EVALUASI PENGEMBANGAN WILAYAH PEMUKIMAN BERBASIS ANALISIS RISIKO BANJIR LAHAR DI DAERAH SEPANJANG KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH HALAMAN JUDUL
Naskah Publikasi Program Studi Ilmu Lingkungan Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana
diajukan oleh : Afrinia Lisditya P 10/307104/PMU/06746
Kepada SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
NASKAH PUBLIKASI Judul Tesis : EVALUASI PENGEMBANGAN WILAYAH PEMUKIMAN BERBASIS ANALISIS RISIKO BANJIR LAHAR DI DAERAH SEPANJANG KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH HALAMAN PENGESAHAN Dipersiapkan dan disusun oleh AFRINIA LISDITYA P 10/307104/PMU/06746 Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc.
Tanggal, 22 Februari 2012
Pembimbing Pendamping I
Dr. Muh Aris Marfai, M.Sc.
Tanggal, 22 Februari 2012
EVALUASI PENGEMBANGAN WILAYAH PEMUKIMAN BERBASIS ANALISIS RISIKO BANJIR LAHAR DI DAERAH SEPANJANG KALI PUTIH KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH EVALUATING RESIDENTIAL DEVELOPMENT IN KALI PUTIH REGION, CENTRAL JAVA, INDONESIA BASED ON LAHAR RISK ANALYSIS Afrinia Lisditya1, Junun Sartohadi2, Muh. Aris Marfai3 Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta INTISARI Dampak bencana alam banjir lahar terhadap pemukiman penduduk merupakan hal yang perlu diteliti untuk menentukan alokasi ruang pembangunan yang tepat serta upaya mitigasi bagi penduduk yang berada di daerah bahaya banjir lahar. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengembangan wilayah pemukiman berbasis analisis risiko banjir lahar di daerah sepanjang Kali Putih Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan daerah penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Unit analisis merupakan desa-desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih yang termasuk dalam wilayah bahaya banjir lahar. Penentuan sampel berdasarkan tingkat kerentanan bangunan pemukiman akibat banjir lahar, yang diwakili oleh 200 responden dan 30 responden untuk upaya mitigasi non struktural. Penentuan sampel responden menggunakan teknik stratified sampling. Pengukuran lapangan dilakukan untuk menganalisis daerah bahaya dan tingkat risiko banjir lahar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian mempunyai area tidak berisiko sebesar 68%, risiko rendah 13%, risiko sedang 8%, risiko tinggi 11% dari seluruh daerah penelitian. Desa Gulon, Jumoyo, Sirahan dan Blongkeng merupakan daerah dengan tingkat risiko tinggi. Persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan, berpengaruh pada bahaya banjir lahar, walaupun nilai “r” lemah yaitu berkisar antara 0,111 – 0,237 (korelasi lemah). Lokasi yang aman untuk pemukiman, seharusnya memanfaatkan lahan yang sesuai dengan kriteria pemukiman yang aman dan sesuai tata ruang, daerah tidak berisiko dan tingkat bahaya rendah dapat digunakan untuk alokasi ruang pengembangan wilayah pemukiman. Kata-kata kunci : lahar, bahaya, risiko, pengembangan wilayah pemukiman
1
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia 2 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia 3 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
EVALUATING RESIDENTIAL DEVELOPMENT IN KALI PUTIH REGION, CENTRAL JAVA, INDONESIA BASED ON LAHAR RISK ANALYSIS Afrinia Lisditya1, Junun Sartohadi2, Muh. Aris Marfai3 Geo-information for Risk Management, Graduate School Gadjah Mada University, Yogyakarta ABSTARCT Considering impacts of lahar flood event on settlements is prerequisite in land resource best-use decision within lahar-prone area mitigation practice. This research aims at evaluating residential development with consideration towards lahar risk analysis in Kali Putih region, Magelang Regency, Central Java Province, Indonesia. Research locus was defined using purposive sampling technique. Unit of observation was villages along Kali Putih belonging to lahar-susceptible zone. Samples were defined based on the degree of buildings’ risk to lahar threat. As many 200 as respondents were involved in buildings’ risk analysis and 30 public officers were involved in study of current mitigation degree to expand the result of risk analysis. Samples in risk analysis were defined using stratified sampling technique and data was attained from empirical data collection through field