HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
OLEH LIDIA KASTANYA 80 2012 020
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Lidia Kastanya NIM : 80 2012 020 Program Studi : Psikologi Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusicve royalty freeright) atas karya ilmiah saya yang berjudul: HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan/ mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga Pada Tanggal : 31 Mei 2016 Yang menyatakan,
Lidia Kastanya
Mengetahui, Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Lidia Kastanya
NIM
: 80 2012 020
Program Studi : Psikologi Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Yang dibimbing oleh: Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA..
Adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalima atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya. Salatiga, 31 Mei 2016 Yang memberi pernyataan
Lidia Kastanya
LEMBAR PENGESAHAN HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MNGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Oleh Lidia Kastanya 802012020
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal: 31 Mei 2016 Oleh: Pembimbing Utama
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA. Diketahui oleh, Kaprogdi
Disahkan oleh, Dekan
Dr. Chr. H. Soetjiningsih, MS
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA. FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI PERILAKU AGRESI ORANG TUA DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMJA DI SMP NEGERI 4 AMBON
Lidia Kastanya Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
Abstrak Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja pada siswa SMP Negeri 4 Ambon. Sebanyak 113 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan teknik insidental sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dan aggression questionnaire. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,789 dengan p< 0,05 yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja. Hal ini bermakna bahwa persepsi remaja yang tinggi akan diikuti dengan perilaku agresi yang tinggi. Kata kunci : Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua, agresi remaja
i
Abstract
This research is a correlational study which aimed to determine the significance of the correlation between a perception of behavior aggressive parents with aggressive behavior in teenagers on SMP Negeri 4 Ambon. There are 113 students were taken as samples using insidental sampling technique. Research methods using scale of perception and aggression questionnaire. Data analysis tecnique used was product moment of correlation tecnique. Analysis of data obtained from the data coefficient of correlation was (r) 0,789 with p<0,05, which means there is a significant positive relationship between a perception of behavior aggressive parents with aggressive behavior in teenangers. This mean that the higher perception teenangers who will followed by aggressive. Keywords : Perception regarding aggressive behavior of parents, teenagers aggressive
ii
1 PENDAHULUAN Masa remaja merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan manusia, dimana individu meninggalkan masa anak-anaknya dan mulai memasuki masa dewasa. Istilah adolenscene, seperti yang dijelaskan oleh Piaget memiliki arti yang lebih luas, mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut ahli teori psikologi perkembangan, tahapan perkembangan remaja dibagi menjadi tiga tahapan dengan kisaran umur antara 10 sampai 21 tahun. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) tahapan masa pubertas mengarah pada kematangan fisik dan seksual dan terdiri atas masa remaja awal (pre adolescence) pada umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun, masa remaja tengah pada umur 13 atau 14 tahun sampai umur 17 tahun, dan remaja akhir pada umur 17 tahun sampai 21 tahun. Jika pada masa kanak-kanak keluarga dan sekolah menjadi pusat lingkungan sosial bagi perkembangan individu, maka pada masa remaja lingkungan sosialnya menjadi semakin luas, dengan pergaulan inilah remaja menyesuaikan diri dan memperoleh nilai-nilai baru, teman baru, dan pola persahabatan yang baru (Susilo, 1992). Dalam proses penyesuaian inilah akan banyak masalah yang dihadapi oleh remaja. Apabila remaja tidak mampu memenuhi tuntutan sosial yang ada, seringkali berpengaruh kepada emosi remaja tersebut. Menurut Hurlock (dalam Santrock, 2002) beberapa kondisi yang membuat remaja sulit untuk mengatur keadaan emosinya adalah lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial yang mengelilingi remaja masa kini. Hal inilah yang dapat membuat remaja melakukan perilaku agresi untuk melindungi diri atau menghindari perlakuan orang terhadap dirinya. Remaja yang melakukan perilaku agresi seringkali mengalami bias dalam atribusi, terutama dalam mempersepsikan situasi-situasi sosial, dan hal ini mendorong mereka untuk berperilaku agresi ketika menghadapi konflik yang tidak menyenangkan.
2 Perilaku agresif menurut Krahe (2005) merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakukan itu. Agresi menurut Myers (dalam Sarwono, 2010) adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Buss (dalam Ramirez dkk, 2003) memberikan rangsangan berbahaya kepada orang lain disebut dengan agresi. Perilaku agresi menurut Ramirez dkk (2003) disebabkan oleh 2 hal yaitu nature dan nurture, dimana nature terdiri dari (a) Teori psikoanalisis dimana seseorang melakukan agresi karena dasar atau dorongan (drive) dari dirinya sendiri, (b) Teori etiologi agresi terjadi karena spontanitas, naluri bawaan dan drive yang bersifat instingtif yang hanya dapat dipahami melalui analisis filogenetik, (c) sosiobiologi interaksi agresi adalah salah satu cara meningkatkan keberhasilan reproduksi dalam suatu lingkungan yang memiliki sumber daya yang terbatas. Selanjutnya,
untuk
nurture terdiri dari (a) frustasi-agresi merupakan pelampiasan dari rasa frustasi individu, (b) Social learning, Seorang individu dapat mempelajari agresi melalui peniruan atau pengamatan dari satu model agresi dan (c) Teori kognitif, perilaku agresi dipelajari dan mulai terbentuk pada masa awal kehidupan individu (6-8 tahun). Manifestasi dari perilaku agresi remaja dapat dilihat akhir-akhir ini dengan berbagai macam kasus kenakalan remaja. Keagresifan remaja merupakan kesalahan dalam penyesuaian diri disuatu lingkungan. Remaja sangat rentan berperilaku agresi karena mereka dalam proses mencari jati diri, mereka belum bisa mengendalikan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata verbal dan perilaku non verbal (Fitriani, 2013) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren kenakalan dan kriminalitas remaja di Indonesia mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis meningkat.
