Peran Perceived Organizational Politics terhadap Komitmen Organisasi dengan Workplace Bullying sebagai Mediator Guntur Widar Kharisna
[email protected]
Selly Dian Widyasari, S.Psi., M.Psi Ika Adita Silviandari S.Psi., M.Psi Program Studi Psikologi, Universitas Brawijaya ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh persepsi menjadi korban workplace bullying sebagai mediator pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan bagian non produksi PT. Nikomas Gemilang (n = 118). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis mediasi sederhana Hayes (2013). Hasil penelitian menemukan bahwa pengaruh langsung dari perceived organizational politics (b = -0,31; p = 0,001) menjadi tidak signifikan setelah memasukan efek mediasi (b = 0,03; p = 0,09). Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi menjadi korban workplace bullying menjadi mediator sebagian pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi. Namun demikian, model hipotesis yang digunakan peneliti ditolak karena hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi menjadi korban workplace bullying justru meningkatkan komitmen organisasi. Temuan ini menunjukkan hasil baru dibandingkan dengan temuan-temuan sebelumnya. Diskusi lebih lanjut akan dipaparkan dalam penelitian ini. Kata kunci: Perceived organizational politics, workplace bullying, komitmen organisasi ABSTRACT This research conduct to test the effect of perceived victim of workplace bullying as a mediator perceived organizational politics and organizational commitment. The method applied in this research was quantitative method. Sample in this research were employees of the non-production of PT. Nikomas Gemilang (n = 118). Data analysis technique used in this research is the analysis of simple mediation technique Hayes (2013). The result found that the direct effect of perceived organizational politics (b = -0.314, p = 0.001) becomes insignificant after include mediation effect (b = 0.029, p = 0.098). This result indicates that the perceived of being victim of workplace bullying become partial mediator perceived organizational politics influence on organizational commitment. However, a hypothesis model of researcher is rejected because the results showed that the perceived of being bullied actually increase organizational commitment. These findings suggest a new result compared with previous findings. Further discussion will be presented in this research. Keywords: Perceived organizational politics, workplace bullying, organizational commitment 1
2 LATAR BELAKANG Karyawan sebagai sumberdaya manusia merupakan tulang punggung perusahaan dalam memajukan bisnisnya. Keberadaan karyawaan ditengah persaingan antar perusahaan yang semakin kompetitif telah menuntut karyawan untuk terus meningkatkan kinerjanya. Permasalahannya adalah seringkali perusahaan dihadapkan pada rendahnya kinerja perusahaan karena tingkat turnover (pergantian kerja) serta tingkat absen karyawan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa karyawan memiliki tingkat komitmen organisasi yang rendah karena turnover dan tingkat absen dipengaruhi oleh komitmen organisasi (Meyer, Herscovitch & Topolnytsky, 2002). Keberadaan komitmen memiliki pengaruh yang sangat penting, bahkan beberapa organisasi memasukan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang jabatan atau posisi yang ditawarkan. Hal ini dikarenakan karyawan yang memiliki komitmen tinggi memiliki motivasi yang tinggi untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982; Meyer & Allen, 1997). Senada dengan hal tersebut, Baron dan Greenberg (2003) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tinggi merupakan karyawan yang lebih stabil dan produktif, sehingga lebih menguntungkan bagi organisasi. Berbagai faktor diketahui dapat mempengaruhi komitmen organisasi diantaranya, yaitu karakteristik personal, karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan, dan pengalaman kerja (Baron & Greenberg, 2003). Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Meyer (Meyer dkk, 2002) mengungkapkan bahwa pengalaman kerja memiliki kontribusi yang paling besar terhadap pembentukan komitmen organisasi. Sedangkan pengalaman kerja sangat erat kaitannya dengan proses interaksi sosial yang biasa terjadi di dalam perusahaan. Organizational politics (politik dalam organisasi) merupakan bagian dari proses interaksi sosial yang terjadi dalam perusahaan. Menurut Vigoda & Drory (2006) Organizational politics dapat berkontribusi dalam memberikan pengalaman positif maupun negatif karyawan. Hal ini bergantung pada persepsi terhadap organizational politics atau dikenal dengan istilah perceived organizational politics. Perceived organizational politics (persepsi terhadap politik dalam organisasi) sendiri dapat merepresentasikan hubungan personal dan berbagai outcomes yang ada dalam perusahaan. Hal ini disebabkan perceived organizational politics dapat mempengaruhi persepsi karyawan terhadap kejujuran, keadilan dan kewajaran yang ada dalam organisasi. Perceived organizational politics yang rendah dapat menggambarkan bahwa karyawan memiliki lingkungan kerja yang baik, saling mendukung, harmonis, saling percaya, saling kerja sama
3 dan saling menyatu, sedangkan perceived organizational politics yang tinggi dapat menggambarkan kondisi dimana karyawan merasa bahwa prinsip keadilan tidak dihargai, prestasi yang dicapai sia-sia, serta merasa bahwa sistem penilaian prestasi dan gaji dianggap tidak jelas dan meyakinkan (Vigoda & Drory, 2006). Kondisi-kondisi yang demikian diketahui dapat berpengaruh terhadap penurunan komitmen organisasi (Cropanzano, Howes; Grandey & Toth, 1997; Vigoda, 2000). Selanjutnya Salin (2002) mengatakan bahwa perceived organizational politics dapat memicu persaingan menjadi tidak sehat. Ketika persaingan menjadi tidak sehat, maka individu cenderung untuk mengeliminasi individu lain yang tidak disukai atau tidak mendukung melalui workplace bullying. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan sekaligus meningkatkan posisi individu atau kelompok ditengah persaingan tersebut. Bagi mereka yang merasa menjadi korban workplace bullying, maka hal ini dapat menyebabkan penurunan pada komitmen organisasi (Glaso & Notalaers, 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka persepsi menjadi korban workplace bullying diketahui memiliki potensi untuk menjadi mediator antara perceived organizational politics dan komitmen organisasi. Penelitian dalam skripsi ini bermaksud untuk menguji apakah perasaan menjadi korban workplace bullying dapat menjelaskan pengaruh negatif perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi. Hal ini menarik untuk diteliti dikarenakan penelitian mengenai perceived organizational politics dan workplace bullying masih jarang di Indonesia, sementara masyarakat Indonesia diketahui cenderung bersifat kolektif daripada individualis. Masyarakat yang kolektif cenderung menjaga hubungan antar sesama (Forbes, Zhang, Doroszewicz & Haas, 2009), sedangkan penelitian ini sekaligus menguji apakah workplace bullying dapat terjadi meski masyarakat Indonesia cenderung bersifat kolektif.
LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai ikatan emosional dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Berbagai literasi menyebutkan bahwa keberadaan komitmen memiliki pengaruh yang sangat penting dalam sebuah perusahaan. Hal ini dikarenakan karyawan yang memiliki komitmen tinggi memiliki motivasi yang tinggi untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982; Meyer & Allen, 1997). Senada dengan hal tersebut, Baron dan Greenberg (2003) mengatakan
