G30S - Dokumen Suparjo (Harsutejo) Dokumen Suparjo (selanjutnya saya singkat DS) disebut pertama kali dalam buku Jenderal Nasution, “Memenuhi Panggilan Tugas” jilid 6 yang terbit pada 1986. Ia menerima DS dari Teperpu dalam persiapan Sidang Istimewa MPRS 1967 yang akan menentukan nasib Presiden Sukarno serta memecatnya agar nampak sah. Nasution mengutip dokumen itu di antaranya gerakan hanya dirancang menang, tidak ada rancangan apa pun jika gagal, bahkan diskusi tentang itu juga tidak. Selanjutnya disebut dokumen itu menyatakan Presiden Sukarno “…memberi restu kepada G30S dan sambil menepuk-nepuk pundak Parjo…” dan berpesan agar G30S mengadakan parade besar-besaran pada 5 Oktober… (Nasution 1988:265). Ini bertolak belakang dengan keterangan asli Suparjo di depan Mahmillub, ketika menepuk pundak Suparjo pada pagi hari 1 Oktober BK mengancam “Awas ja kalau tidak beres „engke maneh dipeuntjit‟. Kalau tidak bisa menjelesaikan memberhentikan gerakan G30S, kamu nanti saja sembelih” dengan gaya bercanda (John Roosa 2008:73-74, 88 catatan no.39). Dalam kenyataannya Jenderal Nasution ikut hanyut dalam melakukan fitnah terhadap lawan politiknya. Lalu ditulis oleh Nasution, “Dalam dokumen yang lain tentang kegagalam G30S”, ternyata kemudian ia mengutip dokumen yang sama itu juga, tidak ada dokumen lain. Disebut tentang pimpinan G30S yang agak bingung, tidak memberikan perintah selanjutnya, bahkan pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun. Pasukan Yon 530 Brawijaya dan Yon 454 Diponegoro tidak mendapat makanan, RRI ditinggalkan pasukan tanpa ada instruksi. Kemudian pada hari kedua disebut adanya pertemuan pimpinan G30S di Lubang Buaya, pasukan RPKAD mulai menyerang, keadaan mulai kacau, diputuskan untuk menghentikan perlawanan dan semua pulang ke rumah maing-masing sambil menunggu situasi. Setelah diterima berita Jenderal Suharto akan melakukan serangan balik, Omar Dani menawarkan integrasi menghadapi Suharto, bahkan Omar Dani telah memerintahkan dipasangnya roket-roket pada pesawat. Tawaran begitu penting itu tak mendapat jawaban positif. Sebenarnya PKI tidak perlu kalah karena pengaruhnya besar. Pimpinan G30S membawahi 15 batalion, 3 batalion dapat dikerahkan cepat dengan bantuan AU. Tapi semua itu tidak dimanfaatkan, maka akibatnya kita dihancurkan satu demi satu (Nasution 1988:265-267). Apa yang disebut sebagai DS menjadi menarik perhatian dengan terbitnya buku John Roosa (2008) yang menjadikan dokumen ini sebagai pintu masuk untuk membahas banyak bagian samar-samar dan gelap peristiwa G30S 1965.i[1] Untuk pertama
kalinya dokumen ini dikupas panjang lebar dalam bingkai membuat analisis terhadap peristiwa tersebut. Sejarawan Kanada yang juga mengajar di Indonesia ini menulis “…saat menemukan dokumen yang ditulis almarhum Brigadir Jenderal…”, selanjutnya “…saya menemukan analisis yang ditulisnya mengenai kegagalan G30S” (kursif hs) (John Roosa 2008:20). Disebutkan keaslian dokumen tersebut dikonfirmasi oleh Heru Atmojo (almarhum), mantan Letkol Pnb AU yang menemuinya di Penas dan mengantarnya mondar-mandir karena tugas dari KSAU Omar Dani pada 1 Oktober 1965ii[2] serta berada dalam satu tahanan dengan Suparjo pada 1967-1968. Dari situ ia berkesimpulan perlu ada analisis baru terhadap G30S (Idem:21).iii[3] Selanjutnya kajiannya juga berdasarkan keterangan narasumber seorang kader tinggi PKI dengan pengetahuan luas secara rinci dan mendalam tentang Biro Chusus (BC) yang berperan penting dalam G30S yang disamarkan dengan nama Hasan.iv[4] Ia punya posisi hingga “memiliki informasi tangan pertama mengenai kejadian-kejadian yang diceritakannya,” tahu