38 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian identifikasi sifat kualitatif dan kuantitatif pada kuda Sumba
jantan dilakukan di peternak-peternak yang ada dikota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara astronomis Kabupaten Sumba Timur terletak antara 119°45-120°52 Bujur Timur (BT) dan 9°16-10°20 Lintang Selatan (LS).
Luas wilayah daratan Sumba Timur 700.050 ha yang
tersebar pada 1 pulau utama (Pulau Sumba) dan 3 pulau kecil yaitu Pulau Prai Salura, Pulau Mengkudu dan Pulau Nuha (belum berpenghuni). Sekitar 40% luas Sumba Timur merupakan daerah yang berbukit-bukit terjal terutama di daerah bagian Selatan, lereng-lereng bukit tersebut merupakan lahan yang cukup subur, sementara daerah bagian Utara berupa dataran yang berbatu dan kurang subur. Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan.Pada umumnya Sumba Timur diguyur hujan pada bulan Januari-April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau, yang menyebabkan wilayah Sumba Timur tergolong wilayah kering. Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: 1. Utara berbatasan dengan Selat Sumba 2. Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia 3. Timur berbatasan dengan Laut Sabu 4. Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah Lapangan Rihi Eti merupakan tempat dilaksanakan perlombaan pacuan kuda yang ada di Sumba Timur. Perlombaan pacuan kuda dilaksanakan 3 kali
39 dalam 1 tahun yaitu pada bulan Mei, Agustus, dan Oktober. Pada Bulan Oktober peserta pacuan kuda sangat banyak apabila dibandingkan bulan Mei dan Agustus karena pada Bulan Oktober itu bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Peserta pacuan kuda pada Bulan Oktober dapat mencapai 800 peserta oleh karena itu banyak peminat olahraga pacuan kuda datang untuk melihat perlombaan. 4.2
Tatalaksana Pemeliharaan
4.2.1
Populasi Kuda Populasi kudadi Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2013 tercatat
sebanyak 25.073 ekor.
Seiring berjalannya waktu, populasi kuda mengalami
penurunan, hal ini disebabkan karena menyebarnya penyakit surra. Penyakit surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyakit surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa, yaitu Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup dalam darah penderita dan mengisap glukosa yang terkandung dalam darah. Selain itu, ia mengeluarkan sejenis racun yang disebut trypanotoksin yang bisa mengganggu kesehatan ternak kuda yang menderita penyakit ini (Arianto,2012).
40 Tabel 3. Data Populasi KudaTahun 2013 di Kabupaten Sumba Timur. No
Kecamatan
Populasi
No
Kecamatan
Populasi
1
Lewa
1577
12
Ngadu Ngala
492
2
Nggaha Ori Angu
1302
13
Pahunga Lodu
2223
3
Lewa Tidahu
556
14
Wula Waijelu
256
4
Katala Hamu Lingu
657
15
Rindi
1541
5
Tabundung
832
16
Umalulu
1107
6
Pinu Pahar
979
17
Pandawai
1170
7
Paberiwai
696
18
Kambata Mapambuhang
579
8
Karera
2120
19
Kota Waingapu
1071
9
Matawai La Pawu
703
20
Kambera
431
10
Kahaungu Eti
2097
21
Haharu
2663
11
Mahu
379
22
Kanatang
3219
Total Populasi
25.703
Sumber : Disnak (2013) 4.2.2
Sistem Pemeliharaan Pada umumnya sistem pemeliharaan kuda di Kabupaten Sumba Timur
secara ekstensif tradisional dengan cara digembalakan dan di padang rumput alam secara berkelompok. Kabupaten Sumba Timur memiliki lahan sebagian besar terdiri dari savana, dan didukung dengan ketersediaan padang penggembalaan maka pemeliharaan dan pengembangan kuda Sumba masih berjalan dengan baik. Pada musim kemarau kuda digembalakan di savana akan tetapi ketika kuda kesulitan air minum mereka pulang ke kandang untuk minum air yang telah disediakan oleh peternak. Pada musim hujan kuda akan nyaman di savanna karena ketersediaan pakan dan air berlimpah. Kuda akan dimasukan ke kandang
41 apabila ada keperluan dari peternak seperti pengecekan keadaan kuda. Pengecekan kuda itu berupa pemeriksaan jumlah kuda, kesehatan kuda dan pencatatan produksi kuda. Pemeriksaan kesehatan dan pemberian vaksin itu 6 bulan dalam 1 tahun. Pakan merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan dalam usaha ternak kuda belang karena menentukan kelangsungan hidup dan penampilan performa kuda secara keseluruhan. Pakan ternak yang diberikan oleh peternak kepada kuda yaitu tanaman yang ada di savanna. Tanaman yang sering diberikan untuk yaitu rumput lokal dengan hijauan yang disukai ternak seperti Kandaung lulujunga (Cynodon dactilon), dan rumput kecil (Mapu Kahirik) yang sering dipanen angkut (cut and cary).
