23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai PGPR sebagai rizobakteria memberikan pengaruh tertentu terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diujikan di rumah kaca. Uji pemacuan pertumbuhan memberikan hasil berdasarkan laju pertambahan tinggi tanaman kedelai per minggu. Pada minggu ke-1 penanaman, nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman kedelai terbesar terdapat pada perlakuan P1 5, yaitu 17.03±2.01 cm. Pada minggu ke-2 dan ke-3, nilai terbesar rata-rata pertambahan tinggi terjadi pada tanaman kontrol, berturut-turut yaitu 38.24±1.52 cm dan 57.63±1.05 cm. Nilai terbesar laju pertambahan tinggi tanaman kedelai pada minggu ke-4 sampai minggu ke-7 terdapat pada perlakuan yang berbeda-beda, berturut-berturut adalah B12 10 (74.60±28.71 cm), B12 20 (28.80±20.83 cm), P1 15 (15.60±10.99 cm), dan F8 5 (9.65±9.68 cm). Nilai terbesar laju pertambahan tinggi tanaman per minggu tersebut menunjukkan bahwa terdapat variasi antara setiap perlakuan berdasarkan baik jenis PGPR yang diaplikasikan maupun waktu perendaman. Laju pertambahan tinggi tanaman kedelai per minggu dapat dilihat pada Lampiran 1. Jenis bakteri PGPR dan waktu perendaman merupakan faktor yang diujikan terhadap pemacuan pertumbuhan. Kedua faktor ini dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap laju pertambahan tinggi tanaman. Jika jenis bakteri mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman, maka ketiga isolat PGPR yang digunakan pada perlakuan menunjukkan keefektifan sebagai pemacu pertumbuhan kedelai di rumah kaca. Begitu pula dengan pengaruh yang diberikan oleh faktor waktu perendaman. Pengaruh faktor terhadap respon yang diamati dapat ditentukan berdasarkan nilai P. Nilai P merupakan peluang yang ditunjukkan dari analisis ragam (ANOVA) yang dibandingkan dengan taraf nyata 5% untuk mengetahui faktor yang diujikan akan mempengaruhi atau tidak mempengaruhi respon yang diamati. Nilai P dari ANOVA memberikan informasi bahwa pertambahan tinggi tanaman kedelai bisasaja dipengaruhi oleh faktor jenis bakteri, waktu perendaman, atau interaksi dari kedua faktor tersebut.
24
Tabel 1 Ringkasan nilai P berdasarkan ANOVA laju pertambahan tinggi tanaman kedelai dan AUHPGC Sumber Keragaman Bakteri Perendaman Bakteri*Perendaman
1 0.817c 0.000 0.067
Pertambahan tinggi (MST)a 2 3 4 5 6 0.673 0.428 0.498 0.987 0.788 0.000 0.000 0.006 0.402 0.748 0.645 0.359 0.406 0.324 0.216
7 0.935 0.456 0.672
AUHPG (%hari)b 0.618 0.001 0.644
a
MST = minggu setelah tanam. AUHPGC = Area Under Height of Plant Growth Curve. c Angka berdasarkan Analysis Variance (ANOVA) laju pertambahan tinggi menggunakan Minitabversi 14. b
25
26
Berdasarkan hasil ANOVA ternyata waktu perendaman berpengaruh terhadap laju pertambahan tinggi tanaman pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 dan nilai AUHPGC (Tabel 1). Nilai P yang dihasilkan oleh perendaman pada analisis ragam tersebut lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata 5%. Sedangkan mulai minggu ke-5 sampai minggu ke-7 perendaman tidak memberikan pengaruh nyata.Perendaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman namun bakteri tidak menunjukkan pengaruh tersebut karena bakteri PGPR (P1, B12, F8) memang tidak pernah diujikan untuk perlakuan perendaman pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. MenurutSchroth and Becker (1990 dalamYan et al.2012) metode aplikasi PGPR yang berbeda akan mempengaruhi pemacuan pertumbuhan dan penghambatan munculnya kejadian penyakit. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hasil penelitian Wardani (2012), bakteri PGPR P1 ternyata memberikan keefektifan sebagai pemacu pertumbuhan pada tanaman tomat dengan metode aplikasi melalui penyiraman. Nilai total laju pertambahan tinggi kedelai selama 7 minggu pengamatan dinyatakan dalam Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC). Nilai AUHPGC akan menunjukkan perlakuan yang mampu menjadi pemacu pertumbuhan terhadap tanaman kedelai yang diamati di rumah kaca. Tabel 2 Nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) pada setiap perlakuan perendaman Perlakuan P1 5 P1 10 P1 15 P1 20 B12 5 B12 10 B12 15 B12 20 F8 5 a
AUHPGC(cmhari)a b
1456.67± 234.42a 1424.00± 201.42a 728.80± 473.38a 988.88± 36.70a 1309.47± 244.48a 1496.88± 238.66a 960.00± 543.21a 960.00± 340.91a 1418.13± 316.31a
Perlakuan
AUHPGC (cmhari)
F8 10 F8 15 F8 20 A5 A 10 A 15 A 20 Kontrol
975.87± 268.29a 841.12± 228.43a 790.53± 149.17a 1108.24± 489.56a 1574.32± 134.13a 1045.87± 767.49a 814.13± 207.07a 1612.51± 107.74a
AUHPGC = Area Under Height of Plant Growth Curve. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf 5%.
