“Interpretasi Teks Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Maẖram: Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh: Ummi Hasanah NIM: 1112034000092
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H./2017 M.
ABSTRAK Ummi Hasanah Interpretasi Teks Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Maẖram
Hadis penyertaan maẖram dalam perjalanan seorang perempuan telah didengungkan sejak masa ulama klasik hingga modern saat ini. Dewasa ini, perbincangan terkait hadis maẖram tersebut muncul di kalangan civitas akademi, baik kalangan mahasiswa, dosen hingga ulama kontemporer melalui beragam pendekatan. Sebab pada perkembangannya, maẖram bagi perjalanan seorang perempuan merupakan salah satu fenomena sosial yang diperdebatkan. Jika hadis tersebut hanya dipahami secara tekstual, maka dianggap kurang relevan dengan kondisi dan situasi saat ini. Sehingga hadis tersebut perlu dikaji melalui pendekatan yang lebih sistematis, salah satunya melalui pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Hermeneutika Paul Ricoeur menghadirkan proses pemahaman yang disebut dengan interpretasi teks. Terdapat dua proses interpretasi sebagai proses analisis data, yaitu proses semiologi struktural (cakrawala teks) dan proses apropriasi. Proses analisis data teks hadis maẖram secara semiologi struktural menggambarkan tentang pelarangan perempuan bepergian dan keutamaan mendampingi istri yang hendak pergi haji dibandingkan berperang. Selanjutnya, mengungkapkan cakrawala peneliti, yaitu dunia yang tergambar dari dalam diri peneliti sendiri terkait kondisi dan situasi perempuan saat ini. Saat ini beberapa kasus kejahatan terhadap perempuan marak terjadi, sehingga tak heran banyak lembaga-lembaga sosial perempuan yang hadir dengan sederetan perundanganundangan. Tahap akhir adalah apropriasi, yakni penyatuan antara cakrawala teks dan cakrawala peneliti. Pemaknaan yang dapat di ambil melalui pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur dari hadis yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram adalah bentuk perlindungan dari lembaga berupa sederetan perundangundangan, aksi pejabat pemerintah, kepala pemerintahan serta masyarakat. Selain itu, peran maẖram dalam hadis tesebut adalah bentuk pencegahan secara konkrit bagi perempuan. Pencegahan tesebut dilakukan oleh keluarga dekat perempuan yang dalam hal ini adalah maẖram . Sehingga pendekatan ini merangkum secara kontekstual namun tidak melepaskan ati maẖram secara tekstual.
KATA PENGANTAR
Segala puji saya panjatkan kepada Allah SWT. yang memberikan begitu banyak nikmat dalam kehidupan yang saya jalani ini, terlebih nikmat untuk menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang kuliah S1 saya ini. Selanjutnya tak lupa saya haturkan shalawat serta salam kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta kepada seluruh umatnya. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) dari Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis, dan kini telah berubah menjadi jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Ilmu Hadis sebagaimana Surat Keputusan dari Kementrian Agama. Dan Judul yang penulis ajukan adalah “Interpretasi Teks Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram Perpektif Hermeneutika Paul Ricoeur”. Dalam penyusunan Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti perkuliahan di Fakultas tersebut hingga akhir. 2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. (selaku Ketua Jurusan) dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (selaku Sekretaris Jurusan) yang selalu memberikan kemudahan, baik dalam hal administari maupun yang lainnya kepada saya.
i
3. Dr. Fariz Pari, M. Fils. dan Rifqi Muhammad Fatkhi, MA. selaku dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing saya selama proses pembuatan skripsi. 4. Dr. Kusmana, MA. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan kemudahan kepada saya pada saat kuliah maupun saat proses awal perencaan pembuatan skripsi. 5. Drs. Fathuddin, MM. dan Sri Asih, kedua orang tua yang tak henti-hentinya mengirimkan doa dan semangat bagi penulis, serta adik-adik jagoanku Nur’aini, M. Fathul Badri, Nur Fadilla Putri, Ahmad Fathul Mudrikah dan si bontot Nur Syauqina. Teteh sayang kalian. 6. Para guru dan dosen yang telah mengajarkan dan memberikan saya ilmu pengetahuan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian semua. 7. Keluarga Besar PMII Komfuspertum, KOPRI PMII Ciputat, HIQMA UIN Jakarta. Terimakasih atas support kepada penulis. 8. Padepokan Syarhil Qur’an Lampung, Dr. Ahmad Rajafi, MH., Teh Naili Adilah Hamhij, S.Pd. dan teman-teman seperjuangan lainnya. Terimakasih atas kebersamaan selama ini. 9. Keluarga besar Pusat Studi Pesantren Bogor. Mas Ubaidillah, Mas Anick, Mbak Aniqoh, Mas Sajad dan Mas Adi, terimakasih atas dukungannya. 10. Sahabat-sahabat tercinta, Nur Ashlihah Mansur, S.Ag. yang selalu mendampingi saat suka dan duka, M. Alvin Nur yang sempat antar jemput waktu bimbingan, Arsyad Prayogi, Liyong, Itah, Ana, Desi, Leni, Nia, Hafi,
ii
bunda Lia, teman-teman TH C, teman kosan Kak Jannah dan masih banyak lagi, namun tidak bisa saya sebutkan semuanya. Tapi yang pasti saya sangat berterima kasih atas apa yang telah mereka lakukan. 11. Amin Nurridha, S.Pd.I yang telah menyemangati penulis bertahun-tahun lamanya, he. Saya berharap Allah membalas semua kebaikan kalian. Saya sadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Saya menganggap ini sebagai latihan saya menulis karya ilmiah. Bagi yang menemukan kesalahan, mohon berikan kritik dan saran sebagai bahan pembelajaran untuk lebih baik lagi ke depannya.
Ciputat, 29 Maret 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL................................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................1 B. Identifikasi Masalah..................................................................8 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................9 D. Tujuan Penelitian.....................................................................10 E. Kegunaan Penelitian................................................................10 F. Kajian Pustaka.........................................................................11 G. Metode Penelitian....................................................................15 H. Sistematika Penulisan..............................................................17
BAB II
KONSEP DASAR MAHRÂM A. Pengertian Maẖram.................................................................20 B. Maẖram dalam Al-Qur’an.......................................................21
iv
1. Maẖram yang Bersifat Selamanya...................................23 2. Maẖram yang Bersifat Sementara....................................26 C. Maẖram dalam Hadis..............................................................28 BAB III
ANALISIS HERMENEUTIKA ATAS HADIS PEREMPUAN MELAKUKAN PERJALANAN TANPA MAH̱RAM A. Pengertian Hermeneutika........................................................32 B. Hermeneutika Paul Ricoeur 1. Biografi.............................................................................34 2. Karya................................................................................35 3. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi.......................36 C. Analisis Hermenutika Paul Ricoeur Atas Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan tanpa Maẖram 1. Penafsiran Maẖram Secara Semiologi Struktural a. Teks Hadis.................................................................40 b. Cakrawala Teks Hadis...............................................45 2. Penafsiran Apropriasi a. Cakrawala Peneliti.....................................................48 b. Apropriasi.............................. ...................................53 D. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan tanpa Maẖram........................................................58
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan..............................................................................67
v
B. Saran........................................................................................67 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................69
vi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Cakrawala Teks.............................................................................47 2. Tabel 2 Apropriasi......................................................................................56 3. Tabel 3 Tinjauan Kritis Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Maẖram......................................................................................................63
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab yang padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
b
Be
ت
t
Te
ث
ts
te dan es
ج
j
Je
ح
h
ha dengan garis bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
De
ذ
dz
de dan zet
ر
r
Er
ز
z
Zet
س
s
Es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah
ض
ḏ
de dengan garis di bawah
ط
ṯ
te dengan garis di bawah
viii
ظ
ẕ
zet dengan garis di bawah
ع
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
Ef
ق
q
Ki
ك
k
Ka
ل
l
El
م
m
Em
ن
n
En
و
w
We
ه
h
Ha
ء
`
apostrof
ي
y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fatḫah
َ
i
kasrah
َ
u
ḏammah
ix
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َي
ai
a dan i
َو
au
a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ىا
Â
a dengan topi di atas
ىي
Î
i dengan topi di atas
ىو
Û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu الdialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tasydȋd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (َ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan x
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh haruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضَّروْ رةtidak ditulis dengan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbȗtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berarti sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t). namun jika huruf ta marbûtah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” Huruf Kapital Huruf kapital yang digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku delam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sangangnya. Contoh : =البخاريal-Bukhârî
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konsep maẖram bukan hanya sekali atau dua kali diperbincangkan dalam dunia pemikiran Islam. Imam Amrusi Jailani dalam artikelnya yang berjudul Memposisikan Maẖram
dalam Konteks Kehidupan Kekinian
meninjau konsep maẖram melalui perspektif fikih serta meninjau ulang konsep maẖram dengan era modern saat ini. Selain itu, Ahmad Alfikri Suryadinata menghadirkan pemahaman kontekstual atas hadis-hadis seputar maẖram dalam artikelnya yang berjudul Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Maẖram dalam Kutub Al-Tis’ah. Kata maẖram
berasal dari lafal harâm yang berarti terlarang atau
dilarang dan merupakan ism maf’ûl, bentukan dari kata harama (fi’il mâdhi), atau bisa juga harima dan haruma, dengan jama’-nya mahârim memiliki makna mâ lâ yahillu intihâkuhâ, yaitu sesuatu yang tidak boleh dilanggar).1 Maẖram itu sendiri telah disebutkan di dalam al-Qur’ān surat an-Nisā ayat 22 sampai
1
Luîs Ma’lûf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Cet. XCII (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2007), h.128.
1
2
24.2 Di dalam al-Qâmus al-Muẖît dikatakan raẖimun-maẖram un maknanya muẖarramun tazawwajuhâ3, yang berarti mereka yang haram untuk dikawini. Nur Rofiah, aktivis dan peneliti isu-isu hak-hak perempuan mengatakan bahwa pada umumnya maẖram ini muncul dalam konteks membedakan antara laki-laki dan perempuan asing (yang tidak ada ikatan saudara atau nasab) dengan yang bukan. Mereka yang tidak termasuk dalam kategori maẖram di anggap sebagai orang asing yang harus dijaga “jarak aman”-nya sehingga mempunyai etika relasi yang berbeda dengan maẖram . Misalnya boleh menikahi, membatalkan wudhu, tidak berhak mendampingi perempuan ketika bepergian, tidak boleh berjabat tangan dan tidak boleh berduaan.4 Salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat adalah pemahaman perlunya maẖram bagi perempuan yang hendak bepergian. Terdapat beberapa hadis yang melarang perempuan bepergian tanpa disertai maẖram nya.
َمحْ َر ٍم ذِي َم َع إِالَّ َثالَ ًثا ْال َمرْ أَ ُة َُت َساف ِِر ال “Janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali bersama maẖram nya”
2
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudarasaudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau 3 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap edisi II (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.257. 4 http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=622:opiniedisi-33--memaknai-kembali-konsep-mahram&catid=33:opini-suara-rahima&Itemid=305
3
Atas dasar ini, yang berstatus maẖram boleh menemani karena tidak boleh menikahi dan yang bukan maẖram tidak boleh menemani karena boleh menikahi5, demikian pendapat al-Nawawî dalam kitab Syarh S̱aẖiẖ Muslim. Jumhur ulama memahami hadis tersebut cenderung tekstualis-literalis, sehingga menurut mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika mau melakukan perjalanan jauh yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi maẖram nya.6 Fenomena lainnya terjadi ketika sebuah peraturan daerah syariat ditetapkan, salah satu contohnya adalah Perda Kabupaten Goa Nomor 7 tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani maẖram -nya, khususnya pada selang waktu pukul 24.00.7 Meski di sebagian daerah belum ada tanda-tanda usulan pelaksanaan syari’at Islam tersebut, namun hal ini tentunya agak mencemaskan bagi sebagian kaum perempuan. Kenapa harus bersama maẖram ? Abdul Mustaqim menyatakan, bahwa maksud maẖram dalam al-Qur’ân berkaitan dengan konsep munakahat dimana di situ dilarang menikahi para maẖram , dan maksud lainnya adalah memberikan perlindungan, karena kenyataannya keluarga dekat yaitu maẖram
yang
memberikan perlindungan biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup
Al-Nawawî, S̱ahi̱ ̱̂ h Muslim bi Syarhi al-Nawawî II (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h.103. Muhyiddin Abu Zakariyya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah S̱ aẖ ̱̂ ih Muslim, Jilid V (Beirut: Darul Kitab, t.t.), h.104-105. 7 Sabid HM., “Rekonstruksi Fiqh Jinayat Terhadap Perda Syariat Islam,” Islamica’, V.6, no.2 (Maret 2012): h.331. 5 6
4
kuat, sehingga pengaman dan perlindungan bisa diberikan.8 Namun, jika perempuan tersebut tidak memiliki maẖram , lantas siapa yang dapat memberikan perlindungan baginya. Di sisi lain, saat kekerasan terhadap perempuan marak terjadi. Salah satu kisah kekerasan yang viral akhir-akhir ini, yakni kisah Yuyun yang diperkosa oleh 14 pemuda hingga menyebabkan kematian. Dan kasus Eno, pekerja asal Tangerang yang mendapatkan perlakuan naas dari kekasihnya sendiri. Kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan ini merupakan jenis pelanggaran hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan serta hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. Jika hadis tentang penyertaan maẖram dalam perjalanan perempuan jika dipahami secara tektualis, maka akan menciptakan ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki. Persoalan ini dapat mendeskriditkan ajaran Islam yang dianggap menghambat gerak perempuan.9 Selain itu, kekerasan terhadap perempuan semakin marak terjadi, maka semestinya reinterpretasi terhadap hadis ini perlu dilakukan, sehingga Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin bisa menjamin hak-hak perempuan, keselamatan dan keamanan bagi perempuan. Diakui atau tidak, sebagian besar umat Islam masih berpegang teguh pada teks, baik al-Qur’ân dan hadis, namun mestinya kita tidak terjebak pada teks
8 Abdul Mustaqim, “Konsep Mahram dalam Al-Qur’ân (Implikasinya dalam Mobilitas Kaum Perempuan di Ranah Publik),” Musâwa, V.6, no. 1 (Januari 2010): h.11. 9 Atiyatul Ulya, “Konsep Mahram Jaminan Keamanan atau Pengekangan Perempuan,” Al-Fikr V. 17, no. 1(2013): h.238.
5
yang legal formalistik, melainkan bagaimana mengambil pesan moral yang ada dibalik teks tersebut. Salah satunya hadis Nabi, yang merupakan salah satu sumber utama agama Islam di samping al-Qur’ān, mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.10 Pemahaman seseorang dari generasi ke generasi selalu mengalami banyak perubahan dari segi sosio-kultural, sehingga menuntut untuk melakukan penafsiran kembali terhadap teks-teks hadis sesuai dengan realitas kekinian, dengan membandingkan realitas ketika suatu hadis dikeluarkan dengan realitas sekarang.11 Penelitian hadis ini dapat dilakukan dengan pendekatan apapun, termasuk hermeneutika. Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja hermeneuin yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang berarti “interpretasi”.12 Hermeneutika mempunyai perangkat yang memungkinkan mendapatkan penafsiran yang sesuai dengan kehendak pemberi pesan. Perangkat hermeneutika mempertimbangkan analisis yang komperehensif baik dari sisi agen (pengarang, teks, konteks dan pembaca), alat analisis (metode, pendekatan, paradigma, kebahasaan dll), validitas dan konten.13
10
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2009), h.4 11 Muhlis Adi Putra, “Hadis-hadis tentang Larangan bagi Perempuan Berpuasa Sunnah tanpa Izin Suami (Studi Ma’ani al-Hadis),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2003), h. 3. 12 Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi Penerjemah Musnur Hery daan Damanhuri Muhammad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2. 13 Kusmana, Hermeneutika Al-Qur’ân : Sebuah Pendekatan Praktis Aplikasi Hermeneutik Modern dalam Penafsiran Al-Qur’ân (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h. 12.
