Fmstory; Bee Hasanah S; Edelwis Wifiyu Salsa Azzam; Izzasi; Hania Afanin
KNIGHT WRITER 2
Fmstory Bee Hasanah S Edelwis Wifiyu Salsa Azzam Izzassi Hania Afanin
AKSARA MATA PENA/KW 2 editor, Sarifatul Hasanah.― Surabaya; Kyu Digital Books, 2016 61 hal. ; 21,59x27,94 cm.
Diterbitkan oleh: Kyu Digital Books Q-Writing Consulting Kadumulya No. 35 Cihanjung Kab. Bandung Barat 40559 Telp : +62 857 2356 8011 Email :
[email protected]
Penulis Editor Cover & layout
: KW 2 : Sarifatul Hasanah : Faidil Mursalin
Cetakan pertama, Juni 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang Sumber gambar
: Pixabay, Pexel
بسم هللا الرمحن الرحيم
Ucapan terima kasih Kepada Q writing consulting yang telah memberi tempat bagi kami untuk berkarya. Terkhusus kepada Kang Yovie yang telah membimbing kami dengan penuh kesabaran. Tak lupa kepada sahabat pena KW 2 yang selalu memberi motivasi dan semangat. Juga kerabat SW4 dengan dukungan morilnya, yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu namanya.
Sekapur Sirih Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan semesta alam yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Shalawat beriring salam semoga selalu terlimpah kepada khatamul anbiya, sang pembawa risalah, Muhammad shollallahu ’alaihi wa sallam. Untaian-untaian kalimat dalam buku ini hanyalah karya sederhana dari para penulis muda yang mendedikasikan diri dalam dunia literasi. Yang sudah melewati pelatihan kurang lebih selama dua bulan. Berjalan dalam belantara aksara dan bergelut dengan mata pena hingga bertahan sampai akhir: menuju terminal persinggahan dunia tulismenulis yang penuh kompetisi. Terlunta dan tertatih menyelesaikan setiap tantangan yang diberikan sembari menghias sabar dalam diri. Menerima setiap kritik dan saran seraya menata hati, agar memiliki tekad kuat dan nyala semangat yang tidak padam karena kesibukan. Selalu berjuang menggapai gugusan cita dengan ujung pena. Pada akhirnya, rangkaian paragrafpargraf ini merupakan buah tangan dari jiwajiwa yang berbicara melalui tinta. Sebagai cendera mata yang memberi jejak di sela masa. Juga sebagai pemantik agar selalu terdepan dalam berkarya.
KW 2
Penulis Bertanya: Mengapa Menjadi Penulis? Oleh: Fmstory
Pernahkah engkau ditanya, mengapa ingin menjadi penulis? Pernah? Jika pernah, maka jawaban apa yang engkau lontarkan? Jika belum, maka sekarang bertanyalah kepada dirimu sendiri, mengapa ingin menjadi penulis? Tanyakan itu, sekarang..!! Tapi, jika engkau enggan, maka saya yang akan bertanya, mengapa engkau ingin menjadi penulis? MENGAPA?!! Sudah menemukan jawaban? Atau merasa bingung? Beberapa waktu lalu saya mengikuti pelatihan menulis. Dan selalu, diawal sesi pelatihan sang kurator akan bertanya, mengapa ingin menjadi penulis? MEE-NGA-PAA?! Apakah ingin menjadi terkenal? Apakah ingin kehormatan? Apakah ingin kaya? Hey, semua orang boleh memilih alasan, bukan? Tapi ingat pesanku: demi apa pun engkau menulis, maka tulisan itu akan menuntunmu padanya. Apakah engkau sudah menemukan jawaban itu? Mengapa engkau ingin menjadi penulis? Ada berbagai macam alasan yang bisa engkau jadikan hujjah atas pertanyaan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Jika engkau menulis agar terkenal, maka percayalah suatu saat pamormu akan pudar jika tulisanmu tak sesuai selera. Jika engkau menulis demi kehormatan, maka percayalah satu kesalahan dalam aksara yang engkau rangkai, akan meluluhlantahkan kehormatan itu. Jika engkau menulis untuk menjadi kaya, hey..!! apakah itu benar-benar keinginanmu? Apa engkau menjadi salah satunya? Atau, engkau menulis agar diakui oleh keluarga? Pasangan? Teman? Maupun dunia? Ingin karyamu best seller? Ingin tulisanmu dicetak berjuta copy?
Hem, cukup engkau yang mengakui dirimu. Kelak, jika engkau berada di puncak kesuksesan dalam karirmu. Pengakuan itu akan datang menyambangimu. Tulislah sesuatu yang layak di mata publik, maka dengan sendirinya label best seller akan tersemat pada karyamu. Dan pastinya, akan di cetak berjuta copy. Jadi, apakah engkau sudah menemukan jawaban? Mengapa ingin mejadi penulis?
Seorang muslim Apabila memulai sesuatu Tidaklah berhenti Kecuali telah menyelesaikannya Sahabat pena KW2
Tidak Perlu Genius Untuk Berkarya Oleh: Bee
“Kreatifitas bukanlah bakat, melainkan cara kerja” –John Cleese *** Jack Ma, pendiri Alibaba Group, adalah orang yang sepuluh kali gagal masuk Harvard, tiga kali gagal tes masuk Universitas, dan akhirnya diterima di perguruan tinggi peringkat ketiga di daerahnya, yang hanya memiliki 4 perguruan tinggi. Ia mengatakan perguruan tinggi tersebutlah yang terbaik baginya, lebih baik dari pada Harvard. Dan siapa yang menyangka sekarang Ia terdaftar sebagai biliuner dunia. Jack Ma yang masuk dalam daftar orang paling berpengaruh dunia mengatakan, “Saya tidak pernah merasa pintar, saya lahir bukan dari keluarga berpendidikan, orang tua saya bukan orang yang kaya…” Ia hanya berpikir bagaimana cara membantu permasalahan orang lain, tidak mengeluh, tidak menyalahkan orang lain, terus berusaha mewujudkan impiannya. Begitu juga dengan kamu, tidak perlu menjadi genius untuk berkarya, semua orang bisa menghasilkan karya, asalkan menjalani proses, tahu tujuannya, dan yang terpenting adalah cara mewujudkan karya yang didambakan. Pilih Bidangmu “Bagian dari proses kreatif adalah menentukan bidangmu, hal itu ada di mana-mana, tapi jangan cari di tempat yang salah” –Henry Miller. Setiap orang yang menaiki angkutan umum seperti bis, kereta dan sebagainya, pasti mempunyai titik tujuan akhir yang ingin mereka capai. Begitu juga berkarya, pilih tujuan kamu terlebih dahulu, apakah kamu ingin berkarya dalam bidang musik, kepenulisan, pebisnis atau dalam bidang lainnya. Pilih salah satu yang paling kamu senangi dan buat rencana. Jika kamu merasa belum dapat memilih bidangmu, maka lakukan hal yang paling kamu sukai. “Buat Sesuatu yang kamu sukai, bahas, lalu kamu akan menarik orangorang yang menyukai hal yang semacam itu” –Austin Kleon
Cari Gurumu Cari orang-orang terhebat di bidang yang kamu pilih. Bill Gate, jika kamu ingin menjadi ahli IT, Jack Ma, jika ingin menjadi pebisnis hebat, Edgar Allan Poe, Mozart. Siapa saja yang menurut kamu menjadi inspirasi, yang karya-karya dan semangat juangnya bisa kamu ambil sebagai pelajaran dan penyemangat. Tapi, jangan hanya satu guru, kamu harus cari guru-guru lain, pasti setiap seniman, atau pebisnis mempunyai gayanya masing-masing dalam berkarya, tugas kamu sebagai murid adalah mengambil keahlian mereka, lalu kamu praktekan, hingga kamu benar-benar menemukan siapa dirimu dalam proses menemukan karya hebat. “Semua karya seni adalah hasil curian” –Pablo Picasso “Penyair baru meniru, penyair berpengalaman mencuri, penyair buruk merusak yang mereka ambil, penyair bagus menjadikannya lebih baik, atau tidaknya berbeda. Penyair hebat memoles perolehannya dengan keunikan, jauh berbeda dari sumber inspirasi” –T.S Eliot Nikmati Prosesnya “Kebanyakan orang hanya melihat pencapaiannya saja. mereka tidak pernah peduli pada tahap yang kita lalui untuk mencapai hasil itu” –michael Jackson. Kebanyakan dari kita adalah menggebu di awal, bersemangat membuat rencana, menulis tanggal kapan dikerjakan. Namun pada prosesnya akan merasa jenuh, dan akhirnya berhenti untuk melanjutkan mimpi yang sudah di depan mata. Ke-istiqomahan itu penting dalam berkarya. Bayangkan jika kamu menyempatkan diri untuk membawa batu sebesar kepalan tangan setiap pulang dari aktivitas setiap harinya. Maka jika 10 hari akan ada 10 batu, dan bayangkan jika kamu melakukannya tanpa henti, terus menerus (Istiqomah) maka dua tahun kamu bisa mengumpulkan satu truk batu. Begitu juga sebuah tulisan, satu halaman tiap harinya akan menjadi buku dalam dua tahun. Maka dari itu kamu harus memilih hal yang kamu sukai.
