Hubungan antara Perceived Organizational Support dan Workplace Well-Being pada Pekerja Pabrik The Relationship between Perceived Organizational Support and Workplace Well-Being among Manufacture Worker
Dewi Wening Sawitri, Endang Parahyanti, Lembana Jogapranata Soemitro Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara perceived organizational support (POS) dan workplace well-being (WWB). Pengukuran dilakukan dengan alat ukur Survey of Perceived Organizational Support (SPOS) (Eisenberger et al., 1986). Workplace well-being diukur dengan Workplace Well-Being Index (Page, 2005). Partisipan dalam penelitian ini adalah pekerja pabrik manufaktur penghasil baja di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perceived organizational support dan workplace well-being pada pekerja pabrik (r = .72; p < .01). Artinya, semakin baik dukungan organisasi yang dipersepsi oleh pekerja pabrik, semakin baik pula tingkat kesejahteraan dirasakan pekerja pabrik di tempat kerjanya. Kata Kunci: Perceived organizational support; pekerja pabrik; workplace well-being PENDAHULUAN Suatu organisasi atau perusahaan, pada umunya, mengharapkan pegawai yang berkomitmen dan menunjukkan kesetiaan pada pada perusahaan, serta tingkah laku yang produktif dalam mencapai tujuannya (Rhoades & Eisenberger, 2002). Sementara itu, dilihat dari sudut pandang pegawai, dukungan dan perhatian dari perusahaan akan kesejahteraannya di tempat kerja merupakan hal yang paling penting diperhatikan oleh pegawai. Kesejahteraan pegawai merupakan salah satu isu terpenting yang diperhatikan oleh perusahaan (Page & Vella-Brodrick, 2009). Hal tersebut disebabkan oleh kesejahteraan pegawai berhubungan dengan performa kerja pegawai dan memiliki pengaruh pada hasil atau keuntungan yang diperoleh perusahaan. Cooper dan Cartwright (1994) menjelaskan kesejahteraan dan kesehatan pegawai memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan finansial dan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan. Sementara itu, terdapat pula konsekuensi negatif dari rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan pegawai di tempat kerja, seperti rendahnya produktivitas pegawai, sulitnya melakukan decision-making, dan meningkatnya absenteeism (Boyd, 1997). 1 Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
2
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti memandang kesejahteraan dan kesehatan pegawai merupakan isu penting yang harus diperhatikan oleh organisasi atau perusahaan untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja pegawai untuk mendukung pencapaian tujuan suatu organisasi atau perusahaan. Pembahasan mengenai kesejahteraan pegawai telah banyak dilakukan di berbagai penelitian. Istilah-istilah seperti health and well-being in the workplace (kesehatan dan kesejahteraan di tempat kerja) dan employee well-being (kesejahteraan pegawai) sering digunakan untuk menjelaskan mengenai kesejahteraan yang dimiliki oleh pegawai. Wright dan Bonnet (2007 dalam Page dan Vella-Brodrick, 2009) menjelaskan istilah kesehatan mental pegawai yang didefinisikan sebagai afek umum yang dimiliki oleh pegawai dan memengaruhi hubungan antara kepuasan dan performa kerja seseorang. Cotton dan Hart (2003) mendefinisikan kesejahteraan pegawai sebagai afek positif dan negatif yang secara kuat berhubungan dengan kesehatan organisasi melalui interaksi antara individu dengan variabel kontekstualnya. Page (2005) mendefinisikan workplace well-being sebagai kesejahteraan yang dirasakan oleh pegawai yang dipengaruhi oleh adanya kepuasan terhadap aspek-aspek dalam pekerjaannya. Lebih lanjut lagi, masih dari sumber yang sama, menjelaskan workplace well-being tersebut terdiri dari kepuasan kerja (job satisfaction) dan perasaan pekerja secara umum (core affect), serta work values atau aspek-aspek penting yang ada di dalam pekerjaannya. Perceived organizational support merupakan salah satu konstruk yang diketahui memiliki hubungan dengan workplace well-being. Perceived organizational support didefinisikan sebagai persepsi pegawai mengenai seberapa besar peran perusahaan atau organisasi dalam memandang kontribusinya dan mewujudkan kesejahteraannya di tempat kerja (Eisenberger, Fasolo & Davis-LaMastro, 1990; Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986; Wayne, Shore & Liden, 1997). Perceived organizational support mampu melihat peran perusahaan secara luas dalam mewujudkan kesejahteraan pegawai, baik dari ruang lingkup organisasi/perusahaan, personal, maupun dalam tim/kelompok dalam perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari faktor-faktor yang yang memengaruhi persepsi pegawai terhadap dukungan yang diberikan perusahaan terhadapnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) fairness (keadilan prosedural dalam pembagian sumber daya manusia); 2) organizational condition & reward (mencakup gaji, job security, otonomi, role-stressor, serta pelatihan); dan 3) supervisor support (dukungan dari atasan). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara Perceived organizational support dengan employee well-being (Bravo-Yáñez, & Jiménez-
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
3
Figueroa, 2011); Pannacio & Vandenberghe, 2009). Hubungan antara kedua variabel tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam berbagai penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara Perceived organizational support dengan konstruk maupun faset-faset positif dari workplace well-being, seperti job satisfaction (kepuasan kerja) (Eisenberger, Cummings, Arneli, & Lynch, 1997). Perceived organizational support juga memiliki hubungan yang negatif dengan faset-faset negatif dari well-being, seperti role-stress dan role-conflict (Stamper & Johlke, 2003). Beberapa penelitian juga menunjukkan Perceived organizational support berhubungan negatif dengan fatigue, stress, burnout, anxiety, dan headache dalam pekerjaan (Cropanzano et al., 1997; Robblee, 1998; Venkatachalam, 1995 dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Dari hasil pencarian literatur yang dilakukan oleh peneliti, masih terdapat sedikit penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara perceived organizational support dan workplace well-being, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat hubungan antara perceived organizational support dengan workplace well-being. Selanjutnya, peneliti ingin melihat hubungan antara perceived organizational support dan workplace wellbeing pada pekerja pabrik. Lebih spesifik lagi, penelitian ini