0
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA INTELIGENSI DENGAN RELIGIUSITAS
Oleh : Rifadia Deify Hepi Wahyuningsih
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005
1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA INTELIGENSI DENGAN RELIGIUSITAS
Telah Disetujui Pada Tanggal
______________
Dosen Pembimbing
(Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si)
2
HUBUNGAN INTELIGENSI DENGAN RELIGIUSITAS
Rifadia Deify Hepi Wahyuningsih
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris apakah ada hubungan antara inteligensi dengan religiusitas. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara inteligensi dengan religiusitas. Artinya semakin tinggi tingkat inteligensinya semakin tinggi pula tingkat religiusitasnya, dan sebaliknya. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan dan tidak membedakan tahun angkatan. Subyek secara keseluruhan berjumlah 26 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah tes inteligensi CFIT dan angket untuk alat ukur religiusitas. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi Spearman’s rho dengan program SPSS 11 for windows. Hasil analisis korelasi Spearman’s rho menunjukkan koefisien r sebesar 0,123 dengan p=0,274 (p>0,05). Ini berarti hipotesis yang diajukan tidak terbukti.
Kata kunci : Inteligensi, Religiusitas
3
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama universal yang mampu membawa pemeluknya kepada tingkat yang paling tinggi dari sisi-sisi kemanusiaannya baik dalam hubungannya dengan Tuhannya, sesama manusia, maupun diri sebagai sebuah pribadi. Catatan sejarah islam memberikan bukti-bukti yang jelas tentang individu-individu yang berkualitas ini sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikannya dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah atau menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS Adz Dzaariyaat/51 : 56). Pernyataan ini mengandung makna bahwa manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk menyembah kepada Penciptanya. Makna yang lain adalah bahwa segala sesuatu yang ada pada diri manusia seharusnya dimanfaatkan untuk membentuk dirinya menjadi hamba yang religius. Perkembangan jaman telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan ini tidak hanya terjadi di lapisan luar dan bersifat fisik seperti trend berpakaian, gaya potongan rambut, atau bahasa pergaulan sehari-hari tetapi sudah mencapai taraf yang lebih esensi yang berkaitan dengan pola pikir, pandangan, atau pegangan hidup. Salah satu bentuk perubahan ini adalah manusia mulai meninggalkan ajaran agama. Agama dianggap kuno, tidak
4
selaras dengan ilmu pengetahuan, dan tidak dapat mengikuti perkembangan jaman. Manusia yang senantiasa berkembang dan berubah membutuhkan agama sebagai pedoman dan pegangan hidup. Agama merupakan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, sesama manusia, serta alam sekitarnya (Driyarkara dalam Subandi, 1988). Agama berguna untuk mengingatkan manusia agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas. Penolakan manusia terhadap agama akan menghacurkan dirinya dan peradaban yang telah dibangunnya. Mass media telah banyak memberitakan peritiwa-peristiwa kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, narkoba, agresifitas, dan lain sebagainya (Kedaulatan rakyat, 2005). Perilaku seseorang tidak hanya mempengaruhi kehidupan inidividu yang bersangkutan tetapi juga masyarakat di sekitarnya karena manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan lingkungannya dan melakukan pembelajaran atas apa yang diketahuinya. Hal inilah yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Quran surat Ruum ayat 41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan adalah faktor intelektual. Seseorang tidak akan mempunyai tingkat religiusitas yang baik apabila tidak mempelajari, memahami, dan mengetahui hal-hal yang membuatnya bersemangat dalam menjalankan ibadah. Oleh karena itu agama mengajarkan
5
bahwa religiusitas tidak akan bisa diraih seseorang apabila individu yang bersangkutan tidak mau berpikir tentang penciptanya, dirinya sendiri, dan lingkungan sekitarnya. Ilmu dan iman mempunyai hubungan yang sangat erat, Muthahhari (Rakhmat, 2003), berpendapat bahwa pemisahan antara ilmu dengan keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Keimanan dapat dikenali melalui ilmu; keimanan tetap aman dari berbagai takhayul melalui pencerahan ilmu. Keimanan tanpa ilmu akan menimbulkan fanatisme dan kemandekan. Pencarian ilmu pada akhirnya akan menghasilkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Einstein dalam Rakhmat, 2003; Kant dalam Rakhmat, 2003). Pemikiran ini selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ini (seraya berkata) : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS Ali ‘Imran/3 : 190-191). Kemampuan untuk berpikir dan berilmu sangat dipengaruhi oleh tingkat inteligensi seseorang. Woodworth (Alsa & Bachroni, 1981), mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan umum untuk memecahkan masalah-masalah intelektual atas dasar hasil belajar masa lampau dan kemampuan untuk memahami dan mengerti hakekat hidup masa kini. Hal ini berarti religiusitas sebagai penghayatan nilai-nilai agama ke dalam diri seseorang yang dipengaruhi oleh proses berpikir dan berilmu juga dipengaruhi oleh tingkat inteligensi individu yang bersangkutan.
