FORMULASI PENGOLAHAN UBI JALAR MENJADI BITHILO DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA Purwaningsih1, Titiek F. Djaafar1, Nurdeana Cahyaningrum1, dan Masniah2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No.22 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman Yogyakarta Telp.: (0274) 884662, 514959, 4477053 Fax.: (0274) 4477052 E-mail:
[email protected] 2 BPTP NTT
ABSTRAK Ketergantungan pada beras dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui pengembangan produk pengolahan ubi jalar + pati ubi kayu menjadi bithilo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi pengolahan ubi jalar menjadi bithilo dan prospek pengembangannya. Percobaan dilakukan dengan metode rancangan acak lengkap. Faktor pertama adalah perlakuan penambahan pati ubi kayu yaitu 40%, 60%, 80% dan 100%. Faktor kedua adalah perlakuan jenis ubi jalar berdasarkan warna daging umbi yaitu putih, kuning, oranye, dan ungu. Pengamatan yang dilakukan melalui uji organoleptik dengan metode kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan secara keseluruhan. Pengujian fisik meliputi rendemen dan volume pengembangan. Pengujian kimia dilakukan terhadap bithilo yang paling disukai panelis, meliputi kadar air, kadar pati, dan kadar betakarotin. Analisis nisbah keuntungan (R) dengan biaya (C) dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan pengembangan bithilo dalam industri kecil pengolahan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen bithilo tertinggi adalah 64,9% (ubi jalar orange + 80% pati ubi kayu) dan terendah 50,7% (ubi jalar kuning + 40% pati ubi kayu). Bithilo yang disukai panelis adalah yang berasal dari ubi jalar kuning dan penambahan pati ubi kayu 80%. Bithilo tersebut memiliki rendemen 60,1%; volume pengembangan 11,6 ml dan mengandung betakaroten 4.577 μg/100g. Analisis finansial menunjukkan bahwa yang memberi keuntungan paling besar adalah pengolahan ubi jalar orange menjadi bithilo yaitu Rp. 47.109.340/tahun, dengan nilai R/C 1,42. Dengan demikian, pengolahan ubi jalar menjadi bithilo layak dikembangkan dalam industri kecil pengolahan pangan. Kata kunci: ubi jalar, pati ubi kayu, bithilo, tingkat kelayakan
ABSTRACT Formulation of processing sweetpotatoes into Bithilo and development prospect. Dependence on rice can be reduced by diversification through the development of food products + sweet potato starch processing cassava into bithilo. This study aims to determine the formulation of processing sweet potatoes into bithilo and development prospect. This experiment was conducted using completely randomized design. The first factor was the addition of cassava starch, namely 40%, 60%, 80% and 100%. The second factor is the type of treatment based on sweet potato tuber flesh color is white, yellow, orange, and purple. The observations made are organoleptic test by the method of preference for color, aroma, flavor, texture, and overall liking. Physical testing includes yield and volume development. Chemical test conducted on the most preferred bithilo panelists include moisture content, starch content, and beta-carotene levels. Analysis of profit ratio (R) and costs (C) was conducted to determine the feasibility of developing small bithilo in the food processing industry. Results showed that the highest yield is 64.9% bithilo (orange sweet potato + 80% cassava starch) and the lowest was 50.7% (yellow sweet potato + 40% cassava starch). Bithilo preferred panelist is derived from yellow sweet potato and cassava starch addition of 80%. Bithilo has a yield of 60.1%,
692
Purwaningsih et.al: Formulasi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo
11.60 ml volume development and contains as much beta-carotene 4.577 μg/100g . Financial analysis shows that the greatest benefit is the orange sweet potato processing into bithilo Rp 47.109.340/year, with a value of R/C of 1.42. Thus, the processing sweet potatoes into Bithilo feasible in small food processing industry. Keywords: sweet potato, cassava starch, Bithilo, feasibility level