6
Hermeneutika pada awal perkembangannya lebih sebagai gerakan eksegesis
di kalangan gereja, kemudian berkembang menjadi “filsafat
penafsiran” yang dikembangkan oleh F.D.E. Schleiermacher. Ia dianggap sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Kemudian Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi
ilmu
kemanusiaan
(Geisteswissenschaften).
Lalu,
Hans-Gadamer
mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama di dalam bukunya yang terkenal, Truth and Method. Selanjutnya hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filosof seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas dan Jacques Derrida.14 Richard E. Palmer membagi hermeneutika dalam enam kategori, yaitu : (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.15 Richard E. Palmer menempatkan posisi hermenutika Paul Ricoeur pada hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Paul Ricoeur adalah seorang filosof kondang yang juga dikenal sebagai tokoh hermeneutik dari Perancis Selatan. Hermeneutika didefinisikan oleh Ricoeur dalam From Text to Action: Essays in
14 Abdul Wachid B.S., “Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur,” ‘Ibda’, V. 7, no. 1, (Januari-Juni 2009): h. 165. 15 Richard E. Palmer, Hermeneutika, teori Baru Mengenai Interpretasi, h. 15.
7
Hermeneutics, sebagai teori interpretasi teks (the theory of the operations of understanding in their relation to the interpretation of texts).16Interpretasi teks yang dimaksud adalah sebuah pembacaan makna yang tersembunyi di dalam teks yang mengandung makna yang tampak. Paul Ricoeur mengemukakan konsep cakrawala atau horizon, baik terhadap teks maupun pada manusia yang dalam hal ini adalah seorang pembaca. Pada akhirnya, interpretasi teks inilah yang dapat digunakan untuk menyingkap makna kenyataan yang tersembunyi di dalam teks. Hermeneutika di dunia Islam sampai saat masih menuai perdebatan, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Kelompok yang kontra beralasan karena hermeneutika adalah ilmu yang berasal dari Barat dan menurut sejarahnya digunakan dalam penelitian otentisitas Bible (Alkitab). Padahal ada sebagian pemahaman klasik yang cenderung tekstualis dan formalistik. Dalam ranah hadis Nabi saw. sendiri, bila hadis telah dinyatakan shahih, maka ia akan menerima tanpa reserve. Pendekatan ini memberikan kesan kepada kita pada kecenderungan mengabaikan pendekatan dengan menggunakan nalar, akal intelek dan daya intuisi. Namun, terlepas dari perdebatan tersebut sejumlah cendikiawan muslim telah menggunakan metode hermeneutika ini dalam kajian keislaman termasuk interpretasi memahami dan memaknai hadis.17 Sehingga, dalam tulisan ini, saya tertarik untuk mengkaji hadis perempuan yang melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram
melalui
16 Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Penerjemah Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), h. 149. 17 Ansor Bahary, “Memahami Hadis “Kepemimpinan Wanita (Studi Interpertasi Hermeneutika-Gender Khaled M. Abou El Fadl),” Narasi V.1 no.1 (Juni 2015): h. 13.
8
pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. Mengingat perlunya memahami ulang hadis tersebut, dengan melihat problematika sosial yang terjadi saat ini. Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengintegrasikan hermeneutika sebagai teori memahami hadis terkait maẖram . Oleh karena itu, judul skripsi yang saya ambil adalah “Interpretasi Teks Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Maẖram : Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur”. B. Identifikasi Masalah Dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa persoalan yang dapat dibagi: 1. Konsep penyertaan maẖram di dalam hadis perjalanan perempuan dipahami oleh sebagian ulama cenderung tekstualis-literalis, sehingga menurut mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika mau melakukan perjalanan jauh yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi maẖram -nya. Term ini menciptakan legalisasi pengekangan terhadap perempuan. 2. Maẖram dalam al-Qur’ân berkaitan dengan konsep munâkahat yang berisi larangan menikahai para maẖram , dan maksud lainnya adalah memberikan perlindungan, karena kenyataannya keluarga dekat yaitu maẖram
yang
memberikan perlindungan biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga pengamanan dan perlindungan bisa diberikan. Namun, bagaimana jika perempuan tidak memiliki maẖram , haruskah ia terkungkung di rumah saja dan siapa yang bisa memberikan perlindungan baginya.
9
3. Dewasa ini, perempuan yang bepergian tanpa didampingi oleh maẖram sudah banyak ditemukan. Perempuan melakukan berbagai aktifitasnya di luar rumah dan berbaur dengan masyarakat luas, baik itu bagian dari maẖram -nya atau bukan. Apakah hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan kini telah melanggar hadis Nabi? 4. Hermeneutika di dunia Islam sampai saat masih menuai perdebatan, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Perdebatan diawali dengan pemahaman bahwa hermeneutika merupakan ilmu dari Barat dan dahulu digunakan untuk penelitian otentisitas Bible (Alkitab). Lalu, bagaimana jika hermeneutika digunakan dalam mengambil makna yang terkandung dalam hadis yang merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’ân . Inilah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, dengan memberikan gambaran tentang makna yang terkandung di dalam hadis yang menyebutkan tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan kecuali disertai maẖram nya. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Hadis tentang larangan perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram
telah banyak diriwayatkan oleh perawi hadis, namun penulis
membatasi pembahasan pada poin ketiga dengan mengambil hadis dengan sebagian besar memiliki lafadz yang sama, yaitu
“Tidak boleh seorang
perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari tanpa disertai maẖram ” dan “Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram dan
10
janganlah seorang laki-laki menemuinya. Seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah saw., saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji’, maka Rasul menjawab, ‘Berangkatlah bersamanya (istrimu).” Hadis ini diriwayatkan dalam kitab S̱aẖîẖ al-Bukhâri, S̱haẖîẖ Muslim, Sunan al-Turmudzi, Sunan Abû Dâud, Sunan Ibnu Mājah, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan al-Dârimiy. Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalah yang penulis angkat di dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa maẖram dipandang dengan hermeneutika Paul Ricoeur?”. D. Tujuan Penelitian Dengan seiringnya rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu: 1. Untuk memahami kembali pemahaman hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram . 2. Untuk memahami kajian hermeneutika sebagai teori interpretasi teks dalam memahami makna hadis tentang tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram dengan menggunakan pemahaman hermeneutika Paul Ricoeur.
E. Kegunaan Penelitian
11
Dari hasil penelitian ini mempunyai kegunaan secara prakris dan teoritis. Adapun kegunaan tersebut sebagai berikut: 1. Mendapatkan pemahaman ulang dalam memahami hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram . 2. Mendapatkan pemahaman yang jelas seputar kajian hermeneutika sebagai teori interpretasi teks dalam mengambil makna hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram
dengan menggunakan
pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur. F. Kajian Pustaka Setelah melakukan penelusuran dari berbagai penelitian, sejauh pengamatan dan pencarian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang sejalan dengan kajian ini: 1. Buku Penulis menemukan buku yang di dalamnya memuat bahasan seputar hermeneutika, diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Masykur Wahid dengan judul Teori Interpretasi Paul Ricoeur yang diterbitkan oleh Lkis pada tahun 2015. Buku ini merupakan publikasi dari karya ilmiah “tesis” yang ditulis di dalam ruang perkuliahan Program Studi Ilmu Filsafat Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Di dalam bukunya terdapat pembahasan seputar sejarah hermeneutika sejak zaman kuno hingga modern, tokoh-tokoh hermeneutika serta metode Paul Ricoeur dalam melakukan interpretasi terhadap teks.
12
Buku lain seputar hermeneutika yang penulis dapatkan adalah buku yang berjudul Hermeneutika Kontemporer karya Josef Bleicher yang telah diterjemahkan oleh Ahmad Norma Permata dengan judul asli Contemporary Hermeneutics dan diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru pada tahun 2003. Dalam buku tersebut dibahas seputar teori-teori hermeneutika klasik hingga modern dan di bagian akhir terdapat bahasan mengenai perspektif hermeneutika baru yang dilakukan oleh Paul Ricoeur. Selanjutnya buku dengan judul Teori Interpretasi karya Paul Ricoeur yang telah diterjemahkan oleh Musnur Hery dengan judul asli Theory of Interpretation: Discourse and the Surplus of Meaning dan diterbitkan oleh IRCiSoD pada tahun 2014. Buku tersebut merupakan kumpulan kumpulan artikel Paul Ricoeur saat mengajar di Universitas Kristen Texas. Di dalamnya berisi pembahasan seputar filsafat bahasa, semantik, makna sebagai arti dan referensi, simbol dan lain-lain. 2. Artikel Penulis mendapatkan beberapa artikel ilmiah yang membahas seputar maẖram dalam perjalanan perempuan dan kajian hermeneutika, diantaranya adalah artikel yang ditulis oleh Atiyatul Ulya dengan judul “Konsep Maẖram Jaminan Keamanan atau Pengekangan Perempuan” dalam jurnal AL-FIKR, Vol. 17, no. 1 (2013). Ia menjelaskan seputar pemaknaan hadis atas maẖram dengan pendekatan Ilmu Ma’an al-Hadis. Dalam tulisannya terdapat penelusuran hadis-hadis terkait maẖram serta kondisi sosial ketika hadis-hadis disampaikan, pemahaman ulama terhadap teks hadis dan analisis terhadap teksteks hadis yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat ini.
13
Artikel lainnya, yang ditulis oleh Abdul Mustaqim yang berjudul “Konsep Maẖram dalam Al-Qur’ân : Implikasinya Bagi Mobilitas Kaum Perempuan di Ranah Publik” dalam jurnal MUSÂWA, Vol. 9, no. 1 (Januari 2010). Ia menjelaskan tentang term maẖram yang terdapat dalam al-Qur’ân , lalu melakukan rekontruksi terhadap hadis-hadis terkait maẖram
dengan
pendekatan para ulama, seperti Yûsûf al-Qarâdhâwi dan mengaitkannya dengan fenomena perda syariat yang berlaku di beberapa daerah. Artikel seputar kajian hermeneutika yang penulis dapatkan adalah artikel yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. yang berjudul “Heremeneutika sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur” dalam jurnal IBDA’, Vol. 7, no. 1 (JanuariJuni 2009). Ia menjelaskan sekilas tentang gambaran umum seputar hermeneutika. Lalu dijelaskan pula sistem interpretasi teks yang dilakukan Paul Ricoeur untuk mendapatkan makna sebenanya dari sebuah teks, hingga pada akhirnya dijelaskan pula bahwa interpretasi selalu bersifat open-ended Yang berarti tidak pernah memiliki titik akhir. 3. Skripsi Selain artikel-artikel di atas, penulis juga menemukan skripsi terkait dengan maẖram , diantaranya adalah skripsi yang berjudul “Kontekstualisasi Hadis Penyertaan Maẖram dalam Perjalanan Seorang Perempuan” yang disusun oleh Nur Laili Syahidah tahun 2013. Di dalamnya dikemukakan cara memahami hadis secara produktif yaitu dengan memahami teks dan juga konteks serta maqâsid syâri’ah dalam dalalah hadis tersebut. Maẖram bagi seorang wanita khususnya dalam masalah safar adalah salah satu fenomena
14
sosial yang diperdebatkan Jika hadis yang membicarakan hal tersebut dibaca secara tekstual, maka di anggap kurang relevan dengan realita sosial yang ada di masa sekarang. Maka perlu ditilik kembali dalalah dari hadis yang membicarakan tentang hal itu. Dengan melihat berbagai sisi yang ada di sekitar hadis tersebut. Maka peneliti skripsi ini membahas tentang hadis-hadis dari berbagai riwayat serta kualitasnya dari segi sanad pada riwayat Imam alBukhâri dan mengkaji dengan pendekatan maq̱̂ asid syâri’ah. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah dengan skripsi yang berjudul “Telah Atas Pemikiran Yûsûf al-Qarâdhâwi dalam Memahami Hadis : Tinjauan Hermeneutika” pada tahun 2003. Dicantumkan tujuh metode Yûsûf al-Qarâdhâwi dalam memahami hadis, yaitu (a) Memahami as-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur’ān; (b) Perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur’ān; (c) Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema yang sama; (d) Pentarjihan atas hadis-hadis yang nampak bertentangan; (e) Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan dan tujuannya; (f) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tepat; dan (g) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz. Serta di dalamnya terdapat pengaplikasian teori-teori hermeneutik. 4. Disertasi Disertasi yang ditulis oleh Fariz Pari yang berjudul “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan
15
terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat Garut” pada tahun 2005. Dalam penelitiannya, ia menjelaskan bahwa dalam konteks keagamaan, perilaku masyarakat beragama ditentukan oleh pemahaman terhadap agamanya,
yang
diwujudkan
dalam
bentuk
interpretasi
sehingga
interpretasinya juga merupakan interpretasi keagamaan. Penggunaan metodologi hermeneutik Ricoeur dalam penelitian keagamaan Islam mencakup segala bentuk kebudayaan (teks keagamaan al-Qur’ân dan hadis Rasulullah saw., ucapan verbal, gerak kinetis dan artefak). Dalam tulisannya dijelaskan pula tahap-tahap atau teknis prosedur penerapan metodologi hermeneutik Paul Ricoeur yang terdiri atas dua prosedur. Yaitu, prosedur semiologi struktural dan prosedur hermeneutik. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti.18 2. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis (library research) maka pengumpulannya ialah degan cara menelusuri kitab-kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Datadata tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data, yaitu sumber data
18
2002), h. 3.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
16
primer dan sumber data sekunder. Sumber primer yang menjadi rujukan utama adalah hadis yang terdapat dalam kitab S̱aẖîẖ al-Bukhâri, Shaẖîẖ Muslim, Sunan al-Turmudzi, Sunan Abû Dâud, Sunan Ibn Mājah, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan al-Dârimiy. Sedangkan sumber tulisan yang menjelaskan metode hermeneutika untuk
memahami
sebuah teks,
diantaranya buku “Hermeneutika Kontemporer” karya Josef Bleicher yang diterjemahkan oleh Ahmad Norma Permata (2003), buku “Teori Interpretasi” Paul Ricoeur yang diterjemahkan oleh Musnur Hery (2015) dan disertasi Fariz Pari yang berjudul “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat Garut” pada tahun 2005. 3. Cara Pengumpulan Data Dalam
mengumpulkan
data-data
untuk
penelitian,
penulis
mengumpulkan hadis-hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram
dengan menggunakan aplikasi Maktabah al-Syâmilah.
