Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
HERMENEUTIKA SAHRUR: (Metode Alternatif Interpretasi Teks-Teks Keagamaan) Mohammad Fateh* Abstrak: Hermeneutika adalah perangkat pemahaman teks. Ia bisa digunakan sebagai alat untuk memahami segala teks, termasuk alQur’an yang diasumsikan oleh sebagian besar umat Islam sebagai teks sentral sebagai rujukan dan panduan hidup. Sudah barang tentu, keberadaan al-Qur’an haruslah bisa diterapkan dalam segala ruang dan waktu. Pesan Tuhan yang dibakukan dalam mushaf al-Qur’an harus selalu didialekkan dengan pemahaman intelegensi manusia. Jika tidak, maka al-Qur’an hanya akan menjadi lembaran kertas kuno hasil dari warisan budaya masa lampau. Muhammad Sahrur dan para pemikir Islam kontemporer yang lain melihat banyak kelemahan dalam metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh mufassir-mufassir klasik yang memberlakukan teks al-Qur’an secara pasif dan rigid, tidak menempatkan teks dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Sehingga kenyataan ini menyebabkan pemahaman umat Islam akan pesan Tuhan tidak bisa menyeluruh. Oleh karenanya, menurut Sahrur diperlukan metode, pendekatan, prosedur, dan pisau analisa baru yang bisa mengisi celah-celah kebuntuan metodologis umat Islam ketika hanya berpegang pada seperangkat ilmu tafsir tradisional. Tidak berlebihan, jika hermeneutika ala Sahrur kemudian menjadi alternatif baru model pembacaan dalam upaya menggali dan memahami pesan Tuhan yang tertera dalam alQur’an dan teks-teks keagamaan yang lain.
*. Jurusan Syari’ah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan
1
2 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22 Hermeneutics is a meant to understand text. It can be used as meant to understand all text, including Quran that is assumed by most Muslim community as a central text to refer and to be life guidance. It is of course that the substance of Quran should be implemented wherever and whenever. The message of God written in it must be always discussed by human being’s intelligence. If it is not, it will be only old sheets produced by old culture in the past. Muhammad Sahrur and other contemporary Islamic thinkers see many weaknesses in exegesis methodology that was improved by classical commentators who treat Quran passively and rigidly, and did not placed the text in dialectical context and its contextualization that cause the Muslim community’s understand of God’s messages not comprehensive. Therefore, according to Sahrur, new method, approach, procedure and analysis tool are needed to fulfill stagnant space of Muslim community’s methodology of understand God’s messages when they use only traditional exegesis science. It is not too excessive if Sahrur hermeneutics becomes a new alternative reading mode in exploring and understanding God’s messages written in Qur’an and other religious texts.
PENDAHULUAN Bagi umat Islam, al-Qur’an adalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Muhammad SAW. melalui perantara malaikat Jibril. Pemahaman yang demikian menuntun pada teorisasi wahyu yang masuk dalam bingkai teori komunikasi, karena kalam Allah diartikan sebagai “Tuhan berbicara dengan hambaNya”, dengan melibatkan medium atau kode komunikasi yang melibatkan aspek linguistik tersebut menjadi pijakan pemahaman al-Qur’an sebagai teks (Aksin, 2004: x). Sebagai teks, al-Qur’an adalah korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa bacaan, penerjemahan, penafsiran hingga pengambilannya sebagai rujukan. Hingga saat ini, al-Qur’an masih menjadi teks inti (core text) dalam peradaban Islam. Al-Qur’an menjadi pusat pusaran wacana keislaman dan pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Oleh karena itu, usaha memahami al-Qur’an dengan pelbagai pendekatan dan metodologi harus selalu ditumbuhkembangkan dan tidak boleh berhenti pada satu titik (Sahrur, 2007: 57). Keberagaman pendekatan dan metode yang digunakan berbanding lurus dengan yang dihasilkan. Tegasnya,
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
3
tidak ada otoritas yang dapat dan boleh membakukan sebuah model pemahaman. Karena model apapun, baik berupa tafsir, takwil, exeges, interpretasi, ataupun penerjemahan terhadap teks-teks al-Qur’an merupakan wilayah hermeneutika yang sangat terbuka bagi setiap usaha pembaharuan. PEMBAHASAN A. Pengertian Hermeneutika Akar kata Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuien, yang berarti “menafsirkan”, atau dari kata benda hermenia, yang berarti “interpretasi”. Ada yang mengatakan bahwa Hermeneutika berasal dari kata “Hermes”, nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam (Inyiak, 2008: 62). Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (2008: 57). Secara tradisional, Hermeneutika dapat dipahami sebagai teori interpretasi (hermeneuein). Jika interpretasi hanyalah aspek universal dan umum yang menjadi ciri filsafat, maka orang bisa mengklaim bahwa hermeneutika berfungsi sebagai prima philosophia (filsafat utama). Kata “semacam” harus ditambahkan di sini karena hubungan antara hermeneutika dan tradisi metafisika selalu mendua. Dengan penekanan pada interpretasi, menurut Jean Grondin, itu berarti sangat anti-fondasionalis dan akan terlihat sebagai anti pasca-metafisis (2008: 17). Josef Bleicher memilah-milah pengertian hermeneutika menjadi tiga bidang yang terpisah, yaitu: Teori hermeneutis, Filsafat hermenutic, dan Hermeneutika kritis. Teori hermeneutika memusatkan diri kepada persoalan teori umum interpretasi sebagai metodologi bagi ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften, termasuk juga di dalamnya ilmu-ilmu manusia). Melalui analisis atas verstehen sebagai metode yang cocok untuk mengalami kembali atau berpikir kembali atas apakah yang sesungguhnya dirasakan atau dipikirkan pengarang. Betti berharap dapat memperoleh sebuah pemahaman atas proses pemahaman secara umum, yakni bagaimana kita mampu menerjemahkan sebuah kompleksitas makna yang diciptakan oleh seseorang menjadi pemahaman kita sendiri mengenai diri kita dan dunia kita saat ini. Salah satu pandangan utama filsafat hermeneuitis menegaskan bahwa ilmuwan sosial atau interpretator dan objek dihubungkan oleh sebuah kontek
