ORANG BANJAR BERPUASA
Mukhtar Sarman
i
Orang Banjar Berpuasa
Orang Banjar Berpuasa © Mukhtar Sarman vi + 86 hlm. 11,5 x 19 cm ISBN : 978-602-74505-4-7 Layout / Cover : Ahmat Edisi Khusus Ramadhan 1437 H/Juni 2016. Diterbitkan atas kerjasama: Program Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin Percetakan : PT. LKiS Printing Cemerlang Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta Telp : (0274) 387194, 082242697136 Email :
[email protected]
ii
Kata Pengantar
B
uku kecil ini diinspirasi oleh kenyataan bahwa begitu banyak waham yang menyertai laku shaleh orang Banjar ketika berpuasa di bulan ramadhan. Saya menyebutnya “waham”, karena rujukannya adalah ”ilmu dangaran”, yang diamalkan begitu saja sampai akhirnya membudaya. Jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak pernah, orang Banjar, terutama dari kalangan awam, bersikap kritis untuk menguji ilmu dangaran-nya itu pada sumber yang terpercaya. Dalam bahasa ilmu hadits, mereka tidak mau repot untuk menelisik ‘sanad’ dan ‘matan’nya, apakah ilmu dangaran yang dipercaya dan atau ‘dhaif’, atau jangan-jangan malah ‘palsu’. Tanpa bermaksud mendiskreditkan orang Banjar, karena saya juga orang Banjar, buku kecil ini ramadhan. Apa yang menjadi perilaku masyarakat, baik yang diperagakan oleh kalangan elit dan terpelajar maupun yang terbilang awam, coba dikritisi. Tujuannya adalah sebagai introspeksi beragama, karena ranah agama bagi ummat Islam tidak melulu hanya menyangkut aspek hubungan iii
Orang Banjar Berpuasa
vertikal dengan Allah SWT untuk mendapatkan pahala dan keampunan-Nya. Beragama adalah melakukan hal-hal baik dan menghindari hal-hal buruk menurut ajaran agama, dan hal itu biasanya berkaitan dengan kepentingan orang lainnya. Memang puasa itu adalah untuk Tuhan semata, demikian hadits Qudsi. Tetapi dalam praktiknya, ada hal-hal yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, dan itulah yang ingin saya kritisi. Semoga ada perubahan yang positif, dan ia tidak berlanjut menjadi salah kaprah yang berkelanjutan. Banjarbaru, 17 Ramadhan 1437 H MUKHTAR SARMAN
iv
Daftar Isi
v
Orang Banjar Berpuasa
vi
“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Hadits Riwayat Thabrani dan Daruquthni)
1
Orang Banjar Berpuasa
2
1
Orang Banjar dan Budayanya
S
iapakah gerangan orang Banjar, sebagai sebutan sebuah suku bangsa? Merujuk pada JJ Ras (1926) sebagaimana dikutip oleh Ahmadi Hasan,1 asal usul suku ini berasal dari konsentrasi koloni Melayu yang pertama terdapat di daerah Tabalong, yang kemudian berkembang menjadi suku Banjar, yang disebutnya sebagai Bandjar on the coast. Mereka ini berimigrasi dari Indonesia bagian Barat pada permulaan abad pertama Masehi. Mereka memasuki bagian Timur “Teluk Besar” pada lereng-lereng kaki Pegunungan Meratus. Pada wilayah tua inilah golongan Melayu berbaur dengan kelompok Olo Maanyan dan orang-orang Bukit, dan mendirikan Kerajaan Tanjung Pura yang mungkin terletak di daerah Tanjung kabupaten Tabalong sekarang. Istilah “Banjar” ditemukan dalam Hikayat Banjar dengan asal kata “Bandarmasih”, yang umum dipakai untuk menyebut “Negeri Bandarmasih”. Disebutkan nama Bandarmasih disebabkan nama orang besar yang ada di Banjar kala itu adalah Patih Masih. Banjar sendiri 1
Ahmadi Hasan, 2007. Adat Badamai: Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar. (Antasari Press, Banjarmasin), halaman 106-111.
3
Orang Banjar Berpuasa
mengandung makna berderet-deret sebagai letak perumahan kampung pedukuhan atau desa, yang terletak di atas air sepanjang sungai. Nama Patih Masih adalah nama sebutan dari Patih Oloh Masih yang artinya Patih orang Melayu sebagai sebutan yang ditujukan kepada kepala suatu kelompok etnis di daerah Kalimantan.2 Budaya Banjar sangat dipengaruhi oleh nilainilai Islam. Bahkan Islam menjadi dasar budaya Banjar. Namun dalam sejarahnya budaya Banjar pernah bersentuhan dengan budaya Jawa ketika kerajaan Banjar menjadi vasal kerajaan Demak. Juga secara kultural pernah bersentuhan dengan budaya Sumatera, terutama Aceh, ketika tokohtokoh agamanya seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniry menjadi guru intelektual dan spiritual masyarakat Banjar melalui ajaran tasawuf wihdatul wujud dan kitab Sirathal-Mustaqim.3 Sebagai entitas sosial budaya, orang Banjar tentu saja mempunyai ciri khas budaya sebagai penanda, yang boleh jadi agak berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Sebagai contoh, orang Banjar mengenal istilah “madam” harap jangan salah paham dengan frase Inggis yang berarti “nyonya” alias sebutan seorang perempuan yang mempunyai suami, terlepas apakah dia merupakan isteri pertama atau kesekian dari 2
3
4
Idwar Saleh, 1975. Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin serta Wilayah Sekitarnya sampai tahun 1950. (Banjarmasin), halaman 17. Gazali Usman, 1994. Kerajaan Banjar (Sejarah Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam). (Penerbit Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin), halaman 164.
Orang Banjar dan Budayanya
seorang laki-laki. Madam mungkin istilah yang tidak ditemukan dalam budaya lain, karena yang dimaksud madam itu berbeda dengan sekadar pindah alamat. Madam juga tidak sama dengan istilah ‘transmigrasi’. Madam adalah istilah yang pergi merantau lantaran ingin mengubah nasib peruntungannya. Tapi tunggu dulu, madam tidak sama pengertiannya dengan istilah ‘merantau’ dalam bahasa Minangkabau. Sebab, orang Banjar tidak sekadar ‘pergi keluar kampungnya’ dan “memadamkan diri” (baca: tinggal menetap sekian lama di situ). Orang melakukan madam lebih karena didorong oleh keinginan mengubah nasib, dan bertekad tidak akan kembali ke kampung halaman jikalau tidak berhasil. Tetapi orang Banjar yang melakukan madam dan telah berhasil mengubah nasib peruntungannya, kerapkali tidak tertarik untuk kembali ke kampung halamannya karena terlanjur beranak pinak.4 Saya menyitir perkara madam ini terutama karena orang Banjar yang melakukan migrasi ke luar komunitasnya itu jangan-jangan membawa serta budayanya di daerah baru. Misalnya, adat istiadat yang menyangkut pengamalan beragama. Karena di daerah-daerah yang dominan ‘orang Banjar’-nya, seperti di Tembilahan (Sumatera) atau di Kota Mataram (Nusa Tengga Barat), ada fakta yang menunjukkan bahwa orang Banjar di sana membawa serta adat beragama yang diwarisinya dari nenek moyangnya. Barangkali Strategi Migran Banjar.
4
(LKiS, Yogyakarta).
5
Orang Banjar Berpuasa
dalam perkembangan lebih lanjut adat istiadat yang dibawa dari daerah asal itu tidak bisa ditafsir sebagai budaya diaspora, tetapi paling tidak mereka masih dikenali sebagai “budaya asli orang Banjar” yang tinggal di perantauan. Budaya Banjar, kalau boleh disebut “budaya”, dalam praktiknya kadangkala susah ditafsir dengan nalar sehat. Sebagai contoh, ‘mandi taguh’ atau mandi kebal, yakni upaya seseorang menjadikan tubuhnya kebal atas senjata tajam melalui ritual mandi. Mandi taguh itu biasanya menjadi syarat wajib, tentu saja bagi yang percaya, untuk mereka yang pergi madam. Secara teknis, mereka yang melakukan mandi taguh itu dimandikan (dengan air tentu saja) yang telah dibacakan mantera dalam bahasa Arab boleh jadi merupakan potongan dari ayat-ayat suci Al Quran tertentu oleh seorang Tuan Guru yang menguasai ilmu tarekat. Bahwasanya ritual tersebut berbau agama Islam, tak diragukan, tetapi masalahnya dalam ritual mandi taguh itu juga kental sekali dengan sinkritisme, semisal digunakannya simbol-simbol agama Hindu-Budha dan animisme. Mengapa orang Banjar, terutama dari kalangan masyarakat yang gemar berkelahi, mengamalkan mandi taguh, setahu saya belum ada kajian khusus tentang itu. Saya menduga, dan ini masih spekulatif, orang Banjar yang mandi taguh itu karena takut luka. Mereka takut luka bukan berarti tidak mampu beli betadine atau mengidap penyakit diabetes. Persoalannya rumit, karena ia menyangkut orang Banjar yang 6
Orang Banjar dan Budayanya
gampang tersinggung, lalu mencabut belati di pinggangnya. Salah satu penciri orang Banjar, terutama dari Hulu Sungai, adalah memasang belati di pinggangnya. Tapi itu untuk yang lakilaki. Kalau untuk perempuan, saya tidak tahu, apakah ada tradisi membawa belati juga. Orang Banjar yang kebal karena mandi taguh biasanya tidak takut berkelahi. Itulah barangkali yang dapat menjelaskan mengapa orang Banjar tertentu dikenal sebagai pemberani, dan disegani karena keberaniannya. Itulah pula gambaran dari orang Banjar yang, tempo dulu, melakukan madam. Di masa-masa sekarang, walaupun masih ada orang Banjar yang diketahui kebal senjata, tetapi orang Banjar yang dihormati terutama adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berduit alias urang sugih. Karena itulah sesungguhnya yang lebih dibutuhkan adalah ‘mandi sugih’, sayangnya setahu saya belum ada Tuan Guru yang mampu memfasilitasi hal itu. Bahwasanya orang Banjar itu gampang tersinggung merupakan hal yang biasa, dan barangkali bukan merupakan pencirian yang khas, karena sejatinya suka tersinggung itu berkaitan dengan karakter personal orang yang rendah diri atau angkuh, dan tidak ada hubungannya dengan asal usul etnisitasnya. Tetapi lantaran dikenal mudah tersinggung, orang Banjar kemudian melakukan tindakan-tindakan yang agak di luar nalar sehat. Orang Banjar pada umumnya tidak gemar untuk berpikir panjang dalam melakukan sesuatu tindakan. Apalagi sudah menjadi kebiasaan yang telah ‘membudaya’, bahwa orang 7
Orang Banjar Berpuasa
Banjar itu cenderung mengamalkan semboyan “indah kalah” yang sifatnya reaktif, dan kalaupun kalah, harus ditunjukkan kepada orang lainnya bahwa “nang panting manang surah”. Sebagai contoh, misalnya unjuk kemampuan beragama. Tidak sedikit orang Banjar yang memaksakan diri ‘naik haji’ untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, padahal secara ekonomi sebenarnya dia tidak mampu. Dengan berstatus sebagai “haji” atau “hajjah” sebuah panggilan yang tidak ada haditsnya boleh jadi yang bersangkutan merasa terangkat harkat dan martabatnya. Bahkan karena memaksakan statusnya disamakan, orang yang cuma pergi umrah ke Makkah merasa berhak untuk dipanggil pak haji pula. Imbas Budaya Modernisme Orang Banjar adalah masyarakat yang agamis. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran Tuan Guru. Menurut Alfani Daud,5 pada masa Sultan Tamjidillah I (1745-78) dari kerajaan Banjar, seorang yang kelak menjadi ulama besar, yakni Syekh Arsyad, kembali dari mengaji selama berpuluh tahun di Mekah. Konon kepulangan Syekh Arsyad disambut antusias oleh pihak Sultan, pembesar-pembesar kerajaan, dan para warga ibukota kesultanan Banjar. Sultan pun sangat menghormatinya, dan mengawinkannya dengan salah seorang sepupunya, yakni Ratu Aminah. Syekh Arsyad pun menjadi kurang lebih setaraf dengan tokoh-tokoh bangsawan tinggi. 5
8
Alfani Daud, 1977. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. (Penerbit Rajawali Pers, Jakarta), halaman 54-60.
