4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.) Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air (Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele adalah sebagai berikut (Saanin 1984): Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Telestoi
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Sp.esies
: Clarias sp.
Gambar 1 Ikan lele (Clarias sp.) Lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Mulut ikan lele relatif besar yaitu ± ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda sp.esifik lainnya dari ikan lele dumbo adalah adanya kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Khairuman dan Khirul 2002). Morfologi ikan lele dapat dilihat pada Gambar 1.
5
2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele Ikan yang tergolong lemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, lemak sedang 3-5% dan lemak tinggi lebih dari 7%. Ikan yang berprotein tinggi mempunyai kisaran protein 15-20% (Venugoval 2008, Stansby & Olcott 1963). Ikan lele termasuk dalam bahan pangan berprotein tinggi-lemak rendah. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komponen
Jumlah (%)
Air Abu Lemak Protein Karbohidrat (by difference) Sumber: Nurilmala et al. (2009)
79,73 1,47 0,95 17,71 0,14
2.2 Surimi (Isolat Protein Basah) Surimi merupakan protein miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat perlakuan pencucian dengan air dan ditambahkan cryoprotectant sebagai penstabil. (Park & Morrissey 2000). Produksi komersial surimi dibuat dengan memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang diikuti proses pencucian 1-3 kali menggunakan air atau larutan garam. Kemudian dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mencegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku (Xiong 2000). Pencucian pada dasarnya untuk mengurangi protein yang larut dalam air, diantaranya protein sarkoplasma, yang dapat mengganggu pembentukan gel surimi, dan komponen lain yang dapat menurunkan kualitas produk. Protein sarkoplasma berada dalam cairan dan diantara serat otot, termasuk banyak enzim metabolik yang dapat mengurangi kesetabilan sifat fungsional protein selama penyimpanan (Park & Lin 2005) Sifat fungsional dan komposisi surimi bervariasi tergantung sp.esies ikan yang digunakan (Park & Morrissey 2000). Secara teknis semua jenis ikan bisa digunakan menjadi bahan baku surimi. Meskipun demikian, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil surimi yang lebih baik. Ikan
6
air tawar seperti ikan lele, tawes, nilam, dan lainnya juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya, untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi (Peranginangin et al. 1999). Tingkat kesegaran ikan terutama tergantung pada waktu dan suhu. Perubahan biokimia dan biofisika ikan selama fase rigor mortis secara signifikan akan merubah sifat fungsional protein ikan. Ikan sebaiknya diproses segera setelah memasuki fase rigor (Pigott 1986 diacu dalam Park & Morrissey 2000). Penggunaan ikan beku sebaiknya dihindari untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik karena elastisitas terbaik hanya didapat dari ikan segar. Dengan kata lain kualitas surimi menjadi rendah apabila digunakan ikan yang sudah dibekukan (Keay 1986). Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang selama proses pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15oC akan lebih banyak melarutkan protein yang larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15oC (Suzuki 1981). Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah, serta pada ikan berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1984). Frekuensi pencucian yang diperlukan untuk menghasilkan surimi berkualitas baik tergantung pada tipe serta komposisi dan kesegaran ikan. Jumlah pencucian dan perbandingan air dengan daging dalam proses pencucian bervariasi diantara pengolah surimi. Perbandingan air dan daging lumat dalam pencucian surimi yang dilakukan di darat biasanya berkisar dari 4;1 sampai 8:1. Proses pencucian ini sering diulang sebanyak 3-4 kali agar dapat menghilangkan protein sarkoplasma. Sedangkan para pengolah dilaut akan melakukan pencucian menggunakan perbandingan air dan daging yang lebih rendah (1:1 sampai 3:1) dan jumlah pencucian sebanyak satu atau dua kali karena keterbatasan air tawar