survey, observation, and measurement. Risk analysis showed that 68% research area belongs to safe zone (no risk), 13% to low risk zone, 8% to moderate risk zone, and 11% to high risk zone. Gulon, Jumoyo, Sirahan, and Blongkeng Village belong to riskiest zone. Community perception on buildings’ vulnerability to lahar threat was revealed influential to risk development, albeit low R2 emerged (0.111-0.237). Area for residential development should adhere to safety and spatial planning criteria. Recommendation that residential development should be allocated into safe and or low-risk zone is presented. Keywords : lahar, hazard, risiko, residential development
I. I. I.1.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN Latar Belakang
Potensi bahaya vulkanik gunungapi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan langsung oleh letusan yang biasanya disertai hamburan piroklastik, aliran lava, dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh aliran rombakan material lepas gunungapi yang bercampur dengan air hujan yang turun di puncak dengan konsentrasi tinggi yang disebut dengan aliran lahar (Wahyono, 2002). Ancaman bahaya banjir lahar akan lebih berbahaya jika terjadi di daerah yang datar dan padat pemukiman. Salah satu contoh yang terjadi yaitu di Kali Putih Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Luapan banjir lahar merusak pemukiman di sekitar Kali Putih. Dampak dari banjir lahar akan lebih berbahaya jika mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas. Adanya pertumbuhan penduduk yang cepat, dapat mengakibatkan kebutuhan tempat tinggal juga semakin meningkat. Bangunan pemukiman merupakan salah satu elemen risiko yang penting untuk menentukan tingkat risiko bencana banjir lahar. Pengembangan wilayah pemukiman di daerah penelitian perlu dievaluasi setelah kejadian banjir lahar, karena kebutuhan akan tempat tinggal juga semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Diperlukan suatu alokasi ruang pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana untuk pengembangan pemukiman yang aman dari bahaya banjir lahar. Banjir lahar akan terus berlangsung dari waktu ke waktu dan mungkin akan terjadi di lokasi yang sama. Alokasi ruang pembangunan diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pengurangan risiko bencana. I.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengevaluasi pengembangan wilayah pemukiman berbasis analisis risiko banjir lahar di daerah Kali Putih pasca erupsi Gunungapi Merapi (2010). Berikut ini beberapa tujuan spesifik yang akan dicapai : a. Mengetahui tingkat bahaya banjir lahar pasca erupsi Gunungapi Merapi (tahun 2010 – 2011). b. Mengetahui penilaian elemen risiko, khususnya bangunan pemukiman. c. Mengetahui upaya mitigasi (struktural dan non struktural) terhadap bencana banjir lahar.
d. Menganalisis pengalokasian ruang pembangunan pengurangan risiko bencana banjir lahar.
pemukiman
berbasis
Tabel 1.1. Tujuan Penelitian dan Pertanyaan Penelitian No 1
Tujuan Penelitian Mengetahui daerah bahaya banjir lahar pasca erupsi Gunungapi Merapi (tahun 2010 – 2011)
Pertanyaan Penelitian a. Mengidentifikasi area bahaya banjir lahar. b. Mengetahui luas area terdampak bahaya banjir lahar.
2
Mengetahui penilaian elemen risiko, khususnya bangunan pemukiman
a.
Mengidentifikasi kerentanan bangunan pemukiman terhadap banjir lahar berdasarkan persepsi masyarakat dan survei lapangan. b. Membuat klasifikasi tingkat risiko banjir lahar berdasarkan area terdampak bahaya banjir lahar dan elemen risiko bangunan pemukiman. c. Menghitung nilai kerusakan bangunan (dalam rupiah) di daerah penelitian
3
Mengetahui upaya mitigasi (struktural dan non struktural) terhadap bencana banjir lahar
a. b.
c.
4
Menganalisis pengalokasian ruang pembangunan pemukiman berbasis pengurangan risiko bencana banjir lahar
a. b. c.
Mengevaluasi lokasi pembangunan pengendali sedimen (tanggul dan cek dam). Mengevaluasi pemanfaatan pembangunan pengendali sedimen untuk mengurangi risiko banjir lahar. Mengetahui upaya mitigasi non struktural yang dilakukan penduduk. Mengkaji revisi tata ruang di daerah penelitian setelah kejadian banjir lahar. Mengkaji adanya unsur pengurangan risiko bencana pada tata ruang. Mengkaji evaluasi pengembangan wilayah pemukiman setelah kejadian banjir lahar.