“Apapun yang menyemangatimu lakukan, apapun yang mengurangi energimu hentikan. Namun jika itu kebaikan maka paksakan” Temukan Orang Sepertimu “Waktu bertemu orang yang seprofesi, kamu akan mendapatkan tim” – Austin Kleon. Dengan internet, dunia seolah sangat mudah dijangkau. Media sosial, komunitas online, grup belajar online, kamu dapat menemukan orang-orang yang sepertimu di dunia maya. Bergabunglah, posting karyamu di sana, minta saran, dan beri komentar. Jadikan kritikan mereka sebuah masukan untuk karyamu menjadi lebih baik. Dan abaikan kritikan yang menurut kamu tidak penting yang sifatnya hanya menjatuhkanmu. Pastikan juga untuk bertemu dengan orang lain di dunia nyata. Buat kopdar, jumpa komunitas. Karena bertatap wajah langsung memiliki kualitas lebih baik dari pada hanya bertemu lewat dunia maya. “Bahwa teknik memasak barbekyu sebenarnya sangat sederhana, tapi menguasainya butuh bertahun-tahun, itulah intuisi yang hanya didapatkan dengan latihan berulang-ulang” Jadilah Amatir Tidak seorang pun dapat berjalan ketika baru lahir, semua menjalani proses; tengkurap, merangkak barulah berjalan. Semua orang terlahir tanpa keahlian, proseslah yang membuatnya menjadi ahli. Jadilah amatir, terus belajar, jangan cepat merasa puas dengan pujian-pujian yang datang pada karyamu. Kalaupun ada yang membayar mahal karyamu, anggap itu sebuah hadiah latihan yang selama ini kamu jalani setiap hari, karena karya yang sesungguhnya belum pernah kamu ciptakan.
Baca Biografi Orang Sukses Bacalah biografi orang-orang terkenal dunia. Tidak ada yang berjalan mulus, nyaris 90 persen perjalanan hidup mereka diwarnai kegagalan berulang-ulang. Namun, mereka mempunyai keyakinan dan usaha kuat untuk menjalani prosesnya. Bagi mereka kegagalan adalah sebuah kepastian, menyerah adalah kemustahilan. “Saat menghadapi kesulitan beberapa orang tumbuh sayap, sedang yang lain mencari tongkat penyangga” –Harold W.Rouff Memintalah sebenarnya
pada
pemilik
karya
yang
Tuhan adalah pemilik karya seluruh isi langit dan bumi. Jika ingin berkarya, maka mintalah pada Nya. Berdoa setiap hari untuk diberi kekuatan serta kemudahan dalam menjalani kehidupan, adalah hal terpenting yang harus kamu lakukan. Sumber: Steal Like An Arise – Austine Kleon Show Your Work – Austine Kleon
Pena ini akan selamanya diam Jika engkau tidak menggerakannya Tak perlu berpikir lama Tulislah Apa yang ingin kau tulis Fmstory
#Antologi
Edelwis Wifiyu
U
fuk sinar itu muncul dari peraduannya, seolah-olah sudah tidak menyimpan rasa malu untuk memamerkan wajahnya. Di desa Bahagia tampak keluarga sederhana yang terkenal
lantih acilnya1, tapi lantih yang baik, bukan bergosip ria ala infotainment. Acil Ismita, Si Mama Mursa, seorang mama yang sudah mulai renta namun semangatnya hidup sungguh menjadi tamparan nyata buat kita yang sering alpha dan khilaf melihat keadaan atas daripada keadaan bawah. Beliau rela mencari nafkah dengan jalan yang tentu saja jalan halal, bukan menghalalkan segala cara, yang mungkin sudah tidak dihiraukan manusia jaman sekarang. Jaman di mana sudah serba bebas, dari pergaulan, dan seluruh aspek kehidupan semua serba bebas, tak heran kejahatan mulai meningkat dari hari ke hari, dan semakin lama tingkat kepedulian antar masyarakat juga sudah mulai berkurang. Mama Mursa selain punya warung kelontong juga bisa mengkhatam pehumaan.2 Kita hanya tahu memakan padi yang sudah menjadi nasi tanpa tahu proses panennya. Seorang bunda super, karena suami beliau hanya seorang tukang bangunan yang tidak seberapa penghasilannya, paman Ridho namanya. Namun bisa membiayai anak sulungnya menjadi seorang Dokter terkenal Mursa, begitu panggilannya. Mursa merupakan anak sulung acil Ismita dan paman Ridho. Keseharian Mursa sebagai anak yang penuh tanggung jawab, walaupun sudah menjadi seorang dokter terkenal tak melenakan dia menjadi anak berbakti. Mursa
1 2
Acilnya = tantenya Panen padi
mengabdi di desa Bahagia. Walau menjadi seorang dokter, Mursa tidak gengsi di saat waktu sengganggnya mau mencari tambahan untuk membantu ibunya yang berjualan untuk membantu biaya pendidikan sekolah sang adik. Mursa memiliki adik yang masih duduk di bangku SMA bernama Alika. Alika juga kelak mau menjadi perawat mengikuti jejak Mursa di dunia kedokteran. *** “Assalamualaikum, uy cil, kami datang sudah nah, uma mulai bandara lapah banar, benaik kapal pulang nang halus3” Tampak nyaring Wiinlia menyahuti Acil Ismita, Wiinlia sang nona sosialita dengan husband-nya Kak Yudi serta si cantik imut-imut datang dari kotmetrol alias kota metropolitan bernama Shita, anak mereka yang berumur 2 tahun. Wiinlia memang bukan saudara Acil Ismita, tapi karena keikhlasan Acil,4 Wiinlia sudah seperti anak sendiri, karena kebaikan hatinya, Wiinlia menjadi simpati dan mau menjadikan Acil seperti saudara sendiri. Tampak tergopoh-gopoh Acil berlari menyambut Wiinlia. “Umai leh, kada menghabar habari nah, kayapa ikam5,” sembari terkejut dan tersenyum kecil Wiinlia datang, “Kada apa apa cil, sengaja, hahaha, kata Wiinlia sambil bergayaan, biar pian takajut aku Wiinlia nang bungas dan langkar ni datang.6 hahahaha,” ucap Wiinlia memecah sunyi.
