EVOLUSI POLA PEMUKIMAN ORANG BANJAR Oleh: Alfisyah
Prolog Persoalan pemukiman merupakan masalah yang belakangan ini banyak diperbincangkan, khususnya yang berkaitan dengan pemukiman di perkotaan. Mulai dari penggusuran pemukiman kumuh, penataan pemukiman liar di bantaran sungai hingga masalah tata bangun pemukiman. Persoalan-persoalan ini terkadang membuat pemerintah sebagai pengambil kebijakan berhadapan dengan masyarakat sebagai pelaku. Bagi masyarakat yang hidup dalam kondisi ini, hidup dan memiliki tempat tinggal seadanya adalah pilihan di tengah semakin sulitnya mencari lahan yang sangat terbatas di perkotaan. Sedangkan bagi pemerintah, pola pemukiman seperti ini sangat mengganggu perkembangan kota karena dianggap mengganggu keindahan kota. Sehingga dengan alasan penataan kota, orang-orang yang tinggal di tempat-tempat seperti ini “dipaksa” untuk meninggalkan kehidupan yang telah lama mereka jalani. Meningkatnya populasi penduduk, terbatasnya lahan hingga penataan wilayah perkotaan memang merupakan hal yang biasa dihubungkan dengan kebijakan pemukiman. Namun kebijakan tersebut terkadang tidak berpijak pada kondisi sosial budaya masyarakat pelaku budaya tersebut, sehingga seringkali terjadi resistensi di masyarakat karena cenderung dipaksakan. Oleh karena itu perlu ada kajian yang mendalam tentang proses budaya terbentuknya sebuah komunitas dan pemukiman. Tulisan berikut ini akan mencoba mengkaji lebih jauh tentang berbagai proses pembentukan sebuah pola pemukiman khususnya di kalangan masyarakat subsuku Banjar di Kalimantan Selatan. Masyarakat yang oleh sebagian orang (Salim, ... ) disebut sebagai masyarakat dengan kebudayaan Islam dan kebudayaan sungai. Pembahasan tentang proses dan pola pemukiman ini menjadi penting karena pola pemukiman pada dasarnya merupakan pengejawatahan (ekspresi) dari konsepsi manusia mengenai ruang, serta hasil upayanya untuk mengubah dan memanfaatkan lingkungan fisik berdasarkan atas pandangan dan pengetahuan yang mereka miliki mengenai lingkungan tersebut (Putra, 1997: 15). Pemukiman dalam pengertian sederhana dapat dipahami sebagai tempat tinggal dan tempat manusia melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam konteks ini, pemukiman meliputi tiga hal: Pertama, supra struktur yaitu berbagai komponen fisik tempat manusia mengaub (shelter). Kedua, infra struktur yaitu prasarana bagi gerak manusia perhubungan dan komunikasi, sirkulasi tenaga dan materi untuk kebutuhan jasmaninya. Ketiga, pelayanan (service) yaitu segala hal yang mencakup pendidikan, kesehatan, gizi, rekreasi dan kebudayaan (Suprapti, 1980: 1). Seorang ahli antropologi budaya, Evon Z. Vogt (1956), telah mengoperasionalisasikan lebih jauh tentang konsep pola pemukiman ini. Menurut Vogt (Putra, 1997: 19) studi tentang pola pemukiman pada dasarnya mencakup usaha untuk mendiskripsikan hal-hal berikut: a. Hakekat dari suatu atau beberapa tipe rumah tinggal b. Pengaturan spatial tipe-tipe rumah tinggal ini dalam hubungan satu dengan lain, dalam suatu unit desa atau komunitas c. Relasi antara tipe-tipe rumah tinggal dengan bentuk-bentuk arsitektur lainnya