6
Mahasiswa dalam periode perkembangan masuk pada kelompok usia remaja akhir. Pertumbuhan dan perkembangan seksual remaja akhir telah mendekati kesempurnaan sehingga gejolak yang timbul karena penampilan fisik sudah jauh berkurang. Remaja akhir mulai serius memikirkan masa depannya yang berkaitan dengan pasangan hidup, pekerjaan, dan identitas diri. Identitas diri merupakan persatuan yang terbentuk dari asas-asas, cara hidup, pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya di dalam masyarakat (Rumini & Sundari, 2004). Hal ini berarti bahwa agama merupakan salah satu unsur pembentuk identitas diri. Akibatnya remaja akhir mulai kritis terhadap ajaran agamanya. Sikap kritis ini membuat remaja akhir berusaha lebih mendalami agama dengan tujuan memperoleh kebenaran yang hakiki yang bisa diterimanya secara emosi dan kognitif. Suatu perilaku yang jarang terlihat pada masa periode perkembangan sebelumnya. Mahasiswa adalah kaum intelektual. Derajat keilmuan mereka yang tinggi membuat mahasiswa memiliki pola pikir dan perilaku yang baik. Kebebasan dalam bertindak dan berpikir yang didukung penuh oleh lingkungan pendidikan perguruan tinggi diharapkan membawa mereka menjadi individu-individu yang kritis. Tingkat inteligensi yang baik, sikap kritis, dan kebutuhan akan identitas diri inilah yang akan membawa mahasiswa kepada tingkat religiusitas yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara inteligensi dengan religiusitas pada mahasiswa.
7
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris ada tidaknya hubungan antara inteligensi dengan religiusitas pada mahasiswa.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan khasanah ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi Islami. Selain itu penelitian ini dapat memberikan informasi kepada peneliti-peneliti lain yang tertarik dengan penelitian sejenis. Manfaat penelitian ini secara praktis adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai hubungan antara inteligensi dan religiusitas. masyarakat dapat memaksimalkan kemampuan inteligensinya sehingga dapat meningkatkan religiusitasnya.
8
Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas Religiusitas merupakan kata jadian yang berkaitan dengan kata religi dan religius. Oleh karena itu untuk mengetahui arti kata religiusitas perlu kiranya untuk mengetahui kedua istilah tersebut terlebih dahulu. Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah religare yang berarti ‘mengikat’ (Driyarkara dalam Subandi, 1988). Religi atau agama mencakup aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, sesama manusia, serta alam sekitarnya. Islam selama ini dikenal sebagai sebuah agama tapi dalam Al Qur’an atau hadits Islam disebut dengan dien. Dien dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja dana yang mempunyai beberapa arti, yaitu kekuatan, kekuasaan, hukum, perintah; taat, menghamba, menolong; syaria’t, peraturan, jalan, mazhab, agama, ikutan, dan kekuasaan; balasan, upah, perhitungan, persesuaian (Sulaiman, 1984). Mangunwijaya (Subandi, 1988), membedakan antara istilah religi dengan istilah religiusitas. Religi menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban; sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Sesuai dengan pendapat ini, Dister (Subandi, 1988), mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama itu di dalam diri seseorang.
9
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang. Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan atau tingkah laku sehari-hari. 2. Aspek-aspek Religiusitas Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Subandi, 1988; Widuri, 1995), membagi religiusitas agama Islam dalam lima aspek yaitu : 1. Aspek Iman menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para nabi, dan sebagainya. 2. Aspek Islam menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa, zakat. 3. Aspek Ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut melanggar larangan dan lain-lain. 4. Aspek Ilmu menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran Islam. 5. Aspek Amal menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, bekerja, dan sebagainya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Thouless
(1992),
menjelaskan
tentang
faktor-faktor
yang
menghasilkan sikap keagamaan, yaitu : 1. Faktor sosial Mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan.
bisa
10
2. Faktor pengalaman Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membantu sikap keagamaan. 3. Faktor kebutuhan Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (a) kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b) kebutuhan akan cinta kasih, (c) kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d) kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian. 4. Faktor intelektual Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah keputusan untuk menerima atau menolak terhadap ajaran suatu agama. Religiusitas adalah apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor intelektual juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi religiusitas seseorang. Inteligensi 1. Pengertian Inteligensi Perkataan inteligensi berasal dari kata Latin ‘intelligere’ yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together). Masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi (Azwar, 1996).
