HUBUNGAN MANUSIA-LINGKUNGAN: SEBUAH REFLEKSI SINGKAT Wahyu Rahardjo Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Manusia tidak pernah mampu melepaskan ketergantungannya akan alam dalam hidupnya semenjak dulu. Di sisi lain, alam juga memiliki ketergantungan dengan manusia walaupun tidak terlalu besar. Kepribadian lingkungan yang dimiliki manusia sedikit banyak menentukan interaksi manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya. Kemudian, pada aplikasinya manusia berusaha mengembangkan kehidupan yang bisa jadi memiliki akses negatif terhadap kelangsungan hidup dan keberadaan lingkungan. Pada titik ini, kendali atas pengusahaan sumber daya alam dan sebagainya harusnya mulai dilakukan agar tidak merusak keseimbangan alam. Kata kunci: hubungan manusia-lingkungan, kepribadian lingkungan
ABSTRACT Human will not release their dependence from the nature untill now. On the other side, the nature itself also has dependency to human even though is not as much as human has. More or less, the human environmental personality effects the way human interact to the nature. Furthermore, human also develop the life that might be has negative consequences to the nature. At this point, controlling the nature destoration should be done in order not to ruin the nature balance. Key words: human-environmental interaction, environmental personality
PENGANTAR Ketika manusia lahir saat itulah untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan dunia luar yang akan menjadi lingkungan bagi dirinya. Ketergantungan manusia terhadap lingkungannya memulai kisahnya saat itu. Pena memang telah tergoreskan, tidak bisa tidak. Jika manusia ingin berhenti dan memutus rantai ketergantungannya terhadap lingkungan maka sesungguhnya ia perlu mati. Tetapi sebenarnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah suatu interaksi, jadi jelas sudah bersifat dua arah. Bahkan ketika lingkungan atau alam harus hancur karena manusia maka di sisi lain manusiapun tidak bisa memungkiri betapa semakin tertatihnya ia
RAHARJO, HUBUNGAN MANUSIA
hidup tanpa alam. Perjalanan hubungan manusia dan alam ini tak ubahnya potret hitam putih. Betapapun indahnya, ironi yang diperlihatkan secara nyata terlalu pahit untuk diingkari. Pada zaman dahulu, nenek moyang manusia telah berusaha menaklukkan alam demi mempertahankan hidupnya. Mereka berusahan menaklukkan api, mengatasi hawa dingin, tinggal dalam gua yang asing untuk menghindari binatang buas dan berbagai macam usaha lainnya (Franken, 2002). Semua kegiatan tersebut memperlihatkan satu hal bahwa ketergantungan manusia memang tidak dapat dipungkiri sejak lama. Bahkan sampai saat ini dibeberapa tempat yang belum merasakan modernisasi secara nyata seperti di gurun (arid land), daerah
157
tundra (grassland), daerah kutub (arctic zone), pegunungan tinggi (high altitide), dan di pedalaman hutan (humid tropic) manusia masih berjuang secara keras dan bahkan primitif untuk bisa bertahan hidup (Moran, 1979). Proses pembelajaran bagaimana seharusnya hidup berdampingan dengan alam membuat manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya karena dengan hal itu manusia dapat mengendalikan rasa takut dan menciptakan kebahagiaan (Franken, 2002). Salah satu hal yang menarik untuk diketahui adalah bahwa manusia sebagai individu ternyata bisa menjalin hubungan kasat mata yang harmoni dengan lingkungan sekitar. Meskipun pada dasarnya setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda, namun tanpa disadari kecintaan dan bahkan ketergantungan mereka terhadap lingkungan memposisikan mereka menjadi individu yang agak berbeda satu dengan yang lain dan secara jelas semakin memantapkan keberadaan perbedaan individu (individual differences).
d.
e.
f.