Orang Banjar dan Budayanya
Sultan juga menghadiahkan sebidang tanah yang kemudian dibangun Syekh Arsyad sebagai wilayah mukim dan tempat pengajian guna mencurahkan ilmu-ilmu keislaman yang disauknya selama di tanah suci. Pengajian ini segera menjadi terkenal, mungkin satu-satunya tempat pendidikan formal untuk masyarakat pribumi di kawasan kesultanan Banjar pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke19. Pengaruh Syeh Arsyad makin terasa dalam membangun kesadaran beragama masyarakat Banjar setelah dia menulis kitab yang berjudul Sabilal Muhtadin dan kitab Tukhfa al Ragibin. Dua buah kitab tersebut, terutama Sabilal Muhtadin, menjadi pegangan masyarakat untuk kitab (hukum Islam). Bahkan buku kecil berjudul Bab al Nikah, yang konon juga ditulisnya (karena tidak mencantumkan nama pengarangnya) menjadi rujukan bagi para kadi dan penghulu di kawasan ini dalam hukum munakabat (perkawinan). Dan warisan Syekh Arsyad itu diteruskan oleh anak cucunya, yang juga banyak menjadi ulama terkemuka hingga sekarang. Perihal orang Banjar yang taat beragama, kondisinya boleh jadi berbeda di masa dulu dengan masa sekarang. Tidak usah terlalu jauh merujuk ke masa silam, misalnya di masa kerajaan Banjar duaratus tahun yang lalu, di tahun 1970an dibanding dengan tahun 2010-an sudah sangat jauh berbeda. Saya mengalami, dan merasakan hal itu ketika di masa kecil tinggal di daerah Hulu Sungai. Masyarakat Hulu Sungai, ketika itu, adalah masyarakat dengan pencirian yang guyub dan tidak neko-neko boleh jadi lantaran 9
Orang Banjar Berpuasa
masih “kampungan” dan tidak tersentuh gaya hidup hedonisme yang berimpitan dengan kultur masyarakat modern. Menjelang maghrib, anakanak lelaki dan orang dewasa biasanya sudah berkumpul di sekitar surau untuk melaksanakan shalat berjamaah. Kalau tidak ke surau untuk shalat berjamaah, mereka akan duduk-duduk di pelataran rumah, dan pintu jendela segera ditutup rapat begitu azan maghrib tiba. Walaupun agak berbau singkrit, ibu-ibu biasanya memberi pesan wanti-wanti kepada anak-anaknya untuk jangan membiarkan arwah gentayangan, yang biasanya dipercaya keluar dari sarangnya menjelang maghrib, masuk ke dalam rumah mereka. Setelah melaksanakan shalat maghrib, biasanya anak-anak belajar mengaji al Quran, dan orang-orangtua suka mendaras surat Yasin, al-Waaqi’ah disambung dengan al-Mulk tujuannya agar diampuni dosa serta dimurahkan rezeki dan diberikan ketenangan hidup oleh Tuhan Pencipta Semesta Alam. Tidak ada kegiatan lain di malam hari, kecuali bagi pelajar, yang berinisiatif menyalin pelajaran sekolahnya di buku catatan. Setelah makan malam, orangtua dan anak-anaknya biasanya kumpul di ruang tengah, seringkali mengobrol santai sembari memberi nasihat merujuk pada ceritera-ceritera masa lalu tentang orang-orang mulia dan bijak. Biasanya sekitar pukul 21.00, semua orang pun bersiapsiap untuk pergi ke peraduan alias leyeh-leyeh sebelum pergi ke alam mimpi. Karena cepat tidur biasanya juga cepat pula bangun tidurnya. Kala itu jarang sekali anak-anak bangun kesiangan, karena ada pepatah yang selalu diulang-ulang oleh para 10
Orang Banjar dan Budayanya
orangtua, “Jangan sampai tadahulu burung, cepat bangun dan sembahyang subuh.” Ketika TVRI (televisi Republik Indonesia) melakukan siaran secara nasional tahun 1980an, dan beberapa rumah orang kaya menyediakan pesawat televisi untuk bisa ditonton bersama dengan para tetangganya hingga berakhirnya siaran pada pukul 24.00, perubahan ritme kehidupan malam masyarakat Banjar diam-diam terjadi. Tetapi syukurnya siaran TVRI kala itu lebih banyak berisi acara bertema ‘pembangunan’ Indonesianya
karena pembawa acara cuma
ditayangkan. Akibatnya, terjadi diskusi, untuk menafsir ceritera, di antara penonton awam pesawat televisi. Namun demikian, rakyat jelata yang kurang tontonan, seperti saya, cenderung masih terkontrol untuk tidak punya imajinasi macam-macam dari hasil menonton siaran televisi tersebut. Memasuki tahun 1990-an, dimulailah era stasiun TV swasta berkuasa. Dimulai dari lahirnya RCTI. Setelah itu berturut-turut lahir TPI, SCTV dan menyusul kemudian Indosiar serta Lativi (yang dalam perkembangannya berubah menjadi AN-tv). Saya perlu menyinggung kelahiran stasiun-stasiun TV swasta itu, karena peran stasiun TV swasta di Indonesia sangat krusial untuk menularkan budaya pop dan gaya hidup post-modern. Ketika TVRI menjadi satu-satunya tontonan, acara lawak 11
Orang Banjar Berpuasa
masih didominasi oleh grup Srimulat yang harus diakui menggelitik tawa dengan adegan pelayan dan majikan, sebuah relasi sosial yang akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi setelah stasiun-stasiun TV swasta berkibar, dan bersiaran 24 jam penuh, segala macam tayangan acara menyerbu ruangruang keluarga nyaris tanpa kontrol, dan tidak semuanya layak ditonton oleh keluarga, termasuk acara-acara lawaknya. Karena peran TV swasta pula, acara siraman rohani yang dilakukan oleh berbagai penceramah (ustadz) menjadi ramai, dan penuh canda. Anehnya, kalangan pemirsa awam lebih menyenangi penceramah yang suka bercanda dan mengeluarkan joke-joke tertentu, daripada penceramah yang serius seperti Quraish Shihab. Keberadaan penceramah kondang yang suka bercanda, dan ustadz selebriti yang tak begitu jelas statusnya, artis atau penceramah agama segera menguasai acara di TV-TV swasta ketika bulan ramadhan. Dalam kaitan acara di TV-TV swasta itu, bulan ramadhan akhirnya cenderung menjadi semacam ‘bulan hiburan’ apalagi ditingkahi dengan perilaku para pelawak yang mengaku sebagai komedian tetapi seringkali asal dapat mengundang tawa walaupun sebenarnya tidak lucu, karena biasa di antara mereka saling melecehkan kekurangan atau kejelekan lawan mainnya. Dampak negatif budaya pop yang mencemari budaya otentik masyarakat Banjar tidak terbatas 12
Orang Banjar dan Budayanya
hanya akibat dari adanya siaran TV swasta yang cenderung kebablasan. Diam-diam namun bagai tak terelakkan, kemajuan teknologi komunikasi juga berimbas nyata bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat yang semula boleh dibilang adem-ayem. Hal itu ada hubungannya dengan kemudahan pemilikan gadget (gawai) berupa handphone dan smartphone pelbagai merk dan kapasitas terpasang. Nyaris semua warga masyarakat, dari berbagai lapisan tanpa kecuali, memiliki gadget. Betapa tidak, dari tukang sayur hingga pemulung, telah sanggup punya handphone, tentu saja dengan harga yang sesuai dengan kantong mereka. Bahkan dapat disaksikan anakanak yang baru disapih sudah diberikan gadget oleh orangtuanya biasanya agar si anak buah hati itu jangan mengganggu ibunya yang sedang asyik ber-chatting ria dengan temannya sesama follower. Namun karena asyiknya berselancar di dunia maya, banyak orang yang seakan-akan lupa diri. Diam-diam gadget menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang, sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi. Seperti saya temukan di Jalan Veteran Banjarmasin, kios penjual gadget dan pulsa elektronik jauh lebih ramai dikunjungi konsumen daripada toko beras di sebelahnya. Tidak ada keluhan apabila harga pulsa terus naik dan cenderung dipermainkan oleh operator penyedia jaringan, akan tetapi hal sebaliknya jangan coba-coba menimpa harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Sama dengan kecenderungan orang yang gampang protes kalau harga BBM (bahan bakar 13
Orang Banjar Berpuasa
minyak) naik, tetapi malah tidak peduli kalau harga air mineral malah sebenarnya lebih tinggi harganya dari BBM, dan tetap juga dengan senang hati dibeli. Dari paparan di atas, apa yang dapat dijadikan telaahan kritis? Paling tidak, ada tiga perkara yang barangkali perlu jadi bahan permenungan bersama. Pertama, masyarakat kita cenderung tidak peka atas perubahan sosial yang secara fundamental menggerus sendi-sendi budaya tradisional yang berbasis pada penerapan ajaran agama Islam. Kedua, masyarakat kita, tak terbatas pada kalangan awam, cenderung tidak mampu mengantisipasi dampak negatif dari revolusi komunikasi massa yang berimbas langsung pada pola-pola komunikasi tradisional yang mengutamakan hubungan antar-personal yang akrab. Ketiga, sedikit banyak masyarakat seperti kehilangan tokoh panutan, yang secara tradisional sebenarnya dipegang oleh tokoh-tokoh agama, khususnya para Tuan Guru. Krisis sosial yang, menurut saya, paling merisaukan adalah: masing-masing anggota masyarakat masa kini telah semakin individualistik untuk sekadar diajak berempati atas nasib kurang beruntung yang dialami oleh sesamanya. Dan hal sosial di bulan ramadhan yang katanya adalah bulan dan mampu mengobati luka-luka sosial akibat dari relasi antar personal yang tidak begitu baik.
14
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Petuah Jabir bin ‘Abdillah)
15
Orang Banjar Berpuasa
16
2
Puasa Bagi Orang Banjar
D
ari perspektif sosiologis, mencermati perilaku berpuasa orang Banjar adalah bagaimana memahami apa yang sebenarnya menjadi motif dan motivasi mereka menjalankan ibadah puasa sebagai manifestasi beragama dan berkebudayaan. Dalam kaitan itu banyak hal orang Banjar dalam berpuasa, diakui atau tidak oleh orang Banjar sendiri. Ada perilaku sosial yang sudah ada sejak berpuluh tahun yang lalu. Ada juga perilaku sosial yang baru berkembang di waktuwaktu kemudian. Pada hal-hal tertentu, bahkan ada gejala perubahan perilaku berpuasa pada sebagian orang Banjar sesuai dengan kondisi masa kini. Namun semua hal itu dapat disimpul sebagai aktualisasi orang Banjar menafsirkan agama Islam sebagai tuntunan hidup, sebagaimana secara tradisional diajarkan oleh para Tuan Guru. Terutama di daerah Hulu Sungai, sejak tahun 1960-an ada semacam faksi kelompok rujukan untuk berpuasa, yakni ikut kelompok Nahdlatul Ulama (NU) atau ikut Muhammadiyah? Kelompok NU dibahasakan sebagai “kelompok tuha”, walaupun para pemuka NU sendiri lebih 17
Orang Banjar Berpuasa
suka disebut sebagai penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam pemahaman masyarakat umum, kelompok NU inilah yang sering direpresentasikan sama dengan Pemerintah ketika memutuskan kapan hari pertama ramadhan dan kapan tanggal hari raya Idul Fitri ditetapkan. Faktanya, ketika ada sidang isbat yakni sidang penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan penentuan awal ramadhan atau akhir ramadhan yang digelar oleh Kementerian Agama yang hadir berkumpul dalam sidang itu nyaris tokoh-tokoh ulama NU semua. Tokoh ulama NU biasanya mengelola sebuah pondok pesantren yakni sebuah sistem pendidikan tradisional, yang biasanya mengajarkan “kitab kuning” dan penyampaiannya dengan pola halaqah, meniru pola pengajaran agama di Makkah dan Madinah. Fakta lain adalah, masyarakat Banjar, terutama yang tinggal di daerah Hulu Sungai dan sekitar kabupaten Banjar, pada umumnya menerima pengetahuan agama dari kalangan ulama NU. Para ulama NU, yang biasanya disebut Tuan Guru, bagi masyarakat Banjar adalah perantara Nabi dalam memahami ilmu agama Islam. Karena itu wajar apabila orang Banjar akrab dengan “cara NU” dalam menafsirkan tata cara beragama, termasuk dalam praktik berpuasa di bulan ramadhan. Kendati demikian, kultur beragama yang dipraktikkan sebagian masyarakat tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama yang dipelajari dari para Tuan Guru. Dalam hal-hal tertentu, praktik beragama itu juga dipengaruhi oleh adat istiadat dan norma tertentu 18
Puasa bagi Orang Banjar
yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Hal itulah yang akan kita diskusikan berikut ini. 1. Shalat tarawih di mana? Puasa ramadhan nyaris identik dengan adanya ibadah sunnah shalat tarawih. Kendati merupakan ibadah sunnah, tidak sedikit orang Banjar yang memperlakukan shalat tarawih bagaikan lebih penting dari shalat wajib. Hal itu terlihat dari kesibukan mereka mempersiapkan diri untuk melaksanakan tarawih berjamaah. Tua muda, dan bahkan anak-anak, sudah mempersiapkan diri pergi ke surau dan masjid setelah selesai berbuka puasa. Walaupun shalat tarawih bisa dikerjakan sendiri-sendiri, rasanya kurang afdhal apabila tidak dilaksanakan secara berjamaah. Seorang teman saya mengaku jujur, dia memilih shalat berjamaah ke surau bersama anak dan isterinya lebih karena dia merasa tidak mampu menjadi imam shalat yang mumpuni. “Kalau cuma sekadar membaca ‘ayat empat’,6
okelah, tapi kalau sampai harus menghafal surah panjang, ya nanti dululah,” kilahnya. Tradisi mengutamakan shalat tarawih berjamaah itu bukanlah satu-satunya hal yang unik yang ditampilkan dalam tradisi orang Banjar. Di masa kini, terutama untuk kalangan muda di daerah perkotaan, seperti di Kota Banjarmasin misalnya, shalat tarawih itu ada pilihan tempat 6
“Ayat empat” dimaksud adalah surah Al-Faatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas.
19
Orang Banjar Berpuasa
favorit. Masjid-masjid Muhammadiyah biasanya dipenuhi oleh jamaah usia muda, ketimbang masjid yang mempraktikkan shalat tarawih ala NU. Memangnya ada perbedaan? Tentu saja. Kalau di “masjid NU”, praktik shalat tarawih berjamaah itu pasti 20 rakaat, ditambah 3 rakaat shalat witir. Beberapa imam shalat tarawih di surau dan masjid NU biasanya membaca surah suka “ngebut”, ibarat mobil bermesin turbo, langsung tancap gas sejak rakaat pertama hingga rakaat keduapuluh. Tentu saja makmumnya tidak bisa berleha-leha. Mungkin maksudnya supaya shalat tarawih cepat selesai. Hal itu berbeda dengan pelaksanaan shalat tarawih di masjid-masjid Muhammadiyah. Mungkin karena cuma 8 rakaat, imam shalat biasanya membaca surah hanya dengan kecepatan sedang. Bahkan ada semacam kebiasaan yang tidak ada di masjid-masjid NU, setelah shalat tarawih menjelang shalat witir selalu ada “kultum” alias tausiah selama tujuh menit. “Kultum” itu menjadi semacam siraman rohani, baik dari imam shalat maupun ustadz yang sengaja diundang untuk itu. Dengan adanya “kultum”, para jamaah dapat meregangkan ototnya yang penat, dan terkadang bisa tergelak apabila penceramah menyelipkan canda dalam tausiahnya. Dengan kata lain, shalat tarawih berjamaah di masjid Muhammadiyah cenderung lebih santai, dan hal itu nampaknya lebih disukai oleh jamaah berusia muda.