4 bahwa karyawan yang memiliki komitmen tinggi merupakan karyawan yang lebih stabil dan produktif, sehingga lebih menguntungkan bagi organisasi. Menurut Baron dan Greenberg (2003) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komitmen, yaitu karakteristik personal, karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan, dan pengalaman kerja. Meyer (Meyer dkk, 2002) mengungkapkan bahwa pengalaman kerja memiliki kontribusi yang paling besar terhadap pembentukan komitmen organisasi. Selanjutnya untuk mengukur komitmen organisasi dapat digunakan dimensi komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen (1997) yang terdiri dari: 1. Komitmen afektif, yaitu sejauhmana keterikatan emosi karyawan dengan perusahaan yang berkembang oleh dorongan kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan karyawan dalam organisasi; 2. Komitmen kontinuans, yaitu sejauhmana keterikatan karyawan dengan organisasi yang dihasilkan atas dasar pertimbangan untung rugi karyawan berada dalam organisasi; 3. Komitmen normatif, yaitu sejauhmana keterikatan karyawan yang didasarkan pada penerimaan nilai-nilai dan keyakinan organisasi yang berhubungan dengan perasaan akan kewajiban karyawan sebagai bentuk balas jasa terhadap organisasi. B. Perceived Organizational Politics Definisi perceived organizational politics pertama kali diperkenalkan oleh Ferris (1991) sebagai perilaku yang strategis dirancang untuk memaksimalkan kepentingan diri walaupun kontradiktif dengan kepentingan lain dan tujuan organisasi. Sedangkan Cropanzano dkk (1997) mengungkapkan bahwa perilaku organizational politics seringkali dihubungkan dengan manipulasi, fitnah, dan subversif dalam mencapai tujuannya. Perceived organizational politics diketahui dapat merepresentasikan hubungan personal dan berbagai outcomes yang ada dalam perusahaan. Hal ini disebabkan perceived organizational politics dapat mempengaruhi persepsi karyawan terhadap kejujuran, keadilan dan kewajaran yang ada dalam organisasi. Perceived organizational politics yang rendah dapat menggambarkan bahwa karyawan memiliki lingkungan kerja yang baik, saling mendukung, harmonis, saling percaya, saling kerja sama dan saling menyatu, sedangkan perceived organizational politics yang tinggi dapat menggambarkan kondisi dimana karyawan merasa bahwa prinsip keadilan tidak dihargai, prestasi yang dicapai sia-sia, serta merasa bahwa sistem penilaian prestasi dan gaji dianggap tidak jelas dan meyakinkan (Vigoda & Drory, 2006). Selanjutnya untuk mengukur perceived organizational politics dapat digunakan dimensi yang dikembangkan oleh Ferris dan Kacmar (1991) yang terdiri dari:
5 1. Organizational pay and policies, yaitu berkaitan dengan kebijakan dan penggajian yang diberikan organisasi kepada karyawan dimana aturan dianggap tidak konsisten; 2. General political behavior, yaitu sejauhmana rekan kerja, atasan, maupun bawahan dianggap melakukan perilaku politik seperti mempromosikan diri sendiri, ingin terlihat kompeten, ingin disukai, manipulatif, dan menjatuhkan orang lain untuk membangun kepentingan diri sendiri; 3. Going along to get ahead, yaitu sejauhmana sikap karyawan ketika mereka dihadapkan pada perilaku politik dalam organisasi, apakah bertentangan atau mendukung. C. Workplace Bullying Einarsen (Einarsen dkk, 2011) mendefinisikan workplace bullying sebagai harassing (perilaku mengganggu), offending (menyerang), social excluding (mengeluarkan seseorang dari kelompok sosial) atau perilaku-perilaku lain yang berpengaruh negatif terhadap pekerjaan seseorang yang dilakukan secara berulang dan terus menerus. Bagi korban yang mengalami, workplace bullying dapat menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan di tempat kerja. Hal tersebut jika berlangsung lama akan menghasilkan penurunan pada berbagai outcomes organisasi (Einarsen dkk, 2011; Matthiesen & Einarsen, 2004; Glaso & Notalaers, 2012). Selanjutnya untuk mengukur workplace bullying dapat digunakan dimensi workplace bullying menurut Einarsen (2011) yang meliputi: 1. Personal bullying, yaitu meliputi perilaku bullying yang ditujukan untuk menyerang kehidupan pribadi, menghina atau mempermalukan di depan umum, dan mengeluarkan dari kelompok sosial. 2. Work-related bullying, yaitu meliputi perilaku manipulasi informasi, menyalahkan tanpa alasan yang jelas, dan mengurangi atau menambakan tanggung jawab maupun pekerjaan. 3. Intimidasi, yaitu bentuk perilaku bullying yang dapat mengancam dan membahayakan korban baik secara psikis maupun fisik meliputi sikap dan pandangan mengancam atau bermusuhan, kontak fisik yang tidak diinginkan, serta mengancam kelangsungan korban berada dalam organisasi.
