GERAKAN SEPARATISME TERHADAP NEGARA YANG SAH DAN ASPEK PIDANANYA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ( STUDI KASUS GAM) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
FIRMANSYAH 107045102072
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M
GERAKAN SEPARATISME TERHADAP NEGARA YANG SAH DAN ASPEK PIDANANYA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ( STUDI KASUS GAM) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
FIRMANSYAH 107045102072
Dibawah Bimbingan : Pembimbing :
Prof. YUNASRIL ALI, MA NIP. 150223823
MASYROFAH, S.Ag, M.Si NIP: 19781230200112002
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2011
Firmansyah
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan I, II, dan III yang telah membimbing Penulis.
i
2. Dr. Asmawi, MA., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya. 3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaikbaiknya. 4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik. 5. Prof. Yunasril Ali, MA dan Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keikhlasan menyalurkan ilmu-ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani. 7. Tak terlupakan untuk kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajjudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda Amir Husin Lubis dan Ibunda Kamijah Nasution dan Ade-ade saya
ii
Heryuni Lubis, Robi’atul adawiyah Lubis, Marliana Lubis, Nurliana Lubis terima kasih penulis haturkan berkat dukungan ade-ade penulis selalu termotivasi dengan penuh semangat. 8. Sahabat-sahabat Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama (Hurry, Rahmah, Shanti, Farhan, Ridho, ovick, Maya, Sarah, Vinieska, Siti Saripah, Siti Sa’diah, Febri, Hafiz, Adi M, Mamet, Ical, farhan kudil, dan dori) terima kasih yang selalu bersedia menemani penulis, baik berdiskusi dan berbagi keluh kesah. 9. Kepada seluruh staf perpustakaan umum dan perpustakaan syari’ah dan hukum universitas Islam negeri syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis untuk mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini. 10. Kepada Yayasan Anna’imuniyah, selaku ketua Yayasan Drs. KH. Madjasa ilyas, Pembina Yayasan DR. Ahmad Mukri Adji, MA, MH, dan seluruh pengurus Yayasan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat kami. Dan terimakasih kami kepada Pimpinan Pondok Darunna’im YAPIA H. Ust. Nur Rohim Yunus LLM, M.Phil. kami sadar dan tahu bahwa semua membimbing dan membina kami dengan hati nurani yang bersih tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun. 11. Kepada Yayasan Gerakan Anak Shaleh selaku Direktur Utama Harinaldi S.E dan para Fasilitator (trainer) Gerakan Anak Shaleh yang saya cintai karena
iii
Allah dan selalu memberikan saya motivasi sehingga saya menjadi lebih baik lagi. Thank you !!! 12. Santri-santri Alumni Darussalam Gontor angkatan 2005, 2006, 2007 (unto, arif Shaleh, dayat, boncel, Ambon, bemo dan my konsul) yang selalu memberi motivasi sehingga saya tetap semangat dan semangat. 13. Teman-teman saya Remaja Islam Masjid Uswatun Hasanah ( Adul, Kiben, Mulky, Selbi, emul dan reza ) yang selalu memberikan saya motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Sukron
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akhirnya, semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 17 September 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANGAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
9
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .................................................. 10 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 10 E. Metode Penelitian ....................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 14
BAB II
PANDANGAN
UMUM
TENTANG
TINDAK
PIDANA
SEPARATISME (BUGHAT) A. Pengertian Separatisme .............................................................. 16 B. Unsur-unsur Jarimah Separatisme .............................................. 19 C. Dasar Hukum dan Aspek Pidana Separatisme ........................... 34 D. Pengertian Negara Yang Sah dan Unsur-unsur Negara Dalam Hukum Positif ............................................................................ 37 E. Pengertian Negara Yang Sah dan Bentuk Negara Dalam Hukum Islam ............................................................................... 41
v
BAB III
EKSISTENSI
DAN
SEJARAH
GERAKAN
ACEH
MERDEKA (GAM) A. Latar Belakang Gerakan Aceh Merdeka ..................................... 45 B. Awal kelahiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ........................ 46 C. Separastisme dan Lambang GAM ............................................. 49 D. Visi dan misi Gerakan Aceh Merdeka ........................................ 53 E. Lambang Dalam Konflik Nasionalisme Versus Separatis .......... 56
BAB IV
GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pandangan Hukum Islam Tentang Gerakan Aceh Merdeka ...... 59 B. Pandangan Hukum Positif Tentang Gerakan Aceh Merdeka ..... 61 C. Analisis Penulis Tentang Gerakan Aceh Merdeka...................... 63
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 67 B. Saran-saran ................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71 LAMPIRAN-LAMPIRAM
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi berupa al-Qur‟an dan juga hadis Nabi saw adalah agama untuk segala zaman. Karena itu, hukumanya pun senantiasa sesuai dengan zaman. Dalam situasi dan kondisi apa pun, pemeluk agama Islam senantiasa berpedoman kepada al-Qur‟an dan hadis Rasulullah SAW yang menjadi dasar agama mereka, sehingga mereka akan terhindar dari kesesatan. Kedua sumber ajaran Islam itu secara umum mengandung seluruh hukum syari‟at Islam yang teraktualisasi dalam bentuk ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum, yang berkaitan dengan norma dan tatanan kehidupan manusia, baik secara vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horizontal antara sesama manusia. Salah satu bagian dari tatanan horizontal itu adalah menyangkut masalah pidana, yang merupakan garis yang menjadi karidar tergapainya tata tertib hukum tentang hal-hal yang menyangkut hak-hak Allah (haqâq Allah) dalam syari‟at Islam, diantaranya jarîmah hudûd ada tujuh macam yaitu; jarîmah zina, jarîmah qadzaf, jarîmah syurb al-khamar, jarîmah pencurian, jarîmah hirabah, jarîmah riddah, dan jarîmah baghy( pemberontakan).1 Sehubung, dengan penerapan ajaran tersebut, dewasa ini ada sejumlah daerah yang ingin daerahnya bisa menerapkan hukum tersebut. Untuk merealisasikan itu mereka berbunyikan melepaskan daerahnya menjadi sebuah negara berdiri sendiri. 1
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.
1
2
Mungkin hal demikian akan mengisi sebuah pertanyaan bagi kita, bagaimana kalau suatu daerah mendirikan sebuah negara?. Apakah itu sebuah tindakan sepatis atau pemberontakan suatu daerah terhadap negara yang telah ada? Sebelum membahas permasalahan ini lebih jauh, kita harus tahu apa yang dimaksud dengan separatisme. Separatisme dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep legitimasi dan atau ketaatan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Diskursus ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam klasik semisal al-Ghazali, al-Mawardi, dan ibn Taimiyyah yang kemudian dikembangkan dalam konsep bughat atau pemberontakaan. Sepanjang temuan penulis ketika menganalisis penyebab sesungguhnya bughat tidak lepas dari tiga pra kondisi: Pertama, bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan pemerintah yang sah. Dalam pandangan al-Mawardi tindakan bughat ini bisa disamakan dengan tindakan riddah atau keluar dari Islam sehingga dihukumi haram dan pemerintah yang sah diperbolehkan melakukan tindakan militer terhadapnya. Pandangan ini mengacu kepada peristiwa para nabi palsu pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw yang kemudian menolak beberapa Rukun Islam, sehingga Abu Bakar memerintahkan untuk memerangi kelompok ini.2 Kedua, bughat disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dalam konteks ini, menurut pandangan Abdul Qadir Jailani dalam buku Negara ide menurut Islam ketidaksepahaman 2
www. pandangan islam mengenai separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 12 Juli 2011.
3
tersebut adalah sesuatu yang wajar dan mubah. Jika kemudian seseorang tidak sepakat terhadap tata regim yang berkuasa, dan tidak melakukan tindakan penentangan militer kepada negara, orang, atau organisasi tidak bisa dihukum ataupun ditindas. Sejarah Islam pertama pernah mencatat bagaimana Abu Bakar memberikan hak kepada Sa‟ad bin Ubadah yang tidak mau berbai‟at kepada kepemimpinan Abu Bakar, tidak menjadikan Sa‟ad bin Ubadah sebagai pemberontak yang harus dihukum. Ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan zalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar makruf nahi munkar, artinya menjalankan aktivitas bughat menjadi kewajiban masyarakat.3 Dalam hal ini Imam Al-Ghazali merumuskan sebuah metode pengukuran dengan konsep asy-sayukah?. Metode ini menyadarkan kepada asumsi bahwa jika masyarakat memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan penguasa yang zalim, dan tindakan bughat bisa dimenangkan dengan proses yang cepat dan tidak menimbulkan kemadharatan yang lebih banyak, maka aktivitas buhgat melalui pemberontakan bersenjata baru bisa dilakukan. Namun, dalam kenyataannya, sedemikian sulit ditemukan pra-kondisi bahwa kekuatan militeristik masyarakat sipil lebih kuat dibandingkan kekuatan meliter negara. Jadi, separatisme itu dalam hukum Islam tidak dibolehkan, disebabkan kita harus taat kepada pemerintahan. Separatisme itu juga banyak merugikan masyarakat, 3
http/asysyariah.com, Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011.
4
dan kalau kita lihat maslahatnya sungguh banyak dampak-dampak yang membuat masyarakat resah dan tidak nyaman dan aman. disebabkan banyaknya muncul separatis, yang mereka ingin mendirikan negara di atas negara. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan bughat atau Pemberontakan adalah ke luar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (tidak sah)4. Meskipun di Indonesia telah terjadi metamorphosis ide separatisme dari masa Orde Lama ke Orde Baru, tidak berarti bahwa separatisme yang berkembang saat ini sama sekali berbeda dari akar sejarahnya. Beberapa gerakan separatisme yang masih berkembang sampai saat ini bahkan masih sering mengungkit- ungkit sejarah lama gerakan mereka untuk mempertahankan garis historis perjuanganya.
Berikut ini sedikit tentang sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merupakan salah satu gerakan separatisme di Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka5 pada tanggal 4 Desember 1976 sekelompok intelektual Aceh mengumumkan berdirinya negara Aceh, Sumatra. Presiden negara baru tersebut adalah Muhammad Hasan Tiro yang sejak 1950 menetap di New York. Latar belakang gagasan separatis ini pada dasarnya bersifat ekonomi, karena mereka melihat Aceh yang kaya sumber alam--terutama minyak--hanya menjadi sapi perah untuk kepentingan pemerintah
4
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet Pertama, 2001), h. 59. 5
Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI. (Yogyakarta : Ombak, 2010), h. 79.
5
pusat di Jakarta (Jawa). Mereka mencita- citakan pembebasan dari yang disebut-sebut sebagai “Kolonialisme Jawa”.6 Gaya pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan berbau militer telah mampu meredam gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI. Pada masa itu, segala ancaman yang mengindikasikan adanya upaya- upaya untuk memisahkan diri langsung dicap sebagai tindakan pemberontakan dan dapat ditindak dengan cara- cara militer.7 Sejak semakin semaraknya isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di awal 1990-an, gerakan-gerakan separatis ini seolah menemukan “amunisi” baru yang dapat memunculkan kembali eksistensi mereka. Dengan mendompleng isu pelanggaran HAM, mereka tak gentar melakukan propaganda untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari dunia internasional. Propaganda yang biasa mereka lontarkan adalah adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia. 8 Selain dapat mengangkat eksistensi kelompok separatis, pemboncengan terhadap isu HAM ini juga akan menyeret persoalan separatis yang semula merupakan persoalan domestik Indonesia menjadi persoalan internasional. Dengan demikian strategi pemboncengan terhadap isu HAM ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, dengan membonceng isu HAM ini dapat mengangkat kembali eksistensi mereka, dan sisi lain, dapat melebarkan skala persoalan dari domestik menjadi internasioanal.