7
(Park & Morrissey 2000). Pencucian yang efisien dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya perbandingan air dan daging, umur ikan, kondisi dalam tangki pencucian, kecepatan dan kondisi dalam pengadukan, serta suhu air (Park & Lin 2005). Surimi dijaga kesetabilannya menggunakan cryoprotectants selama penyimpanan. Cryoprotectants yang umum digunakan pada surimi beku adalah 5% sorbitol, 4% gula, dan 0.3% natrium polifosfat. Akan tetapi surimi yang bahan bakunya berasal dari perairan tropis akan menggunakan cryoprotectants yang mengandung 6% gula dan 0.3% natrium polifosfat. Sorbitol adalah bahan kimia yang bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan protein (Charles & Mankoo 2005). Surimi sebagai bahan baku dipasarkan dalam bentuk beku. Surimi yang ditambahkan dalam makanan laut berfungsi meningkatkan cita rasa produk. Untuk meningkatkan cita rasa biasanya ditambahkan anggur mirin dan agen penutup lainnya yang membantu meningkatkan aroma atau menutupi aroma amis. Besar kecilnya aroma amis yang ditimbulkan tergantung pada tipe ikan dan proses pembuatan surimi (Charles & Mankoo 2005). 2.3 Protein Ikan Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein 15-25%. Protein daging ikan terbagi menjadi 3 macam, yakni protein sarkoplasma, miofibril dan stroma. Protein sarkoplasma meliputi 30% dari total protein otot, kadar protein miofibril 65-75% dan protein stroma 3-5% dari total protein otot (Okada 1992). 2.3.1 Sarkoplasma Protein sarkoplasma meliputi sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme energi dan glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma memiliki bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karaktristik fisik ini mungkin menyebabkan daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Nakai dan Modler 2000). Protein sarkoplasma larut dalam air (larut dalam ion yang berkekuatan rendah). Protein sarkoplasma sebagian besar terbuang pada saat pencucian surimi secara konvensional. Pada awalnya, protein sarkoplasma jika tidak dibuang akan mengganggu proses pembentukan gel pada protein myofibril dan mempengaruhi gelasi surimi. Hal ini terjadi apabila konsentrasi protein sarkoplasma tinggi ketika
8
protein miofibril dipanaskan selama proses pembuatan makanan, yang akan merubah fungsi dan memotong protein miofibril sehingga berpotensi menghalangi interaksi myofibril dan juga akan berpengaruh pada kemampuan pembentukan gel dari surimi. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa protein sarkoplasma tidak mengganggu sifat pembentukan gel protein miofibril (Lanier & Carjaval 2005). Miogen merupakan bagian dari protein sarkoplasma yang larut air. Kandungan miogen dalam otot ikan tergantung sp.esiesnya. Umumnya ikan pelagis mempunyai jumlah miogen lebih tinggi dibandingkan ikan demersal. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari 2 komponen yaitu fraksi protein yang disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut bertanggung jawab dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981). 2.3.2 Miofibril Protein miofibril berperan penting dalam proses penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (50-60% dari total protein miofibril) (Suzuki 1981). Protein miofibril akan mengalami denaturasi pada kisaran nilai pH kurang dari
6,5
sehingga
berdampak
pada
kemampuan
pembentukan
gel
(MacDonald et al. 2000). Pembentukan gel protein miofibril dari surimi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril
dengan bahan lain
yang ditambahkan
seperti