Aplikasi ini menyajikan data-data yang memadai. Disamping itu, kitab ini lebih mudah digunakan. 4. Analisis Data Setelah data-data terkumpul, penulis langsung menggunakan metode hermeneutika dalam memahami hadis. Sebagaimana diungkapkan dalam teori hermeneutik Ricoeur, terdapat dua proses interpretasi sebagai proses analisis data, yaitu proses semiologi struktural dan proses apropriasi. Proses analisis data teks hadis secara semiologi struktural adalah dengan cara
17
menerjemahkan tanda-tanda berbahasa Arab menjadi bahasa Indonesia sesuai dengan kamus bahasa. Di sisi lain, peneliti melakukan cakrawala dari teks itu sendiri, lalu melakukan cakrawala peneliti terhadap teks. Berdasarkan cakrawala teks dan cakrawala peneliti, peneliti melakukan interpretasi terhadap teks tersebut dan hasil interpretasi ini merupakan interpretasi apropriasi peneliti. Dalam proses analisis selanjutnya, hasil apropriasi peneliti kemudian dibandingkan dengan teks keagamaan untuk menemukan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan pemahaman dari teks keagamaan. Berdasarkan seluruh proses tahapan di atas dilakukan evaluasi dan analisis lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan penelitian dan berbagai implikasi hasil penelitian ini. 5. Teknik Penulisan Adapun mengenai teknik penulisan dan transliterasi, saya merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development Ana Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sebagai pedoman transliterasi, saya menggunakan pedoman transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988. H. Sistematika Penulisan
18
Dalam Skripsi ini penulis membagi bahasan menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan yang mendeskripsikan perdebatan seputar hadis penyertaan maẖram dalam perjalanan perempuan, sehingga perlu adanya pemahaman ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai maksud dari hadis tentang penyertaan maẖram
dalam
perjalanan perempuan. Ulasan bab ini terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang digunakan, sistematika penelitian. Dengan kata lain, bab ini sebagai kerangka dari seluruh ini penelitian. Sedangkan secara terperinci hasil penelitian tersebut peneliti ulas dalam bab selanjutnya. Bab kedua, membahas lebih jelas tentang definisi maẖram , kemudian mengklasifikasikan konsep maẖram
yang telah disebutkan di
dalam al-Qur’ân , kemudian menelaah hadis-hadis yang berbicara seputar maẖram . Sehingga dari sini lain akan terlihat hasil pemahaman dari literaturliteratur Islam seputar maẖram . Bab ketiga, berbicara seputar hermeneutika Paul Ricoeur, yaitu meliputi pengertian hermeneutika secara umum, biografi, karya-karya, pemikiran hermeneutika secara umum, dan pemahaman teks Pau Ricoeur. Serta mengaplikasikasikan hadis tentang penyertaan maẖram perjalanan
seorang
perempuan
dengan
menggunakan
dalam
pendekatan
hermeneutika Ricoeur, dengan melihat makna yang dapat diambil dari hadis
19
Nabi tersebut. Sehingga mendapatkan pemahaman lain bagi pembaca tentang makna yang terkandung dalam hadis Nabi tentang penyertaan maẖram dalam perjalanan seorang perempuan. Lalu, terdapat tinjauan kritis antara model pendekatan hermeneutika dengan pendekatan kajian keislaman lainnya, sehingga ditemukan perbedaan maupun keserasian yang saling melengkapi. Bab keempat, merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan jawaban atas permasalahan yang diteliti, dilengkapi dengan saran-saran yang dapat direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya dari penelitian ini, sekaligus sebagai pamungkas dari penelitian ini.
BAB II KONSEP DASAR MAH̱RAM A. Pengertian Maẖram Kata maẖram berasal dari lafal harâm yang berarti terlarang atau dilarang dan merupakan ism maf’ûl, bentukan dari kata harama (fi’il mâdhi), atau bisa juga harima dan haruma, dengan jama’-nya mahârim memiliki makna mâ lâ yahillu intihâkuhâ (sesuatu yang tidak boleh dilanggar).1 Istilah maẖram
secara etimologi berasal dari kata harama
yang
berbentuk masdar mim , maẖramun yang artinya “yang haram, terlarang dan kerabat yang haram dinikahi”.2 Sedangkan menurut terminologi adalah orang yang haram untuk dinikahi oleh laki-laki yang hendak menikahinya, baik maẖram abadi (muabbad)3 maupun maẖram sementara (muaqqat).4 Kata haram disebutkan beberapa kali di dalam al-Qur’ân dalam konteks yang berbeda-beda, di antaranya berkaitan dengan makanan yang diharamkan seperti bangkai, darah, daging babi, lalu berkaitan dengan larangan praktik riba, lalu berkaitan dengan kemuliaan bulan, yang terakhir berkaitan dengan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi.
Luîs Ma’lûf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Cet. XCII (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2007), h.128. 2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.257. 3 Muabbad adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan orang yang haram dinikahi selamanya. 4 Muaqqat adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan orang yang haram dinikahi yang bersifat sementara 1
20
21
Hingga kemudian para ulama menyatakan definisi maẖram secara syar’i menjadi meraka yang haram untuk dikawini dengan pengharaman yang mengikat. Yang dimaksud mengikat di sini adalah unsur dosa atau melanggar hukum dan tiadanya kesahan jika dilakukan pernikahan. B. Maẖram dalam Al-Qur’ân Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam al-Qur’ân , kata haram dengan segala derivasinya disebut delapan puluh tiga kali dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Sebagian berkaitan dengan masalah makanan yang diharamkan, seperti bangkai, darah dan daging babi (Q.S. al-Bâqarah: 173, alAn’âm: 145). Sebagian berkaitan dengan larangan praktik riba (Q.S. alBâqarah: 275), sebagian berkaitan dengan kemuliaan bulan. Sebagian lagi berbicara tentang perempuan-perempuan yang dilarang untuk dinikahi, sebab hubungan nasab atau persusuan atau mushaharah (perbesanan) yang merupakan fokus bahasan pada bagian ini. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân , surat an-Nisâ ayat 22-24 sebagai berikut:
َۚ وا ما نكح ءابآؤكم ِّمن ٱلنِّسآء إ ََّل ما ق ۡد سل ْ وَل تنكح ف إنَّهۥ كان َٰفحش ٗة وم ۡق ٗتا وسآء سبي اًل حرِّ م ۡت عل ۡيكمۡ أ َّم َٰهتكمۡ وبناتكمۡ وأخ َٰوتكمۡ وع َٰ َّمتكمۡ و َٰخ َٰلتكمۡ وبنات ۡٱۡلخ وبنات ٱ ۡۡل ۡخت وأ َّم َٰهتكم َٰ َٰ ٱ َٰلَّت ٓي أ ۡرض ۡعنكمۡ وأخ َٰوتكم ِّمن ٱلر َّضعة وأ َّم َٰهت نسآئكمۡ ور َٰبٓئبكم ٱلَّتي في حجوركم ِّمن نِّسآئكم ْ ٱ َٰلَّتي دخ ۡلتم به َّن فإن لَّمۡ تكون ۡ وا دخ ۡلتم به َّن فًل جناح عل ۡيكمۡ وح َٰلٓئل أ ۡبنآئكم ٱلَّذين م ۡن أ ۡص َٰلبكم َۗ وا ب ۡين ۡٱۡل ۡخت ۡين إ ََّل ما ق ۡد سل ْ وأن ت ۡجمع َّ ف إ َّن ٗ ٱَّلل كان غف ورا رَّح ٗيما ۞و ۡٱلم ۡحص َٰنت من ْ ٱَّلل عل ۡيكمَۡۚ وأح َّل لكم َّما ور ٓاء َٰذلكمۡ أن ت ۡبتغ َّ ٱلنِّسآء إ ََّل ما ملك ۡت أ ۡي َٰمنكمۡۖۡ ك َٰتب وا بأمۡ َٰولكم َۚ َۚ ُّم ۡحصنين غ ۡير م َٰسفح ۡ ين فما ۡٱستمۡ ت ۡعتم بهۦ م ۡنه َّن فاتون َّن أجورن َّن فريض ٗة وَل جناح عل ۡيكم َّ فيما ت َٰرض ۡيتم بهۦ م ۢن ب ۡعد ۡٱلفريض َۚة إ َّن ٱَّلل كان علي اما حك ٗيما
22
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Latar belakang turunnya ayat di atas, dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Juraij pernah bertanya kepada ‘Ata tentang maksud wa hal’ilu abnikum al-ladzîna min aslâbikum (dan diharamkan bagimu) istriistri anak kandungmu (menantu). Kemudian ‘Ata menjawab: “Kami pernah memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi saw. dengan bekas istri Zaid bin Harîtsah (anak angkat nabi).” Lantas kaum musyrikin mempergunjingkannya, sehingga turunlah ayat tersebut di atas dan juga Q.S. al-Ahzab: 4 dan 40, sebagai penegasan terhadap pembenaran perkawinan dengan bekas istri anak angkat. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jârir yang bersumber dari Ibnu Juraij).5
Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbâbun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’ân (Bandung: C.V. Penerbit Diponegoro, 2007), h. 133-134. 5
23
Dari ayat yang tertera di atas, maka sebab terjadinya maẖram dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, maẖram yang bersifat selamanya, dan kedua, maẖram yang bersifat sementara. 1. Maẖram yang Bersifat Selamanya Berdasarkan surat an-Nisâ ayat 23, maka sebab-sebab seorang laki-laki haram menikahi seorang perempuan selama-lamanya terbagi menjadi tiga, yaitu nasab (keturunan), perkawinan dan persusuan. a. Pengharaman Karena Nasab (Keturunan) 1) Ibu. Ibu di sini adalah perempuan yang mengandung dan melahirkan anak laki-laki. Hubungan antara ibu dan anak inilah yang menyebabkan adanya ikatan maẖram . Lalu ibunya dari ibu, yaitu nenek hingga ke atas, baik dari jalur bapk atau jalur ibu.6 2) Anak Perempuan. Anak perempuan di sini adalah anak yang dilahirkan oleh istri maupun anak kandung. Anak perempuan hingga ke bawah baik cucu perempuan dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan. Termasuk anak kandung dan tiri, cucu dan cicit dengan semua tingkatannya. 3) Saudara Perempuan, yaitu saudara-saudara perempuan sekandung, sebapak atau seibu. 4) ‘Ammah, yaitu bibi dari pihak ayah, perempuan yang menjadi saudara kandung ayah, atau saudara perempuan ayah dari salah satu orang tua
Muhammad bin Ibrahîm Alu asy-Syaikh, Fatwa-fatwa tentang Wanita Penerjemah Majmuah (Jakarta: Darul Haq, 2011), h. 148. 6
24
ayah. Termasuk saudara-saudara perempuan kakek, baik sekandung, sebapak dna seibu. 5) Khalah, yaitu bibi dari pihak ibu. Saudara-saudara ibu atau saudarasaudara nenek yang perempuan hingga ke atas, baik sekandung, sebapak atau seibu. 6) Anak perempuan dari saudara laki-laki. Mereka adalah keponakan, anak perempuan dari saudara laki-laki, baik kandung maupun anak tiri. 7) Anak perempuan dari saudara perempuan. Mereka adalah keponakan, anak perempuan dari saudara perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu. b. Pengharaman karena Perkawinan7 1) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik dari garis ibu atau ayah. 2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut. Termasuk juga cucu perempuan baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan.8 3) Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah. 4) Ibu tiri, yaitu bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dan ayah. c. Pengharaman karena Persusuan
7
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahran, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.
69. Abd al-‘Azim, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-‘Azîz (Madinah: Dâr al-Taqwid, 1995), h. 287. 8
25
Berdasarkan ayat di atas, Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh alSunnah menjelaskan bahwa pengharaman karena sepersusuan terbagi menjadi berikut : 1) Ibu susuan (perempuan yang menyusui, karena ia berada di posisi ibu bagi anak yang disusuinya). 2) Ibu dari ibu susuan, karena ia berstatus nenek bagi anak yang disusui. 3) Ibu dari suami ibu susuan (mertua ibu susu), karena ia juga nenek bagi anak yang disusui. 4) Saudara perempuan ibu susuan, karena ia adalah bibi baginya. 5) Saudara perempuan dari suami ibu susuan. 6) Anak keturunan ibu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan maupun salah satu pihak saja. 7) Saudara perempuan sesusuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan maupun salah satu pihak saja Penjelasan seputar susuan ini dapat dikemukakan beberapa hal : a) Susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang diberikan pada anak yang memah masih memperoleh makanan dari air susu. b) Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan pengharaman, Imam Mālik dan Imam Hanafi menyatakan bahwa jumlahnya tidak dibatasi, asal seorang bayi telah
26
menyusu dan kenyang. Menurut Imam Syāfi’i, sekuramg-kurangnya lima kali susuan dan mengenyangkan. Adapun pendapat Tsaur Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali al-Zahiriy dan Ibnu Muzakkir, sedikitnya tiga kali susuan dan mengenyangkan.9 2. Maẖram yang Bersifat Sementara Adapun perempuan-perempuan yang haram dinikahi untuk sementara adalah sebagai berikut : a) Dua perempuan bersaudara haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu yang bersamaan. Hal ini berdasarkan penggalan ayat ke-23 dari surat an-Nisâ berikut:
َۗ وا ب ۡين ۡٱۡل ۡخت ۡين إ ََّل ما ق ۡد سل ْ وأن ت ۡجمع َّ ف إ َّن ٗ ٱَّلل كان غف ورا رَّح ٗيما “.....dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” b)
Perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Hal ini berdasarkan penggalan ayat ke-24 dari surat an-Nisâ berikut :
َّ وَل جناح عل ۡيكمۡ فيما ت َٰرض ۡيتم بهۦ م ۢن ب ۡعد ۡٱلفريض َۚة إ َّن ٱَّلل كان علي اما حك ٗيما “…dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Perempuan yang sedang masa ‘iddah.
c)
9
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 107 .
27
d)
Perempuan yang ditalak tiga haram dinikahi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah dinikahi lagi dengan orang lain dan telah berhubungan serta dicerai oleh suami terakhir dan telah habis masa ‘iddah-nya.
e)
Perempuan yang sedang melakukan ihram, baik ihram haji maupun umroh. Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa maẖram dalam al-
Qur’ân merupakan penjelasan deskriptif tentang definisi maẖram dan hal-hal yang tercakup di dalamnya dan hanya membahas wilayah munakahat. Sehingga belum ada implikasi-implikasi sosial yang membutuhkan wilayah tinjauan yang lainnya, seperti historis maupun sosiologis. Jika ada, hanya merupakan implikasi dari pemahaman dan hanya berkutat pada masalah pernikahan dan keluarga. Salah satu hikmah mengapa tidak boleh menikahai maẖram adalah pertama, adanya keharusan menjaga hubungan kekerabatan, serta menghormati orang-orang yang secara nasab semestinya untuk dihormati dan dijaga, sebab dimunngkinkan dalam pernikahan mereka ada perselisihan dan perceraian, sehingga bisa merusak hubungan kekeluargaan yang selama ini terjaga baik. Kedua, beberapa ulama menjelaskan bahwa pernikahan antara keluarga dekat akan melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani. Bahkan Imam alGhazâli sebagaimana dikutip Quraish Shihab menyebut riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. dan Umar bin Khattab, antara lain: “Janganlah kamu menikahi kerabat yang dekat karena anak-anak akan lahir dalam keadaan lemah” (H.R. Ibrahim al-Harbi). Ketiga, sebagian penelitian menunjukkan bahwa pernikahan antar kerabta yang dekat berpotensi menyebabkan keturunan
28
yang mudah terjangkit penyakit cacat fisik, serta kesuburan rendah, bahkan mendekati kemandulan.10 C. Maẖram dalam Hadis Pembahasan mengenai maẖram dalam hadis berbeda dengan yang ada dalam al-Qur’ân yang hanya menyebutkan secara definitif saja, yang dalam hal ini hadis menyebutkan permasalahan-permasalahan yang lebih rinci dari alQur’ân . Salah satu permasalahan maẖram dalam hadis adalah tentang larangan perempuan melakukan perjalanan tanpa didampingi maẖram -nya. Larangan ini sesungguhnya tidak dijelaskan di dalam al-Qur’ân . Konsep ini dipahami oleh beberapa ulama dari beberapa hadis Nabi saw. Terdapat beberapa hadis terkait maẖram
yang terdapat dalam Kutûb al-Tis’ah, kecuali Sunan an-Nasâ’i,
setidaknya ada 31 hasil temuan hadis terkait maẖram . Dari beberapa hadis yang ditemukan, hampir keseluruhan memiliki makna dan lafadz yang sama. Adapun
contoh hadis yang diambil dari
periwayatan Al-Bukhârī sebagai berikut:
سمعْت أبا: قال، موْ لى زيا ٍد، سمعْت قزعة، ع ْن عبْد الملك، ح َّدثنا شعْبة،ح َّدثنا أبو الوليد َّ ي رضي فأ ْعجبْنني، يحدِّث بأرْ ب ٍع عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم،َّللا ع ْنه َّ سعي ٍد الخ ْدر وَل صوْ م في يوْ م ْين، َل تسافر المرْ أة يوْ ميْن إ ََّل معها زوْ جها أوْ ذو محْ ر ٍم:وآن ْقنني قال ْ وَل صًلة بعْد صًلتيْن بعْد الصُّ بْح حتَّى ت،طر واۡلضْ حى ْ الف وبعْد العصْ ر،طلع ال َّش ْمس ومسْجد اۡل ْقصى، إ ََّل إلى ثًلثة مساجد مسْجد الحرام،حتَّى ت ْغرب وَل تش ُّد الرِّ حال 11 ومسْجدي “... Abu Sa’īd al-Khudri bercerita tentang empat hal dari Rasulullah saw., perkataan itu mengagetkanku, “Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama dua hari keculai ada (bersama) suaminya atau maẖram nya, tidak boleh berpuasa pada hari idul fitri dan 10 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân Vol. II, Cet. II (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 392-393. 11 Imam al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 2, Bâb Masjidu Baitu al-Maqdis, no. 1197 Maktabah al-Syâmilah.