6 7
8
Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h. 6. www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011. Otto syamsuddinishak, Perang dan Perdamaian Di Aceh, (Jakarta: LSPP,2008), h. 13.
6
Kasus Timor-Timur dapat dijadikan contoh betapa strategi mendompleng isu HAM merupakan strategi yang cukup membuahkan hasil dan sepertinya akan menjadi startegi utama bagi kelompok- kelompok separatis untuk mendapatkan dukungan politik dari dunia internasional. Gerakan separatisme oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Republik Maluku Selatan (RSM) di Maluku, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua adalah kelompok- kelompok separatis yang aktif menggunakan strategi ini. Pemboncengan terhadap isu HAM ini tentu mengakibatkan penyelesaian ancaman separatisme di Indonesia menjadi semakin kompleks. Penerapan otonomi daerah khusus tidak serta-merta menyurut kehendak kelompok separatis untuk kembali ke pangkuan NKRI. Hal ini karena kelompok separatis merasa mereka lebih punya nilai tawar untuk meminta konsesi yang lebih besar kerena mereka merasa mendapat dukungan- atau minimal, mendapat perhatian dari dunia internasional. Akibatnya, karena merasa mendapat dukungan atau perhatian dari dunia internasional,
kelompok
separatis
ini
sering
menuntut
diperlakukan
atau
memperlakukan diri secara over valued (melebihi nilai/ kenyataan sesungguhnya). Sebagai contoh, dalam perundingan Helsinki antara pemerintahan RI dengan GAM beberapa waktu lalu jelas-jelas menunjukkan bahwa GAM telah diperlakukan dan memperlakukan diri sedemikian over valued. GAM yang sama sekali tidak berpengalaman dalam mengurus pemerintahan yang sesungguhnya dan hanya merupakan sebagian kecil dari elemen masyarakat Aceh, diperlakukan dan memperlakukan diri sebagai satu- satunya representasi masyarakat Aceh dalam
7
menentukan masa depan Aceh. Terlepas dengan GAM, perundingan di Helsinki belum sepenuhnya menjadi penyelesaian yang benar- benar tuntas bagi persoalan konflik di Aceh.9 GAM yang diperlakukan dan memperlakukan diri secara over valued telah mengakibatkan tidak terwakilinya kelompok masyarakat Aceh yang lain selama ini memilih tidak bersikap sebagaimana GAM. Dampak yang kemudian muncul adalah munculnya berbagai persoalan baru menyangkut masa depan Aceh. Kecenderungan seperti di Aceh ini sepertinya dilakukan pula oleh kelompok separatis di Papua dan Maluku. Apalagi, diduga terdapat pihak- pihak tertentu dari luar negeri terutama Australia, yang terlibat dan mensponsori aktivitas gerakan separatisme di Indonesia. Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslim, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata as-Salậm yang artinya perdamaian. Karena as-Salậm dan al-Islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi, jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Salah satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada kasus GAM (gerakan Aceh merdeka) terdapat unsur-unsur pidana yaitu; pembangkangan terhadap negara yang mana banyak korban yang berjatuhan demi menjadikan Aceh merdeka dari Indonesia atau (NKRI). Maka 9
www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.
8
dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana hukum tindakan GAM itu sendiri menurut pandangan hukum Islam dan hukum positif. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
tertarik
untuk
mengambil
judul
“GERAKAN
SEPARATISME
TERHADAP NEGARA YANG SAH DAN ASPEK PIDANANYA (Menurut Persfektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Studi Kasus GAM).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan masalah negara yang sah, serta bagaimana pengaturan sanksi dan pandangan dari apa yang telah terkandung di dalam hukum Islam dan hukum positif. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi, meliputi halhal sebagai berikut; 1. Separatisme yang penulis maksud, adalah separatisme terhadap negara yang sah dan memisahkan diri dari wilayah negara sendiri. 2. Hukum Islam dan hukum positif yang penulis maksud, adalah kajian hukum Islam dan hukum positif yang membahas tentang separatisme terhadap Negara yang sah dan Aspek pidananya (studi kasus Gerakan Aceh Merdeka). Di dalam hukum Islam menerangkan tentang bughat atau separatisme itu tidak diperbolehkan. Karena Islam mengajarkan kita untuk berbuat yang baik bukan pemberontakan. Sedangkan hukum positif pun sama melarang untuk berbuat makar atau separatisme yang mana dijelaskan pada pasal 139 a dengan ancaman lima tahun penjara. Gerakan separatis Gerakan Aceh merdeka adalah sebagai akibat dari adanya
9
perlakuan yang tidak adil dari pemerintah. Pemerintah dianggap sebagai penjarah kekayaan di bumi Aceh. Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Hukum positif tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)? 2. Bagaimana pandangan ulama-ulama mengenai pengertian separatisme pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM)? 3. Apa bentuk sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam dan hukum positif terhadap separatisme dalam kasus GAM?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah; 1. Untuk mengetahui apakah gerakan Aceh merdeka itu adalah separatisme menurut hukum positif. 2.
Untuk mengetahui pengertian separatisme menurut pendapat para ulama-ulama dan pada kasus gerakan Aceh Merdeka.
3. Untuk mengetahui sanksi atau hukuman yang ditentukan pada hukum Islam dan hukum positif pada kasus Gerakan Aceh merdeka (GAM). Manfaat khusus penulis skripsi adalah untuk menambah memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di
10
fakultas Sayri‟ah dan hukum. Selain itu, manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu Kajian Islam.
D. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahiu seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian yang dilakukan penulis. Dibawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal. Skripsi yang ditulis oleh Hajar Binti Harun Fakultas Syari‟ah Dan Hukum ( Jinayah Siyasah) “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat Negara Menurut Perundangan Malaysia”, tahun 2009. Bab III skripsi ini membahas tentang keadaan darurat negara dalam hukum Islam yang disebabkan pemberontakan. Buku Pertama karangan Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam, diterbitkan oleh Sinar Grafik, maret tahun 2005. Buku ini menjelaskan bahwasanya perampokan dan pemberontakan terdapat kemiripan. Perampokan adalah tindakan yang memerangi Allah dan Rasulnya tanpa menggunakan (ta‟wil) Karya Muhammad Amin Suma, dkk yang berjudul Hukum Pidana Islam Di Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, juli tahun 2005. Kajian yang secara khusus membahas mengenai makar dan murtad perspektif hukum Pidana Islam, dikategorikan makar apabila tindakan peringatan pemerintah tidak menghentikan kegiatan mereka, namun pemerintah tidak boleh mendahului memerangi mereka, sampai mereka terlebih dahulu memerangi pemerintah.
11
Karya Zainuddin Ali yang berjudul, Hukum Pidana Islam, Jakarta; diterbitkan oleh Sinar Grafik, April tahun 2007. Didalam buku ini menjelaskan bahwasanya separatisme atau bughat adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Karya Chazawi Adami, yang berjudul Kejahatan Terhadap Keamanan Dan Keselamatan Negara, PT Raja Grafindo Persada, 2002. Didalam buku ini menjelaskan bahwasanya dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam pasal 53. Pasal 53 (1) yang merumuskan yakni “ mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata- mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Karya Abdul Qadir Audah Kitab Tasriy Jinaai Fi Al-Islam Juz II, kitab ini menjelaskan tentang unsur- unsur mengenai pemberontakan (bughat). Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, khususnya tentang separatisme di Aceh, sebagaimana telah disebutkan diatas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji tentang gerakan separatisme terhadap negara yang sah dan aspek pidananya ( studi kasus GAM) secara khusus. Adapun penelitian dilakukan oleh Hajar binti harun pembahasannya hanya seputar ketatanegaraan Islam terhadap darurat Negara perundangan Malaysia penelitian pertama atau kedua walaupun fokus kajiaannya dipemberontakan tetapi hanya menjelaskan seputar upaya penerapan hukum pidana Islam. Dengan demikian penelitian yang penulis lakukan
12
dalam skripsi ini berbeda. Dengan penelitian sebelumnya yaitu tentang gerakan separatisme terhadap negara yang sah (studi kasus GAM) dalam memfokuskan aspek pidananya dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif. 2. Teknik pengumpulan data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan factual, teknik pengumpulan data dilakukan dokumenter dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahanbahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi primer dan sekunder. a. Data primer Data ini meliputi al- Qur‟an dan Hadis serta kitab-kitab ( sumber hukum pidana Islam) dan KUHP (sumber hukum positif) yang membahas topik permasalahan serta berbagai bahan yang secara langsung berhubung dengan
13
separatism terhadap negara yang sah dan aspek pidananya pada kasus gerakan Aceh merdeka. b. Data sekunder Data yang dimaksud adalah berbagai buku yang secara tidak langsung berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini, dan bahan-bahan tersebut diharapkan dapat menunjang dan melengkapi serta memperjelas data-data primer. Data-data tersebut bersumber dari buku-buku yang berkaitan dengan ilmu hukum, makalah-makalah, dan paper yang berkaitan dengan permasalahan ini. 3. Metode pembahasan Metode analisis data yang digunakan seluruhnya adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis masalah berdasarkan data-data yang di dapat dalam bentuk katakata atau kalimat yang di dapati dari buku-buku, karya-karya, literature atau normanorma. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis komparatif secara kualitatif.
Alasan
penulis
menggunakan
teknik
ini
adalah
penulis
ingin
membandingkan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Positif terhadap permasalahan pada penelitian ini. Dan juga diterapkan penulisan isi secara kualitatif (qualitative content analysis). 4. Tenik penulisan Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi, fakultas syari‟ah dan hukum UIN syarif hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.
14
F. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 5 bab yang memuat data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui proses penelitian dan analisa. Adapun sistematika tugas akhir ini sebagai berikut; Bab pertama, pendahuluan yangn berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagaimana skripsi yang lain pada umumnya, pada bagian pendahuluan akan selalu memaparkan hal-hal mendasar seperti ini dan sudah seharusnya diletakkan pada bab pertama. Bab kedua, pengertian tentang separatisme secara umum, unsur-unsur separatisme, dasar hukum dan sanksi separatisme dan bagaimana aspek pidananya menurut hukum Islam dan hukum Positif dan pengertian negara yang sah menurut hukum Islam dan hukum Positif serta bentuk-bentuk negara dan unsur-unsurnya . masalah ini harus penulis bahas pada bab dua karena pasti berkaitan dengan masalahmasalah pokok selanjutnya. Sesuai dengan susunan kata dalam judul skripsi ini, maka penulis membahas tentang tindak pidana separatism terhadap negara yang sah. Bab ketiga, sejarah Gerakan Aceh Merdeka, latar belakangannya, sepatisme dan lambang Gerakan Aceh Merdeka, visi dan misi dan tujuan Gerakan Aceh Merdeka. Pada bab ketiga ini akan didapat beberapa penemuan yang berkaitan dengan separatisme terhadap negara yang sah
sebagaimana akan terlihat latar
belakang Gerakan Aceh Merdeka,visi dan misi Gerakan Aceh Merdeka.