d. Tata letak atau keseluruhan pola desa atau komunitas e. Hubungan-hubungan spatial antara desa atau komunitas dengan desa atau komunitas yang lain di suatu kawasan dengan luas sefisibel mungkin. Menurut Willey (Putra, 1997: 19), berbagai pemukiman dengan pola tertentu dianggap juga sebagai pencerminan dari lingkungan alam, tingkat tehnologi yang digunakan oleh pembuat pemukiman serta berbagai macam pranata interaksi sosial dan penguasaan yang dipertahankan oleh kebudayaan di situ. PEMBAHASAN Orang Banjar –kelompok masyarakat yang paling banyak mendiami kawasan Kalimantan Selatan- merupakan bentukan dari suku Dayak Maayan, Lawangan, Dayak Meratus dan Dayak Ngaju (Riwut, 1958: 180-181) yang kemudian membentuk tiga sub suku yaitu: Banjar Kuala, Banjar Hulu dan Banjar Batang Banyu (Daud, 1997: 34). Pembagian ini didasarkan pada geografis pemukiman yang mereka tinggali. Meskipun demikian, orang Banjar memiliki pola kehidupan yang agak berbeda dengan orang Dayak. Hal ini disebabkan karena orang Dayak lebih banyak tinggal di pedalaman dan di hutan-hutan lereng-lereng gunung, sedangkan orang Banjar lebih banyak tinggal di tepian sungai. Pola kehidupan yang kemudian terbentuk di sekitar ketiga sub suku Banjar yang dilingkupi oleh kondisi geografis sungai itu adalah pola yang juga erat kaitannya dengan kondisi geografis yang khas di daerah ini yakni kebudayaan sungai (Humaidi, 2002: 53). Sungai bagi masyarakat Banjar tidak sekedar sebagai tempat mencari ikan tapi ia sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari orang Banjar. Sungai selain menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktifitas keseharian penduduk, mulai dari mencuci, mandi dan buang hajat, sungai juga menjadi sarana transportasi untuk mengangkut hasil pertanian ke lokasi tempat tinggal atau ke tempat pemasaran. Sebagian besar orang Banjar membangun rumah-rumah mereka di pingir sungai atau tidak jauh dari sungai. Sehingga beberapa bagian tepi sungai di wilayah Kalimantan Selatan tampak penuh sesak dengan rumah-rumah penduduk dan bahkan menjadi sebuah pemukiman yang padat. Seperti di tepian Sungai Martapura, Nagara dan Tabalong. Menurut pandangan orang Banjar, rumah yang ideal adalah rumah yang bagian belakang menghadap sungai dan bagian depan mengahadap jalan (Suryadikara, 2000: 12-13). Pemukiman ini khususnya didirikan di tebing-tebing sungai yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang umumnya berupa rawa-rawa (Daud, 1997: 106). Namun belakangan ini keadaannya sedikit berubah. Rumah-rumah di tepian sungai sudah tidak begitu diminati lagi oleh masyarakat Banjar. Keputusan masyarakat Banjar untuk tinggal dan menetap serta membangun pemukiman di tepian sungai dan kemudian bergeser ke wilayah yang sedikit agak jauh dari sungai memperlihatkan temuan yang menarik dari sudut pandang evolusi khususnya evolusi pola pemukiman. Seperti dikemukakan oleh Rosenberg (1998) dalam artikelnya “Cheating at Musical Chairs: Territoriality and Sadentism in an Evolutionary Contexs, bahwa sadentisme (menetap) terkait erat dengan pertumbuhan populasi, ukuran komunitas yang semakin besar, asal mula produksi makanan, perkembangan kelompok-kelompok formal dan juga perkembangan sistem organisasi ke bentuk yang lebih kompleks. Bagi orang