20
Puasa bagi Orang Banjar
2. Tradisi makan enak Berpuasa pada bulan ramadhan bagi sebagian orang Banjar bisa berarti harus menyiapkan “makanan enak”. Menu makanan yang boleh jadi tidak tersajikan di bulan-bulan lainnya, sudah menjadi kebiasaan harus diusahakan tersedia. Hal itu tidak melulu menyangkut makanan berat, tetapi juga minuman segar dan kue-kue yang harus tersedia pada waktu buka puasa. Kalaupun si fulan misalnya tidak mampu beli sendiri, masih ada cara untuk makan enak, yakni berbuka puasa bersama jamaah di surau dan masjid-masjid yang pada bulan ramadhan minimal menyediakan takjil gratis yang cukup enak. Adanya tradisi untuk memanjakan lidah itu, sedikit banyak menyebabkan munculnya tradisi lain berupa hadirnya “pasar wadai”. Entah sejak kapan munculnya, pasar wadai merebak di manamana di hampir setiap daerah kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Yang dimaksud dengan pasar wadai itu tidak cuma menyediakan kue-kue khas Banjar. Pada waktu saya kecil, di pasar wadai itu juga dijual orang lapat, lakatan basarunding, pecal, otak-otak, ampal jagung, dan lain-lain yang bukan jenis kue. Uniknya, segala macam makanan itu dijual sejak pagi hari sekitar pukul 10.00, dan kalau ada orang yang membeli di pagi hari patut dicurigai untuk menu makan siangnya karena yang bersangkutan sedang tidak puasa. Akan tetapi hal itu tidak jadi masalah! Sedangkan jenis lauk-pauk yang biasanya dijual setelah pukul 15.00 adalah iwak haruan dan papuyu babanam, 21
Orang Banjar Berpuasa
ayam panggang, sambal goreng hati, tarung babanam basantan, dan lain-lain makanan yang diperuntukkan untuk makan malam atau untuk menu sahur. Dalam perkembangan masa kini, “pasar wadai” oleh banyak pemerintah daerah dijadikan event wisata. Pemerintah daerah biasanya mengakomodir kepentingan masyarakat yang butuh pasar wadai itu dengan menetapkan suatu lokasi tertentu dengan cara menyediakan outletoutlet khusus untuk menampung orang berjualan tentu saja tidak gratis. Bahkan pejabat Kepala Daerah dengan bangga meresmikan “Ramadhan Cake Fair” seolah-olah tidak ada istilah bahasa Arabnya untuk terjemahan pasar wadai ramadhan. Peresmian itu biasanya dilakukan dengan ritual pemotongan pita, tapi tentu tidak dengan cara mencicipi kue atau makanan yang dijual di situ. Akan tetapi dalam perkembangan mutahir, ada kecenderungan bahwa pasar wadai rupanya sudah bertransformasi menjadi pasar semi-tradisional belaka, karena di situ juga dijual kopiah dan baju takwa, bahkan kadangkala ada stand dealer sepeda motor memasarkan produk. Apakah semua pedagang kue di pasar wadai ramadhan itu diuntungkan dengan adanya lokasi pasar khusus yang disediakan pemerintah daerah. Belum tentu. Karena namanya juga orang berjualan, barangkali ada pelanggan setianya. Bisa terjadi walaupun sudah berjam-jam menunggu masih belum ada pembeli yang tertarik membeli barang dagangannya. Padahal penjual 22
Puasa bagi Orang Banjar
di sebelahnya sudah nampak kelelahan melayani pelanggan yang merubung. Bahkan, ketika azan sudah mulai berkumandang pertanda buka puasa sudah tiba, ada sejumlah penjual makanan yang menahan kecewanya karena barang dagangannya masih menumpuk banyak. Dan yang ironis adalah, mereka tetap masih mencoba menunggu pembeli hingga azan Isya’ berkumandang sedangkan penjual makanan tersebut belum shalat maghrib. 3. Momentum mendapatkan hidayah Ramadhan adalah bulan keberkahan. Semua orang Banjar paham belaka maksud kalimat itu. Namun untuk mencapai keberkahan itu berbagai cara dan strategi dilakukan masing-masing orang, sesuai dengan kemampuan mengaktualisasikannya dalam praktik kesehariannya. Mewarisi tradisi para orangtuanya, orang Banjar pada umumnya lalu berubah menjadi lebih shaleh, lebih dermawan, lebih peka dengan kesusahan orang-orang yang terkena musibah dan tidak berpunya. Paling tidak, apabila di bulan lain dia misalnya jarang menyentuh al Qur’an, maka di bulan ramadhan itu kitab suci dibuka barang satu dua lembar setiap hari. Mereka juga lebih mudah untuk bersedekah kepada fakir miskin dan hal itu biasanya dimanfatkan oleh para pengemis profesional untuk mengeruk pendapatan. Mengapa demikian drastis perubahan perilaku mereka? Sebab musababnya, karena umumnya mereka percaya sepenuhnya bahwa segala amal perbuatan baik itu akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Siapa tahu mereka memperoleh hidayah dari 23
Orang Banjar Berpuasa
Allah SWT walaupun sering diplesetkan, bahwa lelaki yang paling beruntung sebenarnya adalah kalau dia mendapatkan “hidayah baikung”. Apakah perubahan perilaku itu masih Wallahualam. Karena laku shaleh yang nampak selama bulan ramadhan itu tidak ada jaminan masih akan berpengaruh setelah ramadhan usai, misalnya seseorang masih tawadhu dan kada panarambusan, masih menjaga ucapan dan tidak omong jorok, atau masih suka menolong dan tidak cuek dengan nasib buruk orang lainnya. Tapi paling tidak, selama bulan ramadhan itulah terbukti bahwa orang Banjar pada umumnya lebih mampu mengamalkan perintah agamanya, dan membuktikan bahwa agama Islam adalah agama yang membawa kedamaian. 4. Momentum silaturahmi Bulan ramadhan adalah bulan penuh kemuliaan, karena antar orang Muslim cenderung
pula orang Banjar bisa merawat relasi sosialnya dengan cara saling bersilaturahmi. Hal itu bisa terwujud dalam acara buka puasa bersama atau shalat berjamaah bersama tetangga. Biasanya, ketika shalat berjamaah itu masing-masing jamaah akan dapat saling bertegur sapa, walaupun dalam keseharian mereka misalnya jarang bersua karena kesibukan masing-masing, atau misalnya hanya lantaran “koler” shalat berjamaah ke surau dekat dengan rumahnya. 24
Puasa bagi Orang Banjar
Namun demikian, diam-diam terjadi perubahan tradisi dalam acara berbuka puasa bersama. Kalau di masa lalu, acara buka bersama itu biasanya terjadi karena salah seorang warga yang cukup berada berniat untuk menjamu makan para tetangga atau sohibnya. Di masa kini, acara buka bersama bisa diadakan di tempat umum seperti restoran dan rumah makan terkenal, dan menjadi acara “temu kangen” beberapa sahabat yang lama tak bersua. Masalahnya, acara “buka puasa bersama” itu bisa berkepanjangan sehingga melampaui saat shalat maghrib. Hal itu terutama terjadi pada para remaja yang membuat acara “bukber” sehingga acara yang sebenarnya agak berbau bid’ah itu malah menyebabkan kewajiban beragama, yakni melaksanakan shalat maghrib tepat waktu, agak terabaikan. 5. “Mamadar guring” Tentu saja tidak menjadi kebiasaan semua orang. Tetapi ada kecenderungan pada sejumlah orang Banjar, sehabis sahur biasanya tergoda untuk tidur kembali barang sejenak, yang dalam istilah Banjar disebut “mamadar guring”. Hal itu barangkali wajar, dan masuk akal, karena waktu tidur malam di bulan ramadhan benar-benar terbatas. Pukul 3 atau 4 subuh harus bangun untuk makan sahur kecuali tidak mau bersahur, dan hal itu memang bukan paksaan atau sifatnya wajib.7 Tetapi bagi orang Banjar, tidak bersahur 7
Namun seperti sabda Nabi SAW, "Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur". (HR Muslim (1096)). Karena itu setiap Muslim yang akan berpuasa sebaiknya bersahur, walaupun hanya dengan sesuap nasi.
25
Orang Banjar Berpuasa
padahal besok hari harus puasa, seakan-akan sebuah musibah dan hal ini kerapkali terjadi kalau ibu-ibu sebagai penjaga urusan dapur bangun kesiangan. Anggota keluarga, khususnya anak-anak, biasanya protes. Sedangkan suaminya walaupun tidak menyatakan protes, acapkali sepanjang hari agak masam mukanya, apalagi yang biasa merokok sehabis makan sahur. Masalahnya adalah, “mamadar guring” itu bukan tanpa konsekuensi. Ketika bangun kembali, tubuh akan terasa lemas, dan boleh jadi kepala agak pusing.8 Tersebab karena itu, bagi PNS yang harus masuk kerja di pagi hari, tentu saja hal itu jadi problem tersendiri. Kinerja PNS tersebut mungkin akan menurun alias tidak produktif, dan sebabnya bukan lantaran dia puasa. Demikian pula dengan anak-anak sekolahan, jikalau mereka harus masuk sekolah di bulan ramadhan. Banyak anak sekolah yang senang sekali apabila bulan ramadhan itu sekolah diliburkan. Dengan sekolah diliburkan, maka “mamadar tidur” itu bisa diteruskan sampai “padarannya hangit”, karena boleh jadi mereka baru akan bangun tidur setelah siang hari. Mereka sungguh tidak risau akan hal itu, dengan alasan: “Ustadz kan bilang, tidur bagi orang yang sedang berpuasa itu juga ibadah”.9 8
9
Dari perspektif kedokteran, tidur pasca makan sahur itu ditengarai dapat menyebabkan berat badan tak terkendali, karena tubuh menyimpan lemak lebih banyak; tenggorokan katup antara perut dan esofagus tidak menutup sempurna); dan bahkan berisiko terkena stroke. Ustadz tersebut mungkin merujuk pada sebuah hadits. Padahal oleh para pakar hadits, hadits tentang tidurnya
26
Puasa bagi Orang Banjar
Dengan kata lain, preferensi orang Banjar, terutama dari kalangan awam, nampak sekali kedangkalannya dalam memahami hakikat puasa bulan ramadhan dalam arti baru dapat mengartikulasikan aspek ritualnya belaka, dan belum sampai memahami bagaimana makna substantif mengapa Allah SWT mewajibkan hal itu kepada orang-orang yang beriman.
orang puasa itu termasuk hadits dhaif (lemah), karena dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman bin Amr An-Nakha’i yang diketahui sebagai orang yang dhaif (Lihat Silsilah Adh-Dhaifah, no. 4696). Sedangkan Al Bani mengatakan bahwa hadits ini palsu. Dengan kata lain, tidak pantas untuk dijadikan rujukan pembenaran.
27
Orang Banjar Berpuasa
28
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (Hadits Riwayat Thabrani)
29
Orang Banjar Berpuasa
30
3
Perilaku Salah Kaprah
K
egiatan puasa di bulan ramadhan, kendati merupakan perintah agama, karena dilakukan secara berulang dan cenderung rutin dilaksanakan, akhirnya diam-diam menjadi budaya. Budaya berpuasa di bulan ramadhan ada kaitannya dengan sejumlah ritual, baik ritual yang berlandaskan tuntunan agama maupun yang muncul dari kreativitas orang perorang yang kemudian diterima sebagai kebiasaan orang banyak. Di antara kebiasaan yang muncul dan membudaya dalam perilaku orang Banjar adalah tradisi berbuka puasa dan makan sahur yang punya implikasi pada masalah ketahanan ekonomi keluarga. Ada pula kebiasaan yang salah kaprah dalam menyikapi rasa lapar kala puasa dan dahaga. Namun yang paling jadi masalah adalah kebiasaan menggunakan waktu kala puasa pada kebanyakan orang Banjar, terutama terperagakan oleh kalangan awam, seolah-olah mereka insyaf dan terkendali hanya pada siang hari. 1. Mengutamakan lidah dan urusan perut Suka atau tidak, puasa selalu berkaitan dengan rasa lapar. Tidak pandang usia, kecuali 31
Orang Banjar Berpuasa
bagi mereka yang terbiasa puasa senin-kamis, tantangan puasa bulan ramadhan adalah rasa lapar yang berakibat langsung pada rasa lemas, pusing kepala dan menurunnya produktivitas kerja. Tersebab dari perut lapar itu, terutama pada hari-hari pertama, puasa ramadhan seakan-akan menjadi beban nestapa. Hanya karena rasa iman, dan takut berdosa, maka hari-hari nestapa itu dilakoni, baik dengan rasa ikhlas ataupun tidak. Semua orang barangkali mengaku melaksanakan puasa bulan ramadhan itu dengan ikhlasan’ dalam menjalankan kewajiban agama itu adalah ditunjukkan dari perilaku makan minum pada waktu berbuka puasa dan saat sahur di tengah malam. Tidak semua orang, tentu saja, tetapi ada kecenderungan di kalangan masyarakat awam ingin berbuka puasa bukan sekadar menghilangkan lapar dan menghapus dahaga. Misalnya berbuka puasa dengan seteguk air putih. Atau ditambah dengan sebiji buah kurma, seperti laku Nabi Muhammad SAW. Ada tradisi dalam masyarakat Banjar, makanan untuk berbuka puasa harus dengan makanan berat maksudnya nasi, lengkap dengan lauknya. Memang untuk buka puasa biasanya didahului dengan air minum, entah air mineral atau air teh, kadangkala ditambah dengan es cendol atau es kelapa muda. Tapi selain minuman yang menggugah selera itu, seringkali harus tersedia berbagai macam kue, misalnya kue 32
Perilaku Salah Kaprah
lapis, amparan tatak, kararaban, bingka barandam, bingka kentang, dan lain-lain yang manis dan lezat. Tradisi mengudap kue manis ini mungkin merujuk pada pendapat penceramah bahwa untuk berbuka puasa itu makanlah yang manis-manis yang dipercaya oleh kalangan awam sebagai hadits Nabi.10 Padahal kue yang manis-manis sebagai menu berbuka puasa, apalagi yang menggunakan pemanis, belum tentu baik bagi kesehatan tubuh. Nabi menganjurkan makanlah kurma, tapi tidak pernah menganjurkan makanlah kue yang manis-manis. Saya tergelitik untuk menduga, jangan-jangan “hadits palsu” itu bikinan tukang kue, dan dipercaya oleh kalangan awam sebagai pembenaran dari seleranya atas kue Banjar yang kelezatannya dipengaruhi oleh resep harus pakai gula sukrosa dan santan kelapa, yang setahu saya tidak dianjurkan untuk penderita diabetes dan kolesterol. 10
Sebagaimana diriwayatkan Abu Daud, biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda) maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air” (HR. Abu Daud 2356, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud). Namun memang, sebagian ulama dari hadits ini meng-qiyas-kan kurma dengan makanan yang manis-manis. Taqiyuddin Al Hushni, penulis kitab Kifayatul Akhyar menukil pendapat Ar Rauyani yang menyatakan demikian: “dianjurkan berbuka dengan kurma atau jika tidak ada maka dengan air, karena yang manis-manis itu menguatkan tubuh dan air itu membersihkan tubuh. Ar Rauyani berkata: ‘kalau tidak ada kurma maka dengan yang manis-manis. Karena puasa itu melemahkan pandangan dan kurma itu menguatkannya, dan yang manis-manis itu semakna dengan kurma'” (Kifayatul Akhyar, 200).
