Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
HUBUNGAN PERAN KELUARGA DENGAN HARGA DIRI PADA PENDERITA PENYAKIT KUSTA Ahmadi Program Studi Keperawatan, Akademi Keperawatan Nazhatut Thullab Sampang Email :
[email protected]
ABSTRAK Leprosy is a catching and chronical disease which caused by leprosy germ (mycobacterium leprae) that infected neural system of skin boundary and another body tissue except central neural system. In our society, there is a stigma said that leprosy is a curse disease, congenital or magic karma that difficult to heal.in this case family plays important role in the main support system of problems and provided knowledge about leprosy. The objective of this study is analyzing correlation between family role and self esteem of patient with leprosy. This study was using cross sectional. The population in a study are one that family’s of patient leprosy and all his patient with leprosy in Puskesmas Tanjung Region. The sample in the study is patient with leprosy are 42 people and that one family’s of patient with leprosy are 42 people to put using total sampling Technique. The statistical independent variable is family role and the statistical dependent variable is self esteem of patient leprosy. This study was using questionnaire provided to respondent then tabulated using Spearman Rho. Data was collected from responden by questionnaire. The data was presented inform of bars diagram and table. From data collection there are 47,6% respondent possessed low self esteem, 52,4% with high self esteem, 52,4% have enough family role, 47,6% have good family role. ρ count in this study is 0,004 smaller than 0,05. Conclusion of the study is there is a correlation between family role with self esteem of patient leprosy in the Puskesmas Tanjung Region, Sampang. Family is effective channel of reached for the health society effort have used his role with optimals in order to help heal process the family is sick, especially patient of leprosy has physical and psychological health problems.
Keyword : self esteem, family role
Halaman | 29
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi dan budaya. Pada penderita kusta terjadi perubahan fisik, adanya kecacatan serta merupakan penyakit menular. Pemahaman keliru tentang penyakit kusta melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat (Imam S Arizal, 2010). Di masyarakat ada stigma bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan Tuhan, penyakit keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan atau bahkan tidak bisa disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarga (Zulkifli, 2003). Stigma yang muncul di masyarakat sangat mempengaruhi psikologis penderita kusta. Pada penderita kusta yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang masih ditemukan penderita yang menutup diri, malu dan ada perasaan rendah diri untuk bergaul dengan masyarakat sehingga yang dilakukan adalah mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya. Insiden tertinggi penyakit kusta terdapat pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebagaimana diberitakan Antara News (3/3/2009), jumlah kasus lepra di RI lebih tinggi dari jumlah kasus baru lepra di Tiongkok dan Ethiopia yang pada 2007 berturut-turut 1.500 kasus dan 4.000 kasus. Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan, mengemukakan secara nasional terdapat 17.441 penderita baru kusta pada 2008. Sepertiganya, 6.996 penderita baru ditemukan di Jatim (Kompas, 2009). Sedikitnya sebanyak 526 warga yang tersebar di 14 kecamatan di wilayah Sampang dinyatakan positif menderita penyakit kusta (Dinkes Sampang, 2010). Dari data yang diperoleh di Puskesmas Tanjung pada tanggal 15 November 2010, bahwa sampai bulan November 2010 sudah ada 42 pasien kusta yang berobat ke Puskesmas Tanjung. Menurut data awal yang lakukan pada 10 penderita penyakit kusta di Wilayah Puskesmas Tanjung pada tanggal 16 November 2010 yang dilakukan melalui teknik wawancara dengan 7 pertanyaan tentang penurunan kemampuan dalam bekerja,