4 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
tradisi yang mengimplikasikan bahwa ia telah memiliki pra-pemahaman atas objek ketika ia mengkaji objek tersebut, sehingga tidak mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang netral. Konsep mengenai apa yang terlibat di dalam pemahaman pada akhirnya bergeser dari reproduksi sebuah objek yang telah ada sebelumnya menjadi partisipasi dalam komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan masa kini. Filsafat hermeneutis tidak bertujuan mencapai sebuah pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedurprosedur metodis, melainkan pada pengungkapan (explication) dan deskripsi fenomenologis mengenai Dassein manusia dalam temporalitas dan historisitasnya. Heidegger dapat menemukan sebuah titik awal bagi hermeneutikanya yang ontologis-fundamental dalam kategori Dilthey mengenai Leben, yang bahkan mendasari ‘kesadaran transendental’ apriorisme Kantian. Ia juga mencoba mencari kemungkinan pemahaman secara umum namun menemukan bahwa setiap pengetahuan yang diperoleh dapat mengambil tempat hanya dengan mengikuti diktat-diktat ‘lingkaran hermeneutik’ yang dimulai dengan antisipasi proyektif terhadap makna dan bergerak maju melalui mediasi dialogis-dialektif subjek dan objek. Sebagai contoh, tujuan memahami sebuah teks pada akhirnya tidak lagi menjadi penyadaran kembali objektif atas makna yang dimaksud pengarang, melainkan lahirnya pengetahuan yang secara praktis relevan, di mana subjek sendiri yang diubah dengan menjadi sadar atas kemungkinan-kemungkinan baru eksistensi dan tanggung jawab bagi masa depannya sendiri. Hemeneutika kritis menantang asumsi idealisme yang mendasari baik teori hermeneutis maupun filsafat hermeneutic: penolakan untuk mempertimbangkan faktor-faktor di luar bahasa yang juga membantu untuk mengkonstitusikan konteks pemikiran dan tindakan, yakni kerja dan dominasi. Filsafat hermeneutika, lebih jauh lagi, maju menuju sebuah klaim universalitas tidak dapat lagi dibenarkan dengan menghargai tradisi yang melekat sebagai sebuah konsensus pendukung yang tidak ditanyakan sendiri karena ia menyediakan kondisi-kondisi bagi kemungkinannya. Karena perdebatan ini menyentuh pondasi filosofis pendekatan hermeneutis maka tampaknya cocok untuk menyebutnya sebagai ‘perdebatan hermeneutis’. Dalam bidang inilah Apel dan Habermas sampai kepada hermeneutika kritis mereka yang mengkombinasikan pendekatan metodik dan objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis relevan. ‘kritis’ yang dimaksud di sini umumnya adalah penaksiran atas hubungan-hubungan yang telah ada dalam pandangan
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
5
standar yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau tendensi di masa kini; ia dituntun oleh prinsip Rasio sebagai tuntutan bagi komunikasi tanpa tekanan dan pembatasan diri. Secara lebih spesifik, istilah hermeneutika kritis ini menunjuk kepada sebuah relasi dengan ‘teori kritis’ Madzhab Frankfurt dan karya Mark. Warisan mereka adalah desakan untuk mengubah realitas daripada hanya menginterpretasikannya (Bleicher, 2007: viii-xii). Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensi manusia. Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung dalam bentuk verb dari hermeneuein yang berimplikasi pada tiga dimensi makna, yaitu: Pertama, bermakna to say, yang berarti mengungkapkan kata-kata. Dalam hal ini, pembaca memasukkan “ekspresi” sesuai dengan pemahamannya terhadap teks. Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa latin sermo, “to stay” (menyatakan, dan bahasa latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, di dalam memberikan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan” sesuatu, fungsinya tidak hanya menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim). Utusan, seperti halnya Hermes, dan seperti pendeta di Delphi, membawa keimanan yang diturunkan dari Tuhan. Di dalam “perkataan” atau pernyataannya, ia seperti Hermes, “berada di antara” Tuhan dan manusia. Bahkan secara sederhana perkataan, pernyataan, atau penegasan merupakan bentuk penting dari “interpretasi”. Kedua, bermakna to explain, menjelaskan. Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hal ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama interpretasi); menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskan, mengekspresikannya merupakan interpretasi, dan menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi. Interpretasi sebagai to say mengingatkan hakikat tindakan membaca, namun dalam tindakan membaca teks, pembaca harus “memahami”nya. To say berimplikasi pada to explain,
6 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
namun di sini explanasi dijadikan landasan dalam pra-pemahaman. Di dalam pemahamannya sendiri, ia harus menangkap dan ditangkap oleh teks. Makna ketiga, to translate, menerjemahkan. Ketika sebuah teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian. Bagaimanapun, ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka perbedaan perspektif dan horizon tidak dapat lagi dibiarkan. Namun, problem-problem seorang penafsir, bahasa tidak berbeda secara struktural dengan kritik sastra yang bekerja dalam bahasanya sendiri. Problem-problem memungkinkan kita melihat secara jelas situasi yang ada dalam setiap interpretasi teks. Menerjemahkan (to translate) merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini, seseorang membawa yang asing, jauh, dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri. Seperti halnya Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. Tindakan penerjemahan bukanlah persoalan mekanis tentang menemukan kata sinonim, seperti hasil-hasil penerjemahan mekanis yang menggelikan, karena penerjemah menjadi mediator antara dua dunia yang berbeda. Penerjemahan membuat kita sadar akan kenyataan bahwa bahasa itu sendiri memuat interpretasi tentang dunia, di mana penerjemah harus sensitif seperti ia menerjemahkan ekspresi individu. Penerjemah hanya membuat kita betulbetul sadar akan cara di mana kata-kata sebenarnya membentuk pandangan tentang dunia, bahkan persepsi-persepsi