i
FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI
SUCI APRIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT SUCI APRIANI. Factors that Influence the Consumption of Carbohydrate Food Sources in Some Rural and Urban Area: Ecological Study. Under the guidance of YAYUK FARIDA BALIWATI. The study was aim to analyze the ecological factors (food availability, carriying capacity, population density, poverty levels, GDP per capita, education levels) that influence the consumption of carbohydrate food sources in some rural and urban areas. This study was conducted using cross sectional study design, analyzed the 62 district in Indonesia. Data food consumption obtained from Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Data food production, population density, poverty levels, GDP per capita of the region, and education level obtained from the Central Statistic Agency (BPS). Data carriying capacity was calculated by formula.Statical test of pearson correlation and stepwise linear regression method were implemented to understand factors that influence consumption of carbohydrate food sources:rice, corn, cassava and sweet potato in rural and urban area. The study show that factor influenced consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area was food availability. Factor that influence consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area is availability. Factor that influence consumption rice in rural area was food availability, while in urban area were food availability and poverty levels. Factor that influence consumption corn in rural area was poverty levels, while in urban area was food availability. Factor that influence consumption cassava in rural and urban area was population density. Factors that influence consumption sweet potato in rural area were carriying capacity and GDP per capita, while in urban area was poverty levels. Keywords: consumption of carbohydrate food sources, ecological factors, rural and urban area.
iii
RINGKASAN SUCI APRIANI. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Salah satu aspek dalam ketahanan pangan adalah konsumsi pangan. Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. Konsumsi pangan sumber karbohidrat memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi karena separuh dari energi yang dikonsumsi berasal dari pangan sumber karbohidrat.Jika permasalahan dalam pemenuhan konsumsi pangan tidak diatasi, maka dapat berdampak pada terjadi kurang gizi dan penurunan kualitas kehidupan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (1) Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(2) Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) diwilayah perdesaan dan perkotaan;(3) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (tingkat kemiskinan, PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan perkotaan;(4) Menganalisis hubungan Karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(5) Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan. Penelitian ini didesain menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007. Berdasarkan kriteria tersebut, diambil 31 contoh untuk daerah perkotaan dan 31 contoh untuk daerah perdesaan. Sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 62 kabupaten. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yang terdiri atas: ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, PDRB/kapita wilayah, dan tingkat pendidikan. Variabel tak bebas adalah konsumsi pangan sumber karbohidrat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Microsoft excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for Windows dengan menngunakan uji beda Independent Sample T-test, korelasi pearson,dan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise. Berdasarkan uji beda independent sample t-test, variabel yang berbeda nyata di perdesaan dan perkotaan adalah konsumsi beras (p<0,05), konsumsi serealia (p<0,05) konsumsi ubi jalar (p<0,05), konsumsi umbi-umbian (p<0,05), kepadatan penduduk (p<0,01), tingkat kemiskinan (p<0,05), dan tingkat
iv
pendidikan (p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan maupun di perkotaan lebih didominasi oleh beras.Kecukupan konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 961 kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan juga didominasi oleh beras.Kecukupan ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 1934 kkal/kap/hari.Kepadatan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 1144 jiwa/km2 dibandingkan di perdesaan yaitu 249 jiwa/km2. Daya dukung lahan di perdesaan lebih rendah daripada di perkotaan yaitu 6,62 orang/ha. Sementara itu daya dukung lahan di perkotaan meskipun lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 7,16 orang/ha namun angka tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya.Tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan yaitu 21% dan72% sedangkan di perkotaan yaitu 17% dan 64%. PDRB/kapita di perdesaan adalah Rp 7,373,000.00 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada di perkotaan yaitu Rp 10,913,000.00 Berdasarkan hasil korelasi pearson, faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan(r=0,474, p<0,01), daya dukung lahan(r=0,403, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,443, p<0,05). Faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah ketersediaan (r=0,581, p<0,01) dan tingkat kemiskinan (r=0,412, p<0,05). Pada konsumsi jagung, faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan adalah ketersediaan (r=0,556, p<0,01), daya dukung lahan (r=0,535, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,627, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,552, p<0,01). Sementara itu di perkotaan, konsumsi jagung berhubungan dengan ketersediaan (r=0,607, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,394, p<0,05). Konsumsi ubi kayu di perdesaan berhubungan dengan faktor ketersediaan (r=0,484, p<0,01), kepadatan penduduk (r=-0,541, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,377, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,387, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi ubi kayu berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,323, p<0,05). Konsumsi ubi jalar di perdesaan berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,403, p<0,05), daya dukung lahan (r=0,467, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,427,p<0,05. Konsumsi ubi jalar di perkotaan berhubungan dengan tingkat kemiskinan (r=-0,426, p<0,05)) dan PDRB/kapita (r=0,413, p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan berhubungan dengan ketersediaan(r=0,485, p<0,01), PDRB/kapita (r=0,384, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,435, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi pangan sumber karbohidrat total berhubungan dengan ketersediaan (r=0,360, p<0,05). Berdasarkan uji regresi linier, faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras di perdesaan (RSquare=0,291) adalah ketersediaan dan konsumsi beras di perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan dan tingkat kemiskinan (RSquare=0,330). Konsumsi jagung di perdesaan dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan (RSquare=0,393) dan di perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan (RSquare=0,368). Konsumsi ubi kayu baik di perdesaan (RSquare=0,277) maupun di perkotaan (RSquare=0,176) keduanya dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. Konsumsi ubi jalar di perdesaan dipengaruhi oleh daya dukung lahan dan PDRB/kapita (RSquare=0,345) serta di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan (RSquare=0,182). Sementara itu, konsumsi pangan sumber karbohidrat total baik di perdesaan maupun perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan.
v
FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI
SUCI APRIANI
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
Judul : Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat
di beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi
Ekologi Nama : Suci Apriani NIM
: I14061937
Disetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
iii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor
yang
Berpengaruh
terhadap
Konsumsi
Pangan
Sumber
Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Djuharso, Mas Nanang, Mba Tini, Mba Wiwin, Mas Min serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian dan dukungan dalam bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan. 2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas segala saran dan masukan yang diberikan. 3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pembimbing akademik. 4. Bu Dian Rahim, Mita, Mesil, Anri, Makcik, Dya, dan Rani yang telah menjadi keluarga kecil penulis selama di IPB. Semoga kita dapat berkumpul kembali di jannah-Nya dalam suatu lingkaran. Aamin. 5. Seluruh penghuni Andaleb 2 spesial untuk Memi, Mifta, Mba Devi, Dinda, Aling atas segala perhatian, dukungan dan keceriaan yang diberikan dalam keseharian penulis. 6. Nadya Dwi Muchisa, S.Stat atas kesediaan waktunya untuk berbagi ilmu statistika, sehingga pengolahan data skripsi ini dapat berjalan lancar. 7. Reti, Avi, Dianita,Dini, Rai, Fatimah, Mba Nisa, Mba Ncun, Ipung, Daniel, Wirudy dan seluruh “sahabat FEMA&IPB”atas dukungan, masukan, dan motivasi untuk terus lebih baik. 8. Sahabat satu “kampung” Gita, Rizka, Septin, Mei yang telah bersama-sama mengadu nasib bersama penulis dengan segala suka dan duka di kampus IPB. 9. Sahabat seperjuangan skripsi: Dian Hani, Dewi Ratih, dan A‟immatul Fauziyah, serta teman-teman pembahas: Hadi, Nadia, Ima, dan Diana. 10. Semua sahabat Gizi Masyarakat angkatan ‟43, ‟44, ‟45, ‟46 atas dukungan dan semangat yang diberikan. 11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU atas segala bantuannya.
iv
12. Teman-teman pengurus LDK AL HURRIYYAH 2007-2009, pengurus FORSIA 2008-2010 dan pengurus FORHUMAN 2010 atas kebersamaan, kerja sama dan pelajaran hidup yang penulis dapatkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Juli 2011 Penulis
v
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Banyumas, 29 April 1989 dari pasangan Bapak Djuharso dan Ibu Partini yang merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SD Muhammadiyyah 02 Pasir Kidul, kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Purwokerto dan SMU Negeri 1 Purwokerto. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya LDK DKM Al Hurriyyah dan Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA). Penulis pernah mengikuti program pekan kreativitas mahasiswa bidang kewirausahaan (PKMK) dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2009. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum Ekologi Manusia dan asisten Pendidikan Agama Islam. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kuliah kerja praktek (KKP) di desa Petir, Kabupaten Bogor. Serta pada tahun 2010 penulis juga melaksanakan Internship Dietetik di RSUD R.E. Syamsudin, Kota Sukabumi.
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 3 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 4 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5 Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan ......................................... 5 Konsumsi Pangan ............................................................................................ 7 Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah ......... 11 Karakteristik Wilayah ............................................................................ 11 Ketersediaan Pangan ........................................................................... 13 Daya Dukung Pangan Wilayah............................................................. 14 Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk ................................................ 17 Faktor Ekonomi .................................................................................... 18 Pendidikan ........................................................................................... 20 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 22 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 24 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian........................................................... 24 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh .......................................................... 24 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 26 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 26 Definisi Operasional ....................................................................................... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 31 Kondisi Umum Wilayah Penelitian .................................................................. 31 Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ............ 31 Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan ................................ 35 Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan ............................ 37 Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ............................ 39 Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras .................................................................................................... 40 Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi jagung .................................................................................................. 44 Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu ............................................................................................... 48 Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar ................................................................................................ 52 Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat.................................................................. 55 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 61 Kesimpulan .................................................................................................... 61 Saran ............................................................................................................. 62
ii
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 68
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) .... 8 Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ......................... 12 Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ......................... 25 Tabel 4. Jenis data yang dikumpulkan .............................................................. 26 Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan.............................................................................................. 32 Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ....................................... 33 Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan .......... 34 Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan ............................................................................................................. 35 Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ....................................... 36 Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan .......... 36 Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan ................................... 37 Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan .................. 39 Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 40 Tabel 14. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 43 Tabel 15. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 44 Tabel 16. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 46 Tabel 17. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 48 Tabel 18. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 51 Tabel 19. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 52
iv
Tabel 20. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise................................................................................................ 54 Tabel 21. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise ....................................................... 56 Tabel 22. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise ....................................................... 58 Tabel 23. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan ..................... 60
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan .................................... 6 Gambar 2. Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi. ........................... 10 Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang ..................... 11 Gambar 4. Kerangka pemikiran ......................................................................... 23
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006). Sebagaimana kita ketahui, sasaran pertama Millenium Development Goals (MDGs) adalah bahwa pada tahun 2015 diharapkan angka kemiskinan dan kelaparan tinggal separuh dari kondisi tahun 1990. Dua dari lima indikator penjabaran tujuan pertama MDGs adalah: (1) berkurangnya prevalensi kurang gizi pada anak BALITA (indikator keempat), dan (2) berkurangnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima). Hal itu mengandung makna bahwa ketahanan pangan merupakan simpul strategis pencapaian sasaran MDGs. Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator ketahanan pangan terdiri dari dua kelompok yaitu indikator proses yang menggambarkan situasi pangan (ketersediaan dan akses pangan) dan indikator dampak yang terdiri dari dampak secara langsung (konsumsi dan frekuensi pangan) dan dampak secara tidak langsung (penyimpanan pangan dan status gizi) (Maxwell dan Frankerberger 1992). Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, disebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di Indonesia. Berdasarkan kecukupan pola pangan harapan (PPH), kecukupan energi yang diperoleh dari pangan sumber karbohidrat adalah 50 % untuk kelompok
2
serealia dan 6 % untuk kelompok umbi-umbian. Hal tersebut menunjukkan posisi penting pangan sumber karbohidrat dalam kecukupan energi penduduk. Selain itu, berdasarkan Susenas 2005, 43,61% kecukupan protein penduduk Indonesia berasal dari beras. Karena itu, ketidakcukupan pangan sumber karbohidrat bisa menjadi peringatan kewaspadaan pangan paling dini. Menurut Hasil penelitian Mauludyani (2008), konsumsi beras nasional pada tahun 2005 berdasarkan data Susenas telah memenuhi 46,56 % dari susunan menu makan penduduk. Sementara itu konsumsi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar berturut-turut 1,23%, 1,88%, dan 0,66%. Dari data yang sama,diketahui pula konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan wilayah perkotaan meskipun keduanya didominasi oleh konsumsi beras. Konsumsi beras, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di perdesaan berturut-turut sebesar 50,8%, 1,87%, 2,50%,0,9% sedangkan di perkotaan berturut-turut sebesar 41,03%, 0,205%, 0,93%, 0,208%. Penelitian terkait keragaan konsumsi menunjukkan bahwa keragaan konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri- ciri demografis,aspek sosial, ekonomi serta potensi sumber daya alam setempat. Dalam pasal 2 UU no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan
daerah.