dilakukan pada 173 pekerja pabrik di bidang manufaktur yang memproduksi baja di Indonesia. Hal ini didasari oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pekerja pabrik di berbagai industri secara konstan menghadapi kondisi kerja yang kasar dan berbahaya (Brand-Labuschagne, Mostert, Rothmann Jnr & Rothmann, 2012). Hal tersebut dapat mengganggu kondisi kesejahteraan psikologis pekerja di tempat kerja. Kondisi kesejahteraan yang buruk tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan di tempat kerja para pekerja pabrik pada umumnya (Kirschenbaum, Oigenblick, & Goldberg dalam Brand-Labuschagne et al., 2012). Melakukan evaluasi terhadap kesejahteraan psikologis pekerja di lingkungan kerja dapat membantu perusahaan untuk mempromosikan safety behavior yang lebih baik (Paul & Maiti, 2007). Kebanyakan penelitian dengan pertisipan pekerja pabrik hanya melihat pada aspekaspek masalah yang bersifat fisikal saja. Sementara itu, menurut Ashford (1976 dalam House et al., 1979) penelitian yang melihat aspek psikologis juga sangat penting untuk dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan yang menuntut banyak tuntutan fisik karena psychosocial stress dapat meningkatkan kerentanan pekerja terhadap dampak negatif dari lingkungan fisik yang berbahaya. Dengan begitu, pada pekerja pabrik juga perlu dilihat aspek psikologis, seperti kesejahteraan di tempat kerja. Selain itu, perlu dilihat pula apakah peran perusahaan telah cukup baik dalam memberikan dukungan kepada para pekerja pabrik dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
4
TINJAUAN TEORETIS Workplace Well-Being Page dan Vella-Brodrick (2009) menjelaskan workplace well-being terdiri dari kepuasan kerja (job satisfaction) yang merupakan bentuk evaluasi kognitif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Selain itu, terdapat pula afek (perasaan) terhadap pekerjaan yang merupakan hasil dari evaluasi afektif (emosional). Kepuasan kerja dan afek yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut tidak terpisahkan dan membentuk konstruk workplace well-being. Oleh karena itu, dalam melihat kesejahteraan di tempat kerja, unsur kognitif dan afektif tidak dapat dipisahkan. Pada penelitian ini, dijelaskan mengenai definsi workplace well-being yang dikemukakan oleh Page (2005), yaitu: “the sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualized as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values.” (Page, 2005). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa workplace well-being merupakan perasaan sejahtera yang diperoleh pegawai dari pekerjaan mereka. Hal tersebut terkait dengan perasaan pegawai secara umum terhadap tempat kerjanya (core affect) dan kepuasan terhadap nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari suatu pekerjaan (work values). Page (2005) menjelaskan tiga belas aspek dari workplace well-being yang dibagi ke dalam dua faktor, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pada faktor intrinsik, terdapat lima aspek, yaitu: 1) Tanggung Jawab dalam Pekerjaan (Amount of Responsibility at Work), yaitu perasaan dimana pegawai diberikan tanggung jawab dan kepercayaan dalam pekerjaan untuk bekerja sebaik-baiknya; 2) Makna Kerja (Meaningfulness of Work), yaitu perasaan pegawai yang menganggap suatu pekerjaan yang dilakukannya memiliki makna dan tujuan, baik secara personal maupun pada tingkat yang lebih tinggi; 3) Kemandirian dalam Bekerja (Independence at Work), yaitu perasaan dimana pegawai dipercaya melakukan suatu pekerjaan secara mandiri tanpa perlu diberikan pengarahan /instruksi dari manajemen; 4) Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan di Pekerjaan (Use of Abilities and Knowledge at Work), yaitu perasaan dimana pekerjaan mengijinkannya untuk menggunakan kemampuan personal dan bakat yang dimilikinya; dan 5) Perasaan Berprestasi dalam Bekerja (Sense of Achievement from Work), yaitu disaat pegawai merasa pekerjaan yang dilakukannya memberikan perasaan berprestasi karena berhasil mencapai tujuan dalam pekerjaannya. Pada faktor ekstrinsik, terdapat delapan aspek, yaitu: 1) Pemanfaatan waktu (Convenience of Work Hours), yaitu perasaan dimana seseorang merasa jam kerjanya masuk akal, dan
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
5
memungkinkan untuk mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupannya; 2) Kondisi Kerja (Work Condition), yaitu keadaan dimana seseorang merasa puas dengan kondisi pekerjaan seperti ruang kerja dan budaya organisasi; 3) Supervisi (Supervisor), yaitu perasaan pegawai dimana atasan memperlakukan dirinya dengan baik, memberikan dorongan, membantu saat dibutuhkan, memberikan umpan balik yang sesuai dan memberikan pengakuan kepada pegawai; 4) Kesempatan Promosi (Promotional Opportunities), yaitu perasaan pegawai dimana tempat kerja atau posisi yang dimilikinya memungkinkan adanya pengembangan karier secara professional; 5) Pengakuan Terhadap Kinerja yang Baik (Recognition for Good Work), yaitu perasaan pegawai dimana ia merasa bahwa di dalam pekerjaannya terdapat perlakuan yang berbeda terhadap pekerja yang menghasilkan kinerja baik dan yang tidak; 6) Penghargaan sebagai Individu di Tempat Kerja (Valued as a Person at Work), yaitu perasaan seseorang dimana atasan dan rekan kerjanya menghargai mereka sebagai manusia dan menerima mereka sebagai pribadi yang unik; 7) Upah (Pay menjelaskan kepuasan pegawai terhadap upah, keuntungan dan penghargaan berupa uang yang didapatnya dari lingkungan kerja; 8) Keamanan Pekerjaan (Job Security) membahas kepuasan pekerja terhadap perasaan aman di posisi pekerjaan mereka saat ini. Perceived Organizational Support Perceived organizational support didefinisikan sebagai persepsi pegawai mengenai seberapa besar peran perusahaan atau organisasi dalam memandang kontribusinya dan mewujudkan kesejahteraannya di tempat kerja (Eisenberger et al., 1986). Terdapat tiga faktor yang umum diperhatikan oleh pegawai terkait dengan penanganan yang dilakukan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pegawainya. Faktor-faktor tersebut adalah: A. Perceived Fairness (procedural justice) Keadilan prosedural menitikberatkan pada keadilan (fairness) dalam pembagian sumber daya (resources) di antara pegawai (Greenberg, 1990). Shore dan Shore (1995) menjelaskan pengalaman yang berulang dalam mendapatkan keputusan yang adil dalam menentukan pembagian sumber daya memiliki efek kumulatif terhadap perceived organizational support dengan mengindikasikan kepedulian perusahaan terhadap
kesejahteraan
pegawai.