b
27
Nilai AUHPGC tertinggi terdapat pada kontrol, yaitu 1612.51±107.74 cmhari. Artinya perlakuan benih kedelai selama 5, 10, 15, dan 20 jam perendaman baik dengan aplikasi bakteri PGPR (P1, B12, dan F8) maupun tidak (A) ternyata tidak dapat memacu pertumbuhan kedelai dengan baik dibandingkan kontrol (Tabel 2). Kurangnya keefektifan bakteri PGPR dalam memacu pertumbuhan kedelai dapat disebabkan adanya interaksi antara bakteri bintil akar (Rhizobium sp.) dengan bakteri PGPR. Interaksi ini mungkin menyebabkan bakteri bintil akar kurang mampu memfiksasi Nitrogen (N2) sehingga pertumbuhan kedelai menjadi terganggu. Meskipun demikian, masing-masing perlakuan aplikasi bakteri PGPR dengan perendaman 5 dan 10 jam menghasilkan nilai AUHPGC yang tidak berbeda nyata dengan kontrol dibandingkan perendaman selama 15 dan 20 jam. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman benih dengan aplikasi bakteri PGPR selama 5 dan 10 jam memberikan peluang yang lebih baik dibandingkan perendaman selama 15 dan 20 jam dalam memacu pertumbuhan tanaman kedelai. Berdasarkan hasil penelitian Khalimi (2009), benih kedelai yang direndam dengan bakteri P. aeruginosa selama 30 menit menghasilkan kedelai dengan tinggi batang, jumlah cabang, jumlah daun, bobot akar, bobot tajuk, serta bobot polong yang lebih besar dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman benih dengan bakteri agens biokontrol tidak memerlukan waktu yang lama. Perlakuan benih kedelai selama empat waktu perendaman yang berbeda menunjukkan hasil bahwa benih yang direndam PGPR selama 5 dan 10 jam memiliki nilai total pertambahan tinggi dan AUHPGC yang lebih besar dibandingkan 15 dan 20 jam(Tabel 3).Keempat waktu perendaman dibandingkan berdasarkan laju pertambahan tinggi mulai dari minggu ke-1 sampai minggu ke-4. Hal ini disebabkan waktu perendaman mempengaruhi laju pertambahan tinggi pada keempat minggu tersebut. Secara umum bakteri P1, B12, dan F8 tidak menghasilkan
keefektifan
sebagai
pemacu
pertumbuhan
jika
dilakukan
perendaman yang terlalu lama, yaitu 15 dan 20 jam. Waktu perendaman 5 dan 10 jam menunjukkan laju pertambahan tinggi dan nilai AUHPGC yang lebih besar dibandingkan perendaman 15 dan 20 jam.