Jenis rumput alam lain yang pada kondisi
vegetatif juga digemari ternak kuda yaitu bothrichloa pertusa. Leguminosa yang dapat tumbuh baik dikondisi alam Sumba adalah jenis leguminosa herba sepeti Alysicarpus (leguminosa lokal), dan jenis Stylosanthes (Arachis burkatii, dan Stylosanthes Seabrana ). Ternak kuda menyukai rumput-rumput pendek dengan kualitas yang baik, terutama jika mempunyai komposisi yang berimbang antara rumput dan leguminosa (Allan, 2007).
4.2.3
Perkandangan Kandang untuk ternak kuda di Sumba itu disesuaikan dengan tujuan
pemeliharaan. Ternak kuda yang terdapat di savanna itu menggunakan kandang dengan sistem ranch yang berbentuk persegi empat dengan pagar sekelilingnya terbuat dari pepohonan kecil atau kayu, di dalam kandang hanya terdapat kolam air dan Gang way untuk memudahkan peternak apabila akan melakukan pemeriksaan. Kuda Sumba itu hidup secara berkelompok, dalam satu kelompok
42 itu hanya terdapat 1 jantan dan sisanya betina karena apabila dikandang ada lebih dari satu jantan mereka akan berkelahi untuk menentukan ketua kelompok. Tempat untuk kuda beristirahat dan berlari haruslah luas agar kuda merasa nyaman seperti di habitatnya. Kandang kuda yang digunakan untuk pacuan kuda bersistem individu, kuda pacu pemeliharaannya sangat diperhatikan dari pakan sampai dengan kesehatannya.
Kandang ini beralaskan sekam atau jerami agar kuda merasa
nyaman ketika kuda sedang beristirahat dan terdapat tempat air minum untuk kuda. Ventilasi yang baik adalah berbentuk kerucut pada atapnya dan akan sangat berpengaruh pada penanganan masalah kuda. Jendela pada kandang kuda harus berada pada posisi sejajar dengan kepala kuda (Nozawa, 1983).
4.2.4
Sistem Perkawinan Sistem perkawinan kuda di Kabupaten Sumba Timur dilakukan secara
kawin alam tanpa ada campur tangan manusia. Satu kelompok terdapat 1 kuda jantan dan betina 15-20 ekor.
Satu kelompok kuda jantan dapat mengawini
seluruh betina yang ada dikelompok. Perkawinan kuda Sumba sering terjadi di savanna oleh karena itu peternak sering memeriksa betina agar dapat diketahui kondisi janinnya. Kuda dapat melakukan perkawinan apabila sudah mengalami dewasa kelamin. Seekor kuda dinyatakan telah dewasa kelamin apabila telah memperlihatkan tanda-tanda estrus bagi betina dan telah mampu berkopulasi untuk yang jantan dan apabila terjadi kopulasi dapat menghasilkan individu baru (Hafez, 1967). Seekor kuda betina mencapai masa dewasa kelamin pada umur sekitar 12-15 bulan, sedangkan untuk kuda jantan dewasa kelamin dicapai pada umur sekitar 24 bulan (Blakely and Bade, 1991).
