SANKSI BUGHAT DAN MAKAR: MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Imam Maulana N I M :1111045200002
PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
SANKST EUGHAT DAN
MAKAR: ME1\IT]RI]? PERSPEKTIF
HUIffIM'TSLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRTPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah danHukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat rmtuk Memperoleh Gelar Smjana Syariah (S.SV).
Oleh: Imam Vaulpna
NIM. 1111045200002
Di Bawah Bimbingan:
NIP: 1 972020320070 I 034
NIP: 197812302001nA02
PR(}GRAM STU}I STYASAH SYAR'IAII FAKTILTAS SYARIAII DAN HUKTJM
urN sYARrr gro,t
yaiur,r,art
JAKARTA t436Ht20lsvr
PENGESAHAN PANIT1A 11,1IAN
Skripsi berjudul "Sanksi Bughat dan Makar: Men urut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positr telah diujikan dalam Sidang Munaciashah Fakultas Syariah dan Hulcum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah). Jakarta, 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
111111 Dr. Ase • a udin Ja ar MA. NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASHAH 1. Ketua
: Dra. Hj. Maskufa, MA NIP. 196680703 199403 2 002
2. Sekretaris
: Sri ElidayafiAg NIP. 19710215 199703 2 002
3.
Pembimbing I
: Dr. AlFitra, SH. M.Hum NIP.19720203 200701 1 034
4. Pembimbing IT
: Masyrofah, S.M., M.Si NIP. 19781230 200112 2 002
5. Penguji I
: Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA NIP.19581110198803 1,001
6. Penguji II
: Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. NIP.19611101 199303 1 002
ABSTRAK Imam Maulana, 1111045200002. Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Hukum Tata Negara (Siyasah), Program Studi Siyasah Syar’iah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 1436 H / 2015 M, x + 88 halaman. Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana bughat dan pelaku makar dalam pemberontakan bisa diberikan sanksi sesuai dengan hukum Islam maupun hukum positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif terhadap makar, bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap pelaku makar dan mengetahui apa perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tersier baik manual maupun digital yang berkaitan dengan tema pembahasan. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi bagi bughat menurut perspektif hukum Islam adalah diperangi dan dijatuhi hukuman mati (jarimah hudud), hal ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, namun apabila pemimpin/imam memberikan pengampunan maka, bughat bisa dijatuhi jarimah ta’zir. Dan sanksi bagi pelaku makar menurut perspektif hukum positif adalah pidana mati dan pidana penjara, hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Buku II Bab I KUHP yang penulis fokuskan menjadi empat pasal yaitu dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP dan ditambah dengan Pasal 108 KUHP. Namun, disini pelaku makar sudah bisa dipidana apabila telah memenuhi tiga unsur yaitu permulaan niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri, dan untuk hukumannya dikurangi sepertiga. Namun dalam pemberian sanksi kepada bughat maupun pelaku makar harus dilakukan secara hati-hati dan sebelumnya harus ada proses dialog/musyawarah. Kata kunci
: Sanksi, Bughat, Makar.
Pembimbing : Dr. Alfitra, SH., M.Hum. Masyrofah, S.Ag., M.Si. Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2015
iv
KATA PENGANTAR
س ِم هللاِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي ِم ْ ِب
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak luput kepada risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid di atas muka bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat. Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Adanya bimbingan, kritikan dan masukan yang sangat berarti diperlukan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan dan memperbaiki agar penyajian skripsi ini lebih sempurna. Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap bisa penulis dapatkan.
v
Menyelesaikan skripsi ini tentu banyak rintangan dan halangan yang penulis hadapi. Butuh extra kerja keras untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan menyayangi kalian, dimana kalian berada. Amin. Rasa terima kasih ingin penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan yang telah membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan. 2. Ibu Dra. Maskufa, MA, Sebagai Ketua Program Studi Siyasah Syar’iah yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya. 3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Selaku Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya. 4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini
vi
sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik. 5. Bapak Dr. Alfitra, SH., M.Hum dan Ibu Masyrofa, S.Ag., M.Si. Selaku dosen pembimbing yang sangat penulis hormati, dengan sangat sabar dan keikhlasan beliau membimbing penulis, memberikan banyak ilmu dan waktunya kepada penulis sehingga banyak hal baru yang penulis dapatkan selama bimbingan bersama beliau dan menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan literatur selama masa kuliah. 7. Kepada keluarga penulis, teristimewa ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Syafe’i, S.Ag dan Ibu Junaeni yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis, memberikan limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik moral maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakakku tercinta Neneng Nurhaeni dan Syaiful Hadi, S.Pdi dan seluruh keluarga besar (alm) H. Emed dan keluarga besar (alm) Abah Ismail terima kasih untuk segala doa yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayangNya dan keberkahan untuk kalian. 8. Kepada kekasih Wulandari yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih mimpi dan juga untuk keluarganya, terima kasih untuk segala doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Kepada semua guru-guru penulis yang berada di Ponpes Al-Masthuriyah Sukabumi tidak lupa ta’dzim dan hormat penulis dan terima kasih atas doa dan
vii
ilmu yang sangat berguna bagi penulis dalam membentuk kepribadian yang lebih baik lagi. Tak lupa juga guru dan orang tua penulis Babeh Supandi Kp. Lemo terima kasih atas doa yang beliau berikan kepada penulis. 10. Sahabat tercinta Gilang (Dagul), Martin (Kibo), Iqbal (Bapur), Iskandar (Ace), Bima Aditya, Davi Amanas Putra, Fauzi A, Yusuf Dj, Qoka, Ashof, Dahlan, Febryansyah (Ahonk), Yoga, Syarif H, Paul dan Fawaid. Terima kasih atas kebersamaan dan keseruan yang penulis banggakan selama bersama kalian. 11. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan SS angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry, Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi, Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi dan Buya. Dan tidak lupa juga untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam angkatan 2011. 12. Kepada teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) kelompok SUDESI 2014. Untuk Zahir, Herga, Ahsan, Ihsan, Aji, Ajo, Mizar, Dewi, Annisa, Tantri, Heni, Citra, Rani dan Yani. Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang sangat berkesan. Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan tak lupa kepada warga Kp. Lemo khususnya Bapak Lurah Arban, Bang Baron, Emak Encum, Bang Dedi, Fikri, Alung, Yogi dan Yosef. Terima kasih untuk segala doa dan dukungannya. 13. Kepada semua pihak yang sudah membantu penulis, mohon maaf apabila belum disebutkan. Akan tetapi, penulis berdo’a semoga agar kebaikan dan ketulusan kalian di balas oleh Allah SWT. Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, untuk itu penulis sangat berharap mohon maaf
viii
untuk segala hal tersebut. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya.
Ciputat, 31 Juli 2015 Penulis
Imam Maulana
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.………………………………………………………
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………
ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….
iii
ABSTRAK………………………………………………………………….
iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
v
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
x
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
8
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................
9
E. Metode Penelitian ...................................................................
10
F. Sistematika Penulisan .............................................................
12
TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT…………
14
A. Pengertian dan Sejarah Bughat ...............................................
14
B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan ....................................
29
1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam) .........
29
BAB II
2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan ..........................................................................
31
3. Adanya Niat Melawan Hukum ........................................
33
x
D. Dasar Hukum Bughat .............................................................
34
BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF……….
36
A. Pengertian dan Sejarah Makar ................................................
36
B. Macam-Macam Kejahatan Makar ..........................................
53
1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya
54
2. Makar yang menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara...............................................................................
54
3. Makar yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintah Negara ...........................................................
56
C. Makar dalam Hukum Positif ..................................................
57
1. Pengaturan Makar dalam KUHP ......................................
57
2. Pengaturan Makar di Luar KUHP ....................................
60
BAB IV SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF….………………..
66
A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat ............................................
66
B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar.........................................
71
C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar ....
73
BAB V PENUTUP ......................................................................................
82
A. Kesimpulan ............................................................................
82
B. Saran .......................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
86
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Politik dan agama Islam sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa dipisahkan satu dari keduanya. Konsep politik Islam selalu berlandaskan nilainilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin jika konsep politik Islam justru terlepas dari Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah perpolitikan dan pemerintahan Islam, sebagai contoh proses pemilihan maupun pemberhentian kepala negara, tidak ada yang baku dalam proses keduanya itu. Kepala negara tidak lain adalah wakil rakyat. Rakyatlah yang berhak meminta pertanggungjawaban kepada kepala negara, dan rakyat pulalah yang mengadakan bai’at, dan berhak pula memakzulkan (memberhentikannya) apabila diperoleh cukup alasan untuk itu. Maka sebagai upaya terciptanya prinsip check and balance, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi tindak tanduk kepala negara itu. Oleh karena itu, apabila kepala negara tersebut melakukan kecurangan atau dzalim serta mengabaikan segala ketentuan yang berlaku dan diberlakukan (syari’at atau hukum), maka rakyat berhak menegur ataupun memecatnya.1 Perbedaan pendapat, ambisi dan kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi berpolitik tidak menutup kemungkinan 1
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Islam dan Politk Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 171
1
2
akan memicu lahirnya konflik, pertikaian, penindasan, peperangan dan pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada gilirannya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia itu sendiri.2 Penjelasan seputar bughat secara lengkap diatur dalam hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam yang biasa disebut sebagai Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan sanksi hukumnya (uqubah), yang diambil dari dalildalil yang terperinci.3 Bughat dalam hukum Pidana Islam adalah golongan yang melawan Khalifah yang sudah sah dan tidak melakukan sesuatu yang menyalahi ketentuan agama.4 Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imarah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 59:
ي َ َٰٓأَُّيه َا ٱ ذ َِّلي َن ءا َمنُ َٰٓوا َٱ ِطي ُعوا ٱ ذ َّلل و َٱ ِطي ُعوا ٱلر ُسو َل و ُٱو ِِل ٱ أ َۡل أم ِر ِمن ُ أك م َ ذ َ َ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.”5 Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan disini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip
2
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 96 3
Muhammad Amin Suma…et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. ix 4
A. Hasan, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967) h. 186 5
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris) Departemen Agama RI, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998)
3
ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.6 Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa orang yang melawan imam adalah pemberontak meskipun pemberontakan itu didasarkan atas kebenaran, baik ia salah maupun benar. Melawan imam bukan cara yang tepat untuk menegakkan kebenaran dan meluruskan kesalahan. Apa yang mereka lakukan bisa mengakibatkan kerusakan dan meruntuhkan kehidupan bernegara. Selain itu memberontak terhadap orang yang sah kepemimpinannya adalah haram sebab imam yang kepemimpinannya diakui harus ditaati.7 Dalam sebabnya, bughat disebabkan tidak lepas dari tiga pra kondisi: Pertama; bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan pemerintah yang sah.8 Kedua, bughat disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dan yang ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan dzalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, artinya
6
http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
7
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 245 8
www.pandanganislammengenaiseparatisme.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
4
menjalankan aktivitas bughat menjadi kewajiban masyarakat.9 Namun tetap saja, apabila melihat pada apa yang ditimbulkan oleh bughat selepas pemberontakan itu dilakukan, maka pemberontakan itu merupakan kejahatan politik yang sangat meresahkan. Sebab, kejahatan semacam ini dapat menghancurkan persatuan kaum muslimin, menyalakan api fitnah dan segala efek negatifnya mulai dari pertumpahan darah, menghancurkan bangunan negara, menebarkan teror dan penyelewengan hak.10 Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-segalanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali.11 Penerapan hukum di Indonesia tentunya dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, harkat dan martabat manusia, dan hak asasi manusia secara bijaksana dan adil kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat golongan, etnis, ras, warna kulit maupun jabatan tertentu. Berbagai macam peristiwa dan kejadian nasional telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing (Belanda) dan didalam masa perjanjian 9
http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
10 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan AlQur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. I, h. 245 11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 55
5
terselip pula bangsa-bangsa lain yang ikut berusaha untuk memiliki negeri ini. Tercatatlah bangsa Jepang dan Inggris, dan selama itu pula bangsa Indonesia berjuang untuk mengusirnya yang pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia mengucapkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.12 Perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup sampai disitu saja, banyak peristiwa yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, seperti pada tanggal 18 September 1948 gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka dan secara resmi mengadakan perebutan resmi terhadap kekuasaan Republik Indonesia.13 Menyusul kemudian pada tanggal 25 April 1950 Maluku Selatan yang memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka.14 Kemudian menyusul peristiwa penembakan atas Presiden Republik Indonesia (Bung Karno) yaitu yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, yang dikenal dengan peristiwa Cikini.15 Lalu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang berdiri di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di bagian lain di negara Indonesia yaitu di Sulawesi berdiri pula Perjuangan Semesta (PERMESTA).16 Kemudian, peristiwa yang tidak kalah pentingnya
12
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 9 13
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 9
14
Jusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 33, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10 15
Peristiwa Cikini, (Jawatan Penerangan Provinsi Aceh, 1967), h. 17, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10 16
Peristiwa PRRI di Sumatra Barat, (Khusus Kementrian Penerangan RI, 1962), h. 16. dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
6
yaitu yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal dengan Pemberontakan G/30.S/PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut pada dasarnya merupakan perebutan kekuasaan pemerintah yang sah dalam kekuasaanya. Adapun latar belakangnya adalah berbeda-beda (tidak puas terhadap pemerintah Republik Indonesia, dendam dan sebagainya). Sesuai dengan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan-perbuatan tersebut diatas disebut dengan makar.17 Makar adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.18 Jika dilihat mengenai penjelasan makar ini, maka pengaturan beserta sanksinya ada dalam rumusan KUHP Buku II Bab I yang diantaranya terdapat dalam Pasal berikut ini: Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”19 Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”20
17
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
18
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 623 19
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet. 17, h. 44
20
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 44
7
Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.21 Tindak pidana makar dan bughat baik menurut hukum positif maupun hukum pidana Islam adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar dan bughat ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa negara, maka demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pihak penguasa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis, good goverment, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui pendidikan bagi seluruh warga negara, dan rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Mengingat diperlukan transfer “bahasa” syari’at Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan kitab-kitab Fiqh kedalam bahasa UndangUndang itu bukan pekerjaan mudah, dan juga bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa Undang-Undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Maka dari itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari para pakar hukum umum dan para pakar hukum Islam untuk 21
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
8
menyamakan bahasa. Sebagai contoh, kata “makar” dan “subversi” atau “bughat” tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses transfer bahasa. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “SANKSI BUGHAT DAN MAKAR: MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Masalah yang berkaitan dengan bughat dan makar dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, karena merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Maka penulis membatasi dan merumuskan masalah mengenai bughat dan makar ini. Adapun masalah pokok penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif di Indonesia terhadap makar? 2. Bagaimanakah bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia? 3. Apakah perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Maksud dan tujuan yang penulis rumuskan berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah dilakukan adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif di Indonesia terhadap makar.
