Hubungan Kekerabatan Berdasarkan Analisis Marka RAPD Hasil analisis profil pita DNA menunjukkan seluruh pita yang dihasilkan (200 pita) adalah polimorfik, dengan kata lain persentase polimorfismenya 100 %. Hal tersebut menunjukkan tingginya tingkat keragaman spesies-spesies anggrek Phalaenopsis, meskipun dalam satu genus. Dalam penelitian ini baru digunakan 19
spesies anggrek Phalaenopsis dari 48 spesies yang dilaporkan oleh Sweet (1980); sementara laporan lain menyebutkan terdapat kira-kira 70 spesies anggrek yang termasuk dalam inarga Phalaencpsis. Dengan menggunakan 16 primer dan menghasilkan pita sebanyak 300 menurut Fu et al. (1997) telah menunjukkan konsistensi hubungan kekerabatannya, ha1 tersebut juga ditunjukkan dengan nilai kofenetik 80%. Nilai korelasi kofenetik tersebut menunjukkan bahwa pengelompokan yang diperoleh termasuk dalam katagori goodness offit baik. Fu et al. (1997) dalam penelitiannya menyatakan jika jumlah pita polimorfik yang dihasilkan antara 250 300 pita lebih, maka kedekatan hubungan antara P. amabilis dengan 15 spesies anggrek Phalaenopsis lainnya yang dipakai dalam penelitian tersebut mulai menunjukkan konsistensinya. Sembilan belas genotipe anggrek Phalaenopsis yang dianalisis menunjukkan nilai koefisien kemiripan (kemiripan genetik) yang rendah yaitu antara 24 - 66 %, berarti jarak genetiknya besar sekitar 34 - 76 %. Kemiripan genetik yang rendah menunjukkan sekuen DNA yang sama dalam genom anggrek tersebut hanya sedikit. Sedangkan jarak genetik yang cukup besar diantara genotipe anggrek Phalaenopsis ini menunjukkan keragaman yang besar antar genotipe yang
digunakan. Keragaman genotipe hasil analisis W
D yang besar ini menyebabkan
hubmgan kekerabatan atau pengelompokannya berbeda dengan pengelompokan secara fenotipe. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, namun fakta baru diperoleh yaitu keragaman anggrek baik secara genotipe rnaupun secara fenotipe adalah besar. Pohon filogenetika yang terbentuk (Gambar 6) tidak sepenuhnya nendukung klasifikasi yang disusun oleh Sweet (1980) terutarna pada tingkat seksi. Dalam dendrogram yang disajikan, empat spesies dari seksi Zebrinae yang digunakan P.
violacea 'Borneo', P. smtrana, P. pulchra dan P. speciosa 'Tetraspis' dapat membentuk satu Master dengan koefisien kemiripan 32 %. Demikian juga pada seksi Amboinenses empat spesies yaitu P. micholitzii, P. amboinensis 'Ambon', P.
javanica, dan P. gigantea membentuk satu garpu pada koefisien kemiripan 28 %. Sembilan belas spesies Phalaenopsis yang digumkan tersebut membentuk satu kelompok pada koefisien kemiripan 24 %, sementara Fu et al. (1997) 16 s p i e s
Phalaenopsis yang diteliti dengan 20 primer membentuk satu klaster pada koefisien kemirip 25 %. Melalui analisis Master diperoleh dendrogram yang menunjukkan ada spesiesspesies dalarn satu seksi yang terpisah padahal secara fenotipe mengelompok, misalnya P. celebensis dan P. equestris (Stauroglottis), P. lueddemannianna 'pulchra'
dan P. speciosa 'Tetraspis' (Zebrinae), P. viridis dan P. kunstleri (Fuscatae)
P.