3
Assalamualaikum tante, aku udah datang nih, ya ampun dari bandara capek ya, mana harus naik kapal yang kecil lagi Tante 5 Ya ampun, gak ngabar ngabarin nih, gimana sih kamu 6 Ga apa apa tante sengaja, kata Wiinlia sambil bercanda biar tante aku Wiinlia yang cantik jelita ini datang hahahah 4
“Umai ikam leh, bisa haja begayaan, aku tau ae kam bungas, tapi lebih bungas Shita7, hahahha,” kata Acil Ismita tidak mau kalah pander.8 Sudah beberapa tahun memang mereka tidak tertemu, karena memang keadaan yang harus membuat mereka terpisah, Dulu, Wiinlia bertetangga dengan mama Mursa sewaktu Mursa masih dibangku SD. Kedua orang tua mereka sangat akrab antara Acil Ismita dengan mama Wiinlia, karena ayah Wiinlia harus bertugas di Pusat Ibukota. Ayah Wiinlia merupakan dokter yang terkenal di desa Bahagia, jadilah mereka seperti keluarga baru dan harus meninggalkan desa Bahagia yang penuh kenangan. *** “Mursanya lagi meubati urang teh, inya begawi di puskesmas simpang empat tuh9, kata mama Mursa , si nona sosialita menyahut. “Subhanallah, lawas kada tertemu, Mursa sudah jadi dokter sekalinya, kawanku kecil dahulu, harad dah wayahini10,” sambil terseyum juga Wiinlia mengucap. “Iya, terinspirasi dari abah ikam jar dr. Mulya, inya ketuju banar imbah diobati abah kam tuh gratis, karena aku kada kawa membayar jua dahulu, ada pun duit sagan makan haja, akhirnya Mursa bertekad bujur-bujur handak jadi dokter supaya kawa seperti abah ikam, eh kayapa kabar abah ikam? Sehat ae kalo?11 “ Kata beliau nanya balik ke Wiinlia. 7
Ya ampun, iya aku tau kamu cantik, tapi lebih cantik Shita anakmua heheh Bicara 9 Mursanya lagi mengobati orang tuh, dia kerja di puskesmas di simpang 4 tuh 10 Subhanallah, lama tidak bertemu, Mursa sudah jadi dokter taunya, temanku kecil dulu hebat sekarang 11 Iya terinspirasi dari papahmu tuh dr Mulya, dia suka banget habis diobati gratis oleh ayahmu karena aku jua ga bisa bayar, duit ada tapi untuk makan, makanya dia bertekad sungguh sungguh mau jadi dokter, e iya ayahmu apa kabar? Sehat aja kan? 8
“Alhamdulillah kuitan ulun keduanya masih sehat, makanya kami ke sini karena ada amanah mama handak memberikan kalung ke pian cil, ni ulun sama mama dan abah serta laki ulun sama si kecil ni handak ke luar negeri, kami semuaan handak ke Inggris, bisa jarang ke Indonesia lagi, laki ulun ni diplomat eksekutif muda ditempatkan di kantor sana, nah kata mama kegenangan pian, tempulu mash di Indonesia kami disuruh kewadah pian bermalam seminggu hanyar bulan depan berangkat ke Inggris.12” “Kami kesini juga sekalian pamitan kami handak ke luar negeri, handak pamit lawan Mursa juga.” Tampak sedikit tertahan bendungan air mata Acil Ismita, dahulu tetangga tempat seru-seruan karena tugas harus terpisah dan harus keluar negeri yang bisa jadi ini pertemuan terakhirnya. *** Tampak dari kejauhan seorang laki-laki berparas cerah datang dengan gontai dan santai, baru saja pulang dari praktikum di puskesmas, si dokter Mursa. “Assalamualaikum..” “Waalaikumsalam. Umaaa13, Mursaaa, wahh, dokter Mursa datang nah, dokter apa nih, dokter syaraf bukan dokternya yang sarap kan hahahaha,” kata Wiinlia tertawa terbahak. 12
Alhamdulillah kedua orang tuaku keduanya masih sehat, makanya kami kesini karena ada amanah mama mau memberikan kalung ke
tante, ni saya sama mama dan abah serta laki ulun sama si kecil ni mau ke luar negeri, kami semuaan mau ke Inggris, bisa jarang ke Indonesia lagi, suami saya ni diplomat eksekutif muda ditempatkan dikantor sana, nah kata mama keingetan tante mumpung mash di Indonesia kami disuruh kerumah tante menginap seminggu baru bulan depan berangkat ke Inggris”. 13
Ya ampun
“Yee bukan lahh,” kata Mursa, “wah si nona sosialita kenapa gerang bulik14 ke sini, hahahahha” “Umai leh , aku kesini handak mengenalkan suamiku nah sama anakku Shita 2 tahun, sama pamit handak ke Inggris begana di sana.15 “Wahh jauhnya lahh, kapan berangkatnya, kena berwhatsapp ria kitalah16, jaman sudah canggih, kita juga harus kekinian lah,” kata Mursa sambil tersenyum. *** “Iya kak, Mursa memang sudah kuanggap sobat, adik, dan mungkin guru dalam hidup ini. kak Yudi jangan cemburulah, cintaku hanya untukmu kok. Hehe. Tentunya setelah cinta Wiinlia kepada Allah dan rasul, masa sih gitu aja cemburu dikira clbk ya, nggak layau, you are my sweestest love honey,” kata Wiinlia kepada Kak Yudi suaminya. Wiinlia berusaha menjelaskan dan sedikit merayu suaminya, khawatir suaminya tercinta itu cemburu kepada Mursa. Tibalah saat Wiinlia akan ke bandara, Acil Ismita, paman Ridho dan Mursa yang sudah dari tadi malam menginap di penginapan dekat bandara Syamsuddin Noor, mengantar Wiinlia sekeluarga yang akan terbang ke Inggris. Di situlah pertemuan mama wiinlia dan acil Ismita Mama Mursa, “Mama Wiinlia kah, uma tambah bungas sekarang lah, makasihlah kalungnya17,” kata Acil Ismita Mama Mursa. Tampak sosok wanita sederhana
14
Ngapain balik kesini Ya ampun, aku kesini mau mengenalkan suamiku nih sama anakku Shita 2 tahun sama mau pamit ke Inggris, tinggal disana 16 Nanti kita berwhatsappan ya 17 Mama Wiinlia ya, wah tambah cantik ya sekarang, terima kasih ya kalungnya 15
nan kuat itu berbicara melepas rindu dengan tetangga lama yang sudah seperti saudara. Jam 10.00 WIB. Waktunya mereka check in, semua barang sudah dicek dan beberapa sudah dimasukan ke bagasi dan ada pula yang dibawa ke kabin. Wiinlia menunggu di ruang tunggu, sambil mengeluarkan tabnya, mencurahkan isi hatinya karena galau akan meninggalkan tanah air, di facebooknya Wiinlia berkisah. Dear kawan kawan facebook Selama hidupku di tanah air ini aku banyak sekali menuai makna dalam hidup ini, tidak selamanya orang yang asing dalam hidupmu dia akan mecabik kehidupanmu, justru akulah saksi bahwa mereka juga bisa memberi warna dalam hidup kita ini, ya... salah satunya adalah tetanggaku di waktu kecil, justru di desa Bahagia hidupku. Selama tumbuh di sana aku bak bunga mawar yang mekar berkelopak berwarna indah, dialah Acil Ismita, seorang yang sangat kukagumi. Betapa tidak, aku masih ingat banget, mama yang tau-tau harus ikut papah ke Bangladesh, aku kesepian karena aku hanya anak tunggal, Acil Ismita dan kawanku dr. Mursa mengajakku ke pasar terapung menghilangkan kesunyian, keluarga ini benar-benar mengisi hidupku dan mengajarkanku arti kehidupan sebenarnya. Aku nona sosialita yang cenderung dimanja, justru keluarga merekalah yang mengajari aku kemandirian, arti semangat hidup, dan perjuangan, sedari dulu Acil masih saja bersahaja
mau berjualan
kelontong dan mau menuai padi di terik matahari yang panas-panasnya, dan Mursa pun membantu Ibunya, dan akupun diajak bersama mereka
ketika mama dan papah lagi sibuk. Terima kasih dr Mursa, dan Acil Ismita, aku tak akkan melupakan kalian. 😊 Rinduku yang tiada henti. Wiinlia Mulyana Status Wiinlia banyak yang me-like dan Mursa pun tersenyum simpul membaca status sahabatnya itu.