mudah marah (tersinggung), gangguan berhubungan dan sering mengkritik diri sendiri di dapatkan 90% mengalami gangguan pada hasil kemampuan dalam bekerja, sering marah (tersinggung), cemas dan kadangkadang malu kalau berkumpul dengan orang lain sejak menderita penyakit kusta. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Penampilan fisik, lebih banyak penyebab utama dari harga diri rendah, serta adanya suatu penyakit menular. Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Arief Mansjoer:65, 2000). Kusta dapat menular melalui saluran pernafasan, kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Zulkifli, 2003). Hal ini dapat mengakibatkan terbentuknya harga diri rendah pada penderita kusta. Akibat yang muncul pada penderita harga diri rendah ialah penurunan produktifitas, mengeritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, pandangan hidup pesimis, perasaan negatif mengenai tubuhnya, penolakan terhadap kemampuan personal, dan menarik diri secara sosial dan apabila berlangsung terus akan berakibat kepribadian yang tidak sehat. Solusi masalah ini mencakup dua saran yaitu keluarga dan pada penderita kusta itu sendiri. Pada keluarga yaitu diperlukan pemanfaatan peran keluarga yang merupakan sistem pendukung utama terhadap masalahmasalah yang terjadi dalam keluarga dan memberikan pengetahuan tentang penyakit kusta itu sendiri agar keluarga mengerti tentang kusta sehingga tidak terjadi perlakuan yang diskriminasi terhadap penderita kusta. Bagi penderita kusta itu sendiri yaitu dengan mengatasi kekurangan dan melakukan terapi pengobatan sesuai anjuran dokter, pengetahuan tentang kusta perlu ditingkatkan dan adanya support keluarga bagi penderita kusta demi menumbuhkan harga diri tinggi. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Pemahaman keliru tentang penyakit kusta melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat survey awal yang Halaman | 30
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
dilakukan oleh peneliti didapatkan 9 dari 10 penderita penyakit kusta mengalami harga diri rendah sehingga ia selalu menutup diri, malu, kurang percaya diri dan ada perasaan rendah untuk bergaul dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kurang pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap penyakit dan pemanfaatan peran keluarga yang kurang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan peran keluarga dengan harga diri pada penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional yang mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel. Penelitian ini dilakukan secara “cross sectional” yang merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali Waktu) antara faktor resiko/paparan
dengan penyakit. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh keluarga yang mempunyai anggota menderita penyakit kusta sebanyak 42 orang dan penderita penyakit kusta sebanyak 42 orang yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Sampel dari penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang menderita penyakit kusta sebanyak 42 orang dan penderita penyakit kusta sebanyak 42 orang yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan teknik sampling jenuh yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah peran keluarga, sedangkan variabel terikatnya adalah harga diri penderita penyakit kusta.
HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik responden penderita kusta berdasarkan umur 20
40,5%
15
31%
10
19%
5
9,5%
0 12-20 tahun
20-40 tahun
40-60 tahun
> 60 tahun
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa hampir setengah (40,5%) responden berusia 20-40 tahun dan sebagian kecil (9,5%) berusia >60 tahun. 2. Karakteristik responden penderita kusta berdasarkan jenis kelamin 25
54,8% 45,2%
20
15 10 5 0 laki-laki
perempuan
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (54,8%) berjenis kelamin laki-laki dan hampir setengah (45,2%) berjenis kelamin perempuan.
Halaman | 31
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
3. Karakteristik responden penderita kusta berdasarkan pendidikan 30
66,7%
20
33,3%
10 0 SD
SMP
SMA
PT
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian berpendidikan SD dan hampir setengah (33,3%) berpendidikan SMP. 4. Karakteristik responden penderita kusta berdasarkan pekerjaan
besar
(66,7%)
42,9%
20 15 10
23,8%
21,4% 11,9%
5 0
wiraswasta
petani/ nelayan
pekerjaan tidak tetap
tidak bekerja
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (42,9%) responden tidak bekerja dan sebagian kecil (11,9%) mempunyai pekerjaan tidak tetap. 5. Karakteristik responden keluarga penderita kusta berdasarkan umur 54,8%
25
45,2%
20 15 10 5 0
12-20 tahun
20-40 tahun
40-60 tahun
> 60 tahun
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (54,8%) berusia 2040 tahun dan hampir setengah (45,2%) berusia 40-60 tahun sebanyak. 6. Karakteristik responden keluarga penderita kusta berdasarkan jenis kelamin 30
57,1%
25 20
42,9%
15 10 5 0 laki-laki
perempuan
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (57,1%) berjenis kelamin perempuan dan hampir setengah (42,9%) berjenis kelamin laki-laki.