cryoprotectants (Lee 1990 diacu dalam Lee et al. 1992). 2.3.3 Stroma Protein stroma merupakan bagian protein paling sedikit, membentuk jaringan ikat yang bersifat tidak larut air, larut asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0.01-0.1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot (Suzuki 1981). Protein stroma terdiri dari protein ekstraseluler, yaitu kolagen, retikulin, dan elastin serta komponen pendukung lainnya (Nakai & Modler 2000). Bila jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen berubah menjadi gelatin. Ikan yang berdaging
9
gelap memiliki stroma lebih banyak dibandingkan ikan berdaging putih (Hashimoto et al. 1979 diacu dalam Suzuki 1981). 2.4 Dessert Dessert merupakan hidangan penutup dan biasanya mempunyai rasa manis. Salah satu produk dessert yang cukup terkenal di Jawa Barat adalah cendol atau dawet di Jawa Tengah. Cendol adalah jenis minuman yang dibuat dari tepung beras, tepung tapioka, tepung hunkwe atau campuran dari beberapa jenis tepung dan terbentuk menjadi bentuk tertantu akibat gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95.80 kkal, karbohidrat 8.25 g, protein 1.21 g, dan lipid 6.44 g (Anonim 2001). Cendol siap pakai dijual dengan cara direndam dalam air, agar setiap butiran cendol tidak lengket satu dan lainnya, dikemas dalam kemasan plastik dan disimpan di lemari pendingin. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari aroma daun suji atau daun pandan serta memiliki tekstur yang halus. Ada dua jenis cendol di pasaran yaitu cendol tepung hunkwe dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwe berwarna hijau terang dan kenyal sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan kenyal. Pada proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambahkan pewarna hijau dan air, kemudian dimasak sampai kekentalan tertentu, setelah itu dicetak dengan cetakan cendol (Santoso 2000). 2.5 Tepung Tapioka Tepung tapioka dibuat dengan cara mengekstrak ketela segar, selanjutnya dikeringkan, dan dihaluskan hingga menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka merupakan bahan baku dalam pembuatan kerupuk, lem dekstrin, gula cair, biskuit/kue kering dan biji mutiara. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83 % amilopektin. Bentuk granula pati tapioka hampir sama dengan pati kentang yaitu bulat telur dengan ujung terpotong. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2. Pati (tapioka) umumnya ditambahkan ke dalam emulsi daging sebagai pengental dengan proporsi 5-10 % dari berat emulsi daging ikan tersebut. Penerimaan terhadap campuran daging dengan tepung tapioka akan lebih tinggi
10
dibandingkan campuran tepung tapioka dengan tepung lainnya. Penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena daya penahan airnya yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil pada citarasa. Selain itu, harga tepung tapioka lebih murah dan memberikan citarasa netral dan warna yang terang pada produk (Radley 1976). Tabel 2. Komposisi ubi kayu (per 100 gram bahan) Komponen Kadar Kalori 146,00 kal Air 62,50 gram Phosp.hor 40,00 mg Karbohidrat 34,00 gram Kalsium 33,00 mg Vitamin C 30,00 mg Protein 1,20 gram Besi 0,70 mg Lemak 0,30 gram Vitamin B1 0,06 mg Berat dapat dimakan 75% Sumber : Rahadiyati dan Agusto (1992) 2.6 Daun suji Sejak zaman dahulu orang telah menggunakan zat warna alami sebagai pewarna bahan makanan, misalnya zat warna hijau dari daun suji, zat warna kuning dari kunyit dan sebagainya. Pewarna makanan ini digunakan untuk memperoleh beberapa keuntungan yaitu, memperbaiki penampakan makanan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih baik kepada konsumen tentang karakteristik makanan (Caunsell 1991). Daun suji pada umumnya diekstrak secara tradisional dengan cara ditumbuk sampai halus hingga keluar zat warna hijaunya. Bentuk daun suji dapat dilihat pada Gambar 2. Daun suji banyak digunakan sebagai bahan pewarna hijau makanan, kuekue tradisional dan minuman seperti untuk pewarna hijau pada cendol. Daun suji adalah tanaman perdu yang dapat mencapai tinggi 8 m. Bentuk daunnya memanjang dan tersusun melingkar, tanaman ini sesekali berbunga. Keindahan bentuk daunnya menyebabkan tanaman ini seringkali digunakan sebagai salah satu tanaman hias (Boga 2008).