Sabda Langit
Sesuai goresan Firman Allah Bahwa manusia tempatnya lalai Manusia tempatnya membuat gemuruh langit Banyak wanita berumur senja bahkan kurcaci kecil Mereka didera banjir tangisan Seolah di sekelilingnya asik dengan dunia durjananya Ke mana kalian saat si renta dan si yatim bergidik kesakitan Menahan lapar Sedangkan kalian Rakus dengan dunia yang maya Sudah kaya minta lebih kaya Sudah punya mercedes masih ingin mercy Nikmat mana yang kau dustakan Hai manusia, bangkitlah! Dunia bukan tempat keluh kesah galaumu Tapi tempat hasil segala perjuanganmu Edelwis Wifiyu
“
Bunda pokoknya aku mau pindah!!!” Aku tidak tahu lagi bagaimana harus meminta pada bunda, rasanya mulutku seperti menelan deterjen sebanyak satu kilogram. Penuh busa dan pahit, tetapi bunda tetaplah stay cool, seolah
rengekanku adalah rengekan biasa khas anak kecil yang mengadu karena diisengi oleh temannya. “Mau pindah ke mana lagi? Itu sudah kost-an paling aman menurut bunda. Strategis pula, deket sama kampusmu, kan?!” “Bukan masalah tempatnya Bunda, tapi aku malas dengan orang-orang di sana. Aku merasa nggak cocok gabung dengan mereka, Bun.” “Kalau pun kamu pindah, memang bisa langsung klik sama suasana barunya? Tidak, kan? Yang ada justru kamu harus beradaptasi lagi dengan tempat dan orang-orangnya di sana.” Aku mendesah pasrah. Sepertinya ini memang keputusan final yang tak dapat diganggu gugat. “Oke, oke. Fine. Kalau gitu aku stay di kamar aja terusterusan. Biar nggak usah sosialisasi dengan mereka.” “Hei, heiii ... Memangnya kamu fikir, kamu itu siapa? Super hero? Yang tidak butuh siapa-siapa? Kamu tuh cuma manusia biasa, makhluk sosial. Tidak baik ah, bersikap antipati begitu.” “Tapi Bun ...” Klik Tut ... tut ... tuttt ...
Ah bunda, kebiasaan banget deh. Selalu seperti itu, tidak pernah mau mendengarkan alasanku terlebih dahulu. Padahal yang aku lakukan ini demi menjaga kehormatan keluarga juga, dan yang terpenting biar tidak terseret pada pergaulan mereka, yang bebas. Mereka yang aku maksud adalah ... Para penghuni kos yang kini aku tinggali. Terdiri dari lima cewek yang karakternya berbeda-beda. Awalnya aku bangga menjadi bagian dari mereka, namun lambat laun kebanggaan itu mengikis seiring dengan terkuaknya gaya hidup mereka yang berbeda 180 derajat denganku. Bukan bermaksud sok suci atau bagaimana, tetapi keadaannya memang demikian. Cewek pertama, sebut saja si A. Anak pengusaha roti yang lumayan terkenal di kotaku. Wajahnya mulus banget, sebelas – lima belas mungkin kalau disandingkan dengan artis korea. Aku memang bisa menerawang jika mulusnya itu efek make-up, habis antara wajah dan tangannya itu kontras banget perbedaannya. Tetapi yang tidak aku habis fikir adalah, harga satu bedaknya lebih dari setengah juta. Woww, angka yang fantastis buatku yang hanya merupakan mahasiswi korban beasiswa. Setelah aku tanya lebih lanjut, ternyata si A ini suka nilep uang yang orang tuanya kasih untuk biaya kuliah. Tidak heran, kalau si A suka belanja ini dan itu. Lalu ada si B. Yang hobby-nya keluar malam. Setiap hari suka uring-uringan tidak jelas. Hanya karena tidak dapat kabar dari sang pacar. Kalau curhat nggak peduli sikon. Aku lagi sibuk nugas, tetap aja si B ngoceh di kamarku. Kalau dinasehatin malah tidak terima, bilang kalau aku ini sok suci lah, ini lah, itu lah. Rasanya pengen bejek-bejek bibirnya yang sok imut itu. Huhuu ... sudah dibilang
aku tak tahan dengan mereka. Mau sok cuek, aku malah takut kalau di akhirat nanti dia malah minta pertanggungjawabanku kenapa nggak pernah menegur kesalahannya ketika hidup dulu. Kan repot. Nah, si C ini lebih unik lagi orangnya. Aku kadang merasa kesal dan kasihan secara bersamaan. Merupakan anak rantauan dari pulau seberang. Kata penghuni lainnya, dia ini klepto. Aku sih antara yakin dan nggak yakin, habis yang dia curi mulai dari hal kecil seperti minyak goreng hingga hape ataupun emas. Sama-sama suka belanja seperti si A. Bedanya, kalau si A nilep duit orangtuanya, si C ngembat barang teman-temannya. Kami yang mau melaporkan ke pemilik kos merasa kasihan mengingat si C ini jauh dari keluarga dan jarang ada yang mengunjungi. Silent adalah pilihan terakhir yang terbaik. Meskipun aku tidak begitu yakin juga. Nah yang terakhir ini, aku tidak begitu kenal. Pasalnya si D ini selain mahasiswi merangkap jadi penyanyi dangdut. Kayaknya sih lumayan terkenal, habis selalu rame job ini. Dan, semenjak ada dia ... kamu bukan kamu, yang seperti dulu ... Tiada lagi kisah indah dan kini kusendiri, bersama bayangmu Malam sunyi berganti, wajah yang selalu kutunggu ... Suara merdu vokalis Yovie and Nuno mengaburkan lamunanku. Ternyata nomor bunda yang tertera pada layar. “Assalamualaikum, Bun. Ada apa? Bukannya tadi dimatiin gitu aja sama Bunda?”
“Waalaikumsalam ... Tadi pulsanya habis. Ini bunda baru ngisi pulsa lagi.” Aku hanya menjawab “oh” dalam hati. Habis udah terlanjur nggak mood sih. “Jadi masih mau bersikeras buat pindah?” tanya bunda lagi. “Hmmmm.” “Tidak perlu menghindar. Di dunia ini kamu akan menemui banyak manusia dengan yang berbeda watak juga status sosial. Yang harus kamu lakukan adalah, tetap berada di jalan-Nya dan jangan sampai terjerumus.” “Yaelah bun. Mustahil kalau kita nggak akan terseret dengan arus kehidupan seorang teman. Lambat laun, banyak atau sedikit pasti ada celah yang membuat seseorang bisa terseret.” “Makanya ubah sugesti kamu. Kamu tahu kalau apa yang terjadi pada manusia itu mengikuti sugesti yang ada di kepala manusia itu sendiri. Kenapa tidak kamu saja yang pelan-pelan ubah teman kamu, jadi tidak ada lagi yang namanya keseret-seret ke hal yang nggak baik.” Aku bukannya mau ge-er ataupun sok suci. Toh memang diantara kami berlima, hanya aku yang masih berfikiran straight. Tidak neko-neko. Dari awal aku sadar, aku hanyalah anak dari keluarga miskin yang mendapat keberuntungan bisa kuliah dengan beasiswa. “Hallo ... Kamu masih dengar bunda kan?” Sayup-sayup aku mendengar suara bunda lagi. “Eh, ia Bun. Lihat nanti aja deh Bun. Assalamualaikum ... ”
Kumatikan saluran telepon kami, dan mengembuskan nafas sebanyakbanyaknya. Hidup memang rumit. Bagaikan roller coaster ada kalanya kita berada di atas bagian paling atas hingga hampir menyentuh langit, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah kehidupan. Selamanya hidup akan melewati fase itu. Dan mungkin kali ini aku masih berada di bawah, berusaha menggapai agar mencapai kehidupan indah seperti di langit. Aku percaya tak ada orang yang sukses tanpa berjuang untuk mendapatkan kesuksesan itu. Karena hanya yang bersungguh– sungguh yang akan berhasil. Yang jelas bersungguh-sungguh di jalan yang benar.