3 Pada tahun 2007 tercatat sebanyak 3145 remaja usia ≤ 18 tahun menjadi 2 pelaku tindak kriminal, tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi 3280 hingga 4123 remaja (BPS, 2010). Dari sejumlah kasus yang dilaporkan, tercatat 197.423 jumlah pelaku laki-laki maupun perempuan menurut Kemenpora (2009). Dalam penelitian longitudinal terhadap remaja, Elliott (dalam Tremblay, 2000) menemukan bahwa terdapat peningkatan tindakan kekerasan pada anak laki-laki maupun perempuan pada usia 12 tahun sampai 17 tahun. Hal ini menunjukan bahwa tahap perkembangan remaja tergolong rentan berperilaku agresi. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru BK SMP Negeri 4 Ambon (pada tanggal 30 Agustus 2015), yang mengatakan bahwa siswa dari kelas VII sampai kelas IX, masih ada yang dipanggil ke ruang BK karena melanggar peraturan sekolah, mengalami teguran dari wali kelas, atau menerima surat panggilan karena perilaku-perilaku yang menyakiti orang lain dalam menghadapi masalah, baik masalah dengan guru, teman maupun orang lain yang berada diluar lingkungan sekolah tersebut. Ada beberapa murid yang masih terlibat tawuran dengan murid sekolah lain, hal ini biasanya terjadi setiap tahunnya, dan tak jarang sekolah yang dianggap musuh adalah sekolah yang dari tahun ke tahun memang mengalami konflik yang sama dengan mereka. Cepat terprovokasi oleh isu yang belum tentu kebenarannya, merasa kalah dalam hal penampilan, ingin menunjukan kekuatan kepada orang lain, merasa berkuasa, atau masalah pasangan, merasa kurang diperhatikan, tertekan, dan efek dari tayangan kekerasan di media masa adalah beberapa alasan yang menyebabkan remaja melakukan perilaku agresif. Perilaku agresi ini menyebabkan sakit fisik maupun sakit hati dari korban yang mengalami perlakuan baik secara fisik maupun secara mental. Perilaku agresi merupakan penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain, sehingga apabila perilaku agresi ini tidak dikontrol dengan baik oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan remaja itu sendiri, maka akan lebih memberikan efek yang buruk, bahkan kematian dapat dialami seseorang akibat perilaku tersebut (Taganing, 2008).
4 Menurut Bush dan Perry (1992) mengklasifikasikan perilaku agresi dalam empat macam, yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik dan agresi verbal mewakili komponen motorik dalam agresivitas, sedangkan kemarahan dan permusuhan mewakili komponen afektif dan kognitif dalam agresivitas : a.
Agresi fisik (Physical Agression) ialah bentuk agresif yang dilakukan dengan menyerang secara fisik dengan tujuan untuk melukai atau membahayakan seseorang. Perilaku agresif ini ditandai dengan terjadinya kontak fisik antara agresor dan korbannya
b.
Agresi verbal (Verbal Agression) ialah agresivitas dengan kata-kata. Agresi verbal dapat berupa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme.
c.
Kemarahan (Anger) ialah suatu bentuk indirect agression atau agresi tidak langsung berupa perasaan benci kepada orang lain maupun sesuatu hal atau karena seseorang tidak dapat mencapai tujuannya.
d.
Permusuhan (Hostility), merupakan komponen kognitif dalam agresivitas yang terdiri atas perasaan ingin menyakiti dan ketidakadilan. Didalam perilaku agresi ini keempat hal ini saling berhubungan antara satu dengan
yang lainnya, terdapat pula keterkaitan antara aspek afektif, kognitif, dan arousal yang bereaksi dan berproses terhadap stimulus yang ada dan memunculkan perasaan negatif. Perilaku agresi bukan hanya dipicu oleh kejadian di lingkungan luar individu, namun juga dimunculkan dari bagaimana kejadian tersebut diterima dan diproses secara kognitif atau yang disebut atribusi diungkapkan oleh Berkowitz (1989). Dalam mencapai suatu kematangan emosional pada remaja, bukanlah proses yang mudah, namun membutuhkan kemauan keras dari remaja tersebut serta, kondisi sosial dan emosional lingkungan terutama lingkungan terkecil yaitu keluarga sangat mempengaruhi individu.