Halaman | 32
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
7. Karakteristik responden keluarga penderita kusta berdasarkan pendidikan 30
64,3%
20
37,5%
10 0 SD
SMP
SMA
PT
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian berpendidikan SD dan hampir setengah (35,7%) berpendidikan SMP. 8. Karakteristik responden keluarga penderita berdasarkan pekerjaan 25
besar
(64,3%)
50%
20 15
26,2%
10 23,8%
5 0
PNS
wiraswasta
petani/nelayan
pekerjaan tidak tetap
tidak bekerja
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa setengahnya (50%) bekerja sebagai petani atau nelayan dan hampir setengah (26,2%) bekerja sebagai wiraswasta. 9. Karakteristik responden penderita kusta berdasarkan harga diri 23 52,4%
22 21 20
47,6%
19 harga diri rendah
harga diri tinggi
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (52,4%) responden mengalami harga diri tinggi dan hampir setengah (47,6%) mengalami harga diri rendah. 10. Karakteristik responden keluarga penderita kusta berdasarkan peran keluarga 25 20
47,6%
52,4%
15 10 5 0
baik
cukup
kurang
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (52,4%) responden mempunyai peran keluarga cukup dan hampir setengah (47,6%) mempunyai peran keluarga baik.
Halaman | 33
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
11. Hubungan antara peran keluarga dengan harga diri pada penderita penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang Correlations Peran Keluarga Penderita Penyakit Kusta Spearman's rho
Peran Keluarga Penderita Penyakit Kusta
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed) N
Harga Diri Penderita Penyakit Kusta
Correlation Coefficient N
**
.432
.
.004
42
42
**
1.000
.004
.
42
42
.432
Sig. (2-tailed)
Harga Diri Penderita Penyakit Kusta
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari hasil uji Spearman's rho diatas diperoleh nilai Sig. (2-tailed) atau p value 0,004 (karena p value < 0,05) maka hipotesis diterima yang artinya “ada hubungan antara peran keluarga dengan harga diri pada penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang”. Nilai koefisien korelasi Spearman’s rho sebesar 0,432 yang artinya menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang (Dahlan, 2008). PEMBAHASAN 1. Peran Keluarga Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa peran keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang sebagian besar (52,4%) mempunyai peran keluarga cukup dan hampir setengah (47,6%) mempunyai peran keluarga baik. Menurut Setiadi (2008), peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan dengan individu dalm posisi dan situasi tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi peran keluarga antara lain jenis kelamin, kelas sosial, bentuk keluarga, latar belakang keluarga, tahap perkembangan. Faktor yang mempengaruhi peran dalam keluarga salah satunya adalah jenis kelamin. Berdasarkan gambar 4.2 diperoleh sebagian besar (57,1%) berjenis kelamin perempuan dan hampir setengah (42,9%) berjenis kelamin laki-laki. Jenis kelamin adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi anatomi dan biologi. Dalam suatu keluarga terjadi perbedaan yang mencolok dari laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki didalam suatu keluarga di tekankan pada peran sebagai kepala keluarga dan pemberi nafkah untuk keluarga. Peran perempuan dalam
keluarga yaitu sebagai posisi sebagai istri, sebagai pemimpin dan pemberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu keluarga sering menimbulkan masalah dalam keluarga, seorang laki-laki dan perempuan harus menjalankan perannya masing-masing agar masalah dalam keluarga dapat dihindarkan. Faktor lain yang mempengaruhi peran keluarga adalah status sosial. Status sosial ini di tentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan dan daerah tempat tinggal. Berdasarkan gambar 4.3 diperoleh sebagian besar (64,3%) responden berpendidikan SD dan hampir setengah (35,7%) berpendidikan SMP. Menurut Nursalam dan Pariani (2002), bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada kedewasaan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah atau cita-cita tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka informasi tentang menjalankan peran di dalam keluarga masyarakat akan lebih banyak sehingga seseorang akan lebih mudah dan menempatkan diri sesuai dengan peran yang dikerjakannya. Berdasarkan gambar 4.4 diperoleh setengahnya (50%) bekerja Halaman | 34
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