kita. Bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural; kita eksis di dalam dan melalui media ini; kita dapat melihat melalui penglihatannya (Palmer, 2005:15-31). Menurut Schleirmacher, dalam interpretasi terdapat tiga unsur penting, yaitu: memahami teks, menjelaskan yang terpahami dan mengaplikasikan yang terpahami pada diri si interpretator. Hermeneutika bicara tentang pemahaman bukan untuk menciptakan kembali hal yang dibaca. Hermeneutika bukan hanya terkadang mengeluarkan kembali sesuatu yang sudah tersimpan lama. Hermeneutika bukan menunjuk suatu masalah prinsipal tidak hanya dalam setiap bentuk bacaan, tetapi juga dalam semua jenis ekspresi verbal. Hermeneutika adalah seni untuk menghindari salah paham (Poespoprojo, 2004: 23). Intinya, Hermeneutika dapat digunakan sebagai metode pembacaan teks dalam kerangka untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam teks, yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya. Salah satu peran pokok
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
7
hermeneutika adalah ingin memelihara ruh dari sebuah teks, agar tidak menjadi “tubuh mati”, sementara itu ruh yang menghidupi “jasad teks” tersebut sudah hilang. B. Hermeneutika dalam Islam: antara Konservatif dan Reformis Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia Barat. Ia meluas dan menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran sendiri, yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika. Beberapa pakar Muslim modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya untuk memahami al-Qur’an. Signifikansi hermeneutik dilihat setelah menyadari fakta tragis yang terjadi di dalam ilmu tafsir konvensional. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir menekankan pada pemahaman teks belaka, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, Ilmu tafsir tradisional tidak menempatkan teks dalam dialetika konteks dan kontektualitasnya, inilah mengapa teks al-Qur’an sulit dipahami oleh pembaca lintas generasi. Jika keterbatasan-keterbatasan ini dibiarkan terus menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang terbentang di balik ayat-ayat al-Qur’an. Umat Islam akan selamanya terkungkung dalam pagar intelektual tafsir dengan batas-batas yang sempit. Karena itu, mesti diusahakan sebuah rekonstruksi atas metodologi penafsiran. Rekonstruksi ini meniscayakan pembaharuan tafsir yang bersifat menyeluruh. Faktor-faktor dalam rekonstruksi inilah yang ditemukan dalam pembahasan hermeneutika. Tidak heran, hermeneutika kemudian menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi teks-teks keislaman, khususnya dalam tafsir (Sibawaihi, 2007: 11-13). Upaya rekonstruksi sebagaimana dijelaskan di atas adalah bagian terpenting dari menjaga dan membumikan al-Qur’an sebagai “risalah” yang berlaku untuk semua ruang dan waktu. Oleh karenanya, risalah Muhammad SAW harus memiliki karakter dan muatan yang berbeda dari risalah sebelumnya. Mengingat, bahwa Muhammad SAW selain sebagai penutup para rasul, beliau juga penutup para nabi, sebagaimana dipaparkan dalam QS. Al-Anbiya’: 107 dan QS. Al-A’raf: 158 (Sahrur, 2007: 21).
8 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
Dewasa ini telah banyak pemerhati al-Qur’an yang melakukan kritik historis dan linguistik yang menjadi ciri khas hermeneutika. Di antara tulisantulisan tersebut misalnya Qur’anic Hermeneutic: The Views of al-Thabari and Ibn Katsir karya Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horizon sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta’wil dalam tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr Hamid Abu Zaid yang dengan intensif menggeluti kajian hermeneutic dalam tafsir klasik, dan tak boleh ditinggalkan dua sarjana muslim kontemporer, Fazlurrahman dengan penafsiran double movement-nya dan Mohammed Arkoun dengan lingkaran bahasa-pemikiransejarahnya. Sementara itu terkait dengan penafsiran yang dengan intensif mengolah pemahaman terhadap teks, bisa dicatat nama Toshihiko Izutsu dengan bukunya Ethico Religius Concept in the Qur’an yang menerapkan metode semantic dalam mengolah teks al-Qur’an, dan Aisyah Abdurrahman binti Syati’ dalam kitab tafsirnya Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Tafsir ini pada dasarnya merealisasikan ide suaminya, Amin Khuli, yang berusaha melakukan eksplorasi linguistic sekaligus melacak kronologi pewahyuan tema-tema yang dibahas dan didukung riwayat-riwayat yang berkaitan. Ini dimaksudkan untuk dapat memahami konteksnya (Faiz, 2002: 44-47). Apa yang dilakukan oleh para sarjana di atas adalah contoh bagaimana “mengolah” al-Qur’an dengan alat hermeneutika dengan “menu utama” bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial. Sudah barang tentu tantangan kultural dan sosiologis yang tengah dihadapi umat Islam ini berbeda dari tantangan yang dihadapi pada tujuh abad lalu atau lebih ketika az-Zarkasi (wafat 794 H) menulis al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân atau ketika as-Suyuthi (wafat 910 H) menulis al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Tantangan yang menghadang mereka – sebagaimana yang dituduhkan Nasr Hamid – saat itu adalah bagaimana mempertahankan memori kultural bangsa, peradaban dan pemikirannya dalam menghadapi serbuan pasukan salib dari Barat. Segala upaya mereka lakukan untuk mempertahankan dan menghimpun aneka ragam tradisi ke dalam wilayah “teks” keagamaan. Celakanya, tradisi Arab lokal yang “berlindung” di balik teks-teks keagamaan (baca: al-Qur’an dan al-Hadits) menjadi sakral, untouchable, dan tidak boleh diotak-atik oleh siapapun. Konsep inilah menurut Nasr Hamid yang
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
9
menceraikan teks dari sifat aslinya sebagai “teks” bahasa, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang memiliki kesakralan (2003: 4-5). C. Metode Pembacaan ala Sahrur Ada beberapa istilah yang diperkenalkan oleh Sahrur dalam hermeneutika Qur’annya yang berbeda dengan pemahaman kita pada umumnya. Oleh karena itu, agar tidak terjadi tumpang-tindih pengertian dan salah persepsi terhadap pemikiran hermeneutika Sahrur kami uraikan satu persatu istilah-istilah penting sebagai berikut: 1.