9
2. Untuk mengetahui bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di Indonesia. 3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bughat dan makar menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif. Sedangkan manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iah. 2. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan keilmuan dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Islam. 3. Menambah wacana ilmu pengetahuan mengenai bughat dan makar dalam Fiqh Siyasah maupun undang-undang.
D. Tinjauan Pustaka Sejumlah penelitian tentang topik bughat dan makar yang telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai bughat dan makar. Karya ilmiah yang pertama adalah skripsi yang berjudul “Konsep Bughat Dalam Perspektif Politik Islam (Studi Kasus Terhadap G 30S/PKI)” yang ditulis oleh Iyan Fitriyana pada tahun 2012 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan bagaimana konsep bughat menurut politik Islam dan relevansinya terhadap kasus G 30S/PKI.
10
Tinjauan yang kedua adalah buku yang digunakan penulis yaitu “Tindak Pidana Makar Menurut KUHP yang ditulis oleh Djoko Prakoso. Dalam buku ini menjelaskan tentang tindak pidana makar. Buku ini menyajikan penjelasan yang sangat menarik, dan juga banyak dijadikan sebagai sumber dalam penelitian yang berhubungan dengan pidana makar. Karya ilmiah yang ketiga adalah skripsi yang berjudul “Kriteria Thagut Dan Bughat Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Upaya Penyelesaian Penyimpangan Kekuasaan Di Indonesia” yang ditulis oleh Rapikul Ihsan pada tahun 2012 Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan mengenai bagaimana pandangan dalam Al-Qur’an tentang pemimpin yang tidak amanat dan mengenai kriteria dari bughat itu sendiri. Keempat adalah buku yang berjudul Ensiklopedi Hukum Pidana Islam yang ditulis oleh Abdul Qadir Audah. Buku yang berjumlah beberapa jilid ini banyak sekali menjelaskan apa yang menjadi kajian penulis dalam penulisan skripsi ini, seperti pengertian bughat, pendapat para fukaha maupun penjelasan yang menyangkut dengan ketentuan hukum pidana Islam terkait masalah seputar bughat.
E. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam penulisan skripsi ini, karena metode penelitian ini dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang
11
berasal dari buku-buku, artikel-artikel, majalah, koran, serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 1. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan penelitian riset pustaka (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menghimpun dan menelaah data-data sumber kepustakaan berupa datadata primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. 2. Sumber Data a. Sumber data primer adalah sumber data yang ada kaitannya langsung dengan tema skripsi ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, kitab-kitab Fiqh Siyasah,UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UndangUndang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. b. Sumber data sekunder yakni sumber data yang tidak berkaitan langsung dengan tema skripsi ini. Adapun sumber data sekunder yang digunakan adalah tulisan-tulisan ilmiah baik dalam bentuk buku,
12
jurnal, surat kabar, majalah maupun melalui media internet. c. Bahan hukum tersier yakni data yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder yaitu berupa kamus-kamus ilmiah, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan pokokpokok permasalahan secara menyeluruh. 4. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012".
F. Sistematika Penulisan Sementara Penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan perincian sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.
13
BAB II : TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT Dalam bab ini membahas tentang Pengertian dan Sejarah Bughat, Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan, Dan Dasar Hukum Bughat. BAB III : MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF Pada bab ini menjelaskan ini tentang Pengertian dan Sejarah Makar, Macam-Macam Kejahatan Makar, Dan Makar dalam Hukum Positif. BAB IV : SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Dalam bab ini menjelaskan tentang Sanksi Hukum Terhadap Bughat, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar, dan Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar. BAB V : PENUTUP Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT
A. Pengertian dan Sejarah Bughat Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab بَغَىyang memiliki arti yang sama dengan kata َ ظَلَ َمyaitu berlaku dzhalim atau menindas.1 Dalam makna lain, kata bughat juga berasal dari kata َبَغَى–يَ ْب ِغى–بُغَاء yang berarti menginginkan sesuatu.2 Sedangkan secara terminologi, para fukaha berbeda pendapat mengenai definisi bughat ini. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam madzhab mereka. Diantaranya adalah: a. Pendapat Malikiyah Ulama Malikiyah mengartikan bughat atau pemberontak sebagai sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan alImam al-A’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.3 b. Pendapat Hanafiyah Ulama Hanafiyah mendefinisikan para pemberontak (bughat) yaitu keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin tertinggi/kepala negara) yang sah dengan cara tidak sah. Pemberontak (al-bagi) berarti orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang benar dengan cara
1
Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69
3
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234
14
15
tidak benar.4 c. Pendapat Syafi’iyah Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang Islam yang melawan imam (pemimpin tertinggi) dengan cara keluar darinya, tidak mau tunduk, menghalangi hak yang diarahkan kepada mereka, dan mereka ini memiliki kekuatan, alasan, serta orang yang mereka taati. Definisi lainnya adalah orang yang keluar dari ketaatan dengan alasan yang salah, namun belum dipastikan salahnya. Syaratnya, mereka mempunyai banyak kekuatan dan ada pemimpin yang mereka patuhi. Dengan demikian, pemberontakan dalam pandangan ulama Syafi’iyah adalah keluarnya sekelompok orang yang mempunyai kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan alasan (takwil) yang salah.5 Dengan pernyataan yang sedikit berbeda, Imam Al-Nawawi berpendapat sebagai berikut; Pemberontak, menurut fuqaha, ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan dengan cara lainnya.6 d. Ulama Hanabilah Ulama Hanabilah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang 4
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 110
5
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234 6
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet I, h. 61
16
yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak adil sekalipun dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai kekuatan walaupun diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.7 e. Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah Ulama
Zahiriyah dan
Syi’ah
Zaidiyah
mendefinisikan
pemberontak sebagai orang yang menganggap dirinya benar, sedangkan imam adalah salah, ia memerangi dan menuntut imam, ia memiliki kelompok atau kekuatan, atau melakukan apa yang diperintahkan untuk imam. Jadi, pemberontak adalah orang yang keluar dari imam yang sah yang berasal dari kelompok yang memiliki kekuatan.8 Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ulama, terdapat adanya perbedaan dan persamaan dalam memberikan pandangan mengenai bughat. Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih disebabkan perbedaan syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan tersebut tidak terletak pada unsur-unsur pemberontakan yang mendasar. Para fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan definisi dengan definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami‟ (komprehensif) dan mani‟ (mencegah pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud).9
7
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234 8
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy, h. 234-235 9
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 235
17
Sedangkan dari sudut persamaan mengenai definisi bughat, mungkin bisa dibuatkan definisi bersama yang disesuaikan dengan definisi semua madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar. Definisi tersebut adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan perlawanan.10 Tindakan
bughat
ini
memiliki
kesamaan
dengan
hirabah
(perampokan) dan terorisme, yakni sama-sama mengadakan kekacauan dalam sebuah negara. Namun, jika dilihat dari motif yang melatarinya ketiganya sangat berbeda. Hirabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah yang bertujuan untuk menguasai harta orang lain dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.11 Sedangkan terorisme adalah praktek-praktek tindakan terror oleh seseorang atau golongan dengan penggunaan kekerasan untuk menciptakan ketakutan kepada masyarakat umum dalam mencapai suatu tujuan.12 Jadi, tegasnya kejahatan yang dilakukan bughat bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan negara, tapi juga bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian meluas kepada pemberontakan maka, menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. 10
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 235 11
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 127
12
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 1263
18
Sebab, pemberontakan ini dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan darurat dalam negara.13 Seperti yang telah disebutkan diatas pada umumnya, bahwa bughat adalah sekelompok kaum muslimin yang menentang kekuasaan imam (walaupun bertindak lalim) dan mereka tidak tunduk terhadap perintahnya namun, ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh bughat seperti di bawah ini:14 Pertama, mereka mempunyai kekuasaan, baik dengan jumlah pengikut yang banyak maupun dengan kekuatan lain walaupun hanya menggunakan benteng tempat mereka mempertahankan diri sekiranya dengan kekuatan itu, mereka mampu menandingi imam. Dengan begitu, imam menganggap perlu mengembalikan mereka agar taat dengan mendermakan harta dan mengeluarkan para pengikut mereka. Kedua, disyaratkan mereka mempunyai dasar argumen yang sempurna, dasar itu yang membuat mereka yakin bahwa memberontak terhadap imam dan menolak menunaikan hak yang dihadapkan kepada mereka hukumnya boleh. Sebab, orang yang memberontak tanpa disertai dasar argumen disebut melawan kebenaran.15 13 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet V, h. 246 14
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan AlQur‟an dan Hadist), h. 245 15
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan AlQur‟an dan Hadist), h. 246
19
Ketiga, disyaratkan dikalangan mereka harus ada orang yang menjadi figur panutan yang menginspirasi kekuatan dan kekuasaan. Sebagian ulama menambahkan persyaratan bughat yaitu ada seorang yang diangkat menjadi imam dikalangan mereka. Maksudnya bughat tidak boleh diperangi, kecuali mereka adalah sekelompok orang yang membangkang, dan mereka tidak mempunyai dasar argumen yang dapat dibenarkan.16 Dengan adanya pemimpin, mereka memiliki sumber pemikiran yang sama dan melakukan sesuatu dengan kendali yang sama. Jadi, tidak ada kekuatan bagi yang tidak memiliki pemimpin. Berapapun jumlah pemberontak dan kekuatan yang mereka miliki, selama mereka tidak memiliki pemimpin, mereka tidak akan memiliki kekuatan. Dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam sepeninggal wafat Rasulullah SAW tepatnya pada masa Khulafaurrasyidin, terdapat beberapa pemberontakan yang dilakukan terhadap para Khalifah. Diantaranya adalah: 1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalifah pertama dalam pemerintahan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar dikenal luas sebagai orang yang memiliki hati yang sangat lembut dan perasa. Dia ramah, baik budi dan sangat setia. Namun pada saat berada di puncak kekuasaan kaum Muslimin, dia telah banyak mengejutkan berbagai pihak karena tindakannya yang sangat tegas.17
16
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan AlQur‟an dan Hadist), h. 246 17
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2000), Cet I, h. 134
20
Namun demikian, masih saja ada sebagian sekelompok orang yang masih menampakan tidak adanya perubahan dalam diri mereka. Suku-suku di sekitar Madinah menolak membayar zakat kepada petugas pengumpul zakat yang diutus dari Madinah. Mereka mengepung Madinah dan menyiapkan tentara secara terang-terangan untuk menunjukan sebuah tantangan kepada pemerintahan pusat di Madinah.18 Menurut Ibnu Atsir, sebanyak dua puluh empat suku telah menyatakan pemberontakannya. Semua wilayah, dari Yaman hingga Madinah, telah diduduki para pemberontakan tersebut. Pemberontakan itu demikian melebar, Thaif, Mekkah dan Madinah saat itu merupakan tiga kota yang tetap loyal, sementara wilayah Arab yang lain telah dipenuhi oleh
orang-orang
murtad.
