belajar untuk bereaksi pada dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang,bermanfaat,efisien,dan memuaskan,serta dapat menyelesaikan konflik,frustasi,maupun kesulitan pribadi dan social tanpa mengalami gangguan tingkah laku. Ada beberapa Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam menyesuaikan diri adalah sebagai berikut : 1.Peer Relation Factor ini mengacu pada upaya individu untuk menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan orang lain 2.Dependency Faktor ini mengacu pada upaya kurangnya individu untuk dapat berfikir dan mengerjakan sendiri tanpa meminta tolong orang lain. 3.Hostility Faktor ini mengacu pada ketidakmampuan individu untuk mengendalikan keinginannya jika tidak terpenuhi. 4.Productivity
12
Faktor ini mengacu pada kemempuan individu untuk sungguh-sungguh mengerjakan tugas dan kewajiban yang diberikan. 5.Withdrawal Faktor ini mengacu pada ketidakmampuan individu untuk melakukan sesuatu dengan sigap dan tidak duduk termenung tanpa melakukan sesuatu.
Menurut Schneiders (dalam Desmita,2009) ada 4 aspek kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain : 1.
Kematangan emosional
2.
Kematangan intelektual
3.
Kematangan social
4.
Tanggung jawab
Menurut uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri dalam individu meliputi beberapa sikap pribadi individu seperti adanya penerimaan diri pada dirinya,mempunyai perasaan atau efeksi yang harmonis dan seimbang,memiliki kepribadian matang dan terintegrasi,dapat mengendalikan emosi,berpegang teguh pada pendirian,berfikir menggunakan rasio,punya spontanitas yang bagus dalam mengungkapkan perasaan.
Tuna daksa Pengertian
Anak
Tunadaksa
Secara
etimologis,
gambaran
seseorang
yang
diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan
13
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebgai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah
ketidakmampuan
anggota
tubuh
untuk
melaksanakan
fungsinya
disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal,akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo, 1977). Sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan khusus. (Kneedler, 1984) Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yan menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.Jika mereka mengalami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak disebut dengan cerebral palsy (CP). Penderita Tunadaksa bisa dilihat dari segi fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diarahkan sebagai seseorang yang kesehatannya mengalaami masalah sehingga menghasilkan kelainan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan untuk meningkatkan fungsinya diberlakukan program layanan khusus. Istilah kelai knan fisik (physical disability) sebenarnya tidak digunakan, namun kenyataannya definisi-definisi tersebut digunakan dalam penerapan IDEA. Istilah yang digunakan dalam undang-undang itu adalah kelainan ortopedi (orthopedic impairment)dan kelainan kesehatan lain (other health impairment). Isilah ini didefinisikan sebagai berikut dalam Federal Register kelainan ortopedi berartisuatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai efek merugikan pada prestasi pembelajaran anak. Istilah ini meliputi gangguan yang disebabkan kelaianan bawaan (misalnya berkaki pengkar, hilang salah satu anggota tubuh).Kelaianan / gangguan yang disebabkan oleh penyakit (misalnya poliomyelitis, TBC tulangdll), dan kelainan oleh penyebab lain (misalnya cerebral palsy, amputasi, patah tulangatau terbakar yang menyebabkan kontraktur).Kelainan
14
kesehatan lain berarti memiliki keterbatan kesehatan, vitalitas ataukewaspadaan yang disebabkan oleh masalah - masalah kesehatan yang akut misalnya penyakit jantung, tuberculosis, reumatik, radang ginjal, keracunan tubuh, leukemia ataudiabetes yang mengaakibatkan merugikan pada prestasi pendidikan (federalregister, 1990). Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikatagorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi (orthopedicallyhandicapped) dan anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan danKauffman, 1991). Menyimak keadaan yang nampak pada tunadaksa ortopedi dan tunadaksa syaraf tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksamemiliki kesamaan, terutama pada fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati secara seksama sumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk beraktifitas atau mobilitas akan Nampak perbedaannya. Jenis pengelompokan anak tunadaksa ada dua katagori cacat tubuh, yaitu cacat tubuh karena penyakit polio dan cacat tubuhkarena kerusakan otak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan gerak (cerebral palsy).Dilihat dari pergerakan otot -otot penyandang cerebral dikelompokkan menjadilima jenis yaitu spastic, athetoid, ataxia, termor dan rigid. 1. Spastic. Anak yang menglami spastic ini menunjukkan kekejangan pada otot - ototnya,yang disebabkan oleh gerakan-gerakan kaku dan akan hilang dalam keadaan diammisalnya waktu tidur. Pada umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam keadaan marah atau dalam keadaan tenang. 2. Athetoid
15
Anak yang mengalami athetoid, tidak mengalami kekejangan atau kekakuan.Otot ototnya dapat bergerak dengan mudah, malah sering terjadi gerakan – gerakanyang tidak terkendali
yang
timbul
diluar
kemampuannya.