Al-Qur’ân Adalah kalam Allah SWT yang terprogram dalam lauh mahfuzh dan imam mubin yang berbentuk media yang tidak dapat dicerap pengetahuan kognitif manusia dan tidak dapat ditakwilkan, karena ia disusun dalam bentuk mutlak.
2.
Al-Kitâb Adalah himpunan seluruh tema yang diturunkan kepada Muhammad SAW sebagai wahyu. Ia adalah himpunan seluruh ayat-ayat yang termuat dalam lembaran-lembaran mushaf sejak permulaan surat al-Fatihah hingga akhir surat al-Nas. Umm Al-Kitâb Himpunan seluruh ayat-ayat yang membentuk risalah Muhammad SAW. Di dalamnya termuat ibadah ritual, batas-batas hukum (al-hudud), ajaranajaran, dan al-Furqan. Kitab muhkam ini diwahyukan oleh Allah secara langsung kepada Muhammad SAW., ia tidak memiliki wujud pra eksistensi sebelum mengalami proses inzal dan tanzil. Dalam proses pewahyuannya, kitab muhkam ini tidak mengalami transformasi wujud (al-Ja’l).
3.
4.
Al-Nubuwwah Dimensi kenabian yang memuat ayat-ayat al-Qur’an, al-Sab’u alMatsâni dan Tafshîl al-Kitâb.
5.
Lauh Mahfûzh Adalah muatan hukum-hukum universal yang mengatur keberadaan dan ketetapan segala eksistensi, sejak permulaan penciptaan hingga akhir kehidupan berupa pembalasan pahala di surga dan dosa di neraka.
10 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
6.
Al-Imâm Al-Mubîn Adalah muatan hukum-hukum partikular yang berlaku pada fenomena alam dan tindakan manusia setelah tindakan tersebut terjadi.
7.
Al-Sab’u Al-Matsâni Di sebut juga ahsan al-hadîts, ia adalah tujuh ayat pembuka surat, terdiri dari: (1) alif lâm mîm, (2) alif lâm mîm shâd, (3) kâf hâ yâ ‘aîn shâd, (4) yâ sîn, (5) thâ hâ, (6) thâ sîn mîm, dan (7) hâ mîm.
8.
Al-Dikr Bentuk redaksional linguistik pada al-Kitab seluruhnya yang dapat dipahami manusia. Al-Dikr adalah aspek wahyu yang diturunkan dalam bentuk bahasa Arab yang terang. Ia mengandung bentuk ibadah, meskipun ia dibaca tanpa pemahaman terhadap kandungannya. Ia dijamin oleh Allah SWT untuk selalu terjaga. Seluruh bagian al-Dikr ini adalah ciptaan yang baru (muhdats).
9.
Al-Furqan Sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Musa, Isa, dan Muhammad SAW, yaitu yang termuat dalam QS. Al-An’am: 151-153. Ia adalah bagian dari Umm al-Kitâb, ia berisi prinsip-prinsip moral yang menjadi wilayah bersama antara tiga agama samawi.