15
Bab keempat, pandangan hukum Islam dan hukum Positif mengenai separatisme pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) persamaan dan perbedaan menurut ulama-ulama mengenai separatisme, pada bab empat ini penulis akan membahas bagaimana sanksi hukum yang diterapkan oleh hukum pidana Islam dan hukum Positif pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bab kelima, pada bab ini penulis akan menarik suatu kesimpulan dan saransaran apa yang diambil dalam judul skripsi ini. Dengan kata lain, pada bab lima ini berisikan kesimpulan dan saran-saran penulis.
BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA SEPARATISME (BUGHAT)
A. Pengertian Separatisme 1. Definisi Separatisme Atau Bughat Secara Etimologis Separatisme artinya mengasingkan diri, kelompok yang mengasingkan dirinya dari suatu wilayah dari satu sama yang lain (atau suatu negara lain).1 Separatisme juga sering merupakan tindak balas yang kasar dan brutal terhadap suatu pengambil ahlian militer yang terjadi dahulu. Di seluruh dunia sebanyak kelompok teroris menyatakan bahwa separatisme adalah satu- satunya cara untuk meraih tujuan mereka mencapai kemerdekaan. Dalam hukum pidana Islam yang dikenal dengan sebutan bughat yaitu: pemberontakan terhadap suatu pemerintahan. al-Baghy menurut bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu. Dari sudut bahasa, al-Baghy memiliki beberapa pengertian antara lain; (zhalim, aniaya) (perbutan jahat) (menyimpang dari kebenaran) dan (melanggar, menentang).2Bughat secara harfiah berarti menanggalkan atau melanggar.3
1
John M. Echols, Kamus bahasa inggris, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.
2
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pena Ilahi, 2007), h. 218.
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.
514.
16
17
2. Definisi separatisme (bughat) secara terminologis Secara terminologis, Ibn Arafah al-maliki mengartikannya sebagai pembangkangan terhadap negara yang sah dan adil, meskipun memiliki alasan.4 Dalam istilah Hukum Islam yang dimaksud bughat adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.5 Pengetian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman. Hal ini terlihat dalam firman Allah.
…
⁄ Katakanlah “Tuhanku hanya mengharamkan perbutan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar. Dalam pengertian istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang redaksinya berbeda-beda. a. Pendapat Malikiyah Separatisme atau pemberontak adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta‟wil).6
4
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.
5
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam…, h. 73.
6
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Sinar Grafik, maret, 2005). h. 110.
18
Dari definisi tersebut, Malikiyah mengartikan separatisme atau buhgat sebagai berikut . Separatisme atau bughat adalah sekelompok kaum muslimin yang berseberangan dengan al-Imậm al- A‟zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.7 b. Pendapat Hanafiyah Separatisme atau bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).8 c. Pendapat Hanabilah Separatisme atau bughat adalah sekelompok orang yang menentang penguasa/ pemerintah, termasuk penguasa yang zhalim, dikarenakan adanya perbedaan paham. Mereka memiliki kekuasaan, meskipun tidak dibawah komando seorang pemimpin.9 d. Pendapat Syafi‟iyah Separatisme atau bughat adalah para pemberontakan atau para pelaku tindakan makar itu adalah orang-orang Islam yang melawan atau pembangkang kepada pemimpin/ pemerintah, dengan jalan menentangnya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka; dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin.10 Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut, terlihat adanya perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam jarimah 7
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.
8
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 110.
9
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum Pidana Islam Di Indonesia…, h. 59.
10
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd…, h. 219.
19
separatisme atau bughat, tetapi tidak dalam unsur yang prinsipil. Apabila diambil intisari dari definisi-definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa separatisme atau bughat adalah pembangkan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta‟wil).11 Perbuatan separatisme atau bughat merupakan salah satu tindak kejahatan yang diharamkan dalam hukum pidana Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Saw; َ
12
“ Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah saw bersabda” Barang siapa yang merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, memisahkan diri dari jama‟ah (pengusa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyah”.
B. Unsur-unsur Jarimah Separatisme Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarîmah separatisme atau bughat itu ada tiga13, yaitu 1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam) 2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan 3. Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasd al-Jinậîy) 11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 111.
12
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Pustaka: Daru Ihya al-Kutub al-Arabiyah 775 H-825 H), h. 253. 13
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 111.
20
1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (Imam) Untuk terwujudnya jarîmah separatisme disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.14 Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Contohnya, seperti penolakan zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qishash. Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan. Bukan merupakan separatisme atau bughat, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini oleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali didalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk mentaati apa yang diperintahkannya. Separatisme atau bughat kadang-kadang ditunjukan kepada imam atau kepala negara, dan kadang-kadang kepada pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya. Pejabat-pejabat
tersebut
antara
lain
menteri,
hakim,
atau
pejabat-pejabat
dibawahnya.15 Dalam sistem imamah, penguasa tertinggi oleh para fuquha disebut
14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 111.
15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 112.
21
dengan istilah Imam yang di atasnya tidak ada lagi imam, sedangkan penguasa di bawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila ia mewakili Al-imam Al-A‟zham. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Mawardi, „Audah mendifinisikan khalifah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw. Dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.16 Pembentukan dengan imamah atau pemerintahan merupakan bagian dari fardu kifayah, sama halnya dengan pembentukan pengadilan. Hal ini karena umat memerlukan seorang pemimpin (imam) yang menjalankan urusan-urusan agama, membela sunah, menyantuni orang yang teraniaya, serta mengatur hak dan kewajiban warga negara (umat). Tentu saja setiap imam atau kepala negara harus memenuhi syarat-syarat, antara lain yang paling penting, Islam, laki-laki, mukallaf, dan adil. Untuk pembentukan imamah yang diakui eksistensinya, bisa ditempuh beberapa cara sebagai berikut.17
16
Muhammad Iqbal, fiqh siyasah kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya media pratama, 2001), h. 130. 17
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 112.
22
a. Dengan cara pemilihan oleh hilli wal‟aqdi Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahlul Hilli wal‟aqdi atau dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar di awal Islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendikiawanan mereka serta keikhlasan mereka. Juga keseriusan mereka dalam membuat hukumhukum yang diperlukan, baik yang bekenaan dengan peraturan sipil, politik dan administrasi. Mereka termasuk ulil amri yang Allah SWT mewajibkan rakyat untuk mentaati mereka.18 Contohnya; seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw.19 b. Dengan penunjukan langsung oleh imam terdahulu terhadap orang yang menggantikannya, seperti penunjukan oleh khalifah Abu Bakar terhadap Sayidina Umar. Dalam perkembangan sejarah Islam, penunjukan oleh seorang kepala Negara secara langsung ini banyak terjadi pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, seperti penunjukan oleh Mu‟awiyah terhadap anaknya, dan hal ini oleh para ulama dibenarkan. c. Imam yang terdahulu membentuk majelis permusyawaratan yang terdiri dari orang-orang tertentu, dan mereka itulah yang melakukan pemilihan kepala Negara yang baru. Contohnya; seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar, ketika
18
Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 108.
19
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 112.
23
ia menunjuk enam orang sahabat, yang kemudian mereka bermusyawarah untuk memilih kepala Negara. Mereka akhirnya memilih sayidina Ustman bin Affan. d. Dengan cara kudeta atau perebutan kekuasaan yang diumumkan kepada rakyat, sehingga rakyat mengakuinya sebagai pemerintah yang sah. Dalam hal ini, rakyat yang telah mengakui itu wajib patuh kepada pemerintah baru hasil kudeta tersebut. Contohnya; dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh Abdul Malik ibn Marwan yang menggempur Abdullah ibn Az-Zubair dan membunuhnya, dan ia menguasai negeri dan penduduknya, sehingga mereka membaiatnya dan mengakuinya sebagai kepala negara (imam). Apabila imamah telah terbentuk dan diakui dengan salah satu dari keempat cara tersebut maka tindakan separatis terhadapnya merupakan suatu tindakan separatime. Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala Negara (imam), menurut Ar-Ridha adil istiqamah (teguh pendirian), dan kesempurnaan tiada akhir.20 menurut mazhab empat dan Syi‟ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan amar ma‟ruf dan munkar.21 Alasannya adalah keluar karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh
20
Farid Abdul Khaliq, Fiqh Politik Islam…, h. 112.
21
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 112.
24
(lemah) apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengbaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.22 Para ulama juga sepakat bahwa memerangai dan menumpas orang-orang yang membangngkan terhadap pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan sebelum mereka ditanya tentang sebab pembangkangannya itu. Apabila mereka menyebutkan beberapa kezhaliman dan penyelewengan tersebut. Setelah itu, mereka diajak untuk patuh dan tunduk kepada imam atau kepala negara. Apabila mereka tidak mau kembali maka barulah mereka diperangi atau ditumpas. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah.
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang bebuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT . Dari ayat tersebut jelaslah bahwa urutan penanganan kasus pemberontakan adalah ishlah, baru disusul dengan penumpasan, bukan sebaliknya. Di atas telah dikemukakan bahwa orang-orang yang keluar atau membangkang atau separatis itu terdiri atas tiga kelompok lagi tergolong separatisme atau bughat. Kelompok ketiga
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h.113.
25
ini adalah orang-orang yang membangkang terhadap negara yang sah dengan alasan atau argumentasi (ta‟wil) dan didukung dengan kekuatan senjata. Adapun yang dimaksud dengan alasan atau argumentasi (ta‟wil) adalah suatu pernyataan
yang
berisi
penjelasan
tentang
sebab-sebab
dan
alasan-alasan
pembangkangan mereka terhadap pemerintah, baik alasan tersebut benar atau tidak (fasid). Contoh argumentasi yang tidak benar seperti alasan dari orang-orang yang menolak membayar zakat, karena zakat itu harus diberikan kepada orang yang do‟anya dapat menenteramkan jiwa mereka. Alasan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo‟alah untuk mereka. Sesungguhnya do‟a itu (menjadi) ketentetaman jiwa bagi mereka. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan adalah adanya jumlah yang banyak dari para anggota yang memberontak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistic dan dana yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan.23 Hanabilah mengartikan kekuatan dengan sesuatu (gabungan orang dan senjata) yang untuk menumpasnya diperlukan prajurit yang banyak. Syafi‟iyah mensyaratkan untuk terwujudnya kekuatan diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin.
23
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h.113.
26
Pendapat Syafi‟iyah ini cukup beralasan, karena berapa pun banyaknya anggota dan betapa pun kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak ada pemimpinnya yang kharismatik dan berwibawa maka kelompok tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan.24 Dengan demikian, pengertian kekuatan ini harus berupa gabungan dari unsur personil, senjata, logistic, dan pemimpin yang pandai mengatur taktik dan strategi. Adapun orang yang keluar dari imam (kepala negara) tanpa argumentasi dan tanpa kekuatan, dianggap sebagai perampok, bukan pemberontak atau separatisme. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Imam Ahmad.25 Demikian pula orang yang keluar dengan disertai argumentasi, tetapi tanpa kekuatan, menurut pendapat yang rajih (kuat) di kalangan mazhab Hanbali, tidak termasuk pemberontakan atau separatisme. Akan tetapi menurut sebagian fuqaha Hanabilah, orang yang keluar (membangkang) dari Imam disertai dengan argumentasi meskipun tanpa kekuatan termasuk separatisme atau pemberontakan. 2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Kekuatan Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai separatisme atau pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya; seperti keengganan untuk membait (mendukung) seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas (orang banyak), walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan 24
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 114.
25
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115.
