HUBUNGAN CADANGAN OVARIUM, AFC,AMH PADA KASUS ENDOMETRIOSIS I Gde Sastra Winata, Ketut Suwiyoga Divisi Onkologi Ginekologi, SMF/Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Oleh: I Gede Sastra Winata Fransiskus Christianto Raharja
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/ SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2013
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 3 BAB II ENDOMETRIOSIS .................................................................................. 2 2.1 Definisi ....................................................................................................... 3 2.2 Etiologi ....................................................................................................... 3 2.3 Diagnosis .................................................................................................... 5 2.4 Diagnosis Banding...................................................................................... 11 2.5 Tatalaksana ................................................................................................. 11 BAB III CADANGAN OVARIUM, AFC,AHM PADA ENDOMETRIOSIS ...... 14 3.1 Cadangan Ovarium ..................................................................................... 14 3.2 AFC ............................................................................................................ 14 3.3 AHM ........................................................................................................... 15 3.4 Hubungan Cadangan Ovarium, AFC, AHM pada Endometriosis ............. 16 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Endometriosis dijumpai pada kurang lebih 10% populasi wanita usia reproduksi., dengan dampak klinis yang beragam, diagnosis yang tidak mudah dan memiliki angka kekambuhan yang cukup tinggi.1 Endometriosis terutama memberikan tiga dampak klinik, benjolan, nyeri perut/pelvis/senggama, infertilitas.2-4 Sampai saat ini banyak cara pengobatan telah dicoba, namun hasilnya belum memuaskan. Pada dasarnya pengobatan endometriosis hanyalah untuk mengurangi atau menghilangkan dampak klinik yang ada, hanya secara simtomatis.1-11 Angka kejadian endometriosis yang cukup tinggi ini, menempatkan endometriosis menjadi masalah yang dominan, sedangkan diagnosis dan penanganan sering terlambat sehingga menimbulkan kerusakan jaringan dan terjadinya infertilitas.8 Diagnosis yang cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah timbulnya penyulit pada kasus endometriosis.1-4 Cadangan Ovarium, AFC (Antral Follicle Count), AHM (anti Mullerian Hormon) diketahui dapat menentukan tingkat keberhasilan dari program IVF (In Vitro Fertilization), Sehingga perlu diketahui adanya hubungan cadangan ovarium, AFC (Antral Follicle Count), AHM (anti Mullerian Hormon) pada kasus endometriosis.
3
BAB II ENDOMETRIOSIS
2.1.
Definisi
Endometriosis merupakan penyakit yang ditandai adanya jaringan yang histologi menyerupai endometrium, yang letaknya diluar rongga rahim, baik kelenjar maupun stromanya. Akibat dari keadaan tersebut adalah sangat luas dan bervariasi. Pada endometriosis yang ringan, tidak banyak menimbulkan kelainan, akan tetapi pada derajat berat, sering dijumpai adanya perlekatan rongga pelvis, distorsi alat reproduksi dengan segala akibat yang menyertainya, serta gangguan sistemik yang lain. Selain itu, dapat pula terjadi gangguan biokimia tubuh, atau gangguan
fisiologi
terhadap
motilitas
tuba
atau
gangguan
mekanisme
immunologi. 1-11 Penyakit ini dapat berbentuk implan, plak, nodul atau endometrioma. Pada umumnya endometriosis hanya terbatas pada rongga pelvis saja, akan tetapi kadang-kadang dapat menyebar sampai tempat yang lebih jauh. Adenomiosis sering disebut dengan endometriosis interna. Istilah ini mengaburkan karena secara patologi anatomi serta teori terjadinya, adenomiosis berbeda dengan endometriosis. Adenomiosis tidak responsif dengan progesterone, begitu pula manifestasi klinik dan pengobatannya sangat berbeda, sehingga adenomiosis sering tidak dibicarakan bersama-sama dengan endometriosis.1,9
4
2.2.
Etiologi
Banyak hipotesis mengenai etiologi endometriosis, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:1,3,4,10,11 Menstruasi retrograde, Teori Sampson ini adalah yang paling populer. Dijelaskan bahwa endometriosis pada rongga pelvis adalah akibat sekunder karena implantasi potongan sel endometrial saat menstruasi yang mengalami refluks. Sel-sel ini menempel pada peritoneum dan karena pengaruh hormonal ia tumbuh. Hal ini didukung dengan ditemukannya endometriosis paling sering pada daerah tuba atau daerah lain di pelvis.1-4, 8, 10 Metaplasia, Berseberangan dengan teori menstruasi retrograd, teori ini mengungkapkan endometriosis merupakan metaplasia adari epitel selomik. Atau proliferasi dari sisia sel embrionik. Duktus Mullerian dan jaringan mesenkim sekitarnya membentuk saluran reproduktif perempuan. Duktus Mullerian sendiri berasal
dari
epitel
selomik
selama
pembentukan
janin.