29
idul adha, tidak boleh setelah shalat subuh sampai munculnya matahari dan setelah (shalat) ‘asar sampai tenggelamnya matahari dan tidak boleh melakukan ziarah ke masjid, kecuali tiga masjid yaitu masjid al-Aqs̱ a, masjid al-H̱aram dan masjid Nabawi.”
عن،س ٍ موْ لى ابْن عب َّا، ع ْن أبي معْب ٍد، ع ْن ع ْم ٍرو، ح َّدثنا ح َّماد بْن ز ْي ٍد،ح َّدثنا أبو النُّعْمان َّ س رضي «َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع: قال النَّب ُّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم: قال،َّللا ع ْنهما ٍ ابْن عب َّا َّ يا رسول:ٌ فقال رجل،» وَل ي ْدخل عليْها رج ٌل إ ََّل ومعها محْ ر ٌم،ذي محْ ر ٍم َّللا إنِّي أريد 12 ْ : فقال،َّ وا ْمرأتي تريد الحج،أ ْن أ ْخرج في جيْش كذا وكذا اخرجْ معها “Abu Nu’man telah bercerita kepada kami, Hammad bin Zaid dari Abi Ma’bad budak Ibn ‘Abbas dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullas saw. bersabda” “ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).”
َّ عن ابْن عمر رضي،ٌ أ ْخبرني نافع،َّللا َّ ع ْن عبيْد، ح َّدثنا يحْ يى: قال،ح َّدثنا مس َّد ٌد َّللا 13 «َل تسافر المرْ أة ثًلثاا إ ََّل مع ذي محْ رم: عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال،ع ْنهما “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.” Dari ketiga hadis ini didapatkan perbedaan signifikan yaitu, lamanya perjalanan seorang perempuan yang harus ditemani maẖram , atau suaminya. al-Nawawī menyatakan bahwa perbedaan setiap matan bukanlah suatu batasan secara dzahir, tetapi hadis ini menyatakan bahwa setiap safar atau perjalanan yang dilakukan oleh perempuan haruslah disertai oleh maẖram nya. Sebaliknya, al-Mundziry menyatakan bahwa satu hari adalah hitungan awal, dua hari pertengahan dan tiga hari awal banyaknya lama perjalanan.14
Imam al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, no. 1862. Imam al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, no. 1087 14 Ibn Hajr al-‘Asqalânî, Fath al-Bâri, bab Haj al-Nisâ, juz 6, h.88 Maktabah al-Syâmilah. 12 13
30
Menurut Suryadinata, meski secara tegas ada larangan bepergian tanpa disertai maẖram , para isteri nabi tidak memahami maẖram secara tekstual. Para istri nabi berhaji bersama-sama (sepeninggal nabi), ditemani dua sahabat nabi, yaitu Usman bin ‘Affân dan Abd ar-Rahman bin ‘Auf. Hampir sebagian ulama fikih melakukan perspektifnya masing-masing dalam memahami hadis penyertaan maẖram ini, tak terkecuali Imam Abû Hanîfah yang mensyaratkan keberadaan maẖram dalam kewajiban berhaji baginya kecuali dia berada di antara rumahnya dengan Mekah sejauh tiga kali perpindahan (persinggahan), lalu Imam Syâfi’i yang tidak mensyaratkan penyertaan maẖram bagi perjalanan perempuan akan tetapi ada keamanan bagi dirinya.15 Terlepas dari dimensi pemahaman tersebut, kini kemajuan sarana prasarana sudah mencapai tingkat yang signifikan. Sehingga perempuan saat ini dapat menjalankan aktivitasnya keluar rumah tanpa didampingi maẖram nya. Sehingga pemahaman hadis penyertaan maẖram
dalam perjalanan
seorang perempuan dipahami lebih kompleks dan kontekstual. Nur Laila Syahidah menyatakan jika melihat konteks kekinian, persyaratan maẖram bagi perempuan yang bepergian jauh tidak menjadi syarat mutlak. Maka rekontruksi kesertaan maẖram dalam safar perempuan
Ahmad Alfikri Suryadinata, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Maẖram dalam Kutub Al-Tis’ah,” MUSÂWA, V. 9, no. 1 (Januari 2010), h. 36. 15
31
dari yang bersifat personal menjadi maẖram yang berupa sistem keamanan yang mampu menjaga keselamatan perempuan.16 Namun, kendati pun maẖram saat ini merupakan sebuah sistem keamanan, tapi sebenarnya apa makna yang diambil dalam teks hadis jika disandingkan dengan keadaan perempuan saat ini
yang semakin
memprihatinkan. Dalam hermeneutika Ricoeur, sebuah teks memiliki cakrawalanya sendiri, dan seorang pembaca juga memiliki cakrawalanya sendiri. Model pemahaman ini menghadirkan sebuah wacana yang didasari atas pengalaman seorang pembaca tentang bagaimana sejarah atau kondisi yang dialami diri sendiri, dari sini akan terbaca jelas sejauh mana sebuah teks dapat diambil maknanya dan bagaimana pemahaman tercipta dari sebuah metode yang sistematis.
16 Nur Laila Syahidah, “Kontekstualisasi Hadis Penyertaan Maẖram dalam Perjalanan Seorang Perempuan,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 53.
BAB III ANALISIS HERMENEUTIKA ATAS HADIS PEREMPUAN MELAKUKAN PERJALANAN TANPA MAH̱RAM
A. Pengertian Hermeneutika Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein,
yang berarti
“menafsirkan”,
dan
kata
benda
hermeneia,
interpretasi.35Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika juga memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan.36 Istilah Yunani berkenaan dengan “hermeneutik” ini dihubungkan dengan nama Dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesanpesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalahan pemahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa, akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan
35 Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Scheirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.14. 36 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, volume 6 (New York: Macmillan Publishing Company, t.t.), h.279.
32
33
pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.37 Secara teologi peran Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossen Nashr memiliki hipotesis bahwa Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris, a.s. yang disebut di dalam al-Qur’an dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain.38 Hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas, pertama memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dan sebagainya, kedua menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis. F. Budi Hardiman mendifinisikan hermeneutika ke dalam tiga hal39, yaitu (1) Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir; (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca; dan (3) pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas.
37
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
h.23-24. 38 Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012), h.16. 39 Abdul Wahid B.S., “Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur,” Ibda’, V.7, no.1 (Januari-Juni 2009): h.163.
34
B.
Hermeneutika Paul Ricoeur 1. Biografi Paul Ricoeur mempunyai nama lengkap Jean Paul Gustave Ricoeur. Lahir di Valence, Prancis Selatan, pada 27 Februari 1913.40 Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendekiawan terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yatim piatu. Karirnya dalam dunia filsafat dimulai dengan perkenalannya dengan Dalbiez di Lycee, seorang filsuf yang berhaluan Thomistis yang terkenal, karena dialah salah seorang kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa Freud. Ricoeur secara otodidak mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers, yang kelak banyak mempengaruhi pola pikirnya, membaca karya-karya lengkap salah seorang filsuf besar : dari Plato serta Aristoteles sampai Kant, Hegel, dan Nietzshe sehingga ia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas seluruh tradisi filsafat Barat.41 Dalam bidang akademis, karir yang dijalani Ricoeur dimulai sebagai staf pengajar di Colmar, lalu menjadi dosen filsafat di College Cevinol, lalu pada tahun 1957, ia diangkat menjadi Profesor Filsafat di Universitas Sorbonne dan diangkat menjadi dekan, namun pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus sebagai profesor luar biasa di Universitas Chicago. Pada waktu yang bersamaan, ia menjadi direktur pada pusat studi fenomenologi dna hermeneutik di Prancis. Pada
40 Charles E. Reagan, Paul Ricoeur His Life and His Work ( London : The University Of Chicago Press, 1996), h.4. 41 Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic, h.276.
35
masa inilah ia banyak menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. 2. Karya-karya Paul Ricoeur merupakan salah satu filsuf yang terkenal di abad kedua puluh. Berbagai karya telah ia torehkan untuk kemajuan pengetahuan fisafat khususnya tentang hermeneutik. Terhitung terdapat ratusan esay dan beberapa buku yang telah ia tulis. Berikut beberapa karya yang telah ia tulis. a. Time and Narrative tahun 1988 b. The Rule of Metaphor: The Creation of Meaning in Language tahun 2003 c. Memory, History, Forgetting tahun 2004 d. Oneself as Another tahun 1995 e. Hermeneutics and The Human Scienes: Essays on Language, Action and Interpretation tahun 1981 f. Figuring The Sacred tahun 1995 g. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus Meaning tahun 1976. h. The Symbolism of Evil tahun 1986. i. Essays on Biblical Interpretation tahun 1980. j. On Psychoanalysis, dll.42
42 https://www.amazon.com/Paul%20Ricoeur/e/B000APSDRC/ref=la_B000APSDRC_pg _1?rh=n%3A283155%2Cp_82%3AB000APSDRC&sort=author-pages-popularityrank&ie=UTF8&qid=1482397097 diakses pada hari Kamis, 22 Desember 2016.
36
3. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi Penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran semakin meluas dan berkembang baik dalam cara analisisnya maupun objek kajiannya. Sehingga Richard E. Palmer membaginya dalam enam kategori, yaitu : (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Paul Ricoeur merupakan tokoh hermeneutik yang lebih mengarahkan hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman terhadap teks. Melalui bukunya, De’ Interpretation, Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika merupakan “teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks”.43 “Penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks” ini menempatkan kita harus memahami “What is a text?”. Teks merupakan sebuah korpus yang otonom, yang dicirikan oleh empat hal sebagai berikut. Pertama, dalam sebuah teks, makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said), terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan, kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. Kedua, dengan demikian, makna sebuah teks juga tidak lagi terrikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa
43
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h.105.
37
yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan, akan tetapi maksud penulis sudah terhalang oleh teks yang sudah membaku. Ketiga, karena tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ontensive reference), ia tidak terikat pada konteks pembicaraan. Keempat, dengan demikian juga tidak lagi terikat pada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca, dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.44 Maksud dari “tidak terikat” adalah tidak terikat lagi dengan makna yang dimaksud pengarang karena ada lagi tanya jawab sebab teks telah baku. Interpretasi menurut Ricoeur adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna yang tersirat di dalam makna yang literer. Interpretasi dilakukan dengan cara penafsir harus mengambil jarak agar dapat melakukan interpretasi dengan baik. Seorang penafsir harus melakukan pembacaan “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks teks, dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Ada dua proses interpretasi, yaitu ; pertama, proses interpretasi semiologi struktural dan kedua, proses interpretasi apropriasi. Dalam konteks penelitian ilmiah, baik terhadap kebudayaan secara umum ataupun kebudayaan keagamaan secara khusus, penggunaan metodologi
44
Paul Ricoeur, Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Penerjemah Musnur Hery (Yogyakarta: Ircisod, Cet.II, 2003), h.203.
38
hermeneutik Ricoeur melalui dua proses tahapan, yaitu : proses semiologi struktural dan proses apropriasi. Proses semiologi struktural berfungsi sebagai kegiatan eksplanasi (erklaren), yang menjadikan teks sebagai suatu yang otonom yang terlepas dari intensi penulisnya dan juga dari dunia nyata (konteks) yang dibicarakan teks. Tahap kedua adalah apropriasi, yaitu proses membuat teks menjadi milik kita (pembaca), mengambil manfaat dari teks, yang baginya ini proses memahami (verstehen. Dalam proses apropriasi terjadi penyatuan antara cakrawala teks dengan cakrawala pembaca ( fusion of horizon ). Fusion of horizon merupakan cara pendekatan yang diambil dari hermeneutika Hans Gadamer. Cakrawala oleh Gadamer juga disebut sebagai horison. Setiap orang mempunyai cakrawalanya masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Cakrawala seseorang dipengaruhi faktor eksternal dan internal masing-masing orang yang terbentuk dalam perjalanan hidupnya yang merupakan perngalaman sejarah ( historical experience ) hidup seseorang. Begitu pula sebuah teks memiliki cakrawalanya sendiri. Ketika pembaca membaca suatu teks, akan tergambar di pikirannya suatu gambaran dunia yang digambarkan oleh teks, artinya dunia yang dibicarakan teks, yang merupakan dunia yang bersifat imajiner atau khayalan. Dunia imajiner yang digambarkan oleh teks tersebut merupakan cakrawala teks. Penyatuan cakrawala menghasilkan pemahaman baru terhadap dirinya dan juga terhadap dunia tempat dia hidup, dengan demikian ada perkembangan cakrawala dalam diri pembaca tersebut. Ricoeur mengadopsi pendekatan strukturalisme dalam hermeneutiknya. Pendekatan struktural dilihat sebagai suatu
39
kutub objektif (sisi metodologis erklaren) dalam proses interpretasi yang mempersiapkan kutub appropriasi (sisi ontologis verstehen). Keduanya dipahami secara dialektis, sebagai dua hal yang saling melengkapi. Teks di samping memiliki struktur immanen yang harus didekati secara struktural, juga memiliki referensi luar di luar relasi-relasi sistem.45Dengan proses distansiasi, immanensi teks menjadi otonom. Distansiasi menjamin otonom teks dalam hubungannya dengan pengarang sehingga membuat teks tercerabut dari konteks aslinya. Akibatnya teks menjadi terbuka terhadap interpretasi-interpretasi, yang bisa jadi bertolak belakang dengan maksud pengarang. Proses appropriasi muncul ketika teks telah tercerabut dari konteksnya. Dengan demikian, melakukan appropriasi berarti menjadikan apa yang asing sebagai “aku” penafsir, milik sendiri, melalui pembacaan kembali teks yang harus dimengerti dalam arti eksistensial: sebagai cara baru untuk memahami realitas dalam suatu lebenswelt.46 C. Analisis Hermeneutika Paul Ricoeur Atas Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan tanpa Maẖram Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, Metode Hermeneutik Paul Ricoeur dibagi menjadi dua tahapan. Pertama, adalah penafsiran berdasarkan semiologi struktural. Kedua, adalah penafsiran apropriasi. Setiap teks mempunyai
45
Dalam konteks analisis wacana (discourse analyze), teks merupakan wacana yang telah dimapankan dalam tulisan ( any discourse fixed by writing ). Teks ini lebih menekankan aspek “worldless” dan “authorless”. Sehingga makna suatu teks berada dalam term-term relasi internal dan strukturalnya. Lebih jauh Ricoeur menjelaskan bahwa teks semacam ini mengimplikasikan otonomi rangkap tiga. Yaitu otonomi teks terhadap maksud pengarang, otonomi teks terhadap situasi kultural dan kondisi sosiologis dimana teks diproduksi dan otonomi terhadap pembaca awal. 46 Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, h.32-33.