Cropanzano
dan
Greenberg
(1997
dalam
Einsenberger et al., 1986) membedakan antara aspek struktural dan sosial dari keadilan prosedural (procedural justice). Aspek struktural berkaitan dengan peraturan formal dan kebijakan perusahaan yang berpengaruh pada pegawai, termasuk
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
6
pemberitahuan yang adekuat sebelum keputusan dijalankan, penerimaan informasi yang akurat, dan aspirasi pegawai. Aspek sosial dari keadilan prosedural, atau interactional justice, berkaitan dengan kualitas dalam perlakuan interpersonal dari perusahaan dalam mengalokasikan sumber daya. Aspek ini termasuk bagaimana perusahaan memperlakukan pegawai dengan penuh martabat dan penghargaan, serta memberikan informasi kepada pegawai terkait dengan hasil yang telah ditentukan. B. Perceived Organizational Reward dan Job Conditions Shore dan Shore (1995) menjelaskan praktik sumber daya manusia dalam menunjukkan pengakuan akan kontribusi pegawai memiliki hubungan yang positif dengan POS. Berikut ini adalah beberapa macam reward dan kondisi kerja yang berhubungan dengan POS pegawai: 1) Recognition, pay, and promotions. Berdasarkan organizational support theory, kesempatan yang menguntungkan sebagai rewards untuk pegawai harus mampu mengomunikasikan adanya penilaian positif terhadap kontribusi pegawai, yang juga dapat berpengaruh pada tingkat perceived organizational support (Rhoades & Eisenberger, 2002); 2) Job security. Kesungguhan perusahaan dalam menjaga pegawainya untuk tetap bertahan di perusahaan memiliki hubungan yang kuat dengan perceived organizational support (Allen, Shore, & Griffeth, 2003); 3) Autonomy. Adanya otonomi pegawai dalam mengatur pekerjaannya, seperti penjadwalan, prosedur kerja dan keberagaman tugas dapat memengaruhi perceived organizational pegawai (Rhoades & Eisenberger, 2002); 4) Role stressors. Lazarus dan Folkman (1984 dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) menjelaskan stressor merujuk pada tuntutan lingkungan yang membuat seseorang merasa tidak mampu untuk mengatasinya; 5) Training. Wayne, Shore, dan Liden (1997) menjelaskan bahwa job training merupakan praktik yang dapat dilakukan dalam mengomunikasikan kepedulian perusahaan dalam mengembangkan investment di dalam diri pegawai yang dapat meningkatkan POS; 6) Organization size. Dekker dan Barling (1995 dalam Rhoades & Eisenberger, 2002) menjelaskan bahwa seseorang akan merasa lebih sedikit bernilai ketika bekerja di dalam organisasi yang besar, dimana kebijakan-kebijakan serta prosedur yang berlaku di perusahaan juga dapat mengurangi fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan pegawai. C. Perceived Supervisor Support Selain membentuk persepsi secara global sebagai bentuk penilaian terhadap perusahaan tempatnya bekerja, pegawai juga membentuk pandangan umum terhadap
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
7
seberapa besar penghargaan serta kepedulian yang diberikan oleh supervisor terhadap kontribusi dan kesejahterannya (Kottke & Sharafinski, 1988). Eisenberger et al. (1986) menjelaskan hal tersebut disebabkan oleh adanya peran supervisor yang dianggap sebagai agen dari suatu perusahaan atau organisasi yang memiliki kewajiban dalam mengarahkan dan mengevaluasi performa bawahannya. Pegawai melihat orientasi atasan, baik yang disenangi ataupun tidak, sebagai indikasi dari dukungan yang diberikan oleh perusahaan kepadanya. METODE PENELITIAN Hipotesis Ha: Terdapat hubungan positif antara skor total kuesioner perceived organizational support dengan skor total kuesioner workplace well-being pada pekerja pabrik. H0: Tidak terdapat hubungan positif antara skor total kuesioner perceived organizational support dengan skor total kuesioner workplace well-being pada pekerja pabrik Partisipan Populasi partisipan pada penelitian ini berjumlah kurang lebih 5000 pekerja pabrik yang bekerja di perusahaan manufaktur yang memproduksi baja di Indonesia. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 173 pekerja pabrik. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini antara lain: 1) pegawai tetap, dengan alasan perusahaan akan lebih memperhatikan pekerja pabrik yang berstatus sebagai pekerja tetap dibandingkan dengan yang pekerja magang atau outsource; 2) berada pada level foreman dan pelaksana, pekerja pabrik pada level tersebut berhubungan langsung dengan alat-alat pabrik yang dapat memengaruhi kondisi kesejahteraan pekerja pabrik; 3) usia 15-64 tahun, pemilihan usia didasari oleh tahapan karir yang dikemukakan Dessler (2008); 4) tingkat pendidikan minimal SMA sederajat, dengan alasan Rhoades dan Eisenberger (2002) yang menyebutkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan seseorang dengan persepsi mengenai dukungan dari perusahaan; dan 5) bekerja minimal selama satu tahun, dengan pertimbangan pekerja pabrik yang bekerja minimal satu tahun dianggap telah mengerti dan memahami tugas-tugas, kondisi kerja, serta kondisi perusahaan tempat partisipan bekerja. Alat Ukur 1) Workplace Well-Being Index (WWBI) yang dibuat oleh Page (2005). Jumlah item dalam alat ukur tersebut adalah empat belas item, dimana satu item mengukur core-affect dan tiga belas item mengukur workplace well-being. Alat ukur tersebut telah diadaptasi ke dalam
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
8