Hipotesis
ini
mengungkapkan epitel selomik memiliki kemampuan multipoten sehingga jaringan yang tertinggal dapat membentuk endometriosis apabila diinduksi. Fenomena induksi ini diungkapkan dalan teori induksi; bahwa penginduksi dapat berupa kombinasi sisa menstruasi serta pengaruh esterogen dan progesteron.1,10,11 Metastasis
limfatik
dan
vascular,
Teori
ini
dapat
mendukung
ditemukannya endometriosis pada daerah yang jarang dan jauh seperti pada hidung dan kolumna spinalis. Sekitar 30% dari wanita dengan endometriosis, endometriosis ditemukan pada kelenjar limfenya. Penyebaran secara hematogen
5
pun dapat menjelaskan adanya endometriosis pada lengan, paha, maupun pada paru-paru.1,8 Penyebaran iatrogenik. Endometriosis kadang ditemukan pada dinding anterior abdomen pada wanita yang melahirkan dengan seksio cesarea (SC). Teori ini menyebutkan endometrium mungkin tidak sengaja tertanam selama SC. Endometriosis iatrogenik juga dapat ditemukan pada luka bekas episiotomi.8 Perubahan imunologi. Kegiatan sel natural killer (NK) pada cairan peritoneum penderita endometriosis menurun. Derajat penurunan kegiatan sel NK ini selaras dengan derajat berat ringannya endometriosis. Sel NK adalah sel efektor yang mengenali kemudian menghancurkan sel tumor, virus atau sel asing yang menempel pada permukaan jaringan. Penurunan kegiatan sel NK ini selain terjadi pada cairan peritoneum juga tampak pada serumnya. Selain itu mengapa endometrium yang terlepas tersebut tetap bertahan, dibuktikan pada penelitian lain bahwa sel endometrium penderita endometriosis ini lebih tahan terhadap apoptosis dan fagositosis. Pada penderita endometriosis juga terjadi perubahan cairan peritoneum yang menunjukkan meningkatan aktivitas makrofag,
sekresinya
adalah beberapa sitokin yang menyebabkan terjadinya proses apoptosis patologis. Hal ini terutama ditemukan pada endometriosis berat dengan infertilitas, dimana terjadi proses tersebut pada sel granulosa ovarium dengan ditemukan kadar Interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 yang tinggi pada cairan peritoneum.4,10,11 Pertumbuhan lebih lanjut dari sel endometrium akibat menstruasi retrograd kemungkinan juga melibatkan sistem imun penderita endometriosis. Suatu proses imunologi yang sangat komplek dan saling terkait diduga berperan pada
6
pertumbuhan lebih lanjut dari sel endometrium yang terlepas. Hal ini berhubungan dengan dijumpainya sel limfoid pada implant endometriosis. Selain itu dijumpai juga adanya peningkatan kadar makrofag dan limfosit T didalam cairan peritoneum. Keadaan ini mungkin merupakan salah satu awal dari proses inflamasi yang komplek. Terjadi pula peningkatan kadar sitokin dan growth factor yang dihasilkan oleh leukosit atau sel lain. Mereka dapat berperan sebagai autokrin, berpengaruh pada sel induknya sendiri dan parakrin yang berpengaruh pada sel disekitarnya atau masuk peredaran darah maupun rongga tubuh yang cukup jauh. Para peneliti menemukan jenis sitokin yang meningkat diantaranya adalah Rantes (Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted), IL-1 (Interleukin-1), IL-6 dan TNF (Tumor Necrosis Factor). Sedangkan faktor pertumbuhan yang meningkat pada penderita endometriosis diantaranya adalah VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). IL-1 merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam mengatur inflamasi dan respon imun. IL-1 yang dihasilkan oleh aktif monosit