11
Gambar 2 Daun suji (Pleomale angustifolia) Selain berfungsi sebagai pewarna hijau, daun suji juga memberikan aroma harum yang khas, meskipun tidak seharum daun pandan. Dalam penggunaannya, daun suji seringkali dicampur daun pandan agar aroma makanan, kue, dan minuman yang dihasilkan menjadi lebih harum. Cara penggunaannya cairan campuran hasil perasan daun suji dan daun pandan ditambahkan ke dalam bahan kue atau makanan yang diinginkan (Boga 2008). Tumbuhan daun suji memiliki rasa yang tidak pahit, berbau harum dan bersifat dingin. Beberapa bahan kimia yang terdapat dalam daun suji diantaranya saponin dan flavonoid. Daun suji memiliki bermacam-macam nama daerah misalnya suji, hanjuang merak, dan jingkang (Sunda), jejuang bukit dan pendusta utan (Ambon), semar (Jawa) dan bakong (Madura). Bagian daun, akar dan batang dapat dimanfaatkan untuk mengobati beberapa penyakit. Efek farmakologis akar daun suji diantaranya sebagai obat nyeri lambung dan penawar racun, sedangkan daunnya untuk anti-inflamasi serta anti disentri. Daun suji berguna untuk mengobati penyakit disentri, beri-beri, kencing nanah dan nyeri haid (Hariana 2006 diacu dalam Chandra 2008). 2.7 Rumput Laut Rumput laut adalah salah satu jenis alga yang dapat hidup di perairan laut dan merupakan tanaman tingkat rendah yang memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun. Rumput laut atau alga juga dikenal dengan nama seaweed merupakan bagian terbesar dari rumput laut yang tergolong dalam divisi Thallophyta. Ada empat kelas dalam divisi Thallophyta yaitu
12
Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru hijau). Alga hijau biru dan alga hijau banyak yang hidup dan berkembang di air tawar, sedangkan alga merah dan alga coklat secara eksklusif ditemukan di habitat laut (Winarno 1990). Euchema cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae), yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Perairan yang cocok untuk budidaya Euchema cottonii ialah perairan yang terhindar dari gelombang ombak kuat, biasanya berupa teluk atau selat (Winarno 1990). Rumput laut Euchema cottonii dapat dilihat pada Gambar 3. Klasifikasi Euchema cottonii menurut Dotty yang dikutip Atmadja et al. (1996) adalah sebagai sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Girgartinales
Famili
: Soliraceae
Genus
: Euchema
Spesies
: Euchema cottonii atau Kappaphycus alvarezii (Doty)
Gambar 3 Morfologi rumput laut Euchema cottonii Ciri fisik Euchema cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak terlalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu, atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Penampakan Thallus bervariasi mulai dari
bentuk
13
sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak tersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama ke luar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal) (Atmadja et al. 1996). Euchema cottonii tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram, cabang pertama dan ke dua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan
ciri
khusus
mengarah
kearah
datangnya
sinar
matahari
(Atmadja et al. 1996). Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk. Jaringan tengah terdiri dari filamen-filamen yang berwarna, dikelilingi oleh sel-sel besar, kemudian dilapisi korteks dan lapisan epidermis (Anggadireja 1993). Komposisi kimia rumput laut dipengaruhi oleh jenis rumput laut, fase (tingkat pertumbuhan), dan umur panennya. Komposisi kimia rumput laut bervariasi antara individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungan. Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan protein dan lemaknya sangat kecil (Winarno 1990). Komposisi kimia rumput laut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia rumput laut (dalam 100 g bahan kering) Kadar Jumlah Air (%) 13.9* Protein (%) 2.69* Lemak (%) 0.37* Lemak kasar (%) 0.95** Mineral Ca (ppm) 22.39** Mineral Fe (ppm) 0.121** Mineral Cu (ppm) 2.763** Mineral Pb (ppm) 0.04** Mineral Iod (ppm) 10-20** Karagenan (ppm) 61.52** Sumber : *Istini et al. (1986) dan **Winarno (1990) Rumput laut dapat dijadikan sumber gizi karena umumnya mengandung kabohidrat, protein, sedikit lemak dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam sepert natrium dan kalium. Rumput laut merupakan sumber vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, C serta mengandung mineral seperti K, Ca, P, Na, Fe, dan I (Anggadireja 1993).