Sementara
itu,
kaum
munafikin
menghembuskan api pemberontakan dari dalam tubuh umat. Dan pada saat yang sama, kaum pemberontak itu didukung oleh munculnya empat orang yang mengaku sebagai Nabi.19 Aksi pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengatasi pemberontakan tersebut adalah mengirim pasukan sebanyak 3.000 orang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid dalam sebuah ekspedisi yang sebelumnya telah dipersiapkan Rasulullah SAW namun, sempat ditunda karena Rasulullah SAW saat itu sedang sakit. Abu Bakar bersikeras untuk mengirim pasukan itu sesuai dengan keputusan yang diambil oleh Rasulullah SAW, meskipun beberapa sahabatnya menasehatinya agar
18
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135
19
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 136
21
tindakan itu tidak diambil karena waktunya demikian kritis. Karena pada saat itu Madinah akan kekosongan orang dan akan menjadi sebuah kota tanpa pertahanan ketika suku-suku pembangkang yang ada bergerak untuk merebut kota itu. Para pimpinan umat Islam mengusulkan sebuah kebijakan yang lunak dan menyarankan agar menempuh jalan kompromi dan konsiliasi. Namun, dengan tegas dia menampik konsiliasi dengan para pemberontak yang mengepung kota.20 Dengan tanpa ragu dan penuh semangat dia menghancukan semua suku yang dengan sengaja memberontak dan membalas serangan mereka dengan serangan yang setimpal. Yang akhirnya kemenangan diraih pihak kaum Muslimin.21 2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tidak ditemukan adanya sebuah pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Khalifah Umar. Karena tidak adanya ancaman dari tindakan pemberontakan, maka Khalifah memfokuskan pada usaha-usaha penaklukan ke berbagai wilayah luar kota Madinah. Pada masa ini, Khalifah Umar telah mampu menciptakan sebuah “imperium” besar bagi pemerintahan Islam dan juga tentunya untuk menyebarluaskan agama Islam. 3. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Ibunya adalah sepupu Rasulullah SAW. Sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang 20
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135
21
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 136
22
yang sukses dan terpandang, dia meninggalkan harta warisan yang sangat banyak. Utsman pun adalah seorang pedagang bisnis yang cerdik, ia kembangkan harta warisan yang diterima dari ayahnya itu menjadi semakin banyak.22 Utsman menggunakan kekayaan dan hartanya untuk kepentingan agama yang dia peluk. Pada saat hijrah ke Madinah, dia membeli sebuah sumur untuk kaum Muslimin yang saat itu masih belum bisa mengambil air yang bersih dan tawar. Pada saat ada panggilan jihad ke Tabuk, dan rakyat diminta agar mengumpulkan dana untuk mempersenjatai pasukan perang, Utsman mengeluarkan seribu keping emas, seribu unta, enam puluh kuda dan berbagai peralatan perang lainnya untuk kepentingan sepertiga dari jumlah tentara.23 Namun, sepertinya kebaikan dan kedermawanan Utsman bin Affan tidak sepenuhnya dapat memuaskan sebagian kaum Muslimin. Perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan Utsman telah melahirkan sebuah kelompok oposisi yang dipimpin oleh sahabat-sahabat terkenal. Sebut saja, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzar al-Ghifari, dan Ammar bin Yasir. Sangat penting untuk memahami alasan-alasan beroposisi yang dilakukan kaum Muslimin dan para sahabat secara khusus, yakni melakukan
tindakan-tindakan
tersebut
terhadap
Khalifah
adalah
berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan contoh-contoh yang dilakukan oleh dua Khalifah sebelumnya.
22
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 173
23
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 174
23
Yang meliputi berbagai hal, seperti politik, agama, ekonomi dan lainnya. Para pengkritik Utsman, semuanya mendasarkan tindakan-tindakannya dengan merujuk kepada semua dasar hukum tersebut dan hukum-hukum yang sudah disepakati.24 Dampak final dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan adalah sebuah pemberontakan. Otak utama dari pemberontakan ini adalah Abdullah bin Saba’. Dia adalah seorang Yahudi asal Yaman, yang masuk Islam saat Utsman berkuasa memainkan peran yang sangat signifikan dalam menggerakan masyarakat untuk mengadakan pemberontakan. Akibat ulah pemberontakannya ini, dia diusir dari Bashrah dan Kuffah. Namun dia berhasil ke Syiria dan bertemu dengan Abu Dzar dan mengajaknya untuk bergabung dengan dirinya. Mua’wiyah kembali mengusirnya dari Syiria. Dia kemudian berangkat menuju Mesir, karena tempat itu dia anggap suasananya lebih kondusif untuk menanamkan bibit pemberontakan. Dia membentuk sebuah kelompok rahasia yang mampu menghimpun banyak pengikut dan pendukung. Dengan sangat licik ia mengeksploitasi perbedaan yang ada didalam masyarakat Islam dan dengan cara inilah dia memecah belah umat. Dia gemar dan sukaria dengan perilaku yang ambigu dan ambivalence, menyebarkan fitnah, isu jahat, kecurigaan, dia tampak memposisikan diri dengan orang-orang yang lemah, tertindas dan dengan secara besar-besaran mengekspos korupsi dan nepotisme yang ada di pihak pemerintah.25
24
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 186
25
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 182-183
24
Berbagai surat disebar atas nama Ali, Thalhah, dan Zubair, yang berisi ajakan kepada rakyat di berbagai provinsi untuk mendongkel Utsman. Orang-orang Badui Mesir, Kuffah dan Bashrah semuanya bergerak untuk menentang otoritas kekuasaan Khalifah yang mereka tuduh telah melakukan tindakan nepotisme, tidak kompeten dan telah menyimpang dari norma-norma yang telah diberlakukan oleh para pendahulunya. Utsman diminta untuk turun dari kursi Khilafah. Gerakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ mendapat sambutan dan memberikan tekanan yang demikian hebat kepada pemerintahan Utsman.26 Puncak dari pemberontakan itu, para pemberontak mengepung rumah Utsman dan merangsek masuk ke dalam rumah Utsman untuk membunuh sang Khalifah. Para pemberontak memukul-mukulkan pedangnya kepada Khalifah yang saat itu sedang memegang Al-Qur’an. Mereka memukulkan pedang-pedang mereka ke tubuh Khalifah yang akhirnya meninggal dan terjatuh ke lantai.27 4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib Ali bin Abi Thallib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan di halaman Ka’bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW. Ali r.a hidup bersama Rasulullah SAW di Mekkah dan dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan Rasulullah SAW, baik sebelum maupun setelah Islam. Gurunya tak lain adalah Rasulullah SAW sendiri. Dari tangan Rasulullah SAW langsung, ia 26
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 193
27
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 181
25
belajar Al-Qur’an.28 Ali bin Abi Thalib r.a dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat menggantikan Utsman bin Affan r.a yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak.29 Pengukuhan Ali r.a menjadi Khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibai‟at di tengahtengah suasana berkabung atas kematian Utsman r.a, pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman r.a mendaulat Ali r.a supaya bersedia di bai‟at menjadi khalifah.30 Ali r.a di bai‟at menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsman r.a. Keadaan ini bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali r.a, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya menjadi Khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir. Tuntutan ini tak dapat dipenuhi oleh Khalifah Ali r.a. Tindakan dan kebijkasanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Ustman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap 28
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 201
29
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 151 30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 152
26
para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah.31 Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman.32 Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al-Qur’an. Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan 31
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155
32
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 157
27
bertempur di Shiffin, di lembah sungai Eufrat yang kemudian terkenal dengan Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini dihentikan dengan diadakannya tahkim (arbitrase) atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari Majelis Tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena Majelis Tahkim atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah, sehingga secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun, sesudah peristiwa tahkim itu mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya, diproklamasikan menjadi Khalifah.33 Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan Majelis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Alasannya, Ali menurut mereka melakukan kesalahan besar yaitu mau menerima tahkim. Kelompok ini kemudian terkenal dengan Khawarij (orang-orang yang keluar) dan dianggap sebagai sekte pertama dalam Islam.34 Ali menyuruh Ibnu Abbas untuk menemui kaum Khawarij. Ibnu Abbas mampu meyakinkan mereka bahwa keputusan yang diambil itu tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan andaikata itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka Ali tidak akan menerima begitu saja dan pasti dia akan bertempur menghadapi musuh-musuhnya. Perkataan Ibnu Abbas
33
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158
34
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158
28
membawa hasil. Elemen-elemen yang bersitegang saat itu sementara bisa dirukunkan.35 Namun, karena memang dari awal mereka tidak tertarik terhadap penobatan Ali ataupun Muawiyah sebagai Khalifah dan yang paling penting adalah kekecewaan mereka karena diadakannya tahkim, setelah peperangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Ketiga orang inilah yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap semua kekacauan di seluruh dunia Islam. Beberapa orang sukarelawan segera dibentuk untuk melaksanakan rencana tersebut. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam yang ditugaskan untuk membunuh Ali, Nazal diperintahkan untuk menghantam Muawiyah, sedangkan Abdullah diperintahkan untuk menghabisi Amr bin Ash. Pembunuhan ini akan dilakukan secara serentak di Kuffah, Damaskus dan Fustat. Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu pada hari Jumat 17 Ramadhan 40 Hijriah pada saat shalat Subuh. Muawiyah selamat dan tidak terluka sedikitpun, sedangkan Amr bin Ash sedang sakit sehingga tidak memimpin shalat di Mesjid pada hari itu dan penggantinya yang terbunuh. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya di Kufah, pedang beracunnya berhasil ia tancapkan ke tubuh Ali. Pada usia enam puluh tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur empat 35
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 216
29
tahun sembilan bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak menyimpan dendam.36
B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan Dari berbagai definisi mengenai bughat yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, ada beberapa unsur dalam jarimah pemberontakan, yaitu: 1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam) Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.37 Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini boleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan.38 Dengan demikian, jika seorang kepala negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun 36
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 222-223
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111
38
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111
30
kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam kategori pemimpin negara yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para hakim, dan semua aparat keamanan.39 Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala negara (imam), namun menurut madzhab empat dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun pembangkangan itu dimaksudkan untuk amar ma‟ruf nahi munkar. Alasannya adalah karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya justru mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah, pertumpahan darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut pendapat yang marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.40 Dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Ahmad membedakannya menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:41 a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak. b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata. c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki kekuatan senjata. 39
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63
40
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113
41
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 66
31
Untuk jenis kelompok kaum pemberontak yang ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.42 a. Pemberontakan yang dilakukan warga Syam di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. b. Pemberontakan kaum Khawarij terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan pihak Ali dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat. Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak disebut pemberontakan.43 2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan. Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mau mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk albaghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan.
42
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67
43
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67
32
Setelah itu, ia membaiat Abu Bakar. Adapun orang yang hingga wafat tidak mau membaiat adalah Sa’ad bin Ubadah.44 Contoh lainnya adalah golongan Khawarij yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam AlSyafi’i mengatakan: “Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakan sikap seperti kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan menganggap jamaah tersebut kafir, tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab, mereka masih berada di bawah perlindungan imam. Hal tersebut tidak menjadikan mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah SWT perintahkan untuk diperangi.”45 Alasan lain mengenai kaum Khawarij yang tetap tidak dianggap sebagai pemberontak adalah karena mereka tidak melakukannya secara demonstratif dengan kekuatan senjata. Ali bin Abi Thalib tidak menganggap tindakan kelompok Khawarij sebagai pelaku jarimah pemberontakan karena ia melakukannya tidak secara demonstratif, tidak dengan pengerahan massa, dan tidak dengan kekuatan bersenjata. Tindakan ini dianggap sebagai tindak pidana pembunuhan biasa, bukan pemberontakan.46 Jumhur Ulama, Imam Malik, Imam Al-Syafi’i, Imam Ahmad, dan ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para pembangkang itu tidak menyusun kekuatan bersenjata dan tidak bersikap demonstratif; mereka bukanlah pemberontak. Oleh karena itu, mereka tetap harus diperlakukan seperti warga negara, tidak boleh diserang, apalagi dibunuh. 44
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68
45
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68
46
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 69
33
Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka dapat dianggap sebagai pemberontak, karena mereka berkumpul bersama dan merencanakan penyerangan. Hal itu cukup untuk dijadikan indikasi akan adanya jarimah al-baghyu, walaupun tidak bersikap demonstratif dengan menggunakan senjata. Demikian pula pendapat Syi’ah Zaidiyah.47 Perbedaan pandangan dalam masalah ini terletak pada tolak ukur dan kapan sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap sebagai pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa para pemberontak tidak boleh buru-buru disergap dan dibunuh, jika mereka tidak melancarkan aksinya terlebih dahulu.48 3. Adanya Niat Melawan Hukum Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan. Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud
untuk
menaatinya,
atau
mencopot menolak
(menggulingkan) untuk
imam,
melaksanakan
atau
tidak
kewajiban
yang
dibebankan kepada syara‟. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan 47
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70
48
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70
34
pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap
sebagai
pemberontak.