11
Chaplin (2000), mendefinisikan inteligensi sebagai, (a) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (b) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif; dan (c) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. Ketiga perumusan ini sama sekali tidak terlepas satu sama lain ketiganya hanya menekankan aspekaspek yang berbeda dari prosesnya. Woodworth (Alsa & Bachroni, 1981), mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan umum untuk memecahkan masalah-masalah intelektual atas dasar hasil belajar masa lampau dan kemampuan untuk memahami dan mengerti hakekat hidup masa kini. 2. Indikator-indikator Inteligensi Menurut Spearman (dalam walgito, 1997), inteligensi itu mengandung 2 macam faktor, sehingga teori ini dikenal dengan teori dwi-faktor (two factors theory) : 1. Kemampuan umum (general ability atau faktor G) Kemampuan umum (general ability atau general factor) terdapat pada semua individu tetapi berbeda satu dengan yang lain. Faktor G selalu terdapat dalam semua penampilan (performance). 2. Kemampuan khusus (special ability atau faktor S) Kemampuan khusus (special ability) merupakan faktor yang bersifat khusus, yaitu berkaitan dengan suatu bidang tertentu sehingga jumlah faktor ini banyak, misalnya ada SI, S2, S3 dan sebagainya.
12
Metode Penelitian Variabel-variabel yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel tergantung
: Religiusitas
2. Variabel bebas
: Inteligensi
Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang. Internalisasi disini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan atau tingkah laku sehari-hari. Pengukuran Religiusitas ini menggunakan alat ukur religiusitas yang disusun berdasarkan konsep dari Glock dan Stark (Widuri, 1995; Uyun, 1998). Religiusitas meliputi lima aspek atau dimensi yaitu, aspek iman atau dimensi ideologis; aspek Islam atau dimensi ritual; aspek ihsan atau dimensi eksperiensial; aspek ilmu atau dimensi intelektual; dan aspek amal-akhlak atau dimensi konsekuensial. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula religiusitas seseorang. 2. Inteligensi adalah kemampuan umum untuk memecahkan masalah-masalah intelektual atas dasar hasil belajar masa lampau dan kemampuan untuk memahami dan mengerti hakekat hidup masa kini (Woodworth dalam Alsa dan Bachroni, 1981). Pengukuran inteligensi menggunakan tes inteligensi CFIT (Culture Fair atau Culture Free Intelligence Test) yang disusun oleh
13
Raymond B. Cattell dan Aks Cattell AM (Rosyid, 1994). CFIT disusun berdasarkan teori dwi-faktor dari Spearman. Teori dwi faktor menjelaskan bahwa inteligensi mengandung 2 macam faktor yaitu faktor G (General ability) dan faktor S (Special ability). Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula inteligensinya.
Subyek Penelitian Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia tanpa membedakan tahun angkatan, baik laki-laki maupun perempuan.
Pembahasan Hasil analisis data dengan menggunakan teknik korelasi Spearman’s rho menunjukkan hasil yang tidak signifikan, sehingga hipotesis tidak terbukti. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya korelasi antara inteligensi dengan religiusitas. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa tingkat inteligensi subyek rata-rata masuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 61,54%, kategori rendah sebesar 7,7%, dan kategori tinggi sebesar 30,77%. Sedangkan tingkat religiusitas subyek rata-rata termasuk dalam kategori sedang sebesar 61,54%, kategori rendah 23,1%, dan kategori tinggi sebesar 15,38%. Salah satu karakteristik dari penelitian yang diuji dengan teknik non parametrik adalah bahwa hasil dari penelitian itu tidak bisa digeneralisasikan.