PENDAHULUAN Konsumsi pangan sebagian besar masyarakat Indonesia bergantung pada komoditas beras. Sumber energi terbesar masyarakat Indonesia pada tahun 1999, dalam bentuk kalori, berasal dari beras sebesar 112% sedangkan dari umbi-umbian hanya 46% (Suryana 2003). Ketergantungan ini perlu dikurangi melalui diversifikasi pangan (Djafaar 2009). Beranekaragamnya pangan yang tersedia terutama ditentukan oleh produksi pangan dan perkembangan teknologi pangan yang dapat menghasilkan berbagai produk pangan beranekaragam. Adanya kesadaran masyarakat mengenai konsumsi pangan yang berimbang dan kemampuan daya beli untuk mengakses pangan akan mendorong keberhasilan upaya penganekaragaman pangan (Suryana 2003), khususnya umbi-umbian. Pengkajian dan penggalian peranan umbi-umbian sebagai sumber pangan selain beras sangat diperlukan, yang dilakukan berdasarkan kerangka perbaikan penampilan dan perbaikan gizi produk. Ketergantungan pada beras dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui pengubahan citra umbi-umbian dan perbaikan gizi. Pengubahan citra bahan pangan umbi-umbian dapat dilakukan melalui pengembangan produk atau pengolahan menjadi bentuk komoditas baru yang lebih menarik dan bahkan diperkaya dengan nutrisi lain (Gunawan dan Heriyanto 1994). Penggalian potensi pangan lokal dalam hal ini umbi-umbian, cukup strategis bila dilakukan dalam konteks ketahanan pangan tingkat rumah tangga karena DIY merupakan penghasil ubi jalar yang cukup besar yaitu 6.499 ton ubi jalar dari 591 ha area tanam (BPS 2009). Ubi jalar di Indonesia umumnya dikonsumsi dalam bentuk olahan primer yaitu dibuat menjadi makanan kecil seperti ubi rebus, kukus, ubi panggang, keripik, dan kolak ubi. Hanya di beberapa daerah Papua dan Maluku, ubi jalar dijadikan sebagai makanan pokok tetapi sudah banyak yang beralih ke beras. Produk olahan ubi jalar seperti tepung, pure, dan mash ubi jalar yang berasal dari industri pangan pada umumnya diekspor, bukan untuk konsumsi dalam negeri (Herawati dan Widowati 2009). Seperti halnya produk pertanian lainnya, ubi jalar mudah mengalami kerusakan setelah panen. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan dan pengolahan ubi jalar dengan baik sehingga dapat memperpanjang masa simpan dan memberikan nilai tambah produk. Salah satu bentuk produk olahan ubi jalar adalah bihtilo. Bithilo merupakan jenis makanan olahan ubi jalar dalam bentuk kering seperti rengginang. Rengginang yang sudah dikenal oleh masyarakat adalah rengginang yang terbuat dari beras ketan atau rengginang yang terbuat dari ubi kayu atau yang dikenal dengan pathilo yang berasal dari Gunung Kidul. Rengginang yang dibuat ini berbahan baku ubi jalar dan pati ubi kayu oleh karena itu disebut bithilo. Usaha pengolahan ubi jalar menjadi bithilo selama ini sudah dilakukan oleh kelompok wanita tani pada sentra produksi ubi jalar di Yogyakarta, terutama di daerah sepanjang pantai selatan, seperti di Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Paket teknologi pembuatan bithilo ini dengan mudah diterima di Kelompok Wanita Tani tersebut karena Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
693
teknologinya sangat sederhana, peralatannya juga dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Dan yang paling utama adalah ketersediaan bahan baku yang cukup karena produksi ubi jalar varietas Ayam didaerah tersebut mencapai 21,036 kg/ha (Anonim 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mencari formulasi pengembangan teknologi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo dan tingkat kelayakan penerapannya dalam industri kecil pengolahan pangan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen dan Alsintan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta pada bulan Juni – Agustus 2009. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah ubi jalar (warna putih, kuning, orange, dan ungu), pati ubi kayu, garam, bawang putih dan minyak goreng. Bahan lain yang digunakan adalah bahan kimia untuk keperluan analisis. Alat yang digunakan meliputi berbagai peralatan untuk memasak seperti : timbangan, baskom, parutan, pisau, pengupas ubi, pencetak bithilo, dandang/soblok, timer, tampah, kompor, pencetak, wajan dan serok. Disamping itu digunakan peralatan laboratorium untuk membantu dalam proses analisis. Spesifikasi alat: Pencetak bithilo: terbuat dari lembaran alumunium ukuran 20x40 cm2, diberi lubang dengan diameter 0,3 cm dan jarak antar lubang 0,5 cm. Setiap sisi lembaran alumunium diberi bingkai kayu dan tiap sudut diberi kaki, tinggi 2 kaki depan 30 cm dan 2 kaki belakang 25 cm. Pengukus bithilo: seperti pengukus nasi pada umumnya, namun diberi “sarangan” (tempat meletakkan bithilo yang telah dicetak) sebanyak 4 tingkat. Rancangan Percobaan Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas dua faktor dengan ulangan sebanyak 2 kali (Scheaffer et al. 1990). Faktor pertama adalah perlakuan penambahan pati, yaitu: 40% (A1), 60% (A2), 80% (A3), dan 100% (A4). Faktor kedua adalah jenis ubi jalar, yaitu: ubi jalar putih (B1), ubi jalar kuning (B2), ubi jalar orange (B3) dan ubi jalar ungu (B4). Dengan demikian terdapat 16 kombinasi perlakuan (seperti pada Tabel 1) dan 32 satuan percobaan. Tabel 1. Kombinasi Perlakuan Pembuatan Bithilo A1B1 A1B2 A1B3 A1B4
694
A2B1 A2B2 A2B3 A2B4
A3B1 A3B2 A3B3 A3B4
Purwaningsih et.al: Formulasi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo
A4B1 A4B2 A4B3 A4B4
Ubi Jalar Dikupas dan dicuci Diparut pati ubi kayu sesuai perlakuan, garam 2% dan bawang putih 2%
Dicampur Dicetak Dikukus 10 menit Dijemur 2-3 hari atau sampai kering Digoreng
Bithilo goreng siap saji Gambar 1. Tahapan pembuatan Bithilo.
Analisis Mutu Bithilo Analisis mutu yang dilakukan adalah mutu kimia dan organoleptik. Analisis mutu kimia meliputi kadar air, pati dan beta karoten (AOAC 1990). Sedangkan mutu organoleptik terdiri dari warna, kerenyahan/tekstur, aroma, rasa dan kesukaan keseluruhan dengan metode hedonic scoring yang dilakukan oleh 60 panelis. Penilaian dilakukan dengan kisaran nilai 1 = sangat tidak suka hingga 5 = sangat suka (Resurreccion 1998). Prospek Pengembangan Bithilo Untuk menentukan tingkat kelayakan pengembangan bithilo dalam industri kecil pengolahan pangan, dilakukan analisis nisbah (R/C) keuntungan (R) dengan biaya (C). Nilai R/C merupakan perbandingan antara jumlah total penerimaan dengan jumlah total biaya yang dikeluarkan selama satu periode. Suatu usaha dinilai menguntungkan jika R/C >1 (Anonim 2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Bithilo Pada pembuatan bithilo dihasilkan rendemen bithilo mentah 50,7–64,9% (Tabel 2). Bithilo yang diolah dari ubi jalar oranye dengan penambahan pati ubi kayu 80% memiliki rendemen tertinggi, yaitu 64,9%. Sedangkan rendemen terendah adalah bithilo yang diolah dari ubi jalar kuning dan penambahan pati ubi kayu 40%, yaitu 50,7%. Hal ini Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
695
menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah pati ubi kayu yang ditambahkan dalam formula, rendemen yang dihasilkan semakin kecil, karena terjadi penguapan air yang cukup besar pada bithilo mentah yang berasal dari parutan ubi jalar segar pada saat penjemuran bithilo. Sedangkan semakin besar jumlah pati ubi kayu yang ditambahkan maka rendemen yang dihasilkan semakin besar, karena pati ubi kayu kadar airnya sudah rendah, sehingga hanya menguapkan air yang berasal dari parutan ubi jalar segar yang komposisinya semakin rendah. Tabel 2. Rendemen Bithilo Penambahan Pati ubi kayu
Ubi Jalar Putih (B1)
Ubi Jalar Kuning (B2)
40 % (A1) 60 % (A2) 80 % (A3) 100% (A4)
Rendemen (%) 54,5bcde 55,7cdef 58,1fgh 63,3ij
Rendemen (%) 50,7a 57,6efg 60,1gh 56,8defg
Ubi Jalar Orange (B3) Rendemen (%) 52,0ab 50,4a 64,9j 59,3gh
Ubi Jalar Ungu (B4) Rendemen (%) 53,1ab 54,3bc 59,4gh 61,0hi
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.