Hal
ini
sangat
mengganggu
danmerepotkan anak itu sendiri. Gerakan ini terdapat pada tangan, kaki, lidah, bibir danmata. 3. Tremor Anak yang mengalami tremor sering melakukan gerakan - gerakan kecil yang berulang. Sering dijumpai anak yang salah satu anggota tubuhnya selalu bergerak. 4. Rigid Anak cerebral palsy jenis ini mengalami kekakuan otot – otot. Gerakan - gerakannya sangat lambat dan kasar. Kondisi - kondisi anak seperti itu jelas memberi dampak pada aktifitas pada hidupnya. Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu meleburkan diri dalam lingkungan yang dihadapinya (Walgito, 2003), definisi lain menurut Schneiders (2008) individu dikatakan tidak mampu menyesuaikan diri apabila perasaan sedih, rasa kecewa, atau rasa putus asa berkembang dan mempengaruhi fungsi-fungsi fisiologi serta psikologinya. Individu menjadi tidak mampu menggunakan pikiran dan sikap dengan baik, sehingga tidak mampu mengatasi tekanan-tekanan yang muncul dengan cara yang baik. Menurut Putra (2014) dalam wawancaranya dengan Psikolog di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta, menunjukkan bahwa terdapat beberapamasalah yang ditimbulkan karena hambatan penyesuaian diri misalnya: merasa dikucilkan dalam pergaulan, tidak aktif dalam kegiatan, kurang inisiatif, prestasi belajar menurun, mengalami
16
kejenuhan, kurang percaya diri dengan bentuk tubuh, tidak dapat berbicara dalam diskusi, malu dengan lawan jenis, tidak ada orang yang memperhatikan, sering merasa minder, tidak bahagia, serta tidak memiliki teman akrab. Kondisi tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa individu tersebut kurang bisa menerima keadaan cacat tubuh yang dialami. Penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahankelemahannya.Penyesuaian diri adalah penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri,yang dapat diterima oleh lingkungannya. Seseorang yang mampu menerima dirinya dengan baik maka akan meningkat pula rasa percaya diri dalam diri seseorang,maka dengan rasa mampu menerima dirinya sendiri itu seseorang yang mengalami tuna daksa selain mampu memunculkan rasa percaya diri juga dapat menyesuaikan diri untuk menghadapi keadaan sekitarnya. Namun jika seorang tuna daksa tersebut tidak mampu menerima dirinya sendiri dengan keadaanya maka orang tersebut juga tidak memiliki rasa kepercayaan diri dan me ngakibatkan tidak mampu menyesuaikan dirinya untuk menghadapi sekitarnya. Maka dari itu penerimaan diri akan berhubungan dengan penyesuaian diri pada seseorang yang menderita tuna daksa.
HIPOTESIS Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa. Semakin tinggi penerimaan diri, maka semakin tinggi penyesuaian dirinya.
17
METODOLOGI PENELITIAN Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yang digunakan, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, sedangkan variabel terikat adalah penyesuaian diri. Definisi Operasional 1. Penerimaan Diri
: kemampuann menerima apapun keadaan yang dimilikinya.
2.