10. Al-Inzâl Adalah perpindahan dari bentuk yang tidak diketahui menuju bentuk yang dapat diketahui atau dengan kata lain ‘penampakan’ (al-isyhar). 11. Al-Tanzîl Adalah perpindahan objek secara material berlangsung di luar kesadaran manusia, seperti transmisi gelombang yang dibawa oleh malaikat Jibril secara bertahap selama 23 tahun. 12. Al-Ja’l Proses perubahan struktur eksistensi wujud primordial al-Qur’an ke dalam linguistik Arab (transformasi wujud). D. Proses Turunnya al-Qur’an Sekarang mari kita membincangkan proses al-Inzal dan al-Tanzil pada al-Qur’an saja, mengingat umm al-Kitâb dan tafshîl al-Kitâb mengalami
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
11
proses al-Inzal dan al-Tanzil secara khusus. Agar proses al-Inzâl al-Qur’ân dapat berlangsung secara terpisah dari proses al-Tanzilnya, al-Qur’an harus memiliki eksistensi primordial pra al-Inzal dan pra al-Tanzil. Dari perspektif ini Sahrur menyimpulkan bahwa al-Qur’an sama sekali tidak terkait dengan sebab-sebab turunnya ayat (asbâb an-Nuzûl). Karena proses tanzil al-Qur’an pada Nabi Muhammad bersifat pasti (hatmiy), baik diminta atau tidak. Oleh karena itu, ketika membincangkan tema-tema yang menjadi wilayah khusus al-Qur’an, seperti masalah ghaibiyat, Allah berfirman: la tas’alû ‘an asyyâ’a in tubda lakum tasu’kum…. (al-Maidah: 101). Allah tidak pernah berfirman yang isinya berupa larangan untuk menanyakan tema-tema yang secara spesifik terkait dengan hukum-hukum atau tafshîl al-kitâb (Sahrur, 2007: 197). Konsekuensinya, berikut ini muncul sebuah pertanyaan penting: jika alQur’an telah eksis secara primordial sebelum proses al-inzal dan al-tanzil, apakah yang dimaksud dengan wujud al-Qur’an tersebut, dan dalam bentuk seperti apa keberadaannya? Seandainya wujud primordial al-Qur’an berupa redaksi linguistik Arab yang kita saksikan saat ini, yang sebagian ayatnya kita kuasai, sementara pada saat yang sama, ia adalah kalam Allah, ayat-ayat Allah, dan berupa kisah-kisah yang telah terjadi, niscaya kesimpulan sederhana yang segera muncul adalah bahwa “Allah beretnis Arab!” mengingat bahwa kalam Allah adalah substansi eksistensi dan hukum-hukum universalnya. Allah adalah mutlak dan kalamnya absolut, oleh karenanya Dia tidak pernah menyatakan diri-Nya sebagai mutakallim (pembicara). Hukum universal yang mengatur eksistensi tersimpan dalam suatu program dalam lauh mahfûzh dan dalam kitâb al-Maknûn, dan dalam lauh mahfuzh program ini diaplikasikan. Dalam imam mubin terdapat hukum alam particular yang diantaranya dapat mengalami perubahan dan mencitrakan peristiwa-peristiwa sejarah setelah semua itu terjadi. Al-Qur’an yang terprogram dalam lauh mahfûzh dan imâm mubîn ini berbentuk media yang tidak dapat dicerap pengetahuan kognitif manusia dan tidak dapat ditakwilkan, karena ia disusun dalam bentuk mutlak (Sahrur, 2007: 198). Ketika Allah hendak memberikan al-Qur’an kepada manusia, maka tahapan pertamanya adalah pengubahan wujud primordial al-Qur’an ini pada bentuk yang dapat dicerap pengetahuan manusia secara relatif, dengan kata lain al-Qur’an mengalami perubahan struktur eksistensi (taghyîr fi alshairûrah). Proses perubahan struktur eksistensi ini dalam lingustik Arab disebut dengan istilah al-Ja’lu (transformasi wujud). Sebagaimana firman Allah
12 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
SWT: innâ ja’alnâhu qur’ânan ‘arabiyan la‘allakum ta’qilûn (al-Zukhruf: 3). Pengertiannya, bahwa al-Qur’an memiliki wujud primordial sebelum ia berbentuk bahasa Arab kemudian ditransformasikan menjadi berbahasa Arab, dengan kata lain struktur eksistensi al-Qur’an diubah sedemikian rupa dari bentuk yang tidak dapat diketahui menjadi bentuk yang dapat diketahui. Inilah yang dimaksud dengan kata al-Ja’l. Pada saat yang sama, Allah juga berfirman: innâ anzalnâhu qur’ânan ‘arabiyyan la’allakum ta’qilûn (Yusuf: 2). Al-Inzâl adalah perpindahan objek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui. Al-Qur’an pada awalnya berada pada wilayah yang tidak dapat diketahui ‘tidak ditampakkan’, kemudian dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui. Perpindahan ini berlangsung dalam proses al-Inzâl. Kesimpulannya adalah sebagai berikut: al-Ja’l adalah perubahan struktur eksistensi; al-Inzal adalah perpindahan dari bentuk yang tidak diketahui menuju bentuk yang dapat diketahui ‘penampakan’ (al-isyhar) (Sahrur, 2007: 199). Proses ja’l dan inzâl al-Qur’ân menjadi berbahasa Arab berlangsung sekaligus secara keseluruhan dalam satu kesempatan. Peristiwa ini terjadi pada lailah al-Qadr (Sahrur, 2007: 200). Sebagaimana telah kita ketahui bersama al-Tanzil adalah perpindahan objek secara material berlangsung di luar kesadaran manusia, seperti transmisi gelombang. Untuk konteks al-Qur’an, proses al-Tanzilnya melalui Jibril yang disampaikan kepada Muhammad saw dan berlangsung selama rentan waktu 23 tahun al-Qur’an mengalami proses Ja’l dan Inzal sekaligus (keseluruhan dalam satu kesempatan). Sedangkan al-tanzil berlangsung secara terpisahpisah dalam rentang waktu 23 tahun. Oleh karenanya, setelah penjelasan alJa’l dan al-Inzal, Allah berfirman: fî shuhufin mukarramah marfû’atun muthahharah bi aidî safarah kirâmin bararah (Abasa: 13-16). Mengingat bahwa al-Qur’an memiliki wujud primordial pra al-Tanzil dan al-Tanzil berlangsung secara berangsur-angsur, muncul sebuah pertanyaan: mengapa proses al-Tanzil di bagi al-Qur’an, setelah ia mengalami Ja’l dan Inzal, tidak berlangsung secara keseluruhan dalam satu waktu? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah: Wa qâla alladzîn kafarû laulâ nuzzila ‘alaihi al-Qur’ânu jumlatan wâhidatan….(al-Furqan: 32) (Sahrur, 2007: 200201).