Environmental Personality Sebagai hal yang belum banyak dikenal, environmental personality yang dikembangkan oleh McKechnie (dalam Gifford, 1997) menjabarkan beberapa klasifikasi tipe manusia berkepribadian lingkungan, yaitu : a. Pastoralism di mana individu yang memiliki poin tinggi di sini adalah individu yang suka menentang penggunaan dan pengembangan lahan secara salah dan semena-mena tanpa memperhatikan keseimbangan eksosistem dan dampaknya terhadap lingkungan. b. Urbanism di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang mampu menikmati lingkungan dengan kepadatan tinggi
158
c.
g.
h.
dan sangat menghargai keragaman stimulasi antar pribadi dan budaya salam kehidupan kota. Environmental adaptation di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang secara baik mampu melakukan pengurangan ketidaksesuaian kebutuhan sebagai manusia dengan keadaan yang ada dengan merubah lingkungannya. Stimulus seeking di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang memiliki kecenderungan suka bersenangsenang dan melakukan eksplorasi alam dan sangat menikmati sensasi fisik yang sifatnya intens dan kompleks yang di dapat dari kegemarannya melakukan perjalanan dan petualangan. Environmental trust di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang memiliki kecenderungan untuk mampu percaya pada suatu lingkungan, tidak takut dengan lingkungan baru dan tidak takut menjadi sendiri dalam lingkungan tersebut. Antiquarianism di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang begitu menikmati perjalanan dan kunjungan ke tampattenpat bersejarah, tempat-tempat dengan desain tradisional dan menghargai produk-produk dari masa lampau. Need for privacy di mana individu yang memiliki poin tinggi pada kategori ini adalah mereka yang memiliki kecenderungan untuk sering membutuhkan keadaan lingkungan yang tenang, suka berada dalam keadaan terisolasi, menghindari gangguan dan mencari kesendirian. Mechanical orientation di mana individu yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang suka menikmati proses mekanis dan
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 2, VOLUME 11, DESEMBER 2006
teknologi, senang menghandle segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain dan sangat peduli terhadap cara kerja sesuatu hal atau benda yang menarik perhatiannya. Di samping beberapa penjelasan di atas, Sonnenfeld (dalam Gifford, 1997) menambahkan beberapa hal lagi yaitu bahwa manusia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe lainnya, seperti : a. Environmental sensitivity di mana individu yang memiliki poin yang tinggi pada kategori ini cenderung secara benar dan cepat mampu mempersepsikan lingkungannya apakah baik atau buruk pada dirinya. b. Environmental mobility yang dapat melihat sampai seberapa jauh individu suka mengunjungi tempat-tempat yang eksotik dan beresiko untuk dijelajahi. c. Environmental control yang dapat dipergunakan untuk melihat sampai sejauh mana kepercayaan individu bahwa lingkungan alam mampu mengendalikan perilaku mereka. d. Environmental risk taking di mana dapat diketahui seberapa jauh individu mau melakukan kegiatankegiatan yang beresiko tinggi di suatu lingkungan. Individu juga harus tahu bagaimana suatu lingkungan tergolong beresiko untuk didatangi dan melakukan aktivitas di sana serta tahu bagaimana mengambil resiko dan segala konseskuensinya. Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami sampai sejauh mana alam dan lingkungan memiliki makna tertentu dalam hidup manusia. Maka tidak mengherankan jika makna-makna tersebut membentuk pola hubungan yang berbeda-beda pada setiap individu berdasarkan sifat dasar dan ketertarikan mereka pada lingkungannya. Ada yang begitu mencintai lingkungan sehingga memutuskan untuk bergabung dalam