27
ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Dalam sejarah misalnya, Sayidina Ali pernah menolak untuk membaiat Abu Bakar, walaupun kemudia ia membaiatnya. Demikian pula Sa‟ad ibn Ubadah tidak mau membaiat Abu Bakar, sampai meninggal. Contoh; lain seperti pembangkangan (keluarga) kelompok Khawarij dari Sayidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai separatism atau bughat, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk separatisme atau pemberontakan.26 Separatisme atau bughat menurut Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad dimulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka separatis itu belum dianggap sebagai separatisme , dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah).27 Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai separatisme. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, separatisme itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap Imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya. Di atas telah dikemukakan bahwan sebelum dilakukan penyerangan terhadap para separatis, perlu dilakukan pendekatan dan dialog, guna mengetahui sebab pembangkangannya itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Ali ketika terjadi
26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 115.
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam …, h. 115.
28
perang jamal (unta). Dengan demikian, Khalifah Ali mengirim utusan untuk mengadakan pendekatan kepada penduduk Basrah sebelum terjadinya perang jamal, dan memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran. Tindakan pendekatan dan dialog serta ajakan untuk patuh kepada imam perlu dilakukan, karena tujuan penumpasan adalah untuk mencegah, bukan membunuh mereka. Dengan demikian, apabila dengan ucapan dan dialog mereka dapat kembali patuh kepada imam, tidak perlu diadakan penumpasan atau pertempuran, karena walau bagaimanapun, pertempuran tetap menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Akan tetapi, jika mereka tidak mau surut dari niatnya bahkan mulai melakukan tindakan-tindakan kekerasan maka tidak ada jalan lain kecuali menumpasnya. Apabila telah meletakkan senjata atau menyerah maka mereka (para separatis) tidak boleh diperangi lagi. Harta milik separatisme atau buhgat menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi‟î menjadi hak miliknya dan tidak boleh dirampas. Imam malik mengecualikan senjata boleh dirampas, sedangkan Imam Syafi‟î membolehkan perampasan harta dalam keadaan darurat. 3. Adanya Niat Yang Melawan Hukum Untuk terwujudnya tindak pidana separatisme atau bughat, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak mentaatinya. Apabila tidak bermaksud untuk keluar dari imam, atau
29
tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka pembangkang itu belum dikategorikan sebagai separatisme atau bughat. Untuk bisa dianggap ke luar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara‟. Dengan demikian, apabila niat dan tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai separatisme atau bughat. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya separatism atau bughat maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk separatis, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai separatisme atau bughat, melainkan sebagai jarimah biasa. Adapun kejahatan yang masuk dalam kategori makar (separatisme) yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan Negara RI sebagaimana dimuat dalam buku Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk yaitu28: 1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala negara atau wakilnya. 2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah negara. 3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintah negara.
28
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h. 11.
30
1. Makar Yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya Pada pasal 104 merumuskan: “makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden menjalankan pemerintahan, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.29 Jika rumusan itu dirinci, maka makar yang menyerang keamanan presiden atau wakilnya atau yang dirumuskan dalam pasal 104 itu adalah sebagai berikut: Unsur obyektif: 1) Perbuatan makar (penyerangan) Unsur-unsur subyektif: 2) Maksud yang ditunjuk pada: a) Menghilangkan nyawa presiden atau wakilnya b) Merampas kemerdekaan presiden atau wakilnya c) Meniadakan
kemampuan
presiden
atau
wakilnya
yang
menjalankan
pemerintahan. Makar itu dilakukan dengan kekerasan, sebab tanpa kekerasan tidaklah dapat dilaksanakan pembunuhan presiden atau penggulingan Pemerintahan. Ini berarti bahwa sekelompok orang dengan pernyataan tertulis disertai dengan ujuk rasa yang menghendaki supaya Presiden atau Pemerintah turun/ ganti tidaklah dapat disebut melakukan kejahatan makar.30
29
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia…, h. 71.
30
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia…, h. 74.
31
2. Makar Yang Menyerang Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negara Integritas suatu Negara adalah tejaminnya keamanan dan keutuhan wilayah negara. Karena itu keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah wajib dipertahankan.31 Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini adalah juga berupa kejahatan makar. Kejahatan makar yang dimaksud ini adalah yang dirumuskan pada pasal 106, yang rumusannya ialah:32 “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Jika rumusan itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur : Unsur obyektif: perbuatan (makar) Unsur subyektif: maksud yang ditunjukan pada 2 hal yakni: a. Seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh b. Memisahkan sebagian dari wilayah negara Perbuatan makar di sini tidak identik dengan kekerasan (geweld). Perbuatan dalam makar yang oleh pasal 87 disebutkan sebagai permulaan pelaksanaan, adalah berupa segala macam bentuk perbuatan dengan maksud untuk sebagian atau seluruh wilayah RI jatuh ketangan musuh dan atau sebagian wilayahnya terpisah dengan wilayah yang jika dilihat dari pasal 53 adalah berupa perbuatan pelaksanaan dalam rangka mencapai maksud tersebut. 31
32
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 12. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 12.
32
Dalam kejahatan ini tidak diperlukan benar-benar seluruh atau sebagian wilayah RI itu jatuh ketangan/ kedalam kekuasaan musuh atau telah terpisahnya sebagian wilayah dari wilayah kesatuan negara RI. Yang harus timbul bukan aakibatakibat itu, akan tetapi wujud perbuatan yang bila dilihat dari pasal 53 (1) adalah dapat berupa wujud permulaan pelaksanaan perbuatan dalam rangka mencapai maksud memisahkan sebagian wilayah RI atau jatuhnya wilalyah RI ke dalam kekuasaan musuh tersebut. 3. Makar Yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintah Negara Yang dimaksud ini ialah kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 107 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut: a. Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. b. Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Perbuatan makar yang pada dasarnya berupa wujud permulaan pelaksanaan (dari suatu perbutan) sebagaimana dimaksud pasal 53 (1) dalam rangka mencapai tujuan mengulingkan pemerintahan atau tergulingnya pemerintah, tidaklah perlu berupa perbuatan yang begitu dahsyatnya dengan kekerasan menggunakan senjata. Makar disini sudahlah cukup misalnya dengan membentuk organisasi dengan alatalatnya seperti anggaran dasar, program kerja, tujuan yang ingin dicapai dan
33
sebagianya yang semua wujud-wujud kegiatan itu menuju pada suatu tujuan yang lebih besar ialah menggulingkan pemerintah yang sah. Yang dimaksud dengan menggulingkan pemerintahan (omwenteling teweeg brengen) diterangkan dalam pasal 88 bis KUHP yang menyatakan: “Dengan penggulingan pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar”. Pengertian pemerintah adalah semua perangkat ataupun organ-organ pemerintah misalnya lembaga kepresidenan, kementerian-kementerian dan bagianbagiannya dari di pusat sampai di daerah bentuk kerja sama atau hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.33 Pengertian
menggulingkan
pemerintah
yang
pertama
yang
berupa
meniadakan pemerintah, adalah dapat berupa keadaan awal sebelum digantinya pemerintah dengan pemerintah yang baru. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa meniadakan atau meleyapkan pemerintahan sebenarnya tidaklah mungkin, hal ini sekedar untuk membedakannya dengan hal pengertian yang kedua dari menggulingkan pemerintah karena jika pemerintah itu lenyap, maka negara juga tidak ada lagi. Syarat adanya negara salah satunya adalah adanya pemerintahan.34
33
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 15.
34
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 16.
34
C. Dasar Hukum dan Aspek Pidana Separatisme 1. Dasar Hukum Separatisme ( Bughat) Dalam Hukum Positif (KUHP) Dalam masalah separatisme dasar hukum positif mengenai separatisme atau bughat yaitu pada pasal 139 a merumuskan ; “Makar dengan maksud melepaskan wilayah, atau daerah lain dari negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian, dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Sedangkan pada pasal 139 b merumuskan; “ Makar dengan maksud menghapuskan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan yang ada dalam negara sahabat, atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Kejahatan yang diberi kualifikasi oleh pembentukan UU dengan pemberontakan (opstand) adalah kejahatan sebagaimana dirumuskan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 108 KUHP, yang bunyi rumusannya adalah; (1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. a. Orang yang melawan pemerintah dengan senjata. b. Orang yang dimaksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersama- sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemmerintah dengan senjata. c. Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Rumusan kejahatan seperti ini tidak terdapat dalam WvS belanda, hanya ada didalam WvS hindia belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Untuk menjamin
35
keselamatan pemerintah hindia belanda dari kemungkinan dari serangan- serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada pasal 108. Kualifikasi pemberontakan atau separatisme (opstand) menurut rumusan pada pasal 108 tersebut ada 3 bentuk kejahatan sebagaimana disebut dalam ayat (1) yaitu;35 a. Orang yang perbuatannya melawan pemerintah dengan senjata. b. Orang yang dengan maksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersamasama dengan gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata.. c. Orang yang dengan maksud melawan pemerintah menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata. Sedangkan yang ditentukan dalam ayat 2 itu adalah berupa pemberontakan yang diperberat, pemberatan pidana mana diletakkan pada kualitas subyek hukumnya, yang terdiri dari dua, yaitu; a.
Bagi orang yang berkualitas sebagai pimpinan pemberontak.
b.
Bagi orang yang berkualitas sebagai pengatur atau perencana pemberontak.
2. Dasar Hukum Tentang Hukuman Bagi Separatisme ( Bughat) Dalam Hukum Islam ( al-Qur’an dan Hadist). a. al-Qur’an Adapun landasan hukum dilarangannya tindak pidana separatisme (bughat) atau tindakan makar.
35
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 28.
36
“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu; sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Dari teks ayat tersebut di atas ibn Rusyd berpendapat bahwa untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya tindakan makar, atau separatisme (bughat) dan kerusuhan, pemerintah yang berusaha maksimal untuk mengatasi dan menumpas mereka. Jika salah seorang atau beberapa orang dari para pelaku kerusuhan itu tertangkap maka tidak boleh langsung dibunuh, kecuali ketika sedangh berkobarnya api peperangan, dan atau kerusuhan masih berkecamuk, sementara para separatis atau bughat dan perusuh masih melawan.36
b. al-Hadist
37 Dari A‟fazah Ibn suraihin Rasulullah saw bersabda“Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian 36
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd…, h. 221.
37
Ibn Hajar Al-asqalani, Bulughu al-Maram…, h. 254.
37
dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian maka perangilah/bunuhlah orang tersebut”. Dalam lafadz lain;
38 Dikabarkan oleh Ahmad Ibn Syua‟ib berkata: dikabarkan oleh Muhammad Ibn Yahya berkata: dikabarkan oleh Abdullah Ibn Usman dari Abi Hamzah dari Ziyad ibn Alaqha, dari Arfazah Ibn Syuraihin berkata: Rasulullah saw bersabda “Sungguh akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru.maka siapa yang ingin memecah-belah perkara umat ini padahal umat ini dlm keadaan telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan maka perangilah/bunuhlah orang tersebut siapa pun dia.”
D. Pengertian Negara Yang Sah dan Unsur-unsur Negara Dalam Hukum Positif Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.39 38 39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam…, h. 109. Daud Busroh, Ilmu Negara, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), h. 21.