5 Lingkungan keluarga menjadi sangat penting bagi individu, karena dilingkungan inilah hubungan yang baik antara orang tua, atau antara orang tua terhadap anak, rasa saling percaya, saling menghargai serta tanggung jawab ditunjukan dalam lingkungan ini. Apabila keluarga memiliki lingkungan yang positif, anak diharapkan juga dapat mencapai kematangan emosionalnya dengan baik. Namun, akan menjadi sebaliknya apabila kondisi seperti itu tidak ada dalam keluarga, tindak kekerasan yang dilakukan dari suami kepada istri atau sebaliknya, memukul jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, dibentak dengan intonasi yang tinggi, cepat termakan omongan orang lain, kemudian hal-hal yang negatif seperti ini dipertontonkan dan diberlakukan kepada anak, akan membentuk persepsi anak tersebut bahwa kekerasan adalah wujud untuk merespon suatu hal yang salah (Satiadarma, 2001). Hal ini terjadi karena melihat apa yang dilakukan orang tua dan dipersepsikan oleh anak tersebut. Menurut penelitian dari Vissing, dkk (1991) didapatkan data dari 3346 keluarga yang menjadi sampel bahwa agresi anak, kenakalan dan masalah dalam berhubungan dengan orang lain disebabkan karena anak-anak tersebut pernah mengalami kekerasan psikologis dalam keluarga. Padahal, keluarga adalah yang akan dijadikan anak tersebut sebagai contoh dikemudian harinya, karena anak mempersepsikan perilaku dan apa yang diperhatikannya dalam keluarga untuk kembali diwujudkan dalam tindakan dan perilakunya, inilah proses internal yang terjadi, yang sering disebut persepsi. Persepsi menurut Solso, Otto, & Maclin (2008) adalah sesuatu yang melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam hal penginterpretasian, yang kita tangkap dengan indera. Persepsi menurut Walgito (2003) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Seseorang memilikli perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-
6 pengalaman yang tidak sama yang menyebabkan persepsi orang terhadap stimulus atau objek yang sama dapat berbeda-beda. Baron & Byrne (1983) menambahkan persepsi adalah proses yang dialami seseorang untuk mengetahui dan memahami orang-orang lain. Persepsi inilah yang akan dimiliki oleh anak, anak tumbuh dengan hubungan yang dimulai dengan orangorang terdekatnya yaitu orang tua, sehingga persepsi anak adalah penginterpretasian yang dibentuk anak dari hasil tangkap indera, melalui penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan peraba yang dia temui pertama kalinya dari orang tuanya. Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional menurut Bair dkk (dalam Margareta dkk, 2013 ). Ekspos kekerasan dalam keluarga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya. Kekerasan dalam keluarga adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan dilakukan oleh orangorang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta kemarahan menurut Margareta, dkk (2013). Hal inilah yang membuat anak menginterpretasikan apa yang ditemuinya dalam keluarga dalam bentuk persepsi, berdasarkan apa yang ditangkapnya dengan alat indera. Belajar Sosial (social learning) menjelaskan bahwa perilaku agresi terjadi karena belajar sosial atau transmisi antar generasi anak-anak yang mengalami kekerasan, yaitu anakanak mempelajari penyimpangan norma-norma dan perilaku yang dapat direplikasi di dalam hubungan saat dewasa menurut Bandura (1976). Marriott & Chebib (2014) menjelaskan bagaimana efek belajar sosial terjadi sangat cepat bergantung pada genetika ataupun
7 lingkungan dimana individu bertumbuh dan beradaptasi. Jika sejak anak-anak sudah menyaksikan kekerasan, dalam masa remaja mereka akan mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran tentang orang tua inilah yang ditangkap oleh remaja melalui alat indera kemudian dipersepsikan, dan terwujud dalam perilaku dimasa depan (Bodenhausen dan Hugenbregh, 2009). Dalam kultur di mana tindak kekerasan adalah jarang, orang menjadi sangat sensitif dengan setiap bentuk kekerasan dan agresi dan menolaknya. Sebaliknya, di komunitas di mana kekerasan merupakan cara menyelesaikan masalah yang umum, seperti zona konflik etnis, orang mungkin menjadikan pola perilaku kekerasan tersebut sebagai norma Buckey, (dalam Erick & David, 2012). Masalah yang ditemukan sekarang adalah remaja cendrung akan melakukan pengulangan atas perilaku agresi yang sama jika lingkungan atau faktor eksternalnya mendukung individu tersebut untuk melakukukan perilaku tersebut, menurut Lopez dkk (2008). Pemikiran orang tua bahwa dengan memberi pukulan itu adalah perilaku yang mengajarkan anak menjadi individu yang patuh, penurut dengan tujuan yang baik, tanpa mereka sadari hal tersebut malah memberi dampak sebaliknya. Perilaku yang dilakukan oleh orang tua kepada orang lain, dengan memukul, meneriaki dengan kata-kata kasar atau sebagainya, menjadi hal yang biasa kepada remaja, kemudian orang tua akan mendorong anak mereka untuk mengerti bahwa hal tersebut adalah untuk “membela diri”. Sementara itu, dari pengalaman orang tua contoh tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka, sehingga orang tua berusaha untuk membuat anak mereka menyadari apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang memang seharusnya dilakukan. Dengan cara seperti inilah yang akan mempengaruhi cara didik orang tua terhadap anak tersebut, karena bila orang tua memberi pukulan dengan pengertian “membela diri”, “demi kebaikan kamu”, anak ketika bertumbuh akan mengulangi dan menerapkan hal yang sama di kemudian hari pada orang lain, karena