dari dekat kinerja BC. Dikatakannya cerita Hasan, di luar keterangan di Mahmillub, sampai saat ini “merupakan sumber utama satu-satunya” tentang para anggota BC, ceritanya patut dikaji saksama. Bersama sejumlah rekannya di Indonesia John Roosa juga mewawancarai empat orang yang ambil bagian dalam G30S dan empat mantan kader tinggi PKI lainnya, beberapa orang “yang cukup mengetahui masalah G30S” serta tulisan mantan tapol dan pemimpin Baperki Siauw Giok Tjhan sebagai pendapat kolektif sejumlah tapol, tulisan kader tinggi PKI Munir dan Iskandar Subektiv[5] (Idem:22-23, 46 catatan no.44 dan 45; h.170). Demikian antara lain bahan-bahan yang dihimpun John Roosa sebagai dasar penulisan bukunya. Kajian John Roosa Mungkin saja apa yang disebut sebagai DS itu asli atau setengah asli. Yang pasti dokumen itu ia “temukan” dalam berkas Mahmillub Brigjen Suparjo 1967 dalam bentuk salinan ketikan dari aslinya [kalau asli] oleh Mahmillub. Bahkan saya menduga salinan yang digunakan John Roosa berasal dari beberapa tahun kemudian ketika ejaan yang diperbarui berlaku pada 1975 karena ada sedikit kekacauan ejaan pada butir 15 DS.vi[6] Roosa di antaranya menyoroti ketidaktahuan Letkol Untung sebagai salah satu Danyon Cakrabirawa tentang keberadaan Presiden Sukarno pada 1 Oktober 1965, sebagai salah satu keganjilan penting yang jarang mendapatkan perhatian peneliti. Padahal seharusnya dengan mudah ia bisa nendapatkan informasi dari teman-temannya yang berjaga bahwa BK tidak bermalam di Istana. Pasukan G30S berjaga di depan Istana Presiden yang kosong. Kedatangan Brigjen Suparjo pada pagi
hari itu ke Istana dari PAU Halim merupakan kesia-siaan buang-buang waktu yang berharga sebagai misi yang gagal (lihat Roosa 2008:57-58). Berbeda dengan Letkol Untung, Kolonel Latief dan Mayor Suyono, keberadaan Brigjen Suparjo di dalam komplotan G30S baru pada 30 September dan berakhir pada 2 Oktober 1965. Tidak aneh jika ia tidak tercantum sebagai pucuk pimpinan G30S, melainkan Letkol Untung. Ia telah cukup lama mengenal Syam yang ditemuinya pada 30 September. Syam dianggapnya sebagai representasi PKI, sebuah partai yang dikenalnya sebagai partai raksasa dengan jutaan anggota, punya nama baik, terorganisasi secara ketat dengan disiplin tinggi, anggotanya terdiri dari petani butahuruf di desa sampai menteri. Mereka punya lembaga pendidikan, koran dan penerbitan, kegiatan seni. Pendeknya Suparjo terpincut dengan partai ini, bergabung dengan gerakan pada detik-detik terakhir dan menganggap PKI mengetahui apa yang sedang terjadi. “Dakwaan vii [7] Supardjo bahwa „partai‟ memimpin G30S tidak membuktikan bahwa PKI bertanggung jawab sebagai suatu lembaga. Ia mungkin hanya bisa tahu dengan pasti bahwa Sjam memimpin G30S dan dengan satu atau lain cara juga bekerja sama dengan Aidit” (2008:132-133). Para perwira yang ikut serta dalam G30S, termasuk Suparjo, sebenarnya ragu akan rancangan yang disodorkan Syam, tetapi mereka “percaya kepada kebijaksanaan kepemimpinan sebuah partai yang telah sangat berhasil dalam mengorganisasi jutaan rakyat.” Ia menduga partai punya pandangan jauh dalam merancang rencana yang tak mungkin keliru, percaya bahwa pimpinan tentu punya perhitungan ulung yang akan dikeluarkan pada saat yang tepat. Baru kemudian setelah gagal ia mengakui “menilai kawan pimpinan terlalu tinggi.” Sebuah aksi militer dipimpin oleh seorang sipil, Syam, yang tak banyak tahu tentang prosedur militer dan menimbulkan kekacauan garis komando (2008:133-134, 137). Analisis Suparjo menyebutkan tentang adanya rancangan pertama yang kemudian diadakan perbaikan. Semula rancangan para perwira revolusioner