Bukan maksud tuk melupakan, hanya saja terbelenggu oleh keadaan. Dilain sisi angin menyampaikan, disisi lain kebimbangan menyerang. Manusia memang sulit diterka. Melakukan ini salah, melakukan itu pun salah. Peduli dikira pura–pura. Acuh dikira tak ber-perasa. Bagaikan berenang dalam lautan. Sedikit lama tak ubahnya memakan garam. Hingga tiba saatnya gelora dirudung dilema. Terombang–ambing bagai perahu diterpa badai. Mati atau selamat terasa percuma. Hasanah S
Hania Afanin
Apa yang salah dengan kedua tangan ini? Belum pernah ada sesuatu yang benar-benar selesai dan benar-benar berhasil. Apa mungkin aku membawa bibit kesialan? Apapun yang berkaitan denganku selalu saja menimbulkan masalah dan kerugian. Mengapa selalu begini? Sampai kapan aku tak mampu meraih apa yang kuinginkan. Mengapa perasaan itu selalu muncul? “Kau tak akan bisa...” “Kau akan gagal...” ***
A
khir-akhir ini hujan begitu setia menemani sore hariku setelah pulang dari sekolah. Kadang aku merasa kesal karena saat hujan turun aku tak bisa pergi ke luar rumah. Namun setelah kupikir-
pikir lagi, kalau pun hujan tak turun, aku jarang sekali pergi ke luar. Kupandangi titik-titik air hujan yang membasahi jendela kamarku, hujan nampaknya belum mau reda. Tak apalah, toh masih banyak hal yang bisa kulakukan di dalam rumah. Kuambil sebuah buku novel yang baru saja kubeli saat libur hari minggu kemarin dari rak buku. Tebalnya mencapai 300 halaman. Meski banyak, itu bukan masalah bagiku. Aku selalu menyukainya. Karena bagiku, novel adalah obat mujarab saat aku dilanda rasa bosan yang sangat menyiksa, seperti sekarang ini. Huft... Hujan turun semakin deras saat aku membaca buku di halaman ke-17. Tibatiba terdengar suara seseorang masuk ke rumah dan mengucap salam, aku sangat hapal pemilik suara itu, itu adalah suara mamah. Aku segera keluar
kamar dan menyambut kedatangannya, terlihat mamah membawa kotak dus kecil di tangannya. Aku sangat senang, itu pasti makanan! “Raja di mana, Kak?” tanya Mamah tentang seseorang yang lahir setelahku dari rahimnya, Raja adikku. Celaka, aku tak tahu! “Kayaknya Raja lagi nonton TV deh, Mah,”jawabku asal, padahal suasana rumah begitu hening dan sama sekali tak terdengar suara TV yang menyala. “Kalau nggak, lagi tidur di kamarnya, hehe,” tambahku. Mamah bergegas berjalan ke ruang tengah mencari Raja, aku mengikutinya dari belakang. Tak ada. Di luar hujan masih turun dengan sangat deras, aku khawatir Raja tak ada di kamarnya atau di mana pun di salah satu tempat yang ada di rumah ini. Karena itu artinya dia sedang pergi bermain bersama teman-temannya, bermain bola di lapangan sambil hujan-hujanan. Raja selalu menyukai itu dan aku akan dimarahi karena membiarkannya pergi bermain saat hujan sedang turun. “Tadi Raja ga pamit pergi main?” “Nggak, Mah...” “Kakak dari tadi ngapain aja, sih?” Aku tak menjawab. Ini adalah kata pembuka bahwa aku akan dimarahi. Aku hanya menunduk. “Hmm... Baca novel yaa.... sampai lupa sama ad.........” “Assalamu’alaikuuum.....” Itu suara Raja yang baru saja datang. Aku dan Mamah bergegas berlari melihatnya. Raja persis basah kuyup. Badan mungilnya tampak agak menggigil, namun ia tetap saja nyengir, seperti orang yang sengaja
melakukan kesalahan namun tak ingin dimarahi. Bagaimana mungkin Mamah akan memarahinya, sementara ia lebih banyak merasa khawatir Raja akan jatuh sakit? Aku memandangi buku novel yang sedari tadi kupegang. Mamah hampir saja memarahiku karenanya. *** Membaca novel adalah salah satu hobi yang kumiliki. Namun terkadang Mamah tak suka bila aku selalu saja terlihat sedang membaca novel. Kenapa? Apa harus aku mengubahnya? *** Namaku Nesya Nur Fauzia, anak pertama dari dua bersaudara. Orang-orang terdekatku biasa memanggilku Nesya, namun geng alay di kelas sering memanggilku Echa. Kini aku duduk di kelas XI di salah satu Madrasah Aliyah yang ada di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Umurku masih belasan dan aku masih sangat muda. Semua orang di kelas tahu aku senang sekali membaca novel. Mereka pun tahu aku ingin menjadi seorang penulis. Ini terlalu sederhana sebenarnya, namun sayangnya sebagai seseorang yang memiliki cita-cita sebagai seorang penulis, sampai saat ini aku belum berani memperlihatkan karyaku. Aku masih belum siap. Untunglah mereka tak pernah mendesakku. Hari ini hari yang sangat cerah karena ujian kenaikan kelas baru saja selesai. Meski begitu, aku harus tetap pergi ke sekolah karena ada agenda rapat OSIS
yang harus kuikuti. Setidaknya satu bebanku telah hilang karena telah selesai mengikuti ujian. Aku tak ingin munafik, karena bagiku ujian sekolah adalah beban. Aku masih menyusuri jalan agar bisa sampai ke sekolah. Letak sekolahku kurang strategis, memang. Setelah turun dari kendaraan umum aku masih harus berjalan kaki. Tak apalah, anggap saja olahraga ringan di pagi hari. “Nesyaaa......!!” seru seseorang yang memanggilku dari belakang. Aku menghentikan langkahku dan melihat siapa yang memanggil. Kang Ismail. Kang Ismail adalah kakak kelasku yang telah lulus tahun lalu yang sekarang menjadi staf Tata Usaha sekolah. Sebenarnya ia terhitung siswa yang pintar, namun sayang ia belum bisa meneruskan studinya ke bangku kuliah. Selain terkendala biaya, yang kutahu Kang Ismail tidak mendapat informasi tentang tes SNMPTN sehingga tidak bisa mendaftar. Lalu saat tes SBMPTN tiba ia justru berhalangan hadir meski telah terdaftar sebagai peserta, dengan satu alasan yang sampai saat ini tak habis kupikir. Sakit perut. Kang Ismail tahu aku akan pergi ke sekolah untuk mengikuti rapat OSIS. Namun ia memanggilku bukan untuk berangkat bersama, tapi... “Nes, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kalau begitu, akang berangkat duluan yah? Assalamu’alaikum...” “.....” ***
Sesuai prediksi, rapat OSIS tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan agenda yang telah ditentukan. Kabarnya sang ketua OSIS tengah dipanggil ke ruang Pembina Kesiswaan. Aku duduk di salah satu kursi kantin bersama temanku, Ambar, sambil sama-sama memainkan ponsel masing-masing. Membuka akun Facebook persis seperti orang yang tak memiliki kerjaan. Aku membuka menu beranda, status Kang Ismail muncul di halaman paling atas,
Ismail Rahman Y Kecepatan lari seekor kijang itu sekitar 90 km/jam. Sedangkan kecepatan lari seekor singa itu sekitar 58 km/jam. Meskipun demikian, seekor kijang dapat mudah diterkam oleh singa. Kenapa coba? :D
“Cieee... Fans!! Hahaha..” secara mengejutkan Kang Ismail tiba-tiba muncul dari arah belakang, memergokiku yang sedang membaca statusnya. Meski begitu, aku merasa tak perlu mengklarifikasi, karena sudah jelas aku sedang membaca status yang ada di beranda. Kebetulan saja status Kang Ismail berada di halaman paling atas. “Jadi, emang kenapa bisa kayak gitu, kang?” Aku to the point saja bertanya padanya.