dan macrophage, memiliki dua macam reseptor yaitu reseptor alfa dan beta, tetapi keduanya dapat dihambat dengan satu macam reseptor antagonis IL-1. IL-1 beta dapat memicu faktor angiogenesis seperti VEGF dan IL-6 sehingga terjadi pertumbuhan pembuluh darah pada stroma endometriosis, tetapi tidak pada stroma endometrium normal. Peneliti lain melihat sisi lain dari peran IL-1 ini. Didapatkan bahwa IL-1 beta ini menyebabkan sekresi sICAM-1 (Intercelluler Adhesion Molecule-1) stroma sel endometriosis mengalami peningkatan. Peningkatan kadar sICAM-1 dicairan peritoneum penderita endometriosis secara kompetisi akan menghambat fungsi leukosit,
7
sehingga sel endometrium yang refluks saat menstruasi tersebut terhindar dari pemusnahan. Dua temuan ini, angiogenesis dan peningkatan sICAM-1 mungkin dapat menjelaskan bagaimana sel endometrium yang terlepas saat menstruasi tersebut bisa menempel, menyusup dan tumbuh terus menjadi endometriosis.4 Bagaimana sel endometrium yang terlepas ke kavum abdomen ini menyusup dibawah peritoneum, mungkin dapat diterangkan oleh Chung (2001) dengan melihat ekspresi dari metalloproteinase (MMP) dan tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP). MMP adalah suatu enzim yang dapat menghancurkan membran basal, sehingga suatu sel dapat menyusup ke jaringan lain seperti pada sel trophoblast atau pada neoplasma. Aktivitas MMP ini akan dihambat oleh TIMP, sehingga hasil akhir dari suatu proses tergantung dari rasio MMP/TIMP. Chung membandingkan aktivitas MMP dan TIMP ini pada endometrium dari kavum uteri dan jaringan endometriosis yang diambil dari penderita, dibandingkan dengan jaringan endometrium wanita normal. Didapatkan bahwa ekspresi TIMP-3 yang rendah baik pada endometrium kavum uteri maupun jaringan endometriosis yang diambil dari penderita endometriosis. Sedangkan ekspresi MMP-9 dan rasio MMP-9/TIMP-3 lebih tinggi pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan ekspresinya di endometrium kavum uteri, baik pada wanita normal maupun penderita endometriosis. Disimpulkan bahwa jaringan endometriosis memang mempunyai kemampuan menyusup yang lebih tinggi.11 Predisposisi genetik. Sampai saat ini belum jelas benar gen mana yang terkait dengan endometriosis. Diduga melibatkan banyak lokus gen yang saling
8
terkait dan bersama faktor lingkungan barulah fenotip endometriosis akan muncul. Wanita yang memiliki riwayat endometriosis dalam keluarganya didapatkan penderita endometriosis memiliki kemungkinan untuk menderita endometriosis pada usia yang lebih muda dan endometriosis yang lebih berat dibandingkan mereka yang tidak memiliki riwayat endometriosis dalam keluarganya.8 Faktor lingkungan. Dioksin merupakan bahan polusi yang sebagian besar masuknya melalui makanan. Pada percobaan binatang kera rhesus, didapatkan bahwa munculnya endometriosis akibat dioksin tergantung dari dosis, dan memerlukan dosis yang tinggi untuk terjadinya
endometriosis ini. Selain itu
disebutkan pula bahwa dioksin ini dapat melewati plasenta dan air susu, sehingga dapat mengenai fetus/bayi. Dioksin juga mempengaruhi kerja organ reproduksi, mempengaruhi
reseptor
hormon
reproduksi,
seperti
reseptor
estrogen,
progesteron, epidermal growth factor, dan prolaktin. Pengaruh dioksin terhadap reseptor estrogen tergantung pada umur wanita dan target organ. Lebih lanjut dioksin ini juga mempengaruhi sistem imun dan menekan fungsi limfosit T.1-4, 11 2.3.