40
struktur di dalam dirinya sendiri. Di dalam struktur terdapat berbagai unsur yang membentuk struktur tersebut. Unsur-unsur ini merupakan suatu tanda-tanda.
1. Penafsiran Maẖram Secara Semiologi Struktural a. Teks Hadis Redaksi hadis tentang maẖram
jika ditelusuri melalui Maktabah al-
Syâmilah dengan kata kunci “”تسافر المرْ أة, maka ditemukan 18 hasil temuan yang terdapat dalam kitab hadis S̱aẖîẖ al-Bukhârī, S̱haẖîẖ Muslim, Sunan al-Turmudzi, Sunan Abû Daud, Sunan Ibn Mājah, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Sunan alDârimiy. 1. al-Bukhârī dalam kitabnya terdapat 4 (empat) riwayat
َّ ح َّدثك ْم عبيْد: ق ْلت ۡلبي أسامة: قال،( ح َّدثنا إسْحاق بْن إبْرانيم الح ْنظل ُّي1) ، ع ْن ناف ٍع،َّللا َّ عن ابْن عمر رضي «َل تسافر المرْ أة ثًلثة:ي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال َّ أ َّن النَّب:َّللا ع ْنهما 47 أي ٍَّام إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
َّ عن ابْن عمر رضي،ٌ أ ْخبرني نافع،َّللا َّ ع ْن عبيْد، ح َّدثنا يحْ يى: قال،( ح َّدثنا مس َّد ٌد2) َّللا 48 «َل تسافر المرْ أة ثًلثاا إ ََّل مع ذي محْ رم: عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال،ع ْنهما “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
،س ٍ موْ لى ابْن عبَّا، ع ْن أبي معْب ٍد، ع ْن ع ْم ٍرو، ح َّدثنا ح َّماد بْن ز ْي ٍد،( ح َّدثنا أبو النُّعْمان3) َّ س رضي «َل تسافر المرْ أة: قال النَّب ُّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم: قال،َّللا ع ْنهما ٍ عن ابْن عبَّا
47 48
al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 2, Bâb Fii Kam Yaqs̱iru al-s̱alâti, no. 1086 al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 2, no. 1087
41
َّ يا رسول:ٌ فقال رجل،» وَل ي ْدخل عليْها رج ٌل إ ََّل ومعها محْ ر ٌم،إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم َّللا 49 ْ : فقال،َّ وا ْمرأتي تريد الحج،إنِّي أريد أ ْن أ ْخرج في جيْش كذا وكذا اخرجْ معها “Abu Nu’man telah bercerita kepada kami, Hammad bin Zaid dari Abi Ma’bad budak Ibn ‘Abbas dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullas saw. bersabda” “ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).”
َّ (ح َّدثنا عل ُّي بْن عبْد4) ،س ٍ عن ابْن عبَّا، ع ْن أبي معْب ٍد، ح َّدثنا ع ْمرٌو، ح َّدثنا س ْفيان،َّللا «َل ي ْخلو َّن رج ٌل با ْمرأ ٍة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم» فقام:عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال َّ يا رسول: فقال،ٌرجل ْ ا ْمرأتي خرج،َّللا : قال، وا ْكتتبْت في غ ْزوة كذا وكذا،ت حا َّجةا 50 »«ارْ ج ْع فح َّج مع ا ْمرأتك “..Tidak boleh seorang perempuan menyendiri dengan orang lain (laki-laki)kecuali dengan maẖram -nya. Seorang laki-laki berdiri dan berkata kepada Rasulullah saw. Bagaimana jika seorang bepergian karena ada uzur kepentingan tertentu untuk peperangan? Nabi saw. berkata “Pergilah berhaji dengan mengajak isterimu.”
2. Muslim dalam kitabnya terdapat 5 (lima) riwayat
ع ْن عبيْد، ح َّدثنا يحْ يى ونو ْالقطَّان: قاَل، ومح َّمد بْن ْالمثنَّى،ب ٍ ْ( ح َّدثنا زنيْر بْن حر1) َّ َّ «َل تسافر: أ َّن رسول َّللا صلى َّللا عليْه وسلم قال، عن ابْن عمر،ٌ أ ْخبرني نافع،َّللا 51 » إ ََّل ومعها ذو محْ ر ٍم،ْالمرْ أة ثًلثاا ”....Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
ع ْن عبْد ْالملك بْن، ح َّدثنا شعْبة، ح َّدثنا مح َّمد بْن جعْف ٍر،( وحدثنا مح َّمد بْن ْالمثنَّى2) سمعْت م ْن رسول َّللا: قال،َّ سمعْت أبا سعي ٍد ْالخ ْدري: قال، سمعْت قزعة: قال،عمي ٍْر
al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 3, Bâb Hajju al-Nisâ, no. 1862 dalam, Maktabah al-
49
Syâmilah. al-Bukhari, S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 7 no. 5233. Muslim, S̱haẖîẖ Muslim, juz 2, Bāb Safara Mar’ah ma’a Maẖramin, no. 413, Maktabah al-Syâmilah. 50 51
42
إ ََّل، نهى أ ْن تسافر ْالمرْ أة مسيرة يوْ ميْن،صلَّى َّللا عليْه وسلَّم أرْ بعاا فأ ْعجبْنني وآن ْقنني 52 أوْ ذو محْ ر ٍم وا ْقتصَّ باقي ْالحديث،ومعها زوْ جها “Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama dua hari dalam masa tertentu kecuali ada maẖram -nya atau suaminya.”
ع ْن سهْم بْن، ع ْن إبْرانيم، ع ْن مغيرة،ٌ ح َّدثنا جرير،( ح َّدثنا ع ْثمان بْن أبي شيْبة3) «َل: قال رسول َّللا صلَّى َّللا عليْه وسلَّم: قال،ِّ ع ْن أبي سعي ٍد ْالخ ْدري، ع ْن قزعة،ب ٍ م ْنجا 53 »تسافر ْالمرْ أة ثًلثاا إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
قال أبو،ار جميعاا ع ْن معاذ بْن نش ٍام ٍ ومح َّمد بْن ب َّش،( وح َّدثني أبو غسَّان ْالمسْمع ُّي4) ي َّ أ َّن نب،ِّ ع ْن أبي سعي ٍد ْالخ ْدري، ع ْن قزعة، ع ْن قتادة، ح َّدثني أبي، ح َّدثنا معا ٌذ:غسَّان 54 »ال إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم ٍ «َل تسافر ا ْمرأةٌ فوْ ق ثًلث لي:َّللا صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian di atas tiga malam kecuali disertai maẖram -nya.”
: قال أبو ب ْك ٍر، كًلنما ع ْن س ْفيان،ب ٍ ْ وزنيْر بْن حر،( ح َّدثنا أبو ب ْكر بْن أبي شيْبة5) ،س ٍ سمعْت ابْن عبَّا: قال، ع ْن أبي معْب ٍد،ار ٍ ح َّدثنا ع ْمرو بْن دين،ح َّدثنا س ْفيان بْن عييْنة «َل ي ْخلو َّن رج ٌل با ْمرأ ٍة إ ََّل ومعها:ي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم ي ْخطب يقول َّ سمعْت النَّب:يقول ْ َّ إ َّن، يا رسول َّللا: فقال،ٌ فقام رجل،» وَل تسافر المرْ أة إَل مع ذي محْ ر ٍم،ذو محْ ر ٍم ْ ا ْمرأتي خرج «ا ْنطل ْق فح َّج مع: قال، وإنِّي ا ْكتتبْت في غ ْزوة كذا وكذا،ت حا َّجةا 55 »ا ْمرأتك “..Tidak boleh seorang perempuan menyendiri dengan orang lain (laki-laki)kecuali dengan maẖram -nya. Seorang laki-laki berdiri dan berkata kepada Rasulullah saw. Bagaimana jika seorang bepergian karena ada uzur kepentingan tertentu untuk peperangan? Nabi saw. berkata “Pergilah berhaji dengan mengajak isterimu.”
Muslim, S̱haẖîẖ Muslim, juz 2, no. 416. Muslim, S̱haẖîẖ Muslim, juz 2, no. 417. 54 Muslim, S̱haẖîẖ Muslim, juz 2, no. 418. 55 Muslim, S̱haẖîẖ Muslim, juz 2, no. 424. 52 53
43
3. Tirmidzî dalam kitabnya terdapat 1 (satu) riwayat
ع ْن،س ٍ ح َّدثنا مالك بْن أن: قال، ح َّدثنا ب ْشر بْن عمر: قال،ح َّدثنا الحسن بْن عل ٍّي الخًلَّل َّ قال رسول َّللا صلَّى: قال، ع ْن أبي نريْرة، ع ْن أبيه،سعيد بْن أبي سعي ٍد َل:َّللا عليْه وسلَّم 56 ٌ نذا حد.تسافر ا ْمرأةٌ مسيرة يوْ ٍم وليْل ٍة إَلَّ ومعها ذو محْ ر ٍم .ٌيث حس ٌن صحيح “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian siang dan malah hari kecuali bersama maẖram -nya.” 4. Abû Dāud dalam kitabnya terdapat 1 (satu) riwayat
َّ ع ْن عبيْد، ح َّدثنا يحْ يى بْن سعي ٍد،ح َّدثنا أحْ مد بْن ح ْنب ٍل عن، عن ابْن عمر،ٌَّللا قال ح َّدثني نافع 57 » «َل تسافر ْالمرْ أة ثًلثاا إ ََّل ومعها ذو محْ ر ٍم:النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم قال “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.” 5. Ibnu Mâjah dalam kitabnya terdapat 1 (satu) riwayat
، ع ْن أبي سعي ٍد،ح ٍ ع ْن أبي صال، ح َّدثنا ْاۡل ْعمش: ح َّدثنا وكي ٌع قال:ح َّدثنا عل ُّي بْن مح َّم ٍد قال َّ قال رسول:قال إ ََّل مع، فصاعداا، «َل تسافر ْالمرْ أة سفر ثًلثة أي ٍَّام:َّللا صلَّى َّللا عليْه وسلَّم ْأبيها أو 58 » أوْ ذي محْ ر ٍم، أوْ زوْ جها، أو ابْنها،أخيها “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali bersama bapaknya atau saudaranya atau anaknya atau suaminya atau orang lain yang satu maham-nya.” 6. Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya terdapat 5 (lima) riwayat
: عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم، عن ابْن عمر،ٌ ح َّدثني نافع، ع ْن عبيْد َّللا،( ح َّدثنا يحْ يى1) 59 " ومعها ذو محْ ر ٍم،" َل تسافر ْالمرْ أة ثًلثاا إ ََّل At-Tirmidzî, Sunan al-Turmuzi, Bāb Mā Jā’a fi Karahiyati an Tusafiru al-Mar’ah Wahdaha, no. 1170, Maktabah al-Syâmilah. 57 Abû Dâud, Sunan Abû Dâud, juz 5, Bāb fi al-Mar’ati Tuhijju Bighairi Maẖramin, no. 1727 Maktabah al-Syâmilah. 58 Ibnu Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, juz 9, no. 2898 Maktabah al-Syâmilah. 59 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz.8, no. 4615 Maktabah al-Syâmilah. 56
44
“...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه، عن ابْن عمر، ع ْن ناف ٍع، ح َّدثنا عبيْد َّللا،( ح َّدثنا ابْن نمي ٍْر2) 60 " " َل تسافر ْالمرْ أة ثًلثاا إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم:وسلَّم قال “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
يحْ يى بْن سعي ٍد ما أ ْنكرْ ت على عبيْد: قال: سمعْت أبي يقول:( قال عبْد َّللا بْن أحْ مد3) عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه، عن ابْن عمر، إ ََّل حديثاا واحداا حديث ناف ٍع،َّللا بْن عمر 61 " " َل تسافر ا ْمرأةٌ سفراا ثًلثاا إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم:وسلَّم “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.”
ع ْن أبي، ع ْن أبيه،ح ٍ ع ْن سهيْل بْن أبي صال، ح َّدثنا ح َّماد بْن سلمة،( ح َّدثنا عفَّان4) إ ََّل، " َل تسافر ا ْمرأةٌ مسيرة ثًلثة أي ٍَّام: قال،عن النَّب ِّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم،نريْرة 62 مع ذي محْ ر ٍم “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.” .
ع ْن أبي، ع ْن أبيه، ع ْن سعيد بْن أبي سعي ٍد،ب ٍ ح َّدثنا ابْن أبي ذ ْئ: قال،ٌ( ح َّدثنا وكيع5) إ ََّل، " َل تسافرْ ا ْمرأةٌ مسيرة يوْ ٍم تا ٍّم: قال رسول َّللا صلَّى َّللا عليْه وسلَّم: قال،نريْرة 63 " مع ذي محْ ر ٍم “...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram -nya.” 7. al-Dārimiy dalam kitabnya terdapat 1 (satu) riwayat 60
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz.10, no. 6289 Maktabah al-Syâmilah. 61 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz.10, no. 6290. 62 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bab Musnad Abu Hurairah, juz.14, no. 8564 Maktabah al-Syâmilah. 63 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, no. 9741.
45
َّ قال رسول: قال، ع ْن أبي سعي ٍد،ح َّللا صلَّى َّللا ٍ ع ْن أبي صال، ح َّدثنا ْاۡل ْعمش،ح َّدثنا يعْلى ْ أو، أوْ أخونا،«َل تسافر ْالمرْ أة سفراا ثًلثة أي ٍَّام فصاعداا إ ََّل ومعها أبونا:عليْه وسلَّم 64 » أوْ ذو محْ ر ٍم م ْنها،زوْ جها “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali ditemani ayahnya atau saudara laki-lakinya atau suaminya atau maẖram -nya.”
b. Cakrawala Teks Hadis Dari 18 hadis yang saya kumpulkan, cakrawala teks dalam hadis al-Bukhâri ke-1 dan ke-2, Muslim ke-1, ke-3 dan ke-4, Abû Dâud ke-1, dan Ahmad bin Hanbal ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 menggambarkan larangan kepada perempuan untuk bepergian sendiri selama tiga hari kecuali ada maẖram
yang menyertai
perjalanannya. Cakrawala teks pada hadis Muslim ke-2 menggambarkan larangan kepada perempuan untuk bepergian tanpa disertai maẖram atau suaminya dalam waktu perjalanan dua hari. Cakrawala teks dalam hadis al-Bukhâri ke-3 dan ke-4 dan Muslim ke-5 menggambarkan perempuan yang tidak diperbolehkan bepergian sendiri tanpa ditemani maẖram. Selain itu laki-laki tidak boleh menemui perempuan jika tak ada maẖram bersamanya (perempuan itu). Hadis ini juga menggambarkan bahwa pendampingan terhadap istri yang hendak berhaji lebih utama dibandingkan berperang.