“Eitss.... mana boleh tanya kayak begitu? Coba kamu komen di status. Nanti akang jawab di sana.. Hahaha.. biar yang lain juga tahu jawabannya, Nes. Assalamu’alaikum... ” jawabnya sambil berlalu begitu saja. “Iihh.... Wa’alaikumsalam..” Sebenarnya aku sedikit kesal, namun karena penasaran aku akhirnya memberikan komentar juga di status yang dibuatnya dan ia pun segera membalas. Ismail Rahman Y Karena ketika kijang lari dari singa, ia merasa yakin bahwa singa dapat menerkam dirinya dan karena dia merasa lemah dibandingkan singa. Maka rasa takutnya itu menjadikan dia lebih sering menoleh ke belakang untuk memperhitungkan jarak. Padahal itu dapat mengurangi kecepatan larinya sehingga ia dengan mudah diterkam. Kalau saja kijang tahu bahwa ia memiliki nilai lebih dalam kecepatan larinya, ia pasti akan selamat. Maka berapa banyak waktu yang sudah kita habiskan untuk menengok masa lalu hingga masa lalu itu menerkam kita dengan segala kesusahan dan kepayahan padanya serta berapa banyak rasa takut gagal menjadikan kita terjebak dan menjadi mangsa bagi kenyataan hidup dan berapa banyak trauma diri menjadikan kita merasa tidak yakin bahwa kita mampu selamat dan merealisasikan tujuan kita serta rasa takut itu membunuh kita dari dalam?
Banyak sekali, gumamku dalam hati, untuk sementara aku lupa dengan kekesalanku padanya. Sekarang aku paham, mengapa aku selalu merasa tak yakin dapat meraih banyak hal yang kuinginkan.
Masa lalu tidak akan hilang Berdamailah, Dia akan memudar menjadi kenangan Hingga engkau lupa Engkau punya cerita tentangnya
Fmstory
Allah MAHA TAHU
Salsa Azzam
“E
mmm,” eranganku berat dari balik selimut. Rasa nyeri di sekujur tubuh membuatku sulit bangun dari tempat tidur. Sedangkan dari Masjid, suara adzan terdengar lantang dan keras, seakan menyuruhku segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudu sebelum melaksanakan sholat subuh. Badanku panas! ini pasti akibat kehujanan kemarin saat pulang kerja. Aku dan hujan memang tidak pernah mau berdamai. Setiap kali aku kena rintiknya, setiap itu juga aku demam. Ahh ... aku harus segera bangun. Aku tidak boleh mengalah pada rasa sakit ini. Bukannya sudah terlalu sering? Namun, rasa sakit itu semakin mendera setelah aku usai sholat. Tidak ada pilihan lain. Kuambil telepon bimbitku yang tergeletak sembarangan di atas kasur. Segera kucari nama kak Husna di kontak kenalan. “Halo kak,” sapaku setelah nada tunggu, tersambung. “Hemm, ada apa?” tanyanya ketus. Ah, nada bicara kak Husna memang begitu. “Aku demam Kak. jadi mau minta izin tidak masuk kerja hari ini,” ucapku lemah. Persis seperti suara orang yang sedang sakit parah. Lama tak ada jawaban dari kak Husna selaku pengawas, aku menjadi sedikit bingung. Aku sering sekali sakit di musim hujan seperti sekarang. Tapi meski begitu, jika seandainya aku masih kuat, aku tetap memaksa masuk supaya tidak sering bolos. Selain merasa tidak nyaman dengan karyawan yang lain, aku juga merasa segan dengan keringanan yang diberikan perusahaan.
Aku tidak mau disangka mengambil kesempatan dalam kesempitan. “Sering bolos, tapi gaji tetap utuh. Enak, ya!” jangan sampai aku mendengar katakata seperti itu dari mulut mereka. Ah, itu hanya perasaanku saja. “Kak Husna, masih di situ?!” “Eh, iya. Rahma, maafkan aku sebelumnya, mungkin selama kita kenal, aku banyak salah sama kamu.” Suara kak Husna seperti tercekat di tenggorokan. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu namun bingung. Ada apa? Tiba-tiba saja firasat buruk menyergap batinku. “Meski berat, aku harus menyampaikan ini padamu. Rahma, kamu last kerja bulan ini. So, mulai dari sekarang kamu sambil cari kerja di tempat lain ya ... sebagai cadangan.” Deg! Ternyata firasatku tadi benar. Kenapa nasib ku apes banget pagi ini. Sudah jatuh, masih juga ditimpa tangga pula. “Aku dipecat, Kak? Memangnya kenapa? Salah apa yang telah aku perbuat?” Sederet pertanyaan mewakili perasaanku pagi ini. “Maaf Rahma, kuharap kamu bisa menerimanya. Ini sudah menjadi keputusan perusahaan. Semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ini.” Tut tut tut ... Sambungan telepon dimatikan dari sana. Aku terdiam. Mencoba memutar memori lama kembali. Kesalahan apa yang telah membuatku dipecat dari perusahaan? Apa iya karena aku sering sakit? Ah, tidak mungkin! Aku sudah lama kerja di sana. Mereka semua tahu yang aku alergi hujan. Lantas, sebab apa?! Aku tidak menemukan jawabannya.
Apa yang perlu yang aku risaukan. Anggap saja ini sudah menjadi bagian dari hidup yang harus aku lalui. Ya! aku menyerah pada takdir Tuhan, Dia yang lebih tahu mana yang terbaik untukku. Jika ini berpunca dari sebuah kesalahanku, aku sendiri memvonisnya sebagai hukuman untukku. Namun, jika aku tidak bersalah, mungkin ini adalah cobaan dari Tuhan untuk menguji kesabaranku. Bukankah hidup ini hanya sebagai bahan uji coba? “Laa haula wa laa quata illa billah ...” **** “Rahma, kau demam lagi?” “Begitulah, Kak.” “Yasudah, minum obat yang ada dulu ya ... nanti sore, sepulang kerja, kakak langsung ke kosanmu. Kita ke rumah sakit. Assalamu alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Kak Nurul menelponku. Dia orang yang paling dekat denganku, setelah keluarga. Menjadi anak rantau sepertiku harus pandai bergaul. Tapi juga jangan sampai salah memilih teman. Bisa berabe urusannya. Setelah jenuh seharian di kamar, akhirnya sore yang ditunggu pun tiba. Kak Nurul datang dengan membawa sebungkus bakso untukku. Tapi makanan enak kesukaanku itu rasanya berbeda hari ini. Terasa sangat getir di lidah, membuatku tidak berselera menjamahnya. “Rahma, yang sabar ya ... kakak tidak habis pikir kalau kamu yang dipecat. Secara kamu itu kan pekerja lama di sana. Mbok ya.., kalau mau
ngurangin karyawan pun harusnya pecat yang masih baru-baru dong ... soalnya menurutku mereka yang belum ngerti banget seluk-beluk pekerjaan.” “Sudah bukan rezki Rahma, Kak. Mau diapakan lagi. Rahma nggak apaapa kok. Kak Nurul jangan terlalu khawatir ya ... Insha Allah, ada hikmah di balik semua ini.” Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuannya. **** Setelah tiga hari demam, aku masuk kerja lagi hari ini. Meski seminggu ke depan akan menjadi detik-detik terakhirku bekerja di sana. Awalnya aku enggan masuk kerja lagi, aku merasa malu untuk bertatap muka dengan karyawan yang lain. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, alasanku dipecat itu apa. Tapi sebagai manusia normal, dipecat bukan karena mengundurkan diri itu rasanya sesuatu banget. Hanya Tuhan dan aku yang tahu rasanya itu gimana. Setelah dari parkiran, aku masuk keruang staf. Di sana, kutemui banyak wajah yang berbeda versi. Ada yang menatapku penuh iba, ada yang manatapku tidak suka, ada juga yang menatapku dengan tawa atas dipecatnya aku dari perusahaan. Entah, aku sepertinya tidak pernah mengganggu kehidupan mereka. Tapi mengapa ada saja orang yang tidak suka tehadapku. Alah biarkan saja. Toh kalau sudah capek mereka akan berhenti sendiri.