38
1. Pengertian Negara menurut para ahli hukum. a. Menurut Gorge Jellinek : Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.40 b. Menurut Gorge Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang mencul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal. c. Mr. Kranerburg Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.41 d. Roger. F. Soltau Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persalan bersama atas nama masyarakat.42 e. Prof. R. Djolosoetrono Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama. f. Prof. Mr. Soenarko Negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan). 40
41
42
www.pengertian negara.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011. Daud Busroh, Ilmu Negara…, h. 22. www.pengertian negara.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.
39
g. Dalam penganyaman bahwa Aristoteles (384-322), dalam buku Politica merumuskan pengertian negara sebagai polis yaitu negara kota, yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara, dengan pemerintah dan benteng untuk menjaga serangan musuh.43
2. Unsur Negara-negara Yang dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah hal-hal yang menjadikan negara itu ada atau hal-hal yang diperlukan untuk terbentuknya negara (elemen dari pada negara).44 Untuk mengetahui unsur-unsur Negara ada tiga sudut pandang a. Meninjau unsur-unsur negara secara klasik atau tradisional b. Meninjau unsur-unsur negara secara yuridis c. Meninjau unsur-unsur negara secara sosiologis d. Unsur-unsur negara secara klasik yaitu45; e. Wilayah tertentu f. Rakyat g. Pemerintahan yang berdaulat a. Wilayah tertentu Yang dimaksud dengan wilayah tertentu ialah batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku. Dengan kata lain kekuasaan negara tidak berlaku diluar 43
Daud Busroh, Ilmu Negara…, h. 21.
44
Daud Busroh, Ilmu Negara …, h. 75.
45
Daud Busroh, Ilmu Negara …, h. 75.
40
batas wilayahnya karena bisa menimbulkan sengketa internasional walaupun sebagai pengecualian dikenal apa yang disebut daerah-daerah eksteritorial yang artinya kekuasaan negara bisa berlaku diluar daerah kekuasaannya. Sebagai pengecualian misalnya di tempat kediaman kedutaan asing yang tidak jarang orang meminta politik asli kepada kedutaan asing yang tidak dapat diganggu-gugat. Mengenai batas wilayah Negara orang tidak dapat melihat dalam undangundang dasar Negara, tapi merupakan ketentuan dalam perjanjian (traktat) antara dua negara atau lebih yang berkepentingan dan biasanya merupakan negara tetangga. Antara dua negara saja maka perjanjian itu bersifat bilateral, jika lebih dari dua negara sifat negara perjanjian itu multilateral. Jika kata-kata wilayah disebutkan juga dalam undang-undang dasar, maka ketentuan itu tidak mempunyai arti yuridis sama sekali, oleh karena penentuan wilayah tidak bias ditentukan secara sepihak. Penentuan dalam undang-undang dasar hanya suatu peringatan saja bahwa negara mempunyai wilayah yang berbatas. b. Rakyat Rakyat adalah sekumpulan orang yang hidup disuatu tempat. Ada istilah rumpun (ras), bangsa (natie), suku yang erat pengertiannya dengan rakyat. Rumpun (ras) adalah kumpulan orang yang mempunyai cirri-ciri jasmaniah yang sama (warna kulit, rambut, bentuk muka, bentuk badan).46 c. Pemerintahan yang berdaulat Organisasi negara yang mempunyai badan pimpinan dan badan pengurus yang memimpin dan yang mengurus negara. Badan demikian disebut pemerintah, dan 46
Daud Busroh, Ilmu Negara, …, h. 77.
41
fungsinya
disebut
pemerintahan.
Memerintah
berarti
menjalankan
tugas
pemerintahan.47
E. Pengertian Negara Yang Sah dan Bentuk Negara Dalam Hukum Islam Ada beberapa definisi tentang negara. Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Menurut Wahid Ra‟fat, ahli hukum tata negara Mesir, menyebut bahwa negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu yang tunduk kepada suatu pemerintah yang teratur yang bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, megurus kepentingan dan kemaslahatan umum.48Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai "Sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut, negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang membutuhkan instrumen hukum yang bersifat memaksa sehingga keinginan-keinginan bersama tersebut tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam konsep Kontrak Sosial
47
Daud Busroh, Ilmu Negara, …, h. 80.
48
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam… , h. 131.
42
(Contract du Social), penguasa "dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka. Dalam kitab al-Fikr al-Islami, Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu komunitas dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, yaitu adanya pemikiran yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya‟ir), dan hukum yang diterapkan di tengah komunitas tersebut (nizham). Jika salahsatu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka komunitas tersebut tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti penonton sepakbola di stadion yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton bola) tetapi tidak diikat oleh hukum yang sama sehingga masing-masing dapat berbuat sekehendak hatinya.49 Jika kita perhatikan teks al-Qur‟an maupun al-Hadits secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan indikasi-indikasi yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Allah swt berfirman: … .
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian". Ibn Taimiyyah berkata: “Ulil amri adalah orang-orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintah manusia, termasuk di 49
www.pengertian negara menurut Islam.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus.
43
dalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teologi.”50 Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu disisipi idiom min (dari/bagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan terspesifikasi menjadi pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Bentuk negara Islam Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Kepala negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu bakar yang menyandang gelar Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Kepala negara).51 Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia".52 Membentuk "Masyarakat Madani" Generasi Islam masa kini telah dijauhkan dari kekayaan khazanah peradaban Islam sehingga mereka mengalami kesulitan besar ketika harus mendeskripsikan konsep 50
Farid Abdul Kholiq, Fiqh Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 83.
51
J. Suyuthi pulungan, Fiqh siyasah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 64.
52
www.pengertian negara menurut Islam.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus.
44
kemasyarakatan Islam yang secara normatif diyakini sebagai yang terbaik. Tak heran apabila generasi Islam masa kini lebih pas mendeskripsikan Masyarakat Madinah dengan idiom-idiom yang ironisnya justru diadopsi dari peradaban Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kedaulatan rakyat, sosialisme, dan lain-lain.
BAB III EKSISTENSI DAN SEJARAH GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM)
A. Latar Belakang Gerakan Aceh Merdeka Latar belakang timbulnya Gerakan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh adalah sebagai akibat dari adanya perlakuan yang tidak adil dari pemerintah Pusat Indonesia yang ada di Jakarta terhadap rakyat Aceh. Rakyat Aceh merasa dianak tirikan dan Pemerintah Pusat yang ada di Jakarta dianggap sebagai penjarah kekayaan di bumi Aceh, sedangkan Rakyat Aceh sendiri tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari eksploitasi yang di lakukan Pemerintah Pusat Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertujuan untuk mendirikan Negara Aceh yang terpisah Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.1 Gerakan ini sempat tumbuh dan berkembang di Aceh, namun Pemerintah Republik Indonesia dapat meredamnya walaupun belum secara tuntas. Hal ini terlihat dengan masih adanya aktivitas-aktivitas anggota GAM yang masih berusaha menteror masyarakat sipil. Dalam konflik bersenjata yang terjadi di Aceh, belum ada pengaturan tentang penetapan ambang batas Konflik Bersenjata non Internasional karena belum ada instrumen hukum yang secara tegas mengatur tentang penetapan ambang batas suatu konflik bersenjata non Internasional.2 Dalam sengketa bersenjata non Internasional
1
Indra Jaya Piliang, Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h.
2
Otto syamsuddinishak, Perang dan Perdamaian Di Aceh, (Jakarta: LSPP, 2008), h. 35.
27.
45
46
yang terjadi di Aceh ini jelas hanya berlaku pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 karena Gerakan Aceh Merdeka belum dapat dikatakan sebagai belligerency tetapi hanya di anggap sebagai insurgency. Konflik Bersenjata yang terjadi di Aceh antara pihak GAM dan pihak NKRI sebenarnya kriteria-kriteria tentang Konflik Bersenjata Non-Internasional sudah memenuhi rumusan Kriteria sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II tahun 1977 dan di dalam Konflik Bersenjata yang terjadi di Aceh sudah dapat diterapkan Ketentuan Protokol Tambahan II tahun 1977 namun Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Ketentuan Protokol Tambahan II sehingga tidak dapat diterapkan Ketentuan Protokol Tambahan II tahun 1977.
B. Awal kelahiran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dilahirkan pada 4 desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal- awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam- diam. Bersamaan
dengan
proklamasi
kemerdekaan,
Hasan
Tiro
juga
mengumumkan stuktur pemerintahan negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet
47
tersebut berfungsi hingga pertengahan 1977. Persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan siding pertamanya pada 15 agustus 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu; presiden ( Hasan Muhammad Tiro), perdana menteri ( Dr. Muchtar Hasbi), wakila perdana menteri (teungku ilyas leube), Menteri keuangan ( Muhammad Usman), Menteri pekerjaan Umum ( Ir. Asnawi Ali), Menteri Perhubungan ( Amir Isshak BA), Menteri Sosial ( Dr. Zubir Mahmud) dan menteri penerangan ( M. Tahir Husin).3 Factor-faktor yang menyebabkan terjadinya separatisme Bila berbagai gerakan separatisme di dunia diamati maka terdapat berbagai motif yang mendorong munculnya gerakan tersebut, seperti; idelogi yang berbeda, kekejaman pengusa, tekanan atau tuntutan ekonomi, pengaruh pihak asing, primordialisme, dan lain- lain. Menariknya,faktor pemicu munculnya separatisme itu sering tidak tunggal dan tidak mudah diidentifikasi.4 Pertama; faktor ideologis dapat muncul sejalan dengan hadirnya pemahaman baru tentang tatanan kehidupan. Kegagalan Negara-negara secular dalam menata kehidupan manusia mendorong orang untuk mencari ideology alternatif. Dekadensi
3
Indra Jaya Piliang, Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h.
4
http/asysyariah.com, Diakses Pada Tanggal 13 Juli 2011.
12.
48
moral dan pembusukan nilai- nilai kemanusiaan yang menjadi buah dari tatanan masyarakat secular telah mengecewakan berbagai pihak. Mereka pada akhirnya mencari ideology alternatif yang lebih baik, lebih adil, dan mensejahterakan. Runtuhnya nilai- nilai kemulian manusia menjadi nilai- nilai materialistic dan individualistic, imperialism gaya baru yang dibungkus dengan label globalisasi, yang merupakan strategi dan kandungan ideology kapasitas yang masih eksis saat ini, juga membuat orang kecewa dan mencari ideology lain. Penemuan atas ideology baru tersebut kemudian turut mendorong mereka untuk melakukan gerakan separatisme. Contohnya; dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sulit dikatakan sepenuhnya bahwa perjuangannya bermotif ideology seperti keinginan untuk menegakkan syariah Islam. Buktinya, pada saat pemerintah RI memberikan UU NAD, yang nuansa penerapan syariat Islamnya cukup kental, GAM tetap saja menuntut merdeka dan menolak otonomi khusus yang sudah mulai diterapkan tersebut. Delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sendiri pernah menolak menjadikan ulama sebagai mediator krisis Aceh. Alasannya, ini persoalan kemasyarakatan bukan persoalan agama. Kedua; faktor kezaliman politik. Pemerintahan yang totaliter tidak member ruang yang cukup bagi warga negaranya untuk mengekspresikan tuntutan dan kepentingan politiknya. Kalaupun ada ritual pemilihan umum, ia cenderung dijadikan alat untuk melanggengkan dan membenarkan rezim yang berkuasa. Rezim politik yang seperti ini sering menekan aspirasi dan keinginan sekelompok masyarakat, tetapi kadang juga mengeksploitasi sebagian besar masyarakat. Tekanan politik yang
49
sedemikian berat itu, pada tingkatan tertentu, akan memicu lahirnya gerakan- gerakan separatisme. Dalam kasus Aceh, kezaliman politik juga sangat kental mewarnai semangat separatisme. Penyatuan Aceh ke dalam wilayah sumatera Utara pada awal tahun 50 an mendorong Abu Daud Beureueh angkat senjata.5 Likuidasi kodam Iskandar muda ke kodam bukit barisan yang bermarkas di Medan juga menambah luka rakyat Aceh. Dominasi militer semasa penerapan DOM tahun 1989-1998 dalam segala aspek kehidupan menjadi bukti kezaliman politik. Semua itu menggumpal dan pada akhirnya menggiring sebagian rakyat Aceh untuk secara aktif ataupun pasif mendukung upaya separatisme. Hal ini ditambah lagi sikap pemerintah yang ingkar janji dan tidak melakukan upaya rehabilitasi pasca DOM. Karena itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ibarat mendapat angin. Dalam waktu kurang dari dua tahun, anggota dan simpatisan GAM menjadi ribuan. Ketiga; faktor ekonomi. Pada awal masa reformasi, beberapa daerah kaya penghasil minyak dan hasil hutan menuntut sikap adil pemerintah. Dalam masa orde baru, daerah- daerah kaya ini menjadi sapi perah pemerintah pusat. Mereka tidak pernah menikmati kekayaan alam yang dieksploitasi di tanah leluhurnya. Pada masa itu, APBD Aceh, Riau, dan Kaltim jauh lebih kecil dari.