Pembentukkan
daerah
berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosialpolitik,
jumlah
penduduk,
luas
daerah,
dan
pertimbangan
lain
yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dalam pasal 2 UU no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah disebutkan pengertian kotayaitu wilayah administrasi yang memiliki kegiatan ekonomi bukan pertanian sehingga kegiatan pengelolaan sumber daya alam bukan menjadi kegiatan utama karena kurang tersediaanya sumber daya alam yang dikelola. Sementara kabupaten memiliki ketersediaan sumber daya alam yang lebih banyak untuk dikelola sehingga wilayah ini dapat diteliti untuk mengetahui hubungan ketersediaan dengan
pemanfaatan
sumberdaya
alam
serta
faktor-faktor
lain
yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Begitu beragamnya karakteristik kabupaten karena di dalamnya juga terdapat pembagian kawasan yaitu kawasan perkotaan maupun perdesaan. Pengertian kawasan perkotaan menurut UU no.22 tahun 1999 adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
3
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang dikonsumsi setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya,
termasuk
tingkat
ekonomi
umum,
kebijakan
pemerintah
yang
berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian. Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan. Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan terhadap muncul atau tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli. Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi. Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang dimiliki untuk mendapatkan pangan. Jika konsumsi pangan tidak tercukupi, khususnya pangan karbohidrat yang merupakan sumber energi maka akan rentan terjadi rawan pangan yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, perlu dianalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan konsumsi pangan di berbagai karakteristik wilayah (perdesaan dan perkotaan) dengan pendekatan variabel ekologi berdasarkan Jelliffe dan Jelliffe (1989) sehingga permasalahan yang ada dapat diatasi secara tepat. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan.
4
Adapun tujuan khususnya antara lain: 1. Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat pada komoditas beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar di wilayah perdesaan dan perkotaan. 2. Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan dari produksi, kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) di wilayah perdesaan dan perkotaan. 3. Mengetahui
karakteristik
sosial
ekonomi
(tingkat
kemiskinan,
PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan perkotaan. 4. Menganalisis hubungan karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan. 5. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan. Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan positif antara ketersediaan pangan, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat 2. Terdapat hubungan negatif antara kepadatan penduduk dan PDRB/kapita dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat. 3. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kegunaan Penelitian Penelitian ini akan memberikan data atau informasi mengenai faktorfaktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Informasi ini mampu memberikan gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kondisi fisik wilayah sebagai variabel ekologi yang dapat berkontribusi dalam penentuan kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang berkelanjutan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas. Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat (Hardinsyah 2000) Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan
sub
sistem konsumsi
memungkinkan
setiap
rumah
tangga
memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004). Pembangunan
ketahanan
pangan
memerlukan
harmonisasi
dari
pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan
6
menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan
dan
desentralistis,
dan
melalui
pendekatan
koordinasi
(Simatupang 1999 diacu dalam Riadi 2007).
Sumber: Riley,et al. 1999
Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan Pada Gambar 1 (Riley,et al. 1999) dapat dilihat hubungan antara ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan di atas, pada Gambar 1 digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem (ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan dari produksi pangan, cadangan, impor dan bantuan pangan). Pada sub sistem
7
akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu) dan akan berdampak pada status gizi. Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan. Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli. Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi. Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang dimiliki untuk mendapatkan pangan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik (produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.1999 diacu dalam Amadona 2003). Konsumsi Pangan Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula
8
berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Menurut Jelliffe& Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2010) dari data konsumsi Susenas tahun 2002 sampai tahun 2009 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) Tahun
Beras
Jagung
2002 115.5 3.4 2003 109.7 2.8 2004 107.0 3.2 2005 105.2 3.3 2006 104.0 3.0 2007 100.0 4.2 2008 104.9 2.9 2009 102,2 2,2 Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2010)
Ubi kayu 12.8 12.0 15.1 15.0 12.6 13.5 12.9 9,6
Ubi jalar 2.8 3.3 5.4 4.0 3.2 2.5 2.8 2,4
Menurut Baliwati dan Roosita (2004) konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan.
9
Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi (Hardinsyah, et al. 2002) Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2) Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana
cara
pengolahanya,
penyalurannya,
penyiapannya,
dan
penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange), dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989 diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan, dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga pada masa krisis.
10
Sumber: Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992)
Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan, bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan. Menurut Sukandar, et al. (2007)diacu dalam Fitria (2003), tingkat kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari 70% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau kelompok
orang
(rumah
tangga/keluarga)
tersebut
dikatakan
konsumsi
pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan pangan). Depkes (1996) diacu dalam Fitria (2003) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (>120%). Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang dari beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Proporsi setiap jenis pangan
11
pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada Gambar3.
Sumber: Hardinsyah,et al. (2002)
Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah Karakteristik Wilayah Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989) indikator demografi wilayah merupakan salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk. Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan perkotaan (BPS 2007). Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita penduduk
di
perdesaan
lebih
tinggi
daripada
di
perkotaan
tanpa
memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan komposisi makanannya (Braun, et al. 1993). Dapat diasumsikan bahwa pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi
12
yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993). Menurut BPS (2007), untuk menentukan suatu wilayah termasuk perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2. Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari setiap variabel. Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007) Variabel/ Kllasifikasi Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum 1. Kepadatan Penduduk/ km2 < 500 500-1249 1250-2499 2500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 >=8500 2. Persentase Rumah Tangga Pertanian >= 70,00 50,00-69,99 30,00-49,99 20,00-29,99 15,00-19,99 10,00-14,99 5,00-9,99 <5,00 3. Akses Fasilitas Umum A) Sekolah Taman KanakKanak (TK) Ada atau <=2,5 km > 2,5 km
Skor 2 26
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8 0,1,2,…10
1 0
Variabel/ Kllasifikasi B) Sekolah Dasar Ada atau <=2,5 km > 2,5 km C) Sekolah Menengah Pertama Ada atau <=2,5 km > 2,5 km D) Sekolah Menengah Umum Ada atau <=2,5 km > 2,5 km E) Bioskop Ada atau <=5 km > 5 km F) Pasar/Pertokoan Ada atau <=2 km > 2 km G) Rumah Sakit Ada atau <=5 km > 5 km H) Hotel/ Billiar/ Diskotek/ Panti pijat/ Salon Ada Tidak ada I) Persentase Pumah Tangga Telepon > =8,00 < 8,00 J) Persentase Rumah Tangga Listrik >= 90,00 < 90,00
Skor 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
1 0
1 0
1 0
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya
13
sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 8500 orang per km2. b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99 persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah tangga tani kurang dari 5. c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1, dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut serupa dengan memiliki. e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan. Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan. Ketersediaan Pangan Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun 1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2001). Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan.
Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat
bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976. Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Diantara rantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut
14
DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1) produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan. Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003). Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat. Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah. Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993). Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Daya Dukung Pangan Wilayah Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan
15
menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007). Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich (1971) dan Holdren (1974) diacu dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. a. Daya Dukung Lahan Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007).
16
Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):
Dimana: K
= daya dukung lahan (orang/ha)
ASi
= luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)
Ysi
= produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)
Csi
= tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan dalam menu penduduk (%kkal/tahun)
R
= kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)
Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity. Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard
2002 diacu
dalam Absari 2007). Untuk
memperkiraan
besarnya
regional
carrying
capacity
dapat
menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obatobatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard 2002 diacu dalam Absari 2007).
17
b. Daya Dukung Gizi Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, et al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat terwujud secara berkesinambungan. Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), salah satu indikator yang berkaitan dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah. Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan penduduk (jiwa/km2). BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2). Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas. Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi
18
peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya. Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink 1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005). Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan. Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan yang diperoleh oleh penduduk. Faktor Ekonomi a. Tingkat Kemiskinan Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan
maupun laki-laki. Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (2005) yang digunakan untuk menentukan ketahanan pangan dan gizi
19
pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati 2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam Ulfani 2010). Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005). b. Pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu. PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS 2005). PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2) pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan, 4) listrik, gas dan air
20
bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7) pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, 9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005). Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan ratarata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun (BPS 2008). Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap konsumsi pangan. Zulfianto (1990) diacu dalam Ratna (2005) menyatakan bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan pun meningkat. Menurut Soehardjo (1998) kenaikan tingkat pendapatan akan menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 2002). Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak, minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 1998). Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 1986) Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986)
21
menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia, Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.
22
KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu cara untuk mengukur kecukupan gizi adalah mengetahui tingkat konsumsi masyarakatnya. Konsumsi pangan yang dapat diketahui dengan menggunakan data hasil survei Riskesdas (Riset kesehatan dasar) dihitung secara kuantitas dengan standar angka kecukupan gizi (AKG) untuk menentukan konsumsinya (kkal/kap/hari). Salah satu indikator dari penjabaran tujuan pertama MDGs adalah berkurangnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima). Karena itu konsumsi energi penduduk khususnya pangan sumber karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar dalam susunan makanan perlu diketahui untuk melihat gambaran pemenuhan kecukupan energi penduduk. Konsumsi pangan masyarakat khususnya konsumsi energi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang akan diteliti antara lain, faktor fisik, sosial dan ekonomi. Faktor fisik yaitu ketersediaan pangan sumber karbohidrat, kepadatan penduduk dan daya dukung lahan tanaman pangan wilayah khususnya tanaman pangan sumber karbohidrat. Sementara faktor sosial ekonomi mencakup PDRB/kapita wilayah,
tingkat kemiskinan, dan tingkat
pendidikan. Semakin tinggi daya dukung lahan maka diharapkan produksinya semakin tinggi dan akan meningkatkan konsumsi pangan penduduk. Namun belum tentu pula jika daya dukung lahan rendah konsumsinya juga rendah, karena penduduk bisa mendapatkan makanannya dengan impor dari wilayah lain. Menurut Hardinsyah 2007 diduga keragaman konsumsi pangan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Sehingga dapat dikatakan semakin tinggi tingkat pendidikan maka keragaman konsumsi pangan semakin meningkat. Begitu pula dengan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang berpengaruh dalam keragaman konsumsi pangan. Semakin rendah pendapatan dan semakin tinggi tingkat kemiskinan
maka
konsumsi
pangannya
pemenuhan pangan sumber energi.
akan
lebih
dialokasikan
untuk
23
AKSES SOSIAL EKONOMI: Tingkat kemiskinan PDRB/ kapita Tingkat pendidikan
KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT
AKSES FISIK Ketersediaan pangan sumber karbohidrat Produksi pangan sumber karbohidrat
Luas lahan
Jumlah penduduk
Gambar4. Kerangka pemikiran Keterangan gambar: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti
Daya dukung lahan
Kepadatan penduduk
24
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu 1)tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan menurut BPS 2000. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007. Penelitian dilakukan selama
enam bulan, yaitu bulan Oktober 2010 sampai
Maret 2011 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Contoh penelitian ini adalah kabupaten di Indonesia yang dipilih dengan pemenuhan kriteria yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan menurut BPS 2000. Data terkumpul yang memenuhi kriteria pertama sampai kriteria keempat berjumlah 96 kabupaten dari 347 kabupaten.