28
Tabel 3 Pengaruh waktu perendaman terhadap laju pertambahan tinggi kedelai dan AUHPGC Waktu perendaman (jam) 5 10 15 20
Pertambahan tinggi(MST)a 1
2
3
4
AUHPGC (cmharib
13.51±3.19ac 12.19±3.25ab 6.07±2.02c 7.68±1.97bc
30.34±2.53a 30.58±6.33a 18.73±3.09b 17.13±1.03b
43.43± 5.27a 42.60±12.30a 24.90± 5.02b 22.85± 1.30b
56.53± 7.44ab 59.32±18.36a 40.65± 5.22bc 35.62± 4.76c
1323.13±156.23a 1367.77±268.38a 907.44±118.12b 888.38±100.53b
a
MST = minggu setelah tanam. AUHPGC = Area Under Height of Plant Growth Curve. c Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncanpada taraf 5%. b
28
29
Pengaruh PGPR terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tanaman Kedelai Bobotbasah akar terbesar dihasilkan oleh tanaman pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 0.39±0.07 gram/tanaman. Sedangkan bobot basah akar dengan angka terkecil dihasilkan oleh tanaman kedelai dengan perlakuan F8 15 sebesar 0.16±0.02 gram/tanaman (Tabel 4). Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot basah akar, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk kedelai pada 7 minggu setelah tanam (MST) Perlakuan P1 5 P1 10 P1 15 P1 20 B12 5 B12 10 B12 15 B12 20 F8 5 F8 10 F8 15 F8 20 A5 A 10 A 15 A 20 Kontrol
Bobot basah akar (gram/tanaman)a 0.32± 0.05abc 0.32± 0.12abc 0.19± 0.10cd 0.25± 0.08abcd 0.34± 0.01abc 0.36± 0.05ab 0.19± 0.06cd 0.24± 0.04bcd 0.30± 0.06abcd 0.22± 0.11cd 0.16± 0.02d 0.20± 0.08cd 0.24± 0.05abcd 0.30± 0.03abcd 0.21± 0.14cd 0.20± 0.08cd 0.39± 0.07a
Bobot kering akar (gram/tanaman)
Bobot kering tajuk (gram/tanaman)
0.09± 0.01abc 0.10± 0.02abc 0.07± 0.05abc 0.08± 0.03abc 0.12± 0.02a 0.10± 0.02ab 0.06± 0.02cd 0.07± 0.01abc 0.09± 0.01abc 0.06± 0.02bc 0.05± 0.01c 0.06± 0.03bc 0.06± 0.02bc 0.09± 0.01abc 0.06± 0.04bc 0.07± 0.02abc 0.11± 0.01a
2.75± 0.74abcd 2.56± 0.30abcdef 1.21± 0.70f 1.57± 0.47def 2.93± 0.46abc 2.82± 1.04abcd 1.92± 0.97abcdef 1.69± 0.31cdef 2.58± 0.88abcde 1.92± 0.17bcdef 1.58± 0.53def 1.21± 0.63f 2.07± 0.92bcdef 3.41± 0.38a 1.80± 1.49bcdef 1.36± 0.35ef 3.11± 0.18ab
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Hasil menunjukkan bahwa benih yang diberikan aplikasi PGPR melalui perendaman selama 5, 10, 15, dan 20 jam tidak menghasilkan bobot akar basah yang lebih besar dibandingkan kontrol.Berbeda dengan bobot basah akar, bobot kering akar terbesar dihasilkan oleh tanaman kedelai dengan perlakuan B12 5, yaitu 0.12±0.02 gram/tanaman, sedangkan tanaman kontrol menghasilkan bobot kering akar sebesar 0.11±0.01 gram/tanaman. Bobot kering akar pada kontrol menunjukkan hasil terbesar kedua setelah B12 5. Sedangkan bobot basah akar terbesar kedua adalah B12 10. Walaupun terjadi perbedaan, pada dasarnya terdapat tiga perlakuan yang menghasilkan bobot basah dan kering akar dengan nilai terbesar, yaitu B12 5, B12 10, dan kontrol. Bobot basah dan kering akar yang
30
terkecil dihasilkan oleh tanaman kedelai dengan perlakuan yang sama, yaitu F8 15.Bobot kering tajuk terbesar dihasilkan oleh tanaman kedelai dengan perlakuan A 10 sebesar 3.41±0.38 gram/tanaman, sedangkan bobot kering tajuk terkecil dihasilkan oleh tanaman kedelai dengan perlakuan F8 20. Berdasarkan Tabel 4, secara umum perendaman dengan aplikasi bakteri PGPR terhadap benih kedelai selama 5 dan 10 jam menghasilkan bobot kering akar dan tajuk yang lebih besar dibandingkan dengan perendaman 15 dan 20 jam. Bobot basah akar, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk merupakan data pendukung hasil dari pengujian pemacuan pertumbuhan kedelai yang diamati di rumah kaca. Berdasarkan hasil penimbangan bobot akar, tidak ada perlakuan yang menunjukkan nilai bobot basah akar yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Di samping itu bobot kering akar dan tajuk pada perlakuan benih perendaman selama 5 dan 10 jam juga menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan 15 dan 20 jam.