bahasa Indonesia dan diujicobakan ke 48 pekerja pabrik dan memiliki nilai validitas internal antara 0,25 – 0,702, serta nilai reliabilitas sebesar 0,793. 2) Survey of Perceived Organizational Support (SPOS) yang dibuat oleh Eisenberger (1986). Alat ukur tersebut memiliki delapan belas item dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, serta diujicobakan ke 36 pekerja pabrik. nilai validitas internal alat ukur ini berkisar antara 0,345 hingga 0,526, serta nilai reliabilitas sebesar 0,807. Metode Statistika 1) Statistik Deskriptif: untuk melihat gambaran umum variabel perceived organizational support, variabel workplace well-being, dan data demografis. 2) Pearson correlation: untuk melihat signifikansi hubungan antara dua variabel, yaitu variabel perceived organizational support dan workplace well-being.
HASIL PENELITIAN Berikut ini merupakan pemaparan gambaran umum partisipan penelitian berdasarkan data demografisnya. Gambaran Data Demografis Partisipan Penelitian Karakteristik Partisipan Data Frekuensi Persentase Laki-Laki 173 100% Jenis Kelamin Perempuan 0 0.00% < 25 tahun 25-44 tahun > 44 tahun
21 49 103
12.14% 28.32% 59.54%
Menikah Belum Menikah
154 19
89.02% 10.98%
Posisi/Jabatan
Pelaksana Foreman
141 32
81.50% 18.50%
Tingkat pendidikan
SMA/STM D1 D2 D3 S1
168 3 0 1 1
97.10% 1.70% 0.00% 0.60% 0.60%
Lama Bekerja
1-10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun >30 tahun
35 32 101 5
23.12% 16.19% 58.38% 2.31%
Usia
Status Pernikahan
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
9
Berikut ini merupakan gambaran mengenai tingkat perceived organizational support pada partisipan penelitian: Kategorisasi tingkat Perceived Organizational Support Tingkat Rendah Sedang Tinggi
Skor 14-42 43-63 64-78
Frekuensi 23 131 19
Persentase 13.3% 75.7% 11%
Gambaran profil faktor-faktor perceived organizational support pada partisipan penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Profil Faktor-Faktor dari Perceived Organizational Support Faktor Perceived Fairness
Mean
SD
4.01
0.89
Perceived Organizational Rewards & Job Conditions
4.00
0.95
Perceived Supervisor Support
4.18
0.85
Gambaran tingkat perceived organizational support pada partisipan penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Kategorisasi tingkat Workplace Well-Being Tingkat Rendah Sedang Tinggi
Skor 14-45 46-61 62-78
Frekuensi 28 121 24
Persentase 16% 69.9% 13.9%
Gambaran profil faktor dan aspek dari workplace well-being pada partisipan penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Profil Fakor/Aspek Workplace Well-Being Aspek/Faktor Core Affect
Mean 4.41
SD 1.11
Faktor Instrinsik
4.33
0.63
Tanggung Jawab dalam Pekerjaan
4.60
0.91
Makna Kerja
4.99
0.80
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
10
Aspek/Faktor Kemandirian dalam Bekerja
Mean 4.34
SD 0.97
Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan di Pekerjaan
4.45
1.15
Perasaan Berprestasi dalam Bekerja
3.29
1.34
3.93
0.50
Penghargaan sebagai Individu di Tempat Kerja
4.35
1.11
Pengakuan Terhadap Kinerja yang Baik
3.83
1.41
Upah
3.36
1.40
Keamanan Pekerjaan
3.60
1.31
Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya
4.90
0.82
Peluang Promosi
3.55
1.42
Faktor Ekstrinsik
Berikut ini adalah tabel hubungan antara perceived organizational support dan workplace well-being pada partisipan penelitian: Hasil Perhitungan Korelasi antara Perceived Organizational Support dengan Workplace Well-Being Variabel r Sig (p) r2 Perceived Organizational Support dengan Workplace Well-Being
0.72**
.000
0.52
DISKUSI Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian (Bravo-Yáñez, & JiménezFigueroa, 2011; Pannacio & Vandenberghe, 2009). Eisenberger, Fasolo, dan Davis-LaMastro (1990) menjelaskan tingginya persepsi pegawai terhadap dukungan dari perusahaan meningkatkan affective attachment pada perusahaan dan meningkatkan ekspektansi performareward. Seseorang yang merasa perusahaan tempatnya bekerja telah baik dalam memberikan dukungan akan berpengaruh pada kelekatan emosional pegawai terhadap perusahaannya, akibatnya pegawai akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan lingkungan kerjanya (Pannacio & Vandenberghe, 2009). Hal ini lah yang menyebabkan seseorang akan
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
11
merasa puas terhadap tugas-tugas dan kondisi pekerjaannya, serta menganggap bahwa pekerjaannya tersebut berharga. Eisenberger, Fasolo, dan Davis-LaMastro (1990) menjelaskan penilaian pegawai mengenai seberapa baik dukungan yang diberikan perusahaan terhadapnya, baik secara materil maupun simbolik, dilakukan dengan melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan melalui program-program yang ditujukan perusahaan terhadap para pegawai. Artinya, adanya kebijakan yang sesuai dan program-program pengembangan diri dapat memberikan pengalaman positif bagi pegawai. Dengan begitu, pegawai juga akan merasa dihargai oleh perusahaan sehingga dapat meningkatkan afek seseorang terhadap pekerjaannya. Selain itu, adanya usaha perusahaan dalam memerhatikan kesejahteraan pegawainya membuat kepuasan pegawai terhadap faktor instrinsik (pemaknaan kerja, perasaan berprestasi, tanggung jawab dalam pekerjaan, dsb.), dan faktor ekstrinsik (upah, supervisi, kondisi kerja, dsb.) dalam pekerjaannya turut meningkat. Hubungan yang positif dan signifikan antara perceived organizational support dan workplace well-being yang