Kemudian
dilakukan
pengklasifikasian
contoh
berdasarkan
karakteristik wilayah perdesaan dan perkotaan menggunakan klasifikasi
BPS
2000 (Tabel 3). Hasilnya didapatkan 31 kabupaten dengan karakteristik perkotaan dan 65 kabupaten dengan karakteristik perdesaan. Contoh untuk wilayah perdesaan hanya diambil 31 kabupaten karena akan dilakukan uji beda dengan wilayah perkotaan. Pengambilan contoh pada wilayah perdesaan dilakukan berdasarkan proporsi tiap wilayah (pulau). Untuk menentukan suatu daerah termasuk perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 3. Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari setiap variabel.
25
Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007) Variabel/ Kllasifikasi Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum
Skor 2 26
1. Kepadatan Penduduk/ km2 < 500 500-1249 1250-2499 2500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 >=8500
1 2 3 4 5 6 7 8
2. Persentase Rumah Tangga Pertanian >= 70,00 50,00-69,99 30,00-49,99 20,00-29,99 15,00-19,99 10,00-14,99 5,00-9,99 <5,00
1 2 3 4 5 6 7 8
3. Akses Fasilitas Umum A) Sekolah Taman KanakKanak (TK) Ada atau <=2,5 km > 2,5 km
0,1,2,…10
1 0
Variabel/ Kllasifikasi B) Sekolah Dasar Ada atau <=2,5 km > 2,5 km C) Sekolah Menengah Pertama Ada atau <=2,5 km > 2,5 km D) Sekolah Menengah Umum Ada atau <=2,5 km > 2,5 km E) Bioskop Ada atau <=5 km > 5 km F) Pasar/Pertokoan Ada atau <=2 km > 2 km G) Rumah Sakit Ada atau <=5 km > 5 km H) Hotel/ Billiar/ Diskotek/ Panti pijat/ Salon Ada Tidak ada I) Persentase Pumah Tangga Telepon > =8,00 < 8,00 J) Persentase Rumah Tangga Listrik >= 90,00 < 90,00
Skor 1 0
1 0
1 0 1 0 1 0 1 0
1 0
1 0
1 0
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 8500 orang per km2. b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99 persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah tangga tani kurang dari 5.
26
c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Jumlah skor didapatkan dari jumlah fasilitas umum di suatu kabupaten kemudian dibagi jumlah desa/kelurahan. Nilai fasilitas umum menunjukkan dominasi daerah. Jika nilai lebih dari 0,5 maka wilayah tersebut dikategorikan wilayah dominan perkotaan dan diberi skor 1. e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan. Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik fisik wilayah, karakteristik sosial ekonomi dan data konsumsi penduduk. Semua data dalam kurun waktu 2007. Tabel 4. Jenis data yang dikumpulkan No 1
2
3
Variabel Konsumsi pangan
Karakteristik fisik wilayah: Penggunaan lahan Hasil komoditas pertanian pangan Jumlah penduduk Kepadatan penduduk Karakteristik ekonomi dan sosial: PDRB perkapita Tingkat kemiskinan Mata pencaharian penduduk Tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas Akses fasilitas umum: jumlah sekolah, tempat pelayanan kesehatan, tempat hiburan, pasar, pertokoan, serta persentase kepemilikan listrik dan telepon.
Sumber Data Raw data konsumsi Riskesdas 2007 (Balitbangkes, Kementerian Kesehatan RI)
Daerah dalam angka 2007(BPS)
PDRB kabupaten/ kota di Indonesia 2004-2008 (BPS) Indikator sosial ekonomi tingkat provinsi 2007 (BPS) Daerah dalam 2007(BPS)
angka
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data yang akan dilakukan meliputi coding, entry, editing/cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan menyusun codebook sebagai panduan entri dan pengolahan data. Setelah itu, dilakukan entri dan
27
editing/ cleaning data. Editing/ cleaning data dilakukan untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Selanjutnya dilakukan analisis data yang diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel dan Stastical Program for Sosial Sciences (SPSS) 16 for Windows. Data karakteristik sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, dan PDRB/ kapita ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Untuk data konsumsi pangan yang diketahui melalui raw data Riskesdas 2007 sudah dalam bentuk energi (kkal) sehingga tinggal dihitung jumlah konsumsi rata-rata penduduk tiap komoditas pangannya. Data konsumsi tiap komoditas dan kelompok pangan selanjutnya dibuat persentase tingkat konsumsi dengan membandingkannya berdasarkan kecukupan 2000 kkal/kap/hari serta kebutuhan ideal menurut kelompok pangan (50% untuk serealia dan 6% untuk umbiumbian). Data ketersediaan pangan sumber karbohidrat didapat dari data produksi yang dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal). Konversi dilakukan dengan menggunakan software Neraca Bahan Makanan dengan asumsi tidak ada ekspor dan impor. Selanjutnya dihitung persentase ketersediaan tiap komoditas dan kelompok pangan sumber karbohidrat berdasarkan kecukupan 2200 kkal/kap/hari serta membandingkan dengan kebutuhan ideal menurut kelompok pangan (50% untuk serealia dan 6% untuk umbi-umbian). Data karakteristik fisik wilayah digunakan untuk menghitung daya dukung lahan di wilayah tersebut. Rumus yang digunakan adalah rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al.2007). Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):
Dimana: K
: daya dukung lahan (orang/ha)
ASi
: luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)
Ysi
: produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)
Csi
: tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan dalam menu penduduk (%kkal/tahun)
R
: kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)
28
Analisis inferensia menggunakanStatistical Program for Sosial Sciences (SPSS) 16 for Windows untuk menguji perbedaan semua variabel di wilayah perdesaan dan perkotaan dengan menggunakan Independent Sample T-test dan untuk mengetahui hubungan antar variabel dengan menggunakan korelasi pearson. Selanjutnya dilakukan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise untuk mengetahui pengaruh variabel independent (ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, PDRB/kapita, dan tingkat pendidikan) terhadap variabel dependent (konsumsi pangan) yang memiliki hubungan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat. Sebelum dilakukan regresi linier dilakukan uji normalitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Persamaan linier yang terbentuk dari uji regresi adalah: Y= β0 + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 Y
: konsumsi pangan sumber karbohidrat (kkal/kap/hari)
β0
:konstanta
β1 - βn : koefisien regresi X1
: ketersediaan pangan sumber karbohidrat (kkal/kap/hari)
X2
: kepadatan penduduk (jiwa/km2)
X3
: daya dukung lahan (orang/ha)
X4
: tingkat kemiskinan (%)
X5
: PDRB/kapita (Rp)
X6
: tingkat pendidikan (%) Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu menggunakan data-data
sekunder tahun 2007 karena data-data pada kurun waktu tersebut yang tersedia sesuai desain penelitian. Selain itu penelitian ini didesain hanya untuk wilayah kabupaten. Definisi Operasional Perdesaan adalah kabupaten yang memiliki karakteristik perdesaan yang lebih dominan daripada karakteristik perkotaan berdasarkan pembagian karakteristik wilayah BPS 2000 (Tabel 2). Perkotaan adalah kabupaten yang memiliki karakteristik perkotaan yang lebih dominan daripada karakteristik perdesaan berdasarkan pembagian karakteristik wilayah BPS 2000 (Tabel 2). Konsumsi pangan sumber karbohidrat adalah rata-rata konsumsi energi dari pangan sumber karbohidrat (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar) penduduk di
29
wilayah kabupaten (kkal/kap/hari dan kg/kap/tahun). Komoditas dipilih berdasarkan ketersediaan data pangan sumber karbohidrat yang dipublikasikan. Konsumsi beras adalah konsumsi pangan jenis beras baik dalam bentuk aslinya (golongan AA menurut data entrian Riskesdas) maupun pangan turunan (olahan) beras seperti tepung beras dan aneka pangan olahannya (golongan PA menurut data entrian Riskesdas). Konsumsi jagung adalah konsumsi pangan jenis jagung baik dalam bentuk aslinya (golongan AA menurut data entrian Riskesdas) maupun pangan turunan (olahan) jagung seperti tepung maizena dan aneka pangan olahannya (golongan PA menurut data entrian Riskesdas). Konsumsi ubi kayu adalah konsumsi pangan jenis ubi kayu baik dalam bentuk aslinya (golongan AA menurut data entrian Riskesdas) maupun pangan turunan (olahan) ubi kayu seperti tepung kanji dan aneka pangan olahannya (golongan PA menurut data entrian Riskesdas). Konsumsi ubi jalar adalah konsumsi pangan jenis ubi jalar baik dalam bentuk aslinya (golongan AA menurut data entrian Riskesdas) maupun pangan turunan (olahan) ubi jalar seperti tepung ubi jalar dan aneka pangan olahannya (golongan PA menurut data entrian Riskesdas). Tingkat
kecukupan
konsumsi
pangan
sumber
karbohidrat
adalah
perbandingan rata-rata konsumsi energi dari pangan sumber karbohidrat (kkal/kap/hari) dengan kebutuhan energi rata-rata 2000 kkal/kap/hari (WNPG 2004) dan kebutuhan ideal menurut kelompok pangan. Produksi pangan sumber karbohidratadalah hasil pertanian tanaman pangan sumber karbohidrat (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar) yang diproduksi dalam kurun waktu 2007 berdasarkan data BPS di wilayah kabupaten. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat adalah jumlah pangan sumber karbohidrat yang tersedia di wilayah kabupaten untuk dikonsumsi (kkal/kap/hari). Dihitung dengan menggunakan software Neraca Bahan Makanan dengan asumsi tidak ada ekspor dan impor (kkal/kap/hari dan kg/kap/tahun). Tingkat kecukupan ketersediaan pangan sumber karbohidrat adalah perbandingan
rata-rata
ketersediaan
energi dari pangan
sumber
karbohidrat (kkal/kap/hari) dengan kecukupan energi rata-rata 2200
30
kkal/kap/hari (WNPG 2004) dan kebutuhan ideal menurut kelompok pangan. Luas lahan adalah satuan panjang dikali lebar dari area yang dimanfaatkan untuk ditanami tanaman pangan sumber karbohidrat (serealia dan umbiumbian) Kepadatan penduduk adalah rasio perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah yang ditempati di suatu kabupaten (jiwa/ km2) Daya
dukung
lahan
tanaman
pangan
sumber
karbohidrat
adalah
kemampuan suatu wilayah untuk mendukung kehidupan secara layak sejumlah populasi penduduk di atasnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dengan memanfaatkan sumberdaya baik alam maupun sosial yang dimilikinya secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini daya dukung lahan wilayah dispesifikkan dalam hal produksi pangan sumber karbohidrat(padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk yang diukur melalui daya dukung lahan tanaman pangan sumber karbohidrat (orang/ha) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah pendapatan wilayah atau seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi wilayah tersebut dalam satuan rupiah per tahun. Unit ekonomi tersebut mencakup sector usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, bangunan (konstruksi), perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
jasa-jasa
termasuk
pelayanan
pemerintah,
kecuali
pertambangan dan penggalian. PDRB/kapitaadalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk tengah tahun wilayah kabupaten. Tingkat
Kemiskinan
adalah
persentase
penduduk
miskin
berdasarkan
pendekatan yang digunakan BPS yaitu berdasarkan pengeluaran konsumsi
(consumption
expenditure
approach)
dengan
batasan
kemiskinan berpatokan pada kecukupan energi (2100 kkal/ kapita/hari) dan kebutuhan dasar non makanan lainnya per kapita per hari (Setneg 2007 dalam Ulfani 2010) Tingkat Pendidikan adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bersekolah dan setinggi-tingginya menamatkan SD.