43 4.3
Karakteristik Sifat-sifat Kualitatif
4.3.1
Warna Bulu Kuda Sumba Jantan Berdasarkan hasil penelitian mengenai karakteristik warna bulu kuda
Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan, warna bulu kuda dikelompokan kedalam 3 kelompok yaitu warna dasar, warna gen dilusi, dan warna gen titik putih. Frekuensi relatif warna dasar kuda terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Frekuensi Relatif Warna Dasar Kuda Sumba Jantan No. 1 2 3 4
Warna Bulu Chestnut Jragem Grey Hitam Total Keterangan: n= 19
Jumlah (ekor) 9 7 2 1 19
Frekuensi relative (%) 47,4 36,8 10,5 5,3 100
Warna bulu adalah salah satu sifat kualitatif yang biasa digunakan sebagai kriteria dalam seleksi. Warna dasar kuda merupakan dasar dari variasi warna yang disebabkan oleh gen yang mengontrol warna pigmen. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4, terlihat bahwa frekuensi relatif warna dasar kuda Sumba warna Chestnut adalah 47,4%, Bay 36,8%, Grey 10,5 %, dan Hitam 5,3 %. Frekuensi relatif tertinggi warna dasar kuda terdapat pada warna bulu Chestnut yaitu sebesar 47,4%, sedangkan frekuensi relatif terendah terdapat pada warna bulu hitam yaitu sebesar 5,3%, hal ini menunjukan bahwa warna dasar kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur didominasi oleh warna bulu Chestnut. Chesnut merupakan warna coklat kemerahan pada bulu dan yang juga menjadi warna pada ekor dan surai (Vogel, 1995). Warna Black, Browm dan Bay dikendalikan oleh pigmen hitam yang dominan terhadap pigmen merah. Pigmen merah menghasilkan warna Chestnut
44 seperti yang ditemukan pada kuda Sumba. Kuda poni sampai kuda tipe berat dapat ditemukan warna abu-abu. Proporsi warna abu-abu terhadap warna putih meningkat seiring dengan bertambahnya usia kuda. Pada saat dewasa kelamin warna bulu kuda berubah menjadi abu-abu atau abu-abu dengan berwarna bintikbintik. Kuda dengan warna bay adalah kuda yang memiliki warna hitam pada bagian surai, ekor dan kaki. Pada bagian punggung dan perutnya tidak semua berwarna hitam. Warna dasar bay terdiri atas tiga macam yaitu bay terang atau light bay yaitu coklat kemerahan atau coklat; bay cerah atau bright bay yaitu warna chesnut dan bay gelap atau dark bay yang cenderung berwarna coklat gelap (Brown dan Sarah, 1994). Frekuensi relatif warna dilusi terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Frekuensi Relatif Warna Dilusi Kuda Sumba Jantan No. Warna Gen Dilusi Jumlah (ekor) Frekuensi relative (%) 1 Champagne 2 22,2 3 Dun 2 22,2 4 Cream 5 55,6 Total 9 100 Keterangan n = 9 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 5, terlihat frekuensi relatif warna gen dilusi kuda Sumba Champagne adalah 22,2%, Dun 22%, dan Cream 55,6%. Frekuensi relatif tertinggi warna gen dilusi terdapat pada warna bulu Cream yaitu sebesar 55,6%, sedangkan frekuensi relatif terendah warna gen dilusi terdapat pada warna bulu Champagne dan Dun yaitu sebesar 22,2%, hal ini menunjukkan bahwa warna gen dilusi pada kuda Sumba jantan didominasi oleh wara bulu Cream yaitu 55,6%. Warna dilusi pada kuda berwarna gelap dan bulu berwarna keemasan adalah Cream seperti pada kuda Palamino dan Bucksin.