33
Orang Banjar Berpuasa
Bagi sebagian orang, menu sederhana berbuka puasa itu tidaklah cukup. Apalagi bagi mereka yang tidak sabaran untuk segera menyantap makanan berat, yakni nasi beserta lauk pauknya. Dan menu berbuka puasa itu harus spesial, tidak serupa dengan menu harian seperti di luar bulan puasa. Apa sebab? Karena mereka berasumsi, telah menjalani puasa satu hari penuh, tentulah harus dibalas dengan makanan yang bercitarasa spesial sebagai penggantinya. Tetapi karena terlalu bernafsu, tidak jarang terjadi selepas makan makanan berat itu perut terasa begah istilahnya dalam bahasa Banjar, “kamalakaran”. Kamalakaran biasa dialami oleh anak-anak yang baru mempraktikkan puasa, tetapi bisa terjadi juga pada orang dewasa. Orang yang kamalakaran biasanya nampak duduk menyandar ke dinding sambil mengelus perutnya yang membuncit. Kalau diminta melaksanakan shalat maghrib segera, biasanya orang ini berkilah, “Hadangi nah. Manurunakan nasi dulu.” Tapi kalau dia laki-laki, “manurunakan nasi” itu biasanya disertai dengan merokok sambil mata menerawang. Kualitas makanan yang lebih mengundang selera berlaku untuk menu makanan kala sahur. Berhubung mata masih riyep-riyep, orang normal biasanya tidak begitu berselera untuk dipaksa makan. Apalagi perut masih belum kosong seratus persen dari hasil ‘pengisian’ saat berbuka puasa dan mengkonsumsi makanan lainnya setelah selesai shalat Isya. Untuk itu perlu menu yang, kalau bisa, dapat mengundang selera dalam istilah kakek saya, “mamacah liur”. Orang Banjar 34
Perilaku Salah Kaprah
tradisional tidak mengidamkan jenis makanan berkelas hotel berbintang untuk mengundang selera makannya. Acapkali, iwak garih batanak pun sudah cukup mengundang selera. Apalagi iwak garih talang babanam pakai cacapan asam. Tapi jangan lupa, itu untuk selera orang Banjar tradisional. Orang Banjar modern lain lagi seleranya. Kalau bisa, menu makan sahur itu harus yang benar-benar mengundang selera makan, misalnya dengan menu itik bakar atau bistik ayam kampung ditambah dengan sambal goreng hati. Setahu saya menu ikan salmon dan steak belum populer, entahlah nanti. Apalagi lidah orang butuh rakungan”nya. Salah-salah menu yang belum begitu familiar bisa membuat kerongkongannya menolak, dalam istilah Banjarnya “mangguli-guli”. Masalahnya adalah, untuk mengakomodir nafsu makan itu niscaya butuh biaya ekstra. Apalagi untuk menu makan sahur, kalau bisa berubah dari hari ke hari. Itulah sebabnya anggaran dapur selama bulan ramadhan biasanya membengkak dan menjadi sebab banyak kaum ibu yang berkeluh kesah karenanya. Nenek saya dulu sering mendumel, “Itulah karena mengutamakan butuh rakungan.” Dia menilai anak cucunya berbeda dengan zaman ketika dia dan kakek belum punya anak, yang biasa berbuka puasa dan makan sahur secara sederhana apa adanya, tapi rasa barokah. Han, kaya apa tu?
35
Orang Banjar Berpuasa
2. Sebenarnya ingin “shaum al-khushush”, tapi…. Puasa bulan ramadhan diwajibkan bagi orang yang beriman. Tetapi seperti diajarkan oleh Imam Al-Ghazali, pengamalan perintah puasa itu bagi setiap orang tergantung pada tingkatannya. Ada yang sekadar mampu berpuasa di level shaum al-'umum, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersetubuh dengan isteri dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Inilah puasa yang paling rendah tingkatannya, dan yang biasa kita lakukan. Ada pula yang mampu mencapai level shaum al-khushush, yaitu menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan dan kaki serta seluruh tubuh dari segala perbuatan dosa. Dan bukan mustahil untuk mencapai level shaum al-khushush-alkhushush, yaitu Puasa Tingkat Tinggi. Puasa tingkatan ini merupakan puasanya para Nabi, siddiqin dan muqarrabin. Selama menjalankan ibadah puasa ia juga berupaya senantiasa ingat kepada Allah SWT, dzikrullah, baik dzikir lisan atau dzikir hati dia lakukan, dan ketika dia sedetik saja lupa pada Allah SWT menganggap puasanya batal. Kalau boleh jujur, kalangan masyarakat awam barangkali baru mampu memahami (dan mengamalkan) puasa level shaum al-'umum. Oleh karena itu kemanfaatan puasa pun hanya dimaknai seputar masalah menahan diri. Termasuk menahan lapar, dan supaya perih di lambung jangan terasa sekali lalu berusaha banyak tidur.11 11
Memang ada hadits yang berbunyi: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan
36
Perilaku Salah Kaprah
Atau mengartikulasikan faedah puasa dalam konteks kesehatan,12 misalnya dengan puasa bisa mengontrol berat badan atau menetralkan racun Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT. Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT. Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesama yang membutuhkan. Keempat, melatih untuk berbuat baik kepada orang lain, “Rasulullah ketika di bulan ramadhan adalah orang yang paling dermawan”. Kelima, melatih agar selalu membaca Al Quran di baca setiap hari. Semua orang Islam barangkali mengetahui arti takwa, tapi tidak semua orang mungkin baik.13 Implementasi konsep takwa boleh jadi
12
dilipatgandakan.” Masalahnya adalah, hadits itu menurut para dhaif (lihat al Bani dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 4696). Mungkin yang bersangkutan merujuk pada hadits yang berbunyi: “Berpuasalah, niscaya kalian sehat.” Dan As-Suyuti menghasankan hadits tersebut.
13
takwa adalah seperti yang dirumuskan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang
37
Orang Banjar Berpuasa
juga bermacam-macam tafsirnya, tergantung pengetahuan masing-masing. Bagi kalangan awam, takwa sering ditafsirkan “takut pada Allah” dan karena itu dalam konteks puasa, dia melaksanakan puasa lantaran takut pada laknat Allah SWT, karena Dia dibayangkan akan marah kepada manusiamanusia yang suka membandel atas perintah-Nya. Benarkah pemahaman seperti itu? Wallahualam. Kalau boleh berpendapat, pemahaman seperti itu seolah-olah membayangkan Allah SWT seperti penguasa otoriter yang tidak suka dibantah. Padahal Allah Maha Rahman dan Rahim. Tidak ada sifat Allah yang mengisyaratkan Dia itu pemarah dan mudah tersinggung seperti halnya penguasa yang emosional. Kalaupun seluruh manusia di muka bumi ini ingkar atas perintah-Nya, tidak menjadikan Allah SWT bukan Tuhan penguasa semesta alam. Jadi, kaya apa tu? Puasa mendidik orang supaya lebih sabar. Substansinya bukan berarti bersabar lantaran sedang puasa, dan kalau sudah tidak puasa lantas jadi kurang sabaran. Hal yang agak salah kaprah itu dapat kita saksikan dalam keseharian masyarakat Banjar yang “indah kalah tadah”. Kalimat-kalimat seperti, “Sayang aku lagi puasa, kalau kada sudah kulapau ikam nih,” menunjukkan kesabaran yang bersyarat.
membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan” [Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hal 531]
38
Perilaku Salah Kaprah
Puasa menyemai rasa empati untuk menolong sesama yang membutuhkan. Pernyataan itu mungkin gampang diucapkan, tetapi cukup sulit untuk diimplementasikan dalam relasi sosial kemasyarakatan. Betapa tidak, empati bukan simpati. Apakah kita bisa berempati pada kalangan miskin dan tidak berpunya, lalu bersedia membagi apa yang kita makan kepada mereka? Orang Banjar, meskipun tentu saja tidak semua, jarang terpacu untuk membagi kue lezat yang dibelinya di pasar wadai ramadhan kepada tetangganya yang paling miskin. Alasannya, “Manyamani urang ha. Amun jua kalu suka?” Kalau kue lezat, siapa yang tidak suka? Kalau memang tidak suka berbagi, kenapa mencari-cari alasan dengan mengandaikan orang tidak suka kue lezat? Sesuai levelnya, puasa bagi kalangan awam tentu berbeda dengan kualitas puasa untuk kalangan khusus ala Imam Al-Ghazali. Tapi kalau boleh jujur, “puasa khusus” itu oleh sebagian orang diniatkan akan dilakukan nanti saja kalau sudah menjelang pensiun. Banyak orang yang rupanya tidak siap untuk menjalankan puasa khusus, bukan lantaran tidak ingin mendapatkan pahala dan keampunan yang lebih jikalau melaksanakan ibadah puasa dengan cara tersebut. Mereka cukup realistis, bahwa menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan dan kaki serta seluruh tubuh dari segala perbuatan dosa bukanlah perkara gampang. Sebagai contoh, ibu-ibu kala bulan ramadhan secara relatif sudah mampu mengendalikan 39
Orang Banjar Berpuasa
lidahnya dan telinganya untuk bergunjing. Kalaupun secara tidak sadar tetap menggunjing sesuatu, tapi ketika tersadar langsung menutup mulutnya dengan tangan seraya berujar “Eh, kita kan sedang puasa, ya?14 ”Namun celakanya kalau teman yang diajak bergunjing justru menimpali, “Akh, saya kebetulan tidak puasa, bu. Sedang aral.” Dan lalu pergunjingan pun dilanjutkan. Kaya apa pang lagi, amun sudah hobi. Bagi kalangan masyarakat awam memang untuk menerapkan puasa dengan level shaum al-khushush dianggap terlalu berat. Mungkin mengendalikan lidah dan telinga relatif mudah, kalau sedang ingat bahwa hal itu bisa mengurangi pahala puasa. Tetapi untuk mengendalikan indra lainnya sungguh tidak gampang, lantaran dalam berinteraksi sosial indra tersebut paling mudah termanipulasi oleh situasi dan kondisi. Sebagai contoh misalnyanya dalam hal menjaga penglihatan. Siapa yang sanggup menjaga matanya agar tetap “berpuasa” jikalau dia berjalan-jalan di mall dan keramaian kota yang menampilkan segala macam makhluk bermacam ragam tingkah dan polahnya. Bukankah tak dapat dilarang para gadis bahenol berpakaian minim berjalan-jalan di mall dengan tujuan “wasting time” menunggu berbuka puasa, dan siapa pula yang bisa melarangnya. Padahal gaya berpakaian gadis belia itu boleh jadi mengganggu “mata” orang yang berpuasa. 14
Barangkali dia teringat hadits Nabi yang berbunyi, “Puasa itu menjadi perisai seseorang selama ia tidak merusaknya dengan dusta dan membicarakan kejelekan orang lain” (HR Thabrani).
40
Perilaku Salah Kaprah
Kecuali yang berpakaian minim itu seorang neneknenek. Tapi mana mungkin seorang nenek-nenek berpakaian minim dan plesiran ke kawasan mall? Mengarahkan mata agar hanya melihat yang bermanfaat dan bernilai ibadah tidak mungkin kalau kita berada di luar rumah, kecuali di luar rumah itu misalnya ke pahumaan atau ke danau tempat memancing ikan. Tapi jangan lupa, di dalam rumah pun mata bisa dihadapkan pada “salah lihat” apabila kita gunakan untuk menonton pesawat televisi. Soalnya, acara televisi,
18 tahun ke atas. Apakah kita harus menutup tiba menyaksikan adegan orang berciuman dan menampilkan bokong perempuan? Akh, kenapa repot-repot amat? Dimatikan saja pesawat televisinya, kan beres. Tapi bagaimana kalau merasa tanggung dan sayang kalau dilewatkan? Itulah sebabnya, berpuasa dengan level shaum al-khushush itu susahnya setengah mati. Sebab, “setengah hidupnya” lagi adalah wilayah abumanusia biasa yang butuh penyaluran hasrat sebagai manusia normal yang belum ke taraf Han, kaya apa lagi pang? Banyak orang Banjar, dengan jujur, mengaku kelemahannya dalam hal itu. Termasuk saya juga, tidaklah terkecuali. Juga tetangga saya. Atau teman di kampus saya. Mereka yang bekerja sebagai 41
Orang Banjar Berpuasa
pegawai negeri di kantor-kantor pemerintahan, apalagi. Dan yang paling merasa belum memenuhi syarat mengamalkan shaum al-khushush itu adalah mereka yang hidup di pasar-pasar tradisional sebagai pedagang, lantaran manusia yang datang sebagai pembeli adalah berbagai macam makhluk tak jelas, namun tak dapat ditolak, dan harus diterima dengan tangan serta mata terbuka. Kalau boleh jujur, orang Banjar yang mampu mengamalkan shaum al-khushush barangkali orang-orang yang seharian bertugas di masjidmasjid. Tapi bukankah itu hanya relevan untuk “kaum” (baca: marbot) yang bertugas di masjid? Dan setahu saya, tidak ada orang Banjar yang menggantung cita-cita hidupnya ingin jadi kaum masjid.