Kadar Air dan Volume Pengembangan Bithilo Salah satu faktor penting dari mutu kerupuk adalah kadar air didalamnya. Kadar air akan berpengaruh terhadap daya awet, konsistensi dan kemekaran (Suharna 1990). Kadar air bithilo mentah hasil penelitian ini 10,3–12,4%, artinya masih lebih rendah dari kadar air kerupuk mentah yang dipersyaratkan yaitu 14% (Tahir 1985). Volume pengembangan adalah selisih antara volume bithilo sesudah digoreng dengan volume bithilo sebelum digoreng. Bithilo yang paling sulit mengembang yaitu Bithilo kuning dengan penambahan pati ubi kayu 40%, dengan volume pengembangan hanya 0,4 ml. Sedangkan bithilo yang paling mudah mengembang yaitu bithilo ungu dengan penambahan pati ubi kayu 100%, dengan volume pengembangan sebesar 17,5 ml. Menurut Muliawan (1991), salah satu parameter mutu kerupuk goreng adalah volume pengembangan. Volume pengembangan ini dipengaruhi oleh kadar air produk mentah dan suhu penggorengan. Volume pengembangan juga dipengaruhi oleh penambahan bahan pati. Makin banyak penambahan bahan bukan pati, makin kecil pengembangan kerupuk pada saat penggorengan. Volume pengembangan ini akan menentukan kerenyahan produk. Semakin banyak pati ubi kayu yang ditambah, semakin besar volume pengembangan bithilo yang dihasilkan (Tabel 2). Sifat Organoleptik Bithilo Untuk mengetahui kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap bithilo ini dilakukan pengujian organoleptik yang merupakan pengamatan dan pengukuran secara indrawi, yang menyatakan suka atau tidaknya dan menerima atau tidaknya panelis terhadap sifatsifat fisik bahan. Hasil uji organoleptik terlihat pada Tabel 4.
696
Purwaningsih et.al: Formulasi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo
Tabel 3. Kadar air dan volume pengembangan bithilo. Penambahan Pati ubi kayu
Ubi Jalar Putih (B1)
Ubi Jalar Kuning (B2)
Ubi Jalar Orange (B3)
Ubi Jalar Ungu (B4)
Kadar air (%)
Kadar air (%)
Kadar air (%)
Kadar air (%)
Vol. Pengembangan (ml)
Vol. Pengembangan (ml)
Vol. Pengembangan (ml)
Vol. Pengembangan (ml)
40 % (A1) 12,2a 0,4a 12,4a 5,5bc 10,3a 2,5ab 11,6a 3,7b 60 % (A2) 12,1a 14,2f 11,4a 7,2cd 12,7a 3,0ab 11,8a 15,7g 80 % (A3) 10,9a 15,9gh 11,4a 11,6f 12,7a 10,3e 11,5a 17,3h 100% (A4) 11,5a 10,5e 11,2a 11,2ef 12,1a 9,7de 11,9a 17,5h Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.
Tabel 4. Nilai kesukaan hasil uji organoleptik bithilo. Kombinasi perlakuan A1B1 A2B1 A3B1 A4B1 A1B2 A2B2 A3B2 A4B2 A1B3 A2B3 A3B3 A4B3 A1B4 A2B4 A3B4 A4B4
Warna 2,1ab 3,6e 3,9e 3,8e 1,9a 2,9d 3,9e 3,9e 2,4bc 2,7cd 3,5e 3,9e 2,4abc 3,5e 3,9e 3,5e
Aroma 2,1ab 4,1e 3,9e 3,9e 2,1ab 3,2c 4,2e 4,0e 1,8a 2,5b 3,7e 3,7e 2,1ab 3,7e 4,2e 3,8e
Tekstur 3,2bcd 3,5def 3,6def 3,6def 2,6a 3,3cde 3,9f 3,7ef 2,8ab 2,9abc 3,5def 3,5def 2,8ab 3,4def 3,6def 3,6def
Rasa 2,7a 3,9de 3,9de 4,1e 2,7a 3,7de 4,1de 3,9de 2,8ab 3,2bc 3,6cde 3,6cd 2,9ab 3,9de 3,9de 3,8de
Keseluruhan 2,5ab 3,9d 3,8d 3,9d 2,3a 3,3c 4,0d 3,9d 2,5ab 2,9b 3,6c 3,7c 2,5ab 3,0c 3,9d 3,9d
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan
Warna Warna memegang peranan penting dalam produk makanan, karena jika warna suatu makanan tidak menarik, meskipun kandungan gizinya lengkap akan mengurangi penerimaan konsumen terhadap produk (Winarno 1991). Hasil uji organoleptik terhadap warna bithilo menunjukkan adanya beda nyata antara warna bithilo dengan penambahan pati 40% dan bithilo dengan penambahan pati 80% dan 100%. Perlakuan pembuatan bithilo dengan penambahan pati sebanyak 40% menghasilkan warna yang tidak disukai oleh panelis yaitu berkisar antara 1,9 hingga 2,4. Sedangkan pada perlakuan pembuatan bithilo dengan penambahan pati sebanyak 80% dan 100% menghasilkan warna bithilo yang disukai oleh panelis yaitu berkisar antara 3,5 hingga 3,9. Bithilo warna putih dan kuning dengan penambahan pati ubi kayu 80% paling disukai panelis (Tabel 4).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