: respon-respon mental dan tingkah laku,yang merupakan usaha
Penyesuaian Diri
individu agar berhasil mengatasi kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami didalam dirinya. Partisipan Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SLB Wahid Hasyim (SD, SMP, SMA) yang berjumlah 50 orang. Dalam penelitian ini, partisipan yang digunakan adalah semua anak yang menderita tuna daksa dengan usia sekolah yang bersekolah di SLB ABCD Wahid Hasyim berjumlah 30 orang, yang semuanya duduk di bangku SD-SMA. Dikarenakan sekolah tersebut tidak menggolongkan antara tingkat tuna daksa ringan, sedang, dan berat maka dalam penelitian tidak ada pembagian anak dengan tuna daksa ringan, sedang dan berat. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan skala sebagai alat ukur. Populasi dalam penelitian ini adalah murid tuna daksa di Sekolah Luar Biasa Wahid Hasyim yang berjumlah 50 orang, dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria: (a) cacat
18
dengan kekurangan kondisi fisik (tuna daksa); (b) siswa sedang dalam usia wajib belajar 12 tahun (SD, SMP, SMA). Dikarenakan sekolah tidak menggolongkan antara tingkat tuna daksa ringan, sedang, dan berat maka dalam penelitian tidak ada pembagian anak dengan tuna daksa ringan, sedang dan berat.dalam penelitian iniadalah dengan menggunakan teknikanalisis korelasi. Alat Ukur Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala penerimaan diri Sheerer yang diadaptasi Berger (Denmark, 1973), sedangkan skala penyesuaian diri dibuat sendiri oleh peneliti. Namun didasarkan pada aspek yang diambil dari teori yang dikemukakan oleh Schneider. Jumlah item yang diuji dalam skala penerimaan diri, peneliti menggunakan skala Sheerer yang dimodifikasi oleh Berger. Jumlah item dalam skala penerimaan diri sebanyak 36 item dan yang sudah diuji menjadi 19 item dengan daya diskriminasi bergerak antara 0,3820,781 dengan alpha cronbach‟s sebesar 0,887. Sedangkan skala penyesuaian diri dari 22 item menjadi 7 item dengan daya diskriminasi dari 0,332 sampai dengan 0,524. Salah satu contoh item skala penerimaan diri yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: jika ada yang mendukung, saya berani untuk melakukan sesuatu. Sedangkan salah satu contoh item skala penyesuaian diri yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut : saya tetap tegar walau sering dihina oleh orang lain atas kekurangan pada diri saya.
Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 4Agustus 2015.Jumlah skala psikologi yang disebar sebanyak 30 buah skala psikologi yang dibagikan pada penderita tuna daksa.30 responden merupakan jumlah keseluruhan anak yang menderita tuna daksa yang bersekolah di SLB Wahid
19
Hasyim, yang berada pada tingkat SD-SMA. Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti melakukan penelitian kepada siswa tuna daksa dan meminta partisipasi siswa penderita tuna daksa tersebut untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan mengisi skala yang disebarkan kepada mereka. Selama pengisian skala, subjek diperkenankan bertanya jika ada materi yang terdapat di dalam skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas.Selama pengisian skala, peneliti berada di dalam ruangan untuk memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak dimengerti subjek.Setelah pengisian skala selesai, skala langsung diberikan kepada peneliti dan peneliti langsung mengecek skala yang telah diisi subjek.Selama pelaksanaan penelitian, subjeksubjek dapat bekerjasama dengan baik meskipun ada beberapa subjek yang meminta bantuan peneliti untuk menjelaskan semua materi di dalam skala psikologi dari awal hingga akhir.Pada penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Teknik Analisis Data Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa. Analisis data dilakukan dengan bantuan program bantu computer SPSS 16.0 for windows
20
Hasil Penelitian Analisis deskriptif hasil pengukuran penyesuaian diri dan penerimaan diri Tabel 4.1 Kategorisasi Pengukuran Skala Penerimaan Diri No.
Interval
Kategori
1.
x ≥ 89
Tinggi
2.