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
13
Di atas Sahrur menyatakan bahwa proses al-Inzal dan Ja’l pada alQur’an berlansung sekaligus. Adapun proses al-Tanzil, terjadi secara terpisah yang berlangsung selama 23 tahun. Yang tersimpan di lauh mahfûzh dan imâm al-mubîn adalah al-Qur’an saja, yatu yang memiliki wujud pra eksistensi sebelum mengalami proses al-Inzâl dan al-Tanzîl, oleh karenanya al-Qur’an mendapatkan tambahan berupa proses transformasi wujud (ja’l). Tafshil al-kitab dan umm al-kitab yang mengandung batas-batas hukum (al-Hudud), seperti ibadah ritual, nasehat, wasiat, dan pengajaran, keduanya tidak memiliki keterkaitan dengan lauh mahfûzh dan imâm al-Mubîn. Keduanya bukan bagian dari al-Qur’an tetapi bagian dari al-Kitab. Jika puasa Ramadhan tersimpan di lauh mahfûzh, tentulah ia menjadi bagian dari kalam Allah. Seandainya ia tersimpan dalam imam al-Mubîn, tentulah ia menjadi bagian dari fenomena alam. Sementara kalam Allah pasti terjadi dan fenomena alam adalah realitas obyektif yang bersifat pasti kejadiannyan (qauluhu al-Haqq). Jika demikian halnya, niscaya seluruh manusia akan berpuasa, baik bersedia atau menolaknya. Demikian pula dengan tema-tema umm al-Kitab yang lain. Seandainya ayat ‘abasa wa tawallâ an ja’ahu al-a’mâ (Abasa: 1-2) adalah bagian dari al-Qur’an, sementara mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadîm dan sekaligus kalam Allah, sehingga ia dianggap sebagai realitas pasti yang tersimpan sebelum terjadi, nisacaya ia menjadi realitas yang berada di luar kesadaran Nabi saw. Dalam pengertian, tidak ada kaitannya apakah hal tersebut sepengetahuan Nabi saw atau tidak diketahuinya. Dalam hal ini, Nabi saw tidak memiliki pilihan untuk berpaling atau tidak berpaling. Demikian pula, tidak ada pilihan bagi Abdullah bin Ummi Maktum yang buta untuk datang menemui Nabi ataukah tidak datang. Dalam kondisi ini, bersedia atau tidak, maka tidak ada pilihan lain. Dengan ungkapan yang lebih sederhana, risalah Muhammad menjadi semacam “dunia pewayangan” yang skenarionya telah ditetapkan lalu disampaikan kepada manusia sebagai ‘paket petunjuk’ bagi mereka. Konsekuensinya, hidup manusia layaknya “komedi Tuhan”, seakan-akan manusia adalah gambar hidup yang perbuatan dan kata-katanya telah di-setting dalam program tertentu sejak azali. Hidup ini menjelma menjadi “lawakan Tuhan”, dan konsep khilafah manusia di muka bumi tidak lain hanyalah tipuan (Sahrur, 2007: 207).
14 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
E. Prinsip-Prinsip Ta’wil Sebelum membahas lebih jauh teori hermeneutika Sahrur ada baiknya terlebih dahulu penulis mendudukkan padanan kata hermeneutika dalam pandangan Sahrur yang dipersamakan dengan kata takwil, bukan tafsir, dikarenakan Sahrur sering menggunakan istilah yang pertama kali (takwil) daripada yang terakhir untuk mengungkapkan teori-teorinya seputar hermeneutika. Hal ini, sejalan dengan tesis Ali Harb yang didasarkan pada sebuah fakta bahwa manusia itu dianggap “ada”, karena ia berfikir dan berbicara, menunjuk dan menyimbolkan, mengungkap dan membuktikan. Ini berarti, manusia tidak dapat berfikir dan merenung kecuali melalui bahasa. Sementara itu, takwil adalah berfikir dengan bahasa, dalam bahasa, dan untuk bahasa, maka setiap pemikiran menyandang watak hermeneutis (Harb, 2003: 21). Sahrur menetapkan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang harus dilakukan seseorang, jika ingin melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat alQur’an: Prinsip pertama, berpegang teguh pada bahasa Arab berdasarkan landasan berikut: (a) bahasa Arab tidak mengandung karakter sinonim, bahkan sebuah kata mungkin memiliki lebih dari satu makna (polisemi); (b) kata-kata berfungsi sebagai pelayan makna-makna, artinya sebagai sarana yang membantu untuk memperoleh makna; (c) pijakan kebahasaan bangsa Arab adalah makna, jika makna dibatasi akan mempermudah dalam pengungkapannya; (d) teks kebahasaan apapun tidak dapat dipahami kecuali dengan media yang dapat dipahami oleh akal dan kesesuaiannya dengan realitas objektif; (e) pembaca diharuskan memahami filologi bahasa Arab (fiqh al-Lughah). Prinsip kedua, para pengkaji diharuskan memahami hubungan wujud objektif dalam konsep al-Tanzîl dan kesadaran manusia terhadap wujud tersebut yang berada dalam konsep al-Inzâl. Prinsip ketiga, klasifikasi tematik yang diistilahkan dengan al-Tartîl, yang berarti menghimpun ayat-ayat yang terkait dengan satu tema kemudian merangkainya satu sama lain secara berurutan dan utuh. Upaya penerjemahan secara leterlijk terhadap ayat-ayat al-Kitâb secara berurutan seperti susunan mushaf dapat dianggap sebagai upaya pemborosan waktu, karena hanya akan mengaburkan pengertian.