Apabila
seseorang
pembangkang
melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaanَkekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.49
C. Dasar Hukum Bughat Telah disebutkan sebelumnya bahwa bughat adalah sekelompok orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin). Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan mengenai keharusan kita taat terhadap pemimpin. Namun, perlu diingat bahwa taat disini bukan berarti taat kepada kemaksiatan. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:
َ ي َ ٓبَُّيه َا ٱ ذ َِّل ْي َن َءا َمنُ ٓو ْا َٱ ِط ْي ُعو ْا ٱ ذ َّلل َوٱَ ِط ْي ُعو ْا ٱ ذمر ُسو َل َو ُٱ ْو ِِل ٱ أ َۡل أم ِر ِمنْ ُ أك ۖۡ فَا ْن ثَن َ َز أع ُ أُت ِِف َشءٖ فَ ُردهو ُه ا ََل ٱ ذ ِّلل أ ِ َۡي ذو َٱ أح َس ُن ثَبٔأ ِوِيْ اًلٞ َوٱ ذمر ُس ْولِ ا ْن ُك ْن ُ أُت ث أُؤ ِمنُ ْو َن ِبب ذ ِّلل َوٱمأ َي أو ِم ٱ أ ٔۡل ٓ ِخ ِر َذ ِ َِل خ أ ِ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan RasulNya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa: 59) Mengingat perbuatan bughat ini adalah kejahatan yang dilarang dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini: 49
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 116
35
َم ْن َر َٱى ِم ْن َٱ ِم ْ ِۡي ِه َشيْئاا يَ ْك َر ُى ُو:اّلل عَلَ ْي ِو َو َس ذ ََّل قَا َل ُ اّلل َعنْ ُ َما َع ِن امنذ ِ ِ ّب َص ََل ذ ُ ِض ذ َ ِ َو َع ْن ا ْب ِن َر 50 )ات فَ ِم ْيتَ ُة َجا ِى ِليذ ٌة (رواه مسَّل َ فَاه ذ ُو َمنْ َف َار َق امْ َج َماعَ َة ِش ْ اۡيا فَ َم,فَلْ َي ِص َۡي ِ Artinya: “Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, apabila memisahkan diri dari jama‟ah (penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyyah”
ِ ول ذ ُ قَا َل َ َِس ْع ُت َر ُس:شيْ ٍح ُ اّلل عَلَ ْي ِو َو َس ذ ََّل ي َ ُو ول َم ْن َٱكاَ ُ ْْم َو َٱ ْم ُرُ ْْم َ َِج ْي ٌع عَ ََل ُ اّلل َص ََل ذ َ ُ َو َع ْن َع ْرفَ َج َة ا ْب ُن 51 )َر ُج ٍل يُ ِريْدُ َٱ ْن ي ه َف ّ ِر َق َ ََجا َع َت ُ ْك فَا ْق ُتلُ ْو ُه (رواه مسَّل Artinya: “Dari A‟fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut‟.
50
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Beirut: Pustaka Daru Ihya al-Kutub alArabiyah, 775 H-825 H), hal. 253 51
Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani Al-Shan’ani, Subul Al-Salam, (Indonesia, Dahlan), jilid IV, h. 254, dikutip dari M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 72
BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan Sejarah Makar Definisi makar dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang.1 Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (kudeta).2 Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga terdapat dalam KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Namun makar yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b dan 140 KUHP tidak masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.3 Dalam pembendaharaan hukum pidana “aanslag” telah lazim diterjemahkan dengan makar.4 Pengertian makar terdapat pada Pasal 107 KUHP, dimana redaksi aslinya ialah: 1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 623
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), Edisi ke I, h. 618 3
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7 4
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 7
36
37
“De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste vifftien jaren”.5 Engelbrecht menterjemahkan Pasal tersebut dengan: “Makar yang dilakukan dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.6 Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa terjemahan kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.7 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro menggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang menurut beliau berarti serangan.8 Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 87 KUHP, yang berbunyi: “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUHP.”9 Nyatalah bahwa sebenarnya makar itu sendiri adalah suatu pengertian khusus yang berhubungan erat dengan syarat-syarat yang ada dalam hal untuk dapat dipidananya suatu percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 53 KUHP ayat (1),10 yaitu:
5
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15
6
Engelbrecht, Kitab Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Republik Indonesia, tahun 1960, h. 1402, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15 7
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15
8
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1980), h. 187 9
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 16
10
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8
38
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”11 Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus ada agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan, yaitu: a. Niat. b. Permulaan pelaksanaan. c. Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya.12 Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pembuat (dader) yang belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.13 Jika dihubungkan dengan syarat untuk dapat dipidananya, percobaan melakukan kejahatan yang dirumuskan Pasal 53 KUHP, maka jelaslah bahwa 11
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 26
12
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8
13
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8-9
39
makar (Pasal 87 KUHP) bukan nama atau kualifikasi dari suatu kejahatan tertentu sebagaimana yang sering kita dengar, melainkan sesuatu wujud tingkah laku tertentu yang memenuhi unsur/syarat tertentu, syaratnya adalah: a. Adanya niat. b. Adanya permulaan pelaksanaan, dalam arti yang dimaksud dengan Pasal 53 ayat (1) KUHP. Pengertian itu baru dapat menjadi suatu kejahatan makar apabila dalam mewujudkan permulaan pelaksanaan tadi didorong oleh suatu kehendak atau maksud yang terlarang seperti pada Pasal 104, 106, 107 KUHP.14 Dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi tiga unsur dari Pasal 53 (1) KUHP, yang artinya untuk mempidana sesuatu pelaku/pembuat (dader) yang telah melakukan suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup terpenuhi tiga syarat seperti yang dijelaskan dalam Pasal 53 (1) KUHP. Dengan sejarahnya yang panjang dalam usaha meraih kemerdekaan dari pihak penjajah, Indonesia masih belum bisa berdiri tegak kokoh dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
Setelah
meraih
kemerdekaanpun
Indonesia masih mendapatkan perlawanan dalam mempertahankan keutuhan negaranya, namun kali ini perlawanan dan usaha-usaha memecah belah Indonesia datang dari rakyat Indonesia itu sendiri. Sebagai contoh peristiwa gerakan makar dibawah ini diantaranya: a. Partai Komunis Indonesia (PKI) 1) Latar Belakang Tumbuh dan Berkembangnya PKI Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang bertujuan
14
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 9
40
menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Paham Komunis di Indonesia pada mulanya dibawa oleh seseorang yang berkebangsaan Belanda yaitu H.J.F.M. Sneevliet. Pada tahun 1913 menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda.15 Untuk menanamkan pengaruhnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah itu, ISDV juga menerbitkan surat kabar Suara Mardika dan kemudian Suara Rakyat.16 Untuk menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda, Sneevliet memanfaatkan organisasi yang sedang berkembang pesat di Indonesia pada waktu itu, yaitu Sarekat Islam (SI). Sneevliet menggunakan cara dengan memasukkan anggota ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi anggota
15
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1992), Edisi 1, Cet 2, h. 7 16
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 7
41
ISDV. Pada tahun 1947 Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat dikalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, diantaranya adalah Semaoen dan Darsono. Kedua orang inilah yang menjadi penyebar Marxisme ke kalangan masyarakat Indonesia.17 Nama Partai Komunis Indonesia (PKI) digunakan pertama kali dalam Kongres di Jakarta pada bulan Juni 1924 yang diadakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Setelah itu, PKI berhasil tumbuh menjadi partai politik yang memiliki massa pengikut yang semakin besar. 2) Pemberontakan PKI terhadap Pemerintah Republik Indonesia Aktivitas-aktivitas PKI mulai muncul sejak tahun 1947, saat pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomatik dengan Belanda, PKI dengan tegas menentang semua langkah itu. Dalam tahun-tahun sulit menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan, keberadaan PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai sikap yang menguntungkan bagi Republik Indonesia. Berikut beberapa pemberontakan yang dilakukan PKI diantaranya adalah: 1) Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah.18 Pada akhir Oktober sampai dengan awal Desember
17
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 8 18
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 16
42
1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang berpusat di Desa Talang, Kabupaten Tegal. Para petualang politik berhaluan komunis berhasil menghimpun massa dan berusaha merebut kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia dengan cara kekerasan di tiga daerah tersebut. Massa di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota Tegal masih dalam penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII (TKR XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah dilakukan serangan pembersihan oleh Resimen TKR XVII, situasi keamanan di tiga daerah tersebut berhasil dipulihkan. 2) Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948.19 Pada tanggal 1 September 1948, Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI) pertama terbentuk dengan Muso sebagai Ketua PKI menggantikan Sardjono. Muso membentuk Politbiro dan Mr. Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Sekretaris Urusan Pertahanan, Suripno memegang Urusan Luar Negeri, M.H. Lukman seorang tokoh muda memimpin Sekretariat Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Tokoh muda lainnya D.N. Aidit dipercaya untuk memimpin Urusan Perburuhan. Orang muda ketiga yaitu Njoto diangkat menjadi wakil PKI dalam Badan Pekerja KNIP. 19
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 17
43
Tokoh-tokoh komunis mengadakan pidato-pidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta, Sragen, Solo dan Madiun. Aksi-aksi untuk mendiskreditkan pemerintah Republik Indonesia dilancarkan. Sementara itu Muso di depan rakyat banyak senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji muluk PKI, sedangkan pegawai-pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang bukan PKI dijadikan sasaran terornya. Aksi-aksi kerusuhan lain kemudian menyusul. Aksiaksi kerusuhan oleh PKI di kota Solo diwarnai oleh penculikan, pembunuhan dan teror bersenjata. Kolonel Soetarto, Panglima Divisi IV/Panembahan Senopati, dibunuh karena tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI, kemudian disusul pembunuhan terhadap Dr. Muwardi sebagai pimpinan Barisan Banteng. Pada tanggal 18 September 1948 pukul 03.00 ketika seluruh perhatian ditujukan ke kota Solo, meletuslah di kota Madiun tiga kali tembakan pistol sebagai tanda dimulainya pemberontakan yang dilakukan PKI. Dengan didukung oleh kekuatan satu brigade FDR/PKI di bawah pimpinan Sumarsono dan
Kolonel
Djokosujono,
kaum
komunis
melakukan
perebutan kekuasaan di Madiun dan memproklamasikan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Pemberontakan dan proklamasi itu jelas mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945. Pasukan PKI kemudian bergerak merebut objek-objek vital, seperti kantor-kantor pemerintah, Markas Sub-Teritorial
44
Comando Madiun, Markas Polisi Militer, Bank, serta Kantor Pos dan Telepon, dan Markas Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT).20 Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam, Pemerintah Republik Indonesia menjawab tantangan PKI dengan mempersilahkan rakyat memilih “Muso dengan PKInya atau Soekarno-Hatta”. Ternyata rakyat memilih SoekarnoHatta. Pasukan TNI segera digerakkan untuk melakukan penumpasan dibawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Pati-Solo-Madiun, dan Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Pemberontakan PKIMadiun ini segera ditumpas oleh satuan-satuan TNI dari Brigade Sadikin, Kusno Utomo (Jawa Barat), Surachmat (Jawa Timur) dan satuan-satuan dari Divisi II (Jawa Tengah), serta satuan-satuan yang didukung oleh massa rakyat yang bangkit menentang PKI. Dua minggu kemudian, yakni pada tanggal 30 September 1948, pasukan TNI telah berhasil menduduki kembali kota Madiun. Pada tanggal 4 Desember 1948 setelah pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas dan Muso tertembak mati, beberapa minggu kemudian Mr. Amir Sjarifuddin, Suripno, Sardjono, Harjono, dan Djokosujono juga terbunuh. Tokoh-tokoh PKI yang berhasil melarikan diri antara lain adalah Abdul Majid, Alimin, Ngadiman Hardjosuprapto, 20
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 22
45
D.N. Aidit, Njoto, Tan Ling Djie, dan Sumarsono. 3) Gerakan 30 September/PKI Setelah
gagal
pada
usaha
pertamanya
dalam
pemberontakan di Madiun pada tahun 1948, rupanya PKI belum berhenti dalam upaya mengkomuniskan Indonesia. Rencana operasi perebutan kekuasaan oleh PKI sudah lama disiapkan, tetapi pelaksanaan perintah operasinya masih menunggu saat yang tepat. Hal ini disebabkan karena pimpinan Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang program PKI. Menurut pengakuan Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro Khusus PKI) di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dalam diskusidiskusi Comite Central (CC) PKI sejak tahun 1965, pimpinan Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang pelaksanaan program PKI dan menunjukan sikap permusuhan terhadap PKI.21 Di pihak lain TNI AD yang pada umumnya terdiri dari para pejuang ’45, merupakan kekuatan ideologis Pancasila yang kompak dan berpengalaman dalam menghadapi ancaman komunis
seperti
pengalaman
mereka
menghadapi
pemberontakan PKI Madiun 1948.22 Setelah berbagai aksi propaganda, memanipulasi pidato-pidato Soekarno, infiltrasi ideologi komunis dan
21
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), h. 8 22
Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI. (Jakarta: Intermasa, 1997), h. viii
46
pelatihan militer di Lubang Buaya, pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.00 dini hari, PKI mulai melancarkan perebutan
kekuasaan
dengan
diawali
penculikan
dan
pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama. Menurut rencana, pelaksanaannya ialah tanggal 30 September 1965 pada jam yang sama. Pengunduran waktu selama 24 jam yang diputuskan oleh Sjam itu disebabkan para komandan satuan yang akan melakukan penculikan, belum seluruhnya terkumpul.23 Sebelumnya pada tanggal 30 September malam, untuk pertama kalinya diadakan rapat di rumah Sjam Kamaruzaman untuk melancarkan serangan. Secara politis G.30.S/PKI dikendalikan oleh Dewan Militer. Dalam Dewan Militer, D.N. Aidit bertindak sebagai Ketua, Sjam sebagai wakil yang memegang pimpinan pelaksana G.30.S/PKI. Operasi militer dipegang oleh Kolonel A Latief sebagai Komandan Central Komando yang dikendalikan dari Gedung Penas di pinggir Jakarta bypass dekat dengan Halim.24 Letkol Untung Samsuri, Danyon-1/Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan Presiden, dipilih menjadi pimpinan gerakan. Disini D.N. Aidit bermaksud untuk mengelabui bahwa yang bergerak keluar
23
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, h. 20 24
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, h. 21
47
adalah Pasukan Pengawal Presiden, dan sekaligus memberikan kesan bahwa gerakan itu merupakan masalah intern Angkatan Darat yang dilakukan oleh Pasukan Pengawal Presiden untuk melindungi Presiden dari upaya perebutan kekuasaan yang akan dilakukan Dewan Jenderal.25 Dewan Jenderal adalah hasil hasutan yang dilakukan oleh PKI dengan maksud menanamkan kebencian kepada TNI. Dalam
rapat
Dewan
Militer
itu
D.N.