62 ≤ x < 89
Sedang
3.
x < 62
Rendah Jumlah
Mean
75.20
N
Persentase
4
13,33%
24
80%
2
6,67%
30
100%
SD = 13,84 Min = 44 Max = 110 Keterangan: X = penerimaan diri
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa 4 subjek memiliki skor penerimaan diri berada pada kategori tinggi dengan persentase 13,33%, 24 subjek memiliki skor penerimaan diri yang berada pada kategori sedang dengan persentase 80%, dan 2 subjek yang berada pada kategori rendah dengan persentase 6,67%. Berdasarkan rata-rata sebesar 75.20, dapat dikatakan bahwa rata-rata penerimaan diri berada pada kategori sedang. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum 44 sampai dengan skor maksimum sebesar 110 dengan standard deviasi 13.84.
21
Tabel 4.1 Kategorisasi Pengukuran Skala Penyesuaian Diri No.
Interval
Kategori
1.
x ≥ 63
Tinggi
2.
48 ≤ x < 63
Sedang
3.
x < 48
Rendah
Mean
55.76
Jumlah
N
Persentase
3
10%
25
83.33%
2
6,67%
30
100%
SD = 7.26 Min = 45 Max = 75 Keterangan: X = penyesuaian diri
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa 3 subjek memiliki skor penyesuaian diri yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 10%, 25 subjek memiliki skor penyesuaian diri yang berada pada kategori sedang dengan persentase 83.33%, dan 2 subjek yang berada pada kategori rendah dengan persentase 6,67%. Berdasarkan rata-rata sebesar 55.76, dapat dikatakan bahwa rata-rata penerimaan diri berada pada kategori sedang. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum 45 sampai dengan skor maksimum sebesar 75 dengan standard deviasi 7,26. Uji Asumsi Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi sebaran data penelitian variabel penerimaan diri dan penyesuaian diri mengikuti sebaran distribusi normal atau tidak normal.
22
Tabel 4.3 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual Kolmogorov-Smirnov Z – .415 Penerimaan Diri Asymp. Sig. (2-tailed)
.995
Kolmogorov-Smirnov Z – .546 Penyesuaian Diri Asymp. Sig. (2-tailed)
.927
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Berdasarkan hasil uji normalitas pada variabel penerimaan diri diperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov Z = 0.415; signifikansi = 0.995 (p> 0.05). Sedangkan hasil uji normalitas pada variabel penyesuaian diri diperoleh nilai Berdasarkan hasil tersebut Kolmogorov-Smirnov Z = 0.546; signifikansi = 0.927 (p> 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data variabel penerimaan diri dan variabel penyesuaian diri memenuhi distribusi normal. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek dapat mewakili populasinya.
23
Tabel 4.4 Uji Linieritas Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Penerimaan_Diri Source
Type III Sum
Df
Mean
of Squares
F
Sig.
Square
Corrected 2405.967a
17
146415.002
1
2405.967
17
141.527
Error
3148.833
12
262.403
Total
175206.000
30
5554.800
29
141.527
.539
.881
146415.002 557.978
.000
Model Intercept Penyesuaian_di .539
.881
ri
Corrected Total
a. R Squared = .433 (Adjusted R Squared = -.370)
Berdasarkan data dalam table tersebut dihasilkan nilai Fbeda linieritas = 557.978 dengan signifikansi (p) = 0.000 (p < 0,000). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri mempunyai hubungan yang searah (positif) dengan variabel penyesuaian diri.
24
Uji Hipotesis Analisis data untuk uji hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Tabel 4.3 Uji Korelasi Correlations Penyesuaian_diri Penerimaan_Diri Pearson Correlation
1
Penyesuaian_diri Sig. (1-tailed)
.025
N Pearson Correlation Penerimaan_Diri Sig. (1-tailed)
.361*
30
30
.361*
1
.025
N
30
30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Berdasarkan tabel tersebut dihasilkan nilai korelasi (r) = 0.361 dengan signifikansi (p) = 0.025 (p < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri anak tuna daksa di SLB Wahid Hasyim Bringin. Dengan hasil ini, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima, yaitu ada hubungan yang positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri anak tuna daksa.