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang khas di setiap wilayahnya. Pembagian kawasan menurut UU no.22 tahun 1999 ada dua, yaitu kawasan perkotaan dan perdesaan. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dalam penelitian ini, kawasan perkotaan berjumlah 31 kabupaten yang didapatkan dari justifikasi peneliti berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Begitu pula dengan kawasan perdesaan yang berjumlah 31 kabupaten dari 65 kabupaten
yang
tergolong
kawasan
perdesaan
dari
justifikasi
peneliti
berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Hal tersebut karena dibutuhkan jumlah contoh yang sama besarnya dari karakteristik kawasan yang berbeda tersebut. Kawasan perkotaan sebagian besar terdapat di pulau Jawa, sedangkan kawasan perdesaan tersebar di pulau-pulau besar Indonesia kecuali Maluku dan Papua. Hal tersebut menunjukkan bahwa distribusi pembangunan belum merata penyebarannya, sehingga masih terpusat di pulau Jawa. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Salah satu pengukuran konsumsi pangan adalah dengan metode recall 24 jam. Metode Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jawaban responden untuk makanan yang dikonsumsi 1x 24 jam yang lalu. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah pangan yang dikonsumsi (kkal/hari/) (Balitbangkes 2008). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5 dan 6) konsumsi pangan sumber karbohidrat didominasi oleh beras baik di perdesaan maupun perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan juga lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di
32
perdesaan mencapai 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan
hanya 961
kkal/kap/hari. Berdasarkan uji beda independent sample t-test (Tabel 6) konsumsi kelompok serealia di perdesaan dan perkotaan terdapat perbedaan yang nyata. Selain itu, pada konsumsi beras juga terdapat perbedaan yang nyata di perdesaan dan perkotaan yaitu konsumsi beras di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras rata-rata tahun 2007 di perdesaan adalah 109 kg/kap/tahun dan di perkotaan adalah 95 kg/kap/tahun. Jika dilihat berdasarkan tingkat konsumsinya terhadap kebutuhan ideal menurut kelompok pangan (Tabel 6), maka konsumsi beras di perdesaan dapat dikatakan telah memenuhi bahkan melebihi proporsi keragaman menurut PPH untuk konsumsi serealia (50%) yaitu mencapai 108,7%. Konsumsi beras di perkotaan berkontribusi terhadap pemenuhan
94,1%
dari kebutuhan ideal menurut
kelompok pangan. Tingginya konsumsi beras yang merupakan pangan pokok penduduk Indonesia menurut Bouis (1990); Hussain (1990) diacu dalam Braun, et al. (1993) dapat diasumsikan karena pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan. Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan Konsumsi kg/kap/tahun No
Jenis pangan
Perdesaan
Perkotaan
Konsumsi (kkal/kap/hari) Perdesaan
Perkotaan
1 2 3
Beras Jagung Ubi Kayu
109 4,69 2,51
95 1,24 3,51
1087 17 11
941 4 15
4
Ubi Jalar
0,66
0,209
3
1
1118
961
Total
Sama halnya dengan konsumsi beras, konsumsi jagung di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, meskipun tidak ditunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,05) menurut uji beda independent sample t-test. Berdasarkan Tabel 5, Konsumsi jagung di perdesaan adalah 4,69 kg/kap/tahun dan konsumsi jagung di perkotaan adalah 1,24 kg/kap/tahun. Rendahnya tingkat
33
konsumsi jagung di menurut Mauludyani (2008) adalah karena kurang beragamnya produk olahan jagung untuk dikonsumsi. Perbandingan yang terbalik terjadi pada konsumsi ubi kayu yang lebih tinggi di perkotaan yaitu 3,51 kg/kap/tahun dibandingkan dengan di perdesaan yang hanya 2,51 kg/kap/tahun. Cukup tingginya konsumsi ubi kayu karena semakin beragamnya produk olahan ubi kayu yang dikembangkan, khususnya di wilayah perkotaan. Berdasarkan uji beda independent sample t-test tidak ditunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) untuk konsumsi ubi kayu di perdesaan dan perkotaan, namun pada kelompok pangan umbi-umbian terdapat perbedaan yang nyata konsumsi kelompok pangan tersebut di perdesaan dan perkotaan. Diantara keempat jenis karbohidrat yang diteliti, konsumsi ubi jalar merupakan jenis karbohidrat yang paling kecil angka konsumsinya (Tabel 5). Konsumsi ubi jalar di perdesaan yaitu 0,66 kg/kap/tahun sedangkan konsumsi di perkotaan lebih kecil yaitu 0,209 kg/kap/tahun. Rendahnya konsumsi ubi jalar karena pengolahan ubi jalar belum terlalu dikembangkan sehingga produk olahannya terbatas. Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan No
Jenis pangan
Perdesaan
Perkotaan
p
1
Beras
108.7
94.1
0,010**
2
Jagung
1.7
0.4
0,070
3 4
Ubi Kayu Ubi Jalar
9.2 2.5
12.5 0.83
0,244 0,029**
p kelompok pangan 0,000** 0,032**
**. Signifikan pada p<0,05 *. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6%
Kontribusi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar terhadap kebutuhan konsumsi ideal menurut kelompok pangan masih sangat kecil (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat belum baik secara mutu keragaman (standar PPH). Konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi oleh beras sehingga pangan lainnya dikonsumsi dalam jumlah yang belum mencukupi secara mutu keragaman. Menurut Ariani (2004) diacu dalam Mauludyani (2008), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan praktis diolah, dan mempunyai komposisi gizi yang relatif lebih baik dibandingkan
34
pangan pokok yang lain. Selain itu, beras diidentikkan dengan pangan pokok yang memiliki status sosial tinggi. Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan Wilayah Perdesaan Perkotaan
Tingkat kecukupan (%) serealia 55.2 47.3
Standar berdasarkan PPH
umbi-umbian 0.7 0.8
serealia
umbi-umbian 50 50
6 6
Konsumsi pangan secara kualitatif ditentukan berdasarkan komposisi pangan dilihat dari keragamannya dalam memenuhi kebutuhan energi atau yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan (PPH). Komposisi pangan pada PPH digolongkan dalam 9 kelompok pangan. Berdasarkan Pola Pangan Harapan, konsumsi kelompok serealia secara ideal adalah 50% (DKP 2006). Konsumsi kelompok serealia di perdesaan telah melampaui lebih dari 50% berdasakan standar PPH. Namun di perkotaan, konsumsi kelompok serealia belum mencapai 50% berdasarkan standar PPH . Hal tersebut diduga karena masyarakat perkotaan mengkonsumsi pangan lebih beraneka ragam. Sementara itu konsumsi umbi-umbian yang idealnya adalah 6% berdasarkan data konsumsi yang didapat masih jauh dari angka ideal tersebut. Konsumsi kelompok umbiumbian bahkan belum mencapai 2% baik di perdesaan maupun perkotaan, padahal di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang relatif murah. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan „raskin‟. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Menurut Ariani (2004) upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mi dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Martianto dan Ariani (2005) diacu dalam Mauludyani (2008) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok, khususnya di wilayah perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi dimana peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras digantikan
35
oleh mi. Demikian pula hasil kajian Hasibuan (2001) diacu dalam Ariani (2004) menyimpulkan bahwa mi instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. Mengingat bahan baku mi berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi domestik, maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju peningkatan konsumsi mi dan produk-produk yang berbahan baku gandum/terigu lainnya dengan meningkatkan ketersediaan pangan substitusi gandum/terigu bersumber pangan lokal, disertai dengan promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan pangan lokal. Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan Ketersediaan Pangan Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan merupakan salah satu sub program pada program peningkatan ketahanan pangan. Program tersebut merupakan jabaran dari rencana pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dengan tujuan untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup setiap saat, sehat, dan halal. Pada tingkat kabupaten yang merupakan unit yang diteliti, ketersediaan pangan di wilayah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan meskipun dengan selisih yang tidak terlalu berbeda. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji beda independent sample t-test (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa meskipun jumlah ketersediaan di perdesaan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata (p>0,05) . BerdasarkanTabel 8, ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di Indonesia yaitu 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan yaitu 1934 kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat baik di perdesaan maupun perkotaan masih didominasi oleh komoditas beras. Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan Ketersediaan kg/kap/tahun No
Jenis pangan
1 2
Beras Jagung
3 4
Ubi Kayu Ubi Jalar
Perdesaan
Total
Perkotaan
Ketersediaan (kkal/kap/hari) Perdesaan
Perkotaan
177,76 33,07
167,99 11,34
1768 117
1671 40
58,39 14,30
45,89 7,73
246 54 2185
194 29 1934
36
Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan No
Jenis Pangan
1
Beras
2
Jagung
Perdesaan
160.7 10.6 186.7 41.2
Perkotaan
151.9 3.6 146.7 22.3
p
p kelompok pangan
0,531
0,432
0,079
0,336 3 Ubi Kayu 4 Ubi Jalar 0,131 **. Signifikan pada p<0,05 *. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6%
0,196
Ketersediaan pangan menurut kelompok pangan selain menunjukkan kecukupan jumlah juga dapat menunjukkan mutunya (Tabel 9 dan 10). Pada Tabel 9 ditunjukkan kontribusi setiap komoditas pangan terhadap kebutuhaan energi ideal menurut kelompok pangan. Ketersediaan beras dan ubi kayu memiliki kontribusi cukup banyak terhadap pemenuhan ketersediaan sesuai kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan. Jagung dan ubi jalar meskipun jumlahnya tidak sampai 100% namun memiliki kontribusi yang berarti. Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan Wilayah
Tingkat kecukupan (kkal/kap/hari) serealia
Perdesaan Perkotaan
85.67 77.76
umbi-umbian 13.67 10.14
Standar berdasarkan PPH serealia
umbi-umbian 50 50
6 6
Ketersediaan kelompok serealia baik di perdesaan dan perkotaan telah melampaui lebih dari 50% (standar mutu keragaman berdasarkan PPH). Begitu pula dengan ketersediaan umbi-umbian yang idealnya adalah 6% telah terpenuhi baik di perdesaan maupun perkotaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan sumber karbohidrat telah mencukupi secara kuantitas maupun kualitas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu, lahan pertanian yang ada harus dimanfaatkan dengan baik untuk pemenuhan pangan masyarakat yang berkelanjutan. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk merupakan rasio penduduk yang menempati suatu wilayah. BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2). Dari hasil uji beda independent sample t-test kepadatan penduduk di perdesaan dan
37
perkotaan berbeda nyata (p<0,01), yaitu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. Pada Tabel 11, ditunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk di perdesaan adalah 249 jiwa/km2
yang digolongkan ke dalam kepadatan
penduduk sedang menurut BPS 2007. Sementara itu, rata-rata kepadatan penduduk di perkotaan adalah 1144 jiwa/km2 atau tergolong kepadatan penduduk sangat tinggi. Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan No
Karakteristik fisik
1 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 2 Kepadatan Penduduk (orang/ha) 3 Daya Dukung Lahan (orang/ha) *. Berbeda nyata pada p<0,05
Perdesaan 249 2,49 6,62
Perkotaan
Sig. t-test
1144 11,44 7,16
0.000* 0,891
Daya Dukung Lahan Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan, akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et al., 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007). Berdasarkan Tabel 11, daya dukung lahan di perdesaan adalah 6,62 orang/ha sedangkan di perkotaan adalah 7,16 orang/ha. Meskipun daya dukung lahan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, namun daya dukung lahan tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya yaitu 11,44 orang/ha. Menurut Mustari, et al. (2005) diacu dalam Tola, et al. (2007) hal tersebut menunjukkan bahwa lahan di wilayah tersebut tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu. Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan di perdesaan dan perkotaan pada Tabel 12 ditunjukkan memiliki perbedaan nyata berdasarkan uji beda independent sample t-test (p<0,05). Tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di
38
perkotaan yaitu 21% dan di perkotaan yaitu 17%. Masalah kemiskinan akan berdampak pada kurangnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses pangan, jika persentasenya lebih dari 20%, maka akses pangannya termasuk kategori rendah. Kemiskinan adalah indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan cukup pangan, karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain-lain (BKP 2008). PDRB/ kapita PDRB/ kapita yang dipakai dalam penelitian ini adalah PDRB yang berasal dari sektor usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan (konstruksi), perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah, kecuali sektor usaha penggalian dan pertambangan. PDRB/ kapita di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perkotaan PDRB/ kapita adalah Rp. 10,913,000.00 dan di perdesaan adalah Rp. 7,373,000.00. Menurut data BPS (2008), rata-rata PDRB/kapita penduduk Indonesia tahun 2007 adalah Rp. 12,721,000.00 sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata kabupaten di Indonesia baik di perkotaan maupun perdesaan memiliki PDRB di bawah rata-rata. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ulfani (2010) yang menyatakan bahwa 72,1 % kabupaten/ kota di Indonesia memiliki PDRB/ kapita yang rendah yaitu kurang dari Rp. 12,128,150.00. Perbedaan nilai PDRB/ kapita di tiap wilayah dikarenakan adanya perbedaan sumberdaya alam dan pemanfaatannya dalam mendukung kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Menurut Zaris (1987); Yunarko (2007) diacu dalam Ulfani (2010) sumberdaya alam merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan daerah, selain pola investasi dan perkembangan prasarana transportasi. PDRB/ kapita wilayah dapat menggambarkan pendapatan rata-rata penduduk di wilayah tersebut. Pendapatan merupakan salah satu akses pangan yang dilihat dari aspek ekonomi.