Banjar sendiri pilihan untuk bertempat tinggal menetap di tepian sungai tampaknya bukan saja terkait dengan pertumbuhan populasi tapi ia juga dipengaruhi oleh banyak hal, seperti upaya pemusatan sumber daya, adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan iklim, serta juga efesiensi tenaga kerja. Pemukiman dan Populasi Pada masa awal terbentuknya masyarakat Banjar, sebagian orang Banjar masih ada yang tinggal secara nomaden di perahu-perahu mereka. Sampai sekitar akhir tahun 70-an, orang-orang yang tinggal dan menjalani kehidupan di atas perahu atau yang disebut “orang perahu” ini masih ditemukan berkeliaran di sekitar sungai Martapura (Daud, 2000: 2). Selain memiliki mata pencaharian meramu hasil hutan mereka juga menangkap ikan. Pada periode ini mereka lebih banyak melakukan aktifitas perburuan sebagai tuntutan kebudayaan, karena sebagiamana masyarakat pemburu-meramu, mereka berupaya untuk terus mengembangkan tehnik-tehnik penangkapan ikan dan meramu makanan agar dapat terus beradaptasi dengan perkembangan alam. Orang perahu tidak mengenal proses pembudidayaan, sehingga untuk tetap mempertahankan rasio sumber daya dan populasi, mereka mengenal institusi pengendalian kesuburan, baik lewat obat ramu-ramuan maupun dengan mambalik paranakan. Pengetahuan tentang kontrasepsi tradisional ini biasanya didapat dari orang Meratus. Orang Banjar menganggap orang Meratus tahu benar soal kontrasepsi (Thing, 1998: 161). Jika mereka memiliki surplus hasil hutan ataupun tangkapan, mereka biasanya menjualnya pada orang lain. Aktifitas tukar menukar ini biasanya dilakukan antar perahu. Sisa-sisa kebudayaan ini masih bisa dilihat di beberapa tempat yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan “pasar terapung” seperti di wilayah Kuin dan Lokbaintan Kabupaten Banjar. Hasil tangkapan ikan yang didapat biasanya dihabiskan pada saat yang sama. Namun beberapa diantaranya diawetkan untuk persediaan makanan pada hari berikunya. Proses pengawetan hasil tangkapan ini masih banyak berlangsung di wilayah-wilayah penghasil ikan sungai. Hasil tangkapan ikan yang diawetkan ini oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan pakasam atau iwak wadi. Pola pengawetan ini berbeda dengan gudang. Gudang dimanfaatkan untuk menyedia makanan, ketika sumber makanan utama, alam, mengalami penurunan produksi. Sedangkan pengawetan makanan cenderung diarahkan untuk menyediakan makanan selama mereka melakukan proses perpindahan (Yowono, 1995: 9). Namun aktifitas yang dilakukan dengan cara terpencar ini ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk secara lengkap dan dianggap memboroskan tenaga, sumber daya tenaga yang dikeluarkan tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan. Maka beberapa orang perahu memutuskan untuk memusatkan dan menjual barangnya di suatu tempat yang memungkinkan orang dapat memperoleh berbagai barang dan berbagai kebutuhan. Selain itu cara ini juga dianggap mengurangi energi yang harus dikeluarkan ketika harus mengayuh perahu berkeliling dan berputar-putar. Lama-kelamaan kumpulan para perahu yang saling menjual barang ini kemudian menjadi pasar. Sekitar tahun 80-an, orang perahu yang hidup mengembara di atas perahu-perahu ini hampir sudah ditemukan lagi di sungai-sungai Kalimanatan Selatan. Yang muncul kemudian adalah rumah-rumah lanting yang terbuat dari kayu tanpa tiang penyangga ke tanah. Rumah-rumah ini dibiarkan mengapung di atas air dengan bertumpukan pada