METODE PENELITIAN Partisipan dan Desain Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah karyawan bagian non produksi industri manufaktur PT. Nikomas Gemilang divisi PCI Adidas yang berjumlah 118. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode quota sampling dengan kriteria yang telah
6 ditentukan oleh peneliti. Desain penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksplanatif. Hasil akhir dari penelitian ini adalah gambaran mengenai sebabakibat. Alat Ukur Peneliti merancang sendiri alat ukur yang digunakan yang terdiri dari skala komitmen organisasi, skala workplace bullying, dan skala perceived organizational politics. Skala komitmen organisasi disusun peneliti berdasarkan dimensi komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen (1997), yang terdiri dari komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif. Skala workplace bullying disusun peneliti berdasarkan dimensi workplace bullying menurut Einarsen (2011) yang terdiri dari personal bullying, work-related bullying, dan intimidasi. Sedangkan skala perceived organizational politics disusun peneliti berdasarkan dimensi perceived organizational politics menurut Ferris dan Kacmar (1991) yang terdiri dari organizational pay and policies, general political behavior, dan going along to get ahead. Ketiga skala yang digunakan telah melewati uji coba dengan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Reliabilitas variabel Variabel Cronbac’h Alpha Workplace bullying 0,94 Perceived organizational politics 0,91 Komitmen organisasi 0,79
Keterangan Sangat reliabel Sangat reliabel Reliabel
Sumber: diolah oleh peneliti
Prosedur Penelitian Pada penelitian ini peran workplace bullying sebagai variabel mediator akan dilihat dari perasaan karyawan menjadi korban workplace bullying. Karyawan yang dipilih menjadi subjek penelitian merupakan karyawan yang telah sesuai dengan kriteria peneliti, yaitu bekerja pada bagian non produksi pada industri manufaktur dan telah bekerja minimal dua tahun. Berdasarkan pengambilan sampel diperoleh subjek penelitian yang berjumlah 118. Subjek yang diperoleh sebanyak 118 kemudian dibagikan dan dipersilahkan untuk mengisi kuesioner. Setelah selesai kemudian peneliti mengumpulkan kembali kuesioner yang dibagikan untuk selanjutnya dilakukan analisis data. Adapun teknik analisis yang digunakan peneliti adalah teknik analisis mediasi menggunakan bootstrap (Hayes, 2013). Teknik bootstrap sendiri memiliki beberapa kelebihan dibanding analisis mediasi menggunakan teknik four-step (Baron & Kenny, 1986) diantaranya, yaitu tidak membutuhkan banyak asumsi dan dapat menghasilkan kekuatan penelitian yang lebih kuat secara statistik. Analisis mediasi dengan menggunakan bootstrap akan menghasilkan koefisien regresi a (pengaruh
7 perceived organizational politics terhadap workplade bullying), b (pengaruh workplace bullying terhadap komitmen organisasi), c (direct effect), dan c’ (indirect effect). Selanjutnya workplace bullying dikatakan sebagai mediator ketika c’ menjadi tidak signifikan setelah memasukan efek mediasi.
HASIL Peneliti melakukan analisis bootstrap mediasi sederhana (Hayes, 2013) dengan resampling 10.000 kali dan interval kepercayaan 95%.
Pengukuran Koefisien c Koefisien a Koefisien b Koefisien c’
B -0,31 0,10 0,28 0,03
Tabel 2. Uji hipotesis P CI Keterangan 0,001 -0,42, -0,21 negatif dan signifikan 0,04 0,004, 0,20 positif dan signifikan 0,003 0,09, 0,47 positif dan signifikan 0,09 0,001, 0,07 positif dan tidak signifikan
sumber: diolah oleh peneliti
Tabel diatas menunjukan bahwa perceived organizational poltics berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi (B = -0,31 , p = 0.001, CI = -0,42 hingga -0,21), dan berpengaruh positif terhadap workplace bullying (B = 0,10 , p = 0,04 , CI = 0,004 hingga 0,20). Sedangkan workplace bullying berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi (B = 0,28, p = 0,003, CI = 0,09 hingga 0,47). Selanjutnya analisis mediasi menemukan bahwa workplace bullying menjadi mediator sebagian pengaruh positif pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi (B = 0,03, p = 0,09).
DISKUSI 1. Pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi Hasil penelitian membuktikan bahwa perceived organizational politics memiliki pengaruh negatif terhadap komitmen organisasi. Artinya, semakin tinggi perceived organizational politics karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada penurunan komitmen organisasi yang ada dalam perusahaan. Sebaliknya, semakin rendah perceived organizational politics karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada peningkatan komitmen organisasi. Hasil ini sekaligus memperkuat dan mengonfirmasi penelitian terdahulu dimana perceived organizational politics yang dipandang negatif oleh karyawan dapat menurunkan komitmen organisasi (Vigoda, 2000; Andrews & Kacmar, 2001; Vigoda & Drory, 2006).