C. Separastisme dan Lambang GAM Seprastisme dalam artian memecah-belah negara RI hasil proklamasi 17 Agustus 1945, pertamakali lahir dari aksi polisionil Belanda yang hendak kembali 5
Otto syamsuddinishak, Perang dan Perdamaian Di Aceh… , h. 35.
50
berkuasa di Indonesia dengan cara merebut daerah demi daerah di Indonesia, sehingga mendesak pemerintah RI untuk berpindah ke Yogyakarta dan bukit tinggi .Aksi itu ditambah dengan pelbagai langkah diplomasi yang melahirkan sebuah perjanjian, seperti perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan lain-lain yang berujung kepada berkurangnya wilayah kedaulatan indonesia .Hasil perundingan Meja Bundar malah menghadapkan RI dengan Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari pelbagai negara lainnya, Seperti Negara Pasundan . Bentuk pemerintahan feredatif itu memilah-milah wilayah Indonesia dalam kesatuan etnik atau agama.6 Namun, penerimaan bentuk negara federal itu hanya bersifat sementara dan langsung ditolak, terutama karena konteks politik dan sejarahnya yang berasal dari Van Mook (Kusni, Febuari 2001). Atas kerja sama dengan kehadirn partai-partai politik, lokal dan organisasi etnik sebagai peserta pemilu. Seiring dengan itu semraknya bendera-bendera partai politik, lambang –lambang agama dan etnik, serta jatuh-bangunnya kabinet di tingkat pemerintahan pusat, telah memunculkan kesulitan dalam menjalankan perbaikan kesejahteraan rakyat. Lambat-laun juga timbul pembangkangan dari panglima-pangliam daerah militer terhadap pemerintah pusat. Kekecewaan itu lagi-lagi terhubung dengan keenganan
pemerintah
pusat
mengalokasikan
anggaran
yang
cukup
bagi
pembangunan daerah. Selain itu, jatuh bangunnya pemerintah pusat yang dijalankan dengan sisitem parlementer juga memunculkan antipati betapa politik hanya
6
30.
Indra Jaya Piliang, Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…., h.
51
mempertarungkan kepentingan sempit. Bukannya mengisi kemerdekaan dengan upaya-upaya penyejahteraan rakyat secara cepat, pemerintahan pusat malah menjadi ladang terutam di daerah. Dari sana hadir perlawanan dan simbiolisasi awal untuk berhadapan dengan pemerintahan pusat, justru dari pihak tentara sendiri. Muncul apa yang disebut sebagai Dewan Banteng di padang pertengahan tahun 1956 yang dipimpin oleh letnan kolonel achmad husein ,Dewan Gajah diMedan yang dipimpimn oleh kolonel Barlian, pada Maret 1957 lahir Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta ) di makassar yang dipimpin oleh letnan Kolonel Ventje Sumual.simbol-simbol banteng, gajah dan garuda di jakarta .Perlawan simbolik itu lalu diikuti perlawanan bersenjata yang miskin persiapaan. Dari sini, pemerintahan pusat
menerjunkan
pasukan-pasukan
dari
pulau
jawa
untuk
menumpas
pemberontakan itu. Letnan satu LB Moerdani, pemimpin Kompi A Resimen Pasukan Komando. Angkatan Darat terjun untuk pertama kalinya di pekan baru, untuk melumpuhkan PRRI. Benny Moerdani mendapatkan wing penerjunnya saat itu juga (pour, september 2007-6-8). Pertaruhan simbolis itu, baik yang disertai dengan pengerahan senjata atau kepada tidak, juga berlanjut di daerah lain. Momentum melakukan penguasaan teritorial, tetapi juga menyisakan ketidak percayaan kepada tentara-tentara lokal yang makin
lama
juga
ditujukan
kepada
etnis
lokal.
Keberhasilan
pemberontakan itu dilanjutkan dengan penguasaan total
mengatasi
berupa pengiriman
komandan-komandan pasukan militer yang didominasi oleh etnis jawa
52
Kehadiran GAM juga tidak percaya dari kekecewaan demi kekecewaan itu, sebagaimana diungkapkan oleh Achmad Farhan Hamid dengan menyebut penguasapenguasa Indonesia tidak mengerti jiwa bangsa Aceh dan telah berlaku zalim (Hamid 2006;3) Sejak pertanyaan kemerdakaan 4 desember 1976, sampai penandatanganan Nota kesepahaman antara GAM denngan pemerintahan RI di jenewa, Swiss, pada 15 Agustus 2005, GAM melancarkan perang atas GAM. Perang itu dilakukan dengan beragam cara, baik diplomasi Internasional, pengerahan pasukan geriliya di hutanhutan, pelatihan pasukan ke Libya, sampai kepada penyebaran propaganda dikalangan masyarakat Aceh dan diluar Aceh. Dari sisi politik, sejarah, sampai internasioanal, perang yang terjadi antara RI dan GAM ini menghasilkan telaahtelaah berupa buku, makalah, sampai artikel perang ini malah menghasilkan imputinasi terhadap pelaku-pelaku pelanggaran hak asasi manusia, sehingga menggerakkan kalangan aktivitivis yang anti kekerasan untuk melakukan advokasi atau pembelaan . Konflik separatis dan nasionalis itu juga menghasilkan lambing-lambang dimasing-masing pihak, GAM mengartikulasikan perlawanannya dengan cara menyusun lambing dan bendera yang disesuaikan dengan budaya dan sejarah Aceh, serta langsung menghadap-hadapkan dengan lambing nasional Indonesia.
53
D. Visi dan misi Gerakan Aceh Merdeka 1. Visi Gerakan Aceh Merdeka Visi Mewujudkan Aceh yang damai, demokratis, adil dan trasparan dengan menjunjung tinggi HAM dan perlindungan bagi Masyarakat Sipil, serta konsisten menuju keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.7 2. Misi Gerakan Aceh Merdeka a. ACSTF berinisiatif mencari dan mempromosikan cara-cara penyelesaian damai yang berkelanjutan terhadap konflik Aceh melalui pendekatan dialog dan tanpa kekerasan dengan keterlibatan masyarakat internasional. b. ACSTF memfasilitasi komunitas internasional untuk terlibat dalam memperkuat kapasitas masyarakat sipil di Aceh, sebagai salah satu bagian tata dunia yang damai, yang menghormati HAM dan system demokrasi yang sejati. c. ACSTF memperkuat dan mengembangkan kerja-kerja yang selama ini telah dilakukan oleh komponen masyarakat sipil lainnya dalam proses damai dan demokrasi di Aceh. d. ACSTF menjaga keberlanjutan proses damai di Aceh, dengan mendorong partisipasi masyarakat sipil Aceh didalamnya. e. ACSTF
mendorong
dan
mengawal
pengimplimentasian
Undang-undang
Pemerintahan Aceh sesuai dengan maksud UU tersebut dibuat, serta mendorong penyempurnaannya agar sesuai dengan semangat perdamaian dan MoU Helsinki (Perjanjian Damai RI dan GAM 15 Agustus 2005). 7
www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.
54
f. ACSTF memfasilitasi sinergisasi dan komunikasi interaktif serta sehat antara komponen masyarakat sipil Aceh dengan pemerintah dan legislatif ditingkat Aceh dan Nasional. Pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 dan Pilkada 2006 situasi politik dan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang menunjukan perubahan positif yang signifikan. Namun hal ini bukan berarti tanpa catatan kritis atas kebijakan pemerintah RI dan perilaku kalangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau yang sekarang terwadahi dalam Komite Peralihan Aceh KPA. Betapa tidak, kita tetap melihat potensi konflik yang justru semakin meruncing antara kalangan GAM/KPA dengan masyarakat Aceh umumnya. Hal ini terkait dengan agresifitas GAM/KPA untuk menancapkan pengaruhnya dan mendominasi aspek-aspek kehidupan, khususnya di bidang politik dan ekonomi di NAD pasca pilkada 2006 Di bidang politik, akhirnya masyarakat menyaksikan bahwa kinerja kepala daerah dari unsur GAM/KPA ternyata tidak kredibel. Mereka tidak memiliki kemampuan manajerial pemerintahan dan lemah dalam kepemimpinan sosial politik. Tak heran jika mereka akhirnya kesulitan untuk menjalankan roda pemerintahan. Kantor-kantor bupati dijaga ketat oleh para koleganya, mantan gerilyawan GAM, mereka bertindak seperti centeng dijaman kolonial.8 Tamu-tamu dan surat-surat kepada bupati digeledah dan disensor secara over acting. Tak heran jika kehadiran mereka justru meresahkan PNS yang bekerja dan masyarakat yang mau berurusan dengan pemerintah. Di bidang ekonomi, saat ini 8
www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.
55
hampir semua pelaksanaan pembangunan atau proyek ”dipegang” oleh unsur GAM/KPA. Setidaknya orang yang didukung GAM/KPA dengan terlebih dahulu wajib memberikan upeti sehingga menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha yang tidak kebagian proyek --yang umumnya bukan unsur GAM. Sementara itu sebagian anggota GAM/KPA yang tidak mempunyai pekerjaan cenderung melakukan tindak kriminal dan masih saja tetap melakukan pungutan “pajak nanggroe” dengan pola paksa dan terror. Permasalahan ini harus menjadi perhatian kalangan pemimpin GAM/KPA. Sah-sah saja jika kalangan GAM/KPA berambisi “menguasai” Aceh. Namun patut diingat, bahwa di era damai ini segala praktek politik harus beradab dan konstitusional. Praktek-praktek kombatan, teror dan operasi-operasi kotor harus dihentikan karena bukan lagi masa perang gerilya. Kalangan petinggi GAM/KPA tidak bisa berdalih bahwa perilaku yang menyimpang hanya bersifat kasuistis dan dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Sebab bukti-bukti kuat menunjukan bahwa penyimpangan kalangan GAM/KPA selama ini bersifat kultural dan kelembagaan. Karena itu untuk aparat penegak hukum, khususnya Polri hendaknya lebih berani berikap tegas terhadap perilaku unsur GAM/KPA yang nyatanyata
melanggar
hukum.