RAHARJO, HUBUNGAN MANUSIA
kelompok pecinta lingkungan sebagai aktivis, ada yang menyukai perjalanan ke tempat-tempat wisata bersejarah atau ada pula yang senang bertualang mencari tantangan di tempat-tempat tertentu. Hobi mendesain taman dan merawat tanaman, berjalan-jalan ke alam terbuka, pergi ke pantai atau pegunungan dan bahkan melakukan aktivitas-aktivitas berbahaya di beberapa tempat tertentu seperti arung jeram dan panjat tebing sangat berguna untuk memberikan rasa bahagia – bukan sekedar sensasi fisik dan psikis semata – kepada banyak individu (Franken, 2002). Keterlibatan secara intens individu terhadap pengalamanpengalaman seperti tersebut di atas dapat membantu individu mengalami berbagai pengalaman mengalir (flow experiences) sehingga memperoleh kepuasan dan kebahagiaan (Csikszentmihalyi dalam Franken, 2002). Hal ini jelas memberikan sebuah contoh sederhana betapa lingkungan tidak hanya memberikan banyak hal supaya manusia dapat bertahan hidup tetapi juga dapat memberikan wadah kegiatan yang dapat membuat manusia merasa bahagia. Manusia Kepada Alam Manusia dapat pula mempengaruhi alam sebagaimana alam mempengaruhi manusia. Ketika alam membentuk perilaku manusia maka manusiapun dapat membentuk perilaku alam di luar konteks kebiasaannya (Bell, Fisher, Baum & Greene, 1996). Manusia dengan segala perilakunya merusak alam dan menciptakan banjir di lingkungan tempat tinggalnya dan secara sebaliknya banjir yang rutin terjadi membentuk perilaku yang khas dari mereka yang tinggal di kawasan tersebut dibandingkan mereka yang tinggal di kawasan bebas banjir. Sebuah contoh sederhana ini mungkin akan menjadi langkah awal yang baik untuk merenungi bagian selanjutnya dari tulisan ini.
159
Di sisi lain sebenarnya banyak yang bisa diberikan manusia kepada alam dan lingkungannya. Setidaknya ada sebuah sisi yang seharusnya dipahami manusia bahwa alam memiliki karakteristik yang berbeda dengan teknologi. Jika teknologi dapat dikembangkan untuk membantuk kegiatan manusia maka alam sesungguhnya tidak perlu dikembangkan karena ia sudah dan akan selalu memberi banyak hal kepada manusia. Hanya saja alam perlu dijaga dan dirawat (maintenance) karena kerusakan pada alam akan memberi akibat dan konsekuensi yang berkepanjangan dalam hidup manusia (Veitch & Arkkelin, 1995). Tipikal manusia yang kurang peduli dan tidak mau belajar untuk lebih peduli cenderung semakin memperburuk hubungan manusia dan lingkungan dan justru memperjelas ironi yang ada. Penebangan hutan, peladangan berpindah, reklamasi pantai, penutupan awa, pencemaran udara dan sungai mungkin hanya segelintir masalah yang telah menciptakan permasalahan baru bagai mata rantai yang sulit untuk diputus. Banjir, tanah longsor, udara yang terasa bertambah panas dan timbulnya banyak jenis penyakit seperti hanya membuka mata sebagian kecil manusia saja. Berbagai kepentingan individual dan kelompok dengan latar belakang industri dan komersialis yang seringkali berlindung di balik nama kepentingan masyarakat seperti sudah membutakan segalanya. Hal ini semakin diperparah dengan ketidaktahuan banyak orang tentang lingkungan dan ketidakmaupedulian tentang betapa pentingnya lingkungan yang sehat dan baik buat manusia itu sendiri. Eksplorasi alam dalam beberapa fakta memang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Hanya saja perusakan sumber daya alam juga kian mencemaskan. Yusuf (2000) mengatakan bahwa penggunaan air,
160