39
Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan No
Karakteristik sosial ekonomi
1
Tingkat Kemiskinan (%)
2
PDRB/kapita (dalam ribuan Rp)
3 Tingkat Pendidikan (%) *. Berbeda nyata pada p<0,05
Perdesaan
Perkotaan
Sig. t-test
21
17
0,018*
7373
10913
0,056
72
64
0,002*
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan yaitu 72 % penduduk di perdesaan hanya menamatkan pendidikan sampai sekolah dasar atau bahkan tidak menamatkannnya. Sementara itu, di perkotaan sebanyak 64% penduduk yang tidak sekolah atau setinggi-tingginya hanya sampai menamatkan sekolah dasar. Berdasarkan uji beda independent sample ttest, tingkat pendidikan di perdesaan dan perkotaan ditunjukan adanya perbedaan yang nyata yaitu p<0,05. Menurut Syarief,et al. (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi. Di suluruh negara, termasuk Indonesia, pengetahuan gizi secara formal (dari tingkat SD sampai SMU) diajarkan sebagai pendidikan gizi, bagian dari pelajaran Ekonomi Rumahtangga. Soper,et al. (1992) diacu dalam Hardinsyah (2007) telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal secara positif berasosiasi dengan pengetahuan gizi para instruktur aerobik di Texas. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga semakin tinggi. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi seharusnya lebih baik dalam mengatur pola makannya sesuai dengan pengetahuan gizi yang dimiliki. Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat. Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat
40
ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras a. Perdesaan Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan „raskin‟. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan dan tingkat pendidikan. Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien korelasi (r) 0,474** 0,124 0,403* 0,243 0,307 0,443*
Koefisien regresi -98
p 0,002*
R-square: 0,291 Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa ketersediaan beras dan daya dukung lahan memiliki hubungan dengan konsumsi beras di perdesaan, yaitu berhubungan positif. Semakin tinggi ketersediaan beras dan daya dukung lahan semakin bertambah jumlah beras yang dikonsumsi penduduk di perdesaan. Perkembangan yang menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mi kering, mi basah dan mi instan (Rachman dan Ariani 2008) Tingkat pendidikan pada Tabel 13 ditunjukkan memiliki hubungan dengan konsumsi beras.Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah presentase penduduk yang menamatkan pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau
41
dikategorikan tingkat pendidikan rendah. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan konsumsi beras bernilai positif, sehingga dapat dikatakan semakin banyak penduduk dengan tingkat pendidikan rendah semakin tinggi konsumsi berasnya. Tingkat seseorang
pendidikan
untuk
formal
memahami
umumnya
berbagai
mencerminkan
aspek
kemampuan
pengetahuan,
termasuk
pengetahuan gizi (Syarief et al. 1988 dalam Hardinsyah 2007). Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, para ibu dari rumah tangga berpendapatan rendah dapat
lebih
mampu
untuk
mengelola
sumberdaya
yang
dimiliki
di
rumahtangganya secara lebih efesien dibandingkan para ibu yang berpendidikan rendah (Behrman&Wolfe 1987; Behrman et al. 1988; World Bank 1993 diacu dalam Hardinsyah 2007). Dengan kata lain, para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengkombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Sehingga konsumsi pangan tidak hanya didominasi pangan sumber karbohidrat. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan, dan tingkat pendidikan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa ketersediaan beras merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras (Tabel 13). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y1*= 1080,709 -98 X1* Y1*
: konsumsi beras di perdesaan (Y1)
X1*
: ketersediaan beras di perdesaan (disesuaikan; 1/X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
1080,709 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan beras maka konsumsi beras di perdesaan sebesar 1080,709. Nilai koefisien regresi ketersediaan beras sebesar -98, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, konsumsi beras akanberkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan. Nilai R squaremodel linier adalah 0,291, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 29,1% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini
42
memberikan gambaran tentang konsumsi beras di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan beras. Menurut Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992) yang dijelaskan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh produksi pangan (Gambar 2), namun selain faktor tersebut ada faktor lain yang berkaitan dengan konsumsi pangan, seperti modal sosial. Selain itu Jelliffe dan Jelliffe (1989) juga menggambarkan rantai pangan WHO yang menunjukkan alur pangan dari produksi pangan hingga dikonsumsi oleh masyarakat.Hal tersebut menujukkan pentingnya produksi pangan sebagai awal dari rantai pangan.Jika nilai produksi rendah maka besar kemungkinan sampai di akhir rantai (konsumsi pangan) nilainya pun rendah. Berdasarkan hasil regresi, dapat dilihat bahwa karakteristik fisik (ketersediaan) lebih berpengaruh daripada variabel lainnya, termasuk variabel sosial ekonomi. Hal tersebut dapat menunjukkan ketergantungan rumah tangga di perdesaan terhadap akses fisik karena kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993). Oleh karena itu, kondisi sosial ekonomi tidak sepenuhnya menjadi pembatas pemenuhan kebutuhan pangan pokok bagi rumah tangga di perdesaan, karena kebutuhan pangan pokok merupakan kebutuhan utama mereka yang harus dipenuhi. b. Perkotaan Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan antara lain ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan. Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa ketersediaan beras berhubungan negatif dengan konsumsi beras.Semakin tinggi ketersediaan beras semakin tinggi pula konsumsi beras di perkotaan. Selain ketersediaan beras, faktor lain yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah tingkat kemiskinan. Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan memiliki hubungan positif dengan konsumsi beras. Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan semakin tinggi pula konsumsi beras. Hal tersebut diduga karena masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih mendominasi pangannya dengan karbohidrat, khususnya beras.
43
Tabel 14. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien Korelasi (r) 0,581** 0,200 0,170 0.412* 0,183 0,028
Koefisien regresi -0,309
0,002
p 0,001
0,045
R-square: 0,330 Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah ketersediaan dan tingkat kemiskinan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa kedua faktor yang berhubungan tersebut yaitu ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras di perkotaan (Tabel 14). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y2*= 6,764 - 0,309 X1*+ 0,002 X4* Y2*
: konsumsi beras di perkotaan (disesuaikan; Ln Y2)
X1*
: ketersediaan beras di perdesaan (disesuaikan; 1/X1)
X4*
: tingkat kemiskinan di perkotaan (X4) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
6,764 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan maka konsumsi beras (Ln Y) di perkotaan sebesar 6,764. Nilai koefisien regresi ketersediaan beras sebesar -0,309, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut (1/X1), maka konsumsi beras akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan tersebut. Sedangkan nilai koefisien regresi tingkat kemiskinan yaitu 0,002, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut akan menaikkan nilai konsumsi beras sebesar nilai koefisien faktor tersebut pada persamaan linier. Nilai R squaremodel linier adalah 0,33, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 33% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi beras di perkotaan yang sifatnya
44
umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan. Rumah tangga miskin lebih mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sehingga pembelian bahan makanan pokok lebih diutamakan dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Hal tersebut didukung oleh adanya “beras-isasi” oleh pemerintah yaitu program beras raskin, semakin mendorong masyarakat miskin untuk cenderung mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok karena harganya yang lebih terjangkau. Sementara itu, rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik cenderung mengkonsumsi pangan lebih beragam, tidak hanya pemenuhan pangan pokok yang menjadi prioritas kebutuhan pangannya tapi lebih pada pemenuhan kualitas pangan yang baik (keragaman pangan). Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi jagung a. Perdesaan Komoditas jagung dapat memiliki peran yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga bahan baku industri (Pasandaran&Kasryno 2005 dalam Mauludyani 2008). Jadung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan nilai gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani& Pasandaran 2005 dalam Mauludyani 2008). Faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan antara lain ketersediaan jagung, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Tabel 15. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien korelasi (r) 0,556** 0,200 0,535** 0,627** -0,552** 0,225
Koefisien regresi
2,593
p
0,000*
R-square: 0,393 Ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi jagung. Ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi
45
jagung. Semakin tinggi ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan semakin tinggi konsumsi jagung. Menurut Mauludyani (2008) jenis olahan tertentu pada jagung merupakan pangan mewah bagi rumah tangga di berbagai wilayah pada berbagai tingkat pendapatan, namun pada dasarnya jagung merupakan pangan yang lebih mudah dijangkau dari segi harga. Harga jagung lebih murah daripada beras. Bahkan ada wilayah yang memiliki pangan khas nasi jagung yaitu campuran antara nasi (beras) dan jagung karena harganya lebih murah dan terjangkau, khususnya bagi penduduk berpendapatan rendah. Pada Tabel 15 dapat dilihat PDRB/kapita memiliki hubungan negatif dengan konsumsi jagung dengan kekuatan hubungan yang cukup kuat. Semakin tinggi nilai PDRB/kapita, konsumsi jagung semakin rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mauludyani (2008) yaitu semakin tinggi pendapatan, kontribusi energi dari jagung cenderung mengalami penurunan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa antara jagung dan beras memiliki elastisitas silang yang menunjukkan adanya sifat substitusi. Di desa, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar. Hal ini berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi daripada di kota. Beras dianggap memiliki nilai sosial lebih tinggi daripada pangan pokok lainnya, termasuk beras sehingga pendapatan yang meningkat tidak ikut serta meningkatkan permintaan jagung. Selain itu, jagung juga dianggap sebagai pangan inferior yang konsumsinya menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi jagung di perdesaan yaitu tingkat kemiskinan (Tabel 15). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y3*= -38,009+ 2,593 X4* Y3*
: konsumsi jagung di perdesaan (Y3)
X4*
: tingkat kemiskinan di perdesaan (X4) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
-38,009 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada tingkat kemiskinan maka konsumsi jagung di perdesaan sebesar -38,009. Nilai koefisien regresi
46
tingkat kemiskinan sebesar 2,593, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi jagung akanbertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,393, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 39,3% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi jagung di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam Ulfani 2010). Semakin tinggi pendapatan konsumsi jagung cenderung menurun karena jagung dianggap sebagai pangan inferior (Mauludyani 2008). b. Perkotaan Di Indonesia, jagung memegang peranan kedua setelah padi (beras). Menurut Mauludyani (2008) jagung (bentuk olahan tertentu) merupakan pangan mewah bagi rumah tangga di berbagai wilayah dan kelas pedapatan. Konsumsi jagung di perkotaan berhubungan dengan ketersediaannya dan PDRB/kapita (Tabel
16).