Kuda palomino memiliki warna surai dan ekor berwarna putih,
sedangkan Bucksin memiliki warna hitam pada surai, ekor dan kaki. Gen cream
45 ini banyak ditemukan, tapi tidak semua bangsa kuda memiliki gen ini (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Kuda yang memiliki gen Dun akan menghasilkan pola warna bulu dengan ciri-ciri surai, ekor dan kaki berwarna hitam serta pada punggung ditemukan garis berwarna hitam. Kuda yang berwarna Dun memiliki ujung-ujung tubuh berwarna gelap termasuk garis-garis pada bagian dorsal, pada punggung dan kaki. Frekuensi relatif warna putih dan bintik putih terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Frekuensi Relatif Warna dan Bintik Putih Kuda Sumba Jantan No. Warna Gen Titik Putih Jumlah (ekor) Frekuensi relative (%) 1 Putih 2 40 3 Belang 1 20 4 Roan 2 40 Total 5 100 Keterangan n = 5 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 6, terlihat frekuensi relatif warna gen putih dan titik putih warna bulu putih adalah 40%, Belang 20%, dan Roan 40%. Frekuensi relatif tertinggi terdapat pada warna bulu putih dan Roan sebesar 40% sedangkan frekuensi relatif terendah terdapat pada warna bulu belang sebesar 20%, hal ini menunjukkan bahwa warna gen putih dan titik putih pada kuda Sumba jantan didominasi oleh warna bulu putih dan Roan. Pada kuda dapat ditemukan pola warna putih dalam bentuk bintik putih atau satu areal campuran putih. Kuda berwarna putih belum tentu berasal dari tetua yang berwarna gelap. Anak kuda yang baru lahir akan berwarna putih dan memiliki bulu berpigmen di telinga, surai, dan punggung. Pigmen ini akan hilang seiring bertambahnya umur kuda. Kuda putih yang berasal dari tetua berwarna gelap mewariskan warna putih sebagai sifat dominan (Bowling dan Ruvinsky, 2000).
46 4.3.2
Tanda Putih di Kaki Kuda Sumba Jantan Berdasarkan hasil penelitian mengenai karakteristik tanda putih di kaki
kuda Sumba jantan dewasa yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa, terdapat tiga jenis, tidak ada tanda putih, coronet dan pastern. Sebenarnya ada lebih dari 3 karakteristik untuk tanda putih di kaki seperti Half Stocking, Coronet, dan Stocking. Frekuensi relatif mengenai karakteristik tanda putih di kaki kuda Sumba jantan dewasa diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Frekuensi Relatif Tanda Putih di Kaki No. 1 2 3 4 5
Bentuk tanduk Tidak ada tanda putih Pastern Half Stocking Coronet Stocking Total Keterangan: n= 33
Jumlah (ekor) 28 3 0 0 2 33
Frekuensi relative (%) 84,84 9,10 0 0 6,07 100
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7, terlihat bahwa frekuensi relatif karakteristik tanda putih di kaki kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur untuk tidak ada tanda putih di kaki adalah 84,84%, Pastern 9,1%, Coronet 0%, Half Stocking 0% dan Stocking 6,07%. Frekuensi relatif tertinggi terdapat pada karakteristik tidak ada tanda putih yaitu sebesar 84,84%, sedangkan frekuensi relatif terendah terdapat pada karakteristik Stocking 6,07%, hal ini menunjukan bahwa karakteristik tanda putih di kaki kuda Sumba jantan dewasa di Kabupaten Sumba Timur didominasi dengan tidak ada tanda putih di kaki. Pada Coronet dan Half Stocking frekuensi relatifnya 0% karena ketika di lapangan tidak ditemukan karakteristik tersebut.