8 dia merasa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah yang terbaik baginya, sehingga dia akan melakukan hal yang dia anggap terbaik juga kepada orang lain, karena skema atau persepsi yang dibentuknya sesuai dengan apa yang dirasakan dan dialaminya. Valois, dkk (2002) dalam hasil penelitiannya tentang faktor resiko yang berhubungan dengan kekerasan dan perilaku agresi dan Mackowicz (2014) tentang kekerasan pada siswa di sekolah menengah pertama menemukan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang beresiko terkait dengan perilaku agresi remaja, terutama untuk remaja yang berada pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah keatas. Lopez dkk (2008), dari hasil penelitiannya tentang Agresi remaja pengaruh: gender, keluarga dan lingkungan sekolah menemukan apabila lingkungan keluarga yang positif akan memberikan faktor perlindungan yang kuat juga untuk anak perempuan maupun laki-laki dalam menghadapi masalah. Dilain sisi, ada juga penelitian yang memiliki hasil berbeda dalam menilah perilaku agresi remaja yaitu, Adachi & Willoughby (2011) dalam penelitiannya tentang efek dari game kompetisi dan kekerasannpada perilaku agresi remaja, dan yang lebih memberikan efek kepada perilaku agresi adalah game kompetisi. Penelitian lainnya yang serupa dengan Adachi dan Willioughby adalah Anderson dkk (2010) tentang videogame kekerasan yang berpengaruh pada perilaku agresi, empati dan sikap prososial. Berdasarkan fenomena serta hasil penelitian yang telah ada, tentang perilaku agresif, maka penulis tertarik untuk melihat persepsi remaja terhadap perilaku agresi orang tua dengan remaja terhadap perilaku agresif di SMP Negeri 4 Ambon. Hipotesis Adakah hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon.
9 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian Variabel Terikat
: Perilaku agresi remaja
Variabel Bebas
: Persepsi mengenai perilaku agresi orang tua
Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian correlational, yaitu penelitian yang bersifat menghubungkan (Sugiyono, 2012) dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan instrumen berbentuk skala. Populasi dan Sampel Penelitian Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti (Azwar, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMP Negeri 4 Ambon yang berjumblah 1095 siswa. Adapun karakteristiknya adalah: (1) masih memiliki orang tua lengkap (ayah dan ibu), (2) tinggal bersama kedua orang tua ayah dan Ibu. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik Insidental Sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012). Saat penelitian, yang dilakukan peneliti disekolah tersebut, beberapa kelas yang dijadikan sampel ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga saat pengisian angket pihak sekolah yang menemani untuk menunjukan kelas berapa saja yang bisa dimintai data atau dijadikan sampel. Maka dari 32 kelas yang ada di SMP Negeri 4 Ambon, peneliti mengambil sampel sebanyak 4 kelas yaitu kelas VII-1 yang berjumlah 30 siswa, dengan 26 siswa sesuai
10 kateristik, dan 4 lainnya tidak, kelas VII-2 yang berjumlah 31 siswa sesuai karakteristik, kelas VIII-1 yang berjumlah 28 siswa, dengan 27 siswa sesuai karakteristik dan 1 lainnya tidak, dan kelas VIII-4 yang berjumlah 33 siswa, dengan 29 sesuai karakteristik dan 4 lainnya tidak. Pemilihan kelas ditentukan langsung oleh pihak sekolah, sehingga jumlahnya adalah 113 siswa yang berpartisipasi. Pengisian Angket dilakukan 2 kali, hari pertama siswa mengisi skala agresi, keesokan harinya mereka mengisi skala persepsi tentang orang tua. Teknik Pengumpulan Data Metode
pengumpulan
data
pada
penelitian
ini
adalah
Aggression
Questionnaire dari Buzz dan Perry dan Skala persepsi mengenai perilaku agresi orang tua (seterusnya akan disingkat PAOT) yang telah dimodifikasi oleh penulis. 1. Skala Aggression Questionnaire Skala yang digunakan adalah Aggression Questionnaire dari Buzz dan Perry (1992) yang terdiri dari 29 item dengan menggunakan aspek-aspek anger (7 item), verbal aggression (5 item), physical aggression (9 item), dan hostily (8 item). Dalam penelitian ini item telah dialih bahasakan menjadi Bahasa Indonesia dan diubah menjadi skala Likert dengan tetap mempertahankan dimensi indikator yang diukur. Dalam pengisian alat ukur Aggression responden diminta untuk memilih dari lima pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat menentukan dengan pasti (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan dalam skala ini bersifat favourable untuk 27 item dan 2 item lainnya unfavorable. Rentang skor setiap butr pernyataan dari 1 sampai 5. Jika Butir pernyataan SS diberi skor 5, jawaban S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1.