pupuk, dan insektisida juga semakin besar. Penebangan hutan dan penyedotan minyak bumi semakin sering dilakukan. Penggunaan mobil, kapal laut dan kapal terbang bagi kemajuan perdagangan dan komunikasi menambah pencemaran di tanah, laut dan udara. Kerugian-kerugian yang harus diderita oleh sumber daya alam tampaknya kurang diperhitungkan setidaknya secara seksama oleh masyarakat banyak. Chiras (dalam Yusuf, 2000) menjelaskan bahwa manusia dengan mental frontier atau pendobrak lahan baru adalah manusia dengan pandangan yang berpusat pada manusia atau antroposentris dan memiliki tiga persepsi sebagai ciri khasnya, yaitu : a. Memandang alam dan bumi sebagai pemberi sumber bahan kehidupan manusia yang tidak terbatas dengan keyakinan bahwa selalu ada sesuatu lagi b. Memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam dan bukan bagian dari alam c. Memandang alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai Dengan mental frontier ini masyarakat yang berkembang dengan basis industri mendirikan beratus pabrik besar dan kecil dengan eksplorasi dan eksploitasi secara maksimal (Yusuf, 2000). Biaya yang harus diperhitungkan untuk mengganti kerusakan lingkungan sumber daya alam sebagai external cost tidak pernah diperhitungkan. Hadi (2000) menyebutkan bahwa keberadaan manusia di muka bumi memiliki dimensi ganda, sebagai perusak dan pemelihara. Dengan daya nalarnya manusia mampu menciptakan keserasian dengan lingkungannya, tetapi di lain pihak dengan daya nalarnya pula manusia memiliki potensi besar merusak lingkungan. Salah satu sifat dasar dari manusia adalah keengganannya untuk belajar dari
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 2, VOLUME 11, DESEMBER 2006
pengalaman dan sejarah bahkan ketika dirinya belum mampu melakukan hal yang lebih baik ketika orang lain melakukan kesalahan. Contoh nyata adalah ketika pemerintah di sekitar tahun 1998 berencana melakukan pembangunan Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Balong, Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Ketidakmampuan bercermin terhadap apa yang pernah terjadi di Chernobyl, Rusia ketika terjadi ledakan di PLTN di kota itu membuat rakyat Indonesia nyaris mengalami dampak buruk baik secara jangka pendek maupun jangka panjang dari segala konsekuensi pembangunan sebuah PLTN semata. Dampak radiasi ketika PLTN Chernobyl meledak terasa sampai ke beberapa negara sekitarnya dan jangan pernah bertanya berapa harga sebuah ledakan PLTN sebab jawabannya terlalu mahal untuk kelangsungan hidup manusia dan alam di muka bumi (Aristiarini, 1996). Lalu bagaimana jika hal tersebut terjadi di negara ini? Kita yang baru belajar teknologi ternyata lebih fasih bermimpi dibanding mereka yang sudah ahli tetapi tidak dapat tidur karena kesalahan fatal yang diperbuat sebagai refleksi ketidaksempurnaan manusia. Manusia memang dapat melakukan adaptasi dengan segala perubahan alam yang ada, tetapi bagaimana dengan alam? Setiap kerusakan tidak mungkin membuat alam sendiri yang berbenah. Tidak bisa karena alam hanya pasif belaka. Maka ketika manusia menjadi pihak yang melakukan eksploitasi maka manusia pula yang harus menjaga kelangsungan sumber daya alam. Menjadi serasi dengan alam seperti suatu bentuk usaha awal manusia menaklukan alam ribuan tahun yang lalu, maka modernisasi terkadang membuat manusia menjadi kembali primitif karena kehilangan pengenalan karakter alam dan interaksinya dengan manusia. Memang ada juga banyak orang yang sadar akan pentingnya alam dan
RAHARJO, HUBUNGAN MANUSIA