amabilis dan P. schillerana (Phalaenopsis). Terpisahnya spesies-spies tersebut dengan jarak genetik yang cukup besar menunjukkan masih besarnya b r a h genom
tanaman anggrek yang belum terjangkau oleh primer yang digunakaa Jarak g e n e
yang jauh tersebut juga dapat disebabkan karena spesies-spies tersebut tidak dapat dikelompokan ke dalam seksi hanya berdasar karakter fenotipik seperti tercantum pada kunci determinasi, artinya masih banyak karakter yang perlu diamati, misalnya sitogenetika atau sitotaksologinya. Sebagai contoh hasil penelitian Arends (1970), yang menyatakan bahwa P. mannii (seksi Fuscatae) dan P. lueddemanniana (seksi Zebrinae) secara fenotipik sangat berbeda, namun secara sitotaksologi berkerabat dekat dilihat dari homologi genomnya. Demikian juga P. amabilis (seksi Phalaenopsis) clan P. equestris (seksi Stauroglottis) secara morfologi berbeda sekali narnun secara sitotaksologi berkerabat dekat. Pemetaan 19 genotipe anggrek Phalaenopsis menggunakan analisis komponen utama (KU-1, KU-2, dan KU-3) menunjukkan posisi relatif antar genotipe tersebut. Pada pemetaan dengan 2 KU terdapat 3 kelompok yang berada pada t i e kuadran, dimana P. amabilis berdiri sendiri terpisah dengan genotipe lainnya. Hal tersebut kemungkmn disebabkan P. amabilis mempunyai karakter ukuran bunga yang besar
dan bentuk bunga bulat overlapping yang sangat berbeda dengan spesies lainnya. Sedangkan P. schillerana yang satu seksi dengan P. amabilis terpisah pengelompokannya, dapat disebabkan kemunglunan karena warna dan corak daun yang sangat berbeda. Corak daun P. schillerana hijau bermotif keperakan (belangbelang). Pada pemetaan 2 KU ini terdapat enam spesies yaitu P. amabilis, P. schillerana, P. equestris, P. celebensis, P. kuntsleri, dan P. viridis yang mempunyai satu pita yang berkoreiasi 97.4 % dengan KU I, sesuai dengan pengelompokan berdasarkan dendrogram. Perlu analisis lanjut untuk mengetahui peran pita tersebut,
antara lain dengan melakukan persilangan terkontrol untuk mengetahui karakter yang disandikan. Sedangkan pemetaan dengan 3 KU terdapat enam genotipe yaitu P. panterina, P. cornucervi, P. manii (seksi Polychilos), P. amboinensi, P. micholitzi
(seksi Amboinensis), dan P. lueddemanniana 'pdchra' (seksi Zebrinae) yang mempunyai posisi relatif lebih dekat. Kemunglunan kedekatan enam genotipe tersebut disebabkan secara fenotipe terdapat kesamaan karakter rasio petal dan sepal, perkembangan dam, pangkal bibir, kedudukan bibir tengah, dan motif bunganya bercorak dan berwarna lebih cerah. Berdasarkan perhitungan nilai korelasi antara pita yang berperan dengan komponen utama, diperoleh beberapa nilai korelasi yang besar.