11 Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala Aggression Questionnaire sebanyak dua kali putaran, yang terdiri dari 29 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 5 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,326-0,573 dengan penentuan-penentuan item yang mempunyai nilai diskriminasi yang baik, menggunakan ketentuan Anzwar (2012) yang menyatakan bahwa item skala pengukuran dapat dikatakan baik apabila r ≥ 0,30. Teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach. Hasil koefisien Alpha pada skala Aggression Questionnaire sebesar 0,876. Hal ini berarti skala Aggression Questionnaire reliabel. Tabel 1. Reliabilitas Skala Aggression Questionnaire
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha .876
N of Items 24
2. Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua (PAOT) Skala yang digunakan adalah skala Aggression Questionnaire dari Buzz dan Perry (1992) ini dimodifikasi oleh penulis berdasarkan aspek-aspek persepsi menurut Baron & Byrne (1983), yaitu: aspek konatif yang diwakilkan dengan physical aggression dan verbal aggression, afektif yang diwakili oleh aspek anger, dan aspek kognitif diwakili aspek hostility. Skala PAOT ini terdiri dari 29 butir pernyataan dan memiliki lima pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak dapat menentukan dengan pasti (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan dalam skala ini bersifat favourable untuk 27 item dan 2 item lainnya unfavorable. Rentang skor setiap
12 butr pernyataan dari 1 sampai 5. Jika Butir pernyataan SS diberi skor 5, jawaban S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala paot sebanyak dua kali putaran, yang terdiri dari 29 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 4 item. Maka terdapat 25 item yang dapat digunakan untuk dianalisa dalam penelitian ini totalnya bergerak antara 0,326-0,623. Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala persepsi sebesar 0,898. Hal ini berarti skala perselingkuhan reliabel. Tabel 2. Reliabilitas Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua (PAOT)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha .898
N of Items 25
Teknik Analisis Data Metode Analisis data adalah metode untuk mengolah data, menganalisis data, dan menguji kebenarannya, kemudian dapat disimpulkan dari penelitian tersebut (Hadi, 2004). Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan metode statistik, karena data yang diperoleh berwujud angka-angka sehingga metode statistik dapat memberikan hasil yang objektif. Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel penelitian ini adalah korelasi product moment dari Pearson. Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan bantuan progtam khusus komputer yaitu SPSS seri 16.0 for windows.
13 HASIL PENELITIAN Uji Deskriptif Statistika Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi sebagai hasil pengukuran skala aggression questionnaire dan skala persepsi mengenai perilaku agresi orang tua (PAOT). Tabel 3. Deskriptif Statistika Descriptive Statistics N
Min
Max
Sum
Mean
Std. Deviation
Agresi
113
44
105
9162
81.08
14.556
PAOT
113
44
111
8656
76.60
15.306
Valid N (listwise)
113
Berdasarkan tabel 3, tampak skor empirik yang diperoleh pada skala aggression questionnaire paling rendah adalah 44 dan skor paling tinggi adalah 105, rata-ratanya adalah 81,08 dengan standar deviasi 14,556. Begitu juga dengan skala PAOT paling rendah adalah 44 dan skor paling tinggi 111, rata-ratanya adalah 76,60 dengan standar deviasi 15,306. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku agresi dan paot digunakan 5 (lima) kategori, yaitu: Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, dan Sangat Rendah. Jumblah pilihan pada masing-masing item adalah 5 (lima). Maka skor maksimum yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumblah soal, yaitu: 5 x 24 item = 120 untuk variabel agresi, 5 x 25 = 125 untuk variabel PAOT, dan skor minimum yang diperoleh dengan cara mengkalikan skor terendah dengan jumblah soal 1 x 24 item = 24 untuk variabel agresi, dan 1 x 25 item = 25 untuk variabel PAOT.
14 Tabel 4. Kategorisasi Pengukuran Skala Persepsi Mengenai Perilaku Agresi Orang Tua (PAOT) dan Aggression Questionnaire Skala
No
Interval
Kategorisasi
Aggression
1
100,8 ≤ x ≤ 120
Questionnaire
2
Mean
N
Presentase
Sangat Tinggi
5
4,42%
81,6 ≤ x ≤ 100,8
Tinggi
46
40,71%
3
62,4 ≤ x ≤ 81,6
Sedang
48
42,47%
4
43,2 ≤ x ≤ 62,4
Rendah
14
12,39%
5
24 ≤ x ≤ 43,2
Sangat Rendah
0
0%
113
100 %
81,08
Jumlah SD = 14,556 Min = 44 Max = 105 Persepsi
1
101 ≤ x ≤ 125
Sangat Tinggi
7
6,19%
Mengenai
2
77 ≤ x ≤ 101
Tinggi
49
43,36%
Perilaku Agresi
3
53 ≤ x ≤ 77
Sedang
49
43,36%
Orang tua
4
29 ≤ x ≤ 53
Rendah
8
7,08%
5
5 ≤ x ≤ 29
Sangat Rendah
0
0%
113
100 %
76.60
Jumlah SD = 15,306 Min = 44 Max = 111
Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan sebagian besar subjek (42,47%) mempunyai perilaku agresi dalam kategori sedang dan sebagaian besar subjek (43,36%) memiliki persepsi mengenai perilaku agresi orang tua (PAOT) dalam kategori sedang yang nilainya sama juga dengan kategori tinggi. Uji Asumsi Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji lineritas.