Aidit
memerintahkan kepada Letkol Untung lewat Sjam (Ketua Biro Khusus PKI) untuk melakukan persiapan. Pada tanggal 30 September
pukul
10.00,
Letkol
Untung
memberikan
pengarahan kepada para pimpinan pelaksana G.30.S/PKI di Lubang Buaya. Dalam pengarahan itu Letkol Untung mengatakan akan diadakannya gerakan pendahuluan untuk memberi pukulan yang menentukan terhadap kekuatan yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal. Gerakan itu di atas kertas seluruhnya berkekuatan satu divisi yang disebut “Divisi Ampera”, sedangkan operasi pendahuluan diberi nama sandi “Operasi Takari”, yang terdiri dari Pasukan Pasopati (bertugas melakukan penculikan terhadap para perwira tinggi AD), Pasukan Bima Sakti (bertugas menguasai Jakarta), dan Pasukan Gathutkaca (bertugas sebagai pasukan cadangan yang berada di Lubang Buaya). Tetapi dalam rapat pada tanggal 29 September malam 25
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, h. 22
48
D.N. Aidit merubah nama “Operasi Takari” menjadi “Gerakan 30 September”.26 Gerakan 30 September PKI yang merupakan gerakan militer berhasil menculik dan membunuh, Letjen TNI Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen TNI Suprapto (DeputiII/Pangad), Mayjen TNI Haryono M.T. (Deputi-III/Pangad), Mayjen TNI S. Parman (Asisten-I/Pangad), Brigjen TNI D.I. Pandjaitan (Asisten-IV/Pangad) dan Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman AD). Penculikan terhadap Jenderal A.H. Nasution yang menjadi sasaran utama gagal karena berhasil menyelamatkan diri.27 Namun, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean menjadi korban dan tewas dalam upaya penculikan tersebut. b. Pemberontakan DI/TII Setelah empat tahun Indonesia meraih kemerdekaan, gejolak dalam bangsa Indonesia rupanya belum berakhir. Bukan dari pihak asing, melainkan dari dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. Di dasari atas ketidakpuasan
terhadap
keputusan-keputusan
yang
diambil
oleh
pemerintah pusat, rakyat yang berada di daerah akhirnya muncul dan mulai menunjukan sikap perlawanan kepada pemerintah pusat. Salah satu
26
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, h. 22 27
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, h. 23
49
yang menunjukan sikap perlawanan ini adalah Darul Islam. Berikut beberapa contoh pemberontakan yang dilakukan DI/TII. 1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat Darul Islam atau yang disebut juga dengan Negara Islam Indonesia (NII) didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang ditandai dengan pembacaan proklamasi oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang, Kewedanaan Cisayong, Tasikmalaya. Negara ini tumbuh dalam masa perang di tengah-tengah revolusi nasional masih sedang berjalan. Melalui proklamasi itu, Kartosuwiryo dan para pengikutnya secara tegas memisahkan diri dari negara kesatuan RI, dengan kata lain memberontak terhadap pemerintah yang sah.28 Pada saat masa Perjanjian Renville29, Kartosuwiryo melihat peluang untuk merealisasikan cita-citanya. Kartosuwiryo menganggap perjanjian itu sangat merendahkan pemerintah dan berarti pemerintah sudah berkapitulasi terhadap Belanda. Dalam salah satu keputusan Renville itu ialah pemindahan pasukan RI yaitu pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Akan tetapi laskar di daerah tersebut seperti laskar Hizbullah dan laskar Sabilillah tidak bersedia dipindahkan. Mereka tetap bertahan di Jawa Barat dan berkonsentrasi di Gunung Cupu. 28
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), Cet I, h. 405-406 29
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 diatas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, yaitu USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjunng Priok, Jakarta.
50
Pemindahan pasukan itu dan pembentukan Negara Pasundan oleh Belanda pada Maret 1948 mengakibatkan vakumnya kekuasaan RI di Jawa Barat. Hal ini dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo, yang pada mulanya menunjang perjuangan RI namun kemudian berbalik dan diarahkan untuk merealisasikan cita-citanya untuk mendirikan Negara Islam.30 Pada tanggal 10-11 Februari 1948, Kartosuwiryo dan para pengikutnya mengadakan konferensi untuk yang pertama kali. Dalam konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan yang diantaranya adalah mengubah sistem ideologi Islam Partai Masyumi dari kepartaian menjadi kenegaraan. Dalam konferensi ini juga mengangkat Kartosuwiryo sebagai Imam umat Islam Jawa Barat dan penunjukan Oni Qital yang seorang pengikut fanatik Kartosuwiryo menjadi pimpinan Tentara Islam Indonesia. Sejak awal 1949, Kartosuwiryo menganggap daerah Jawa Barat sebagai daerah de facto NII. Karena hal itu, ia menyatakan bahwa setiap pasukan yang masuk ke Jawa Barat berarti melanggar kedaulatan NII. Mereka akan dihancurkan apabila melanggar peraturan itu, namun Kartosuwiryo membuat pengecualian dengan harus mengakui NII apabila tidak ingin dihancurkan.31 Untuk mengembalikan daerah Jawa Barat ke Negara Kesatuan 30
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
406 31
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
407
51
Republik Indonesia, maka pasukan yang tadinya dihijrahkan ke Jawa Tengah akibat perjanjian Renville, kembali ke Jawa Barat dengan melakukan penyusupan dan long march kembali ke daerah asal mereka. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi Pagar Betis dan operasi Bratayudha. Akhirnya pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kemudian, oleh Mahkamah Angkatan Darat Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati sebagai akibat pemberontakannya itu sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dipadamkan.32 Gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Kartosuwiryo ini adalah sebagai bentuk embrio dari gerakan-gerakan Darul Islam yang berada di daerah lainnya seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. 2) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah Tidak berbeda jauh seperti apa yang terjadi di Jawa Barat, awal mula terjadinya pemberontakan di Jawa Tengah oleh gerakan DI/TII ini disebabkan akibat dari Perjanjian Renville. Akibat perjanjian ini, daerah Pekalongan di Jawa Tengah juga ditinggalkan oleh kesatuan TNI dan aparat pemerintahan. Karena hal ini timbullah kevakuman pemerintah di daerah ini. Kevakuman ini dimanfaatkan 32
http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintahpenanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015
52
oleh Amir Fatah. Pada tahun 1948, ia membawa tiga kompi pasukan Hizbullah yang tidak di-TNI-kan ke daerah Pekalongan. Amir Fatah mengaku mendapat intruksi dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk mengadakan gerakan imbangan di daerah Tegal dan Brebes terhadap usaha Belanda dan mencegah Kartosuwiryo melebarkan pengaruhnya di Jawa Tengah.33 Setelah Belanda melancarkan agresi militer pada pada 19 Desember
1948,
pasukan
TNI mengadakan
penyusupan
dan
perlawanan ke daerah Pekalongan, Tegal dan Brebes. Di daerah ini pasukan TNI mengadakan kerja sama dengan Amir Fatah, kemudian Amir Fatah di angkat sebagai kepala koordinator perlawanan di daerah Tegal dan Brebes. Namun pada Maret 1949, Amir Fatah mengadakan pertemuan dengan utusan Kartosuwiryo di Desa Pengarasan, Bumiayu. Dalam perundingan ini Amir Fatah berjanji akan bergabung dengan Kartosuwiryo. Sebagai buktinya ia diangkat sebagai komandan pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal TII. Pada akhir April 1949, ia menyerahkan jabatan sebagai ketua koordinator perlawanan Tegal-Brebes kepada Mayor Wongsonegoro. Ia beralasan bahwa TNI berlaku tidak baik kepada anggota bentukannya yaitu Majelis Islam. Kemudian dia menarik pasukannya dari Tegal-Brebes ke desa Pengarasan.34
33
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408 34
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408
53
Di daerah ini pula ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah. Sejak saat itulah ia dan pasukannya memulai pengacauan dan penyerangan terhadap kedudukan TNI. Mereka berhasil merebut pos pertahanan TNI di Bentarsari dan melucuti senjata TNI yang ada di pos tersebut. Mereka juga menculik rakyat dan aparat pemerintah yang tidak setuju dengan Darul Islam. Pasukan Brimob yang sedang berpatroli pun mereka serang dan pimpinan pasukan itu pun mereka bunuh. Daerah Bumiayu dan sekitarnya dijadikan basis pertahanan gerakan Amir Fatah ini. Untuk menumpas gerakan Amir Fatah ini, TNI membentuk satuan tempur. Serangan dilancarkan terhadap konsentrasi pasukan Amir Fatah di Desa Tembangrejo. Begitu pula terhadap pasukan Amir Fatah di Citimbul dan basisnya di Pengarasan. Akibat serangan ini Amir Fatah pun melarikan diri. Pada Oktober 1951, akhirnya Amir Fatah tertangkap saat operasi penumpasan gerakannya oleh TNI dan pada saat itu pula gerakan Amir Fatah di Jawa Tengah ini berakhir.35
B. Macam-Macam Kejahatan Makar Adapun kejahatan yang masuk dalam kategori makar yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara RI sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:36
35
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408 36
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 11
54
1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya Pada Pasal 104 KUHP dirumuskan: “makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden menjalankan pemerintahan, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.37 Jika rumusan itu dirinci, maka makar yang menyerang keamanan Presiden atau Wakilnya yang dirumuskan dalam Pasal 104 KUHP itu adalah sebagai berikut: Unsur Obyektif: Perbuatan makar (penyerangan) Unsur Subyektif: Maksud yang ditujukan pada: 1) Menghilangkan nyawa Presiden atau Wakilnya. 2) Merampas kemerdekaan Presiden atau Wakilnya 3) Meniadakan kemampuan Presiden atau Wakilnya yang menjalankan pemerintahan Makar itu dilakukan dengan kekerasan, sebab tanpa kekerasan tidaklah dapat dilaksanakan pembunuhan Presiden atau penggulingan pemerintahan. Ini berarti bahwa sekelompok orang dengan pernyataan tertulis disertai dengan unjuk rasa yang menghendaki supaya Presiden atau pemerintahan turun/ganti tidaklah dapat disebut melakukan kejahatan makar.38 2. Makar yang Menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara Integritas suatu negara adalah terjaminnya keamanan dan 37
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus,2001) Cet I, h. 71 38
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), h. 74
55
keutuhan wilayah negara. Karena itu keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah wajib dipertahankan. Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini adalah juga berupa kejahatan makar. Kejahatan makar yang dimaksud ini adalah yang dirumuskan pada Pasal 106 KUHP, yang rumusannya ialah:39 “makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Unsur Obyektif: Perbuatan (makar). Unsur Subyektif: Maksud yang ditujukan pada 2 hal, yakni: a.
Seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh;
b.
Memisahkan sebagian dari wilayah negara. Perbuatan makar disini tidak identik atau tidak sama dengan
kekerasan (geweld). Perbuatan dalam makar yang oleh Pasal 87 KUHP disebutkan sebagai permulaan pelaksanaan, adalah berupa segala macam bentuk perbuatan dengan maksud untuk sebagian atau seluruh wilayah RI jatuh ketangan musuh dan atau sebagian wilayahnya terpisah dengan wilayah kesatuan negara RI. Wujud perbuatan itu bisa bermacam-macam yang jika dilihat dari Pasal 53 KUHP adalah berupa perbuatan pelaksanaan dalam rangka mencapai maksud tersebut. Dalam kejahatan ini tidak diperlukan benar-benar seluruh atau sebagian wilayah RI itu jatuh ketangan/kedalam kekuasaan musuh atau telah terpisahnya sebagian wilayah dari wilayah kesatuan negara RI. Yang 39
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 19
56
harus timbul bukan akibat-akibat itu, akan tetapi wujud perbuatan yang apabila dilihat dari Pasal 53 (1) KUHP adalah dapat berupa wujud permulaan pelaksanaan perbuatan dalam rangka mencapai maksud memisahkan sebagian wilayah RI atau jatuhnya wilayah RI ke dalam kekuasaan musuh tersebut. 3. Makar
yang
Menyerang
Kepentingan
Hukum
Tegaknya
Pemerintahan Negara Yang dimaksudkan ini ialah kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 107 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:40 (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Perbuatan makar yang pada dasarnya berupa wujud permulaan pelaksanaan (dari suatu perbuatan) sebagaimana dimaksud Pasal 53 (1) KUHP dalam rangka mencapai tujuan menggulingkan pemerintahan atau tergulingnya pemerintahan, tidaklah perlu berupa perbuatan yang begitu dahsyatnya dengan kekerasan menggunakan senjata. Makar disini sudahlah cukup misalnya dengan membentuk organisasi dengan alatalatnya seperti anggaran dasar, program kerja, tujuan yang ingin dicapai dan sebagainya yang semua wujud-wujud kegiatan itu menuju pada suatu tujuan yang kebih besar ialah menggulingkan pemerintahan yang sah.
40
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 19-20
57
C. Makar dalam Hukum Positif 1. Pengaturan Makar dalam KUHP Pengaturan makar dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu: a)
Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala Negara atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
b) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan, keselamatan, dan keutuhan wilayah negara (Pasal 106 KUHP); c)
Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintahan negara atau menggulingkan pemerintahan (Pasal 107 KUHP).41 Dalam pengaturan makar atau kejahatan yang berhubungan
dengan makar yang mengancam keamanan, keselamatan, dan keutuhan negara. Disini penulis mencoba merumuskan kejahatan yang berkaitan dengan keamanan, keselamatan dan keutuhan negara dengan memfokuskan pada Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP dan Pasal 110 KUHP. Berikut uraian pasal tersebut: a)
Kejahatan Makar Dalam kejahatan makar terhadap negara, makar terhadap
nyawa atau kemerdekaan Kepala Negara atau Wakilnya tercantum 41
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1978), h.
11
58
dalam Pasal 104 KUHP, makar terhadap/untuk memisahkan wilayah negara tercantum dalam Pasal 106 KUHP dan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah tercantum dalam Pasal 107 KUHP.42 Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”43 Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjarasementara paling lama dua puluh tahun.44 b) Kejahatan Pemberontakan Kejahatan pemberontakan dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: (1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun: 1. orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata; 42
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 9 43
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, h. 43
44
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
59
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintahan Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata. (2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.45 c)
Pemufakatan Jahat Untuk Melakukan Kejahatan Pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan diatur dalam
Pasal 110 KUHP, bunyi rumusannya, ialah: (1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut. (2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, 107 dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan: 1. berusaha menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan; 2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain; 3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan; 4. Mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang lain; 5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan. (3) Barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas. (4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum. (5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.46
45
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
46
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 47
60
2. Pengaturan Makar di Luar KUHP Dahulu di Indonesia diatur ketentuan mengenai masalah kegiatan subversi dalam Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.47 Dilihat dari definisinya, makar memiliki pengertian yang sama dengan definisi subversi yaitu: gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Undang-Undang
Nomor
11/PnPs/Tahun
1963
Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, dalam bab I diterangkan tentang subversi adalah: Pasal 1, bunyi rumusannya, ialah: (1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi: 1. Barangsiapa melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat: a. Memutarbalikan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara, atau b. Menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewajiban pemerintah yang sah atau aparatur negara, atau c. Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas diantara Negara Republik Indonesia dengan sesuatu Negara Sahabat, atau mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat; 2. Barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan kegiatan yang menyatakan simpati bagi musuh Negara Republik Indonesia atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan Negara Indonesia. 47
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
61
3. Barangsiapa yang melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum ataupun milik perorangan atau badan yang dilakukan secara luas; 4. Barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata; 5. Barangsiapa melakukan sabotase.48 (2) Dipersalahkan juga melakukan tindak pidana subversi barangsiapa memikat perbuat tersebut pada ayat (1) tersebut diatas. Pasal 2, bunyi rumusannya, ialah: Yang dimaksudkan dengan kegiatan mata-mata ialah perbuatan melawan hukum untuk: a. memiliki, menguasai atau memperoleh dengan maksud untuk meneruskannya langsung maupun tidak langsung kepada negara atau organisasi asing ataupun organisasi kaum kontra revolusioner, sesuatu peta, rancangan, gambar atau tulisan tentang bangunan-bangunan militer atau rahasia militer ataupun keterangan tentang rahasia pemerintah dalam bidang politik, diplomasi, atau ekonomi; b. melakukan penyelidikan untuk musuh atau negara lain tentang hal tersebut pada huruf a atau menerima dalam pemondokan, menyembunyikan atau menolong seseorang penyelidik musuh; c. mengadakan, memudahkan atau menyebarkan propaganda untuk musuh atau negara lain yang sedang dalam keadaan tidak bersahabat dengan Negara Republik Indonesia; d. melakukan suatu usaha bertentangan dengan kepentingan negara sehingga, terhadap seseorang dapat dilakukan penyelidikan, penuntutan, perampasan atau pembatasan kemerdekaan, penjatuhan pidana atau tindakan lainnya oleh atau atas kekuasaan musuh; e. memberikan kepada/atau menerima dari musuh atau negara lain yang sedang tidak bersahabat dengan Negara Republik Indonesia atau pembantu-pembantu musuh atau negara itu, sesuatu barang atau uang, atau melakukan sesuatu perbuatan yang menguntungkan musuh atau negara itu atau pembantupembantunya, atau menyukarkan, merintangi atau menggagalkan sesuatu tindakan terhadap musuh atau negara itu atau pembantu-pembantunya;49
48
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi. 49
Undang-Undang
Subversi.
Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
62
Pasal 3, bunyi rumusannya, ialah: Yang dimaksudkan dengan sabotase ialah perbuatan seseorang yang dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud, atau yang mengetahuinya atau patut diketahuinya merusak, merintangi, menghambat, merugikan atau meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi usaha pemerintah, mengenai: a. bahan-bahan pokok keperluan hidup rakyat yang diimpor atau diusahakan oleh pemerintah; b. produksi, distribusi dan koperasi yang diawasi pemerintah; c. obyek-obyek dan proyek-proyek militer, industri produksi dan perdagangan negara; d. proyek-proyek pembangunan semesta mengenai industri, produksi, distribusi dan perhubungan lalu lintas; e. instalasi-instalasi negara; f. perhubungan lalu lintas (darat, laut, udara dan 50 telekomunikasi). Undang-Undang
Nomor
11/PnPs/Tahun
1963
Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi ini terkenal “karet” dan merupakan “jala tidak berujung” yang dapat menjerat siapapun. 51 Dan juga sanksi hukuman untuk pelaku yang melakukan tindak pidana subversi ini tergolong berat, hal ini sesuai dengan bab IV Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yaitu: Pasal 13, bunyi rumusannya ialah: (1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 1, 2, 3, 4 dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. (2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda setinggitingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Oleh karena itu, undang-undang ini telah dihapuskan pada 50
Undang-Undang
Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi. 51
http://
[email protected]. Diakses pada tanggal 15 April 2015
63
zaman pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie. Dengan alasan yang disebutkan:52 a. Bahwa hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati melekat pada diri manusia, meliputi antara lain hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Bahwa Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam masyarakat. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,53 telah ditambahkan 6 Pasal tentang kejahatan baru kedalam 6 Bab, menjadi Pasal 107 a, 107 b, 107 c,107 d, 107 e, dan 107 f KUHP. Kejahatankejahatan mengenai keamanan negara
yang baru ini, dapat
dikelompokkan ke dalam 3 macam, yakni: a. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (107 a, 107 c, 107 d, dan 107 e KUHP). b. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti dasar negara Pancasila. (107 b KUHP).
52
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. 53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
64
c. Kejahatan sabotase (107 f KUHP).54 Rumusan dari 6 Pasal berikut diantaranya adalah: Pasal 107 a KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”55 Pasal 107 b KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 107 c KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”56 Pasal 107 d KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”57
54
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 173
55
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
56
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
57
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
65
Pasal 107 e KUHP, bunyi rumusannya, ialah: “Dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun: a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketuai atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintahan yang sah.”58 Pasal 107 f KUHP, bunyi rumusannya, adalah: “Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun: a. barang siapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan pemerintah.”59
58
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
59
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
BAB IV SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat Dalam menentukan sanksi bagi bughat dibagi menjadi tiga bentuk, yakni; Pertama, bughat yang melakukan tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan tersebut, maka bughat mendapat hukuman mati (jarimah hudud). Akan tetapi, jika pemimpin/imam memberikan pengampunan (amnesti), maka bughat akan mendapatkan jarimah ta‟zir. Kedua, bughat yang melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum-minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya. Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka bughat akan mendapatkan jarimah hudud dan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh bughat.