beberapa batang kayu agar tetap mengapung. Selain rumah lanting, di Kalimantan Selatan juga banyak ditemukan rumah panggung yang terbuat dari kayu yang didirikan di tepian sungai. Kondisi ini juga ditemukan Thing (1998) ketika ia melakukan penelitian terhadap orang-orang Meratus yang tinggal di daerah Kalimantan Selatan. Rumah-rumah ini biasanya didirikan secara berkelompok. Orang-orang yang membangun rumah ini tampaknya sebagian besar merupakan orang-orang yang sebelumnya hidup di perahu. Perkembangan populasi menyebabkan perahu tidak lagi dapat menampung keluarga yang semakin banyak. Dengan demikian pilihan untuk tinggal menetap di tepian sungai dan meninggalkan kehidupan nomaden di perahu merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap adanya tekanan populasi (Ronberg, 1998). Sampai awal abad ke-20, terdapat alasan-alasan ekonomis yang kuat untuk proses konglomerasi kota: lokasi bahan mentah, jalur-jalur transportasi, dan tenaga kerja. Sejarah kota kemudian mulai dijelaskan dengan logika transportasi. Kota tradisional mencoba memecahkan masalah transportasi yang lambat dan mahal dengan memusatkan konsentrasi manusia dan sumber daya alam pada sebuah titik (Santoso, 2006: 31). Mendirikan rumah di tepian sungai dapat memberikan kemudahan bagi penghuninya untuk mengakses keperluan hidup yang dibawa para pedagang lewat perahu. Keperluan hidup sehari-hari dengan mudah dapat langsung sampai ke rumah tanpa memerlukan biaya tambahan atau tenaga tambahan untuk mengangkut barang keperluan dari produsen atau dari pasar yang terletak di tepi sungai. Selain itu, lokasi rumah yang didirikan di tepian sungai ini dapat memudahan penghuninya melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi pertanian mereka karena pada saat itu sarana jalan raya dan alat transfortasi darat masih sangat terbatas. (Riwut, 1993:30). Padahal mereka harus mengatur waktu seefesien mungkin agar dapat tepat waktu sampai di lokasi pertanian. Banyak aspek lingkungan yang membuat mereka harus melakukan efesiensi waktu seperti pasang surut air yang mempengaruhi keasaman tanah serta kondisi tanah di wilayah Kalimantan yang hanya memungkinkan dilakukan pertanian dalam kondisi tertentu. Jenis tanah di wilayah Kalimanatan menurut Budiyono (1983: 115) termasuk jenis tanah yang tidak cocok untuk pertanian karena kurangnya sodium, fostat, potasium dan kalsium. Ia juga menyebutkan bahwa keasaman tanah di daerah ini sangat tinggi. Selain itu tanah Kalimantan juga termasuk formasi tertiair yang amat tebal dimana ketika ketinggian air laut berkurang, formasi tertiair tererosi hingga terpotong-potong dan bergelombang-gelombang menjadikannya daratan yang terputus-putus dengan bukitbukit dan sungai-sungai kecil. Pada tahap selanjutnya formasi tertiair di pesisir dan di teluk-teluk lambat laun tertutup dengan formasi kwartiair, yaitu formasi yang lebih muda yang terbentuk dari tanah liat yang sebagian besar tertutup gambut dari daun-daun yang berguguran (Riwut, 1993: 3). Keadaan tanah yang demikian adalah saat yang tepat untuk melakukan pertanian sawah pasang surut. Pemukiman dan Pembudidayaan Pada perkembangan berikutnya, para penghuni pinggir sungai ini merasakan bahwa usaha pertanian yang dilakukan di sekitar lembah sungai sangat terbatas, sehingga tidak mungkin sepenuhnya mengandalkan pertanian subsisten (Daud, 2000: 3), apalagi dengan kondisi demikian. Maka mulailah dilakukan pembudidayaan aneka tanaman. Hal ini terutama dilakukan pada masa-masa air (surut) dangkal dengan kondisi tanah kering.