Semakin
tinggi
ketersediaan
jagung
semakin
tinggi
pula
konsumsinya. Ketersediaan menunjukkan jumlah bahan pangan yang siap untuk dikonsumsi, sehingga semakin banyak jumlah ketersediaan semakin banyak pula jumlah yang dapat dikonsumsi. Menurut Mauludyani (2008) konsumsi pangan di perkotaan lebih beragam termasuk konsumsi pangan yang dijadikan pangan pokok. Tabel 16. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan **. ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
R-square: 0,368
Koefisien korelasi (r) 0,607** -0,046 0,103 0,277 -0,394* 0,283
Koefisien regresi 0,022
p 0,000*
47
Selain ketersediaan jagung, faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung adalah PDRB/kapita. Seperti halnya di perdesaan, pada Tabel 16 ditunjukkan hubungan antara PDRB/kapita dengan konsumsi jagung bernilai negatif. Berdasarkan Tabel 16, PDRB/kapita yang semakin tinggi, konsumsi jagung semakin rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Mauludyani (2008) bahwa nilai elastisitas pendapatan jagung secara nasional sangat kecil bahkan mencapai angka 0,00 pada kelompok pendapatan rendah dimana hal ini menunjukkan
bahwa
tidak ada
kenaikan
permintaan
jagung
walaupun
pendapatan meningkat. Analisis korelasi pearson pada berbagai variabel menunjukkan bahwa ketersediaan jagung dan PDRB/kapita memiliki hubungan dengan konsumsi jagung di perkotaan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi jagung di perkotaan yaitu ketersediaan (Tabel 16). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y4*= -0,34 + 0,022 X1* Y4*
: konsumsi jagung di perkotaan (disesuaikan; Ln Y4)
X1*
: ketersediaan jagung di perkotaan (X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
-0,34 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan jagung maka konsumsi jagung di perkotaan (Ln Y4)
sebesar -0,34. Nilai koefisien
regresi ketersediaan jagung sebesar 0,022, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi jagung akan bertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,368, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 36,8% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi jagung di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi. Dengan tersedianya pangan maka harga pangan tersebut cenderung stabil. Sedangkan jika ketersediaan pangan berkurang maka akan
48
menyebabkan harga pangan tersebut meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu a. Perdesaan Umbi-umbian merupakan hasil tanaman karbohidrat disamping serealia. Jenis umbi-umbian antara lain ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, erut, kimpal dan lain-lain. Di Indonesia yang memegang peranan penting dari umbi-umbian tersebut adalah ketela pohon atau ubi kayu dan ubi jalar (Simanjuntak 2006). Kegunaan ubi kayu sebagai bahan pokok sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan jauh sebelumnya. Prinsip-prinsip ekstraksi pati yang dikembangkan oleh bangsa Maya pada awal pembudidayaan ubi kayu masih diterapkan dalam industri pengolahan pati secara modern dewasa ini. Konsumsi ubi kayu di berbagai wilayah khususnya di perdesaan memiliki hubungan dengan faktor fisik maupun sosial ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 17) faktor fisik yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perdesaan antara lain ketersediaan dan kepadatan penduduk. Sedangkan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu adalah tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Ketersediaan ubi kayu dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi ubi kayu. Semakin tinggi ketersediaan ubi kayu dan tingkat kemiskinan, semakin tinggi pula konsumsi ubi kayu. Tabel 17. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien korelasi (r) 0,484** -0,541** 0,251 0,377* -0,387* -0,024
Koefisien regresi -0,564
p
0,004*
R-square: 0,277 Tjokroadikoesoemo (1986) diacu dalam Simanjuntak (2006) menyatakan bahwa ubi kayu kurang diterima secara menyeluruh karena memiliki beberapa kekurangan dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah
49
perdesaan dan pegunungan terpencil pada musim paceklik atau sewaktu panen padi dan jagung yang kurang memuaskan. Faktor fisik dan sosial ekonomi lainnya yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu adalah kepadatan penduduk dan PDRB/kapita. Hubungan tersebut bersifat negatif yaitu semakin tinggi kepadatan penduduk dan PDRB/kapita, konsumsi ubi kayu semakin rendah. Elastisitas pendapatan pada konsumsi ubi kayu di perdesaan tergolong elastis (Mauludyani 2008). Hal tersebut diduga karena ubi kayu masih dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan sebagai pangan sumber energi. Tidak berbeda jauh dengan jagung, bahwa ubi kayu juga merupakan pangan substitusi untuk beberapa wilayah karena saat ini di perdesaan konsumsi pangan pokok lebih didominasi oleh beras dan mi (Rachman dan Ariani 2008). Di desa, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar. Hal ini berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi daripada di kota. Beras dianggap memiliki nilai sosial lebih tinggi daripada pangan pokok lainnya,termasuk beras sehingga pendapatan yang meningkat tidak ikut serta meningkatkan permintaan ubi kayu. Selain itu, ubi kayu juga dianggap sebagai pangan inferior sehingga peningkatan pendapatan cenderung menurunkan konsumsinya. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perdesaan adalah ketersediaan, kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu di perdesaan yaitu kepadatan penduduk (Tabel 17). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y5*= 1,354 - 0,564 X2* Y5*
: konsumsi ubi kayu di perdesaan (disesuaikan; LnY5)
X2*
: kepadatan penduduk di perdesaan (disesuaikan; Ln X2) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
1,354 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada kepadatan penduduk maka konsumsi ubi kayu di perdesaan sebesar 1,354. Nilai koefisien regresi kepadatan penduduk sebesar -0,564, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi kayu di perdesaan akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut.
50
Nilai R square model linier adalah 0,277, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 27,7% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi kayu di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh kepadatan penduduk. Kepadatan
penduduk
terkait
dengan
pemerataan
pendapatan
perkapita.Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin rendah pendapatan per kapita karena kepadatan penduduk menggambarkan rasio jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Pendapatan yang meningkat cenderung menurunkan konsumsi ubi kayu karena ubi kayu dianggap sebagai pangan inferior. Selain itu menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), terdapat faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia di dunia. Pertambahan penduduk mendesak semakin berkurangnya lahan pertanian dan hal tersebut dapat menurunkan produksi pangan dan secara tidak langsung dapat menurunkan konsumsi pangan. Lebih berpengaruhnya karakteristik fisik terhadap konsumsi ubi kayu, khususnya di perdesaan tidak berbeda jauh dengan konsumsi beras. Ubi kayu masih menjadi salah satu pangan pokok di perdesaan maka karakteristik sosial ekonomi tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsinya karena rumah tangga di perdesaan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan pokok sebelum kebutuhan yang lainnya. b. Perkotaan Faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perkotaan hanya kepadatan penduduk. Pada Tabel 18 ditunjukkan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk, konsumsi ubi kayu semakin rendah. Secara logika kepadatan penduduk yang menunjukkan semakin banyaknya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan pertanian seharusnya menurunkan konsumsi pangan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas. Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya.
51
Tabel 18. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien korelasi (r) 0,296 -0,323* 0,251 0,241 0,153 0,303
Koefisien regresi -0,001*
p
0,019*
R-square: 0,176 Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perkotaan adalah kepadatan penduduk. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu di perkotaan adalah kepadatan penduduk (Tabel 18). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y6*= 1,330-0,001 X2* Y6*
: konsumsi ubi kayu di perkotaan (disesuaikan; Ln Y6)
X2*
: kepadatan penduduk di perkotaan (X2) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
1,330 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada kepadatan penduduk maka konsumsi ubi kayu di perkotaan sebesar 1,330. Nilai koefisien regresi kepadatan penduduk sebesar -0,001, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi kayu akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,176, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 17,6% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi kayu di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk yang semakin meningkat menggambarkan suatu wilayah yang semakin dipenuhi oleh manusia, sehingga lahan untuk pertanian semakin berkurang. Selain itu semakin banyaknya jumlah penduduk dalam suatu wilayah semakin rendah pendapatan per kapita karena jumlah penduduk merupakan variabel pembagi dalam perhitungan pendapatan per kapita. Begitu
52
pula sebaliknya. Lebih lanjut menurut Mauludyani (2008) ubi kayu dianggap sebagai pangan inferior sehingga meningkatnya pendapatan cenderung menurunkan konsumsinya. Meskipun begitu, rumah tangga perkotaan semakin tertarik dengan berbagai pangan olahan dari ubi kayu sehingga kebutuhan untuk ketersediaannya semakin meningkat. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar a. Perdesaan Tanaman ubi jalar adalah tanaman umbi-umbian yang dikenal tua dalam sejarah umat manusia serta sering diusahakan sebagai makanan tambahan disamping jagung dan beras. Ubi jalar menempati urutan kelima setelah ubi kayu sebagai pengganti bahan makanan pokok, kecuali di Papua dan Maluku yang dikonsumsi sebagai makanan utama (Simanjuntak 2006) Di perdesaan, konsumsi ubi jalar berhubungan dengan beberapa faktor fisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut antara lain kepadatan penduduk, daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Daya dukung lahan memiliki hubungan positif dengan konsumsi ubi jalar. Semakin tinggi daya dukung lahan semakin tinggi pula konsumsi ubi jalar. Kepadatan penduduk dan PDRB/kapita memiliki hubungan negatif dengan konsumsi ubi jalar di perdesaan. Semakin tinggi kepadatan penduduk dan PDRB, konsumsi ubi jalar di perdesaan semakin rendah. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya
bahwa
kepadatan
penduduk
berkaitan
dengan
banyaknya penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya. Semakin banyak penduduk maka semakin banyak pula kebutuhan pangan yang harus dipenuhi sementara lahan yang tersedia semakin sempit sehingga ketersediaan berkurang dan konsumsi juga menurun. Tabel 19. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
R-square: 0,345
Koefisien korelasi (r) 0,372 -0,403* 0,467* -0,071 -0,427* -0,303
Koefisien regresi
p
-0,273
0,023*
5,029
0,042*
53
PDRB/kapita merupakan gambaran pendapatan rata-rata penduduk. Masyarakat di perdesaan cenderung mengkonsumsi beras dan mi sebagai pangan pokok, sehingga kenaikan harga kedua bahan pangan tersebut dapat meningkatkan permintaan ubi jalar karena sifatnya sebagai pangan substitusi. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan justru dapat meurunkan permintaan ubi jalar karena masyarakat lebih memilih mengkonsumsi beras dan mi. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi jalar di perdesaan adalah kepadatan penduduk, daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar di perdesaan yaitu daya dukung lahan dan PDRB/kapita (Tabel 19). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y7*= 0,584 - 0,273 X3* +5,029 X5* Y7*
: konsumsi ubi jalar di perdesaan (Y7)
X3*
: daya dukung lahan di perdesaan (disesuaikan; Ln X3)
X5*
: PDRB/kapita di perdesaan (disesuaikan; 1/X5) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
0,584 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada daya dukung lahan dan PDRB/kapita maka konsumsi ubi jalar di perdesaan sebesar
0,584. Nilai
koefisien regresi daya dukung lahan sebesar -0,273, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi jalarakan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Begitu pula dengan nilai koefisien regresi PDRB/kapita sebesar 5,029 menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi jalar akan bertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,345, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 34,5% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi jalar di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan suatu wilayah untuk mendukung jumlah penduduk pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et al. 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007). Semakin tinggi daya dukung menunjukkan
54
semakin
banyak
jumlah
penduduk
yang
didukung
untuk
memenuhi
kesejahteraannya termasuk pemenuhan konsumsi pangan. Sama halnya dengan jagung dan ubi kayu, ubi jalar juga digolongkan sebagai
pangan
inferior.