Diagnosis
Untuk mendiagnosis endometriosis perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1-5, 10,11 2.3.1. Keluhan dan Gejala Klinik Endometriosis perlu dicurigai pada wanita dengan infertilitas, dismenore, dispareunia, atau nyeri pelvis kronis. Akan tetapi kebanyakan wanita dengan nedometriosis asimtomatis.10
9
Nyeri. Nyeri pada endometriosis meliputi; 1) nyeri panggul yang progresif, yang berhubungan dengan menstruasi atau sebelum menstruasi, 2) dispareunia, nyeri saat defekasi, nyeri suprapubis, disuria. Gejala ini sering berhubungan dengan lokasi anatomis dari endometriosis. Berdasarkan asumsi teori regurgitasi (Sampson) maka tempat yang tersering adalah yang dekat dengan fimbriae tuba, yaitu berturut-turut adalah: ovarium, peritoneum pelvis, cavum douglasi, ligamentum sakro-uteri, dinding belakang uterus, colon rektosigmoid, vesika rektosigmoid, vesika urinaria, appendik dan ligamentum rotundum.1-4 Gejala nyeri dapat sangat bervariasi pada satu penderita dan penderita lainnya, dan intensitas gejala kadang tidak sesuai dengan keadaan penyakitnya. Sebagai contoh, penderita endometriosis dengan fokus tunggal dapat mengalami nyeri hebat, tapi penderita endometriosis multifokus kadang malah sering tanpa gejala. Hal ini berkaitan dengan inflamasi peritoneal, infiltrasi mendalam dengan kerusakan jaringan, perlengketan, penebalan fibrotik, dan kumpulan serpihan darah menstruasi dalam fokus endometriosis yang mengakibatkan traksi dengan gerakan jaringan fisiologis yang menimbulkan nyeri.5,7,11 Infertilitas.
Endometriosis
berat
yang
menyebabkan
adhesi
sehingga
menghambat motilitas tuboovarial dan penangkapan ovum berkaitan dengan infetilitas. Beberapa mekanisme seperti disfungsi ovulasi, insufisiensi luteal, luteinized unruptured follicle syndrome, aborsi berulang, gangguan imunitas, dan inflamasi peritoneal masih belum terbukti untuk dapat menjelaskan hubungan endometriosis ringan dengan infertilitas.11
10
Keluhan Lain. Implantasi dekat permukaan rektum maupun uretra dapat menimbulkan
nyeri
dan
pendarahan
saat
defekasi
maupun
berkemih.
Premenstrual spotting banyak terjadi pada penderita endometriosis. Ruptur endometrioma pada ovarium dapat menimbulkan akut abdomen.7,8 2.3.2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan vulva, vagina, serviks dianjurkan walaupun endometriosis sangat jarang ditemukan pada daerah ini. Pemeriksaan pelvis disarankan untuk dilakukan saat menstruasi karena saat itu nyeri lebih mudah ditemukan. Nodul (biasanya lunak) pada ligamen uterosakral, dan cul-de-sac ditemukan pada sepertiga pasien endometriosis. Pada endometriosis yang berat uterus dapat terfiksasi retroversi dan mobilitas ovarium dan tuba falopii berkurang.10 Kista coklat pada ovarium adalah hasil dari terisinya kavitas endometrioma oleh darah. Dalam hal ini USG dapat membantu diagnosis endometrioma akan tetapi tidak dapat mendiagnosis perlengketan maupun implan kecil pada peritoneum. Transvaginal ultrasonografi dapat secara akurat mendiagnosis endometrioma ovarium, tapi untuk kista coklat sering terjadi false positif.7,8 Diagnosis pasti dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi sehingga implan dapat dilihat, lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi yang menunjukkan massa terdiri dari kelenjar dan stroma endometrial. Dengan laparoskopi pada endometriosis ovarium superfisial lesi-lesi yang terjadi dapat berupa lesi-lesi yang khas maupun lesi-lesi yang tidak khas. Kista endometriotik endometrium yang lebih besar (endometrioma) biasanya terletak pada permukaan anterior ovarium yang berhubungan dengan adanya retraksi, pigmentasi, dan perlekatan peritoneum
11
posterior. Kista endometriotik ovarium sering kali mengandung cairan kental berwarna coklat tua (cairan coklat) terdiri dari hemosiderin yang berasal dari perdarahan intra ovarium sebelumnya. Karena cairan ini didapatkan juga pada penyakit lain seperti kista hemoragik korpus luteum atau kista neoplastik, maka perlu dilakukan biopsi atau pengangkatan kista ovarium yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologi yang merupakan baku emas diagnosis endometriosis.6,8,11
12
BAB III CADANGAN OVARIUM, AFC, AMH PADA ENDOMETRIOSIS