itu terdiri dari dua tahap. Pertama hanya bersifat internal AD dengan menyingkirkan para jenderal kanan yang akan dilakukan oleh para perwira pendukung BK tanpa campurtangan pihak lain. Setelah gerakan para perwira tersebut berhasil maka pada tahap kedua akan diikuti gerakan PKI seluruhnya yang tidak lagi takut akan represi militer. Disebutkan bahwa Suparjo pernah menyatakan kepada Rewang, mantan anggota Politbiro PKI, pada waktu ditahan bersama di RTM pada 1967 “lebih baik seandainya PKI tidak „campur tangan‟ dan membiarkan para perwira militer itu sendiri melawan Dewan Jenderal” (2008:136).viii[8] Setelah terbunuhnya tiga jenderal ketika diculik, kemudian pembunuhan empat korban lainnya di Lubang Buaya, gerakan mulai berantakan. Selanjutnya Presiden Sukarno menolak mendukung G30S dan memerintahkan kepada Suparjo untuk menghentikan
gerakan, para perwira tunduk, berbeda dengan Aidit dan Syam yang dikatakan hendak melanjutkan gerakan dengan mengubah isi pengumuman DR. Para perwira marah kepada Syam dengan adanya Dekrit No. 1 tentang DR dan Kabiner Dwikora didemisionerkan yang disiarkan RRI pada jam 13.00, sesuatu yang tak pernah dibicarakan. Sebelum serangan Suharto, Suparjo bersepakat dengan Omar Dani untuk melawan, tetapi ia mendapati “pimpinan inti aksi tidak tanggap, bingung dan lelah”. Maka gerakan mengalami gagal total. Jenderal Suharto mulai melakukan serangan balik, merebut RRI dan Telekom dengan mudah pada jam 18.00 (2008:317). Empat Dokumen G30S Setelah Suparjo menghadap Presiden Sukarno seperti tersebut di atas dan BK tidak mendukung gerakan, Letkol Untung yang kelelahan menerima saja revisi dokumen yang sedianya disampaikan setelah maklumat tentang G30S yang diumumkan RRI Jakarta pada 1 Oktober 1965 jam 7.00 pagi. Revisi tersebut dilakukan oleh Aidit dan Syam, setidaknya terhadap dua dari tiga dokumen dalam Dekrit No. 1 yang mendemisionerkan kabinet, serta Keputusan No. 1 tetang susunan DR dan No. 2 tentang penurunan pangkat, baru diumumkan RRI pada jam 13.00 dalam menghadapi perintah Presiden untuk menghentikan gerakan. Kenyataan bahwa BK tidak mendukung gerakan tapi juga tidak mengutuknya, dapat diartikan G30S bertujuan baik tapi salah arahan (2008:314). Menurut pengakuan Syam di depan Mahmillub, empat dokumen tersebut disusun oleh DN Aidit, Ketua PKI bersama dirinya (dengan Iskandar Subekti, seorang anggota CC yang ketika itu dikatakan bertindak sebagai juru ketik dan penasihat pribadi Aidit). Benarkah demikian? Jika kita cermati dokumen-dokumen tersebut tidak punya nilai kandungan politik. Tidak punya kandungan butir revolusi atau soko guru revolusi yang sedang populer ketika itu, tidak menyebut buruh dan tani. Adakah dokumen bersejarah yang tak bermutu itu disusun oleh seorang kampiun politikus komunis dunia sekaliber Aidit? Sungguh sulit dipercaya [saya tidak percaya], apalagi tidak ada bukti sahih yang mendukungnya, dan juga jika kita bandingkan dengan berbagai macam dokumen PKI yang disusun oleh DN Aidit sampai 1965.ix[9] Keberadaan empat dokumen tersebut juga tak pernah dipertanyakan oleh pihak berkuasa. Mungkin saja dokumen itu telah diringkus dalam tungku rezim militer Orba karena dipandang tidak menguntungkan untuk dicermati lebih lanjut. Bisa saja semuanya atau sebagian palsu karena banyaknya ular berkepala dua di tubuh G30S dan PKI di antaranya berupa jaring-jaring intelijen. Di samping itu siapa yang membawa empat dokumen itu dari Halim ke RRI Jakarta, dengan cara apa dibawanya mengingat situasi Jakarta pada saat itu, bagaimana kemungkinan dokumen itu berasal dari tempat lain, dsb. masih banyak pertanyaan yang lain.
