Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
Adalah Dyana, seorang perempuan Afganistan, yang mengalami keputusasaan hidup setelah dia menyadari bahwa ia adalah perempuan. Dyana merasa putus asa, sebab segabai perempuan di bawah rezim Thaliban, selain harus kehilangan pekerjaan dan berlindung di balik Burqa, diapun harus rela kehilangan haknya untuk pergi ke sekolah, karena rezim Thaliban mengharuskan perempuan berada di rumah. Kalaupun dia hendak keluar rumah maka ia harus ditemani oleh muhrimnya. (Sumber, Republika, 11 Juni 2002)
Cerita Dyana mungkin bukan cerita pertama yang pernah anda dengar, bahkan mungkin hanya bagian kecil dari banyak cerita tentang diskriminasi terhadap perempuan. Dalam kasus Dyana, alih-alih atas nama ajaran agama Islam, Thaliban menerapkan aturannya terhadap perempuan hingga kepada aturan boleh atau tidaknya mereka pergi ke sekolah. Bila dicermati, rezim Thaliban bukanlah satu-satunya rezim yang pernah memperlakukan warga negara perempuannya seperti itu. Arab Saudi, Iran, dan beberapa negara lain kerap menerapkan aturan "khusus" terhadap perempuan. Kebijakan terbaru yang dikeluarkan Arab Saudi misalnya, negri petro dolar ini ternyata baru beberapa tahun ini saja membolehkan warganegara perempuannya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sendiri-sendiri. Sebelumnya para warga negara perempuan Arab hanya "numpang" identitas KTP ayah atau suami mereka, yaitu dengan mencantumkan nama ayah atau suami mereka sebelum nama sendiri. Alasannya adalah hanya karena dalam teks ajaran Islam dikatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan (QS ;Annisa : 34) Dan atas dasar itu juga perhatian pendidikan kaum perempuan di Arab Saudi sangat minim. Karena baru 4 dasa warsa terakhir ini saja perempuan Arab Saudi, yang semula hampir semuanya buta huruf, mendapatkan haknya untuk belajar.. Itupun belum semuanya dapat masuk Universitas (Koran Tempo, 11 Maret 2002). Pertanyaannya, apakah benar ajaran Islam sedemikian "ketat" membatasi perempuan, pun membatasi mereka untuk mendapatkan hak berpendidikan? Sudah sedemikian diskriminatifkah Tuhan kepada kaum yang bernama perempuan? Bagaimana pandangan Islam sesungguhnya tentang hak perempuan, terutama di dalamnya hak berpendidikan? Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah 1/6
Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
pra-Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan. "Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian" (QS. Al-Mujadalah: 11). Hal ini ditegaskan kembali oleh Nabi SAW dengan menyatakan bahwa hanya dengan menuntut ilmulah kebodohan akan sirna. Dan cara melawan kebodohan itu adalah dengan membuka selebar-lebarnya peluang menuntut Ilmu. Bahkan dikatakannya "tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!". Beliau juga menyatakan bahwa menuntut ilmu pada konteks ini menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umatnya, tanpa perbedaan jenis kelamin. "Tholabul 'Ilmi Farîdhotun 'alâ kulli muslimin wa muslimatin" (Hadits Riwayat Ibnu Majah). Perempuan, selain sebagai "poros" regenerasi manusia selanjutnya, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. Bahkan jika kita baca kembali kutipan Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim, Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik" (Imam Al Ghazali, Mulai dari Rumah, Syaikh Muhammad Al-Ghazali , Mizan, 2001), jelas memposisikan perempuan (Ibu) sebagai "poros" utama pendidikan. Sehingga tidak logis kemudian jika arus pengetahuan untuk perempuan terhambat karena masalah-masalah seperti ketiadaan muhrim, peran domestik yang harus dilakukan, atau lainnya. Justru arus utama pengetahuan itu seharusnya ditujukan kepada para perempuan terlebih dahulu. Karena baik tidaknya pola didikan para Ibu ini akan sangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dimilikinya.