Jangan
biarkan
mereka
merajarela,
seenaknya
mengangkangi hukum. Jika dibiarkan, masyarakat akan menjadi semakin takut, karena mereka dianggap kebal hukum. Sepak terjang kalangan GAM/KPA selama ini semakin menimbulkan kerawanan, karenanya hukum harus ditegakan secara tegas.9 9
www.separatisme.com. Diakses Pada Tanggal 18 Agustus 2011.
56
E. Lambang Dalam Konflik Nasionalisme Versus Separatis Nasionalisme Indonesia lahir dari keterjajahan alias kolonialieme yang lama. Dalam banyak versi, kolonialisme itu dihitung sejak kedatangan armada pertama pedagang-pedagang Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 sampai kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 agustus 1945.10 Sehingga, perhitungan itu menyebut bahwa Indonesia dijajah selama 3,5 abad atau 350 tahun. Untuk menemukan dasar bagi nasionalisme Indonesia tidaklah mudah. Ilmu pengetahuan dikerahkan untuk memberikan penguatan argumentasi bagi dunia internasional, sekaligus juga penekanan kepada Negara-negara asing yang datang menjajah Indonesia, serta penumbuhan harapan bagi penduduk Indonesia yang sebagian besar terdiri dari kelompok yang tidak berpengetahuan. Selain penelusuran atas makna sang Merah Putih yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad yamin, juga terdapat usaha lain menyangkut pendefinisian dan penamaan atas Indonesia, termasuk juga atas dasar-dasar pendiriannya. Dengan semangat itu pula, dicari para pahlawan dari masa ke masa lalu untuk dijadikan sebagai inspirasi kearah kemerdekaan. Nama Mahapatih Gajah Mada muncul ke permukaan. Kehadiran Gajah Mada itu bukan tidak membawa persoalan lanjutan, bahkan sampai sekarang. Penelusuran sejarah menyebutkan kalau Gajah Mada membunuh Raja Kerajaan Pajajaran, Sri Baduga Maharaja dan putrinya Dyah Pitaloka dalam insiden yang dikenal sebagai perang Bubat. Sampai kini, di bandung
10
28.
Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h.
57
sebagai salah satu pusat kerajaan Pajajaran di masa lalu, nama Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk tidak ada. Setelah kemerdekaan, nasionalisme Indonesia bergerak cepat bukan hanya untuk menghadapi kehendak Belanda untuk kembali berkuasa, tetapi juga mendisiplinkan Negara-negara yang terlanjur dibentuk, seperti Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Kibaran bendera-bendera Negara bagian ditarik, sering dengan perubahan bentuk Negara. Jabatan-jabatan juga disesuaikan dengan keputusan pemerintah pusat. Kesibukan dalam menata pemerintah, afiliasi politik yang longgar di antara para tokoh, persaingan kelompok-kelompok kepentingan, serta pengabaian atas keberadaan tokoh-tokoh lain di daerah, telah memunculkan sikap antipasti terhadap pemerintah pusat. Secara perlahan, kekecewaan itu berakumulasi kedalam berbagai bentuk pernytaan sikap. Muaranya adalah deklarasi pembentukan Negara atau pemerintahan yang terpisah atau mengakui keberadaan pemerintah pusat di Jakarta. Dari sini, terjadi penurunan bendera dan lambing Negara RI dan penaikan bendera dan lambing dari kelompok yang kecewa itu. Sejauh yang bias ditelusuri, apa yang dipahami sebagai perlawanan daerah itu berasal dari teks-teks deklarasi yang dilakukan oleh kalangan pemberontak atau separatisme. Namun, bagian terpenting dari deklarasi itu adalah pengibaran bendera dan penyebaran atas lambing-lambang “yang berbeda” itu dengan “yang resmi”. Konflik antara nasionalisme kontra separatisme dapat dikategorikan sebagai berikut;
58
Pertama, konflik nasionalisme versus separatisme terjadi ketika burung Garuda berhadapan dengan Banteng, Gajah, Macan dan lambing-lambang lain yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang memberontak dan pada akhirnya ingin mendirikan nagara sendiri. Burung Garuda dimaknakan secara nasional, mencakupi semua wilayah, sementara Gajah, Banteng dan lain-lain berupa pendefinisian diri dalam ruang lingkup daerah tetentu saja, tetapi semua mengarah kepada perlawanan atas Garuda. Simbolisasi seperti ini terjadi pada masa pemberontakan PRRI/ Permesta yang dipelopori oleh para tentara.11 Kedua, konflik nasionalisme versus separatism juga terjadi ketika sang Merah Putih berhadapan dengan Bintang Kejora (Papua), Bintang-Bulan Sabit (Aceh) dan simbol-simbol lain. Dari sini, menurunkan atau menaikan bendara pada suatu wilayah menjadi sangat penting. Ketika di suatu daerah merah-putih tidak berkibar terlalu lama, maka daerah itu bias dipandang menurun rasa nasionalismenya dan menarik semangat separatismenya. Beragam insiden terjadi ketika bendera ini dinaikkan atau diturunkan yang memakan korban jiwa dan pengorbanan lainnya.12 Ketiga, dalam bentuk lain, konflik itu juga menjalar kepada penelusuran perbedaan-perbedaan antara kedua pihak yang bertikai. Perbedaan demi perbedaan ditonjolkan, baik atas nama etnik, agama, bahasa atau kehadiran kolonialisme di wilayah yang bersangkutan. 11
Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h.
12
Indra Jaya Piliang Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI…, h.
36.
36.
BAB IV GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pandangan Hukum Islam Tentang Gerakan Aceh Merdeka Mengapa Gerakan Aceh Merdeka kemudian memutuskan untuk melihat bahwa bergabung dengan Indonesia lebih memberikan kemaslahatan dari pada tegak dengan harga diri bangsa Aceh tetapi menimbulkan kemudharatan. Al-Ghazali membedakan antara ''upaya pemisahan diri komunitas Islam'' sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar dalam konsep asy-syaukah (kekuatan), dengan bentuk ''pemberontakan'' kepada pemerintahan yang sah (bughat). Dalam perspektif Islam, membedakan dua makna sangat esensial, sebab untuk kategori pertama dinyatakan sebagai obligations, sedangkan yang kedua justru dinyatakan sebagai perbuatan yang ''diharamkan'', bahkan dalam batas tertentu akan dianggap sebagai gerakan murtad (riddah).1 Dalam pandangan Ghazali, konsep asy-syaukah sebagai bentuk pengukuran kekuatan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dari kelompok masyarakat (Islam) yang berhadapan dengan rezim yang sudah terbukti zalim dan mengingkari hukum-hukum Islam. Pemerintah yang zalim memang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah akan ''menjadi fenomena'' dalam komunitas Islam setelah keruntuhan pemerintahan yang bermetodekan kaidah kenabian (khalifah „ala minhaj an1
Zainuddin Ali, Hukum PIdana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.
59
60
nubuwwah). Artinya, jika upaya pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar dalam bentuk konfrontasi terdukung oleh segala kekuatan yang memadai untuk mengatasi ''kekuatan negara'' dalam waktu yang singkat, maka aktivitas amar ma'ruf dalam bentuk konfrontasi terhadap kekuatan zalim harus segera dideklarasikan dan dilaksanakan. Namun jika dalam ''proses adu kekuatan'' tersebut tidak terdapat keyakinan akan terkuasainya penguasa yang zalim dalam waktu yang singkat, maka aktivitas konfrontasi bukan tujuan utama. Selama ini Gerakan Aceh Merdeka dalam setiap propaganda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah yang zalim karena telah mengekploitasi Aceh dan tidak memberikan kemakmuran. Bahkan justru telah menimbulkan kesengsaraan. Meskipun secara definitif, setiap presiden Indonesia adalah Muslim, namun dalam idiom Gerakan Aceh Merdeka, ketika itu pemerintah Indonesia tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan kolonial yang “kafir”. Bagi GAM, aktivitas perlawanan kepada pemerintah Indonesia adalah aktivitas suci sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Maka barang siapa yang gugur dalam perjuangan pemerdekaan Aceh akan mendapatkan pahala syahid. Sebuah kedudukan yang terhormat dalam pandangan masyarakat Islam. Dalam perspektif GAM, jalan rekonsiliasi diyakini sebagai pilihan yang paling tepat karena upaya pemisahan diri sebagai bagian amar ma'ruf nahi munkar tidak pernah mendapatkan momentum yang signifikan untuk mendapatkan kemaslahatan bagi bangsa Aceh. Masyarakat Aceh justru senantiasa terbelah; antara
61
yang pro GAM dan pro-NKRI. Artinya kebenaran Islam GAM adalah hanya relative bagi masyarakat Islam Aceh. Meneruskan upaya konfrontasi justru malah akan semakin menjauhkan GAM dari perspektif Islam yang selama ini dibangun. Dalam cita-cita GAM membangun kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan adalah hal utama. Tindakan konfrontasi dalam 10 tahun terakhir ternyata tidak memberikan bukti nyata bahwa aktivitas GAM akan semakin memakmurkan Aceh, dan menjadikan bangsa Aceh sebagai bangsa yang berharga diri. Demikian pula, Indonesia tidaklah se-kafir yang selama ini dikampanyekan oleh para propagandis GAM. Pemerintahan Indonesia tidaklah se-zalim pemerintahan kolonial Belanda. Apalagi dengan politik akomodasi pemerintah Indonesia untuk menjadikan Islam dan penegakan syariatnya sebagai ikon merupakan bukti faktual bahwa pemerintah Indonesia tidak mengingkari al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Malah justru memberikan ruang bagi aktualisasi Islam di serambi Mekkah. Demikian pula Indonesia mulai me-redefinisi GAM bukan sebagai aktivitas bughat, sebuah pemberontakan yang harus ditumpas sampai akar- akarnya. Apalagi tanggapan pemerintah Indonesia yang mengapresiasi GAM bukanlah sebagai ''partai terlarang'' berbeda dengan para eks G30S/PKI yang dalam sejarah Indonesia ber-KTP-kan ''eks'', dengan ''akomodasi'' GAM sebagai partai lokal.
B. Pandangan Hukum Positif Tentang Gerakan Aceh Merdeka Dalam kitab-kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, kejahatan makar diatur dalam Buku II Bab 1 Tentang kejahatan melanggar keamanan
62
negara. Pasal 104 berbunyi : makar yang melakukan dengan maksud membunuh presiden yang sedang memerintah atau dengan maksud menjadikan presiden tidak mampu memerintah dihukum dengan hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.2 Pasal 107 ayat 1 berbunyi : Makar yang dilakukan dengan maksud akan meruntukan pemerintah, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun lamanya Pasal 107 ayat 2 berbunyi: Pemimpin dan pengatur makar yang dimaksudkan dalam ayat 1 dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.3 Meskipun 5 tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua pasal tersebut, namun secara impilisit dapat dipahami, bahwa : 1. Yang dimaksud dengan presiden atau pemerintahan adalah presiden atau pemerintahan yang sah. 2. Makar itu dilakukan dengan kekerasan, sebab tanpa kekerasan tidaklah dapat dilaksanakan pebunuhan presiden atau pengulingan pemerintah. Ini berarti bahwa sekelompok orang dengan pernyataan tertulis disertai atau tidak disertai dengan unjuk rasa yang menghendaki supaya presiden atau pemerintah turun/ diganti tidaklah dapat disebut melakukan kejahatan makar.