64
Al-Dârimiy, Sunan al-Dârimiy, Bâb Fii Igtisâl, no. 2720 Maktabah al-Syâmilah.
46
Cakrawala maẖram dalam hadis Tirmidzî ke-1 tentang larangan kepada perempuan untuk bepergian pergi siang atau malam hari kecuali jika ada maẖram nya bersamanya. Cakrawala hadis al-Dârimiy dan Ibnu Mâjah larangan kepada perempuan untuk bepergian sendiri selama tiga hari kecuali bersama ayahnya atau saudara lakilakinya atau suaminya atau maẖram yang menyertai perjalanannya.
47
Tabel 1 Cakrawala Teks Hadis No 1.
Teks Hadis
Cakrawala Teks Hadis
إ ََّل ومعها ذو محْ رم، َل تسافر ْالمرْ أة ثًلثااHadis
ini menggambarkan ”....Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tentang pelarangan tiga hari kecuali bersama maẖram –nya.” seorang perempuan (H.R. Bukhârî, Muslim, Abû Dâud dan Ahmad bin Hanbal) untuk bepergian sendiri selama sehari, َل تسافر ا ْمرأةٌ مسيرة يوْ ٍم وليْل ٍة إَلَّ ومعها ذو محْ ر ٍم “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian siang dan dua hari atau tiga hari tanpa maẖram. malam hari kecuali bersama maẖram –nya.” (H.R. Tirmidzî)
أوْ ذي، أوْ زوْ جها، أو ابْنها، إ ََّل مع أبيها أوْ أخيها، فصاعداا،َل تسافر ْالمرْ أة سفر ثًلثة أي ٍَّام محْ ر ٍم “...Tidak boleh seorang perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari kecuali ditemani ayahnya atau saudara laki-lakinya atau suaminya atau maẖram –nya.” (H.R. Ibnu Mâjah dan ad Dârimiy) 2.
، سمعْت م ْن رسول َّللا صلَّى َّللا عليْه وسلَّم أرْ بعاا فأ ْعجبْنني وآن ْقنني: قال،َّ أبا سعي ٍد ْالخ ْدريHadis أوْ ذو محْ ر ٍم، إ ََّل ومعها زوْ جها، نهى أ ْن تسافر ْالمرْ أة مسيرة يوْ ميْنmenggambarkan
“... Abu Sa’īd al-Khudri bercerita tentang empat hal dari Rasulullah saw., perkataan itu mengagetkanku, “Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama dua hari kecuali ada (bersama) suaminya atau maẖram nya.” (H.R. Muslim)
3.
وَل ي ْدخل عليْها رج ٌل إ ََّل، «َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم:قال النَّب ُّي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم َّ يا رسول:ٌ قال رجل،»ومعها محْ ر ٌم وا ْمرأتي تريد،َّللا إنِّي أريد أ ْن أ ْخرج في جيْش ذا كذا ْ : فقال،َّالحج اخرجْ معها “ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).” (H.R. Bukhâri dan Muslim)
ini
tentang pernyataan Rasulullah saw. yang mengagetkan Abu Saīd al-Khudri, yaitu pelarangan perempuan untuk bepergian selama dua hari tanpa ditemani suami atau maẖram -nya. Hadis ini menggambarkan bahwa pendampingan terhadap istri yang hendak berhaji lebih utama dibandingkan berperang.
48
2.
Penafsiran Apropriasi a. Cakrawala Peneliti Peneliti dilahirkan di Kota Bandar Lampung 23 tahun yang lalu dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Sebagai tokoh agama (ustad), Abah telah memberikan pengajaran terkait tatacara shalat, mengaji, puasa hingga pergaulan dalam berteman. Lingkungan keluarga peneliti berada di wilayah Lampung Barat yang saat ini menjadi kabupaten Pesisir Barat. Lingkungan keluarga dilihat berdasarkan asal sukunya terdiri dari suku Sunda dan Jawa. Lingkungan keluarga suku Sunda termasuk kategori yang taat dalam beragama. Hal tersebut dapat peneliti rasakan sendiri sejak kecil telah diajarkan nilai-nilai agama dari internal keluarga. Tidak perlu memanggil guru untuk mengajar mengaji. Sedangkan lingkungan keluarga suku Jawa cenderung Islam Abangan, tapi masih memberikan pelajaran agama melalui guru mengaji dan kebanyakan belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Menginjak usia 12 (dua belas) hingga 17 (tujuh belas) tahun, peneliti sudah mulai menempuh pendidikan pesantren hingga mengharuskan pisah dari keluarga untuk beberapa tahun. Adapun lingkungan tempat tinggal peneliti saat ini berada di lingkungan Asrama Putri salah satu organisasi perempuan di Ciputat, yaitu Korp PMII Putri. Tentu, di sana peneliti mendapatkan berbagai pengalaman baru terkait keorganisasian dan pengetahuan seputar isu-isu perempuan. Selain itu, di lingkungan peneliti sebagian besar adalah anak rantauan dari daerah yang cukup jauh dengan menempuh jarak yang lama, seperti Gresik, Cirebon, Pemalang dan Brebes. Hal ini memastikan mereka untuk bertempat
49
tinggal di lingkungan kampus. Hal tersebut juga memastikan bahwa perempuan harus mampu menjaga diri di wilayah orang awam. Karena saat ini, perempuan banyak yang menjadi korban kejahatan. Persoalan perempuan menjadi urgent diperbincangkan, terutama masalah deskriminasi terhadap perempuan dalam ranah publik, seperti perampokan dan kekerasan seksual. Peneliti menemukan sebuah kasus perampokan yang dialami seorang perempuan dalam mikrolet 06A rute Kampung Melayu-Gandaria, Jakarta.65 Beberapa contoh kasus pelecehan dan kekerasan lainnya terhadap perempuan diantaranya adalah kasus perkosaan gadis belia di Sumedang66, Manado67, Riau68, Jakarta Pusat69 dan masih banyak daerah lainnya. Bahkan yang santer terdengar akhir-akhir ini adalah kasus pemerkosaan oleh 14 pemuda yang dialami oleh Yuyun hingga menyebabkan kematian. Peneliti juga pernah membaca sebuah data dari Komnas Perempuan bahwa sepanjang tahun 2010, terdapat 3.530 kasus kejahatan seksual terhadap perempuan. Berdasarkan Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2016, Idham Kholik, “Pagi-pagi Perempuan Dirampok dalam Mikrolet 06A” artikel diakses pada pada tanggal 17 Juli 2016 dari http://news.detik.com/berita/3205258/pagi-pagi-perempuandirampok-dalam-mikrolet-m-06a 66 Aam Aminullah, “Kesucian Siswi SMP di Sumedang Direnggut 5 Remaja Bejat,” artikel diakses pada 17 Juli 2016 dari http://daerah.sindonews.com/read/1124063/21/kesucian-siswi-smpdi-sumedang-direnggut-5-remaja-bejat-1468751555 67 Valentino Warouw, “Pria Pengangguran Memperkosa Siswi SMP,” artikel diakses pada 2 Agustus 2016 dari http://daerah.sindonews.com/read/1123761/193/pria-pengangguran-inirenggut-kesucian-gadis-manado-1468591209 68 Banda Haruddin Tanjung, “Perkosa Gadis Belia, Pelajar Kota Dumai Ditangkap,” artikel diakses pada 10 Agustus 2016 dari http://daerah.sindonews.com/read/1129047/174/perkosa-gadisbelia-pelajar-di-kota-dumai-ditangkap-1470392003 69 Ahmad Fardiansyah, “Siswi Magang Diduga Diperkosa Tiga PNS Walkot Jakpus,” artikel diakses pada 10 Agustus 2016 dari http://m.okezone.com/read/2016/08/05/338/1456039/siswi-magang-diduga-diperkosa65
tiga-pns-walkot-jakpus
50
kasus kekerasan seksual menempati posisi tinggi, adalah perkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.70 Pada kasus perkosaan ini, setiap orang bisa menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan dan jabatan. Begitu pula dengan perempuan, setiap perempuan dapat menjadi korban perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan dan jabatan. Perempuan yang mengalami pemerkosaan akan mengalami dua dampak yang sangat berpengaruh bagi kehidupannya, pertama adalah dampak fisik dan psikis. Pertama, akibat fisik yang dapat dialami perempuan korban perkosaan antara lain (1) kerusakan organ tubuh, khususnya alat reproduksi, (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular, dan (3) kehamilan yang tidak dikehendaki. Hubungan yang dipaksakan ini pula akan berdampak pada kelainan perilaku sosial. Kedua, akibat psikis yang dialami perempuan korban perkosaan adala trauma yang luar biasa dan cukup parah. Korban mengalami shock besar, sehingga mengalami kegonjangan kejiwaan. Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya.Trauma yang dialami oleh korban perkosaan tidaklah sama dengan korban yang lain. Hal ini disebabkan bermacam-macam hal hidup mereka, seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiutas yang berbeda, perlakuan dan situasi saat perkosaan dan hubungan antara pelaku dan korban.
70
pada
Komnas Perempuan, “Lembar Catatan Tahunan Komnas Perempuan,” artikel diakses 6 Oktober 2016 dari www.komnasperempuan.go.id/wp-
content/uploads/2016/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-_CATAHU_-KomnasPerempuan-2016.pdf
51
Kejahatan lain yang menimpa perempuan adalah kekerasan dalam ranah rumah tangga KDRT. Peneliti melansir dari website Komnas Perempuan Indonesia dalam Lembar Fakta Cacatan Tahunan (Catahu) 2016 bahwa terdapat 6.725 kasus kekerasan terhadap istri, 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 930 kasus kekerasan pada anak perempuan.71 Kasus kekerasan ini pernah terjadi di lingkungan asal peneliti. Pada tanggal 6 Februari 2016 di daerah Rajabasa Bandar Lampung, ada seorang istri yang melakukan laporan ke kantor polisi terdekat bahwa ia telah dianiaya oleh suaminya sendiri. Pelaku menginjak kaki korban dan mencekik lehernya. Hal ini didasari oleh kecurigaan sang suami terhadap istrinya yang diduga selingkuh.72 Dan jika peneliti telisik satu persatu, kasus kejahatan terhadap perempuan tidak berhenti pada pelecehan seksual dan KDRT saja, namun segala bentuk kejahatan yang menindas hak asasi perempuan, baik dalam keluarga, bermasyarakat, berpolitik dan sebagainya. Peneliti membaca sebuah artikel data medis oleh Thu Truong, PharmD73, dampak dari kekerasan ini mencangkup dua hal, pertama dampak fisik, korban mengalami kerusakan anggota tubuh hingga tidak bisa berfungsi kembali atau cacat, kedua dampak psikis, korban mengalami depresi berat yang cenderung menyalahkan diri sendiri dan ketakutan saat berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya.
71
dari 2016/
Komnas Perempuan, “Catatan Tahunan 2016,” artikel diakses pada 27 Desember 2016 http://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunan-catahu-2016-7-maret-
72 Winda Trijayanti Utama dan Asep Sukohar, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Laporan Kasus,” Juke Unila, Vol.5, No.9 (Maret 2015): h.55. 73 Ajeng Quamila, “8 Trauma Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Seksual,” artikel diakses pada 28 Desember 2016 dari https://hellosehat.com/trauma-akibat-kekerasan-seksual/
52
Padahal, telah ada sederetan UU Perlindungan Perempuan di negara-negara lain, yang dilatarbelakangi dengan hadirnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Deskriminasi Terhadap Perempuan dalam badan PBB atau yang biasa dikenal dengan Konvensi CEDAW (Convention of Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Awal mulanya, dilatarbelakangi oleh gerakan-gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan dalam hak hidup, sosial, ekonomi, politik dan bermasyarakat, juga di dalamnya terdapat tuntutan untuk melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi, maka Majelis Umum PBB mengundang negara-negara anggota PBB untuk menghadiri Konvensi Perempuan pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi Perempuan ini disahkan pada tanggal 3 Desember 1981 setelah 20 negara menyetujuinya. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara PBB, merupakan negara peserta konvensi.74Yang sangat disoroti oleh CEDAW adalah bentuk perlindungan terhadap perempuan, khususnya perlindungan dari segala bentuk diskriminasi. Begitu pun Indonesia, UU Perlindungan Perempuan ini diatur secara umum dalam KUHP dan secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kini, terdapat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tidak hanya terbatas pada perkosaan dan pencabulan. Namun mencakup 15 jenis kekerasan seksual yang telah
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW” (Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), h. 4 74
53
termaktub
dalam
Kakhususan
Rancangan
Undang-Undang
Penghapusan
Kekerasan Seksual. Ada 15 jenis kekerasan seksual, diantaranya adalah sebagai berikut : perkosaan; pelecehan seksual; ekslpoitasi seksual; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan; prostitusi paksa; pemaksaan kehamilan; pemaksaan aborsi; pemaksaan perkawinan; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi perempuan lewat aturan; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan; dan pemaksaan sterilisasi atau kontrasepsi.75 Dari paparan di atas, maka terlihat jelas bahwa proteksi bagi keamanan perempuan sangat diperlukan. Kini, di Indonesia terdapat lebih dari 100 ormas perempuan dengan keberagaman visi dan misi, namun mempunyai satu tujuan yg sama, yakni menegakkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan serta melakukan pendampingan bagi para korban kekerasan. b. Apropriasi Berdasarkan uraian di atas, apropriasi saya sebagai peneliti adalah pertama, interpretasi teks hadis yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram adalah bentuk perlindungan terhadap perempuan. Berdasarkan peleburan cakrawala (apropriasi) yang dihasilkan oleh gambaran cakrawala hadis Bukhâri ke-3 dan ke-4 dan Muslim ke-5 tentang keutamaan mendampingi seorang
75 Komnas Perempuan, “Jenis Kekerasan Seksual,” artikel diakses pada 27 Desember 2016 dari http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2013/12/15-Jenis-KekerasanSeksual_2013.pdf
54
istri yang hendak berhaji dibandingkan berperang. Hal ini mengisyaratkan bahwa perlindungan terhadap perempuan sangat diutamakan. Hal ini berintegrasi dengan beberapa lembaga sosial dengan misi melindungi kesejahteraan perempuan yang sudah banyak ditemui. Dalam ranah negara Indonesia sendiri,
terdapat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KEMENPPPA) yang di dalamnya memuat sederetan UndangUndang khusus untuk
melindungi perempuan termasuk kekerasan. Lembaga
lainnya adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( KOMNAS PEREMPUAN). Lalu, peraturan presiden juga menegaskan kepala atau anggota dalam badan pemerintahan, seperti ketua RT, kepala Camat, Walikota, Gubernur, Polisi, TNI turut menjaga dan melindungi kesejahteraan perempuan. Perlindungan ini biasanya dilakukan pasca terjadinya kekerasan pada perempuan, maka dilakukan pendampingan dan penjatuhan hukuman bagi para pelaku. Kedua, interpretasi teks hadis yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram
adalah bentuk pencegahan,
berdasarkan
peleburan cakrawala (apropriasi) yang tergambar di dalam hadis Bukhâri ke-1 dan ke-2, Muslim ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4, Abû Dâud ke-1, dan Ahmad bin Hanbal ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 , Ad Dârimiy dan Ibnu Mâjah yaitu tentang larangan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan baik sehari, dua hari, ataupun tiga hari kecuali ada suami, saudara atau maẖram -nya bersamanya. Hal ini berintegrasi dengan beberapa peristiwa yang saat ini menimpa sebagian perempuan yang menjadi korban kejahatan. Sesuai dengan data dari
55
Komnas Perempuan, mereka mengalami gangguan fisik dan juga psikis. Akibat fisik yang diderita korban pelecehan kekerasan diantaranya adalah cacat anggota tubuh dan kerusakan organ intim atau reproduksi, sehingga akan menyebabkan sulitnya memperoleh keturunan, terserang berbagai penyakit hingga kematian. Akibat psikis yang diderita yaitu keterancaman untuk bisa hidup normal di lingkungan sekitar, baik dalam keluarga dan masyarakat, serta tekanan mental yang luar biasa menggoncang sehingga tak jarang banyak yang melakukan bunuh diri. Artinya, banyak perempuan yang terkena dampak fisik dan psikis dari kekerasan tersebut, baik kekerasan seksual ataupun kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga maẖram di sini mampu melakukan pencegahan secara langsung bagi si korban. Dan hadis ini mestinya menjadi sebuah bentuk pencegahan oleh maẖram agar hal-hal di atas tidak terjadi dan menimpa perempuan. Ketiga, interpretasi teks hadis yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa maẖram masih relevan dengan kondisi dan situasi saat sini. Relevansi tersebut terlihat dari cakrawala hadis Bukhâri ke-1 dan ke-2, Muslim ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4, Abû Dâud ke-1, dan Ahmad ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 , Ad Dârimiy dan Ibnu Mâjah yaitu tentang larangan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan, lalu hadis Bukhârî ke-3 dan ke-4 dan Muslim ke-5 tentang keutamaan mendampingi seorang istri yang hendak berhaji dibandingkan berperang. Pendampingan dahulunya dilakukan oleh orang-orang terdekat perempuan, sedangkan pendampingan saat ini adalah adanya sederetan UndangUndang Perlindungan Perempuan dan lembaga-lembaga sosial dan hukum yang bertugas menaungi kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Undang-undang
56
dan lembaga tersebut memayungi beberapa peraturan yang salah satunya menjatuhkan hukuman bagi para pelaku serta melakukan advokasi bagi korban kekerasan. Namun, pencegahan secara konkrit saat ini dilakukan oleh keluarga atau dalam hal ini adalah maẖram . Sehingga hasil apropriasi ketiga ini menunjukkan bahwa hadis Nabi saw. masih relevan dengan kondisi dan situasi saat ini. Tabel 2 Apropriasi No
Cakrawala Teks Hadis
Cakrawala Peneliti
Apropriasi
1.