15 a. Uji Normalitas Uji asumsi dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah data yang telah memenuhi asumsi analisis sebagai syarat untuk melakukan analisis dengan teknik korelasi Pearson Product Moment. Pengujian uji normalitas dilakukan dengan melihat hasil uji Kolmogrov-Smirov. Uji normalitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 5. Uj Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perilaku Agresi N
Persepsi mengenai perlaku agresi orang tua (PAOT)
113
113
81.08
76.60
14.556
15.306
Absolute
.087
.048
Positive
.051
.048
Negative
-.087
-.042
Kolmogorov-Smirnov Z
.929
.508
Asymp. Sig. (2-tailed)
.354
.959
Normal Parametersa
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Pada skala agresi diperoleh hasil skor sebesar 0,929 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,354 (p>0,05). Sedangkan pada skor paot memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,508 dengan probabilitass (p) atau signifikansi sebesar 0,959 (p>0,05). Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi normal.
16 b. Uji Linearitas Uji linearitas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dengan kata lain, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan dengan variabel terikat atau tidak. Untuk perhitungannya, uji linieritas dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6. Uji Linearitas
ANOVA Table Sum of Squares Perilaku Agresi Remaja * PAOT
Between Groups
(Combined) Linearity Deviation from Linearity
Within Groups Total
19435.050 14777.900
Mean Square
df 49
F
Sig.
396.634
5.818
.000
1 14777.900
216.75 4
.000
1.423
.094
4657.150
48
97.024
4295.233
63
68.178
23730.283
112
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda Sebesar 1,423 dengan signifikansi = 0,094 (p<0,05) yang menunjukan hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi remaja adalah linear. c. Uji Korelasi Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji liniearitas. Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat dapat dilihat pada tabel berikut :
17 Tabel 7. Hasil Uji Korelasi
Correlations Agresi Agresi
Pearson Correlation
Persepsi_ 1
.789**
Sig. (1-tailed) N Persepsi tentang orang tua
Pearson Correlation
.000 113
113
.789**
1
Sig. (1-tailed)
.000
N
113
113
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil koefisien korelasi antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi remaja, sebesar 0,789 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon.
18 PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua dengan perilaku agresi pada siswa di SMP Negeri 4 Ambon, diperoleh hasil r = 0,789 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua terhadap perilaku agresi remaja, yang berarti semakin tinggi persepsi remaja tentang agresi orang tua, semakin tinggi pula perilaku agresi. Sebaliknya, bila persepsi mengenai perilaku agresi orang tua rendah, maka perilaku agresi pada remaja juga akan rendah. Dalam perkembangan masa perkembangan remaja, yang dikemukan oleh Monty (2001), bahwa perilaku agresi pada remaja dipengaruhi oleh pembentukan persepsi yang dimulai dari keluarga. Margaretha dkk (2013) mengungkapkan efek jangka panjang dari anak-anak yang menjadi saksi dalam peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya, adalah potensi untuk melakukan hal yang sama lagi dimasa depan. Padahal keluarga merupakan lingkungan terdekat yang berada pada masa perkembangan remaja, dimana keluarga diharapkan dapat memberikan rasa aman, namun sebaliknya malah hal-hal negatif lah yang ditunjukan oleh orang tua dalam berperilaku. Ramirez (2003) juga menambahkan bahwa kebanyakan anak yang diasuh oleh orang tua biologis yang memiliki hubungan genetis dengannya, maka pengaruh-pengaruh sifat bawaan (nature) dan (nurture) dalam perkembangan individu biasanya berjalan seiring, salah satunya social learning. Social learning sendiri diperoleh oleh remaja dari hasil observasinya dengan lingkungan dimana individu tersebut tinggal, yaitu keluarga menurut Bandura (1976). Marriott & Chebib (2014) menjelaskan bagaimana efek belajar sosial terjadi sangat cepat bergantung pada genetika ataupun lingkungan dimana individu bertumbuh dan beradaptasi
19 Jika dikaitkan dengan persepsi, berarti individu membentuk pola pemikiran dan perilaku yang sama dengan apa yang ditemukannya dalam lingkungan tempat remaja bertumbuh pertama kali, yaitu keluarga. Perilaku agresi yang dipersepsikan remaja inilah yang direkamnya dari keluarga, maka tak jarang remaja akan berperilaku sama seperti apa yang dilihat dari orang tuanya (Nike, 2013). Pembelajaran tentang orang tua inilah yang ditangkap oleh remaja melalui alat indera kemudian dipersepsikan, dan terwujud dalam perilaku dimasa depan (Bodenhausen dan Hugenbregh, 2009). Saat remaja mempersepsikan perilaku agresi orang tua, beberapa aspek dari persepsi juga dikategorikan bersama. Menurut Baron & Byrne (1983), yaitu: aspek konatif dari persepsi yang diwakilkan dengan physical aggression dan verbal aggression, afektif yang diwakili oleh aspek anger, dan aspek kognitif diwakili aspek hostility. Dari hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini diperoleh rata-rata data bahwa persepsi sebesar 76,60 yang berada pada kategori sedang dan tinggi dengan 43,36%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja di SMP Negeri 4 Ambon, mempersepsikan orang tua mereka berperilaku agresi yang sedang dan pada presentasi yang sama juga remja mempersepsikan perilaku agresi orang tua mereka tinggi. Dalam kultur di mana tindak kekerasan adalah jarang, orang menjadi sangat sensitif dengan setiap bentuk kekerasan dan agresi dan menolaknya. Sebaliknya, di komunitas di mana kekerasan merupakan cara menyelesaikan masalah yang umum, seperti zona konflik etnis, orang mungkin menjadikan pola perilaku kekerasan tersebut sebagai norma (Buckey, dalam Erick & David, 2012). Hal inilah yang menyebabkan perkembangan budaya tentang agresi menjadi hal yang biasa untuk diterapkan, perilaku agresi terbentuk karena konsep lingkungan yang mudah mengalami konflik baik dari sosial, ekonomi maupun agama, sehingga dapat memicu konflik antara warga daerah atau pendatang (Hadiwitanto & Sterkens, 2010).