2
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…, h. 11.
3
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara…,, h. 73.
63
Sedangkan dalam perspektif pemerintah Indonesia, melihat bahwa GAM merupakan bagian dari separatisme atau pembangkangan terhadap tertib sosial dan politik. Maka dalam konteks pemikiran Islam, aktivitas GAM bisa dihukumi dalam bab “bughat” atau pemberontakan, menumpahkan darah pemberontak adalah halal. Sehingga dalam batas tertentu dari kaidah fiqh, tindakan represif pemerintah untuk menekan GAM menjadi benar adanya. Pola untuk saling mengklaim kebenaran inilah yang kemudian menimbulkan ikhtiar berfikir lebih. Siapakah yang sebenarnya benar ? GAM ataukah pemerintah Indonesia ? Ataukah pertanyaan yang paling pantas , bagaimana mempertemukan kedua fihak yang saling benar dalam konteks ishlah, sebagaimana telah disuratkan dalam surat al-Hujurat ayat 8-10 ?. Apakah mungkin jalan rekonsiliasi dibangun ? Tampaknya pilihan rekonsiliasilah yang kemudian dibangun.
C. Analisis Penulis Tentang Gerakan Aceh Merdeka Adapun pandangan penulis tentang gerakan Aceh merdeka yang mana GAM telah banyak merugikan negara terutama daerah Aceh itu sendiri. Pada hakikatnya kita semua harus patuh kepada pemerintah. walaupun pemerintah zalim dari pada tidak ada sama sekali. Seandainya pemerintah atau Imam tidak ada, maka akan hancur sebuah negara. Perlu kita ketahui bahwasanya Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata as-Salâm yang artinya perdamaian. Karena as-salâm dan al-Islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan.
64
Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Salah satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan.
“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu; sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Apabila dalam suatu negara terdapat bughat (pemberontakan, pelaku makar), maka wajib bagi pemerintah memerangi mereka, dengan ketentuan sebagai berikut.4 1. Tindakan mereka bersifat melawan pemerintah yang adil di mana rakyat wajib taat kepadanya. 2. Tindakan mereka dilakukan oleh sekelompok yang memiliki kekuatan
4
Muhammad Amin Suma, DKK, Hukum pidana Islam Di Indonesia…, h. 60.
65
3. Tindakan mereka melawan pemerintah dikarenakan mereka berbeda paham menyakut kebijakan politik penguasa, sehingga menyatakan diri keluar (memisahkan diri dari pemerintah). 4. Mereka melakukan tindakan makar di bawah satu komando/ pemimpin yang menjadi sumber kekuatan moral bagi mereka dalam melakukan kegiatannya. Adapun memerangi kaum buhgat (pelaku makar, pemberontakan) oleh pemerintah harus dimulai dengan tindakan mengingatkan mereka, agar mereka kembali sadar serta taat kepada pemerintah dan bersedia menghentikan kegiatan mereka. Menurut penulis, gerakan Aceh merdeka itu temasuk separatime karena mereka mengasingkan diri mereka dari pemerintah dan juga memerangi pemerintah dikarenakan mereka dizhalimi oleh pemerintah. Walaupun rakyat dizhalimi oleh pemerintah kita tidak boleh memeranginya. Kecuali pemerintah tidak taat lagi atas perintah Allah dan Rasulnya itu wajib kita perangi. Sebab menurut penulis, separatisme sangat banyak merugikan masyarakat terutama keamanan dan kesejahteraan rakyat dan negara. Dan sebagai warga negara yang baik harus mematuhi pemerintahan. Di sisi lain penulis juga setuju dengan pendapat Al-Ghazali membedakan antara ''upaya pemisahan diri komunitas Islam'' sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar dalam konsep asy-syaukah (kekuatan), dengan bentuk ''pemberontakan'' kepada pemerintah yang sah (bughat). Dalam perspektif Islam, membedakan dua makna sangat esensial, sebab untuk kategori pertama dinyatakan sebagai obligations, sedangkan yang kedua justru
66
dinyatakan sebagai perbuatan yang ''diharamkan'', bahkan dalam batas tertentu akan dianggap sebagai gerakan murtad (riddah). Dalam pandangan Ghazali, konsep asysyaukah sebagai bentuk pengukuran kekuatan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dari kelompok masyarakat (Islam) yang berhadapan dengan rezim yang sudah terbukti zalim dan mengingkari hukum-hukum Islam. Pemerintah yang zalim memang pernah dikhabarkan oleh Rasulullah akan ''menjadi fenomena'' dalam komunitas Islam setelah keruntuhan pemerintahan yang bermetodekan kaidah kenabian (khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah). Artinya, jika upaya pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar dalam bentuk konfrontasi terdukung oleh segala kekuatan yang memadai untuk mengatasi ''kekuatan negara'' dalam waktu yang singkat, maka aktivitas amar ma'ruf dalam bentuk konfrontasi terhadap kekuatan zalim harus segera dideklarasikan dan dilaksanakan. Namun jika dalam ''proses adu kekuatan'' tersebut tidak terdapat keyakinan akan terkuasainya penguasa yang zalim dalam waktu yang singkat, maka aktivitas konfrontasi bukan sebagai pilihan utama. Kapan batas toleransi waktunya? Dalam pandangan al-Ghazali, batas waktu toleransi ''agak mirip'' dengan batas waktu sebuah kontrak antara darul ahdi. Yakni daerah yang terikat kontrak dengan darul Islam untuk saling hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), yakni 10 tahun. Jika politik konfrontasi lebih dari 10 tahun dikhawatirkan justru akan menimbulkan kemudharatan yang jauh lebih banyak atas nama sebuah harga diri, maka politik konfrontasi sedemikian rupa harus dihindari.
BAB V PENUTUP
Berdasarkan uraian bab-bab terdahulu dalam tulisan ini, maka ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan walaupun singkat dan sekaligus memberikan saransaran untuk pengkajian dan penelitian yang akan datang A. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, kiranya penulis dapat menyimpulkan; 1. Separatisme atau bughat adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran. GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Dan dalam perspektif pemerintah Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan bagian dari separatisme atau pembangkangan terhadap tertib sosial dan politik. Pada pasal 139 a makar dengan maksud melepaskan wilayah, atau daerah lain dari Negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian, dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 2. Sedangkan para ulama-ulama pun melarang kita untuk berbuat makar atau separatisme karena dapat memecah belah persaudaraan diantara ummat muslim.
67
68
Menurut Imam Syafi‟I Separatisme atau buhgat adalah para pemberontakan atau para pelaku tindakan makar itu adalah orang-orang Islam yang melawan atau pembangkang kepada pemimpin/ pemerintah, dengan jalan menentangnya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka; dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin. Sedangkan menurut Imam Malikiyah separatisme atau pemberontak adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta‟wil). Adapun menurut Imam Hanafiyah Separatisme atau bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah). Dan perlu kita ketahui Gerakan Aceh Merdeka adalah bagian dari separatisme atau bughat didalam hukum Islam karena mereka telah mengasingkan diri mereka dan memerangi pemerintah. Sebab kemaslahatan itu lebih utama penting, dan juga pemerintah harus kita taati karena mereka adalah ulil amri. Karena Islam mengajarkan kepada kita untuk berbuat yang baik bukan pemberontakan atau separatis. Berdasarkan landasan dari al-Qur‟an bahwasanya separatisme atau bughat dilarang oleh Islam. Dengan sanksi yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an.
69
“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu; sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil.
Maksud
ayat
tersebut
Pemerintah
harus
dimulai
dengan
tindakan
mengingatkan mereka, agar mereka kembali sadar serta taat kepada pemerintah dan bersedia menghentikan kegiatan mereka. Apabila tindakan peringatan pemerintah tidak menghentikankegitan mereka, pemerintah memiliki
wewenang untuk
memerangi mereka. Namun demikian, pemerintah tidak boleh mendahului memerangi mereka, sampai mereka terlebih dahulu memerangi pemerintah. Pada hukum positif pun melarang perbutan makar atau separatisme pada pasal 139 a merumuskan ; “Makar dengan maksud melepaskan wilayah, atau daerah lain dari negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian, dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Begitulah sanksi bagi tindak pidana separatisme atau bughat.
B. Saran-saran Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai separatisme terhadap Negara yang sah (studi kasus GAM).
Ditunjukkan kepada pihak pemerintah (Indonesia)
70
1. Sudah semestinya negara yang maju harus tegas terhadap separatisme yang ada di Indonesia. karena bisa menyebabkan perpecahan belahan antar ummat, dan membuat negara yang tidak aman dan tidak sejahtera. 2.
Islam adalah agama yang diberikan kepada manusia sebagai rahmatan lil „alamin, maka dalam hal separatisme atau bughat itu sudah perpaling dengan ajaran Islam. Maka dari itu Pemerintahan Indonesia harus menumpas gerakan separatisme sampai ke akar-akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan terjemahan Abdullah, Mustafa, Ahmad Ruben, Intisasi Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, Cet-1 Al-Qardhawi, yusuf, Membumikan Syari‟at Islam, Surabaya: Dunia Ilmu, 2009 Abid Al-Jabari, Muhammad, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001 Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta Sinar Grafik, 2007, Cet-1 Amin suma Muhammad dan DKK, hukum pidana islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, 2001, Cet-1 Chazawi Adami, SH kejahatan terhadap keamanan dan keselamatan Negara, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002 Djazuli, Fiqh Siyasah ”Impelementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari‟ah”, Bandung: Sunan Gunung Jati Pers, 2003 Daud Busroh, Abu, Ilmu Negara, Cet-7 Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010 Hasanuddin. Nor, dkk, Fiqh Sunnah 3, Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006 Ibn Taimiyah, As-Siyasah Asy-syar‟iyyah, etika pilitik Islam Surabaya: Risalah Gusti, 2005 Ishak Syamsuddin Otto, Perang dan Perdamaian di Aceh, Jakarta: LSPP, 2008 Jaya Indra Pilang, pengaruh sistem lambang dalam separatisme GAM terhadap RI, Yogyakarta: Ombak, 2010 Kusnardi, Ibrahim, Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PD. Budi Chaniago, 1983 KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
71
72
Khaliq Farid, Abdul, Fiqh Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005 Mukri aji, Ahmad, Rasionalitas Ijtihad IBN Rusyd, Bogor: Pena Ilahi, 2010 Marsum, jinayat, Yogyakarta, UII yokyakarta, 1991 M. Moeliono, Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah “Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Qadir Audah, Abdul, At-Tasyri‟ Al-jina‟iy Al-Islamiy, juz II, Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Araby 1985 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta Liberty 1980 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Armico Bandung, 1986 Cet ke-1 Suyuthi, Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Thamrin, Abu, Habibi Ihya, Nur, Hukum Tata Negara, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010 Thahir Azhary, Muhammad, Negara Hukum “ Suatu Studi tentang PrinsipPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”, Jakarta: Prenada Media, 2003 Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafik 2005 Situs internet http/ separatisme.com, diakses pada tanggal 15 juni 2011 http/asysyariah.com, diakses pada tanggal 13 juli 2011 http/ pemberontakan pandangan Islam.com, diakses pada tanggal 20 juli 2011 http//anakaceh.com, diakses pada tanggal 2 september 2011 http//docs.yahoo.com/info/term/, diakses pada tanggal 3 september 2011 http://zanikhan.multiply.com/profile, diakses pada tanggal 3 september 2011