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
15
Prinsip keempat, tidak terjebak dalam pemilahan atau pemisahan ayat (atomisasi) dengan asumsi bahwa setiap ayat memuat sebuah pemikiran utuh yang saling melengkapi (integral). Prinsip kelima, pemahaman terhadap rahasia mawâqi al-Nujûm fî alKitâb (lokasi-lokasi pemisah antar ayat). Prinsip ini oleh Sahrur dijadikan kunci utama dalam metode penakwilan al-Qur’an dan pemahaman ayat-ayat secara keseluruhan. Dan prinsip yang terakhir adalah perujukan silang terhadap berbagai informasi yang didapatkan (cross examination). Prinsip ini perlu dilakukan sebagai sarana menghindari pertentangan diantara ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an (Sahrur, 2007: 257-366). F.
Dasar-dasar Metodologi Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ini secara ilmiah, sementara kita sedang berada di ambang abad 21 Masehi yang bertepatan dengan abad 15 Hijriyah? Kita menerapkan prinsip ini atas dasar metodologi berikut: 1. Hendaknya kita menganggap bahwa Nabi baru saja wafat, dan al-Kitab telah diturunkan dengan susunan seperti yang ada pada mushaf sekarang ini, karena susunan ayat dalam al-kitab adalah ketentuan Tuhan (tauqîfi). 2. Menggali teori pengetahuan manusia (epistemologi) secara langsung dari al-Qur’an dan menyusun struktur/fondasi keilmuannya. Struktur teori ini menduduki masalah yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan oleh bangsa Arab-Muslim. Secara khusus, strukturasi teori ini merupakan tanggungjawab para filosof. 3. Tugas ulama adalah memahami ayat al-Qur’an dan jangkauan penakwilannya. Masing-masing memahami berdasarkan spesialisasi keilmuannya dengan syarat utama pemahaman tersebut dapat diterima akal. Karena al-Qur’an secara keseluruhan diterima rasionalitas manusia. 4. Penyesuaian produk akhir penemuan-penemuan ilmiah yang dicapai oleh ilmu-ilmu obyektif, masing-masing berdasarkan spesialisasi keilmuannya. Kondisi ini yang disebut Sahrur sebagai pengetahuan dunia inderawi dengan pemahaman rasional terhadap ayat yang hendak ditakwilkan. Kesesuaian (korespondensi) sempurna antara indra dan rasio, seperti bentuk bulat bumi dan gerakan revolusinya, gerakan atom dan bendabenda materi, dan hukum dialetika. Juga dalam korespondensi khusus, seperti ayat-ayat penciptaan manusia (basyar) yang penakwilannya dalam
16 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
5.
6.
7.
8.
bentuk piramida umum telah berhasil disusun oleh ilmuwan besar Charles R. Darwin (walaupun teorinya ini belum sempurna). Pada kondisi ini takwil akan menjadi sempurna dengan cara meluruskan yang salah dan menyempurnakan yang kurang dari teori yang digali tersebut. Terkait dengan ayat-ayat yang memuat berbagai tema yang belum dapat dibuktikan secara ilmiah inderawi, penakwilan terhadapnya dapat berupa peletakan teori yang dapat diterima rasio/akal secara temporer, dalam arti teori tersebut akan berkembang bersama dengan zaman hingga dapat dibuktikan secara indrawi. Sahrur mencontohkan teori fisika tentang bayangan. Para ahli fisika hingga saat ini masih meyakini bahwa bayangan adalah akibat dari keberadaan cahaya. Sementara pada saat yang sama, al-Qur’an menyatakan bahwa bayangan memiliki wujud sendiri yang terpisah dari cahaya. Cahaya yang ada pada kita hanya menunjukkan keberadaan bayangan, bukan peneybab keberadaannya, sebagaimana firman Allah (QS. al-Furqan: 45): “alam tara ilâ rabiika kaifa madda al-dzilla…; (QS. al-Furqan: 46): “tsumma qabadhnâhu ilainâ qadhban yasîran…. Takwil indrawi terhadap ayat kiamat, tiupan sangkakala, kebangkitan, hari akhir, surga dan neraka sebatas dapat diterima akal, yakni pada saat ia benar-benar terjadi. Adapun sebelum terjadi, ia hanya dapat ditakwilkan secara logis saja. Prinsip yang terpenting adalah kesadaran bahwa produk ta’wil pada saat ini bersifat relatif dan temporal. Ia dapat diruntuhkan oleh produk penakwilan terkini yang lebih baik dan rasional, karena produk penakwilan saat ini diperoleh berdasarkan relativitas pengetahuan kita terhadap realitas. Dalam memahami al-Qur’an kita harus kritis dan tidak pasrah begitu saja. Dinisilah peran ulama dan para pemimpin agama untuk memberdayakan al-Qur’an. Jika tidak, bisa jadi kedepannya al-Qur’an hanya dijadikan teks yang berisi petuah-petuah tidak penting yang kosong dari spirit perubahan, yang tidak muthabiq li kulli zaman wa makan.