Namun sulit menentukan pita spesifik untuk suatu genotipe atau karakter tertentu. Perlu beberapa ulangan pada genotipe yang sama dan material hasil persilangan terkontrol, sehingga lebih membuktikan kekhmsm peran pita yang mempunyai nilai korelasi yang besar tersebut. Anggrek merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak disilangkan,
namun studi tentang genethya masih relatif terbatas. Salah satu penyebabnya umur tanaman yang panjang. Untuk mendapatkan h i 1 silangan suatu tanaman anggrek diperlukan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak sedikit, sehingga membuat silangan tanpa mempertimbangkan karakter-karakter genetik akan sangat merugikan (Freed 1979). Sebagai contoh adalah pengalaman Rogerson (1991), untuk tujuan
penin-
ukuran bunga Paphiopedih dari 10-11 cm menjadi 14-15 cm
dibutuhkan waktu sampai 4 generasi. Hal ini didukung pernyataan Hillerman (1994)
bahwa untuk melihat dan mengevaluasi perbaikan karakter yang dimgmkan dalam
suatu hasil persilangan dibutuhkan waktu paling sedikit 10 tahun. Salah sat.irnplikasi penelitian keragaman genetik berdasarkan analisis RAPD ini adalah dalam ha1 pemilihan tetua persilangan. Spesies yang berkerabat dekat akan lebih mudah disilangkan, sedangkan yang berkerabat jauh mungkin akan lebih sulit namun dapat diperoleh turunan yang bervariatif. Berdasarkan inforrnasi hasil-hasil persilangan dari Sander's List of Orchid Hybrid (Royal Horticultural Society 1987; 1991) diperoleh bahwa seluruh spesies anggrek dalarn genus Phalaenopsis dapat bersilang dan menghasilkan turunan yang fertil (hibrida primer). Beberapa kasus persilangan interseksi diperoleh fertilitas yang rendah dan hambatan persilangan lanjutan. Hambatan persilangan lanjutan antam lain dijumpai pada persilangan P. violacea dan P. equestris (komunikasi pribadi), hibrida turunannya mempunyai fertilitas yang sangat rendah dan selalu gaga1 menjadi pejantan. Menurut Valrnayor (1983) dikutip Rosario (1992), hibrida mempunyai keterbatasan kernampuan disilangkan antara lain buah tidak terbentuk, buah gugur 1 abortus, biji tidak terbentuk 1 kopong dan biji tidak viabel. Kemampuan spesiesspesies Phdaenopsis bersilang; bahkan dapat bersilang antar genus (intergenerik), dan menghasilkan hibrida primer yang fertil menyebabkan konsep spesies secara biologi menjadi rancu. Demikian pula pandangan bahwa jarak genetik yang jauh menyulitkan persilangan, pada anggrek Phalaenopsis belum diketahui pada jarak genetik berapa suatu spesies tidak dapat disilangkan. Kesulitan persilangan pada anggrek Phalaenopsis dilaporkan oleh para penganggrek disebabkan oleh W o r lingkungan.
Sebagai contoh spesies-spesies yang termasuk pada seksi Phalaenopsis; P. amabilis
sangat mudah berbunga di dataran tinggi maupun rendah, namun P. schillerana, P. stuartiana, .P.sanderana tidak akan pemah berbunga di dataran rendah, sehingga kesulitan untuk bersilang disebabkan pengaruh lingkungan saja. Jika ketiga spesies tersebut ditanam di dataran tinggi dan berbunga, maka dapat saling disilangkan. Contoh lain adalah karakter fenotipik bunga sangat dipengaruhi organisme penyerbuknya, jika penyerbuknya burung karakter bunganya kokoh, dan warna bunganya cerah mencolok sangat berbeda jika penyerbuknya serangga (Whitner 1974).