14
2.8 Santan Kelapa Santan merupakan emulsi minyak dalam air yang warnanya seperti susu. Santan berasal dari ekstraksi daging buah kelapa dengan atau tanpa ditambahkan air. Dalam santan terdapat lemak, air, karbohidrat, protein dan lain-lain. Komponen utama dalam santan yaitu air dan lemak. Santan di Thailand sangat popular sebagai bahan tambahan dalam masakan, biasanya digunakan sebagai bumbu kari dan dessert (Tansakul dan Chaisawang 2005). Menurut Hagenmaier et al. (1973) diacu dalam Djarkasi (1995) sebagian besar komponen daging kelapa, terutama bahan-bahan yang larut dalam air banyak terdapat dalam santan. Beberapa macam protein yang tidak larut air juga terdapat dalam santan, karena ukuran partikel protein yang sangat kecil mampu melewati saringan pada waktu pengepresan. Menurut Somaatmadja et al. (1973) diacu dalam Djarkasi (1995) pembuatan santan dapat dilakukan dengan proses basah yaitu sejumlah parutan kelapa dicampur dengan air. Proses ini banyak dilakukan di rumah tangga. Air kelapa dapat digunakan dalam pembuatan santan yaitu untuk dicampur dengan parutan kelapa. Semakin lama pengadukan air dengan kelapa, semakin banyak komponen daging yang terlarut. Setelah pengadukan, kemudian disaring dan diperoleh santan. Menurut Thampan (1981) diacu dalam Djarkasi (1995) ekstraksi santan dilakukan dengan penambahan air setengah sampai dua kali berat daging kelapa kemudian dimasukan ke dalam screw press atau expeller untuk mengekstraknya. Komposisi kimia santan bervariasi tergantung pada varietas kelapa yang digunakan, umur buah dan daerah dimana kelapa tumbuh (Grimwood (1975) diacu dalam Djarkasi (1995)). Adanya penambahan air pada pembuatan santan sangat mempengaruhi komposisi kimia santan tersebut, seperti terlihat pada Tabel 4. Somaatmadja et al. (1974) diacu dalam Djarkasi (1995) mengatakan bahwa santan yang diawetkan hanyalah krimnya, yaitu bagian teratas dari santan yang mengandung lemak kurang lebih 41,21% dan protein 5,56%. Menurut Tejada (1973) diacu dalam Djarkasi (1995) santan krim mulai terkoagulasi pada suhu
80,9oC.
Pasteurisasi
dibawah
suhu
koagulasi
dapat
mencegah
15
menggumpalnya santan krim. Pengulangan proses strerilisasi pada suhu 100 oC, 105oC dan 110oC selama 15 menit dapat memperpanjang umur simpan santan sampai 3 bulan, sedangkan krim santan yang diolah pada suhu 121oC akan mempunyai masa simpan minimal 6 bulan. Tabel 4 Komposisi santan murni tanpa penambahan air dan santan dengan penambahan air, untuk 100 gr contoh Komposisi
Santan Murni
Santan dengan peanambahan air 122 2 10 7,6 25 0,1 0 0 80 100
Kalori 324 Protein (gr) 4,2 Lemak (gr) 34,3 Karbohidrat (gr) 5,6 Kalsium (mg) 14 Posfor (mg) 1,9 Vitamin A (IU) 0 Thiamin (mg) 0 Air (gr) 54,9 Bagian yang dapat 100 dimakan(%) Sumber : Cheosakul (1967) diacu dalam Djarkasi (1995)
Kandungan air dan protein yang tinggi dalam santan kelapa dapat menyebabkan santan mudah mengalami kerusakan. Dengan adanya air maka lemak dari santan dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Adanya asam-asam lemak, akan menimbulkan bau dan rasa tengik. Pemanasan dapat mengawetkan santan, namun dapat juga merusak bentuk emulsinya (Cheosakul 1967 diacu dalam Djarkasi (1995). 2.9 Pemasakan Pemasakan merupakan suatu teknik pengolahan dengan menggunakan panas. Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan ini dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori maupun kimia (Harris dan Karmas
1989).