Tahap
perkembangan Pendidikan Islam Pada awalnya, proses pendidikan umat Islam dimulai dari Nabi SAW, yang mengajarkan sendiri prinsip-prinsip Islam kepada sahabat-sahabatnya. Dia mengajar secara sembunyi dan terang-terangan. Secara sembunyi dilakukannya di rumah Al-Arqom. Di sana tidak ada pemisahan laki-laki 2/6
Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
dan perempuan. Semua diajarkannya bersama-sama dan dengan kapasitas yang sama. Karena memang semuanya harus mendapatkan kebutuhan mereka akan pengetahuan terhadap ajaran Islam. Nabipun tidak segan-segan membuka ruang dialog untuk pemahaman yang lebih mendalam, dan dalam masa itu dia tidak pernah membatasi dialog diantara sahabat-sahabatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu, ketika hijrah ke Madinah, proses pendidikan yang dilakukannya secara terbuka. Proses dimana beliau harus kembali mengajarkan prinsip-prinsip Islam kepada semua kaumnya. Berbeda dengan di Mekkah, proses pendidikan di Madinah dilaluinya dengan terang-terangan. Beliau juga segera memulai proses penghapusan buta huruf. Dan pada masa itu masjid adalah pusat pendidikan umat Islam. Dan untuk ini Nabi sangat memperhatikan persoalan pengentasan buta huruf. Salah satu bentuk perhatiannya tercermin dari kebijakan yang diambilnya setelah umat Islam memenangkan perang Badar. Pada waktu itu Nabi tidak meminta tebusan harta, atau lainnya tetapi dia segera memerintahkan setiap tawanan Mekkah yang "melek" huruf tersebut untuk mengajari sepuluh orang muslim cara membaca dan menulis, sebagai tebusan bagi kebebasan mereka. Dari sinilah kemudian berangsur-angsur terbangun pola sekolah (madrasah). Walaupun pada masa itu pola sekolah (madrasah) yang dimaksud sangat sederhana, tidak terbatas hanya di masjid, dimana Nabi sering menjadikan masjid sebagi pusat pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan, tetapi mulai berkembang menjadi bangunan sistem dari komunitas tertentu untuk melakukan interaksi belajar mengajar. Sistem pendidikan telah didirikan Nabi di atas pondasi kualitas-kualitas moral dan spiritual. Sistem inipun tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, tidak mengenal pemisahan laki-laki dan perempuan. Karena semua forum yang digelar Nabi dapat menggali pengetahuan apa saja, dari masalah sosial, ekonomi, strategi perang, sampai urusan interpersonal suami istri dalam rumah tangga dan mengasuh anak. Semua dilakukan didepan khalayak majlis baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun sistem pendidikan Islam sesungguhnya meliputi sendi seluruh sendi kehidupan umat Islam terdahulu, namun dia juga mengenal adanya fase-fase atau tahap pendidikan. Tahap pendidikan yang pertama dimulai di rumah yang merupakan tempat kedua orang tua bertindak sebagai "guru" dalam beberapa "materi" pelajaran seperti agama, bahasa, konstruksi budaya, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Dari sini peran orang
3/6
Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
tua sangatlah besar, baik Bapak maupun Ibu, mereka adalah "pembentuk" awal dari pola pendidikan yang didapati seorang anak. Pelajaran bahasa, baik itu bahasa tubuh berupa prilaku keseharian hingga bahasa verbal, jelas didapat anak dari kedua orang tuanya terlebih dahulu. Lalu tahap pendidikan selanjutnya yaitu pada lingkup di luar rumah. Pada sekarang ini kita lebih mengenal dengan nama sekolah atau madrasah. Jika melihat kembali sejarah perkembangan dunia ilmu pengetahuan Islam, madrasah sesungguhnya menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat dan berkembang menjadi rintisan awal bagi institusi pendidikan yang memainkan peranan penting dalam dunia muslim. Contoh yang bisa diebutkan misalnya Qayrawan di Maroko, Al Azhar di Mesir, An Nizamiyah dan Al Mustansiriyah, dan An Nuriyah di Damaskus. Seiring dengan perkembangan itu, muncul juga observatorium dan rumah sakit yang berdiri independen sebagai akibat dari perkembangan madrasah dan lembaga ilmu pengetahuan tersebut, bagian dari eksperimen (penelitian), dan ada pula yang tergabung dengan perguruan tinggi tersebut. Observatorium Syamsiyyah milik khalifah al-Makmun misalnya. Para tokoh yang berada di balik observatorium atau rumah sakit itu tidak hanya berfungsi sebagai seorang guru dalam sense intelektual, tetapi juga berfungsi sebagai seorang teladan dalam tingkah laku moralnya.[S.H. Nasr, "Islamic Education and Science", dalam Dr. Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak perempuan perspektif Islam dan Kesetaraan jender, Fajar Pustaka, Oktober 2002] Dari tahapan perkembangan pendidikan Islam dan sistem yang terbangun di dalamnya, sesungguhnya tidak pernah mengenal pembedaan, pemisahan antara yang teologis dan sekuler, kekhususan pendidikan untuk jenis kelamin tertentu, ataupun mengukuhkan konstruksi yang bias gender. Sistem pendidikan Islam terbangun dan berkembang karena tantangan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Tidak seharusnya ia menciptakan penindasan dan penderitaan, baik penindasan berdasarkan ras, agama maupun gender. Karena Islam datang sebagai rahmatan lil 'alamin. Islam, pendidikan dan Perempuan Pada dasarnya Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk
4/6
Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan. Perhatian Nabi SAW terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budak-budak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits "Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda". Sesuai dengan semangat al-Qur'an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik. Secara khusus dalam surat At-Taubah ayat 71-72, al-Qur'an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan sholat, membayar zakat, beramar ma'ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu? Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja'far al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka
5/6
Fokus Edisi 7: Pendidikan Islam Tidak Mengenal Perbedaan! Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:05 -
saatnya mengutamakan diskriminatif untuk
pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak semua.? (Daan Deka)
6/6