Hal
tersebut
mengakibatkan
kecenderungan
menurunnya konsumsi ubi jalar seiring dengan meningkatnya pendapatan (Mauludyani 2008). Masyarakat cenderung mengkonsumsi beras yang dianggap memiliki nilai sosial yang lebih tinggi. b. Pekotaan Konsumsi ubi jalar di perkotaan berhubungan dengan tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Pada Tabel 20 ditunjukkan bahwa tingkat kemiskinan memiliki hubungan negatif dengan konsumsi ubi jalar. Semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin rendah konsumsi ubi jalar. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Mauludyani (2008) yaitu permintaan ubi jalar terhadap pendapatan lebih elastis di desa dibandingkan di kota dan kelompok berpendapatan rendah. Perbedaan tersebut terjadi diduga karena adanya pergeseran pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dari umbi-umbian ke beras dan mi. Sehingga meskipun tingkat kemiskinan meningkat, masyarakat lebih memilih beras karena adanya program beras murah “raskin” dari pemerintah. Tabel 20. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel
Koefisien korelasi (r) -0,067 0,032 -0,201 -0,426* 0,413* 0,099
Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien regresi
p
-1,394
0,017*
R-square: 0,182 Pada Tabel 20 juga ditunjukkan hubungan antara PDRB/ kapita dengan konsumsi ubi jalar yang menunjukkan hubungan positif. Semakin tinggi PDRB/kapita, semakin tinggi konsumsi ubi jalar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Mauludyani
(2008)
yaitu
pendapatan
yang
meningkat
akan
meningkatkan permintaan ubi jalar walaupun dalam jumlah kecil. Selain itu, konsumsi ubi jalar pada rumah tangga berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan yang berpendapatan sedang. Hal ini diduga karena rumah tangga berpendapatan tinggi memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mencoba jenis
55
makanan baru yang banyak diolah dari ubi jalar (Zuraida & Supriati 2001 diacu dalam Mauludyani 2008). Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi jalar di perkotaan adalah tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar di perkotaan yaitu tingkat kemiskinan (Tabel 20). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y8*= 4,529 – 1,394 X4* Y8*
: konsumsi ubi jalar di perkotaan (Y8)
X4*
: tingkat kemiskinan di perkotaan (X4) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar
4,529 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada tingkat kemiskinan maka konsumsi ubi jalar di perkotaan sebesar 4,529. Nilai koefisien regresi tingkat kemiskinan sebesar -1,394, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi jalarakan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,182, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 18,2% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi jalar di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Meskipun ubi jalar juga digolongkan sebagai pangan inferior, namun di perkotaan peningkatan tingkat kemiskinan yang menggambarkan rendahnya tingkat pendapatan justru menurunkan konsumsi ubi jalar. Hal tersebut diduga adanya perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Selain itu adanya bantuan pemerintah berupa penjualan beras murah “raskin” juga menjadi penyebab masyarakat miskin lebih memilih mengkonsumsi beras daripada ubi jalar. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat a. Perdesaan Konsumsi pangan sumber karbohidrat yang merupakan jumlah dari konsumsi beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar di perdesaan memiliki hubungan dengan ketersediaan, PDRB/kapita, dan tingkat pendidikan. Ketiga variabel
56
tersebut memiliki hubungan positif dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat. Semakin tinggi ketersediaan, PDRB/kapita dan tingkat pendidikan semakin tinggi pula konsumsinya. Ketersediaan yang cukup memudahkan rumah tangga di perdesaan untuk dapat mengaksesnya. Kebutuhan pangan rumah tangga perdesaan cenderung didominasi oleh pangan sumber karbohidrat karena adanya asumsi bahwa pekerjaan penduduk di perdesaan lebih banyak membutuhkan energi sehingga konsumsinya lebih didominasi oleh pangan pokok yang merupakan sumber energi yang relatif murah. Tabel 21. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB/kapita Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien korelasi (r) 0,485** 0,019 0,139 0,262 0,384* 0,435*
Koefisien regresi 138
p 0,006*
R-square: 0,2351 PDRB/kapita yang menggambarkan pendapatan masyarakat untuk dapat mengakses pangan juga memiliki peranan yang penting. Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi PDRB/kapita semakin tinggi pula pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pendapatan agar dapat mengakses makanan untuk dikonsumsi. Sementara itu, tingkat pendidikan juga memiliki keterkaitan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat. Semakin banyak masyarakat yang tidak sekolah dan setinggitingginya hanya menamatkan SD semakin tinggi pula konsumsi pangan sumber karbohidrat. Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang
untuk
memahami
berbagai
aspek
pengetahuan,
termasuk
pengetahuan gizi (Syarief, et al. 1988 diacu dalam Hardinsyah 2007). Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, para ibu dari rumah tangga berpendapatan rendah dapat lebih mampu untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki di rumahtangganya secara lebih efesien dibandingkan para ibu yang berpendidikan rendah (Behrman&Wolfe, 1987; Behrman, et al. 1988; World Bank, 1993 diacu dalam Hardinsyah 2007). Dengan kata lain, para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengkombinasikan beragam jenis pangan dengan harga
57
yang tidak mahal. Sehingga konsumsi pangan tidak hanya didominasi pangan sumber karbohidrat. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan adalah ketersediaan, PDRB/kapita, dan tingkat pendidikan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat yaitu ketersediaan (Tabel 21). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y9*= 1339 – 138 X1* Y9*
: konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan (Y9)
X1*
:
ketersediaan
pangan
sumber
karbohidrat
di
perdesaan
(disesuaikan;1/X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 1339 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan maka konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan sebesar
1339. Nilai
koefisien regresi ketersediaan sebesar -138, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi pangan sumber karbohidratakan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,2351, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 23,51% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan. Berdasarkan hasil regresi, dapat dilihat bahwa ketersediaan yang menggambarkan akses fisik terhadap pangan lebih berpengaruh daripada variabel lainnya, termasuk variabel sosial ekonomi. Hal tersebut dapat menunjukkan ketergantungan rumah tangga di perdesaan terhadap akses fisik karena kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993).
58
b. Perkotaan Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan sama halnya di perdesaan yaitu berhubungan dengan ketersediaan. Ketersediaan berhubungan positif dengan konsumsinya. Semakin tinggi ketersediaan semakin tinggi pula konsumsi pangan sumber karbohidrat.Ketersediaan menunjukkan akses fisik terhadap pangan. Masyarakat di perkotaan yang semakin banyak jumlahnya sehingga kebutuhan akan pangan pun meningkat. Tabel 22. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel
Koefisien korelasi (r) 0,36* 0,060 0,224 -0,150 0,135 0,021
Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB Tingkat pendidikan ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05
Koefisien regresi 330
p 0,011*
R-square: 0,2278 Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan adalah ketersediaan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan yaitu ketersediaan (Tabel 22). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y10*= 7,327 – 330 X1* Y10*
: konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan (disesuaikan; Ln Y10)
X1*
:ketersediaan
pangan
sumber
karbohidrat
di
perkotaan
(disesuaikan;1/X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 7,327 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan maka konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan sebesar
7,327. Nilai
koefisien regresi ketersediaan sebesar -330, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut.
59
Nilai R square model linier adalah 0,2278, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 22,78% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan. Hasil
analisis
regresi,
menunjukkan
bahwa
ketersediaan
yang
menggambarkan akses fisik terhadap pangan lebih berpengaruh daripada variabel lainnya, termasuk variabel sosial ekonomi. Hal tersebut dapatjuga menunjukkanmasih adanya ketergantungan rumah tangga di perkotaan terhadap akses fisik terhadap pangan. Adanya perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan (urbanisasi) semakin meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat, karena itu perlu pengelolaan sumber daya pangan yang baik agar kebutuhan pangan terpenuhi secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian, konsumsi pangan sumber karbohidrat (pangan pokok) masih didominasi oleh beras baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan. Di Perdesaan, konsumsi pangan sumber karbohidrat kurang beragam yang ditunjukkan oleh dominasi beras melebihi angka kecukupan yang dianjurkan yaitu 50%. Hal tersebut terjadi karena adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat desa dari beras-jagung-umbi menjadi beras-mi (Martianto dan Ariani 2005 diacu dalam Mauludyani 2008). Beras dinilai memiliki nilai sosial yang lebih tinggi dibandingkan pangan pokok lainnya dan memiliki kelebihan yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih mudah dan cepat diolah serta memiliki komposisi gizi yang relatif lebih baik dari pangan pokok lainnya. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi. Pada Tabel 13 sampai Tabel 22 kolom (3) ditunjukkan koefisien korelasi dari hubungan antara variabel konsumsi dengan variabel lainnya. Pada koefisien korelasi yang bernilai 0,20
tersebut
cukup
kuat.
Secara
keseluruhan,
faktor-faktor
yang
berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 23. Faktor yang paling banyak berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi berbagai jenis pangan
60
sumber karbohidrat adalah ketersediaan, tingkat kemiskinan, dan PDRB/kapita. Pada konsumsi pangan sumber karbohidrat total, faktor yang berhubungan dan berpengaruh adalah ketersediaan. Faktor ketersediaan berpengaruh penting terhadap konsumsi pangan. Ketersediaan menunjukkan jumlah pangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Adanya cadangan pangan menunjukkan pentingnya menstabilkan ketersediaan pangan. Jika ketersediaan menurun maka berpengaruh terhadap stabilitas harga pangan dan hal tersebut dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pangan tersebut. Harga pangan yang melambung membuat masyarakat kesulitan untuk membeli pangan tersebut sehingga konsumsinya akan berkurang. Sementara itu, variabel lain yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita merupakan gambaran akses ekonomi yang dimiliki oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya khususnya pangan. Tabel 23. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan Variabel Ketersediaan Kepadatan penduduk Daya dukung lahan Tingkat kemiskinan PDRB/kapita Tingkat pendidikan
xx x *
Beras Desa Kota xx* xx* xx xx*
Jagung Desa Kota xx xx* xx xx* xx
x
Ubi Kayu Desa Kota xx xx* x* x x
xx
Ubi Jalar Desa Kota
Total Desa Kota xx* x*
xx xx* xx*
xx* xx
x x
: berhubungan cukup kuat : berhubungan lemah tapi pasti :berpengaruh signifikan pada p<0,05 PDRB menunjukkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Keadaan
ekonomi suatu wilayah.Keadaan ekonomi suatu wilayah menentukan tingkat kemajuan ekonomi penduduk wilayah tersebut yang diketahui dari tingkat kemiskinan penduduk. Kemiskinan dapat diketahui dari rendahnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, khususnya pangan. Rendahnya kemampuan dalam mengakses pangan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan yang rendah sehingga asupan gizi rendah dan dapat meningkatkan resiko masalah gizi. Oleh karena itu diharapkan dengan peningkatan kesejahteraan dan perekonomian penduduk, konsumsi pangan juga semakin baik dan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas.