25
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Wardhani(2012) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri terhadap anak yang mengalami cacat fisik (tuna daksa). Penelitian yang dilakukan oleh Agung Septian (2005) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif yang berarti antara penerimaan diri dan penyesuaian diri. Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa seorang anak dengan tuna daksa jika memiliki penerimaan diri yang positif akan menaikkan penyesuaian diri dalam diri sendiri. Sehingga anak tuna daksa yang memiliki penerimaan diri yang positif akan lebih bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan bisa menerima diri apa adanya, tidak merasa berbeda dengan anak-anak lainnya. Hal ini disebabkan oleh anak tuna daksa yang mempunyai penerimaan diri yang baik akan lebih mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, yang disebabkan oleh anak tuna daksa
dapat
menerima
kekurangan
dan
kelebihan
yang
dmilikinya
serta
mampu
mengembangkannya. Anak tuna daksa seperti ini akan mampu membuka diri terhadap jejaring sosial, sebab mereka memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri sesuai dengan pendapat yang dilakukan oleh Cathoun dan Acocella (dalam Carson, 2006) bahwa penerimaan diri merupakan asset pribadi yang sangat berharga, oleh karena itu penerimaan diri akan membantu dalam hal penyesuaian diri sehingga seimbang dan terintegritas. Diperkuat oleh pendapat Sari (2002) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah penerimaan diri,yaitu individu yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
26
pula dalam memandang dan memahami keadaan dirinya, sehingga akan menimbulkan perasaan, memiliki kepercayaan serta rasa aman di dalam diri jika seseorang dapat diterima dalam lingkungannya. Hal ini menjelaskan apabila anak tuna daksa dapat menerima kenyataankenyataan yang dirasakan pada setiap keaadaan, maka anak tuna daksa tersebut dapatmemberikan kesempatan pada dirisendiri untuk menyadari sepenuhnyaserta menyadari pilihan dan tindakanyang diambil, sehingga anaktunadaksa tidak terhambat atau tidak merasakesulitan dalam hal penyesuaian diri. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa penerimaan diri dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya memang memberikan kontribusi untuk penyesuaian diri pada anak tuna daksa, meskipun penyesuaian diri anak tuna daksa tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tersebut. Penerimaan diri memberikan kontribusi positif terhadap penyesuaian diri, yang artinya semakin tinggi penerimaan diri maka akan semakin tinggi pula penyesuaian diri, sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka akan semakin rendah pula penyesuaian diri. Sehingga hal tersebut mencerminkan bahwa memiliki penerimaan diri yang tinggi menjadi salah satu hal yang dapat memunculkan perilaku penyesuaian diri yang tinggi pada anak tuna daksa. Sesuai
yangdikemukakan oleh Sheerer (dalamSambu, 2011) anak tuna daksa yang
mampu menerima diri adalah anak yang bisa mempunyai perasaan sederajat,percaya kemampuan sendiri,bertanggungjawab,
berorientasi
keluar,berpendirian,
menyadari
keterbatasan,dan
menerima sifat kemanusiaan. Perasaan sederajat adalah individu menganggap bahwa dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain. Percaya terhadap kemampuan diri adalah individu yang memiliki kemampuan untuk menghadapi kehidupan terlihat dari sikap individu yang percaya diri, mengembangkan sikap baiknya dan menghindari sikap buruknya, serta puas menjadi dirisendiri. Bertanggung jawab adalah individu yang mampu bertanggung
27
jawab terhadap perilakunya. Orientasi keluar diri adalah individu yang senang dan tidak malu untuk mengaktualisasikan diri.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, koefisien korelasi antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri dari anak yang menderita tuna daksa di SLB Wahid Hasyim terdapat hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada anak yang mengalami tuna daksa SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti member saran sebagai berikut : 1. Bagi anak yang menderita tuna daksa Diharapkan dapat meningkatkan sikap menerima keadaan dirinya sendIrI bagaimanapun keadaannya, sebab seseorang yang mampu untuk menerima keadaan dirinya apa adanya akan mampu pula untuk menyesuaiakan dirinya pada lingkungan 2.Bagi penelitian selanjutnya a. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan, mencari factor-faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri b. Peneliti yang berikutnya diharapkan untuk lebih spesifik dalam memilih subjek anak tuna daksa