66
67
Selanjutnya yang ketiga, bughat yang tidak memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan tidak memiliki daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang, maka pemerintah boleh menahan atau memenjarakan mereka sampai mereka kembali taat dan taubat. Sedangkan bughat yang memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan memiliki suatu daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang, maka pemerintah boleh memerangi mereka.1 Dalam persoalan pertanggungjawaban secara perdata, ada sedikit perbedaan pendapat sebagian ulama madzhab. Menurut Imam Abu Hanifah, bughat yang merusak dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka melancarkan aksinya tidak ada pertanggungjawabannya karena, mereka memiliki alasan yang kuat atas pemberontakannya itu, kecuali jika perusakan dilakukan terhadap kekayaan individu, maka bughat wajib mengganti dan mengembalikannya. Sedangkan sebagian ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bughat harus bertanggungjawab atas perbuatan dan semua barang yang dihancurkannya, baik yang ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.2 Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi bughat adalah hukuman mati atau diperangi, hal ini sesuai dengan apa yang terkandung di dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan, ketidaktenangan
dan pada
akhirnya
1
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 71
2
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 118
akan mendatangkan
68
kemunduran dalam suatu masyarakat (negara).3 Namun, memerangi bughat bukan semata-mata bermaksud untuk membunuh mereka, tetapi untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan dan mengajak mereka untuk taat dan patuh kembali kepada imam/pemimpin. Namun, walau sanksi bagi bughat adalah hukuman mati atau ditumpas pada saat terjadinya perang (diperangi), para ulama madzhab sepakat harus adanya proses dialog terlebih dahulu/peringatan dan ajakan untuk kembali taat sebelum memberikan hukuman. Proses dialog dilakukan dalam rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan pemberontakan dan menemukan jalan damai. Jika mereka menyebut beberapa kedzaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka memiliki fakta-fakta yang benar, maka imam harus berupaya menghentikan kedzaliman dan penyelewengan tersebut. Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali taat dan patuh kepada imam. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali patuh maka mereka harus dilindungi. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk taat dan malah menyerang dengan senjata, barulah diperbolehkan untuk memerangi dan membunuh mereka. Hal tersebut sesuai berdasarkan Q.S. AlHujuraat ayat 9:
ْت ْ ِ َّ َوإ ْْنْ َطآئِ َفتَ ِانْ ِم َنْٱلۡ ُم ۡؤ ِم ِن ْ َيْْٱ ۡقتَتَلُوْْإْفَأَ ۡص ِل ُحو ْإْبَيَۡنَ ُ َماْۖفَا ْنْْبَغ َۡتْإ ۡحدَ ٰىه ُ َماْعَ ََلْٱ ۡ ُۡلخ َۡر هْىْفَقَ َٰ ِتلُو ْإْٱل ِ ّْت ْثَ ِف ٓي َ ْإ َ ه ٰٓى ْ َٱ ۡم ِر ْٱ َّ ِللهْ ْفَا ْْن ْفَا ٓ َ ۡت ْفَأَ ۡص ِل ُ ِحو ْإ ْب َ ۡيَنَ ُ َما ِْْبألۡ َعدۡ لِْ ْ َو َٱ ۡقْ ِس ُط ٓو ْْإ ۖ ْإ َّن ْٱ َّ َللْ ْ ُ ُِي ُّب ْثَ ۡبِ ِغي ْ َح َّ ه ِ ِ ِ ْي َْ ْ ٱلۡ ُم ۡق ِس ِط 3
Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Rasail Media Grup, 2009), h. 48
69
Artinya:“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antar keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berperilaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Selain itu, langkah tegas pemerintah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 194:
فَ َم ِنْٱ ۡعتَدَ هْىْعَلَ ۡي ُ ُۡكْْفَأ ۡعتَدُ وْْإْعَلَ ۡي ِوْ ِب ِمث ِۡلْ َماْٱ ۡعتَدَ هْىْعَلَ ۡي ُ ُْۡكه Artinya: “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” Dalam hadist Nabi Muhammad SAW juga disebutkan:
ِ َّ ْ َْس ْع ُت َْر ُس ْْو ُل ِ َ ْقَا َل:ْشيْ ٍح ْْإللْعَلَ ْي ِو َْو َس َّ َّلْ ْي َ ُق ْْو ُل ْ َم ْن ْ َٱَتَ ُ ُْك َْو َٱْْمُْرُ ُْك ُْ َّ َل ْ َّ إلل َْص َْ ُ َو َع ْن ْ َع ْرفَ َج َة ْإ ْب ُن )َ َِج ْيعْْعَ ََل َْر ُج ٍلْيُ ِريْدُ ْ َٱ ْنْي ُّ َف ّ ِر َ ْقْ َ ََجا َعتَ ُ ُْكْفَا ْق ُتلُ ْو ُهْ(روإهْمسّل Artinya: “Dari A‟fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut‟. Strategi islah dengan cara dialog ini sebagai tindakan awal untuk menyelesaikan pemberontakan seperti yang tersirat dalam ayat di atas. Hal ini juga beberapa kali pernah dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a saat menjadi Khalifah. Misalnya ketika muncul kaum Khawarij, yakni segolongan kaum muslimin yang berlainan faham politik, menentang kebijakan serta menyatakan keluar dari pemerintah. Menurut riwayat, jumlah kaum Khawarij pada waktu itu diperkirakan 8000 orang. Khalifah Ali r.a mengutus Ibnu Abbas kepada kaum Khawarij
70
untuk mendekati dan berdialog dengan mereka agar kembali patuh kepada imam. Setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang diantara mereka kembali masuk kedalam pemerintahan, sedang 4000 lainnya tetap menjadi gerombolan. Sisanya tersebutlah yang kemudian boleh diperangi. Sebelum terjadinya perang Jamal (Unta), Khalifah Ali r.a juga pernah mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan dialog dan ajakan untuk patuh pada imam kepada penduduk Basrah. Bahkan Khalifah Ali r.a menekankan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran.4 Pendekatan dialog serta ajakan untuk kembali patuh kepada imam sebelum melakukan perang bagi pemberontak, menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran cinta damai, mengajarkan kasih sayang dan menjadi rahmat untuk alam semesta “rahmatan lil „alamin”. Pertimbangan lain, pertempuran dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Untuk menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan nash juga ada kaidah fiqh yang bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh tersebut adalah maslahat mursalah, yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadist, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.5
4
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 118
5
Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 17
71
B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar Apabila dalam suatu negara terdapat gerakan anti pemerintah yang dinyatakan sebagai gerakan makar, maka pemerintah wajib memerangi mereka, namun dengan ketentuan sebagai berikut:6 1. Gerakan makar untuk melawan pemerintahan yang sah dan adil dalam menetapkan kebijakan. 2. Gerakan makar dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan/senjata. 3. Gerakan makar disertai dengan pernyataan pemisahan diri dari pemerintah dikarenakan berbeda paham menyangkut kebijakan politik. 4. Gerakan makar tersebut dibawah satu komando yang terorganisir secara sistematis dan strategis. Meskipun pemerintah berhak untuk memerangi dan menumpas gerakan makar tersebut, tetapi pemerintah harus memulainya dengan memberikan peringatan terlebih dahulu dengan tujuan supaya mereka sadar dan menghentikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan makar agar bisa kembali mematuhi aturan dan kebijakan pemerintah secara baik.7 Dan apabila peringatan dari pemerintah tidak direspon dengan baik, maka pemerintah harus memerangi gerakan tersebut dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pemerintah tidak boleh membunuh anggota gerakan makar yang tertawan.
6
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), h. 60 7
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), h. 61
72
2. Pemerintah harus merawat anggota gerakan makar yang mengalami lukaluka dengan baik. 3. Pemerintah tidak boleh merampas harta benda mereka.8 Disini penulis mempersempit kajian tentang sanksi bagi pelaku makar dengan memfokuskan sanksi hukum yang terdapat dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP dan menambahkan dengan Pasal 108 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 104 KUHP jelas dinyatakan bahwa sanksi pidana bagi pelaku makar diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Sedangkan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 106 KUHP adalah bahwa pelaku makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Dan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 107 KUHP dinyatakan bahwa pelaku kejahatan makar sesuai dengan ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, dan ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pimpinan dan pengatur makar itu lebih berat, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama dua puluh tahun. Selanjutnya ketentuan sanksi pidana pada Pasal 108 KUHP dijelaskan bahwa pelaku kejahatan pemberontakan sesuai dengan ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dan dalam ketentuan ayat (2) disebutkan bahwa pemimpin dan pengatur pemberontakan dijatuhi hukuman yang lebih berat yaitu pidana penjara seumur hidup atau 8
Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 42
73
pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Rumusan kejahatan dalam Pasal 108 KUHP ini tidak terdapat dalam WvS Belanda, namun hanya ada didalam WvS Hindia Belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Hal ini karena untuk menjamin keselamatan pemerintah Hindia Belanda dari kemungkinan dari serangan-serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada Pasal 108.9
C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar Dalam hukum Islam, sanksi yang dijatuhkan bagi bughat pada prinsipnya telah jelas yaitu hukuman mati atau diperangi (jarimah hudud). Hal ini karena perbuatan mereka telah menimbulkan kekacauan dan keresahan di masyarakat, dan tentunya melanggar aturan syari’at Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun, selain hukuman mati bughat juga bisa dikenakan sanksi lainnya seperti hukuman ta‟zir maupun pertanggungjawaban secara perdata. Disini pemerintah tidak bisa langsung begitu saja memberikan hukuman mati atau memerangi kepada pelaku pemberontakan. Pemerintah harus secara hati-hati dan teliti dalam menjatuhkan hukuman agar tidak ada pelanggaran hak dan perlu ada pendekatan terlebih dahulu dengan para pemberontak yaitu berdialog secara langsung. Cara berdialog ini dimaksudkan untuk menemukan jalan keluar, menemukan solusi damai, menghindari peperangan dan mengajak mereka untuk kembali taat kepada imam. Apabila mereka bersedia taat kembali kepada imam maka mereka wajib untuk dilindungi. 9
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 28
74
Pemerintah/imam dalam hal ini harus berupaya menjauhi langkahlangkah provokatif dan menggunakan langkah preventif untuk mencegah terjadinya pemberontakan yang lebih serius. Karena dalam hal ini, apabila sudah timbul pemberontakan yang lebih serius lagi dengan menggunakan senjata, maka akan timbul kerugian dan kerusakan yang lebih besar dan akibatnya kerugian bagi kedua belah pihak. Dengan cara mengajak mereka berdialog tersebut tentunya sudah sesuai dengan anjuran dalam Al-Qur’an, apabila para pemberontak tersebut tidak juga bisa diajak untuk kembali taat kepada imam dan malah menyerang balik dengan menggunakan senjata, maka pemerintah wajib untuk memerangi para pemberontak tersebut. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, pelaku kejahataan makar sudah dapat dijatuhi hukuman apabila pelaku makar telah memenuhi tiga unsur sesuai yang dijelaskan dalam KUHP, yaitu timbulnya niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya itu tidak selesai bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, kejahatan makar termasuk dalam kualifikasi kejahatan yang belum selesai. Tetapi, disini ada hal perbedaan dalam pemberian hukuman bagi pelaku makar yang dalam kejahatannya belum selesai dan telah selesai. Untuk kejahatan yang belum selesai ini hukuman pidananya dikurangi sepertiga dari hukuman pidana yang kejahatannya telah selesai. Apabila pelaku makar melakukan kejahatan dalam kualifikasi selesai, maka pelaku makar bisa diberikan hukuman penuh sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP. Pemberian hukuman dalam hukum positif bagi pelaku tindak pidana
75
makar tidak semuanya diancam dengan hukuman mati. Hal ini dikarenakan pemberian hukuman dalam hukum positif ini berdasarkan atas kualifikasi kejahatan yang dilakukan oleh pelaku makar. Seperti pemidanaan dengan hukuman mati hanya ada dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP dan Pasal 124 ayat (3) KUHP. Sedangkan dalam pasal lainnya yang berkaitan dengan kejahatan makar ancaman hukumannya berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dari penjelasan di atas, menurut penulis disini ada perbedaan dan persamaan dalam pemberian sanksi terhadap bughat dan pelaku makar. Dari segi perbedaan, dalam hukum Islam bughat bisa diberikan sanksi apabila kejahatan yang dilakukan telah selesai dengan kata lain pemberontakan yang dilakukan telah sampai selesai dilakukannya. Imam tidak boleh memulai memerangi bughat terlebih dahulu sebelum ada dialog dan alasan pembangkangan mereka. Apabila hanya timbul niat saja bughat tidak bisa dijatuhi hukuman, tetapi diberikan arahan dan bertukar pikiran, namun tetap harus di waspadai oleh pemerintah. Sedangkan dalam hukum positif, pelaku makar sudah bisa diberikan sanksi baik kejahatan yang dilakukannya belum selesai maupun kejahatan yang dilakukannya itu telah selesai dilakukan. Sedangkan dalam hal persamaannya adalah baik bughat maupun pelaku makar, keduanya bisa dijatuhi hukuman mati. Dalam hal ini ada juga persamaannya yaitu sebelumnya pemerintah harus memulainya dengan memberikan peringatan dan bermusyawarah dengan para pemberontak agar mereka mau menghentikan kegiatannya tersebut. Jangan langsung memerangi mereka, karena hal ini bisa
76
menyebabkan apa yang mereka lakukan akan semakin bertambah buruk dan sulit untuk diajak kembali taat, dan tentunya menghindari peperangan yang yang akibatnya akan menimbulkan jatuhnya korban jiwa serta kerugian bagi warga sipil yang tak bersalah. Untuk itu, para pemberontak yang melarikan diri tidak boleh diperangi/dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dibunuh, harta mereka tidak boleh dijadikan rampasan perang dan keluarga mereka tidak boleh ditahan Namun, tetap pada akhirnya bughat maupun pelaku makar harus diberikan sanksi sesuai perbuatan yang mereka lakukan. Segala bentuk kejahatan yang secara jelas melawan hukum dan menimbulkan bentuk kekacauan tidak dapat dibenarkan. Proses dialog hanya untuk menemukan jalan damai dan menghindari pertempuran serta bertujuan untuk mencari penyebab pemberontakan itu terjadi, terlebih untuk mencegah kalau ada pihak lain yang ikut campur dan hanya ingin mengambil keuntungan dari pemberontakan tersebut. Sebagai catatan, ada beberapa peristiwa dalam sejarah Islam yang terkait seputar bughat. Seperti diangkatnya Ali r.a sebagai khalifah oleh pemberontak pemerintahan Utsman r.a. Hal ini disebabkan karena pada saat itu sedang terjadi kekacauan politik dan krisis pemerintahan sepeninggal wafat khalifah Utsman r.a. Karena Ali r.a dipandang mampu dan pantas mengisi kekosongan pemerintahan Islam pada saat itu, maka Ali r.a diangkat sebagai khalifah dan di bai‟at oleh umat Islam. Selanjutnya, kepala negara yang memperoleh kekuasaannya melalui pemberontakan seperti yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan terhadap