8 Terdapat kemungkinan bahwa temuan ini muncul akibat perceived organizational politics dapat menjadi indikator kepercayaan karyawan terhadap perusahaan (Vigoda & Drory, 2006). Ketika perceived organizational politics tinggi, maka karyawan melihat hal ini sebagai suatu masalah yang ada dalam perusahaan, baik kesalahan atasan maupun kesalahan manajemen. Karyawan merasa telah terjadi pelanggaran dan ketidakadilan yang diterima dirinya baik oleh atasan maupun manajemen. Karyawan akan merasa bahwa perusahaan mempekerjakan orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi, sehingga karyawan mengembangkan ketidakpercayaan terhadap perusahaan. Kedua hal tersebut turut menyebabkan rusaknya hubungan antar angota perusahaan karena masing-masing anggota mengembangkan perasaan saling tidak percaya satu sama lain. Kondisi seperti ini selanjutnya akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan, yang pada gilirannya berperan terhadap penurunan komitmen organisasi. Disisi lain, pengaruh negatif perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi sebenarnya dapat dijelaskan melalui keterlibatan karyawan dalam perilaku politik itu sendiri. Baron dan Kacmar (Cook dkk, 1999) mengungkapkan bahwa pengaruh negatif perceived organizational politics dapat dikurangi ketika karyawan memiliki pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perusahaan dan merasa memiliki kendali atas peristiwa-peristiwa tersebut. Semakin terlibat karyawan dalam perilaku yang dianggap bagian dari politik dalam organisasi, maka semakin rendah pengaruh negatif perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi. Keterlibatan dalam organizational politics ini bertujuan untuk mengurangi ambiguitas dan mencoba mendapatkan kendali atas lingkungan yang tidak pasti dalam perusahaan. Ketika karyawan terlibat dalam perilaku politik dalam organisasi, maka secara tidak langsung karyawan telah mengurangi pengaruh negatif yang ditimbulkan dari perilaku politik dalam orgasnisasi. 2. Pengaruh perceived organizational politics terhadap workplace bullying Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived organizational politics memiliki pengaruh positif terhadap workplace bullying. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi perceived organizational politics karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada peningkatan perasaan menjadi korban workplace bullying. Sebaliknya, semakin rendah perceived organizational politics karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada penurunan perasaan menjadi korban workplace bullying. Hasil ini sekaligus menguatkan penelitian terdahulu dimana perceived organizational politics dapat meningkatkan workplace bullying (Salin, 2002; Ogungbamila, 2013). Terdapat kemungkinan bahwa temuan ini muncul akibat perceived organizational politics yang tinggi
9 menyebabkan iklim kompetisi menjadi tidak sehat. Iklim yang demikian menurut Salin (2002) memiliki kecenderungan untuk mengeliminasi orang-orang yang dianggap sulit atau tidak disukai melalui workplace bullying. Hal ini bertujuan agar kepentingan individu atau kelompoknya terlindungi. Selain itu, workplace bullying juga dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan posisi seseorang melalui berbagai bentuk bullying seperti menyerang
atau
menyalahkan
orang
lain
(attacking
or
blaming
others),
mengkambinghitamnkan orang lain (scapegoating), menyembunyikan informasi (withholding information), menyimpangkan informasi (distorting information), dan berbagai perilaku negatif lainnya yang dilakukan untuk membuat rival tidak nyaman dan terlihat tidak baik (Einarsen, 2011). 3. Pengaruh workplace bullying terhadap komitmen organisasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan menjadi korban workplace bullying memiliki pengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi perasaan menjadi korban workplace bullying pada karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada peningkatan komitmen organisasi. Sebaliknya, semakin rendah perasaan menjadi korban workplace bullying pada karyawan PT. Nikomas Gemilang, maka akan berkontribusi pada penurunan komitmen organisasi. Temuan ini menolak hipotesis peneliti sekaligus menolak berbagai teori sebelumnya yang menyatakan bahwa workplace bullying memiliki pengaruh negatif terhadap komitmen organisasi (Einarsen dkk, 2011; Matthiesen & Einarsen, 2004; Glaso & Notalaers, 2012). Meskipun demikian, terdapat berbagai alternatif penjelasan mengapa temuan ini dapat bertolak belakang dengan teori yang ada. Pertama, diketahui bahwa budaya memainkan peran yang berbeda terhadap penerimaan workplace bullying (Power dkk, 2011). Masing-masing budaya memiliki mekanisme berbeda pula untuk mendefinisikan workplace bullying. Suatu bentuk perilaku bullying pada ciri budaya tertentu terkadang tidak dianggap sebagai bullying dalam arti yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan perilaku bullying dianggap sebagai hal yang biasa dalam konteks budaya tersebut. Artinya, dalam budaya tertentu, beberapa bentuk bullying dianggap tidak mengganggu dan dapat diterima. Masyarakat Indonesia diketahui cenderung bersifat kolektivis dibanding individualis. Masyarakat dengan ciri-ciri kolektif diketahui lebih menekankan pada harmoni, menghindari konflik, dan mementingkan kerja sama dibandingkan sikap individual (Forbes, Zhang, Doroszewicz, & Haas, 2009). Hal ini yang menyebabkan karyawan akan menahan rasa tidak senang meski menjadi korban bullying dengan tetap mementingkan kepentingan bersama.