42
“Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.” (Hadits Qudsi).
43
Orang Banjar Berpuasa
44
4
Bid’ah dan “Bid’ah”
P
uasa di bulan ramadhan adalah masalah privat, dan urusan privat itu hanya berhubungan dengan Allah SWT saja. Pernyataan itu bukan hanya merujuk pada hakikat puasa, sebagaimana tercantum dalam hadits qudsi; tetapi juga berdasarkan logika beragama. Kalau aplikasi rukun Islam yang lain boleh jadi akan tampak kasat mata, dan bisa dilakukan buat pamer kepada orang lain, misalnya shalat15 dan melaksanakan ibadah haji.16 Khusus untuk puasa di bulan ramadhan, bagaimana cara memamerkan 15
16
Konon, salah satu bukti bahwa seseorang penggemar shalat yang fanatik itu adalah apabila jidatnya menghitam. Maksudnya, akibat terlalu sering bersujud mungkin semacam “terasah” dengan sajadah. Tetapi saya tidak pernah memperoleh jawaban yang meyakinkan, apakah Nabi SAW jidat beliau juga menghitam. Padahal sudah menjadi pengetahuan yang mutawatir bahwa Nabi Muhammad lah orang yang paling banyak melakukan shalat malam dan bersujud kepada Allah SWT dibanding orang lain. Cara sederhana untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah berhaji adalah mengenakan kopiah haji (kopiah putih). Walaupun hal itu hanya berlaku di negeri-negeri Asia Tenggara dari kelompok ras Melayu, seperti Indonesia. Tetapi jangan salah paham, di beberapa masjid sekarang ini seringkali dapat dijumpai orang belum melaksanakan ibadah haji pun bisa mengenakan kopiah haji, dan tidak ada yang berhak melarangnya.
45
Orang Banjar Berpuasa
diri telah melaksanakan laku ibadah tersebut. Badan nampak lemas bukanlah penciri orang sedang berpuasa, karena orang yang mengidap kurang gizi pun bisa berpenampilan seperti itu. Mulut berbau, sesungguhnya bukanlah ciri khas orang yang sedang berpuasa, karena mulut berbau itu bisa juga disebabkan oleh penyakit sariawan atau radang gusi, dan bahkan stres. Dengan kata lain, tidak selalu orang puasa itu mulutnya berbau kalau disikat bersih pakai pasta gigi yang benar dan rajin dikumur dengan obat kumur tertentu. Dan banyak cara sekarang ini untuk menghilangkan bau mulut kala berpuasa, sebagai inovasi, walaupun oleh sebagian orang hal itu mungkin dianggap bid’ah. Dalam perkembangan mutakhir, berpuasa nampaknya tidak hanya menjadi urusan privat seseorang dengan Tuhan, karena ia pun diposisikan sebagai urusan publik (baca: pemerintah daerah). Sejak kapan “bid’ah” ini muncul, saya kurang jelas. Yang jelas, ada kecenderungan salah kaprah dalam mengartikulasikan laku beribadah puasa di bulan ramadhan dalam kaitan peran pemerintah daerah itu. Salah kaprah yang paling menonjol adalah pemberlakuan suatu Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksudkan untuk mengkondisikan pelaksanaan ibadah puasa menjadi lebih khusyu. Namun hal yang kurang disadari oleh pembuat Perda tersebut, ia juga berimplikasi pada hak orang untuk berusaha alias berdagang dalam rangka mencari rezeki.
46
Bid’ah dan “Bid’ah”
1. “Bid’ah hasanah” yang mencemaskan Sesuatu hal yang baru, yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW adalah bid’ah. Bid’ah itu terutama menyangkut urusan ibadah atau dalam bahasa agama, sesuatu yang baru ditinjau dari syar’i,17 yakni suatu cara beragama yang mirip dengan syari’at (aturan agama) yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah kepada Allah. Jadi menyangkut perkara spiritual alias bukan perkara duniawi. Namun demikian, untuk memahami perkara bid’ah itu mau tidak mau akan menyingggung bagaimana laku beribadah seseorang atau sekelompok orang dalam komunitas tertentu. Dengan kata lain, cara beragama barangkali adalah kata kuncinya. Cara beragama itu secara umum bisa berkaitan dengan kultur, kebiasaan, atau karena kondisi aktual yang ada. Kondisi aktual untuk beragama di masa kini boleh jadi berbeda sekali dengan kondisi zaman Rasulullah. Sebagai contoh, apakah penggunaan mikrofon di masjid-masjid saat shalat Jum’at itu “bid’ah”? Bukankah di zaman Nabi belum ada mikrofon? Para ulama sepakat mengatakan contoh seperti itu tidak termasuk hal yang berkaitan dengan bid’ah. 17
Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam sabda lainnya Rasulullah berpesan, “Ikutilah (sunnahku), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnahku) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haitsami mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa hadits ini shahih).
47
Orang Banjar Berpuasa
Karena penggunaan mikrofon tidak menambahkurang tata cara shalat Jum’at. Mikrofon itu justru dibutuhkan untuk memandu jamaah yang jumlahnya ratusan. Bayangkan kalau di masjidil haram dilarang penggunaan mikrofon, karena misalnya dikategorikan bid’ah, imam besar masjid yang punya suara lantang selantang apapun niscaya suaranya hanya mungkin didengar oleh jamaah yang terbatas. Padahal jumlah jamaah di masjidil haram itu mencapai jutaan orang di musim haji. Dengan kata lain, tidak berarti “sesuatu hal yang baru” untuk mendukung sesuatu ritual ibadah lalu dikategorikan bid’ah. Hal-hal yang baru, tetapi bermakna untuk kebaikan beribadah kepada Allah, oleh sebagian ulama dikategorikan sebagai “bid’ah hasanah”18 berbeda kriterianya dengan “bid’ah dhalalah” (bid’ah sesat) yang dimaksudkan Nabi sebagai patut dihindari. Wallahualam. Barangkali berkaitan dengan “bid’ah hasanah” ini kemudian muncul berbagai tafsir baru tentang implementasi hadits, yang kadangkala mengundang kontroversi. Kontroversi itu muncul karena atas nama bid’ah hasanah 18
Diantara dalil yang dipegang oleh pendukung bid'ah hasanah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdillah al-Bajali, bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim no 1016)
48
Bid’ah dan “Bid’ah”
sesuatu kebijakan publik pun bisa dibungkus sebagai “untuk kebaikan ummat Islam”. Contohnya adalah Perda Ramadhan. Sepuluh tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2006 saya berpendapat bahwa, Perda 19 Ramadhan, yang sebenarnya aturan tentang larangan kegiatan pada bulan ramadhan yang ditandatangani oleh Walikota Banjarmasin, tidak pro pada rakyat miskin dan tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam.20 Akan tetapi rupanya banyak pihak yang merasa terganggu dengan opini saya tersebut, dan muncul kontra opini yang menunjukkan saya seakan-akan tidak begitu paham agama Islam. Padahal kala itu saya berpikir sesuatu hal yang mengatasnamakan aturan hukum Islam perlu dikritisi implementasinya apabila ingin dijadikan acuan kebijakan publik. Dan untuk itu perlu ada ruang diskusi. Sayangnya kultur masyarakat Banjar, kala itu, rupanya alergi dengan diskusi publik dalam bentuk polemik, meskipun polemik itu sebenarnya dibutuhkan untuk mencari kebenaran pendapat yang sesungguhnya. 19
20
Di Indonesia, Perda Ramadhan ini dikenal juga sebagai perda syariah, dan diketahui bermasalah dalam implementasinya di berbagai daerah. Perda syariah bukan hanya Perda Ramadhan, tetapi juga Perda Jum’at Khusyuk, dan lain-lain. Tujuan dibuatnya Perda, katanya, adalah untuk menjaga ketertiban moral masyarakat, agar sesuai dengan syariat Islam. Lihat kolom opini saya di harian Banjarmasin Post (25 September 2006). Atau lihat buku kecil saya berjudul, Mencari Kebenaran Menuai Kecaman: di Balik Kontroversi Perda Ramadhan, 2006. (Diterbitkan atas kerjasama PK2PD Unlam dan LK3 Banjarmasin).
49
Orang Banjar Berpuasa
Kembali kepada perihal Perda Ramadhan, pertimbangannya adalah bahwa ibadah puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim dan pelaksanaannya harus dihormati oleh setiap muslim maupun bukan muslim. Dan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan mendukung pelaksanaan ibadah puasa (di Kota Banjarmasin) yang penduduknya mayoritas muslim, dipandang perlu untuk mengatur kegiatan tempat hiburan, restoran, warung, rombong dan yang sejenisnya serta makan, minum dan/atau merokok di tempat umum pada bulan ramadhan.21 Dasar pertimbangan Perda Ramadhan itu, sepintas lalu, memang tidak ada yang salah. Tetapi apabila dicermati pasal tentang larangan, maka akan terlihat jelas “kesalahkaprahan” yang banal. Contoh, dalam Perda Ramadhan itu dibuat aturan bahwa dilarang membuka kegiatan tempat hiburan, restoran, warung, rombong, dan sejenisnya pada bulan ramadhan; dan larangan tersebut berlaku selama bulan ramadhan. Selain itu juga dilarang makan, minum dan atau merokok di restoran, warung, rombong dan sejenisnya dan tempat-tempat umum dari masa imsak sampai dengan berbuka puasa. Celakanya, apabila aturan ketentuan yang dimuat dalam Perda itu dilanggar, maka si pelanggarnya bisa diancam pidana kurungan! 21
Lihat bagian menimbang dalam Perda Kota Banjarmasin nomor 13 tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadhan. Perda ini diperbaiki dengan Perda nomor 4 tahun 2005, tetapi perbaikannya hanya menyangkut ketentuan ancaman denda yang lebih besar.
50
Bid’ah dan “Bid’ah”
Salah kaprah yang saya kritik, ketika itu, adalah menyangkut hak orang untuk berusaha mencari rezeki dan ketentuan pidana bagi si pelanggar aturan larangan. Bagi kalangan masyarakat bawah, membuka warung makan skala mini, yang biasanya disebut “warung sakadup”22 adalah kenicayaan. Biasanya usaha membuka warung itulah satu-satunya gantungan hidup. Lalu kalau dilarang membuka usaha warung selama sebulan penuh, tanpa kompensasi, bagaimana mereka bisa hidup?23 Larangan dalam Perda itu juga tidak punya toleransi bagi mereka yang secara syar’i diperbolehkan tidak puasa, lalu kemana mereka dapat mencari makan dan minum untuk memenuhi kebutuhannya? Perda tersebut tidak mampu memikirkan dampak negatif seperti itu. Dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pengaman Perda yang gagah berani, biasanya merazia begitu saja warung-warung sakadup tersebut tanpa kompromi demi penegakan perda syariah. Tak peduli dengan tangis pemilik warung yang barang dagangannya diangkut begitu saja, bagaikan barang haram yang halal untuk dimusnahkan. 22
23
“Warung sakadup” adalah istilah dalam bahasa Banjar untuk menyebut warung di pinggir jalan yang diberi tenda penutup, tetapi karena tenda penutupnya tidak cukup lebar, biasanya kaki para pengunjung warung itu masih kelihatan dari jalan. Dalam opini saya, adalah suatu hal yang bijak, apabila pedagang warung-warung sakadup diberi kompensasi dari hilangnya mata pencaharian mereka selama satu bulan penuh. Karena kalau mereka itu sampai menderita akibat larangan berjualan, menurut saya, Kepala Daerah yang menandatangani Perda tersebut (harus) turut menanggung dosa.
51
Orang Banjar Berpuasa
Substansi isi dan aturan pelaksanaan Perda Ramadhan itu penuh dengan kontroversi. Saya tidak habis pikir, mengapa urusan beragama sampai harus diatur dalam sebuah Perda yang disahkan oleh seorang Kepala Daerah? Apalagi perihalnya menyangkut ibadah puasa. Ada tiga perkara yang selalu mengganggu pikiran saya dalam kaitan itu. Pertama, apakah patut urusan ibadah puasa yang dikatakan Allah SWT (dalam hadits Qudsi) sebagai urusan-Nya, diandaikan seakan-akan diambil-alih kewenangannya oleh seorang Kepala Daerah? Tuhan, melalui berbagai sunnah dan hadits Nabi, kiranya lebih dari cukup dalam merumuskan berbagai aturan tentang bagaimana seharusnya tata tertib berpuasa yang baik, baik menyangkut hubungan vertikal dengan Tuhan maupun dalam kaitan horisontalnya dengan pribadi manusia lainnya. Kedua, setahu saya tidak melaksanakan ibadah puasa, dalam arti makan minum dan merokok di siang hari (walaupun di tempat-tempat umum) bukanlah perbuatan maksiat yang pantas diganjar kurungan penjara. Allah SWT saja tidak sebegitu kejamnya, bahwa barang siapa yang tidak berpuasa di bulan ramadhan akan diganjar neraka jahanam. Mengapa seorang walikota (dibantu oleh anggota DPRD, tentu saja) membuat aturan yang pina musti, dan seolah-olah melampaui aturan yang telah dibikin Tuhan? Ketiga, harus dimengerti, dan Tuhan tentu saja sudah mengetahui hal itu, tidak semua orang wajib berpuasa di bulan ramadhan. Bahkan ummat Islam sendiri boleh tidak berpuasa 52
Bid’ah dan “Bid’ah”
di bulan ramadhan karena sesuatu hal. Apalagi penduduk yang merupakan warga non-Muslim, yang barangkali bukan termasuk kategori orang yang diminta Tuhan untuk berpuasa.24 Bagaimana dengan hak makan minum mereka di siang hari jikalau semua warung dan restoran harus tutup? Diam-diam saya terpikir, aturan yang dimuat dalam Perda Ramadhan itu selain “mengadaada”, juga bisa berimplikasi pada kemungkinan munculnya generasi Muslim yang lemah dan manja. Betapa tidak, alasan Perda Ramadhan itu katanya adalah untuk “menghormati orang yang berpuasa”. Saya ingin berargumen, menghormati seseorang tidak berarti harus mengorbankan hak orang yang disuruh menghormati, bukan? Jadi, orang non-Muslim misalnya, tidak perlu seolah-olah ikut berpuasa karena dituntut harus menghormati orang Islam yang sedang berpuasa25 semata-mata karena ada aturan larangan yang dimuat dalam sebuah Perda.26 Dalam sejarah 24
25
26
Kewajiban berpuasa di bulan ramadhan itu hanya untuk “orang yang beriman”, artinya yang percaya dengan perintah Allah SWT; seperti tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”; dan surah Yunus ayat 41: “Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”; dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash ayat 55). Bahkan dalam konteks Perda itu dibuat dalam kondisi masyarakat Muslim merupakan kelompok mayoritas, saya ingin mengatakan bahwa pola kebijakan publik yang dibuat oleh “orang-orang Islam” itu merupakan bentuk dari tirani mayoritas.