47 Tanda putih di kaki jenis Pastern adalah tanda berwarna putih yang ada pada kaki kuda diatas kuku kuda sampai bagian Fetlock. Coronet itu tanda putih yang berbentuk cincin kecil diatas kuku kuda.
Stocking dan half Stocking
memiliki kesamaan yaitu tanda putih yang berbentuk kaos kaki pada kaki tetapi memiliki perbedaan pada luasnya karena Half stocking hanya setengah dari Stocking. Tanda putih di kaki itu salah satu karakteristik untuk membedakan setiap jenis kuda. Kuda Sumba itu tidak memiliki tanda putih di kaki, kuda Sumba yang memiliki tanda putih di kaki itu merupakan kuda Sumba hasil persilangan dengan kuda-kuda eropa (Soeharjono, 1990)
4.3.3
Tanda Putih di Wajah Kuda Sumba Jantan Berdasarkan hasil penelitian mengenai karakteristik tanda putih di wajah
pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa, terdapat dua jenis tanda putih di wajah, yaitu tidak ada tanda putih di wajah dan Star. Frekuensi relatif mengenai jenis tanda putih di wajah pada kuda Sumba jantan dewasa diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Frekuensi Relatif Tanda Putih di Wajah No. 1 2 3 4 5 6
Tanda Putih di Wajah
Tidak ada tanda putih di wajah Stripe Blaze Snip White face Star Total Keterangan: n=33
Jumlah (ekor) 31 0 0 0 0 2 33
Frekuensi relative (%) 94 0 0 0 0 6 100
48 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8, terlihat bahwa frekuensi relatif karakteristik tanda putih di wajah kuda Sumba jantan dewasa di Kabupaten Sumba Timur jenis star 6%, Stripe 0%, Blaze 0%, Snip 0%, White face 0%, dan tidak ada tanda putih sebesar 94%. Frekuensi relatif tertinggi terdapat pada karakteristik tidak ada tanda putih di wajah yaitu sebesar 94% dan Frekuensi relatif terendah terdapat pada karakteristik star sebesar 6%. Stripe, Blaze, Snip dan White face frekuensi relatifnya 0% karena ketika di lapangan tidak ditemukan. Star adalah tanda putih pada wajah yang berbetuk bercak putih seperti bintang yang terdapat pada bagian kening kuda. Stripe memiliki bentuk tanda putih di wajah seperti garis kecil dari kening sampai hidung, Blaze bentuk tanda putihnya sama seperti Stripe akan tetapi garisnya lebih lebar dari garis Stripe. Tanda putih jenis White face memiliki tanda warna putih diseluruh wajah kuda, sedangkan Snip itu tanda putihnya hanya ada pada bagian hidung. Pada kuda Sumba jantan karakteristik dilihat dari tanda putih di wajah, kuda ini memang tidak memiliki tanda putih di wajah, tanda putih di wajah dimiliki oleh kuda-kuda eropa yang sering digunakan untuk pacuan kuda (Edwards, 1994).
4.4
Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh
4.4.1
Bobot Badan Berdasarkan hasil pengukuran bobot badan kuda Sumba jantan dewasa
yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 9.
49 Tabel 9. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Data Pengukuran Bobot Badan Nilai Rata-rata (Kg) Ragam (Kg) Simpangan Baku (Kg) Koefisien Variasi (%) Minimum (Kg) Maximum (Kg) Standard Error (SE) Rataan Populasi
Bobot Badan 212,95 598,75 24,46 11,50 177,00 260,50 4,32 212,95 ± 4,32
Keterangan n= 33 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 9, terlihat bahwa rata-rata bobot badan kuda Sumba jantan dewasa adalah 212,95 Kg dengan keragaman sebesar 598,75 Kg, simpangan baku sebesar 24,46 Kg, koefisien variasi sebesar 11,50 kg %, bobot badan terendah sebesar 177 Kg, dan bobot badan tertinggi sebesar 260,5 Kg, sehingga dapat disimpulkan rataan populasi bobot badan pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 212,95 ± 4,32 Kg. Hasil pengukuran bobot badan kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 11,50%, suatu populasi masih dianggap seragam apabila memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15 % (Nasution, 1992)
4.4.2
Tinggi Pundak Berdasarkan hasil pengukuran tinggi pundak kuda Sumba jantan dewasa
yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Pacuan kuda Rihi Eti Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 10.