697
Tekstur Tekstur adalah kenampakan, kekompakan, kekenyalan, kerapuhan atau kuat lemahnya bithilo saat dipatahkan. Tekstur bithilo yang bagus adalah yang renyah dan tidak terlalu keras. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bithilo secara statistik menunjukkan beda nyata antara pembuatan bithilo dengan perlakuan penambahan pati sebanyak 40% dengan penambahan pati sebanyak 60%, 80% dan 100%. Penilaian panelis terhadap tekstur bithilo dengan penambahan 40% berkisar antara 2,6 hingga 2,9 yang menunjukkan tidak suka. Bithilo dengan penambahan pati sebanyak 60%, 80%, dan 100% cenderung disukai oleh panelis dengan nilai berkisar antara 3,4 hingga 3,9. Tekstur Bithilo warna kuning dengan penambahan pati ubi kayu 80% paling disukai oleh panelis, dengan nilai kesukaan 3,9. Aroma Aroma merupakan salah satu faktor penentu kualitas produk makanan (Kartika et al., 1988). Hasil uji organoleptik terhadap aroma bithilo menunjukkan adanya beda nyata antara Bithilo dengan penambahan pati sebanyak 40% dengan bithilo dengan penambahan pati 60%, 80%, dan 100%. Bithilo yang dibuat dengan penambahan pati 40% cenderung tidak disukai panelis dengan nilai berkisar antara 1,8 hingga 2,1. Sedangkan bithilo dengan penambahan pati sebanyak 60%, 80%, dan 100% menghasilkan aroma bithilo yang disukai oleh panelis dengan nilai bekisar antara 3,7 hingga 4,2. Aroma bithilo warna kuning dan ungu dengan penambahan pati ubi kayu 80% paling disukai oleh panelis, dengan nilai kesukaan 4,2. Rasa Rasa dari suatu makanan merupakan gabungan dari berbagai macam rasa bahanbahan yang digunakan dalam makanan tersebut (Kartika et al. 1988). Hasil uji organoleptik terhadap rasa bithilo menunjukkan bahwa penambahan pati mempengaruhi rasa bithilo yang dihasilkan sedangkan warna umbi ubijalar yang digunakan tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa. Uji organoleptik bithilo dengan penambahan pati 40% pada bithilo putih, kuning, oranye, dan ungu serta penambahan pati 60% pada bithilo oranye menunjukkan tidak beda nyata dimana panelis menyatakan tidak suka dengan nilai berkisar antara 2,6 hingga 2,9. Penambahan pati 60% pada bithilo putih, kuning, dan ungu serta pada bithilo putih, kuning, oranye, dan ungu dengan penambahan pati 80% dan 100% menunjukkan tidak beda nyata dimana panelis menyatakan suka terhadap rasa bithilo dengan nilai berkisar antara 3,6 sampai 4,1. Kesukaan secara Keseluruhan Untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk bithilo secara utuh dan untuk menentukan kualitas produk maka dilakukan penilaian gabungan sebagai penilaian kesukaan secara keseluruhan. Hasil uji organoleptik secara keseluruhan yang meliputi atribut warna, tekstur, aroma, dan rasa bithilo menunjukkan bahwa bithilo dengan penambahan pati sebanyak 40% menghasilkan penilaian panelis yang menyatakan tidak suka dengan nilai berkisar antara 2,3 hingga 2,9. Sedangkan bithilo kuning dengan penambahan pati sebanyak 80% merupakan bithilo yang paling disukai oleh panelis dengan nilai 4,0. 698
Purwaningsih et.al: Formulasi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo
Sifat Kimia Bithilo Sifat kima bithilo meliputi analisa kadar pati, kadar air, dan kandungan betakaroten. Pengujian sifat kimia dilakukan hanya pada bithilo yang paling disukai oleh panelis, yaitu bithilo kuning dengan penambahan pati sebanyak 80%. Tabel 5. Analisa Kimia Bithilo Kuning Dengan Penambahan Pati 80% Komponen Kadar pati (%) Kadar Air (%) Beta Karoten (μg/100g)
Kandungan 67,4 11,4 4.577
Berdasarkan Tabel 5, bithilo kuning mempunyai kandungan betakaroten tinggi. Dengan demikian, bithilo kuning dapat dikembangkan sebagai produk fungsional guna mempertajam daya ingat dan menjaga kesegaran kulit. Selain itu, kombinasi betakaroten dan vitamin E dalam ubi jalar kuning bekerja sama menghalau stroke dan serangan jantung. Analisis Usaha Pengolahan Bithilo Nilai R/C bithilo ubi jalar putih, kuning, oranye, ungu berturut-turut sebesar 1,39, 1,42, 1,42 dan 1,3 (Tabel 6). Dengan demikian, semua jenis ubi jalar menguntungkan jika diolah menjadi bithilo dengan penerimaan sebesar 1,32-1,42 satuan dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan. Implikasi praktisnya, pengolahan ubi jalar menjadi bithilo layak untuk dikembangkan dalam industri kecil pengolahan pangan. Hasil analisis titik impas harga dengan menggunakan rumus total biaya dibagi total produksi (Hernato, 1989) menunjukkan bahwa usaha pembuatan bithilo mencapai titik impas jika dijual dengan harga Rp 1.870,-/kemasan untuk bithilo putih, Rp 1.825,/kemasan untuk bithilo kuning, Rp 1.828,-/kemasan untuk bithilo oranye dan Rp 1.968,/kemasan untuk bithilo ungu. Pada tingkat harga jual rata-rata Rp 2.600,-/kemasan, diperoleh nilai R/C bithilo ubi jalar putih, kuning, oranye, ungu berturut-turut sebesar 1,39, 1,42, 1,42 dan 1,3 (Tabel 6).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
699
Tabel 6. Analisa usaha pengolahan bithilo dari berbagai jenis ubi jalar selama satu tahun Jenis ubi jalar
Komponen
Putih
Kuning
Orange
Ungu
7.077.000
7.077.000
7.077.000
7.077.000
- Bahan baku ubi jalar
40.800.000
40.800.000
48.000.000
48.000.000
- Garam (2% x 24.000 kg x Rp 5.000)
2.400.000
2.400.000
2.400.000
2.400.000
- Bawang putih (2% x 24.000 kg x Rp 8.000)
3.840.000
3.840.000
3.840.000
3.840.000
- Bahan bakar, gas (2 tabung x 240 hr x Rp 16.000)
7.680.000
7.680.000
7.680.000
7.680.000
- Tenaga kerja (3 org x 240 hr x Rp 25.000)
18.000.000
18.000.000
18.000.000
18.000.000
- Pemeliharaan alat
500
500
500
500
- Listrik
500
500
500
500
- Transportasi
1.000.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
- Kemasan
27.902.000
28.852.000
31.146.000
28.506.000
510
510
510
510
1.273.860
1.273.860
1.273.860
1.273.860
Total Biaya (I + II + III) C. Produksi per tahun (kemasan) (250 g per kemasan)*) D. Harga jual produk/kemasan (Rp)
104.405.860
105.355.860
113.849.860
112.209.860
55.804
57.704
62.292
57.012
2.6
2.6
2.6
2.6
E. Penerimaan per tahun (Rp)
145.090.400
150.030.400
161.959.200
148.231.200
F. Keuntungan per tahun (Rp)
36.021.340
A. Biaya Tetap (modal peralatan) B. Biaya Tidak Tetap I. Biaya produksi per tahun
II. Penyusutan alat III. Bunga Bank (18 %) per tahun
40.684.540
44.674.540
47.109.340
G. R/C
1,39
1,42
1,42
1,32
H. BEP Harga (Titik Impas Harga)
1.87
1.825
1.828
1.968
Keterangan: Kebutuhan bahan baku ubi jalar selama satu tahun : 1. Ubi jalar putih = 24.000 kg x Rp 1.500 = Rp. 40.800.000; 2. Ubi jalar kuning = 24.000 kg x Rp 1.500 = Rp. 40.800.000; 3. Ubi jalar orange = 24.000 kg x Rp 2.000 = Rp. 48.000.000; 4. Ubi jalar ungu = 24.000 kg x Rp 2.000 = Rp. 48.000.000 *) Asumsi harga jual produk Bithilo yang layak diterima konsumen Rp 2.600/kemasan.