Untuk pergi ke ruangan kerjaku di lantai enam belas, aku harus menaiki lift. Di dalam lift aku bertemu dengan kakek-kakek sekitar umur tujuh puluhan. Senyumnya ramah. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya di sini. Siapa gerangan? “Cah ayu, ada teman yang mau bekerja sebagai asisten pribadi, tidak?” Tanya kakek itu setelah berbasa basi denganku di lift. “Asisten pribadi itu maksudnya gimana ya, kek?” “Kakek butuh asisten pribadi untuk menangani proyek baru yang ada di bagian perusahaan ini. Gajinya lumayan tinggi, karna kakek kerjanya secara personel. Kakek, butuh orang yang jujur, disiplin, dan mau bertanggung jawab.” “Kerjanya apa aja, kek?” “Hanya sebagai pengawas, catat setiap ada produk yang datang. Dan wajib lapor pada kakek, dalam seminggu sekali. Sabtu dan minggu libur.” Sungguh pekerjaan yang ditawarkan kakek ini lumayan menarik perhatianku. Selain gajinya yang tinggi, aku juga bisa libur dua hari. Tidak seperti di tempat kerjaku yang sekarang, libur hanya sebulan dua kali itupun secara bergantian. “Kek, kapan bisa mulai kerja?” “Bulan depan, baru mulai.”
“Kebetulan Kek, bulan depan, aku sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Kalau Kakek mau, aku yang mau bekerja dengan Kakek, gimana?” “CONFORM?” “Insha Allah. Conform, Kek.” Allah lebih tahu tentang hidupku.
Kalam-Nya "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216)
“Z
a, lo kesambet apa mau pake kerudung gini?” tanya Dian tepat setelah ia duduk di hadapan Fhaza. Jojo dan Vira segera duduk di samping kanan dan kiri Dian sambil menatap aneh Fhaza yang sedang makan bekalnya. Kini mereka bertiga
seperti menginterogasi Fhaza seakan Fhaza baru saja melakukan tindak kejahatan. “Emangnya ngga panas ya? Sayang banget kalo gue pakai kerudung terus rambut indah lo harus ditutupin dan ngga bisa kasih lihat ke orang-orang!” Jojo sebal melihat sahabatnya, Fhaza, kini duduk mengenakan kerudung putih di hadapan mereka, serasi dengan seragam putih abu-abu mereka. “Iya, Za. Jangan-jangan lo kena aliran sesat ya?” timpal Vira, tak kalah blakblakan dari Jojo. Fhaza yang duduk di bangku mejanya sambil mengunyah nasi goreng hampir saja tersedak karena tiba-tiba dihujani pertanyaan. Mata cokelat Fhaza melotot memandang ketiga sahabat di depannya. Fhaza meraih botol minum, menegak air yang di dalamnya dan kemudian berdeham. “Ngaco ih, kalian. Ngga boleh ngomong sembarangan gitu! Niat gue baik, gue mau pake kerudung untuk menutup aurat gue. Dan gue mau belajar lebih tentang agama.” Fhaza berusaha menjelaskan kebingungan ketiga sahabatnya. Namun, tiga sahabat Fhaza masih belum bisa menerimanya. “Lo ngga takut lo bakal di anggap sok alim dan ngga gaul?” Jojo terus menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menggoyahkan keteguhan Fhaza. Sementara Vira semakin heran dengan jawaban Fhaza.
“Lo tahu kan gimana pemberitaan sekarang? Orang-orang yang beragama Islam di pandang sebagai teroris. Lebih-lebih yang berkerudung. Lo ngga takut di cap teroris?” tanya Vira sambil memandangi mata Fhaza lekat-lekat, penuh dengan kengerian. Fhaza, yang awalnya kebingungan tiba-tiba di serang dengan berbagai pertanyaan oleh sahabat-sahabatnya, kini tersenyum dan mulai tertawa. “Eh, kok lo malah ketawa Za? Kita serius! Kita peduli sama lo!” ujar Vira dengan nada marah. Ia merasa tersinggung dengan sikap Fhaza. Ia peduli dengan Fhaza yang tiba-tiba seminggu ini pakai kerudung ke sekolah. Vira bersama Dian dan Jojo awalnya mengira Fhaza sedang mengikuti trend atau fashion yang lagi in akhir-akhir ini. Tapi tebakan mereka bertiga salah. Hingga hari jum’at, Fhaza tak pernah melepas kerudungnya. Ia pun sangat memerhatikan materi keputrian hari ini dan mencatatnya. Berbeda dengan kondisi sebulan yang lalu, mereka tak pernah memperhatikan materi keputrian dan memilih memasang headset di balik kerudung yang mereka pakai asalasalan. Fhaza segera menggenggam tangan Vira untuk menenangkan. “Maaf ya, gue teringat diri gue beberapa bulan yang lalu. Gue pun menanyakan hal yang sama ke kakak gue. Gue ngerasa kayak di tanya sama diri gue sendiri.” jelas Fhaza sambil mengusir air mata di sudut matanya. “Terus, jawaban dari kakak lo apa?” tanya Jojo penasaran. “Awalnya gue tanya ke Kak Aisha kenapa betah bertahun-tahun pakai kerudung. Gue ngga pernah lihat Kak Aisha keluar rumah ngga pakai kerudung.
Selalu tertutup rapih. Dan yang paling bikin gue kagum itu, gue selalu ngerasa adem kalo ngelihat Kak Aisha.” “Terus apa jawaban Kak Aisha?” tanya Dian tak sabar. Dian termasuk sahabat Fhaza yang cukup kenal dekat dengan Kak Aisha karena kakak Dian satu kampus dengan Kak Aisha. “Iya kata Kak Aisha, menutup aurat adalah salah satu perintah agama. Ada di dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31. Gue inget banget karena langsung gue catat di buku diary gue. Menutup aurat ini ngga hanya buat perempuan aja tapi laki-laki juga. Tentu ada bedanya. Tapi, buat perempuan dengan menggunakan kerudung atau jilbab. Akhirnya gue selama dua bulan ini memantapkan niat dan mempersiapkan diri untuk pakai kerudung. Alhamdulillah niat gue udah mantap dan gue mulai pakai kerudung.” Fhaza tersenyum manis setelah selesai menjelaskan. “Oh iya, Kak Aisha juga jelasin banyak manfaat dari pakai kerudung. Salah satunya melindungi rambut kita yang indah.” Fhaza menambahkan Tapi Jojo kini mengernyitkan alis, ia bingung dengan jawaban Fhaza di kalimat terakhir. “Kok melindungi rambut sih? Kan di tutupin pakai kerudung.” Jojo kembali bertanya. “Iya. Kata Kak Aisha, rambut kita jadi terlindungi dari teriknya sinar matahari. Kulit kepala kita ngga langsung terkena sinar matahari. Rambut kita juga ngga gampang ke bakar. Kalau kita rajin merawatnya, rambut kita akan
sehat dan terus terjaga keindahannya.” jelas Fhaza. Raut wajah Jojo yang kebingungan mulai memudar. “Pasti kakak lo tipikal mahasiswa yang kuma-kuma ya?” Kini Vira menebak dengan nada meyakinkan “Hah? Kuma-kuma? Apa tuh?” tanya Jojo penasaran. “Itu loh! Kan ada mahasiswa kura-kura alias kuliah rapat, terus ada juga kunang-kunang alias abis kuliah terus pulang. Kalo kuma-kuma mungkin abis kuliah langsung ke masjid.” jelas Vira sambil menyengir usil. “Ih, ngarang banget!” ujar Jojo sebal. “Ngga, kok. Kak Aisha itu rajin banget ikut kegiatan kampus. Kalau ngga salah Kak Aisha itu sekretaris BEM gitu katanya. Terus kalau lagi ngga sibuk kegiatan ya ngabisin waktu di Lab. Ini aja di rumah lagi sibuk siap-siap mau lomba ke Jepang.” jelas Fhaza. “Wah, keren! Mau ikut juga dong ke Jepang!” ujar Dian dengan semangat. Fhaza hanya tertawa dan melanjutkannya dengan candaan. “Tapi kalau pandangan Islam yang identik teroris itu gimana? Seakan-akan Islam sedang di musuhi sama semua orang di dunia.” tanya Vira penasaran. Pertanyaannya itu belum terjawab. Banyak kabar beredar tentang agama Islam akhir-akhir ini. Seringkali media memberitakan tentang pemboman dan beberapa tindakan teror yang membunuh