ditemukan pada penelitian ini juga dapat dijelaskan melalui hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Dari hasil pencarian literatur yang dilakukan oleh peneliti, diketahui faktor-faktor yang membentuk perceived organizational support, yaitu fairness, organizational rewards and job condition, dan supervisor support memiliki hubungan dengan kesejahteraan pegawai. Fujishiro (2005) menemukan terdapat hubungan antara keadilan yang diterapkan dalam perusahaan dengan tingkat workplace well-being seorang pegawai. Penelitian tersebut menjelaskan keadilan (fairness) dalam pekerjaan berperan penting dalam memahami occupational stress, serta berperan dalam meningkatkan employee well-being. Selain itu, penelitian lain menyebutkan perlakuan secara adil yang dilakukan perusahaan merupakan salah satu aspek yang paling diperhatikan oleh pegawai (Cropanzo, Byrne, Bobocel, dan Rupp, 2001 dalam Sparr & Sonnentag, 2008). Lowe dan Northcott (1988 dalam Loscocco & Spitze, 1990) yang menyebutkan kurangnya intrinsic reward—seperti substantive complexity, variety, dan challenge—dapat mengurangi emotional well-being karyawan. Selain itu, Adellman (1987) mengungkapkan pendapatan atau extrinsic rewards lainnya juga diketahui dapat menghindari munculnya distress dan meningkatkan kebahagiaan pegawai. Supervisor support memiliki hubungan pula dengan workplace well-being seseorang. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa penelitian (Gilbreath & Benson, 2004; Gavin & Kelley, 1978). Sikap dan tingkah laku atasan terhadap bawahannya juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam memprediksi burnout, melebihi
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
12
usia, status pernikahan, pengalaman, formalisasi, dan posisi pegawai (Seltzer dan Numerof, 1988). Tingkat kesejahteraan pada partisipan dapat dievalusi dengan melihat nilai pada masingmasing aspek dari workplace well-being. Dibandingkan dengan faktor eksternal pada pekerjaannya, partisipan memiliki nilai yang lebih tinggi pada faktor intrinsik, yaitu hal-hal yang berkaitan degan tanggung jawab, makna kerja, kemandirian, dsb. Page (2005) menyebutkan faktor intrinsik lebih memiliki pengaruh dalam meningkatkan workplace wellbeing seseorang. Selanjutnya, aspek makna kerja memiliki nilai yang lebih tinggi pada pekerja pabrik. Hal ini menunjukkan partisipan menganggap suatu pekerjaan yang dilakukannya memiliki makna dan tujuan, baik secara personal maupun pada tingkat yang lebih tinggi (Page, 2005). Aspek perasaan berprestasi dalam bekerja mendapatkan nilai yang paling kecil dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Hal ini menunjukkan partisipan tidak terlalu merasa pekerjaan yang dilakukannya mmberikan perasaan berprestasi pada saat berhasil mencapai tujuan dalam pekerjaannya (Page, 2005). Untuk dapat meningkatkan workplace well-being pada partisipan, aspek ini sebaiknya lebih diperhatikan. Adanya apresiasi yang nyata dari perusahaan terhadap hasil kerja pegawai dapat membuat pegawai lebih merasa pencapaiannya dihargai oleh perusahaan. Sementara itu, pada faktor ekstrinsik, diketahui aspek upah mendapatkan nilai yang paling kecil apabila dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil temuan peneliti saat melakukan pengambilan data. Dari hasil wawancara informal peneliti dengan partisipan, diketahui banyak partisipan mengeluh tentang kondisi upah yang didapatkannya serta kecilnya kesempatan untuk promosi. Dilihat dari aspek usia partisipan, ditemukan partisipan yang berusia di bawah usia 25 tahun memiliki nilai workplace well-being yang paling tinggi dibandingkan dengan pegawai yang berusia di atas 25 tahun. Berdasarkan status pernikahannya, pekerja pabrik yang belum menikah memiliki nilai workplace well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pabrik yang sudah menikah. Berdasarkan posisi atau jabatannya, pekerja pabrik yang memiliki jabatan sebagai foreman (atasan) lebih memiliki nilai workplace well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pabrik yang memiliki jabatan sebagai pelaksana. Tingkat perceived organizational support yang dimiliki oleh mayoritas partisipan masuk dalam kategori sedang. Hal tersebut mengindikasikan sebagian besar pekerja pabrik menganggap dukungan dari organisasi terhadap terwujudnya kesejahteraan pegawai telah cukup baik. Persepsi mengenai dukungan organisasi tersebut merupakan pandangan
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
13
personifikasi yang dimiliki oleh pegawai terhadap perusahaannya (Levinson, 1965 dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Perasaan pegawai terhadap pekerjaannya tergantung pada bagaimana perusahaan memperlakukannya, yaitu dengan menunjukkan usaha-usaha untuk mengembangkan keahlian dan meningkatan kesejahteraan pegawai. Usaha-usaha tersebut dapat dilihat dari bagaimana kebijakan, norma, dan budaya yang berlaku di dalam perusahaan (Eisenberger et al., 1997). Persepsi partisipan pada penelitian ini mengenai dukungan perusahaan terhadap dirinya, menunjukkan bahwa secara umum perusahaan telah menerapkan kebijakan-kebijakan, serta norma-norma yang mendukung terwujudnya kesejahteraan pada pegawai. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, partisipan telah menganggap baik keadilan di dalam perusahaan, baik secara struktural maupun interaksional. Cronpanzano dan Greenberg (1997) menyatakan hal tersebut dapat membuat pegawai merasa diperlakukan dengan penuh martabat dan mendapatkan penghargaan dari perusahaan tempatnya bekerja. Kondisi kerja, serta upah dan tunjangan yang diberikan perusahaan juga sudah dianggap cukup baik oleh partisipan, meskipun pada poin ini, partisipan memberikan penilaian paling rendah dibanding dengan kedua dimensi lainnya. Dari hasil wawancara informal yang dilakukan oleh peneliti, diketahui perusahaan tempat penelitian ini dilakukan sering menjalankan program-program pengembangan pegawai melalui training atau pelatihan dan berbagai workshop. Selain itu, perusahaan tersebut juga memberikan tunjangan yang cukup banyak untuk pegawai organiknya. Hal ini mungkin menjadi faktor-faktor yang dapat mempegaruhi munculnya penilaian yang baik dari pegawai terhadap dukungan yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Rhoades & Eisenberger, 2002; Wayne, Shore, & Liden, 1997). Penilaian mengenai dukungan dari atasan merupakan hal yang paling baik, yang dirasakan oleh partisipan. Atasan atau supervisor merupakan agen-agen yang merepresentasikan perusahaan secara keseluruhan di mata pegawai atau bawahan (Kottke & Sharafinski, 1988). Hal ini mengindikasikan atasan partisipan telah berhasil menunjukkan kinerja yang baik melalui kewajiban-kewajiban yang dilakukannya tergadap para bawahannya sehingga pegawai merasa perusahaan memerhatikan kesejahteraannya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil olah dan analisis data pada penelitian ini, didapatkan hasil utama penelitian, yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara perceived organizational
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
14
support dengan workplace well-being pada pekerja pabrik. Hal ini menunjukkan semakin baik dukungan dari perusahaan yang dipersepsikan pekerja pabrik, maka semakin baik pula kesejahteraan di tempat kerja yang dirasakan oleh pekerja pabrik tersebut. Selain melihat hubungan antara perceived organizational support dan workplace well-being pada pekerja pabrik, peneliti juga melakukan beberapa analisis tambahan. Pada analisis tambahan, peneliti melihat nilai profil masing-masing variabel yang didapat dari partisipan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai perceived organizational support dan workplace well-being pada sebagian besar pekerja pabrik berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja pabrik yang menjadi partisipan dalam penelitian ini menilai dukungan organisasi yang dipersepsikannya cukup baik. Pada masing-masing faktor yang membentuk perceived organizational support, diketahui faktor perceived organizational support mendapatkan nilai mean yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini menunjukkan dukungan dari atasan yang dipersepsikan partisipan lebih baik dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Selain itu, sebagian besar partisipan juga merasa kesejahteraan di tempat kerjanya juga cukup baik. Dilihat dari masing-masing faktor dan aspeknya, perasaan terhadap pekerjaan secara umum (core affect), mayoritas partisipan menjawab agak setuju sampai dengan setuju. Faktor intrinsik pada workplace well-being memperoleh nilai mean yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor ekstrinsik. Apabila dilihat dari aspek-aspek di dalam workplace well-being, aspek makna kerja pada faktor intrinsik memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan aspek lainnya. Pada faktor ekstrinsik, aspek yang memiliki nilai mean tertinggi adalah penggunaan waktu yang sebaik-baiknya (convenience of work hours). SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya. Dalam menyiapkan alat ukur yang hendak digunakan dalam pengambilan data, sebaiknya uji coba dilakukan pada jumlah partisipan yang lebih besar serta menggunakan uji validitas dan reliabilitas yang berbeda. Dengan begitu, alat ukur yang digunakan dapat lebih dipastikan valid dan reliabel. Metode pengambilan data yang digunakan, sebaiknya tidak hanya melalui pengisian kuesioner, namun juga disertai dengan observasi dan wawancara yang lebih terstruktur. Hal tersebut berguna untuk menambah informasi bagi peneliti dalam menganalisis hasil penelitian, sehingga hasil analisis penelitian dapat lebih kaya dan sesuai dengan konteks populasi partisipan. Selain itu, sebaiknya jumlah
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
15
sampel diperbesar sehingga dapat lebih merepresentasikan populasi yang hendak diteliti. Selain itu, untuk dapat mencapai jumlah partisipan yang sesuai target, sebaiknya peneliti menyebarkan kuesioner lebih banyak dari jumlah yang ditargetkan. Untuk penelitian dengan sampel pekerja pabrik, sebaiknya peneliti melihat perbedaan antara pekerja shift dan non-shift, serta aspek-aspek lain yang mungkin memengaruhi tingkat kesejahteraan pegawai. Peneliti juga memberikan saran-saran praktis yang dapat dilakukan oleh perusahaan terkait dengan hasil penelitian. Perusahaan sebaiknya membuat kebijakan-kebijakan dan yang menunjukkan bahwa perusahaan memandang seluruh pegawai secara adil, terutama dalam hal pengalokasian sumber daya di antara pegawai. Menanyakan kebutuhan pegawai dan mengadakan program-program yang dapat meningkatkan kemampuan pegawai, seperti pelatihan-pelatihan dan workshop. Hal ini dapat meningkatkan persepsi pegawai tentang seberapa besar usaha perusahaan dalam menunjang terwujudnya kesejahteraan pegawai. Dalam meningkatkan kesejahteraan di tempat kerja pada pekerja pabrik, aspek-aspek yang terdapat di dalam pekerjaan (faktor intrinsik) lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor ekstrinsik. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya lebih meningkatkan aspek-aspek intrinsik pekerjaan, seperti memberi kesempatan pekerja pabrik untuk melakukan pekerjaannya secara mandiri, apresiatif dengan hasil kerja yang baik dari pekerja pabrik, serta meningkatkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam pekerjaan. Dari hasil penelitian dan wawancara informal yang dilakukan peneliti, diketahui partisipan masih belum puas dengan upah yang diberikan oleh perusahaan kepadanya. Untuk dapat meningkatkan workplace wellbeing pada partisipan, perusahaan sebaiknya melakukan peninjauan ulang terhadap beban kerja pegawai dengan upah yang didapatkan pegawai sehingga terdapat keseimbangan antara beban kerja yang dirasakan pegawai dengan reward yang didapatkannya. Atasan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai karena atasan merupakan agen yang merepresentasikan peran perusahaan terhadap pegawainya. Hal ini berkaitan dengan social support yang diberikan atasan kepada bawahannya. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya memperhatikan perlakuan yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya. Atasan sebaiknya dapat membuat bawahannya merasa dihargai dan termotivasi dalam melakukan pekerjaannya.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
16
DAFTAR PUSTAKA
Adellman, P. K. (1987). Occupational complexity, control, and personal income: their relation to psychological well-being in men and women. Journal of Applied Psychology, 72, 529-537. Allen, D. G., Shore, L. M., & Griffeth, R. W. (2003). The role of perceived organizational support and supportive human resource practices in turnover process. Journal of Management, 29(1), 99-118. Anwarsyah, W. I. (2012). Hubungan antara job demands dengan workplace well-being pada pekerja shift. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Brand-Labuschagne, K. Mostert, S. Rothmann Jnr, & J.C. Rothmann. (2012). Burnout and work engagement of South African blue-collar workers: The development of a new scale. Southern African Business Review, 16 (1). Bravo-Yáñez, C., & Jiménez-Figueroa, A. (2011). Psychological well-being, perceived organizational support and job satisfaction amongst Chilean prison employees. Rev Esp Sanid Penit, 13, 91-99. Boyd, A. (1997). Employee traps-corruption in the workplace. Management Review, 86(8), 919. Conrad, P. (1988). Health and fitness at work: participants’ perspective. Social Science Medicine, 26, 545-550. Cooper, C. L., & Cartwright, S. (1994). Healthy mind; healthy organization−− a proactive approach to occupational stress. Human Relation, 47, 455-471. Cooper, C. L., Kirkaldy, B. D., and Brown, J. (1994). A Model of Job Stress and Physical Health: The Role of Individual Differences. Personality and Individual Differences, 16(6), 653-655. Cohen, J., Cohen, P., West, S. G., & Aiken, L. S. (2003). Applied multiple regression/correlation analysis for the behavioral sciences (3rd Ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
17
Cotton, P., & Hart P. M. (2003). Occupational wellbeing and performance: A review of organisational health research. Australian Psychologist, 38(2), 118-128. Cropanzano, R., & Greenberg, J. (1997). Progress in organizational justice: tunneling through the maze. In C. L. Cooper & I. T. Robertson (Eds.), International Review of Industrial and Organizational Psychology. New York: John Wiley & Son. Danna, K., & Griffin, R. W. (1999). Health and well-being in the workplace: a review and synthesis of the literature. Journal of management, 25, 357-384. Dessler, G. (2008). Human resources management (11th Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc Eisenberger, R., Armeli, S., Rexwinkel, B., Lynch, P. D., & Rhoades, L. (2001). Reciprocation of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 86(1), 42-51. Eisenberger, R., Curnmings, J., Armeli, S., & Lynch, P. (1997). Perceived organizational support, discretionary treatment, and job satisfaction. Journal of Applied Psychology, 82(5), 812-820. Eisenberger, R., Fasolo, P., Davis-LaMastro, V. (1990). Perceived organizational support and employee diligence, commitment, and innovation. Journal of Applied Psychology, 75(1), 51-59. Eisenberger, R., Huntington, R., Hutchison, S., & Sowa, D. (1986). Perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 71, 500–507. Fujishiro, K. (2005). Fairness at work: its impact on employee well-being. Dissertation. The Ohio State University. Furlong, N., Lovelace, E., & Lovelace, K. (2000). Research methods and statistics: An integrated approach. Wadsworth Cengage Learning. Gavin, J. F., & Kelley, R. F. (1978). The psychological climate and reported well-being of underground miners: an exploratory study. Human Relations, 31, 567-581. Gilbreath, B., & Benson, P. G. (2004). The contribution of supervisor behaviour to employee psychological well-being. Work & Stress, 18(3), 255-266.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
18