وَل ي ْدخل،«َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم يا:ٌ قال رجل،»عليْها رج ٌل إ ََّل ومعها حْ ر ٌم َّ رسول ،َّللا إنِّي أريد أ ْن أ ْخرج في جيْش كذا وكذا ْ : فقال،َّوا ْمرأتي تريد الحج اخرجْ معها
Saat ini, bermacam-macam lembaga sosial dengan misi melindungi kesejahteraan perempuan sudah banyak ditemui. Dalam ranah negara Indonesia sendiri, terdapat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) yang di dalamnya memuat sederetan Undang-Undang khusus untuk melindungi perempuan termasuk kekerasan. Lembaga lainnya adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( KOMNAS PEREMPUAN). Lalu, peraturan presiden juga menegaskan kepala atau anggota dalam badan pemerintahan, seperti ketua RT, kepala Camat, Walikota, Gubernur, Polisi, TNI turut menjaga dan melindungi kesejahteraan perempuan.
Makna dalam hadis penyertaan maẖram dalam perjalanan perempuan adalah bentuk perlindungan Perlindungan ini tidak hanya berlaku untuk keluarga perempuan saja, namun mencakup setiap elemen dalam masyarakat, badan pemerintahan dan negara.
«َل تسافر المرْ أة ثًلثة أي ٍَّام إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم
Keanekaragaman kasus kriminal kepada perempuan saat ini sedang menjadi sorotan. Beberapa kasus yang peneliti dapatkan diantaranya adalah kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian dan penculikan. Hal ini mengakibatkan dampak fisik dan psikis. Akibat fisik
Makna dalam hadis penyertaan maẖram dalam perjalanan perempuan adalah bentuk pencegahan. Larangan dalam cakrawala hadis mengisyaratkan
“ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).” Dengan redaksi yang sama, hadis ini diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim. Cakrawala teks dalam hadis ini menggambarkan tentang pendampingan kepada istri yang hendak berhaji. Pendampingan terhadap istri ini lebih utama dibandingkan berperang. 2.
“...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram – nya.” Dengan redaksi yang sama, hadis ini diriwayatkan oleh Bukhârî, Muslim, Abû
57
Dâud, Ibnu Mâjah, Ahmad bin Hanbal, adDârimî dan Turmudzî. Cakrawala hadis ini menunjukkan bentuk larangan melakukan perjalanan bagi perempuan.
3.
وَل ي ْدخل،«َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم يا:ٌ قال رجل،»عليْها رج ٌل إ ََّل ومعها حْ ر ٌم َّ رسول ،َّللا إنِّي أريد أ ْن أ ْخرج في جيْش كذا وكذا ْ : فقال،َّوا ْمرأتي تريد الحج اخرجْ معها
“ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).”
berupa cacat anggota tubuh serta kerusakan organ intim. Dan akibat psikis yaitu depresi serta keterancaman untuk bisa hidup secara normal kembali.
pencegahan secara konkrit yang bisa dilakukan oleh maẖram bagi perempuan agar tercegah dari bahayanya kekerasan dari lingkungan sekitar. Kedua hadis ini masih relevan. Relevansinya dapat terlihat dari hasil peleburan cakrawala redaksi teks di atas yang menunjukkan bentuk perlindungan sekaligus pencegahan. Relevasinnya, saat ini perlindungan dilakukan oleh lembaga hukum yang mengatur peraturan-peraturan seputar anti kekerasan terhadap perempuan, sedangkan dahulu dilakukan oleh maẖram perempuan tersebut. Demikian pula yang terjadi saat ini, pencegahan secara langsung dilakukan oleh maẖram secara konkrit bahkan sebelum kejahatan terjadi.
«َل تسافر المرْ أة ثًلثة أي ٍَّام إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم
“...Tidak boleh bagi seorang perempuan melakukan perjalanan atau bepergian selama tiga hari kecuali bersama maẖram – nya.”
D. Tinjauan Kritis Pemahaman Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan tanpa Maẖram Sebagaimana telah diungkapkan bahwa dalam penelitian ini penulis melakukan analisis dan penafsiran terhadap teks hadis Rasulullah SAW. dengan menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur, baik sebagai makna tanda maupun makna teks. Di samping itu, penafsiran terhadap teks hadis Rasulullah SAW. dalam tradisi Islam telah mempunyai tradisi ilmiah tersendiri.
58
Dalam mengkaji pemahaman tentang hadis perempuan melakukan perjalanan tanpa maẖram ini, peneliti menemukan diskursus pemahaman hadis oleh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz, Atiyatul Ulya melalui pendekatan sosiologis, dan Masnun Tahir melalui analisis keadilan gender. Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz, di dalam bukunya Al-Fatawâ asySyar’iyyah fi Al-Masâ’il Al-Ashriyyah min Fatawâ ‘Ulama Al-Balad Al-Harâm memaparkan penjelasan seputar hadis perempuan yang pergi haji atau tanpa disertasi maẖram . Di dalam buku tersebut terdapat satu pertanyaan, yakni ada seorang perempuan ingin melakukan perjalanan jauh menuju Jeddah untuk menunaikan umrah, ia diantar oleh maẖram -nya hanya sampai Riyadh dan ia pergi ke Mekkah lewat Jeddah dengan pesawat udara. Di Jeddah ia dijemput oleh seorang maẖram -nya yang lain. Apakah yang demikian itu boleh? Kemudian Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz memberikan jawaban bahwa hal yang demikian sudah haram hukumnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم “Janganlah perempuan melakukan perjalanan jauh kecuali bersama maẖram –nya.” Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz mengatakan mungkin saja hal tersebut terjadi, namun yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang duduk di sampingnya ketika dalam pesawat? Bisa jadi seorang laki-laki baik, namun bisa jadi laki-laki yang jahat. Maka selagi masalah ini rawan, sebagaimana firman Allah “dan janganlah kamu mendekati zina”, maka wajib bagi setiap individu untuk tidak memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk mendampingi perempuannya
59
dalam perjalanan kecuali bersama maẖram .76Demikianlah pemahaman Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz terhadap hadis perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram . Selanjutnya Atiyatul Ulya, di dalam artikelnya yang berjudul Konsep Maẖram Jaminan Keamanan atau Pengekangan Perempuan, ia menyatakan bahwa dalam mengkaji hadis tersebut pertama-tama ia melakukan takhrij (penelusuran) hadis terkait maẖram sebagai berikut:
:ي صلَّى َّللا عليْه وسلَّم ي ْخطب يقول َّ سمعْت النَّب: يقول،س ٍ سمعْت ابْن عبَّا: قال،ع ْن أبي معْب ٍد ،ٌ فقام رجل،» وَل تسافر ْالمرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم،«َل ي ْخلو َّن رج ٌل با ْمرأ ٍة إ ََّل ومعها ذو محْ ر ٍم ْ إ َّن ا ْمرأتي خرج، يا رسول َّللا:فقال «ا ْنطل ْق: قال، وإنِّي ا ْكتتبْت في غ ْزوة كذا وكذا،ت حا َّجةا 77 »فح َّج مع ا ْمرأتك “..Tidak boleh seorang perempuan menyendiri dengan orang lain (laki-laki)kecuali dengan maẖram -nya. Seorang laki-laki berdiri dan berkata kepada Rasulullah saw. Bagaimana jika seorang bepergian karena ada uzur kepentingan tertentu untuk peperangan? Nabi saw. berkata “Pergilah berhaji dengan mengajak isterimu.” Dari hasil penelurusan tersebut, terdapat 31 hasil temuan yang termuat dalam semua kitab hadis, kecuali Sunan al-Nasâi. Hasil dari takhrij hadis ini menyimpulkan bahwa hadis tersebut berkualitas shahîh lizâtihi. Selanjutnya, Atiyatul Ulya melakukan pendekatan sosiologis baik saat hadis itu diucapkan maupun perbandingannya dengan kondisi dan situasi saat ini. Pertama, ia memaparkan pendapat para ulama terkait hadis penyertaan maẖram dalam perjalanan perempuan, hadis ini berbicara seputar haji bagi perempuan, seperti pendapat Imam Syâfi’i dan Imam al-Nawawī yang menyatakan bahwa
76 Abdullah bin Bâz, Fatwa-Fatwa Terkini. Penerjemah Mushtofa ‘Aini, Hanif Yahya dan Amir Hamzah ( Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 393. 77 Muslim, Shaẖîẖ Muslim, juz 2, no. 424.
60
perempuan yang hendak melaksanakan haji tidak diharuskan adanya maẖram bersamanya, namun mensyaratkan keamanan bagi perempuan yang melaksanakan haji. Dari pendapat kedua ulama tadi, ia menyimpulkan bahwa metode kedua ulama tersebut sudah mengindikasikan adanya pendekatan sosiologis dalam memahami hadis. Selanjutnya, ia memaparkan gambaran situasi dan kondisi saat hadis itu dikeluarkan berdasarkan riwayat hadis S̱haẖiẖ Bukhâri nomor 3595 dalam Kitab Fathul Bâri karya Ibnu Hâjar al-Atsqolâni, sebagai berikut “Waktu kami sedang bersama Nabi SAW. tiba-tiba ada seorang laki-laki datang mengadukan kepada ia tentang kemiskinan, kemudian datang seorang lagi yang mengadukan gangguan jalan (tidak ada keamanan). Maka Nabi bersabda: ‘Sudah pernah lihatkah kamu desa Hirah, hai ‘Adi? Jawabku belum, tetapi sudah mendengar beritanya”, sambung ia kalau kiranya panjang umurmu tentulah kamu akan mengalami zaman seorang wanita bepergian dari desa Hirah itu sampai berthawaf mengelilingi Ka’bah , dengan tiada yang ditakuti kecuali Allah “....Kata ‘Adi, “Di kemudian hari aku melihat wanita bepergian dari desa Hirah sehingga berthawaf di Ka’bah, tiada yang ditakuti melainkan Allah.”...78 Dari redaksi hadis ini, ia menyatakan bahwa kondisi perempuan dahulu secara umum belum terbiasa dengan kondisi di luar rumah bahkan keterampilan pertahanan diri tidak dikuasai dengan baik, maka tidaklah bijaksana jika Rasulullah
Ibnu Hâjar al-Asqolâni, Fathu al-Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâry, kitâb al-manâqib, bâb ‘alâmat al nubuwwah fi al-islâm juz 2( Riyadh: Bait al-Afkâr, t.t.) 78
61
saw. membiarkan perempuan pergi seorang diri. Jadi alasan larangan Rasul tersebut karena faktor keamanan. Pada tahap selanjutnya, ia memaparkan kondisi dan situasi saat ini yang berbeda dengan situasi pada masa Rasul dahulu. Saat ini sudah ada beragam alat transportasi yang dapat memudahkan perempuan untuk melakukan perjalanan, dan tentu kekhawatiran akan keamanan perempuan yang pergi tanpa disertai maẖram mampu terkikis. Namun jika pada daerah yang terpencil, sarana transportasi terbatas serta di daerah-daerah rawan konflik, maka menemani perempuan keluar menjadi sebuah keharusan. Sehingga kesimpulannya adalah hadis-hadis maẖram jika dipahami secara literalis normative akan berdampak pada pengekangan terhadap perempuan, namun jika dipahami secara filosofis empiris, hadis ini mencerminkan adanya tanggung jawab bersama untuk membangun sistem yang aman dan ramah bagi perempuan sehingga mereka bisa beraktivitas seperti kaum laki-laki.79 Selanjutnya, Masnun Tahir menghadirkan pemahaman hadis terkait maẖram melalui perspektif keadilan gender dnegan memaparkan terlebih dahulu persoalan kemanusiaan dewasa ini yang diteliti melalui pendekatan gender ( key appoache to he study of religion ). Analisis gender ini digunakan untuk membedah program pembangunan dengan mengukur partisipasi, siapa yang memperoleh manfaat dan keuntungan dari program-program itu. Yang paling utama dan
Athiyatul Ulya, “Konsep Maẖram Jaminan Keamanan atau Pengekangan Perempuan,” Al-Fikr, V. 17, no. 1 (2013): h. 245 79
62
mendasar, analisis ini sebenarnya digunakan sebagai analisa untuk membuktikan ketertindasan perempuan, dan gerakannya disebut dengan feminisme.80 Lalu, Masnun Tahir menjelaskan sejarah bagaimana feminisme tersebut lahir dari realitas sejarah yang menganut sistem patriarki dan pemahaman kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki juga berangkat dari pemahamanpemahaman Al-Qur’an dan hadis yang cenderung bias gender. Dari sinilah muncul feminis-feminis muslim yang berusaha mengkritisi penafsiran ulama-ulama yang terkesan bias gender. Dari sinilah feminis berjuang melalui teori-teorinya untuk membalikkan kontruksi sosial tentang perempuan. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga semangat kesetaraan dan keadilan sebenarnya sudah tertera dalam dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis. Termasuk hadis tentang maẖram . Selanjutnya ia menyimpulkan, jika konsep maẖram di dalam hadis apabila tetap dipertahankan, maka akan melahirkan stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pengawalan laki-laki. 81 Demikianlah sederetan penjelasan singkat tentang beberapa pemahaman hadis tentang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram melalui berbagai pendekatan baik dalam metode Islam maupun analisis gender. Dari pemaparan di atas, penulis akan mencoba memberikan tinjauan kritis yang mana menghadirkan perbandingan dari segi proses atau metode dan hasil penafsiran beberapa pendekatan di atas dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur yang peneliti lakukan terkait hadis maẖram .