53
Orang Banjar Berpuasa
Islam, Nabi Muhammad dan pengikutnya pergi ke pertempuran akbar, yakni pertempuran Badar ( , dalam keadaan berpuasa, dan berhasil memenangi dalam pertempuran tersebut. Padahal ketika itu pasukan Muslim hanya berjumlah sepertiga dari jumlah pasukan lawan. Saya bertanya-tanya, mengapa kini hanya menyaksikan orang makan minum dan merokok di restoran saja diandaikan dapat meneteskan air liur mereka yang berpuasa betapa rendahnya kualitas berpuasa seseorang Muslim. Kalau boleh berpendapat, menurut saya kualitas seseorang yang berpuasa dalam rangka untuk menahan dan mengendalikan segala hawa nafsunya, justru akan lebih teruji apabila dia masuk restoran yang menyebarkan bau masakan yang amat merangsang air liur, tapi dia justru tidak tergoda sedikitpun, bahkan menelan ludahpun tidak. Seorang teman yang saat bulan ramadhan tinggal di Negeri Belanda, karena keperluan studi, tetap berpuasa dengan khusyu dan santai tanpa beban. Padahal di sekelilingnya adalah orang yang tidak berpuasa semua. Padahal waktu berpuasa di sana lebih panjang dari di Indonesia, karena waktu terbenam matahari bisa pukul 21.00 sedangkan waktu subuh tiba pada pukul 04.00. Kalau boleh menilai, begitulah sebenarnya laku berpuasa yang benar-benar menguji kesabaran dan keikhlasan seorang Muslim sebagaimana pesan Nabi kepada ummatnya yang kemudian.27 27
Lihat sabda Nabi yang berbunyi, “Bahwasanya besarnya pahala itu tergantung kepada besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum,
54
Bid’ah dan “Bid’ah”
Celakanya, perda syariah sejenis dengan Perda Ramadhan di Kota Banjarmasin itu konon merebak di berbagai daerah di Indonesia. Boleh jadi kepala daerahnya dan DPRD setempat ikut latah, karena ingin dianggap pro pada kepentingan ummat Islam, padahal sebenarnya agak salah kaprah. Wallahualam. 2. “Bid’ah” yang membingungkan dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan (oleh Rasulullah), termasuk menambah atau mengurangi ketetapannya. Dalam konteks itu ada beberapa perkara yang patut kita diskusikan ramadhan. Perkara pertama adalah imsak. Di luar Indonesia, barangkali tidak dikenal istilah imsak. Kalau dicari rujukannya, penggunaan frase “imsak” itu biasanya dikaitkan dengan berakhirnya waktu sahur dan masuknya waktu shalat subuh, tetapi bukan berarti antara kedua waktu tersebut sudah dilarang makan dan minum. Karena itulah “amsaka yumsiku imsak” dimaknai sebagai menahan.28 Maksudnya, (sebaiknya) orang yang
28
maka kaum itu diujinya terlebih dahulu. Maka barang siapa yang rela (sabar) menerima ujian itu, ia mendapat keridhaan Allah, dan barang siapa benci (tidak rela), ia mendapat murka dari Allah” (HR. Turmudzi). Sesuai dengan perilaku Nabi Muhammad ketika beliau telah makan sahur bersama-sama dengan para sahabat, kemudian Nabi SAW bangun mengerjakan salat. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid, “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu?’ Dia menjawab,
55
Orang Banjar Berpuasa
akan menjalankan ibadah puasa menahan diri dari (atau mungkin lebih dapat dipahami sebagai “menyudahi”) makan-minum sebelum masuk waktu subuh, waktunya sekitar 10 menit sebelum waktu subuh. Karena dalil yang dipakai untuk menandakan berakhirnya waktu makan sahur adalah subuh itu sendiri29 yang pada zaman Nabi ditandai dengan terlihatnya benang putih dan benang hitam alias munculnya fajar shaddiq, yakni cahaya putih yang melintang di ufuk timur.30 Dari sinilah muncul perselisihan paham, apakah imsak itu bid’ah atau bukan. Ada sebagian orang yang berpendapat bid’ah dengan alasan Nabi tidak pernah menentukan waktu yang disebut imsak tersebut. Tetapi ada pula sebagian orang yang mengatakan “waktu jeda” tersebut bukan bid’ah dengan asumsi bahwa maksudnya baik, agar orang bersiap-siap meninggalkan aktivitas makan-minum dan memasuki waktu shalat subuh, dan sebagai ihtiyath (kehati-hatian). Mana yang benar? Wallahualam. Mertua saya kalau
29
30
‘Sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat” (HR Anas, Bukhari:1923 dan Muslim:1097). Laku Rasulullah ini yang dipahami oleh para ulama kita, sehingga menetapkan sunnah berimsak sekitar waktu yang dibutuhkan untuk pembaca 50 ayat Alquran tersebut yang diperkirakan setara dengan 10–15 menit. Seperti tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 187: "Makan dan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar." Hal itu sesuai dengan bunyi hadits Nabi yang berbunyi, "Jika salah satu dari kamu mendengar adzan, sedangkan dia masih memegang piring (makanan) maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan makannya" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan telah disahihkan oleh Adz Zahabi).
56
Bid’ah dan “Bid’ah”
mendengar pengumuman dari masjid dekat rumah kami bahwa waktu imsak telah tiba, beliau masih tenang-tenang saja merokok sampai habis satu batang. Perkara kedua adalah jumlah rakaat dalam shalat tarawih, 8 atau 20 atau malah 36 rakaat? Jumhur ulama menyebutkan shalat tarawih itu 20 rakaat.31 Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah dari Bani Umayyah di Damaskus diketahui menjalankan salat Tarawih dengan 36 raka'at. Dan mengapa ada yang 8 rakaat? Jumlah rakaat shalat tarawih 8 rakaat itu berpegang pada hadits Aisyah dalam Fathul Bari, bahwa “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.” Dan saya kira, hal itu tidak perlu jadi bahan pertentangan, karena shalat tarawih itu pada dasarnya tidak ada (qiyamul lail) lainnya alias ia juga merupakan shalat sunnah.32 Bahwasanya “shalat tarawih” sebutan yang sebenarnya tidak ada di zaman Nabi33 dianggap istimewa semata-mata karena 31 32
33
Merujuk pada tarawih di zaman Umar bin Khattab. Sehingga di kala Nabi hidup, shalat tarawih itu hanya dilaksanakan berjamaah sebanyak tiga kali, karena Nabi khawatir shalat tarawih akan dijadikan hal yang wajib dilaksanakan. tathawwu’). Disebut tarawih karena setiap selesai empat rakaat, para jamaah duduk untuk istirahat. Mengapa diperlukan istirahat (duduk, atau tarwihah) setiap empat rakaat, karena ayat yang dibaca untuk shalat tersebut panjang-panjang, sehingga para ulama shalaf diceritakan sampai harus bertumpu ada tongkat karena terlalu lama berdiri.
57
Orang Banjar Berpuasa
hadits Nabi yang memuliakannya.34 Saya agak sepakat dengan kebiasaan seorang teman, kalau dia lagi kepengin shalat tarawih 20 rakaat, dia ikut berjamaah di masjid NU. Tapi kalau lagi malas berpanjang-panjang shalat tarawih, dia akan memilih masjid Muhammadiyah. Saya sendiri kalau shalat tarawih bersama keluarga lebih suka mempraktikkan jumlah yang 8 rakaat, bukan karena alasan semisal “baik jua sembahyang tarawih”. Bagi saya, praktik shalat tarawih itu yang lebih penting adalah kekhusyukan karena itu bacaan surah pun saya usahakan tidak cepat terburu-buru, bagai mengejar setoran. Perkara ketiga adalah penetapan waktu Idul Fitri. Mungkin hanya terjadi di Indonesia, kerap terjadi penetapan berakhirnya bulan ramadhan suka berbeda antar kelompok masyarakat, sesuai dengan keyakinan beragama yang didasarkan pada perhitungan hisab dan rukyat yang dipercaya oleh masing-masing kelompok masyarakat. Tersebab karena itu, tidak jarang terjadi penetapan tanggal 1 Syawal, sebagai berakhirnya masa puasa ramadhan, berbeda hari, dan hal itu terutama terjadi antara kelompok Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Seringkali kelompok NU, yang menghitung visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak dengan 34
Sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Siapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau” (Muttafaq alaih).
58
Bid’ah dan “Bid’ah”
metode rukyat, menggenapkan jumlah hari puasa ramadhan menjadi 30 hari35 karena hilal tidak dapat terlihat lantaran selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, atau karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Sedangkan kelompok Muhammadiyah, untuk mengetahui hilal menggunakan metode hisab, yakni perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Dengan metode hisab ini kelompok Muhammadiyah cenderung lebih dapat melakukan prediksi, karena tidak tergantung pada visibilitas hilal dengan mata telanjang.36 Apakah ada yang keliru dengan penggunaan dua metode “mencari hilal” tersebut. Tentu saja tidak. Dua-duanya absah, dan kedua metode perhitungan itu telah dipraktikkan puluhan tahun, walaupun lantaran karena itu penetapan tanggal 1 Syawal bisa berbeda, dan menyebabkan 35
36
Sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari). Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Karena itulah, kelompok Muhammadiyah biasanya sudah menetapkan tanggal 1 Syawal jauh-jauh hari, bahkan hingga dua bulan sebelum hari raya Idul Fitri.
59
Orang Banjar Berpuasa
ummat Islam di Indonesia pun berbeda pula hari pelaksanaan shalat Idul Fitri. Saya punya keluarga yang kadang-kadang ikut penetapan kelompok Muhammadiyah, dan kadang-kadang pula ikut penetapan kelompok NU. Jadi, dia bisa duluan merayakan hari Idul Fitri daripada kami, padahal dia mengaku penganut Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Alasannya, ketetapan dua kelompok ormas Islam itu sah, bukan? Han kaya apa pulang tu? Persoalan penetapan 1 Syawal yang kadangkala berbeda antara kelompok NU dan Muhammadiyah itu barangkali tidak menyangkut bid’ah. Namun, kalau merujuk pada tuntunan Nabi Muhammad, seyogyanya tidak ada perbedaan perayaan hari raya Idul Fitri dalam satu wilayah negara.37 Apalagi kalau digunakan nalar beragama, 37
Untuk dasar argumentasi hal ini, para ulama biasanya merujuk pada hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ahmad dari Kuraib: “Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami.”
60
Bid’ah dan “Bid’ah”
misalnya apa jadinya kalau seseorang yang tinggal di suatu daerah yang sama, tetapi kenyataannya dia berlebaran di kala orang lainnya masih berpuasa ramadhan, lantaran ikut perhitungan yang berbeda dalam mencari hilal (rukyat atau hisab). Kalaulah metode hisab lebih tepat (saat itu) untuk dasar penetapan tanggal 1 Syawal, sehingga ramadhan misalnya hanya 29 hari: berarti mereka yang masih melaksanakan puasa ramadhan melakukan “dosa”.38 Tetapi kalau misalnya perhitungan dengan metode rukyat sebenarnya lebih dapat dipertanggungjawabkan (saat itu) untuk menetapkan jumlah hari puasa bulan ramadhan digenapkan menjadi 30 hari, maka jelaslah bahwa yang berhari raya lebih cepat satu hari di kala orang lainnya merayakan Idul Fitri pada besok harinya itu melakukan sebuah kekeliruan yang fatal. Karena si fulan tersebut tidak puasa, padahal seharusnya dia berpuasa. Dalam kasus semacam ini, saya terus terang agak bingung untuk berpendapat terutama karena saya bukan pakarnya. Dalam hubungan itu ada saran bijak dari Ibnu Taimiyah, yang populer di kalangan kalangan Nahdliyin, sebagai berikut: Jika seseorang melihat hilal seorang diri baik hilal awal Ramadhan untuk memulai puasa dan hilal Idul Fithri, apakah ia tetap berpuasa dengan hasil penglihatan hilalnya? Atau ia berhari raya dengan penglihatannya tersebut? Atau ia mengikuti kaum muslimin 38
Sesuai dengan hadits, Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fitri dan hari Adha. (HR Muttafaq ‘alaihi).
61
Orang Banjar Berpuasa
untuk berpuasa atau berhari raya? Ada tiga pendapat dalam masalah ini dari Imam Ahmad. Pertama, ia tetap berpuasa, namun untuk berbuka (berhari raya) dilakukan secara diam-diam. Inilah pendapat dari Kedua, ia tetap berpuasa, namun untuk berhari raya dilakukan dengan kaum muslimin (tidak seorang diri). Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Ketiga, ia berpuasa dan berhari raya tetap bersama kaum muslimin. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat.