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences (3rd Ed.). California: Wadsworth Cengage Learning. Greenberg, J. (1990). Organizational justice: yesterday, today and tomorrow. Journal of Management, 16, 399-432. Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistic in psychology and education. New York: McGraw-Hill. House et al., (1979). Occupational healts and stress among factory workers. Journal of Health and Social Behavior, 20, 139-160. Jamal, M., & Baba, V. V. ( 2001). Type-A behavior, job performance, and well-being in college teachers. International Journal of Stress Management, 8(3), 231-240. Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (1993). Psychological Testing: Principles, Applications, and Issues (3rd Ed.). California: Brooks/Cole Publishing. Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundation of Behavioral Research (4th Ed.). New York: Harcourt College Publishers. Kinnunena, U., Vermulst. A., Gerris, J., & Makikangasa, A. (2003). Work–family conflict and its relations to well-being: the role of personality as a moderating factor. Personality and Individual Differences, 35, 1669–1683. Kottke, J. L., & Sharafinski, C. E. (1988). Measuring perceived supervisory and organizational support. Educational and Psychological Measurement, 48, 1075-1079. Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step-By-Step Guide for Beginners (2nd Ed.). London: SAGE Publications, Inc. Lee, G. J. & Mohamed, Y. (2006). Perceptions of workplace issues among blue-collar workers in South Africa’s Gauteng Province, South African Journal of Psychology, 36(1), 45–62. Losocco, K. A., & Spitze, G. (1990). Working conditions, social support, and the well-being of female and male factory workers. Journal of Health and Social Behavior, 31(4), 313-327.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
19
Lucas, K., & Buzzanel, P. M. (2004). Blue-collar work, career, and success: occupational narratives of sisu. Paper in Communication Studies, 32(4), 273-292. Martin, U., & Schinke, S. (1998). Organizational an individual factors influencing job satisfaction and burnout of mental health workers. Social Work in Health Care, 28, 51-62. Malhotra, N. K. (1996). Marketing research: An applied orientation. New Jersey: Prentice Hall. Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric Theory (3 Ed.). New York: Mc-Graw Hill. Page, K. (2005). Subjective Wellbeing in the Workplace. Thesis. School of Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University. Page, K. M., & Vella-Brodrick, D. A. (2009). The ‘what’, ‘why’ and ‘how’ of employee wellbeing: a new model. Soc Indic Res, 90, 441–458. DOI 10.1007/s11205-008-9270-3. Panaccio, A., & Vandenberghe, C. (2009). Perceived organizational support, organizational commitment and psychological well-being: a longitudinal study. Journal of vocational psychology, 75, 224-236. Paul, P. S., & Maiti, J. (2007). The role of behavioral factors on safety management in underground mines. Safety Science, 45(4), 449-471. Rhoades, L., & Eisenberger, R. (2002). Perceived organizational support: a review of the literature. Journal of applied psychology, 87(4), 698-714. Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization: the contribution of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 86(5), 825-836. Seltzer, J., & Numerof, R. E. (1988). Supervisory leadership and subordinate burnout. Academy of Management Journal , 31, 439-446. Shore, L. M., & Shore, T. H. (1995). Perceived organizational support and organizational justice. In R. S. Cropanzano & K. M. Kacmar (Eds.), Organizational politics, justice,
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013
20
and support: Managing the social climate in the workplace (pp. 149-164). Westport, CT: Quorum Books. Shore, L. M., & Tetrick, L. E. (1991). A construct validity study of the survey of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 76(5), 637-643. Sparks, K., Faragher, B., & Cooper, C. L. (2001). Well-being and occupational health in the 21st century workplace. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 74, 489–509. Sparr, J. L., & Sonnentag, S. (2008). Fairness perceptions of supervisor feedback, LMX, and employee well-being at work. European Journal of Work and Organizational Psychology, 17(2), 198-225. Spector et al. (2004). A cross-national comparative study of work-family stressors, working hours, and well-being: china and latin america versus the anglo world. Personnel Psychology, 57(1), 119-142. Stamper, C. L., & Johlke, M. C. (2003). The impact of perceived organizational support on the relationship between boundary spanner role stress and work outcomes. Journal of Management, 29, 569-587. Stout, J. K. (1984). Supervisors’ structuring and consideration behaviors and workers’ job satisfaction, stress, and health problems. Rehabilitation Bulletin, 28, 133-138. Super, D. (1980). A life span, life-space approach to career development. Journal
of
Vocational Behavior, 16, 282-298. Wayne, S. J., Shore, L. M., & Liden, R. C. (1997). Perceived organizational support and leader-member exchange: A social exchange perspective. Academy of Management Journal, 40, 82–111. Widiya, Y. A. (2012). Pemberian pelatihan coaching pada supervisor untuk meningkatkan perceived organizational support dan menurunkan intensi turnover pada karyawan PT. AI. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hubungan antara...Dewi wening Sawitri, FPSI-UI, 2013