77
Abdullah bin Zubair pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan ini dikatakan berhasil dan menjadi sah dan ia tidak dihukumi sebagai bughat, karena ia menguasai negara dan mendapatkan pengakuan serta dukungan dari rakyat pada saat itu. Walaupun di antara mereka ada yang tunduk dengan sukarela dan ada yang terpaksa, tetapi mereka tetap menyebut Abdul Malik bin Marwan sebagai pemimpin. Dalam hukum tata negara di Indonesia apabila gerakan makar itu berhasil dilakukan maka, makar/kudeta itu bisa menjadi sumber hukum. Walaupun pada hakikatnya sumber hukum itu dibagi menjadi dua bentuk yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil, namun menurut Achmad Sanusi, sumber hukum dibagi menjadi dua bentuk yaitu sumber hukum normal dan sumber hukum abnormal. Sumber hukum normal dibagi lagi menjadi dua bentuk. Pertama, sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan UU yaitu, UU, perjanjian antar negara dan kebiasaan. Kedua, sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan UU, yaitu perjanjian doktrin dan yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum abnormal yaitu Proklamasi, Revolusi dan Coup d‟etat (kudeta). Gerakan
makar/kudeta
yang
berhasil
dilakukan
itu
dapat
menyebabkan suatu perubahan konstitusi pada suatu negara, tidak menutup kemungkinan apabila terjadi di Indonesia. Mekanisme perubahan konstitusi, menurut George Jellinek mengklasifikasikan perubahan konstitusi secara garis besar
ke
dalam
2
(verfassungsanderung)
jenis dan
cara, melalui
yakni
melalui
prosedur
prosedur
informal
formal
(verfassung-
78
swandlung).10 Melengkapi pendapat George Jellinek, C.F. Strong membagi lagi secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur formal (verfassungsanderung) tersebut ke dalam empat cara, yakni; Pertama, perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi melalui aturan-aturan tertentu. Kedua, perubahan melalui referendum. Ketiga, perubahan oleh mayoritas dari seluruh negara bagian, dalam hal ini pada negara federal. Dan keempat, perubahan oleh lembaga khusus. Dari penjelasan di atas menurut penulis, bahwa bughat ataupun pelaku makar menjadi bebas dari sanksi hukuman apabila gerakan pemberontakan yang dilakukan dikatakan berhasil. Maksud dari dikatakan berhasil disini adalah gerakan tersebut mendapat dukungan dari rakyat dan pemimpin yang terlampau dzalim. Dalam hal pemberontakan ini harus menjadi bahan koreksi bagi pemerintah, karena para pemberontak tentunya mempunyai dasar-dasar argumen mengapa mereka melakukan kejahatan pemberontakan tersebut. Keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentu harus sesuai dengan amanat yang dititipkan oleh rakyat kepada pemimpin. Kekuasaan yang sedang dipegang jangan dijadikan alat untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan menjauh dari prinsip-prinsip seorang pemimpin yang harusnya bersifat adil dan mensejahterakan rakyat. Berbeda halnya dengan pemberontakan yang ada pada masa sekarang ini. Pemberontakan dilakukan kebanyakan karena campur tangan dari pihak
10
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Jilid I, h. 144
79
asing/luar yang ingin mengambil keuntungan dari pertempuran tersebut dengan dalih dan argumen mereka untuk melindungi negara yang bertikai. Namun, ada juga pemberontakan yang dilakukan memang karena tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Proses penyelesaiannya pun berbeda, kalau dalam masa sekarang ini proses dialog atau musyawarah dilakukan kalau pemberontakan itu sudah terjadi dan korban yang jatuh semakin banyak. Barulah setelah itu kesepakatan damai bisa terwujud. Itupun biasanya diperantai oleh pihak ketiga. Tapi ada juga pemberontakan yang tak kunjung selesai, memakan waktu lama dan korban yang ditimbulkan akibat perang tersebut semakin banyak. Seperti contoh apa yang terjadi di Timur Tengah, seperti di negara Suriah dan Libya. Sedangkan di Indonesia salah satu contohnya adalah kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah terjadi dari tahun 1976. GAM didirikan oleh Hasan Tiro pada tahun 1976 setelah ia kembali dari pengasingan. Alasan Hasan Tiro mendirikan GAM adalah bahwa pada saat itu Aceh mendapatkan ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan pembangunan dari pemerintah pusat. Hal inilah yang menyebabkan Hasan Tiro ingin mengembalikan kejayaan Aceh seperti masa kerajaan dulu. Setelah telibat konflik yang begitu lama, akhirnya proses penyelesaian konflik antara GAM dengan pemerintah Indonesia baru bisa tercapai dengan melalui proses dialog yang diperantarai oleh pihak ketiga. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Perdamaian (Memorndum of Understanding-MoU) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Dalam hal ini menunjukan, proses penyelesaian konflik yang termasuk
makar
menurut
hukum
positif
ini
menggunakan
metode
80
dialog/musyawarah. Namun dalam kasus ini proses dialog/musyawarah baru terjadi setelah kedua belah pihak antara pemerintah dan GAM sudah terlibat pertempuran dan jatuh korban. Walaupun dalam konteks ini pemerintah telah bertindak tidak adil, tetap saja tindakan GAM ini dilarang baik secara agama maupun negara. Karena dilakukan terhadap pemerintahan yang sah. Masih banyak cara yang lebih relevan tanpa harus melakukan kekerasan. Dalam pandangan Fiqh Siyasah pun jelas bahwa bughat maupun pelaku makar ini tindakannya tidak dibenarkan. Karena menyerang terhadap suatu pemerintahan atau kepemimpinan yang sah merupakan perbuatan yang melanggar syari’at Islam dan ketetapan hukum positif. Alasannya, dengan memberontak pemerintah yang sah dan berdaulat, justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah dari sebelumnya. Bahkan sangat mungkin akan timbul berbagai fitnah, kerusakan, kekacauan, pelanggaran hukum dan pertumpahan darah. Prinsip ketaatan harus dimiliki oleh setiap warga negara, apabila ada penyimpangan dalam suatu pemerintahan maka, sebagai warga negara yang baik harus mengedepankan sikap yang bermoral dan melakukan musyawarah agar menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Karena dalam suatu negara tentunya memiliki hukum masing-masing yang gunanya untuk mengatasi segala penyimpangan baik itu yang menyangkut setiap individu warga negara maupun pemimpin negara tersebut. Dengan akibat dari pemberontakan ini yang dinilai sangat merugikan masyarakat dan berdampak buruk terhadap suatu negara, untuk itu perlu adanya suatu hubungan yang harmonis antara rakyat dengan pemimpinnya.
81
Tujuan dari suatu negara tentu ingin agar terciptanya kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan di negaranya tersebut. Apabila terjadi ketidaksepahaman dan komunikasi yang kurang baik antara rakyat dengan pemimpinnya, maka diantara keduanya bisa memusyawarahkan permasalahan yang ada sehingga tercapai keputusan bersama yang baik untuk semuanya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian penelitian yang berjudul Sanksi Bughat dan Makar Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Dalam pandangan hukum Islam, bughat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang sudah tidak taat lagi kepada imam/pemimpin yang sah. Dalam hal ini, jelas telah melanggar syari’at Islam yang ketentuan hukumnya disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59, Q.S. Al-Hujuraat ayat 9-10 dan dalam Al-Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim. Karena memang dipandang sebagai suatu kejahatan yang serius, bahkan para ulama madzhabpun memberikan pandangan mengenai kejahatan pemberontakan ini. Walaupun para ulama madzhab memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai bughat ini, namun pada intinya tetap sama yaitu melarang kejahatan pemberontakan yang dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam hal ini jelas bahwa, Islam melarang pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan yang sah, karena lebih banyak menimbulkan masalah dan kerugian yang besar dari pada mendatangkan manfaatnya. Selanjutnya menurut hukum positif di Indonesia, makar juga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Dalam pengertiannya, makar juga diartikan sebagai suatu usaha untuk menyerang keamanan Presiden dan Wakilnya,
82
83
usaha untuk menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara dan suatu usaha untuk menyerang kepentingan hukum tegaknya pemerintahan negara. Kejahatan ini memang dianggap sebagai kejahatan yang mengganggu kestabilan dan disintegrasi suatu negara. Bahkan dalam hukum positif, kejahatan makar ini ditempatkan secara khusus dalam Buku II Bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam bab ini disebutkan secara jelas bagaimana pandangan hukum positif mengenai pengaturan kejahatan makar beserta sanksinya bagi pelaku makar. 2. Mengenai bentuk sanksi apa yang dapat dijatuhkan bagi bughat dalam kejahatan
pemberontakan,
seperti
yang
telah
disebutkan
dalam
pembahasan sebelumnya bahwa bughat dapat dijatuhi dengan hukuman mati (jarimah hudud). Dasar dari sanksi ini telah jelas disebutkan dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi bughat. Namun, sebelum sanksi diberikan perlu ada upaya dari imam/pemimpin untuk mengajak kembali taat, apabila ajakan ini malah disambut dengan tidak baik dan ajakan perang, maka pemerintah wajib memeranginya sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujuraat ayat 9. Sedangkan sanksi bagi pelaku makar sudah bisa diberikan apabila pelaku makar telah memenuhi tiga unsur untuk dapat dipidana yaitu timbulnya niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya itu tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri. Walaupun kejahatannya belum selesai tetapi hukumannya dikurangi sepertiga, dan untuk kejahatan yang sampai kualifikasi selesai maka, pelaku makar bisa diberikan sanksi penuh sesuai
84
dengan apa yang telah dijelaskan dalam KUHP. Dalam KUHP disebutkan bahwa sanksi bagi pelaku makar yang menyerang keamanan Presiden atau Wakilnya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 104 KUHP. Selanjutnya, sanksi hukum bagi pelaku makar yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Ini sesuai dengan Pasal 106 KUHP. Sedangkan sanksi hukum bagi makar yang menyerang kepentingan tegaknya pemerintahan negara adalah pidana penjara 15 tahun dan untuk para pemimpin dan pengatur makar tersebut dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. 3. Dari segi perbedaan, dalam hukum Islam bughat adalah pelaku tindak pidana
pemberontakan
pemimpin
yang
sah
yang
melakukan
dalam
negara
pemberontakan
Islam.
Sementara
terhadap tindakan
pemberontakannya disebut al-Baghyu. Sedangkan dalam hukum positif, makar adalah tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana makar. Dan dalam hukum Islam, bughat bisa dimaafkan dan dilindungi apabila bughat bersedia kembali taat dan bertaubat, sedangkan dalam hukum positif pelaku makar tetap harus menjalankan hukuman pidana mati atau hukuman penjara. Dan dari segi persamaan dalam hukum Islam maupun hukum positif, bughat maupun pelaku makar sama-sama melakukan suatu usaha kejahatan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
85
Dalam hal pemberian sanksi hukuman, bughat maupun pelaku tindak pidana makar dapat dijatuhi hukuman mati.
B. Saran-Saran Berkaitan dengan pembahasan Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ini, penulis mempunyai saransaran sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu negara maju dan dengan umat Islam terbesar di dunia, sudah saatnya Indonesia mampu menjadi contoh bagi negara lain dalam hal menangani masalah pemberontakan ini. Karena seiring zaman, pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok hanya menimbulkan kerusakan dan memecah belah persatuan umat. Sudah tentu hal ini akan membuat suatu negara tidak aman dan tidak sejahtera. 2. Kepada seluruh masyarakat dan pemerintah harus mengedepankan sikap musyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah agar menemukan titik temu yang akan menghasilkan keputusan bersama dan semua merasa aman, nyaman dan sejahtera hidup sebagai warga negara. 3. Kepada lembaga hukum pemerintah harus memberikan hukuman yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan agar ada efek jera untuk para pelaku pemberontakan/makar yang ada di Indonesia, namun dengan catatan hukuman yang diberikan harus adil dan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Asqalani, Al, Ibn Hajar, Bulughu al-Maram, (Pustaka: Daru Ihya al-Kutub alArabiyah 775 H-825 H) Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) __________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Jilid I. Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007) Basyir, Ahmad Azhar, Ikhtisar Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: UII Press, 2001) Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) Dinuth, Alex, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997) Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Penerjemah Tim Tsalisah, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007) Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008) Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet 17 Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. V Hasan, A, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967) Iqbal, Afzal, Diplomasi Islam, penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. I. Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet I Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah 1978), Cet X
Mada,
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
86
87
Muthohar, Ali, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005) Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976) Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1980) Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999) Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Rasail Media Grup, 2009) Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia 1992), Edisi 1, Cet 2 Shiddiqi, Ash, Tengku Muhammad Hasbi, Islam dan Politk Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002) Subroto, Hendro, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008) Suma, Muhammad Amin...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet I Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) Tanudirjo, Daud Aris...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2012), Cet I Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989) Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet I
PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
88
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PPns/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris), Departemen Agama RI, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke I, (Jakarta: Balai Pustaka) Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
SITUS INTERNET http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015 http://www.pandanganislammengenaiseparatisme.com.
Diakses pada tanggal 11
Maret 2015 http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015 http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintahpenanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015 http://
[email protected]. Diakses pada tanggal 15 April 2015