50 Tabel 10. Data Pengukuran Tinggi Pundak No. Nilai 1. Rata-rata (Cm) 2. Ragam (Cm) 3. Simpangan Baku (Cm) 4. Koefisien Variasi (%) 5. Minimum (Cm) 6. Maximum (Cm) 7. Standard Error (SE) 8. Rataan Populasi
Tinggi Pundak 125,39 12,35 3,51 5,22 120,00 131,00 0,62 125,39± 0,62
Keterangan n = 33 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 10, terlihat bahwa rata-rata tinggi pundak kuda Sumba jantan dewasa adalah 125,39 (Cm) dengan keragaman sebesar 12,35 (Cm), simpangan baku sebesar 3,51 (Cm), koefisien variasi sebesar 5,22%, tinggi pundak terendah sebesar 120 (Cm), dan tinggi pundak tertinggi sebesar 131 (Cm), sehingga dapat disimpulkan rataan populasi tinggi pundak pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 125,39 ± 0,62 (Cm). Hasil pengukuran tinggi pundak kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 5,22%, suatu populasi masih dianggap seragam apabila memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% (Nasution, 1992). Tinggi pundak dapat dijadikan salah satu parameter untuk membedakan setiap jenis kuda di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tinggi pundak kuda Sumba dibawah dari 135 (Cm) maka kuda Sumba termasuk kuda poni.
51 4.4.3
Panjang Badan Berdasarkan hasil pengukuran panjang badan kuda Sumba jantan dewasa
yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Data Pengukuran Panjang Badan No. Nilai 1. Rata-rata (Cm) 2. Ragam (Cm) 3. Simpangan Baku (Cm) 4. Koefisien Variasi (%) 5. Minimum (Cm) 6. Maximum (Cm) 7. Standard Error (SE) 8. Rataan Populasi
Panjang Badan 119,98 20,59 4,53 3,78 111,00 130,00 0,79 119,98± 0,79
Keterangan n = 33 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa rata-rata panjang badan kuda Sumba jantan dewasa adalah 119,98 (Cm) dengan keragaman sebesar 20,59 (Cm), simpangan baku sebesar 4,53 (Cm), koefisien variasi sebesar 3,78%, panjang badan terendah sebesar 111 (Cm), dan panjang badan tertinggi sebesar 130 (Cm), sehingga dapat disimpulkan rataan populasi panjang badan pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 119,98 ± 0,79 (Cm). Hasil pengukuran panjang badan kuda Sumba jantan dewasa di Pacuan Rihi Eti Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 3,78%. Panjang badan memiliki pengaruh terhadap kecepatan kuda saat berlari. Kuda dengan panjang badan yang relatif pendek akan memiliki pergerakan badan yang lebih cepat dan sangat membantu dalam kesinambungan gerak (Gay, 1964).
Kuda saat berlari
dipengaruhi oleh hubungan panjang badan dengan tinggi badan karena panjang
52 badan yang baik akan mempengaruhi pemindahan beban tubuh dan beban penunggang masing-masing bagian kaki depan dan belakang.