Menurut
Apriyantono
(2002),
pengolahan
juga
dapat
menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, kehilangan zat-zat gizi dan
16
perubahan sifat sensori kearah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa. Pemasakan bahan pangan dapat mempengaruhi bentuk kimia zat gizi yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesediaannya, terutama zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral (Latunde-Dada Dan Neale 1986 diacu dalam Chandra 2008). Proses pemasakan pada makanan akan menyebabkan protein, lemak, dan karbohidrat akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang justru akan memudahkan dalam proses pencernaan dalam tubuh. Namun, vitamin dan mineral akan menjadi berkurang bahkan rusak dengan panas yang tinggi (Mudjajanto 1991). Pemanasan selama proses pembuatan makanan dapat juga mengakibatkan kandungan air menjadi rendah (Winarno dan Fardiaz 1973). Damayanti dan Eddy 1995 menyatakan proses pemanasan pada saat pengolahan akan menyebabkan protein mengalami degradasi dan keadaan ini tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizinya tetapi aktivitas protein sebagai enzim dan hormone akan hilang. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari proses pengolahannya. Penggunaan peralatan masak juga dapat mempengaruhi keberadaan dari mineral. Penggunaan perkakas besi dapat menaikan kandungan besi dalam bahan pangan yang diolah dengan menggunakan perkakas tersebut (Gaman dan Sherrington 1992). 2.10
Umur Simpan Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi
hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan, meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan (IFT 1974 di acu dalam Arpah 2001). Umur simpan mengandung pengertian bahwa penyimpanan dilakukan hanya pada suatu kondisi tetap, sedangkan waktu kadaluarsa adalah hasil penggabungan nilai umur simpan pada berbagai kondisi penyimpanan. Waktu kadaluarsa yang tercantum pada label produk biasanya tidak disertai kondisi penyimpanan. Dalam penulisan nilai umur simpan selalu dicantumkan kondisinya, utamanya suhu penyimpanan (Arpah 2001).
17
Faktor mutu relevan dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya. Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai kriteria atau initial relevan faktor dalam penentuan waktu kadaluarsa pangan (Labuza 1982 dalam Arpah 2008). Sheard et al,. (2000) di acu dalam Arpah (2001), mengukur ketengikan melalui peningkatan nilai thiobarbirturic acid (TBA) dalam menentukan waktu kadaluarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran mula-mula adalah bilangan TBA=0.0 atau mendekati nol, sedangkan batas waktu kadaluarsa ditetapkan pada nilai bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehida/kg. Produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi tidak berkolerasi cukup besar dengan sifat organoleptik. Penentuan waktu korelasi kadaluarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif. Reaksi deteriorasi adalah perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang berlangsung pada produk pangan yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi; perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik dan nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi dapat dilihat pada Tabel 5. Absorpsi oksigen pada minyak nabati selama penyimpanan menyebabkan meningkatnya viskositas minyak serta terbentuknya flavor tengik.
Minyak
berekasi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi minyak dan lemak adalah hidroperoksida, sedangkan produk sekundernya antara lain aldehid, asam keto dan asam hidroksi (Davidek 1990 diacu dalam Arpah 2001). Malonaldehid merupakan produk sekunder (akhir) dari rangkaian hasil reaksi oksidasi minyak dan merupakan indikator ketengikan, khususnya pada produk pangan. Kuantitasnya selama proses oksidasi biasanya
18
diukur dengan menentukan bilangan TBA (thiobarbituric acid). Pembentukan malonaldehid diduga melalui beberapa jenis alur reaksi, diantaranya melalui dekomposisi peroksida bentuk siklik. Tabel 5 Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan Faktor intrinsik dan ekstrinsik Oksigen
Efek deteriorative - Oksidasi lipida - Kerusakan vitamin - Kerusakan protein - Oksidasi pigmen Uap air - Kehilangan/kerusakan vitamin - Perubahan organoleptik - Reaksi pencoklatan - Oksidasi lipida Cahaya - Oksidasi - Pembentukan bau/ perubahan flavor - Kerusakan vitamin - Kerusakan pigmen/perubahan warna Mikroorganisme - Pembentukan racun - Kehilangan nutrisi - Keracunan Kompresse/bantingan, vibrasi, abrasi, - Perubahan organoleptik penanganan secara kasar - Kebocoran pada pengemas - Off-flavor Bahan kimia toksik/bahan kimia Off-flavor - Perubahan organoleptik - Perubahan kimia - Pembentukan racun
Sumber : Floros (1993) Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, aktivitas enzim pada bahan pangan, suhu, termasuk suhu pemanasan dan pendinginan, kadar air, udara terutama oksigen, sinar dan jangka waktu penyimpanan (Winarno et al. 1980).