80 Masnun Tahir, “Maẖram Transformasi Zaman: Sebuah Analisa Fiqhiyyah dan Keadilan Gender,” Musawâ, V. 9, no. 1 (Januari 2010), h. 76. 81 Masnun Tahir, “Maẖram Transformasi Zaman: Sebuah Analisa Fiqhiyyah dan Keadilan Gender,” h. 79.
63
Tabel 3 Tinjauan Kritis Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan tanpa Maẖram
َّ يا رسول:ٌ قال رجل،» وَل ي ْدخل عليْها رج ٌل إ ََّل ومعها محْ ر ٌم،َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم َّللا إنِّي أريد أ ْن أ ْخرج في ْ : فقال،َّ وا ْمرأتي تريد الحج،جيْش ذا كذا اخرجْ معها
“ Janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama maẖram , dan janganlah seorang laki-laki menemuinya kecuali ia (perempuan itu) bersama maẖram ”. Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah saw. saya ingin pergi keluar untuk berperang, tetapi istriku ingin pergi haji”, maka Rasul menjawab, “berangkatlah bersamanya (istrimu).” Metode Hasil Abdullah bin Bâz Cenderung tekstual dalam melihat hadis Nabi Perempuan melakukan perjalanan jauh tanpa maẖram itu haram. Kesimpulan saw. ،َل تسافر المرْ أة إ ََّل مع ذي محْ ر ٍم ini ia ambil berdasarkan teks hadis yang tertera di samping. Atiyatul Ulya Melakukan Takhrij Hadis dengan hasil bahwa Hadis-hadis maẖram jika dipahami literalis normative akan hadis-hadis maẖram berkualitas sahih secara berdampak pada pengekangan terhadap lidzatihi. Mencantumkan pendapat ulama, diantaranya perempuan, namun jika dipahami secara pendapat Imam Nawawi dan Syafi’i yang tidak filosofis empiris, hadis ini menjadi mensyaratkan maẖram dalam perjalanan haji konsep ajaran Islam tentang jaminan perlindungan terhadap perempuan dan perempuan. Memberikan penjelasan historis tentang situasi mencerminkan adanya tanggung jawab dan kondisi saat itu bahwa dahulu trasnportasi bersama untuk membangun sistem yang masih menggunakan unta dan daerahnya aman dan ramah bagi perempuan sehingga mereka bisa beraktivitas rawan peperangan dan kejahatan Memberikan analisis kontekstual dengan seperti kaum laki-laki. situasi dan kondisi saat ini bahwa transportasi kini sudah banyak dan perempuan dapat pergi kemana pun selama keamanannya terjaga oleh lingkungan sekitar. Masnun Tahir menunjukkan Memaparkan kemunculan feminisme Konsep maẖram ketidakmandirian perempuan. Hadis berangkat dari keresahan adanya ketimpangan terkait maẖram apabila dipertahankan sosial antara laki-laki dan perempuan Memaparkan pandangan feminisme bahwa maka akan melahirkan stigma bahwa beberapa penafsiran klasik ulama cenderung perempuan adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pengawalan bias gender laki-laki.
64
Hermeneutika Ricoeur
Penafsiran Semioogi Struktural yaitu terlebih dahulu mengumpulkan hadis-hadis terkait maẖram . Lalu melakukan cakrawala teks bahwa hadis tersebut menggambarkan larangan perempuan bepergian tanpa disertai maẖram dan keutamaan mendampingi istri yang hendak berhaji dibanding berperang. Penafsiran Apropriasi, terlebih dahulu memberikan gambaran cakrawala peneiliti tentang sejarah hidup maupun situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar peneliti. Bahwa saat ini sudah banyak ditemukan lembagalembaga perlindungan perempuan yang mengatur beberapa peraturan atau Undangundang demi menjamin keamanan perempuang, hal ini salah satunya dikarenakan oleh tingkat kejahatan terhadap perempuan semakin meningkat, seperti pelecehan seksual dan perampokan.
Selanjutnya akan dijelaskan kedetilan
Makna hadis di atas adalah bentuk perlindungan dan pencegahan. Perlindungan tersebut dilakukan oleh lembaga atau badan pemerintah yang termuat dalam peraturan atau perundang-undangan, serta pejabat hingga masyarakat untuk menjaga keamanan perempuan. Sedangkan pencegahan secara konkrit dilakukan oleh keluarga yang dalam hal ini adalah maẖram si perempuan. Keluarga mampu memberikan pendampingan secara ril bagi perempuan saat kejahatan itu belum terjadi.
perbandingan di atas. Pertama,
Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz menyatakan bahwa perempuan yang melakukan perjalanan wajib ditemani oleh maẖram-nya, hal tersebut berdasarkan hadis nabi yang dengan jelas mencantumkan kata maẖram dalam redaksinya. Hal ini menunjukkan pemahaman yang tekstual. Dalam memaknai arti maẖram, hermeneutika Paul Ricoeur juga tidak mengabaikan arti yang tekstual. Maẖram dalam hadis tersebut tetap dimaknai sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān dan memiliki peran dalam bentuk pencegahan secara ril bagi si perempuan. Kedua, Atiyatul Ulya memaknai hadis tersebut sebagai jaminan perlindungan yang dilakukan oleh setiap individu, masyarakat dan negara. Dalam artikelnya, ia menjelaskan historikal kondisi dan situasi pada masa Nabi dan sahabat yang hampir dapat dikatakan sering terjadi konflik dan peperangan serta
65
kesediaan alat transportasi sangat minim, sehingga alasan Nabi melarang perempuan keluar tanpa maẖram adalah faktor keamanan. Penjelasan historikal hadis di atas juga dicantumkan dalam pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur sebagaimana yang tercantum dalam cakrawalas hadis. Cakrawala hadis menggambarkan kondisi peperangan dan pendampingan bagi seorang istri. Selain itu, Atiyatul Ulya menjelaskan sisi kontekstualitas hadis dengan masa kini. Jika melihat situasi dan kondisi saat ini tentu sangatlah berbeda. Perempuan bepergian tanpa maẖram kini banyak dijumpai, sebab telah ada jaminan keamanan dari lingkungan sekitar. Hal tersebut serupa dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur yang tercantum pada cakrawala peneliti bahwa saat ini sudah banyak lembaga-lembaga atau sederetan perundang-undangan yang berfungsi memberikan perlindungan bagi perempuan ataupun hukuman bagi para pelaku kejahatan. Perbedaannya adalah lembaga-lembaga perempuan dan perundang-undangan tersebut sebagian besar berada pada ranah melindungi perempuan saja ketika kejahatan telah terjadi, melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan dan menghukum si pelaku. Sementara melalui pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur, menempatkan peran maẖram sebagai bentuk pencegahan secara ril dan konkrit terhadap kejahatan kepada perempuan. Ketiga, Masnun Tahir dalam artikelnya menggunakan pendekatan gender. Dimana para feminis mulai mengkritisi penafsiran para ulama tentang hadis tersebut yang terkesan bias gender dan tidak adil pada perempuan. Jika konsep maẖram dalam hadis tersebut dipertahankan, maka akan melahirkan stigma bahwa perempuan lemah dan selalu membutuhkan pengawalan laki-laki. Begitu pula
66
dalam hermeneutika Paul Ricoeur pada cakrawala peneliti digambarkan tentang beberapa teman perempuan rantauan peneliti dari berbagai daerah yang menandakan bahwa kini perempuan mampu bepergian jauh tanpa didampingi oleh maẖram-nya. Sehingga menghapuskan paham bias gender yang menganggap perempuan lemah dan butuh pendampingan. Namun, perbedaannya adalah hadis penyertaan maẖram tersebut masih relevan, karena terdapatnya peran maẖram dalam mencegah kejahatan terhadap perempuan. Dari pemaparan di atas, maka dapat terlihat bahwa berbagai pendekatan kajian keislaman maupun gender tidak saling bertentangan dengan pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur bahkan sangat mungkin dilakukan penyatuan yang saling melengkapi. Secara keseluruhan, pendekatan yang ditawarkan oleh hermeneutika Paul Ricoeur memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan ilmu hadis, khususnya pada pemaparan sisi kontekstualitas hadis tersebut.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Terdapat problem dalam memahami hadis terkait maẖram. Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melakukan perjalanan jauh maka harus disertai oleh maẖram-nya, namun permasalahannya mungkinkah mahram akan selalu mendampingi perempuan dalam melakukan aktivitasnya di luar. Hal ini jg menjadi salah satu latar belakang muculnya perda syari’at di beberapa daerah. Sementara itu, kejahatan yang terjadi pada perempuan saat ini semakin marak dan merebak, mulai dari usia muda, dewasa hingga tua, seperti pemerkosaan, pencabulan dan perampokan. Selain itu, bagaimana sebenarnya peran maẖram yang tercantum dalam hadis Nabi tersebut. Pemaknaan yang dapat di ambil melalui pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur dari hadis yang melarang perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai maẖram adalah bentuk perlindungan dari lembaga berupa sederetan perundangundangan, aksi pejabat atau kepala pemerintahan serta masyarakat. Selain itu, peran maẖram dalam hadis tesebut. adalah bentuk pencegahan secara konkrit. Pencegahan tesebut dilakukan oleh keluarga dekat perempuan yang dalam hal ini adalah maẖram. B. Saran
67
68
Dalam mengambil makna dalam hadis hendaknya tidak ditinjau dari segi teksnya saja, namun juga mempertimbangkan kontekstual pada masa ini. Dan juga dilakukan kedetilan dalam mengambil makna yang terkandung dalam hadis sehingga bisa lebih jelas dan sistematis. Penulis mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut yang memberikan argumen lebih kuat melalui metode pendekatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-‘Azim. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-‘Azîz. Madinah: Dâr alTaqwid, 1995. Abdullâh bin Mâjah al-Quzwani, Abû Abdullâh Muhammad. Sunan Ibn Mājah, juz 9. Maktabah al-Syâmilah. Abû Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzî. Sunan al-Turmuzi, Bāb Mā Jā’a fi Karahiyati an Tusafiru al-Mar’ah Wahdaha. Maktabah al-Syâmilah. Adi Putra, Muhlis. “Hadis-hadis tentang Larangan bagi Perempuan Berpuasa Sunnah tanpa Izin Suami (Studi Ma’ani al-Hadis).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz.8. Maktabah al-Syâmilah. Alfikri Suryadinata, Ahmad .“Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Mahram dalam Kutub Al-Tis’ah.” MUSÂWA IX, no. 1 (Januari 2010): h. 19-39. Aminullah, Aam. “Kesucian Siswi SMP di Sumedang Direnggut 5 Remaja Bejat.” Artikel
diakses
pada
17
Juli
2016
dari
http://daerah.sindonews.com/read/1124063/21/kesucian-siswi-smp-disumedang-direnggut-5-remaja-bejat-1468751555 al-‘Asqalânî, Ibn Hajr. Fath al-Bâri, bab Haj al-Nisâ, juz 6, Maktabah al-Syâmilah. al-Bukhâri. S̱aẖîẖ al-Bukhâri, juz 2, Bâb Masjidu Baitu al-Maqdis, Maktabah alSyâmilah. al-D̂arimiy. Sunan al-Dârimiy, Bâb Fii Igtisâl. Maktabah al-Syâmilah. 69
70
E. Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Musnur Hery daan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Fardiansyah, Ahmad. “Siswi Magang Diduga Diperkosa Tiga PNS Walkot Jakpus.” Artikel
diakses
pada
10
Agustus
2016
dari
http://m.okezone.com/read/2016/08/05/338/1456039/siswi-magangdiduga-diperkosa-tiga-pns-walkot-jakpus. Ghazaly, Abd Rahman . Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003. Haruddin Tanjung, Banda. “Perkosa Gadis Belia, Pelajar Kota Dumai Ditangkap.” Artikel
diakses
pada
10
Agustus
2016
dari
http://daerah.sindonews.com/read/1129047/174/perkosa-gadis-beliapelajar-di-kota-dumai-ditangkap-1470392003. HM, Sabit. “Rekonstruksi Fiqh Jinayat Terhadap Perda Syariat Islam.” Islamica VI, no. 2 (Maret 2012): h. 329-343. Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta : PT Bulan Bintang: 2009. Kusmana. Hermeneutika Al-Qur’an : Sebuah Pendekatan Praktis Aplikasi Hermeneutik Modern dalam Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press: 2004. Kholik, Idham. “Pagi-pagi Perempuan Dirampok dalam Mikrolet 06A.” Artikel diakses pada 17 Juli 2016 dari http://news.detik.com/berita/3205258/pagipagi-perempuan-dirampok-dalam-mikrolet-m-06a.
71
Laila Syahidah, Nur. “Kontekstualisasi Hadis Penyertaan Maẖram dalam Perjalanan Seorang Perempuan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Ma’lûf, Luîs. Al-Munjid fî Al-Lughah wa Al-A’lâm. Beirut: Dâr al-Masyriq, 2007. Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh. Fatwa-Fatwa tentang Wanita. Penerjemah Majmuah. Jakarta: Darul Haq, 2011. Muhyiddin Abu Zakariyya bin Syaraf an-Nawawi. Syarah S̱ahîh Muslim. Beirut: Darul Kitab, tt. Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta : IRCiSoD, 2012. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terengkap. Surabaya: Pustaka Progresif: 2002. Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Abi al-Husain al-Naisaburi. S̱aẖîẖ Muslim, juz 2. Maktabah al-Syâmilah. Mustaqim, Abdul. “Konsep Mahram dalam Al-Qur’an (Implikasinya dalam Mobilitas Kaum Perempuan di Ranah Publik).” Musâwa, VI, no. 1 (Januari 2010): h. 1-18. Al-Nawawî. S̱ahih Muslim bi Syarhi al-Nawawî II. Beirut: Dar Al-Fikr. Quamila, Ajeng. “8 Trauma Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Seksual.” Artikel diakses pada 28 Desember 2016 dari https://hellosehat.com/trauma-akibatkekerasan-seksual/.
72
Ricoeur, Paul. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Penerjemah Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, 1991. --------.Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Penerjemah Musnur Hery. Yogyakarta: Ircisod, Cet.II, 2003. Shaleh, Qamaruddin. Dkk. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an Bandung: C.V. Penerbit Diponegoro, 2007. Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an II. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abû Dâud, juz 5. Maktabah al-Syâmilah. Sumaryono, E. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Tihami, H.M.A. dan Sahran, Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Ulya, Athiyatul. “Konsep Mahram Jaminan Keamanan atau Pengekangan Perempuan.” Al-Fikr XVII, no. 1 (2013), h. 237-247. Wachid B.S., Abdul. “Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur.” ‘Ibda’ VII, no. 1, (Januari-Juni 2009): h. 161-177. Warouw, Valentino “Pria Pengangguran Memperkosan Siswi SMP.” Artikel diakses
pada
2
Agustus
2016
dari
http://daerah.sindonews.com/read/1123761/193/pria-pengangguran-inirenggut-kesucian-gadis-manado-1468591209
73
https://www.amazon.com/Paul%20Ricoeur/e/B000APSDRC/ref=la_B000A PSDRC_pg_1?rh=n%3A283155%2Cp_82%3AB000APSDRC&sort=authorpages-popularity-rank&ie=UTF8&qid=1482397097 diakses pada hari Kamis, 22 Desember 2016. www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Lembar-FaktaCatatan-Tahunan-_CATAHU_-Komnas-Perempuan-2016.pdf http://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunan-catahu2016-7-maret-2016/ diakses pada hari Selasa, 27 Desember 2016. http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id =622:opini-edisi-33--memaknai-kembali-konsep-mahram&catid=33:opini-suararahima&Itemid=305
74