KESIMPULAN 1. Formula yang tepat untuk menghasilkan volume pengembangan atau kemekaran bithilo yang optimal adalah ubi jalar dengan penambahan pati ubi kayu 80–100%. 2. Rendemen bithilo tertinggi yaitu 64,89% untuk jenis ubi jalar orange diikuti dengan jenis ubi jalar kuning 60,11%; ubi jalar ungu 59,39 % dan ubi jalar putih 58,13%. 3. Secara keseluruhan konsumen lebih menyukai bithilo dari ubi jalar kuning dengan penambahan pati ubi kayu sebesar 80%. 4. Keuntungan terbesar pada usaha pengolahan bithilo adalah pada pengolahan bithilo dari ubi jalar orange yaitu sebesar Rp 47.109.340 dengan nilai R/C 1,42 diikuti dengan pengolahan bithilo dari jenis ubi jalar kuning sebesar Rp 44.674.540 dengan nilai R/C 1,42; bithilo dari jenis ubi jalar putih sebesar Rp 40.684.540 dengan nilai R/C 1,39 dan bithilo dari jenis ubi jalar ungu sebesar Rp 36.021.340 dengan nilai R/C 1,32. Artinya, usaha ini layak untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Vol I, Published by AOAC International, Arlington, USA. Anonim, 2007. Cara Analisis Usaha Tani. http://www.google.com. Accessed 2 Maret 2011. Anonim, 2011. Budidaya Ubi Jalar Varietas Ayam Mencapai 21 ton. http://yogya.litbang.
700
Purwaningsih et.al: Formulasi pengolahan ubi jalar menjadi Bithilo
deptan.go.id. Accessed 25 April 2011 BPS, 2009. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar Menurut Provinsi. http://www.bps.go.id. Accessed 25 April 2011. Djaafar, T.F., dkk., 2009. Kajian Peningkatan Produktivitas dan Diversifikasi Pengolahan Pangan Lokal Mendukung Ketananan Pangan. Laporan Kegiatan. BPTP Yogyakarta. BP2TP Bogor. Badan Litbang Pertanian. Gunawan, E. dan Heriyanto, 1994. Rantai dan marjin pemasaran ubi jalar di Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Makalah disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, 1994. Balit Tanaman Pangan Malang, 15 hal. Herawati, H dan S. Widowati, 2009. Karakteristik Beras Mutiara dari Ubi Jalar (Ipomea batatas). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 39 (5) Hernato, F. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta. Kartika, B.H. Pudji dan S. Wahyu., 1988. Pedoman Uji Indrawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Muliawan, D. 1991. Pengaruh berbagai Tingkat Kadar Air terhadap Pengembangan Kerupuk Sagu Goreng. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Resurreccion, A.V.A., 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. Aspen Publisher, Inc., Maryland. Scheaffer, R.L., W. Mendenhall and Lyman Ott, 1990. Elemantary Survey Sampling. PWSKENT Publishing Co., Boston. Suharna, C., 1990. Pengaruh Penggunaan Ikan Remang (Muraenasox talbon) dan Telur Itik terhadap Sifat Kimia dan Fisik Kerupuk Udang Cendana (Metapenaeus brevicornis). Skripsi. Fakultas Perikanan IPB. Bogor Suryana, A., 2003. Refleksi 40 tahun dan perspektif penganekaragaman pangan dalam pemantapan ketahanan pangan nasional. Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2003, hal 5-15. Tahir, S., 1985. Mempelajari Pembuatan dan Karakteristik Kerupuk dari Tepung Sagu (Metrxylon sagu R.). Skripsi. Jurusan Teknologi FATETA IPB. Bogor. Winarno, F.G., 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Umum.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
701