10 Kedua, diketahui bahwa orientasi kinerja memainkan peran terhadap penerimaan workplace bullying (Power dkk, 2011). Suatu perusahaan yang memiliki orientasi kinerja yang tinggi diketahui cenderung mementingkan hasil dibandingkan hubungan antar karyawannya, sehingga kecenderungan untuk terjadi bullying meningkat karena hubungan interpersonal kurang dihargai. PT. Nikomas Gemilang merupakan perusahaan multinational corporate (MNC) yang merupakan bagian dari POU Chen Group. POU chen Group sendiri diketahui merupakan salah satu perusahaan apparel dan pembuatan sepatu terbesar di dunia. Sebagai bagian dari perusahaan apparel dan pembuatan sepatu terbesar di dunia, PT. Nikomas memiliki komitmen untuk terus meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan output yang dihasilkan untuk setiap tahun. sehingga PT. Nikomas diketahui memiliki orientasi kinerja yang tinggi. Berdasarkan kedua penjelasan tersebut, maka diketahui bahwa apa yang dialami PT. Nikomas Gemilang kemungkinan dikarenakan perusahaan memiliki orientasi kinerja yang tinggi. Tingginya orientasi kinerja akan menyebabkan potensi bullying meningkat karena hubungan interpersonal di dalam perusahaan kurang dihargai. Selain itu, keberadaan karyawan dengan ciri masyarakat kolektif pada perusahaan yang memiliki orientasi kinerja tinggi dapat menghasilkan pandangan bahwa bullying yang terjadi di dalam perusahaan merupakan bagian untuk mencapai kinerja terbaik perusahaan, sedangkan karyawan memiliki kewajiban untuk bekerja keras agar tujuan tersebut tercapai. Kedua pandangan ini yang menyebabkan karyawan akan mengesampingkan rasa tidak senang menjadi korban bullying dan terus berusaha untuk tetap berada dalam perusahaan serta memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan. Sejalan dengan temuan tersebut, terdapat alternatif lain yang dapat menjelaskan mengapa bullying yang terjadi di dalam PT. Nikomas Gemilang justru dapat meningkatkan komitmen organisasi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena karyawan non produksi pada PT. Nikomas Gemilang merasa bahwa kondisi yang dialaminya masih jauh lebih baik dibanding kondisi yang dialami karyawan bagian produksi, baik dari sisi penghasilan, pekerjaan, fasilitas, maupun lingkungan kerja. Berbagai keuntungan yang diberikan perusahaan kepada karyawan non produksi tersebut menjadi pelajaran bagi karyawan untuk tidak mengeluh dan mengesampingkan perasaan tidak senang menjadi korban bullying. Pembelajaran ini sekaligus menyebabkan keinginan untuk memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan meningkat. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bullying yang dialami pada karyawan non produksi PT. Nikomas Gemilang dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.
11 4. Peran workplace bullying sebagai mediator pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan menjadi korban workplace bullying menjadi mediator sebagian pengaruh perceived organizational politics terhadap komitmen organisasi, namun demikian model mediator yang diajukan peneliti ditolak karena tidak sesuai dengan model hasil penelitian yang ada, dimana efek mediasi yang diharapkan bernilai negatif justru bernilai positif. Artinya, perceived organizational politics yang tinggi pada karyawan PT. Nikomas Gemilang menyebabkan perasaan menjadi korban workplace bullying menjadi tinggi. Perasaan tersebut pada gilirannya dapat meningkatkan komitmen organisasi yang ada dalam perusahaan. Temuan ini tentu saja bertolak belakang dengan hipotesis peneliti serta penelitian terdahulu. Terdapat kemungkinan bahwa temuan ini muncul akibat PT. Nikomas Gemilang memiliki orientasi kinerja yang tinggi. Tingginya orientasi kinerja akan menyebabkan potensi bullying meningkat karena hubungan interpersonal di dalam PT. Nikomas kurang dihargai. Keberadaan karyawan dengan ciri masyarakat kolektif di tengah tingginya orientasi kinerja dapat menghasilkan pandangan bahwa bullying yang terjadi merupakan bagian untuk mencapai kinerja terbaik, sedangkan karyawan memiliki kewajiban untuk bekerja keras agar tujuan tersebut tercapai. Kedua pandangan ini yang menyebabkan karyawan akan mengesampingkan rasa tidak senang menjadi korban bullying dan terus berusaha untuk memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan (Power dkk, 2011). Sejalan dengan hal tersebut, diketahui pula bahwa karyawan non produksi pada industri manufaktur memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan bagian produksi. Berbagai keuntungan yang didapat karyawan non pruduksi ini lah yang menyebabkan karyawan akan mengesampingkan perasaan menjadi korban bullying dan merasa bahwa mereka perlu untuk memberikan kontribusi terbaik tanpa mengeluh dengan kondisi yang ada.