sebagai petani dan hampir setengah (26,2%) bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada yang mengatur dan dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur. Seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau pekerjaan tidak tetap dapat mempengaruhi penghasilannya. Dalam kelas sosial bawah, suami seringkali menerima perannya sebagai penyedia uang untuk memenuhi kebutuhan material, sebaliknya kaum istri kelas bawah memperluas perannya dan mayoritas fungsi-fungsi mereka sebagai istri dilaksanakan dirumah selain membesarkan anak. 2. Harga Diri Dari hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kabupaten Sampang didapatkan sebagian besar (52,4%) penderita penyakit kusta mengalami harga diri tinggi dan hampir setengah (47,6%) mengalami harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain dengan aspek utamanya adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Harga diri ini juga bisa dipakai dalam lingkungan keluarga dengan memberikan dukungan bahwa dirinya masih berharga di masyarakat. Harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis kelamin, kelas sosial dan pengasuhan. Faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang antara lain adalah jenis kelamin. Dari gambar 4.2 diperoleh sebagian besar (54,8%) berjenis kelamin laki-laki dan hampir setengah (45,2%) berjenis kelamin perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan bentuk tubuh dibanding dengan kelompok usia lainnya. Secara khusus harga diri mereka cenderung rendah (Rosenberg dalam Rahmawati, 2006). Penyebabnya adalah sangat bermaknanya harga diri fisik agar dapat diterima oleh kelompoknya. Faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang yang lain adalah kelas sosial. Penelitian menunjukkan bahwa kelas sosial individu yang ditandai oleh pendidikan, pekerjaan dan penghasilan merupakan penentu yang penting dari harga diri. Berdasarkan gambar 4.3 diperoleh sebagian besar (66,7%) responden berpendidikan SD dan hampir setengah
(33,3%) berpendidikan SMP. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah atau cita-cita tertentu. Siswa yang sering menang dalam kompetisi tentu saja lebih mudah mendapatkan kepercayaan harga diri. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka informasi dan pengetahuan yang banyak dan mudah dalam menerima informasi baru. Hal inilah yang dapat meningkatkan mekanisme koping sehingga dapat mengatasi suatu masalah dengan baik. Berdasarkan gambar 4.4 diperoleh sebagian besar (42,9%) dari responden tidak mempunyai pekerjaan dan sebagian kecil (11,9%) mempunyai pekerjaan tidak tetap. Seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau pekerjaan tidak tetap akan mempengaruhi penghasilannya. Pada umumnya, individu dengan kelas sosial menengah keatas memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan kelompok menengah kebawah. Oleh karena itu jenis pekerjaan disini sangat berpengaruh dalam pembentukan harga diri seseorang, karena semakin tingggi pangkat dan penghasilan seseorang maka kepercayaan diri orang tersebut juga akan semakin tinggi. 3. Hubungan Peran Keluarga dengan Harga Diri Penderita Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat hubungan peran keluarga menunjukkan dari 42 responden, sebagian besar (52,4%) keluarga mempunyai peran keluarga cukup dan hampir setengah (47,6%) mempunyai peran keluarga baik. Harga diri penderita penyakit kusta menunjukkan dari 42 responden, sebagian besar (52,4%) mengalami harga diri tinggi dan hampir setengah (47,6%) mengalami harga diri rendah. Faktor yang mempengaruhi peran dalam keluarga salah satunya adalah jenis kelamin. Berdasarkan gambar 4.2 diperoleh sebagian besar (57,1%) berjenis kelamin perempuan dan hampir setengah (42,9%) berjenis kelamin laki-laki. Jenis kelamin adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi anatomi dan biologi. Dalam suatu keluarga terjadi perbedaan yang mencolok dari laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki didalam suatu keluarga di Halaman | 35
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
tekankan pada peran sebagai kepala keluarga dan pemberi nafkah untuk keluarga. Peran perempuan dalam keluarga yaitu sebagai posisi sebagai istri, sebagai pemimpin dan pemberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit. Faktor lain yang mempengaruhi peran keluarga adalah status sosial. Status sosial ini di tentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan dan daerah tempat tinggal. Berdasarkan gambar 4.3 diperoleh sebagian besar (64,3%) responden berpendidikan SD dan hampir setengah (35,7%) berpendidikan SMP. Menurut Nursalam dan Pariani (2002) bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada kedewasaan. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah atau cita-cita tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka informasi tentang menjalankan peran di dalam keluarga masyarakat akan lebih banyak sehingga seseorang akan lebih mudah dan menempatkan diri sesuai dengan peran yang dikerjakannya. Berdasarkan gambar 4.4 diperoleh setengahnya (50%) bekerja sebagai petani dan hampir setengah (26,2%) bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada yang mengatur dan dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur. Seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau pekerjaan tidak tetap dapat mempengaruhi penghasilannya. Dalam kelas sosial bawah, suami seringkali menerima perannya sebagai penyedia uang untuk memenuhi kebutuhan material, sebaliknya kaum istri kelas bawah memperluas perannya dan mayoritas fungsi-fungsi mereka sebagai istri dilaksanakan dirumah selain membesarkan anak. Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa peran keluarga pada penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong kabupaten Sampang sudah cukup. Adapun faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang yang lain adalah kelas sosial. Penelitian menunjukkan bahwa kelas sosial individu yang ditandai oleh pendidikan, pekerjaan dan penghasilan