Pengelompokan Berdasarkan Kunci Determinasi Pengelompokan cara-1 tanpa katagorial nilai Dalarn menyusm kunci determinasi terbanmya, Sweet mengelompolcan spesies Phalaenopsis berdasar karakter-karakter yang paling menonjol perbedaaqa.. Dendrogram yang disajikan pada Gambar 8 menunjukkan pengelompokan secara sistematis, pertama pengelompokan 9 seksi, diikuti 4 subseksi pada Zebrinae dan 48 spesies. Jika melihat gambar tersebut seksi Zebrinae adalah kelompok yang paling moderen, dm sebaliknya seksi Phalaenopsis kelompok yang paling primitif. Narnun berdasarkan analisis sitogenetiknya, Arends (1970) menduga bahwa spesies-spesies
dalam seksi Phalaenopsis adalah kelompok moderen dan sebaliknya seksi Zebrinae
adalah kelompok primitif. MMoren dan primitihya kadcter tersebut diduga Arends dari besarnya kromosom, seksi Phalaenopsis mempunyai kromosom yang kecil-kecil
dan seksi Zebrinae mempmyai kromosom yang besar-besar, sedan*
P. equestris
(seksi Stauroglottis) mempunyai besar kmmosom di antamya Pendugam Arends didasarkan pada hubungan kerabat seam kariotipe pada sub tribe Sarcanthinae. Penyusunan kunci determinasi yang dilakukan Sweet tidak memperhatikan karakter primitif dan moderen. Sedangkan menurut Kitching et al. (1998), Dunn dm Everitt (1982), Balogh dan Funk (1986) dengan memperhatikan jalur evolusi suatu karakter (Cladistic analisys) akan menghasilkan kekerabatan filogenetik, yang dapat menghasilkan pengelompolcan spesies primitif menuju ke arah moderen. Selanjutnya Balogh dan Funk (1986) menyatakan bahwa mdi taksonomi mempunyai dua tujuan
dasar yaitu memberikan identitas atau batasan suatu taksa dan mengetahui hubungan kekerabatan antar taksa tersebut. Menurut Lawrence (1959) tujuan utama studi filogenetik adalah menetapkan asal-usul dm hubungan kekerabatan semua taksa baik yang sudah punah maupun tanaman baru dan mengelompokannya menurut sistem yang menunjukkan hubungan secara genetik atau hubungan darah. Namun pendapat Benthon (2000) dikutip Langer (2001) menyatakan bahwa filogenetik adalah suatu fakta, klasifikasi tidak, Masifhi tidak memerlukan refleksi filogenetiknya. Dalam
ha1 ini Sweet menyusun kunci determinasi untuk tujuan memberi identitas suatu taksa tanpa memperhatikan jalur evolusinya.
Pengelompokan cara-2 dengan katagorial nilai Pengelompokan secara fenotipik dengan memberikan nilai katagorial telah
dilakukan dengan menggunakan 27 karakter pembeda yang dimiliki oleh 18 spesies yang digunakan (Gambar 9). Perbedaan yang cukup mencolok dari dendrogram
fenotipik-katagorial ini dibandingkan cara non-katagorial adalah terpisahnya spesies P. viridis dan P. kuntsleri padahal keduanya termasuk seksi Fuscatae. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh karakter bagian tengah bibir (midlobe of lip), bibir, dan bentuk sepal dan petal (karakter pembeda nomor 16, 22, dan 26 pada Lampiran 4). Sedangkan pengelompokan spesies laimya sesuai dengan pengelompokan seksinya. Spesies P. arnabilis dan P. schillerana (seksi Phalaenopsis) membentuk garpu dan memisah dengan seksi lainnya, disebabkan oleh karakter pembeda rasio sepal dan petal (nomor l), dimana seksi Phalaenopsis berbeda dengan seksi laimya. Menurut Beer et al. (1993) hubungan kekerabatan ditunjukkan oleh suatu koefisien yang dipengaruhl oleh pernilihan karakter, metode skoring, dan pemilihan koefisien jarak atau koefisien kemiripan.