Pengaruh PGPR terhadap Penghambatan Busuk Pangkal Batang (S. rolfsii) Perendaman benih selama 5 dan 10 jam dengan aplikasi PGPR (P1, B12, F8) memberikan pengaruh yang baik. Hal ini ditinjau dari besarnya AUHPGC, bobot basah akar, bobot kering akar, dan bobot kering tajukyang dihasilkan pada uji pemacuan pertumbuhan. Kedua waktu perendaman tersebut menjadi perlakuan yang digunakan pada uji penghambatan busuk pangkal batang (S. rolfsii). Nilai P sebagai pembanding antara kedua faktor yang diuji dengan respon yang diamati juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam uji penghambatan penyakit busuk pangkal batang kedelai. Respon yang diamati dalam uji penghambatan adalah kejadian penyakit.Tabel 5 menunjukkan ringkasan nilai P berdasarkan ANOVA kejadian penyakit dan AUDPC.
31
Tabel 5 Ringkasan nilai P berdasarkan ANOVA kejadian penyakit dan AUDPC Sumber Keragaman
Kejadian penyakit(MST)a
Bakteri Perendaman
1 0.940c 0.337
2 3 0.862 0.699 0.006 0.002
4 0.699 0.002
5 0.487 0.003
6 0.061 0.000
Bakteri*Perendaman
0.656
0.380 0.304
0.304
0.602
0.467
AUDPC (%hari)b 0.635 0.002 0.492
a
MST = minggu setelah tanam. AUDPC = Area Under Disease Progress Curve. c Angka berdasarkan Analisis Variance (ANOVA) kejadian penyakit busuk pangkal batang menggunakan Minitab versi 14. b
Perendaman terhadap benih kedelai memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap munculnya kejadian penyakit pada minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah tanam dan nilai AUDPC. Sedangkan jenis bakteri PGPR tidak memberikan pengaruh terhadap kejadian penyakit tersebut. Hal ini juga menunjukkan hasil yang sama berdasarkan pengaruh faktor perendaman terhadap laju pertambahan tinggi tanaman pada uji pemacuan pertumbuhan. Jenis bakteri dan waktu perendaman tidak mempengaruhi munculnya kejadian penyakit pada minggu ke-1 penanaman. Hal ini disebabkan oleh sifat PGPR sebagai bakteri pemacu pertumbuhan terhadap lingkungannya. Bakteri pemacu pertumbuhan tidak dapat secara langsung beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga pertumbuhan patogen tidak terganggu. Setelah ada inang, patogen akan dapat menginfeksi lebih cepat (Backman dan Kabana 1975 dalamAnisa 2011). Keuntungan PGPR secara tidak langsung terjadi ketika mikroba bermanfaat mencegah pertumbuhan patogen yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Glick dan Pasternak 2003). Hal ini yang diharapkan akan terjadi pada uji penghambatan penyakit busuk pangkal batang yang dilakukan. Pengujian ini diukur berdasarkan persentase kejadian penyakit per minggupada kedelai yang diamatidi rumah kaca.Kejadian penyakit per minggu dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai total kejadian penyakit yang diamati selama 6 minggu dinyatakan dalam Area Under Disease Progress Curve (AUDPC). Nilai AUDPC menunjukkan perlakuan yang mampu menjadi penghambat munculnya kejadian
32
penyakit busuk pangkal batang terhadap tanaman kedelai.Perlakuan yang menghasilkan nilai AUDPC tertinggi adalah P1 10 sebesar 1980±811.66 %hari. Sedangkan perlakuan P1 5 menghasilkan nilai terendah, yaitu 520±0.00 %hari (Tabel 6). Perendaman benih selama 5 jam dengan aplikasi bakteri PGPR P. fluorescens RH4003 merupakan perlakuan terbaik sebagai penghambat kejadian penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh S. rolfsii. Tabel 6
Nilai Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) pada setiap perlakuan perendaman AUDPCa (%hari)
Perlakuan P1 5 P1 10 B12 5 B12 10 F8 5 F8 10 Kontrol
520± 0.00bb 1980± 811.66a 900± 311.77ab 1640± 690.22a 1120± 510.29ab 1940± 151.00a 1500± 207.85ab
a
AUDPC = Area Under Disease Progress Curve. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. b