lingkungan buat kelangsungan hidup manusia itu sendiri dengan menjadi aktivis pecinta alam, misalnya saja dengan bergabung dengan organisasiorganisasi tertentu seperti Greenpeace atau WALHI dan sebagainya. Hanya saja memang tidak semua berkesempatan untuk bisa menjadi bagian dari organisasi tersebut sebagai wadah langsung yang menjadi sarana penyaluran apresiasi dan kepedulian terhadap lingkungan. Mungkin ada baiknya setiap orang yang sudah menyadari pentingnya keberadaan lingkungan mulai peduli dan belajar lebih peduli untuk melakukan hal kongkret mulai dari diri sendiri. Tidak usah terlalu berlebihan dan berjalan di atas awan dengan menjadi aktivis yang terkadang seperti show off dalam wacana keramaian. Membuang sampah pada tempatnya adalah hal sepele yang biasa ditertawakan saat dibahas tetapi sekarang apakah setiap orang bahkan mereka para aktivis lingkungan sudah mampu melakukan hal tersebut secara konsisten? Egoisme dan individualisme yang tumbuh berdasarkan konsep keakuan bisa saja dibenarkan dalam beberapa kasus tetapi tentu saja keakuan tersebut seharusnya juga disertai kesadaran akan ketergantungan pada pengada yang lain sehingga dapat ikut berperan serta dalam pengelolaan lingkungan (Soerjani, 2000). Setiap kepribadian akan menjadi sesuatu yang khas dalam perbedaan individu sehingga diharapkan manusia tetap tidak lupa dari mana ia berasal dan di mana sesungguhnya ia hidup. KESIMPULAN Segala sesuatunya memang dimulai dari diri sendiri. Setiap hal yang kompleks dimulai dari hal yang sederhana dan setiap perjalanan panjang dimulai dari sebuah langkah kecil. Tak usah bermimpi menjadi matahari sebab dengan menjadi lilin kecil dalam
161
kegelapan kita sudah menjadi sangat berguna buat sekeliling kita. Semakin lama manusia seperti mengeksplorasi alam terlalu berlebihan dalam konteks tidak ada imbalan sepantasnya di terima alam. Hubungan yang ada bukan lagi bersifat menguntungkan tetapi manusia sudah seperti dewa yang menguasai segalanya di bumi ini. Mata rantai ini – entah bagaimana caranya dan sulitnya – harus coba untuk diputus. Jika tidak, pada saat alam dan lingkungan sudah menjadi sangat terusik mereka akan melakukan protes dengan caranya sendiri melalui serangkaian bencana alam yang jelas tidak mungkin dikendalikan manusia. Pada saat itulah manusia baru sadar bahwa sesungguhnya ketidakberdayaan akan muncul dari setiap bentuk arogansi dan pengedepanan keuntungan pribadi dengan dalih kepentingan masyarakat. Maka pada akhirnya kita memang harus sadar bahwa sampai kapan pun alam dan lingkunganlah yang selalu memberi pelajaran pada kita agar kita menjadi lebih dewasa. Ironis sekali. DAFTAR PUSTAKA Aristiarini, A. 1996. PLTN Chernobyl dan faktor Manusia. Dalam Y.A. Prasetyo, M. Anung & M. Pakpahan (Eds). Pembangunan PLTN: Demi
162
kemajuan peradaban? (sebuah bunga rampai). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bell, P.A., Fisher, J.D., Baum, A., & Greene, T.C. 1996. Environmental psychology (fourth edition). Orlando: Harcourt Brace & Company. Franken, R.E. 2002. Human motivation (fifth edition). Belmont: Wadsworth. Gifford, R. 1997. Environmental psychology: Principles and practices (second edition). New York: Allyn & Bacon. Hadi, S.P. 2000. Manusia dan lingkungan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Moran, E.F. 1979. Human adaptability: An introduction to ecological anthropology. Massachusetts: Duxbury Press. Soerjani, M. 2000. Perkembangan kependudukan dan pengelolaan sumber daya alam: Pembangunan berkelanjutan dalam otonomi daerah. Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. Veitch, R., & Arkkelin, D. 1995. Environmental psychology: An interdisciplinary perspective. New Jersey: Prentice Hall. Yusuf, M. 2000. Pendidikan kependudukan dan etika lingkungan. Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan.
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 2, VOLUME 11, DESEMBER 2006