banyak
orang
dilakukan
oleh
orang-orang
dengan
mengatasnamakan jihad untuk agama. Hal tersebut sering membuat Vira bingung dengan kondisi yang terjadi. Karena kebingungan itu pula, Vira mulai
mempertanyakan agama yang dianutnya benar atau tidak. Sampai akhirnya Vira memutuskan untuk tak peduli dan cuek dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama. “Wah, kalau itu lebih baik kita diskusi bareng Kak Aisha deh. Kemarin gue nanya hal yang sama tapi kalau gue yang jelasin takut ada yang terlewat. Gue coba jawab seinget gue ya. Jadi, agama Islam itu agama yang baik dan ngga pernah mengajarkan tentang kekerasan apalagi membunuh sembarangan orang. Memangnya dari kecil kita pernah diajari hal kayak gitu? Bahkan kejahatan kecil seperti berbohong aja ngga boleh kan. Apalagi mencuri, melukai, atau bahkan membunuh orang sembarangan. Itu ngga boleh. Ngga sesuai sama ajaran agama Islam!” Fhaza mencoba mengambil napas dan mengatur emosinya. “Kalau tentang jihad?” tanya Jojo lagi. “Sabar… Belum selesai jelasinnya. Kalau tentang jihad, kemarin Kak Aisha jelasin kalau jihad itu ngga cuma turun ke medan perang dan berperang memperjuangkan agama Allah. Kita sebagai pelajar menimba ilmu itu juga dinamakan jihad. Seorang ibu yang berjuang melahirkan bayi yang ada di kandungannya juga itu jihad. Kata jihad itu ngga bisa diartikan sesempit itu.” jelas Fhaza semampunya. Banyak sekali yang ingin Fhaza jelaskan ke tiga sahabat di depannya yang masih menyimpan segudang pertanyaan. Tapi Fhaza sadar dirinya belum punya kapasitas untuk itu. Fhaza ingin segera mengajak Dian, Jojo dan Vira untuk berdiskusi dengan Kak Aisha. Fhaza pun ingat dengan pesan Kak Aisha untuk terus memupuk iman dan menambah pengetahuan kita dengan banyak membaca buku dan
menghadiri majelis-majelis ilmu agar tahu apa yang sedang terjadi dengan dunia saat ini. Kak Aisha pun menyarankan Fhaza sering berkumpul dengan orang-orang shalehah agar saling mengingatkan dalam kebaikan karena kalau kita sendirian akan mudah di hasut oleh bisikan-bisikan setan. Pada akhirnya, ibarat sebuah pohon, jika kita pupuk dan rawat dengan baik maka akan tumbuh dengan baik. Begitu pula dengan iman kita.
♥♥♥
Hijrah Untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya tidak cukup hanya dengan niat semata. Ringankan langkah kaki yang terasa berat.
Hijrah Awalnya memang tidak mudah, karena hijrah merupakan sebuah perjuangan yang melelahkan. Namun percayalah, hasil akhirnya pasti akan memuaskan.
Salsa Azzam
Renungan
Umar bin Khattab Si “Penakut” Oleh: Bee Dialah Umar bin Khattab, Amirul mukminin, pemimpin yang cerdas, penakluk kekuasaan kafir, yang rela mengejar seekor unta milik umatnya di tengah panas teriknya matahari. Dialah Umar pribadi yang pada suatu hari menemani istrinya pada sebagian malam, dengan membawa sekarung gandum pada bahu dan tangannya, sekantung air dan sebotol minyak. Ketika istrinya mengurusi seorang wanita asing yang hendak melahirkan, ia duduk di luar gubuk memasakan bagi anak-anak wanita itu. Lelaki yang jika berkata pasti didengar, jika berjalan pasti cepat, dan jika memukul pasti mematikan. Si kidal yang sering bergulat di pasar Ukazh, ialah sahabat yang meminta pada Rasulullah untuk melakukan penyebaran islam secara terang-terangan. Di balik itu semua ia adalah orang yang sangat penakut. Namun sebelum cahaya Allah menyelimuti dirinya, ia adalah pribadi yang sangat congkak. Ia penentang keras garis depan akan agama Allah yang dibawa melalui Rasulullah SAW. Sebelum suatu hidayah datang pada dirininya, di suatu hari melalaui Sa’id bin Zaid dan istrinya Fathima bin Khathab. “Suara apa yang kudengar tadi?!” Umar berteriak lantang. Lantas keduanya menjawab “Tidak ada, itu hanya sekedar percakapan dan obrolan biasa.” “Aku dengar kalian telah berpaling dari agama kalian!” Tanpa ragu Sa’id manjawab “Hai umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu ternyata berada di luar agamamu?!”
Belum pun selesai Sa’id mengatup bibirnya, Umar langsung menerkam Sa’id dengan kekuatannya yang dahsyat. Lalu ia menjambak kepalanya, menarik dan membanting Sa’id ke tanah. Fatima yang melihat suaminya dihajar oleh Umar tak lantas tinggal diam, ia mencoba untuk membela suaminya, dan dengan cepat pula Umar menampar fathimah, hingga berdarah dan berteriak kesakitan. Dan jeritan faimahlah, yang bagai sangkakala langit, berdengung dan gemerincing membuka hati seorang Umar bin Khatab. “Wahai musuh Allah, apakah engkau berani memukulku karena keimananku kepada Allah yang Esa? Jika benar demikian, lakukanlah!! Aku akan tetap beraksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah dengan benar) melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!!” Hati Umar bergetar mendengar ucapan adiknya. Lalu ia bangkit, melepaskan tindihan dada Sa’id, lantas membentangkan tangannya kearah fatiah meminta lembaran yang ia lihat terjatuh dari balik pakaiannya. Akan tetapi saudarinya menjawab “Tidak, karena sesungguhnya ‘Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan’.” Pergilah Umar bagai jiwa yang penurut dan patuh. Padahal sebelumnya ia sangat keras dan bengis, lalu ia kembali dengan janggut yang basah dengan air. Lalu ia tenggelam dengan firman–firman Allah.. “Taahaa, Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tapi sebagai peringatan orang yang takut (kepada Allah) – Qs.Thaahaa.”
Dari sejak itu Umar bermetamorfosis menjadi pribadi yang luar biasa. Keras atas nama Islam, lantang atas nama islam pula. Dan menjadi barisan paling depan membela islam secara terang-terangan. Hijrah yang sempurna. Ia menjadikan sifat kerasnya dalam hal kebaikan. Dan Rasulullah memberikan gelar Al-Faruq padanya. Dan kelak menjadi Khalifah Rausulullah saw setelah Abu Bakar, sebagai Amirul Mukminin. Namun ada yang berubah darinya setelah ia mengenal Allah, ia menjadi orang yang “penakut,” takut akan Allah. Ia selalu mengulang-ulang sebuah pertanyaan yang memngharukan kepada dirinya sendiri, “Apa yang akan engkau ucapkan kepada Tuhanmu esok hari (saat di Akhirat)?” Pertanyaan itu cukup untuk membuatnya menggigil ketakutan akan hisab Allah kepadanya. Lantas takutkah kita pada hisab Allah? Seperti umar takut? Padahal kita lahir dalam keadaan islam, dan besar dalam keadaan islam. Namun tidak seperti Umar yang penakut, seolah kita lupa pada apa Allah yang telah memberi kita hidup dan kenikmatan. Apakah kita akan tetap seperti Umar yang dulu congkaknya atau berubah menjadi Umar yang “penakut.”
~~~
Merenunglah... Hisablah dirimu Dalam sepi Dalam sunyi Dalam gulita Bersimpuhlah Lantunkan keluh kesahmu Meminta ampunlah Sesungguhnya, setiap helaan nafasmu Satu langkah, menuju Tuhanmu