Untuk membudidayakan tanaman tersebut diperlukan upaya intensitas pertanian. Oleh karena itu mereka harus memiliki tanah yang lebih luas dan pengelolaan yang lebih intensif. Beberapa kelompok masyarakat kemudian memutuskan untuk membangun rumah agak menjauh dari sungai (Daud, 2000: 3), sehingga memungkinkan mereka memiliki tanah yang cukup untuk digunakan sebagai pekarangan yang dapat ditanami berbagai bahan makanan serta untuk pembudidayaan ternak (Daud, 1997: 63). Selain itu, pola pemukiman di tepian sungai cenderung tidak stabil karena jika musim hujan datang dan air pasang, maka air dapat menggenangi tanah di sekitar sungai. Hal ini membuat kemungkinan pemeliharaan ternak didekat rumah menjadi terganggu. Pertanian dengan mengandalkan lahan pasang surut juga mengakibatkan hasil pertanian tidak stabil dan memungkinkan mereka terjebak pada krisis panen terutama di masa paceklik. Adanya ketidakstabilan ini mendorong munculnya pembudidayan seperti dikemukakan Rindos (1980: 758), hal mana kemudian mulailah dikenal model-model pertanian sebagai strategi kehidupan untuk tetap survive. Pola-pola perkembangan pertanian modern muncul sebagai respon adanya kekurangan bahan makanan dan terganggunya sumber penghasilan manusia. Dengan demikian perubahan dan perpindahan orientasi pola pemukiman di kalangan masyarakat Banjar dari tepian sungai ke daerah-daerah yang agak jauh dari sungai tampaknya juga sangat terkait dengan kebutuhan akan pembudidayaan pertanian serta pertambahan populasi. Meskipun pada perkembangan selanjutnya perubahan orientasi tempat tinggal ini juga berlangsung karena adanya campur tangan kolonialisme di tanah Banjar. Penataan pemukiman yang dilakukan oleh Belanda membuat pemukiman yang berada di kawasan tepi-tepi sungai “dipaksa” pindah ke kawasankawasan jalan darat beraspal. Sejak saat itu orang Banjar mulai membangun rumah di tepi-tepi jalan raya (straat). Penataan pemukiman ini menurut Saleh (1982: 24) sengaja dilakukan Belanda untuk memudahkan kontrol terhadap masyarakat Banjar.
Daftar Putaka Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1997. “Arkeologi Pemukiman: Perkembangannya” dalam Jurnal Humaniora V/ 1997
Asal
Usul
dan
Budiyono, Suko. 1983. “Transmigrasi dan Pembangunan di Indonesia: Studi Kasus Pemukiman di Kalimantan Barat” dalam Dr. Colin MacAnrrews (ed.) Pemukiman di Asia Tenggara Transmigrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Pers ___________ . 2000. “Perilaku Orang Banjar dalam Berbagai Tata Pergaulan”, dalam Makalah Sosial Budaya yang disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar Kalimantan Selatan tanggal 10-13 Agustus Humaidi. 2002. “Tradisi Demokrasi dalam Budaya Banjar”, dalam Jurnal Islam, Politik dan Demokrasi, Postra, No. 06 (Agustus-September) Rindos, David. 1980. “Symbiosis, Instability, and The Origins and Spread of Agricultural: A New Model” dalam Current Anthropology. Vol. 21 (6). Chicago: The University of Chicago Press Riwut, Cilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Rosenberg, Michael. 1998. “Cheating at Musical Chairs: Territoriality and Sadentism in An Evolutionary Contexs” dalam Current Anthropology. Vol. 39 (5). Chicago: The University of Chicago Press Saleh, Idwar. 1982. Lukisan Peran Banjar 1859-1865. Banjarbaru: Depdikbud Salim, Hairus. 1996. “ Islam Banjar, Relasi antar Etnik dan Pembangunan” dalam Kisah dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama, Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Interfidei Santoso, Jo. 2006. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan Centropolis Suprapti, MC. 1980. Pola Pemukiman Pedesaan. Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Suryadikara, Fudiat. 2000. Struktur Sosial Masyarakat Banjar dan Perubahan Sosial” dalam Makalah yang dipresentasikan pada acara Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar Kalimantan Selatan di Banjarmasin tanggal 1013 Agustus Thing, Anna Lowenhaupt. 1998. Dibawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Yowono, Pujo Semedi. 1995. “Evolusi Tehnologi Subsistensi” dalam Materi diskusi yang disampaikan pada Pelatihan Tenaga Penelitian Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional se Indonesia