Apakah dengan terbitnya buku John Roosa ini sejarah G30S menjadi lebih jelas? Kenyataannya tidak demikian. Memang terdapat sejumlah bahan yang patut diteliti lebih lanjut. Jakapermai, 10 September 2011
i[1] Salinan lengkap Dokumen Suparjo dimuat sebagai lampiran buku John Roosa,
Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008:323-343. ii[2] Lihat Heru Atmodjo 2004. iii[3] Almarhum Heru Atmodjo pernah menunjukkan dokumen yang dikatakan ditulis oleh Brigjen Suparjo dalam bentuk fotokopi yang sangat kabur yang sulit dibaca kepada kami, tim editor bukunya (Heru Atmodjo 2004). iv[4] Hasan juga menyerahkan naskah memoarnya kepada John Roosa untuk diterbitkan setelah kelak ia meninggal dan diumumkan nama sebenarnya (John Roosa 2008:46, catatan No. 44). Selama nama-nama narasumber tersebut tidak kita ketahui, maka menjadi lebih sulit untuk menilai kadarnya, meski tentu saja John Roosa menulisnya dalam alur yang logis; yang logis tidak sama dengan kebenaran. v[5] Wakil Ketua Departemen Luar Negeri CC PKI, anggota CC PKI Blitar Selatan. Pada 1 Oktober 1965 berada bersama DN Aidit di rumah Sertu Udara Suwardi, kompleks perumahan PAU Halim. vi[6] “Pada moment yang gawat itu, sadja mengusulkan agar semua pimpinan sadja pegang nanti bila situasi sudah bisa diatasi, sadja akan kembalikan lagi” [kursif hs] (Roosa 2008:327, Lampiran 1) yang benar saja [saya, ejaan baru] dengan kesalahan konsisten pada bagian tersebut. vii[7] Menurut hemat saya kata “dakwaan” ini tidak tepat, yang lebih tepat ialah “menganggap/mengira” atau mungkin persoalan diksi dalam terjemahan. viii[8] Rewang tertangkap pada 22 Juli 1968 di Blitar Selatan (Lihat Semdan VIII Brawidjaja, 1969:292). Ia ditahan di RTM Jakarta pada 1968-1972 (Rewang h. 46). Suparjo dijatuhi hukuman mati pada 13 Maret 1967 dan dieksekusi pada 16 Mei 1970 (Lihat Harsja W Bachtiar, Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD, Djambatan, 1988:386 dan Tempo 9 Okt. 2005:120). Pertemuan di tahanan yang disebut pada 1967, pasti keliru (saat itu Rewang masih “bergerilya” di Blitar Selatan). Selanjutnya apakah tapol anggota Politbiro PKI yang “amat berbahaya” itu dicampur dengan seorang jenderal yang telah dijatuhi hukuman mati? Naskah
Rewang yang mungkin sekali ditulis sesudah jatuhnya Suharto Mei 1998 (Rewang h. 44) menyebut sejumlah nama tapol di RTM, tapi tidak ada nama Suparjo (lihat Rewang h. 45-46). ix[9] Lihat dan bandingkan misalnya dengan Pilihan Tulisan DN Aidit, Djilid 1 dan 2, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959 dan 1960.