Dalam analisis data fenotipik-katagorial ini lebih memberdayakaa karakter morfologi yang dijadikan basis identitas taksa, sehingga dapat diduga jarak taksonominya atau kemiripan genetiknya. Selanjutnya juga dapat diketahui pengelompokan atau kekerabatan fenotipiknya. Meskipun pengelompokan secara fenotipik-katagorial ini tidak sepenuhnya selaras dengan kekerabatan secara RAPD, namun terhpat kesamaan hasil pengelompokan yaitu terpisahnya P. kunfsleri dan P. viridrs (keduanya seksi Fuscatae), baik secara fenotipik maupun RAPD. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua spesies tersebut mempwiyai keragaman yang besar secara fenotipik dan genetik
Pengelompokan Berdasarkan Gabungan Data RAPD dan Fenotipik Analisis gabungan dilakukan dengan suatu asumsi bahwa sebagian besar pitapita RAPD meng-cover daerah genom yang berbeda dengan yang menyandi karakter fenotipik Sehingga gabungan data tersebut semakin mewakili daerah genom yang lebih banyak. Berdasarkan dendrogram yang dibentuk melalui penggabungan data RAPD dan fenotipe (Gambar 10) narnpak bahwa pola pengelompokan yang terbentuk
cenderung mengikuti pola pengelompokan RAPD secara tunggal (Garnbar 5). Terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada spesies P. amabilis yang membentuk cabang tunggal terpisah dengan 17 spesies lainnya, demikian pula P. mannii yang terpisah dengan 16 spesies lain yang membentuk 2 kelompok utama pada koefisien kemiripan genetik sekitar 30 %. Namun kesamaannya adalah terbentuknya dua kelompok utama, yaitu kelompok pertama terdiri atas seksi Phalaenopsis (P. schillerana), seksi Stauroglottis (P.equestris dan P. celebensis), seksi Parishianae (P. parishii) dan seksi Fuscatae (P.viridis). Sedangkan kelompok kedua terdiri atas seksi
Polychilos (P.panterina dan P. cornucervi),seksi Zebrinae (P.pulchra, P. sumatrana,
P. violacea, dan P. speciosa), seksi Amboinenses (P.amboinensis, P. micholitzii, P. javanica, dan P. gigantea), seksi Fuscatae (P. kuntsleri).
Hasil analisis
pengelompokan berdasarkan gabungan data ini merupakan hasil yang paling baik karena merupakan gabungan dari dua kelompk lokus yang dihasilkan dari penanda morfologi dan RAPD. Menurut Lu et al. (1996) ketepatan perkiraan pengelompokan
akan meningkat apabila jumlah lokus yang terdeteksi dalam analisis meningkat. Selanjutnya Prabhu (1997) mengasumsikan makin tinggi jumlah penanda yang
digunakan maka kesalahan acak sampling yang dapat menyebabkan bias akan berkurang. Penggabungan menghasilkan titik data yang lebih banyak yang secara teoritis meningkatkan keakuratan analisis, ha1 tersebut juga ditunjukkan dengan meningkatnya nilai korelasi kofenetik goodness offir.
Keselarasan Pengelompokan Berdasar RAPD dan Karakter Fenotipik
Terdapat perbedaan pengelompokan berbasis DNA dengan marka RAPD dan dengan kunci determinasi berbasis karakter fenotipik. Perbedaan tersebut dapat disebabkan kemungkinan karena masih besarnya persentase daerah genom yang belum terdeteksi oleh primer acak yang digunakan. Dengan kata lain DNA yang ditempeli oleh primer-primer yang digunakan baru mengungkapkan sebagian kecil daerah genom, dimana berbeda dengan gen-gen yang menyandikan karakter fenotipik pada kunci determinasi. Oleh karena itu perlu penggunaan primer yang lebih banyak sehingga akan mengungkap daerah genom yang makin banyak. Nilai korelasi antara matriks jarak taksonomi dan kemiripan genetik menunjukkan nilai yang kecil yaitu r = - 0.38197, yang berarti hubungan antara dua peubah lemah dan tidak linier (Beer et al. 1993), sedangkan nilai negatif diperoleh karena membandingkan tingkat kemiripan dan jarak. Hal ini dikuatkan dengan persamaan regresi linier Y
=
0.3771 - 0.0651 X, R*
=
0.1459. Rendahya nilai
koefisien determinasi (R2) menunjuldran bahwa persamaan regresi linier tersebut kurang baik, yang berarti rata-rata jarak taksonomi dari data fenotipe (dari kunci ) tidak dapat digunakan untuk menduga kemiripan genetik yang berasal dari data