Menurut Wardani (2012) perlakuan tunggal P. fluorescens RH4003 memberikan index penekanan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) paling baik dibandingkan perlakuan tunggal B. subtilis AB89 pada tanaman tomat. Pernyataan ini mendukung bahwa P. fluorescens RH4003 memiliki potensi terbaik sebagai penghambat kejadian penyakit. Walaupun jenis patogen yang digunakan antara kedua penelitian berbeda, bakteri jenis fluorescens ini tetap mampu menghambat dan menekan kejadian penyakit layu bakteri pada tomat dan busuk pangkal batang pada kedelai. R. solanacearum dan S. rolfsii tidak memiliki hubungan keterikatan erat secara taksomoni, namun saat ini S. rolfsii merupakan patogen kosmopolitan sehingga penggunaan agens biokontrol yang sama seperti penekanan kejadian layu bakteri bukanlah merupakan suatu permasalahan (Nawangsih 2012 Okt 3, komunikasi pribadi). Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan benih dengan aplikasi bakteri B12 (B. subtilis AB89) dan F8 pada perendaman 5 jam menghasilkan nilai AUDPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Sebaliknya, perendaman 10 jam menghasilkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil ini
33
berhubungan dengan perbedaan kisaran waktu yang digunakan terhadap perendaman benih tersebut. Selain itu, menurut Aditya (2006) bakteri PGPRB. subtilis AB89 mempunyai kemampuan menghambat R.solanacearum paling besar secara in vitro ternyata kurang mampu menekan keparahan penyakit pada tanaman di rumah kaca (in vivo).Kesulitan mendapatkan hasil yang maksimal pada penggunaan agens biokontrol seperti PGPR di lingkungan adalah kemampuan agens biokontrol tersebut dalam beradaptasi dengan lingkungan (Anisa 2011). Sehingga dapat diperoleh informasi bahwa bakteri B. subtilis AB89 tidak mempunyai sifat penghambat yang baik, selain itu bakteri ini juga kurang tepat diaplikasikan dengan metode perendaman benih untuk menekan kejadian busuk pangkal batang pada kedelai.Pengaruh waktu perendaman benih selama 5 dan 10 jam dengan aplikasi bakteri PGPR dalam menghambat kejadian penyakit busuk pangkal batang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh waktu perendaman terhadap kejadian penyakit dan AUDPC Waktu Kejadian penyakit(MST)a AUDPCb perendaman (%hari) 4 5 6 (jam) 29.89±13.88ac 66.67± 6.67a
5 10
35.56±10.18b 35.56±10.18b 68.89± 7.70a 77.78±20.37a
846.67±303.53b 1853.33±185.83a
a
MST = minggu setelah tanam. AUDPC = Area Under Disease Progress Curve. c Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncanpada taraf 5%. b
Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai AUDPC total tertinggi dari keseluruhan aplikasi bakteri yaitu terjadi pada perendaman benih selama 10 jam, sebaliknya nilai terendah terjadi pada perendaman benih selama 5 jam. Artinya perendaman benih selama 10 jam dengan aplikasi PGPR tidak dapat menghambat kejadian penyakit busuk pangkal batang pada kedelai. Berdasarkan
perbedaan
kisaran
waktu dapat diketahui bahwa perendaman juga dapat menjadi faktor yang dapat menyebabkan
munculnya
kejadian
penyakit.
Perendaman
yang
lama
menyebabkan bakteri PGPR tidak dapat menimbulkan keefektifan sebagai penghambat kejadian penyakit. Hal ini disebabkan karena semakin lama benih direndam maka semakin banyak peluang mikroorganisme non antagonis tumbuh dan berkembang di dalam suspensi bakteri PGPR yang dapat menginvasi kulit
34
benih sehingga aplikasi bakteri PGPR terhadap benih tidak menimbulkan efek penghambat terhadap penyakit. Bakteri P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89 memiliki keefektifan sebagai pemacu pertumbuhan dan penghambat penyakit layu bakteri pada tomat, sedangkan keefektifan tersebut tidak ditunjukkan terhadap kedelai pada penelitian yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena kedua jenis bakteri rizobakteria yang diujikan tersebut memang berasal dari perakaran tomat sehingga tidak menunjukkan potensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman kedelai. Isolat bakteri F8 yang diisolasi dari perakaran kedelai belum pernah diujikan dengan aplikasi melalui perendaman benih sehingga hal ini mempengaruhi bakteri F8 tidak dapat memacu pertumbuhan dan menghambat kejadian penyakit busuk pangkal batang. Selain itu, penelitian dilakukan di rumah kaca. Kondisi rumah kaca juga mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan bakteri PGPR pada komoditi tanaman dan lingkungan yang berbeda juga akan menimbulkan pengaruh keefektifan dan antagonis yang berbeda.