G. Membaca Teori Batas (Hudûd) Teori batas dapat digambarkan sebagai berikut: perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-Hadd al-Adna) dan batas tertinggi (al-
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
17
Hadd al-A’la) bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketentuan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas tertinggi mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batas-batas ini dijadikan panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan. Sahrur membedakan enam bentuk batasan-batasan. Pertama, batasan minimum (Hadd Adnâ) ketika ia berdiri sendiri. Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebut dalam QS. al-Nisa’: 23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anakanak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menikah dengan keluarga yang termasuk kategori hubungan-hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat lain di luar anggota ikatan keluarga yang disebutkan tadi. Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini meski didasarkan pada ijtihad. Ijtihad hanya diperbolehkan pada usaha memperluas pihak yang diharamkan (Sahrur, 2007: 31-32). Kedua, batasan maksimum (hadd a’lâ) yang berdiri sendiri. Contoh batasan ini dapat ditemukan dalam QS. al-Maidah: 38. “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
18 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22 yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan (nakalan) dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Disini, hukuman ditentukan (potong tangan bagi pencuri) mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam kasus ini, hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Mujtahid bertanggungjawab untuk menganalisa illat-illat hukum yang berkaitan dengan kondisi si pencuri dan kadar barang curiannya, apakah layak dipotong tangannya ataukah hanya perlu diberi sanksi hukuman ringan. Dengan demikian, selamanya tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman kepada pencuri lebih berat dari hukum potong tangan, tetapi sangat dimungkinkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan (Sahrur, 2007: 34). Tipe ketiga terdiri dari batasan minimum dan maksimum ketika keduanya berhubungan. Contoh dari teori ini dapat dijumpai pada QS. al-Nisa’: 11 yang berhubungan dengan bagian warisan antara anak laki-laki yang berbanding dua dengan perempuan. “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh saparoh harta. Dan untuk dua orang ibubapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapatkan sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Menurut Sahrur, dari sisi prosentase, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat kurang dari 33,3 persen, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari 66,66 persen dari harta warisan. Jika wanita diberi 40
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
19
persen dan laki-laki 60 persen, pembagian ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas minimum dan maksimum. Adalah menjadi tugas kaum Muslimin untuk melakukan ijtihad dengan bergerak diantara batasan-batasan tersebut sesuai dengan kondisi obyektif yang melingkupinya. Pada saat yang sama, ijtihad dapat menerapkan prinsip ‘mendekat’ diantara dua batasan tersebut yang dapat diberlakukan hingga menjadi titik keseimbangan antara keduanya, yakni masing-masing dari laki-laki dan perempuan menerima 50%. Prinsip ini didasarkan atas kondisi pewarisan atau perkembangan latar historis yang obyektif, atau atas pertimbangan keduanya sekaligus (Sahrur, 2007: 38-40). Batas keempat adalah perpaduan antara batasan-batasan maksimum dan minimum. Yang menarik disini adalah bahwa dari seluruh kandungan alQur’an dan Sunnah hanya ada satu ayat dalam tipe ini, yakni QS. al-Nur: 2. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman”.
Disini, batasan maksimum dan minimum berpadu pada satu bentuk hukuman, yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpakan. Hukuman bagi pezina adalah tidak boleh kurang atau lebih dari seratus deraan (Sahrur, 2007: 43). Tipe kelima menjelaskan diperbolehkannya gerakan penentuan hukum diantara batasan maksimum dan minimum, atau posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan merupakan contoh tipe ini. Dimulai dari titik di atas batas minimum dimana keduanya sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung hanîfiyah** bergerak ke atas searah dengan batas maksimum di mana mereka hampir melakukan perzinahan, tetapi tidak sampai terjadi (Sahrur, 2007: 44). **. Sahrur memberi istilah bagi sifat lentur atau lengkung dari hukum Islam dengan hanifiyyah yang berlawanan dengan sifat pasti dan lurus dari hukum Islam, yang istilahnya dengan istiqamah. Kedua sifat ini merupakan sifat yang saling berlawanan, yang menciptakan hubungan dialektis antara keduanya sebagai hasil interaksi internal hidup manusia.
20 RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010. Hlm. 1-22
Posisi batas keenam, yaitu batas maksimum “positif tidak boleh dilewati dan batas bawah “negatif” boleh dilewati. Batas ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri atas batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba, dan batas minimal berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal ini berupa berbagai macam sedekah. Mengingat bahwa dua batas berupa satu garis di daerah positif dan satu garis di daerah negatif, titik tengah diantara keduanya berada pada posisi netral atau dilambangkan dengan nol. Pada dataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah. Berdasarkan teori ini dapat dipahami bahwa dalam penglihatan kekayaan, manusia memiliki tiga alternatif model distribusi ini. Mereka juga berkesempatan untuk bergerak diantara ketiganya sesuai dengan kondisi obyektif kehidupan yang disesuaikan dengan kondisi pihak penerima kekayaan. Ketiga model ini adalah riba, zakat dan sedekah (Sahrur, 2007: 45). KESIMPULAN Model dan metode pembacaan teks atau yang kita sebut hermeneutika bukan final action bagi proyek penggalian makna teks-teks keagamaan semisal al-Qur’an, karena produk yang dihasilkan oleh ta’wil (hermeneutika) pada saat ini, sebagaimana yang diamini Sahrur, dapat diruntuhkan oleh teori baru yang lebih baik seiring dengan perkembangan zaman. Produk penakwilan saat ini diperoleh berdasarkan relativitas pengetahuan ilmuwan terhadap realitas. Oleh karena itu, kajian yang terus menerus terhadap teks-teks keagamaan mutlak diperlukan agar generasi masa depan tidak terbelenggu oleh fanatisme butanya dan pada akhirnya akan mengalami stagnasi pemikiran. DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, cet. III, 2003. Bleicher, Josep, Hermeneutika Kontemporer; Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007. Faiz Fahrudin, Hermeneutika Qur’ani, Yogyakarta: Qalam, 2002. Gadamer, Hans-george, Truth and Metodh (terj.) Kebenaran dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Hermeneutika Sahrur (Mohammad Fateh)
21
Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2008. Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003. _______, Kritik Nalar Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2003 Hidayat, Qamarudin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutic, Jakarta: Paramadina, 1996. Munzir, Inyiak Ridwan, Hermeneutika Filosof Hans-George Gadamer, Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2008. Palmer, Richard E., Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka, 1995. Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007. Sahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: el-Saq Press, cet. III, 2007. _______, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: el-Saq Press, cet. II, 2007. Ricoeur, Paul, Hermeneutics and The Human Sciences, (terj.) Hermeneutika Ilmu-ilmu Sosial, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008. Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.