RAPD. Dengan kata lain hanya sekitar 15 % data jarak talcsonomi dapat untuk menduga kemiripan genetiknya. Ketidakselarasan atau nilai korelasi ' r ' yang kecil juga dapat disebakan banyaknya missing data (data hilang 1 tidak ada informasi) pada karakter fenotipik karena tidak disebutkan dalam kunci determinasi. Hal ini dibuktikan pada waktu pengolahan data fenotipik yang ditmnsformasi menjadi data biner, karena banyak data hilang maka diperoleh 156 alternatif bentuk dendrogram kemiripan fenotipik. Demikian pula diperoleh nilai korelasi kofenetik antara data fenotipik dan data transformasi biner sangat kecil yaitu r = -0.35892. Ketidakselarasan juga dapat
disebabkan karma spesies-spesies Phalaenopsis yang dianalisis DNA-nya, sebagian ti& diketahui varietasnya. Menurut Sweet (1980) keragarnan dalam spesies (varietasvarietas) anggrek Phalaenopsis sangat besar. Sebagai contoh, terdapat variasi bentuk bibir, kalus (tonjolau bibir) pada P. amabilis var. moluccanu clan var. papuana (Lampiran 13), keragaman kalus pa& harnpir semua spesies &lam seksi Phalaenopsis (Lampiran 12), dan keragarnan karakter-karakter lain pada spesies yang digunakan dalam penelitian ini (Lampiran 14, 15). Demikian pula ekotipe spesies yang digunakan dalam analisis ini tidak diketahui. Telah banyak peneliti yang menguji keselarasan pengelompokan antara penanda morfologi dan molekuler, namun sebagian besar gaga1 memperoleh pengelompokan yang selaras. Sebagai contoh pengelompokan berdasar penanda morfologi dengau molekuler pada gandum korelasinya 0.47, p < 0.01 (Antrique et al. 1996), pada tanaman Oat (Avena sterilis) -0.35, p 5 0.005 (Beer et al., 1993). Menurut Tatineni et al. (1996) jika penanda morfologi yang digunakan merupakan karakter
yang mempunyai daya waris tinggi dan stabil maka nilai korelasi yang diperoleh tinggi. Menurut penganggrek banyak karakter yang dituangkan dalarn kunci determinasi tersebut tidak mempunyai daya stabilitas yang tinggi. Hal tersebut juga telah dilaporkan oleh Griesbach (1981), P. garsenrr mempunyai tiga sinonim yaitu P. zebrrna var. garsenri; P. zebrina var. lilacina; P. violacea var. schroederana, ketiga takson tersebut diyakini sebagai hibrid alam antara P. sumatrana dan P. violacea. Menurut Griesbach (1981) ekotipe tetua dan terjadinya introgresi material genetik sangat menentukan hasil persilangan hibrid alam tersebut. Studi filogenetika molekuler saat ini telah banyak dilakukan antara lain untuk tujuan reevaluasi klasifikasi yang telah ada berdasar karakter morfologi. Analisis filogenetika dengan menggunakan teknik RAPD ini menghasilkan korelasi yang kecil, ha1 ini dapat disebabkan karena teknik RAPD menganalisis secara random keseluruhan koding clan nonkoding DNA genom tanaman. Dalam studi filogenetika molekuler pada famili Anacardiaceae, Hidayat dan Pancoro (2001) menggunakan dasar urutan daerah internal transcribed spacer (ITS) dari famili tersebut. Daerah ITS tersebut menurut Baldwin et al. (1995) digunakan sebagai surnber karakter yang bernilai pada banyak famili Angiospermae (intrafamily phylogenetic study). Hal ini disebabkan adanya bagian yang bersifat variatif (species specrfic), yaitu ITS-1 dan ITS-:! dan bagian yang bersifat stabil yaitu gen rRNA 5.8s (Sun 1994, Jobes & Thien, 1997). Selanjutnya Wen et al. (1998) dan Wen & Shi (1999) melaporkan bahwa daerah ITS dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filogenetika yang berkaitan dengan sejumlah takson tumbuhan yang berbeda (tetapi mash dalarn satu famili atau genus)
yang disttibusinya sangat luas. Oleh sebab itulah studi filogenetika molekuler dengan menggunakan teknik RAPD ini belum dapat banyak menjawab atau mengaitkan dengan klasifikasi yang telah ada berdasarkan karakter fenotipik.