61
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan maupun di perkotaan lebih didominasi oleh beras (serealia). Berdasarkan uji independent sample t-test ditunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara konsumsi kelompok pangan serealia
dan
umbi-umbian
di
perdesaan
dan
perkotaan.
Kecukupan
konsumsipangan karbohidrat total di perdesaan yaitu 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan yaitu 961 kkal/kap/hari. Kecukupan konsumsi pangan kelompok serealia di perdesaan yaitu 55,2% telah melampui kecukupan PPH yaitu 50% dan di perkotaan yaitu 47,3%. Kecukupan konsumsi pangan kelompok umbiumbian di perdesaan dan perkotaan berturut-turut yaitu 0,7% dan 0,8%, sehingga dapat dikatakan keduanya belum memenuhi kecukupan PPH untuk kelompok umbi-umbian yaitu 6%. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan juga didominasi oleh beras (serealia). Meskipun begitu, konsumsi kelompok pangan
serealia dan
umbi-umbian
di perdesaan
dan
perkotaan
tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata berdasarkan uji independent sample t-test . Kecukupan ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di perdesaan yaitu 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan yaitu 1934 kkal/kap/hari. Kecukupan ketersediaan pangan kelompok serealia di perdesaan dan perkotaan berturut-turut 85,67% dan 77,76%. Kecukupan tersebut telah memenuhi kecukupan PPH untuk kelompok serealia yaitu 50%. Kecukupan ketersediaan pangan kelompok umbi-umbian di perdesaan dan perkotaan berturut-turut 13,67% dan 10,14%. Kecukupan tersebut telah memenuhi kecukupan PPH untuk kelompok umbi-umbian yaitu 6%. Karakteristik fisik selain ketersediaan yaitu kepadatan penduduk dan daya dukung lahan. Kepadatan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan dan ditunjukkan adanya perbedaan yang nyata menurut uji independent sample t-test yaitu 1144 jiwa/km2 sedang di perdesaan yaitu 249 jiwa/km2. Daya dukung lahan di perdesaan lebih rendah daripada di perkotaan yaitu 6,62 orang/ha namun angka tersebut masih melampaui kepadatan penduduknya. Daya dukung lahan di perkotaan meskipun lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 7,16 orang/ha namun angka tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya.
62
Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari tingkat kemiskinan, PDRB/kapita, dan tingkat pendidikan rendah.Hasil penelitian menunjukkan indikator sosial ekonomi di perkotaan lebih baik daripada di perdesaan yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan nyata berdasarkan uji independent sample t-test kecuali pada PDRB/kapita. Tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan yaitu 21% dan72% sedangkan di perkotaan yaitu 17% dan 64%. PDRB/kapita di perdesaan adalah Rp 7,373,000.00 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada di perkotaan yaitu Rp 10,913,000.00 Berdasarkan hasil korelasi pearson, faktor yang berhubungan nyata dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah ketersediaan, PDRB/kapita dan tingkat pendidikan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perkotaan berhubungan nyata dengan ketersediaan. Berdasarkan uji regresi linier, faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan maupun di perkotaan adalah
ketersediaan.
Konsumsi
beras
di
perdesaan
dipengaruhi
oleh
ketersediaan dan konsumsi beras di perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan dan tingkat kemiskinan. Konsumsi jagung di perdesaan dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan di perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan. Konsumsi ubi kayu baik di perdesaan maupun di perkotaan keduanya dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. Sementara itu, konsumsi ubi jalar di perdesaan dipengaruhi oleh daya dukung lahan dan PDRB/kapita serta di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Saran
Karakteristik fisik merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap konsumsi pangan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu di perdesaan harus dioptimalkan pemanfaatan daya dukung lahan yang ada dan diperhatikan agar daya dukung lahan tersebut tidak terlampaui oleh kepadatan penduduknya sehingga dapat terpenuhi kebutuhan pangan yang berkelanjutan. Sementara itu di perkotaan meskipun ketersediaan masih mencukupi akan tetapi pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat sehingga perlu diperhatikan dengan baik pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang semakin meningkat pula. Di perkotaan perlu pengoptimalan penyediaan pangan
melalui pasokan agar kebutuhan pangan yang
berkelanjutan dapat terpenuhi.
63
Pemanfaatan potensi ekonomi juga perlu dioptimalkan sehingga dapat meningkatkan PDRB/kapita wilayah dengan tujuan pertumbuhan ekonomi meningkat dan memperbaiki kesejahteraan penduduk, dengan syarat PDRB tersebut terdistribusi secara merata agar tingkat kemiskinan dapat diturunkan agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan mudah.
64
DAFTAR PUSTAKA Absari UD. 2007. Perencanaan produksi pangan berdasarkan daya dukung lahan wilayah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amadona Novia. 2003. Keragaan ketahanan pangan kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat tahun 1999-2001 [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Ariani M. 2004. Analisis perkembangan konsumsi pangan dan gizi. Bogor:Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. _______. 2005. Diversifikasi pangan di Indonesia: antara harapan dan kenyataan. Bogor:Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Atmarita, Fallah TS.2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan 2001-2004. Jakarta: Departemen Pertanian RI. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI ____________________________________________________. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Baliwati YF, Roosita K. 2004 Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM,editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Berg A. 1986. Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DM, penerjemah Jakarta: C.V. Rajawali. Terjemahan dari: The Nutrition Factor, It’s Role in National Development. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2008. Peta Akses Pangan Pedesaan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. ___________________________. 2010. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan 2010-2014. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Provinsiprovinsi di Indonesia Menurut Penggunaannya 2000-2004. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
65
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. ________________________. 2007. Peta Kepadatan Penduduk di Indonesia Tingkat Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. ________________________. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2004-2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Braun JV, et al. 1993. Urban Food Insecurity and Malnutrition in Developing Countries, Trends, Policies, and Research Implications. Wahington DC: International Food Policy Research Institute. [DKP-Deptan] Dewan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian. 2006. Penyusunan Neraca Bahan Makanan Indonesia. Jakarta:Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. ___________________________________________________________. 2008. Draft 2: Indonesia Tahan Pangan 2015. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. ___________________________________________________________. 2009. Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Fitria. 2003. Perbandingan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga miskin dengan metode kuantitatif dan kualitatif di daerah perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gerster M, Bentaya. 2005. Instruments For The Assessment And Analysis Of The Food And Nutrition Security Situation At Macro Level. Di dalam: Klaus Klennert editor.Achieving food and nutrition security. Jerman: Capacity Building International. Hardinsyah. 2000. Arah pembangunan tanaman pangan dan hortikultura menuju ketahanan pangan. DI dalam: Prosiding diskusi pakar arah pembangunan tanaman pangan dan hortikultura. Bogor: Kerjasama Fakultas Pertanian, IPB dengan Ditjen tanaman pangan dan hortikultura, Deptan. Hardinsyah, Briawan D, Retnaningsing, Herawati T, Wijaya R. 2002. Analisis kebutuhan konsumsi pangan. Bogor: Pusat studi Kebijakan Pangan (PSKPG) IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan. Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Gizi dan Pangan 2(2): 55-74. Harniati. 2008. Program sektor pertanian yang berorientasi penanggulangan kemiskinan: pengalaman proyek pembinaan peningkatan pendapatan petani-nelayan kecil (P4K) sebagai sebuah model penanggulangan kemiskinan di perdesaan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional:
66
Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 52-67. Hasan I. 2004. Aksara.
Analisis Data Penelitian dengan Statistik.Jakarta: PT Bumi
Jelliffe PB, Jelliffe EFP. 1989. Community Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Kurnia R. 2005. Penentuan daya dukung lingkungan pesisir. Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains Program Pascasarjana/ S3 Institut Pertanian Bogor, 3 Juni. Madanijah S. 2004. Ketahanan Pangan. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar pangan dan gizi. Jakarta: Penebar Swadaya, Hlm 69-77. Marwati D. 2001.Strategi ketahanan pangan, ketersediaan dan pola konsumsi pangan keluarga buruh tani dan buruh pabrik di desa kebon dalem, Kota Cilegon [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mauludyani ARP. 2008. Elastisitas permintaan pangan strategis berdasar analisis data SUSENAS 2005 dan implikasinya terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat Indonesia [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Maxwell S, TS Frankenberger. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurement. A Technical Review. New York: United Nations Children‟s Fund; Rome: International Fund for Agricultural Development. Nurhamidah. 2006. Analisis potensi produksi pangan berdasarkan pola konsumsi pangan harapan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rachman HPS, M Ariani. 2008. Penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia: permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (2): 140-154. Ratna DT. 2005. Pendapatan orang tua pada murid TK Hj. Isriati dan TK Satria Tama Kota Semarang [skripsi]. Semarang: Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Riadi S. 2007. Analisis situasi penyediaan pangan dan strategi untuk memantapkan ketahanan pangan kabupaten Kotabaru di era otonomi daerah [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Riley F, N Mock, B Cogill, L Bailey, and E Kenefick. 1999. Food Security Indicators and Framework for Use in the Monitoring and Evaluation of
67
Food Aid Programs. Washington, D.C.: Food and Nutrition Technical Assistance Project, Academy for Educational Development. Riyadi H. 1996. Prinsip dan petunjuk penilaian status gizi.Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saliem
HP, Ariani M, Marisa T dan Purwantini TB. 2002. Analisis KerawananPangan Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Bogor.
Simanjuntak D. 2006.Pemanfaatan komoditas non beras dalam diversifikasi pangan sumber kalori.Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian 4(1):45-54. Subejo. 2009. Potensi sumber daya dan ancaman global pembangunan pertanian di Indonesia. Makalah pendamping dalam Seminar Nasional dalam rangka Lustrum ke-2 Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Universitas Gadjah Mada, 2 Mei. Suhardjo.1989. Perkembangan Situasi Konsumsi Pangan dan Gizi di Indonesia.Makalah disampaikan pada seminar Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat, 2 Desember 1989. Bogor. Suhardjo. 1998. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Sulistiyowati TB. 2005. Cadangan dan keragaman konsumsi pangan rumah tangga di Kabupaten Trenggalek [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suryana A. 2001. Tantangan dan kebijakan ketahanan pangan. Di dalam:Hardinsyah, A Rahardjo, D Martianto, MN Andrestian editor. Pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi. Jakarta: Pusat Studi Kebijakan pangan dan Gizi, Agrindo Aneka Consult. Suryana A. 2004. Ketahanan pangan di Indonesia. Di dalam: Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi. WNPG (hal.39-51). Jakarta: LIPI. Tola T, Balla PT, Ibrahim B. 2007.Analisis daya dukung dan produktivitas lahan tanaman pangan di Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan.Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 7 (1): 13-22. Ulfani D H. 2010. Faktor-faktor sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
68
LAMPIRAN
69
Lampiran 1
70