merupakan penentu yang penting dari harga diri. Berdasarkan gambar 4.3 diperoleh sebagian besar (66,7%) responden berpendidikan SD dan hampir setengah (33,3%) berpendidikan SMP. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah atau cita-cita tertentu. Siswa yang sering menang dalam kompetisi tentu saja lebih mudah mendapatkan kepercayaan harga diri. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka informasi dan pengetahuan yang banyak dan mudah dalam menerima informasi baru. Hal inilah yang dapat meningkatkan mekanisme koping sehingga dapat mengatasi suatu masalah dengan baik. Berdasarkan gambar 4.4 diperoleh sebagian besar (42,9%) dari responden tidak mempunyai pekerjaan dan sebagian kecil (11,9%) mempunyai pekerjaan tidak tetap. Seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau pekerjaan tidak tetap akan mempengaruhi penghasilannya. Pada umumnya, individu dengan kelas sosial menengah keatas memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan kelompok menengah kebawah. Oleh karena itu jenis pekerjaan disini sangat berpengaruh dalam pembentukan harga diri seseorang, karena semakin tingggi pangkat dan penghasilan seseorang maka kepercayaan diri orang tersebut juga akan semakin tinggi. Berdasarkan data diatas bahwa harga diri penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang tinggi. Dari hasil uji Spearman's rho diatas diperoleh nilai Sig. (2-tailed) atau p value 0,004 (karena p value < 0,05) maka hipotesis diterima yang artinya “ada hubungan antara peran keluarga dengan harga diri pada penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Nilai koefisien korelasi Spearman’s rho sebesar 0,432 yang artinya menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa peran keluarga mempengaruhi peningkatan harga diri penderita penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Berdasarkan uji ini dapat dikatakan bahwa bila peran keluarga Halaman | 36
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
kurang maka semakin tinggi terjadinya gangguan harga diri pada pasien kusta, sebaliknya semakin baik peran keluarga maka semakin tinggi pula tidak terjadi gangguan harga diri pada pasien kusta. SIMPULAN 1. Peran keluarga terhadap penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang sebagian besar (52,4%) memiliki peran keluarga cukup. 2. Penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang sebagian besar (52,4%) mengalami harga diri tinggi. 3. Ada hubungan antara peran keluarga dengan harga diri penderita penyakit kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang dengan p value = 0,004 lebih kecil dari 0,05. SARAN Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagi petugas kesehatan Penyuluhan yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan tentang penyakit kusta, cara penularan dan akibat yang ditimbulkan dari kusta, sehingga insiden penyakit kusta dapat diminimalkan. 2. Bagi masyarakat Diharapkan masyarakat tidak melakukan diskriminasi terhadap penderita kusta karena mereka juga manusia yang ingin diterima dan diakui keberadaannya. 3. Bagi keluarga Bisa membantu penderita penyakit kusta dalam meningkatkan harga diri sehingga kerjasama dengan keluarga dapat memecahkan masalah kesehatan. 4. Bagi penderita Diharapkan seseorang yang positif terkena penyakit kusta dapat melakukan pengobatan secara rutin untuk mencegah penularan dan meminimalkan terjadinya kecacatan serta untuk mempercepat proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif M, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Dahlan, S. (2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Friedman.MM. (1998). Keluarga. Jakarta: EGC
Keperawatan
Hidayat, A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik analisis. Jakarta: Salemba Medika Loetfia, D. (2007). Asuhan Keperawatn Klien dengan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: EGC Narwali. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates Notoatmodjo. S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Ovedoff,D. (2002). Kapita Selekta Kedokteran edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Perry, Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta: EGC Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga .Yogyakarta: Graha Ilmu. Stuart, dkk. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC Suliswati. (2005). Konsep dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC Sunaryo. (2004). Psikologi Keperawatan. Jakarta: EGC
Untuk
Abraham, dkk. (1997). Psikologi Sosial Untuk Perawat. Jakarta: EGC
Halaman | 37
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan - Stikes Dian Husada Mojokerto
Suprayitno. (2004). Asuhan Keperawatan keluarga dengan Aplikasi dalam Praktek. Jakarta: EGC
Dahlan, M. S. (2008). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Walgito. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi
Halaman | 38