20 Sementara, untuk perilaku agresi pada remaja SMP Negeri 4 Ambon memiliki ratarata sebesar 81,08 yang berada pada kategori sedang dengan presentase 42,47%. Hal tersebut menunjukan bahwa hampir sebagian besar remaja di SMP Negeri 4 Ambon telah melakukan perilaku agresi baik secara fisik, verbal, amarah ataupun secara permusuhan. Dorongan kekerasan dapat berkembang menjadi pola respon, karena perilaku agresi diperoleh lewat observasi tindakan agresi orang lain (Bandura, 1976). Orang tua yang tinggal di area kekerasan cendrung mendorong anaknya untuk agresif dan merespon kekerasan dengan tindakan pembalasan (Erick & David, 2012). Dan remaja dalam proses pertumbuhan akan mengikuti apa yang ditemukannya pertama kali, baik secara konsep berpikir dari sisi sosial, politik dan ekonomi yang diterapkan bahkan telah menjadi budaya dimana individu bertumbuh secara turun menurun (Hadiwitanto & Sterkens, 2010). Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat sumbangan efektif yang diberikan persepsi terhadap kecenderungan perilaku agresi, persepsi berkontribusi sebesar 62% dan sebanyak 38% dipengaruhi oleh faktor lain diluar persepsi mengenai keluarga yang dapat berpengaruh terhadap perilaku agresi remaja, seperti faktor dari dalam diri sendiri yaitu dorongan untuk menyerang, lingkungan sekolah, hubungan pertemanan dengan orang lain, hingga masyarakat atau lingkungan tempat individu tinggal (Vaoliz dkk, 2002).
21 PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mengenai perilaku agresi orang tua (PAOT) dengan perilaku agresi pada remaja di SMP Negeri 4 Ambon. Makin tinggi persepsi tentang perilaku agresi orang tua, maka kecenderungan perilaku agresi juga pada tingkat yang tinggi. 2. Besarnya sumbangan efektif persepsi sebesar 62%. Hal ini menunjukan bahwa persepsi merupakan salah satu faktor besar pengaruhnya terhadap perilaku agresi remaja. 3. Sebagian besar subjek (43,63%) memiliki tingkat persepsi mengenai orang tua pada kategori sedang dan sebagian besar subjek (42,47%) memiliki tingkat kecenderungan perilaku agresi pada kategori sedang. Saran Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan diatas maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi Orang tua Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi remaja mengenai perilaku agresi orang tua merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresi, diharapkan melalui penelitian ini bagi orang tua agar jangan melakukan perilaku agresi di depan anak-anak, kemudian juga untuk dapat mengekspresikan penolakan dengan alasan yang tepat ataupun memberi teguran dengan cara yang lebih
22 tenang, misalnya duduk bersama menanyakan permasalahan, atau memberi nasihat, apabila anak melakukan kesalahan. 2. Bagi Remaja Bagi remaja, jika menghadapi permasalahan sebelum mengambil tindakan lebih baik bertanya terlebih dahulu kepada orang tua, atau orang dewasa lainnya yang dapat dipercaya. Mencari sumber permasalahan atau informasi kebenarannya, agar tidak cepat terprovokasi oleh isu. 3. Bagi sekolah dan guru Di sekolah, diadakan penyuluhan atau pendekatan lebih lanjut kepada orang tua yang memberlakukan perilaku agresi dalam keluarga, sehingga orang tua dapat mengerti bagaimana mendisiplinkan anak dengan lebih baik tanpa kekerasan. 4. Bagi penelitian selanjutnya -
Dapat mengaitkan perilaku agresi dengan faktor yang lainnya seperti pola asuh atau dilihat dari jenis kelamin mana yang memiliki agresi yang tinggi.