14
Hasil penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara inteligensi dengan religiusitas, hanya berlaku pada 26 subyek penelitian ini. Agama diturunkan tidak hanya kepada sekelompok atau segolongan orang saja. Agama sebagai sebuah kebutuhan diturunkan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang tingkat inteligensi, usia, jenis kelamin, suku bangsa, ataupun negara. Bahkan apabila agama dihayati dengan sungguh-sungguh akan membawa manfaat ke seluruh makhluk dan alam semesta. Perbedaan tingkat inteligensi mempengaruhi kewajiban yang harus diemban oleh seseorang. Individu yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi mempunyai kewajiban yang lebih berat daripada individu yang mempunyai tingkat inteligensi yang lebih rendah. Kewajiban dengan kemampuan inteligensinya misalnya kewajiban menuntut ilmu, memahami, dan mendakwahkan dengan cara-cara yang bijak sehingga mudah dipahami oleh orang-orang dengan tingkat inteligensi yang lebih rendah. Kenyataan bahwa memahami agama tidak memerlukan tingkat inteligensi yang tinggi membuktikan bahwa religiusitas yang tinggi bisa diraih oleh setiap hamba, bukan sekedar orang-orang dengan tingkat inteligensi yang tinggi.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan analisis data hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara inteligensi dengan religiusitas pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat inteligensi tidak mempengaruhi religiusitas seseorang.
15
2. Saran Berdasarkan proses dan hasil penelitian, dikemukakan beberapa hal yang dapat disarankan. Saran tersebut antara lain : 1. Saran bagi subyek penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat religiusitas subyek ratarata termasuk dalam kategori sedang. Subyek penelitian diharapkan untuk lebih meningkatkan religiusitasnya karena religiusitas dapat digunaan sebagai bekal di kehidupan yang akan datang. 2. Saran bagi pihak sekolah Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia sebagai lembaga pendidikan dapat meningkatkan minat mahasiswanya untuk mendalami masalah-masalah agama sehingga menjadi insan yang beriman, bertaqwa, dan berilmu. 3. Saran bagi peneliti selanjutnya Salah satu ciri penelitian yang menggunakan statistik non parametrik adalah kesimpulan dari hasil penelitian hanya berlaku bagi subyek penelitian. Bagi peneliti yang lain, dapat menambah jumlah subyek penelitian sehingga didapat kesimpulan yang lebih bersifat umum. Subyek juga dapat diperluas dengan menggunakan anak-anak, orang dewasa, lansia, atau subyek yang memiliki karakteristik tertentu misalnya ulama. Penelitian tentang religiusitas, sebagai variabel dependen, masih sangat jarang dilakukan. Peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini, misalnya mencari hubungan antara pola asuh orang tua dengan religiusitas. Berkaitan dengan perolehan hasil yang lebih akurat, perlu kiranya dilakukan penyempurnaan alat ukur. Aitem dalam alat
16
ukur religiusitas dapat ditambah dengan aitem-aitem yang berkaitan dengan pemerintahan, sejarah islam, jihad, munakahat, dan lain sebagainya karena religiusitas merupakan internalisasi ajaran agama secara keseluruhan. Konsep inteligensi yang digunakan dalam penelitian ini masih bersifat umum. Oleh karena itu perlu disusun konsep baru tentang kecerdasan yang lebih berhubungan dengan religiusitas beserta alat ukurnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alsa, A. & Bachroni, M. 1981. Perbedaan Efektivitas antara Inteligensi dengan Nilai Ujian Masuk SMA sebagai Prediktor Prestasi Belajar pada Pelajar SMA Negeri di DIY. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Azwar, S. 1996. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Chaplin, J. P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. DEPAG dan Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Pentafsiran Al Qur’an. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : CV. Toha Putra. Kedaulatan Rakyat. 4 Juli 2005. Tiga Oknum Mahasiswa PTS Dibekuk. Kedaulatan Rakyat. 8 Juli 2005. Mencuri Kalkulator; Oknum Mahasiswa S2 Diamankan. Nashori, F. 1997. Manusia sebagai Homo Religiosus. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi. PSIOLOGIKA. Nomor 3 Tahun II. Rakhmat, J. 2003. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung : Mizan. Rosyid, F. H. (1994). Kesesuaian antara CFIT dengan SPM dalam Mengukur Faktor “G” Inteligensi. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Shihab, Q. 1994. “Membumikan” Al Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan. Subandi. 1988. Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Kecemasan pada Remaja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Sulaiman, S. & Albuny, D. A. 1984. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta : BPFE. Thouless, R. H. 1992. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : CV. Rajawali Press. Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.