3.1 Cadangan Ovarium Cadangan ovarium atau ovarian reserve adalah potensi reproduksi wanita yang digambarkan dengan kualitas dan kuantitas oosit pada ovarium. 3.2 AFC (Antral Follicel Count) AFC (Antral Follicel Count) merupakan folikel kecil - kecil yang berukuran 2 - 8 mm yang dapat dilihat di ovarium dengan menggunakan USG transvaginal. Folikel antral disebut juga resting follicle (Halim, et al., 2006). Folikel ini terlihat pada awal siklus haid dan jumlahnya dapat memperkirakan jumlah folikel primodial di dalam ovarium (Gurevich, 2010). Jumlah folikel antral kedua ovarium < 5 folikel menunjukkan kelompok respon buruk dalam program superovulasi, kelompok 5 - 10 folikel termasuk respon kurang, kelompok 11 - 30 folikel termasuk respon baik, dan diatas 30 folikel disebut respon berlebihan (Halim, et al., 2006). Jumlah folikel antral mempunyai nilai prediksi terbaik untuk menilai respon ovarium. Pembatalan siklus lebih sering pada wanita dengan jumlah folikel antral < 6 folikel (Ng, et al., 2000). Jumlah folikel antral yang terlihat pada pemeriksaan dengan menggunakan USG transvaginal berhubungan dengan jumlah folikel primodial. Jumlah folikel antral dihitung hari ke 3 - 7 setelah menstruasi. Wanita yang mempunyai jumlah folikel antral < 5 folikel yang berdiameter < 10 mm
13
sebelum stimulasi ovarium dimulai mempunyai prognostik keberhasilan yang rendah (Toner, 2007). 3.3 AMH (Anti Mullerian Hormon) AMH (Anti Mullerian Hormon) adalah hormon yang di produksi oleh sel granulosa folikel ovarium, pertama kali dibuat pada folikel primer, AMH tertinggi pada preantral dan small anyral diamana diameter folikel < 4 mm, kadar AMH sudah tidak ada lagi pada folikel dengan diameter > 8 mm. Pemeriksaan AMH merupakan salah satu jenis pemeriksaan untuk mengukur cadangan ovarium yang berperan penting dalam menentukan prognosis kemampuan reproduksi wanita. Salah satu kelebihan dari AMH dibanding FSH, estradiol, dan inhibin B adalah AMH tidak berpengaruh signifikan pada siklus menstruasi. AMH dipercaya sebgai hormon penanda lebih dini dan tercepat dalam mengukur cadanganovarium pada pertambahan usia wanita. Pengukuran AMH dapat menggantikan FSH dalam menentukan pemeriksaan awal cadangan ovarium. 3.4 Hubungan Cadangan Ovarium, AFC, AHM pada Endometriosis Pada penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara AFC dan AHM untuk memprediksi cadangan ovarium, dimana AHM merupakan prediktor paling baik dibandingkan dengan AFC.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Speroff, Leon, Glass, Robert H., Kase, Nathan G., (1999), Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 6th ed.: Lippincott Williams & Wilkins, Philladelphia. 2. Adnyana, Putra, (2005), Endometriosis: Masalah Klinis dan Penanganannya, Subbagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi, Makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUNUD/RS Sanglah, Bali. 3. DeCherney, A.H., Nathan, L., (2003), Current Diagnostic and Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9th ed: McGraw-Hill, California. 4. J., Brandon, Bankowski, E., Amy, Hearne, C., Nicholas, Lambrou, E., Harold, Fox, E., Edward, Wallach. (2002), The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetric, 2nd ed.: Lippincott Williams & Wilkins, Philladelphia. 5. Wiknjosastro, G.H., Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., (2005), Ilmu Kandungan, ed.7: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 6. Samsulhadi., (2002), Evaluasi Standar Pengobatan Endometriosis. Seksi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi, Lab/SMF Obsgin. FK Unair, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya.. 7. Berek, Jonathan S., (2002), Novak's Gynecology, 13th ed.: Lippincott Williams & Wilkins, Philladelphia. 8. Stenchever,
Morton
A.,
Droegemueller,
William,
et
al.,
(2002),
Comprehensive Gynecology, 4th ed., CD-ROM. 9. Walter A, Hentz JG, Magtibay PM. Endometriosis : Correlation Between Histologic and Visual Findings at Laparoscopy. Am J.Obstet Gynecology. June 2001; 1407 – 13 10. Adiyono, W., Hardian., (2003), Endometriosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 11. Sutton, Christopher, Jones, Kevin, Adamson, David G., (2006), Modern Management of Endometriosis. Taylor & Francis, UK.
16
12. Peran Anti Mullerian Hormone (AMH) pada Folikulogenesis. Obgynmag majalah
Kebidanan
dan
Penyakit
www.obgynmag.blogspot.com
17
Kandungan.
Available
at