-
Dapat juga didukung dengan, penelitian namun melihat kepada keluarga yang utuh (memiliki ayah dan ibu) dengan keluarga yang sudah berpisah (tinggal dengan salah satu ayah atau ibu).
23 DAFTAR PUSTAKA Adachi., C. J. & Willoughby, T. (2011). The effect of video game competition and violence on aggressive behavior: which characteristic has the greatest influence. (1) 4, 259–274 . Canada : Brock University. Anderson, A. C., Nobuko, I., Bushman, J. B., & Rothstein, R. H (2010). Violent video game effects in eastern and western countries: a meta-analytic review. Psychological bulletin. 136 (2), 259–274. American psychological association. Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pusat Statistika (2012). Profil Kriminalitas Remaja 2010. Diakses pada 6 september 2015 melalui https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/3514. Bandura, A. (1976). Social learning theory. New York City : General Learning Pers Berkowitz, L. (1989). Frustration-aggression hypothesis: examination and reformulation. Psychological Bulletin American Psychological Association 106 (1), 59-76. Baron, A. R. & Byrne, D. (1991). Social psychology. London : Allyn and Bacon Bodenhausen, G. V., & Hugenberg, K. (2009). Attention, perception, and social cognition. Faculty of northwestern. Pdf. USA : Northwestern University Buss, A. H., & Perry, M. P. (1992). The aggression questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology, 63, 452-45. Erick., B. S & David, A. L. (2012). Psikologi lintas kultural : Pemikiran Kritis dan Terapan Modern. Jakarta: Kencana. Fitriani, N. R. (2013). Hubungan antara persepsi siswa terhadap perilaku agresi verbal guru dengan motivasi belajar siswa pada Madrasah Ibtidaiyah Ma’Arif Bringin srumbung magelang. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Hadi, Sutrisno. (2004). Metodologi research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta. Hadiwitanto, H.& Sterkens, C. (2010). Belajar dari kekerasan bernuansa agama di Ambon. Jurnal Penagama Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 29 (1), 57-78. Kementerian Pemuda dan Olaraga (2009). Penyajian data dan informasi kementerian pemuda dan olaraga 2009. Diakses pada 23 februari 2016 melalui http://www.kemenpora.go.id/pdf/PENYAJIAN%20DATA%20INFORMASI%20KE MENTERIAN%20PEMUDA%20DAN%20OLAHRAGA%20TAHUN%202009.pdf Krahe, B. (2005). Perilaku agresif buku panduan psikologi sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Lopez, E. E., Pereza, M. S., Ochoab, M. G., & Ruiza, M. D. (2008). Adolescent aggression: Effects of gender and family and school environments. Journal of Adolescent The Association for Professionals in Services for Adolescents. 31, 433–450.
24 McArthur, Z. L., & Baron, M. R. (1983). Toward an ecological theory of social perception. Physchological Review of American Psychological Association, 90 (3), 215-238. Maćkowicz, J. (2014). Junior high school student as victim of violence at school. Batı Anadolu Eğitim Bilimleri Dergisi (BAED), Dokuz Eylül Üniversitesi Eğitim Bilimleri Enstitüsü, İzmir-Türkiye. ISSN 1308 - 8971. Rusia : Bati Anadolu Margareta., Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Jurnal Makara Seri Sosial dan Humaniora Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 17(1): 33-42. Marriott, C., & Chebib, J. (2014). The effect of social learning on individual learning and evolution. Proceedings of the Fourteenth International Conference on the Synthesis and Simulation of Living Systems, ALIFE '14, At New York, New York. doi: 10.7551/978-0-262-32621-6-ch118. Nike, K. H. (2013).Hubungan antara persepsi pola asuh otoriter ibu dengan perilaku agresi pada siswa sd. Skripsi. Fakultas Psikologi Universtas Muhamadiyah Surakarta Ramirez, M. J. (2003). Human Aggression: A Multifaceted Phenomenon. Diakses pada 23 februari 2016 melalui http://eprints.ucm.es/10003/1/Human_Aggression_Book.pdf Santrock, J.W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Satiadarma, M. P. (2001). Persepsi orang tua membentuk perilaku anak: dampak pygmalion di dalam keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Susilo, Budi. (1992). Psikologi perkembangan perspektif sepanjang hayat. Salatiga Solso, R. L., Maclin, O., & Maclin K. (2008). Psikologi kognitif. Jakarta: Erlangga. Taganing, N. M. (2008), Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Tremblay, E. R. (2000). The development of aggressive behaviour during childhood: What have we learned in the past century?. Journal of Behavioral Development, 20, 129141. Canada : University of Montreal Valois, F. R., MacDonals, M. J., Bretous, L., Fischer, A. M., & Drane, W. J. (2002). Risk factors and behaviors associated violence and aggression. Journal of Medicine National Institutes of Health, 26 (6), 454-464. USA : National Library of Medicine National Institutes of Health
25 Vissing, M. Y., Straus, A. M., Gelles, J. R., & Harrop, W. J. (1991). Verbal aggression by parents and psychological problems of children. Journal of Child Abuse and Ngelect, 15, 223-238. Durham : University of New Hampshire Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial : Suatu pengantar. Yogyakarta: Andi