62
“Amal yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan orang muslim, menghapus kegelisahannya, membayar hutangnya, atau mengentaskan rasa laparnya.” (Hadits Riwayat Thabrani).
63
Orang Banjar Berpuasa
64
5
Yang Pelan-Pelan Pudar
S
ebagai orang yang berasal dari Hulu Sungai, meskipun lahirnya di ibukota kabupaten, saya paham betul apa artinya “kampungan”. Masa kecil saya penuh tingkah laku kidu, dan kalau diingat-ingat sekarang kadangkala menggelikan dan agak memalukan. Tetapi justru karena saya berasal dari kota kecil yang lebih merupakan suatu komunitas yang guyub, saya dapat memahami mengapa seseorang bisa mengalami “gegar-budaya” ketika dihadapkan dengan kultur dan gaya hidup modern di daerah perkotaan. Bahkan, kadangkala saya “merindukan” suasana kampungan di masa kecil saya, saking bingungnya dengan budaya kota yang cenderung individualistik, seperti yang saya rasakan sekarang ini. Tak terkecuali di saat-saat melaksanakan ibadah puasa ramadhan, dan pernak pernik yang menyertainya. 1. Kemeriahan malam ramadhan Ketika saya masih kanak-kanak dulu, di tahun 1960 hingga awal tahun 1970-an, malam bulan ramadhan adalah malam kebebasan dan keberanian. Kata orangtua saya, pada malam bulan ramadhan itu setan-setan dirantai, dan tidak 65
Orang Banjar Berpuasa
bebas lagi untuk mengganggu manusia. Harap dimaklumi, orangtua saya hanya mengutip apa kata Tuan Guru, dan Tuan Guru itu kelas kampung pula.39 Dalam nalar saya yang terbatas, ketika itu, setan itu sejenis dengan hantu dan iblis yang menakutkan. Apalagi dalam buku ceritera silat karya Kho Ping Hoo yang saya baca, penjahat kejam itu gelarnya biasanya “iblis”, bahkan iblis dari neraka. Di komik silat karangan Djair misalnya, kalau seseorang marah bisa memaki dengan kalimat “setan alas….!” yang artinya kurang lebih adalah “hantu hutan”. Di kampung saya, rumah tinggal yang menggunakan listrik sebagai alat penerangan bisa dihitung dengan jari. Hanya orang kaya, dan berpendapatan lebih dari cukup yang mampu memasang jaringan listrik dari “Anem” alias pembangkit listrik berbahan bakar solar milik daerah.40 Seingat saya, di kampung kami hanya empat buah rumah yang pakai lampu listrik. Bisa dibayangkan, seluruh kampung pada dasarnya gelap gulita ketika malam hari. Karena suasana malam hari itu gelap gulita, maksudnya kondisi 39
40
Tuan Guru, yang dikutip pendapatnya oleh orangtua saya itu mungkin merujuk pada hadits Nabi yang berbunyi, “Jika tiba bulan ramadhan, maka dibuka pintu-pintu sorga dan ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggu semua syaitan” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada awal tahun 1970-an itu belum ada PLN (Perusahaan Listrik Negara). Presiden Suharto sang ‘Bapak Pembangunan” baru mengambil alih kekuasaan dari rezim Orde Lama yang penuh janji-janji menggelora tapi sesungguhnya rakyat dalam kondisi kehidupan serba kekurangan dan keterbatasan akses infrastruktur.
66
Yang Pelan-Pelan Pudar
di luar rumah kalau tidak ada cahaya rembulan, anak-anak tidak biasanya keluyuran di luar rumah. Antara lain karena takut hantu atau orang ghaib yang menyaru. Apalagi para orangtua ketika itu mencekoki benak anak-anaknya bahwa setan dan para dedemit itu biasanya beroperasi di malam hari, sejak maghrib tiba, tanpa dijelaskan apa pekerjaan mereka itu di malam hari. Tetapi ketika bulan ramadhan, semua anak-anak bebas keluyuran di luar rumah tanpa rasa takut akan hantu dan sejenisnya. Sebabnya, ya itu tadi, setansetan dirantai, tak peduli rantai siapa dan terbuat dari apa. Dalam imajinasi anak-anak, setan yang dirantai itu serupa dengan pesakitan atau orang gila yang dirantai dan digembok sehingga susah bergerak. Akan tetapi, mengapa anak-anak berani keluar di malam hari? Alasannya bukan cuma isu perantaian setan yang memicu keberanian mereka. Juga karena tradisi di kampung kami, terutama, setiap rumah biasanya meletakkan lampu semprong atau sekurang-kurangnya kaleng bersumbu kain (yang dijadikan lampu darurat) di pelataran rumahnya. Dulu saya kurang ngeh apa alasannya. Tradisi itu mungkin supaya orangorang di kampung saya gampang pergi ke surau dalam bahasa Banjarnya biasa disebut “langgar” untuk shalat tarawih berjamaah tidak perlu harus meraba-raba, karena salah-salah bisa tarumpak mintuha lambung. Masih berkaitan dengan kenangan masa kecil saya, ikut orangtua pergi ke surau untuk shalat 67
Orang Banjar Berpuasa
tarawih berjamaah adalah sebuah keasyikan tersendiri. Di surau biasanya terkumpul banyak anak-anak seusia saya. Namanya juga anak-anak, kami cenderung tidak peduli dengan kekhusyuan shalat, kadang-kadang cekikikan hanya lantaran badan saling senggol. Kemudian begitu imam shalat mengucap salam, dan seseorang melantunkan salawat, kami anak-anak bersicepat berseru (lebih tepat barangkali berteriak sekuat-kuatnya) menyahut salawat tersebut. Celakanya ada di antara anak yang sangat iseng, justru berteriak di samping kuping temannya. Ya, jelas saja sunging. Malam ramadhan sangat menyenangkan bagi anak-anak di kampung saya bukan cuma lantaran “acara” shalat tarawih berjamaah. Boleh jadi mendukung kemeriahan bulan ramadhan, para orangtua cenderung memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk menyalakan kembang sarai, dan terutama membunyikan meriam bambu. Meriam bambu tidak dilarang dibunyikan pada malam bulan ramadhan, dan setahu saya hal itu tidak bisa dilakukan pada hari biasa di luar bulan ramadhan karena salah-salah bisa ditangkap polisi lantaran dianggap mengganggu ketertiban umum, walaupun yang pasti benarbenar terganggu biasanya adalah nenek-nenek yang gegeran. Meledakkan meriam bambu itu bisa pakai karbit, tetapi yang umum adalah menggunakan minyak tanah. Menggunakan karbit memang lebih nyaring, tapi perlu duit banyak. Sedangkan dengan menggunakan minyak tanah, modalnya cuma sedikit minyak tanah dan kemampuan meniup lubang sumbu pada meriam 68
Yang Pelan-Pelan Pudar
bambu. Hanya saja, kembali pada keisengan anakanak, seseorang bisa saja minta tolong kepada temannya untuk memeriksa ujung meriam bambunya dengan alasan “ada apa sehingga pina buntat”. Akan tetapi begitu temannya yang agak tolol itu menurut untuk memeriksa ujung meriam bambu, oknum anak nakal itu langsung menyulut lobang sumbu meriam. Jelas saja muka temannya yang siap maiithi itu tasirau api yang keluar dari meriam bambu tersebut. Gara-gara kelakuan iseng itu tadi, ada kasus anak yang berhari raya dengan alis keriting. Puncak kemeriahan malam bulan ramadhan adalah ketika ramadhan memasuki malam keduapuluh satu atau biasa disebut “malam selikur”. Orang-orang tua biasanya memaknai malam tersebut sebagai rangkaian “malam lailatul qadar”.41 Malam yang dianjurkan untuk banyakbanyak membaca al-Qur’an, siapa tahu “dijumpai” oleh para malaikat yang membawa keberkahan dari langit, dipercaya setara dengan kelimpahan berkah “seribu bulan” alias mendapatkan ibadah pahala sekitar 83 tahun. Dari ceramah agama 41
Lailatul qadar itu sebenarnya merupakan malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad-Dukhan ayat 3-5; dan menunjukkan kemuliaan, seperti disampaikan dalam surat Al-An'am ayat 91. Menurut Quraish Shihab, Lailatul Qadar dapat juga diartikan sebagai malam pelimpahan keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kepada umat Islam yang berkehendak untuk mendapatkan bagian dari pelimpahan keutamaan itu. (Lihat Muhammad Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, Bandung).
69
Orang Banjar Berpuasa
yang diberikan oleh Tuan Guru di kampung saya, barang siapa yang mendapatkan lailatul qadar di sepertiga malam bulan ramadhan, maka diampuni dosa yang bersangkutan selama 83 tahun. Dalam kalkulasi awam, karena usia rata-rata manusia hanya sekitar 65 tahun, maka barang siapa mendapatkan berkah lailatul qadar itu niscaya masuk sorga. Lha, wong sudah diampuni dosanya selama 83 tahun, bukan? Padahal dalam wacana sorga dan neraka, sebagaimana sering dijelaskan para Tuan Guru kampung saya, adalah persoalan balasan bagi manusia-manusia yang dalam hidupnya di dunia telah melakukan pahala atau dosa. Manusia yang berdoa itu balasannya adalah neraka. Sedangkan sorga itu hanya untuk manusia yang di dunia lebih banyak pahalanya. Akan tetapi bagi anak-anak, tidak penting benar apakah malaikat akan turun ke bumi atau tidak dalam rangka lailatul qadar. Malam selikur itu adalah malam bermain-main penerangan “lampu” yang terbuat dari batang bambu yang dipasang memanjang dan dipasangi beberapa sumbu dari kain gombal, biasanya kaos singlet yang tidak terpakai lagi, dan sebagai penampang untuk sumbunya digunakan seng bekas yang dipotong bulat-bulat. Di pekarangan tiap rumah di kampung saya biasanya memasang “lampu bambu” tersebut. Karena listrik untuk PJU (penerangan jalan umum) saat itu belum ada, tentu saja deretan lampu malam selikur itu mencolok sekali. Dan kami, maklum kanak-kanak, bangga sekali dengan hal itu. Umumnya takurihing langkang. 70
Yang Pelan-Pelan Pudar
Saya teringat dengan malam selikur dan lampu yang dibuat dari batang bambu itu karena tradisi tersebut kini sudah hilang, diganti dengan lampion dan diperlombakan oleh beberapa Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten dalam bentuk festival “tanglong”. Anehnya, karnaval tanglong itu disertai dengan lomba “bagarakan sahur”. Seingat saya, waktu saya masih kecil di kampung, “bagarakan sahur” dilakukan sekitar pukul 3 dini hari oleh sekelompok pemuda, dengan cara memukul kendang dan panci atau segala barang yang dapat menimbulkan gema sambil berkeliling kampung. Tujuannya adalah untuk membangunkan ibuibu agar jangan kesiangan menanak nasi. Jarang “bagarakan sahur” itu dilakukan sebelum jam tersebut apalagi habis maghrib, sebagaimana saat festival tanglong sebab, salah-salah ada yang marah, karena mungkin baru saja tidur lelap, dan lalu mahumbang mereka yang “bagarakan sahur”. Tradisi bagarakan sahur keliling kampung itu walau terlihat “kampungan”, sebenarnya menunjukkan semangat persaudaraan. Berbeda dengan perkembangan mutahir, kegiatan tersebut sudah banyak diambil alih oleh stasiun televisi yang menyajikan acara “bagarakan sahur” dengan mengundang para pelawak yang tidak lucu, dan asal (dianggap) dapat mengundang tawa para penontonnya (yang dibayar hadir, sebagai lain, “bagarakan sahur” telah dikomersialisasi, dan sangat terimbas dengan kapitalisme industri siaran televisi.
71
Orang Banjar Berpuasa
2. Bersih-bersih sebelum hari raya Setelah bulan ramadhan, hari penting yang ditunggu-tunggu semua orang barangkali adalah Hari Raya Idul Fitri atau yang biasa dikenal dengan sebutan hari lebaran. Di kampung saya, kala masa kanak-kanak dulu, hari lebaran itu layak disambut dengan suka cita karena dua hal. Pertama, bakal mendapatkan baju baru. Kedua, bakal mendapatkan uang receh dari para dermawan, atau orang yang tiba-tiba jadi dermawan.42 Dulu, di tahun 1970-an, berhari lebaran dengan baju baru itu penting sekali bagi anakanak. Karena mereka bisa pamer, lantaran jarangjarang mendapatkan baju baru dari orangtuanya. Dengan mengenakan baju baru, mereka biasanya berkeliling kampung. Bahkan bagi yang punya duit, bersama beberapa anak lainnya menyewa becak untuk keliling kota dengan wajah bungah. Sekali lagi, itu dalam rangka pamer baju baru.43 Hal itu 42
43
Orang yang tiba-tiba dermawan itu hanya menjadi dermawan kala hari lebaran, dan anak-anak biasanya suka “salaman” ke rumahnya, karena orang ini biasanya memberikan uang yang nilainya lumayan besar. Apalagi uang dibagikannya biasanya uang yang baru, yang baunya masih wangi. Bagi yang tidak mampu beli baju baru, dan tidak sedikit jumlahnya, para orangtuanya menyiasatinya dengan mencelup baju lama ke dalam larutan wantex untuk menguatkan kembali warnanya, dan merendamnya dalam larutan kanji (tepung tapioka) supaya kainnya terlihat mengeras bagai baru. Walapun baju lama yang “diperbaharui” seperti nampak baru, tetaplah ia merupakan baju lama, dan hal itu jadi masalah ketika ada anak-anak yang kebetulan mengenakannya diolok-olok oleh temannya yang lantaran hanya karena persoalan baju baru di hari lebaran.