28
DAFTAR PUSTAKA Machdan, D. M., dkk (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasaan menghadapi dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasu sosial cacat tubuh pasuruan.Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma Putri, G. G., dkk (2013). Perbedaan self-acceptance (penerimaan diri) pada anak panti asuhan Ani, N. S.(2014). Dinamika penyesuaian diri penyadnag disabilitas ditempat kerja.Jurnal Komunikasi Dakwah Universitas Islam Negeri Kartasura Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak (vol 11). Jakarta : Erlangga Sarwono, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta : UMM Persada Wibowo, M. A. (n.d). penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi. Jakarta: Universitas Gunadarma Hendriati, A. (1990). Psikologi perkembangan. Jakarta : Adita Renaldhi, A. P. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada tuna daksa. Jurnal Psikologi Muhamadiyah Dahlia, N. P. S (2012). Hubungan antara bodu image dan self-esteem pada dewasa awal tuna daksa. Jurnal ilmiah mahasiswa universitas Surabaya I(1) Denmark, K. L. (1973). Self-Acceptance and Leader Effectiveness. Journal Extensions. Texas A&M University Arif K., N. (n.d). Self-esteem pada penyandang tuna daksa. Surakarta: ProgramStudiPsikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Armatas, V. (2009). Mental retardation: definitions, etiology, anddiagnosis.Journal of Sport and Health Research. 1(2):112-122
epidemiology
Arikunto S. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, edisi revisi IV. Jakarta:PTRineka Cipta Azwar, S. (1997).Metode penelitian.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi, Edisi Kedua.Yogyakarta : PustakaPelajar Azwar, S. (2012).Reliabilitas dan validitas, Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cozby, Paul C. (2009). Methods in behavioral research, Edisi 9. Yogyakarta: PustakaPelajar
29
Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1987). The provisions of social relationship andAdaptation to stress.Advances in personal relationship, 1(37-67) Denmark, Kenneth L. (1973). “Self-Acceptance and Leader Effectiveness”. Journal Extensions. Texas A & M University Fausiah, Fitri., Widury, Julianti. (2005). Psikologi abnormal : klinis dewasa. Jakarta:UI-Press Handayani, M.M., dkk. (1998). Efektifitas pelatihan pengenalan diri terhadappeningkatan penerimaan diri dan harga diri. Jurnal psikologi, No. 2, hal 47-55 Hendriani, W., dkk. (2006). Penerimaan keluarga mengalamiketerbelakanganmental. INSAN, 8(2)
terhadap
individu
yang
Hendrianti, A. (2006). Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengankonsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika Aditama Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjangrentang kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga Hurlock, E. B. (2004). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentangkehidupan. In R. M. Sijabat (Ed.). Jakarta: Erlangga. Kartono, K. (1990). Psikologi anak (psikologi perkembangan). Bandung: MandarMaju Machdan, D. M., dkk. (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasanmenghadapi dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasi sosial cacat tubuhPasuruan. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(2) Moningsih, Indah. (n.d). Penerimaan orangtua pada anak mental retardation. Skripsi(tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Gunadarma Notosoedirdjo, M. dan Latipun. (2001). Kesehatan mental :konsep dan penerapan, EdisiKetiga.Malang : UMM Press Putri, Getrudis G., dkk. (2013). Perbedaan self-acceptance (penerimaan diri) pada anakpanti asuhan ditinjau dari segi usia Rachmayanti, S., Anita Z. (n.d). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autism danperanannya dalam terapi autism. Jakarta: Fakultas Psikologi UniversitasGunadarma Rahmawati, N. A., dkk. (n.d). Hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosialdengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Suryabrata, S. (2000).Pengembangan alat ukur psikologis, edisi pertama. Yogyakarta:ANDI
30
Suryabrata, S. (2005).Pengembangan alat ukur psikologis, edisi 3. Yogyakarta: ANDI Wardhani, Mira K., dkk. (2012). Hubungan antara “personal adjustment” denganpenerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus pada ibu yang memiliki anakberkebutuhan khusus di rsud x. Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, danHumaniora. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Wibowo, M. A. (n.d). Penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi. Jakarta:Universitas Gunadarma