4.4.4
Lingkar Dada Berdasarkan hasil pengukuran lingkar dada kuda Sumba jantan dewasa
yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Data Pengukuran Lingkar Dada No. Nilai 1. Rata-rata (Cm) 2. Ragam (Cm) 3. Simpangan Baku (Cm) 4. Koefisien Variasi (%) 5. Minimum (Cm) 6. Maximum (Cm) 7. Standard Error (SE) 8. Rataan Populasi
Lingkar Dada 139,08 27,22 5,21 3,75 131,00 156,50 0,90 139,08 ± 0,90
Keterangan n = 33
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 12, terlihat bahwa rata-rata lingkar dada kuda Sumba jantan dewasa adalah 139,08 (Cm) dengan keragaman sebesar 27,22 (Cm), simpangan baku sebesar 5,21 (Cm), koefisien variasi sebesar 3,75%, lingkar dada terendah sebesar 131 (Cm), dan lingkar dada tertinggi sebesar 156,5 (Cm), sehingga dapat disimpulkan rataan populasi lingkar dada pada kuda Sumba jantan dewasa diKota Waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 139,08 ± 0,90 (Cm). Hasil pengukuran lingkar dada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 3,75%. Lingkar dada mempunyai
53 peranan yang penting dalam pernafasan karena berhubungan langsung dengan sirkulasi oksigen dalam tubuh pada saat lari. Kuda yang memiliki lingkar dada yang besar cenderung mempunyai organ pernafasan yang sempurna (Gay, 1964).
4.4.5
Lebar Dada Berdasarkan hasil pengukuran lebar dada kuda Sumba jantan dewasa yang
dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Data Pengukuran Lebar Dada No. Nilai 1. Rata-rata (Cm) 2. Ragam (Cm) 3. Simpangan Baku (Cm) 4. Koefisien Variasi (%) 5. Minimum (Cm) 6. Maximum (Cm) 7. Standard Error (SE) 8. Rataan Populasi
Lebar Dada 30,77 3,54 1,88 2,87 26,00 34,00 0,32 30,77± 0,32
Keterangan n = 33 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 13, terlihat bahwa rata-rata lebar dada kuda Sumba jantan dewasaadalah 30,77 (Cm) dengan keragaman sebesar 3,54 (Cm), simpangan baku sebesar 1,88 (Cm), koefisien variasi sebesar 2,87%, lebar dada terendah sebesar 26 (Cm), dan lebar dada tertinggi sebesar 34 (Cm), sehingga dapat disimpulkan rataan populasi lebar dada pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 30,77 ± 0,32 (Cm). Hasil pengukuran lebar dada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 2,87% ,suatu populasi masih
54 dianggap seragam apabila memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15 % (Nasution, 1992).
4.4.6
Tinggi Pinggul Berdasarkan hasil pengukuran tinggi pinggul kuda Sumba jantan dewasa
yang dilakukan terhadap 33 ekor kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Data Pengukuran Tinggi Pinggul No. Nilai 1. Rata-rata (Cm) 2. Ragam (Cm) 3. Simpangan Baku (Cm) 4. Koefisien Variasi (%) 5. Minimum (Cm) 6. Maximum (Cm) 7. Standard Error (SE) 8. Rataan Populasi
Tinggi Pinggul 126,31 17,43 4,17 2,97 118,00 132,00 0,72 126,31± 0,72
Keterangan n = 33 Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 14, terlihat bahwa rata-rata tinggi pinggul kuda Sumba jantan dewasa adalah 126,31 (Cm) dengan keragaman sebesar 17,43(Cm), simpangan baku sebesar 4,17 (Cm), koefisien variasi sebesar 2,97%, tinggi pinggul terendah sebesar 118 (Cm), dan tinggi pinggul tertinggi sebesar 132 (Cm), sehingga dapat disimpulkan rataan populasi tinggi pinggul pada kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur sebesar 126,31 ± 0,72 (Cm). Hasil pengukuran tinggi pinggul kuda Sumba jantan dewasa di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur dikatakan seragam karena memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15% yaitu sebesar 2,97% ,suatu populasi masih dianggap seragam apabila memiliki nilai koefisien variasi dibawah 15%
55 (Nasution, 1992).
Ukuran tinggi pundak hampir sama dengan ukuran tinggi
pinggul dilihat dari data yang telah diolah. Hal itu dapat disimpulkan tinggi pundak sejajar dengan tinggi pinggul.