KETERBATASAN Keterbatasan pertama dalam penelitian ini adalah instrument yang digunakan menggunakan self report (lapor diri). Instrumen jenis ini menurut McDonald (2008) rentan terhadap bias yang tinggi, meliputi social desirability (harapan sosial), acquiescent responding (kecenderungan untuk menjawab setuju dan tidak setuju), extreme responding (jawaban ekstrim), demand characteristic (kecenderungan menjawab sesuai dengan tujuan penelitian), penggunaan bahasa, dan keterbatasan budaya. Hal ini dikarenakan hasil
12 penelitian bertolak belakang dengan teori yang ada, dimana workplace bullying justru meningkatkan komitmen organisasi. Ada kemungkinan temuan ini disebabkan oleh bias pada self-report. Penelitian ke depan diharapkan dapat mengembangkan alat ukur yang lebih valid serta tidak bias budaya. Keterbatasan kedua dalam penelitian ini terletak pada tidak adanya analisis berdasarkan kondisi demografi responden yang meliputi usia, lama kerja, dan jenis kelamin. Padahal, usia, lama kerja dan jenis kelamin dapat berpengaruh terhadap workplace bullying dan pembentukan komitmen organisasi (Einarsen dkk, 2011). Hal ini kemungkinan dikarenakan responden tertutup dan memiliki motivasi yang rendah dalam mengisi kuesioner. Penelitian ke depan diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan keterbukaan responden dalam mengisi kuesioner, sehingga diperoleh analisis berdasarkan kondisi demografi responden. Keterbatasan ketiga dalam penelitian ini adalah masih minimnya penjelasan mengenai mengapa bullying yang terjadi pada industri manufaktur justru dapat meningkatkan komitmen organisasi. Kemungkinan hal ini dikarenakan karakteristik individu seperti kepribadian, locus of control, dan motivasi memainkan peran terhadap penerimaan workplace bullying. Penelitian ke depan diharapkan dapat menguji variabel karakteristik individu tersebut. Penelitian ini juga memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, penelitian ini menjadi studi awal yang berusaha menguji pengaruh workplace bullying sebagai variabel mediator pengaruh perceived organizational politics
terhadap komitmen organisasi. Kedua, penelitian ini
mencoba memberikan gambaran pengaruh perceived organizational politics, workplace bullying dan komitmen organisasi dalam konteks industri manufaktur di Indonesia. Ketiga, penelitian ini menemukan perbedaan hasil dengan penelitian terdahulu, dimana workplace bullying justru dapat meningkatkan komitmen organisasi pada karyawan non produksi pada industri manufaktur.