72
Yang Pelan-Pelan Pudar
bisa dilakukan karena di kota kecil setaraf ibukota kabupaten di Hulu Sungai masih sangat jarang ada mobil, apalagi sepeda motor yang sebenarnya baru mulai marak di jalan-jalan raya sejak tahun 1990an. Akan tetapi di masa sekarang, hal seperti itu nyaris tidak ada lagi. Anak-anak tidak mengalami surprise lagi mendapatkan baju baru, karena para orangtua telah mengalami perbaikan pendapatan dan mampu membelikan baju baru bagi anakanaknya kapan saja setiap kali dibutuhkan. Apalagi banyak supermarket yang kerapkali menawarkan obral, hingga batas 70%, dan promo berupa “cuci gudang” yang sebenarnya hanya siasat dagang untuk menarik konsumen, karena mana mungkin penjual mau rugi. Bahkan dalam pengamatan saya atas kondisi mutakhir, anak-anak nampaknya tidak lagi membangga-banggakan baju baru, tapi bergeser jadi membanggakan gadget yang dimilikinya. Semakin canggih gadget-nya, semakin himung si pemiliknya. Padahal smartphone dimiliki oleh kanak-kanak itu biasanya tidak dipergunakan secara cerdas, lantaran hanya untuk pamer. Tersebab karena itu, saya sering membatin, apakah “ketololan” anak-anak yang punya smartphone itu orangtua yang membelikan anaknya gadget canggih? Han, kaya apa tu? Tradisi lain yang barangkali hanya dapat dijumpai di tahun-tahun 1970-an hingga tahun 1990-an di daerah Kalimantan Selatan pada umumnya adalah “tawaf ba’da subuh”. Pemudapemudi, terutama di daerah perkotaan di Hulu Sungai, setelah shalat subuh biasanya berjalan kaki 73
Orang Banjar Berpuasa
berombongan keliling kota. Benar-benar berjalan kaki yang dalam istilah mutakhir barangkali disebut “jalan santai”. Tampilan mereka yang melakukan jalan santai subuh menjelang pagi itu persis seperti orang baru pulang dari masjid atau surau, karena tidak sedikit yang membawa serta sajadahnya. Padahal, sesungguhnya terkadang di antara mereka sebenarnya tidak dari masjid atau surau, melainkan langsung dari rumah mereka. Mengapa mereka “bela-belain diri” keluar rumah subuh hari berjalan santai keliling kota? Oh, ternyata dengan cara itu masing-masing orang berpeluang untuk dapat saling mengenal, karena tidak jarang dengan cara bertegur sapa itu mereka memperluas pergaulan, bahkan akhirnya mendapatkan jodoh. Itulah sebabnya pelaku “tawaf ba’da subuh” tidak pernah melibatkan orang-orang yang telah berusia sepuh, misalnya dengan alasan olah raga pagi untuk mencari kesehatan. Pada subuh hari menjelang pagi bulan puasa, acara jalan santai keliling kota itu hanya khusus untuk remaja muda-muda. Dan bagaimana dengan kondisi sekarang(?), nampaknya hal itu tidak menjadi tren lagi di antara muda-mudi. Maklum, untuk dapat saling mengenal mereka dapat menggunakan sarana chatting melalu facebook, WhatsApp, BBM, dan lain-lain. Apalagi dengan menggunakan media sosial itu penampilan wajah bisa direkayasa sedemikian rupa, sehingga seorang teman saya pernah merasa tertipu dan ngomel-ngomel karena kecewa perempuan yang dikenalnya via facebook ternyata dalam kondisi
74
Yang Pelan-Pelan Pudar
riilnya bagai jauh panggang dari api. “Kada bungas sakalinya”, ujarnya kesal. Salah satu tradisi di masa lalu, yang juga kini saya lihat mulai hilang, adalah kegiatan bersihbersih rumah. Bersih-bersih rumah itu biasa dilakukan oleh setiap rumah di kampung saya menjelang hari raya Idul Fitri. Alasannya, malu kalau nanti ada tamu yang datang berkunjung walaupun yang pasti datang berkunjung adalah para tetangga belaka. Kain gorden harus di kelantang supaya nampak baru. Lantai papan di ruang tengah atau di ruang tamu harus dicuci bersih dan dilap dengan kain gombal yang dilumuri minyak tanah, supaya mengkilap. Demikian pula dengan daun jendela harus dicuci, karena mereka tidak terbiasa untuk mengecatnya supaya terlihat baru. Dan sarang laba-laba dalam bahasa Banjar disebut kakaraban harus dienyahkan dari segala sudut rumah. Pokoknya kondisi rumah harus nampak bersih, sebersih hati tuan rumah yang telah berpuasa ramadhan satu bulan penuh, dan siap menerima tamu yang datang dari mana saja dan siapa saja. Untuk menyambut hari penting lebaran itu ibu-ibu dan remaja puteri disibukkan pula dengan kegiatan menyiapkan kue kering buatan sendiri, misalnya “wadai jintan”, “wadai satu karak nasi”, “kueh rokok”, dan untuk daerah pedesaan biasanya menyediakan pula “apam batil” kue apam tebal yang seukuran piring makan. Untuk beberapa keluarga yang agak berpunya dan sudah mengenal kue pabrikan, jauh-jauh hari sudah menyiapkan kue kering merk Khong Guan, yang kala disajikan kepada tamu biasanya 75
Orang Banjar Berpuasa
disajikan di atas piring lipir sebanyak sekitar sepuluh potong. Saya sempat berpikir kenapa ada tradisi menyajikan kue kering pabrikan di atas piring, bukan sekalian dengan kalengnya saja. Jawaban spekulatifnya adalah, boleh jadi hal itu strategi untuk dapat menghitung berapa kue yang telah dimakan oleh setiap tamu yang datang. Dan untuk teman kue hari raya tersebut, biasanya tuan rumah menyiapkan sirup berwarna merah, hasil bikinan sendiri menggunakan campuran gula, kesumba dan sarimanis. Kalau tidak, pilihan lainnya adalah menyediakan teh curai dicampur vanili, biasanya teh merk Gunung Satria atau Goalpara, untuk menyajikan air teh rasa gula lantaran gulanya harus terasa liting. Kalau semua itu tersedia, legalah sudah si tuan rumah menyambut hari raya Idul Fitri. Bagaimanakah tradisi menyambut tamu itu dijalankan di masa kini? Karena begitu banyak pabrikan menghasilkan produk-produk kue dan minuman aneka rasa dan harganya terjangkau dan “bergengsi” tradisi keluarga menyiapkan kue bikinan sendiri sedikit banyak mulai hilang. Sekarang, kalau ada duit, tinggal beli di swalayan. Kue bermacam ragam merk tersedia. Minuman yang bermacam cita rasa, juga tersedia. Karena itu, kalau dulu ada kebanggaan sebuah keluarga menyiapkan kue bikinan sendiri, dan sirup merah bikinan sendiri, sekarang kebanggaan itu nampaknya pudar. Bahkan kalau masih ada suatu keluarga yang menyajikan sirup bikinan sendiri, itu artinya keluarga tersebut termasuk keluarga miskin yang kurang mampu membeli produk 76
Yang Pelan-Pelan Pudar
pabrikan. Sirup yang kini jadi tren misalnya adalah merk Marjan, seperti yang diiklankan di TV-TV swasta dan tidak selalu harus berwarna merah. Bahkan tidak jarang minuman yang disajikan kepada tamu adalah minuman ringan berkarbornasi seperti Coca Cola, Pepsi dan sejenisnya sehingga bisa terjadi kecelakaan kecil pada tamu dari kampung yang tersedak karena minuman itu terasa “menyalangsang” hidung. Adapun kue kering yang kerap disajikan untuk hari lebaran masa kini adalah kue kering bermerk Monde, atau minimal Khong Guan yang disajikan bersama dengan kalengnya. Tetapi gara-gara perubahan gaya hidup seperti itu, akhirnya ritual menghadapi hari raya Idul Fitri pun diam-diam berubah menjadi sekadar adu gengsi yang dangkal, yang menegasikan makna Idul Fitri sebagai hari bersyukur karena telah melampaui masa ujian di bulan ramadhan.
77
Orang Banjar Berpuasa
78
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orangtuamu, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggabanggakan diri.” (al Qur’an surah An-Nisa` ayat 36)
79
Orang Banjar Berpuasa
80
6
Epilog
P
elaksanaan puasa ramadhan harus diakhiri dengan perayaan hari raya. Haram hukumnya puasa di tanggal 1 Syawal,44 karena tanggal itu khusus dirayakan untuk mengakhiri bulan ramadhan. Dengan kata lain, pada tanggal 1 Syawal itu harus dirayakan dengan kegembiraan, dengan asumsi bahwa itulah hari kemenangan setelah selama satu bulan penuh berjuang mengendalikan segala hawa nafsu, dan mestinya menang. Untuk melengkapi persyaratan selesainya puasa ramadhan itu diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk mengeluarkan menjelang shalat hari raya tanggal 1 Syawal. Tujuannya adalah, agar para mustahiq (penerima zakat), terutama kaum miskin tak berpunya, ikut dapat merayakan hari raya dengan gembira pula. Pokok persoalan yang muncul atas berakhirnya bulan ramadhan adalah, apakah akan berakhir pula pola tindakan sosial yang 44
Sesuai dengan ketentuan hadits yang diriwayatkan Muslim (Nomor 1138) dari Abu Hurairah yang berbunyi, “bahwasanya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua Hari Raya Adha dan Fitri”.
81
Orang Banjar Berpuasa
selama bulan ramadhan relatif terkontrol atas dasar ghirah ingin memuliakan bulan suci ummat Islam itu. Diasumsikan, tidak mungkin dinamika sosial akan berlangsung dengan harmonis apabila masing-masing individu masyarakat hanya berpikir untuk dirinya sendiri belaka, tanpa iktikad baik saling mengingatkan atas dasar saling mencintai sebagai sesama makhuk Tuhan. Tetapi upaya saling nasihat menasihati ini secara psiko-sosial membutuhkan kerendahan hati para pihak terkait untuk menerima kritik dari orang lain. Sedangkan norma tersebut seringkali jatuh pada salah kaprah, bahwa seolah-olah apabila seseorang mengingatkan orang lainnya agar tidak terjerumus pada kemungkaran justru sebagai mencampuri urusan orang lain.45 Atas nama harga diri, seseorang tidak mudah untuk menerima nasehat dari orang lainnya. Dan atas nama hak kebebasan pribadi, seseorang boleh jadi menunjukkan keangkuhannya untuk bersikukuh dengan pola pendapatnya sendiri. Padahal sifat angkuh itu, katanya, telah dibasuh selama bulan ramadhan. Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang kiranya patut kita perhatikan bersama adalah: apakah makna ramadhan hanya sekadar menahan diri dari segala nafsu. Saya bukan ahli tafsir 45
Padahal Nabi pernah bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya, sedangkan apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (Hadits Riwayat Muslim).
82
Epilog
hadits, dan juga tidak begitu mumpuni memahami segala masalah implementasi beragama Islam; namun menurut saya, puasa ramadhan itu agak keliru kalau ditafsirkan hanya sebagai upaya “menahan diri”. Dalam wacana bahasa Banjar, orang yang terus-terusan menahan diri, apalagi terpaksa menahan diri, lama-lama bisa “bungkas” juga. Apalagi kalau masa “menahan diri” itu ada pembatasnya, yakni selama bulan ramadhan. Logikanya, kalau faktor pembatas tersebut sudah tidak ada lagi, maka laku “menahan diri” itu boleh jadi akan berimbas negatif menjadi rasa “merdeka kembali”. Maksudnya, merdeka untuk dikendalikan oleh hawa nafsu yang pada bulan ramadhan terpaksa diserimpung, seperti halnya setan yang dirantai selama bulan ramadhan. Tersebab karena itu, kalau boleh berpendapat, menurut saya sebenarnya lebih masuk akal apabila makna puasa di bulan ramadhan itu adalah sebagai sarana pelatihan diri bagi ummat Islam untuk mengelola segala nafsu ammarah dan lawwamah. Yang namanya pelatihan diri, tentu ada penilaian mengelola diri, maknanya niscaya ia berhubungan dengan soal manajemen, yakni bagaimana menyiasati segala kendala dan ancaman dengan mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang ada. Nafsu ammarah menurut pandangan agama adalah nafsu yang sangat berbahaya, dan niscaya dimiliki oleh setiap manusia, karena cenderung mengarahkan manusia kepada perbuatan dan
83
Orang Banjar Berpuasa
perilaku yang dilarang agama.46 Nafsu ammarah ini yang biasa terperagakan dalam laku seharihari adalah, jika seseorang berbuat dzalim, dan dia berbangga hati dengan perbuatannya tersebut. Tantangan puasa juga adalah mengelola nafsu lawwamah. Nafsu jenis ini dianggap tercela, karena apabila dituruti cenderung berakibat pada pengingkaran terhadap perintah-perintah kebaikan, dan akhirnya menjerumuskan pelakunya pada perbuatan dosa.47 Tetapi orang yang memiliki nafsu lawwamah dan dituntut mampu mengendalikan nafsu ini agak lebih beruntung, dibanding kalau dia melulu dikendalikan oleh nafsu ammarah. Paling tidak kalau dikendalikan oleh nafsu lawammah masih ada memiliki rasa penyesalan sebagai makhluk yang berdosa. Dengan kata lain, ada potensi untuk jadi orang baik dan dapat kembali ke jalan yang benar sesuai dengan tuntunan agama. Dengan kemungkinan bahwa setiap kita diberi kemampuan mengelola nafsu ammarah dan nafsu lawammah, sekalipun dalam batas paling minimal, maka tentulah hikmah ramadhan akan berdampak positif pada perbaikan kualitas hidup dalam konteks relasi sosial. Artinya, artikulasi kehidupan kita sebagai ummat Islam tentulah jadi lebih baik dan bermanfaat bagi lingkungan kehidupan sosial kita, lebih dari unjuk kemampuan di bulan-bulan sebelumnya. Kalaulah hal itu bisa mewujud dalam tindakan sehari-hari 46 47
Lihat al-Qur’an surah Yusuf ayat 53. Lihat al-Qur’an surah al-Maidah ayat 13.
84
Epilog
pasca ramadhan, maka patutlah kita berucap salam seperti yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyah: “Taqabbalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa Shiyamakum” (Semoga Allah menerima amalan puasa saya dan kamu). Semoga kita dapat bersua kembali pada bulan yang mulia itu. Wasalam.
85
Orang Banjar Berpuasa
86