DAFTAR PUSTAKA Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The Measurement and Antecedent of Affective, Continuance and Normative Commitment to The Organization. Journal of Occupational Psychology, 1-18. Azhari, L. (2009). Pengaruh Persepsi Politik Organisasi pada Penilaian Kinerja dengan Manajemen Kesan sebagai Variabel Moderasi. Skripsi. (tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
13 Azwar, S. (1999). Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R. A., & Greenberg, J. (2000). Behavior in Organization: Understanding and Managing Human Side of Work . New Jersey: Prentice Hall. Cohen, A. (2003). Multiple Commitments in the workplace: an integrative approach. London: Lawrence Erlbaum Associate. Cook, H., Gloria, Ferris, G. R., Dulebohn, & H, J. (1999). Political behavior as moderators of the perceptions of organizational politics-work outcomes relationship. Journal of Organizational Behavior , 1093-1105. Cropanzano, R., Howes, J. C., A.Grandey, A., & Toth, P. (1997). The relationship of organizational politics and support to work behavior, attitudes, and stress. Journal of Organizational Behavior , 159-180. Daniel, T. A. (2009). Stop Bullying at work. Virginia: Society for Human Resource Management. Einarsen, S., Hoel, H., Zapf, D., & Cooper, C. L. (2011). Bullying and Harrasment in the Workplace. London: Taylor & Francis. Ferris, G., & Kacmar, K. (1991). Perception of Organizational Politics Scale (POPS): Development and construct validation. Educational and psychological measurement , 193-205. Ferris, G., & Kacmar.K.M. (1992). Perceptions of Organizational Politics. Journal of Management , 93-116. Fisher, J. L. (2008). Workplace bullying: Aggressive behavior and its effect on job satisfaction and productivity. University of Phoenix. Forbes, G., Zhang, X., Doroszewics, K., & Haas, K. (2009). Relationships betwwen individualism-collectivism, gender, and direcr or indirect aggression: a study in china, poland, and US. Aggressive Behavior , 24-30. Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
14 Glaso, L., & Notelaers, G. (2012). Workplace bullying, emotions, and outcomes. Journal of Violence and Victims , 360-377. Harris, K., & Kacmar, K. (2005). organization politics. Thousand Oaks: Sage Publications, inc. Hayes, A. F. (2013). Introduction to Mediation, Moderation, and Conditional Process Analysis: A Regression-Based Approach. London: The Guildford Press. IBM. (2010). IBM SPSS Bootstrapping 20. New York: IBM Corporation. Kodisinghe, K. A. (2010). Impact of perceived organizationasl politics on employees job satisfaction in the commercial banking sector of Sri Lanka. ICBI . Matthiesen, S. B., & Einarsen, S. (2004). Psychiatric distress and symptoms of PTSD among victims of bullying at work. British Journal of Guidance and Counseling . McDonald, J. (2008). Measuring Personality Construct: The advantages and Disadvantages of Self Report, Informant Reports and Behavioral Assessments. Enquire , 1-19. McMahon, B. (2007). Organizational commitment, relationship commitment and their association with attachment style and locus of control. 2007: Georgia Institute of technology. Meyer, J. P., & Allen.N.J. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research, and aplication. Thousand Oaks: Sage publications. Meyer, J. P., Stanley, D. J., Herscovitch, L., & Topolnytsky, L. (2002). Affective, continuance, and normative commitment to the organization: a meta-analysis of antecedent correlates, and consequences. Journal of Vocational Behavior , 20-52. Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steers, R. M. (1982). Employee-organization linkages: The psychology of commitment, absenteeism, and turnover. New York: Academic Press. Nandy, T., Das, B., & Mahapatra, R. (2010). Strategic framework for human capital investment to create sustained competitive advantage. Asian Journal of Management Research . Ocel, H., & Aydin, O. (2012). workplace bullying and turn over intention: the moderationg role of belief in a just world. International Journal of Business and Social Science .
15 Ogungbamila, B. (2013). Perception of organizational politics and job related negative emotions as predictors of workplace incivility among employees of distressed banks. European Scientific Journal , 125-138. Peyton, P. R. (2003). Dignity at Work. New York: Brunner-Routledge. Power, J. L., Brotheridge, C. M., Blenkinsopp, J., Bowes-Sperry, L., Bozionelos, N., Buzady, Z., et al. (2011). Acceptability of Workplace Bullying: A Comparative Study on Six Continent. Journal of Bussiness Research , 1-7. Rayner, C., Hoel, H., & Cooper, C. L. (2002). Workplace bullying: what we know, who is to blame, and what can we do? London: Taylor & Francis. Salin, D. (2002). Bullying and organizational politics in competitive and rapidly changing work environment. International Journal of Management and Decision , 35-46. Sarjono, H., & Julianita, W. (2011). SPSS vs LISREL Sebuah Pengantar, Aplikasi untuk Riset. Jakarta: Salemba Empat. Sekaran, U. (2006). Research Methods for Bussiness. Jakarta: Salemba Empat. Shaugnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2012). Metode Penelitian dalam Psikologi. Jakarta Selatan: Salemba Humanika. Vartia, M. V. (2003). Workplace bullying: A study on the work environment, well-being and health. Helsinki: University of Helsinki. Vigoda, E. (2000). International Politics in Public Administration System: An Empirical Examination of its Relationship with Job Congruence, Organizational Citizenship Behavior, and In-Role Performance. Public Personnel Management , 185-211. Vigoda, E., & Drory, A. (2006). Handbook of organizational politics. Northampton: Edwar Elgar Publishing, Inc.