II. METODE PENELITIAN DAN ANALISI DATA II. II.1.
METODE PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Rancangan Penelitian
Penelitian ini, secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap survei lapangan, serta tahap pengolahan dan analisis. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling. Beberapa pertimbangan untuk menentukan sampel, diantaranya yaitu penentuan daerah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana saja yang di teliti. Teknik pengambilan sampel untuk wawancara dengan penduduk, dilakukan dengan metode stratified sampling. Pada tahap survei lapangan dilakukan beberapa kegiatan, seperti tracking area terdampak luapan lahar (pengukuran existing luapan lahar) menggunakan GPS Robotic, pengukuran cross section sungai menggunakan Lacer Ace serta wawancara terhadap penduduk. Pada tahap
pengolahan dan analisis data mencakup analisis deskriptif kuantitatif yang terkait dengan, analisis risiko, nilai kerugian bangunan pemukiman dalam rupiah, upaya mitigasi struktural dan non struktural serta evaluasi pengembangan wilayah pemukiman pasca banjir lahar. Gambaran umum cara penelitian dijabarkan secara singkat pada diagram alir penelitian (Gambar 2.1). II.2.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai dengan melakukan telaah pustaka mengenai penelitian terkait serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis risiko banjir lahar, evaluasi pengembangan wilayah pemukiman dan upaya mitigasi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan survei lapangan dan wawancara. Kuesioner diberikan kepada masyarkat berdasarkan tingkat kerentanan bangunan pemukiman di daerah penelitian, sebanyak 200 kuesioner. Untuk upaya mitigasi non struktural, juga dilakukan wawancara kepada aparat pemerintah desa, sebanyak 30 kuesioner. II.3.
Identifikasi Area Bahaya Banjir Lahar
Penentuan daerah bahaya dilakukan dengan pengukuran cross section sungai, tracking area terdampak (pengukuran existing lahar) dan interpolasi kontur atau morfologi sungai di daerah penelitian. Karakteristik aliran lahar yang terdiri dari campuran material vulkanik berukuran lempung sampai bongkah, mempunyai kekentalan yang cukup tinggi serta mengalir sangat cepat, dapat menghantam berbagai macam penghalang yang ada di depannya. Diperlukan pengukuran mengenai luas penampang sungai serta interpolasi kontur untuk mengidentifikasi daerah bahaya banjir lahar. Luas penampang sungai akan mempengaruhi volume maksimum yang dapat ditampung sungai serta dapat mempengaruhi aliran luapan lahar. Semakin besar luas penampang sungai, maka semakin kecil potensi luapan aliran lahar, tetapi semakin kecil luas penampang sungai maka akan semakin besar potensi luapan aliran lahar. Luas penampang sungai dapat diukur dengan membuat cross section atau penampang melintang. Pengukuran cross section diperoleh dari analisis topografi kontur dan citra serta dengan melakukan pengukuran lapangan menggunakan Lacer ace. Dengan mengasumsikan volume setengah tabung, maka diperoleh skenario volume dari tiap penampang melintang. Kemudian dilakukan interpolasi kontur dengan melihat arah luapan, dari penampang sungainya. Luapan diprediksi akan menuju arah kontur yang lebih rendah dari sekitarnya. Pengukuran luas penampang sungai diperoleh dari analisis topografi peta kontur dan citra, kemudian diplot dengan skala tertentu. Perhitungan luas menggunakan metode perhitungan grid serta luasan bentuk penampang sungai. Selanjutnya dari hasil pengukuran lapangan dan dari hasil pengolahan bisa dibuat peta bahaya lahar.
Gambar 2.2 memberikan penjelasan mengenai asumsi perhitungan volume dari perhitungan cross section.
Luas pe ampang sungai akan mempengaruhi volume maksimum yang dapat ditampung sungai serta dapat mempengaruhi aliran luapan lahar. Semakin besar luas penampang sungai, maka semakin kecil potensi luapan aliran lahar, tetapi semakin kecil luas penampang sungai maka akan semakin besar potensi luapan aliran lahar. Luas penampang sungai dapat diukur dengan membuat cross section atau penampang melintang. Pengukuran cross section diperoleh dari analisis topografi kontur dan citra serta dengan melakukan pengukuran lapangan menggunakan Lacer ace. Dengan mengasumsikan volume setengah tabung, maka diperoleh skenario vulome dari tiap penampang melintang. Kemudian dilakukan interpolasi kontur dengan melihat arah luapan, dari penampang sungainya. Luapan diprediksi akan menuju arah kontur yang lebih rendah dari sekitarnya. Pengukuran luas penampang sungai diperoleh dari analisis topografi peta kontur dan citra, kemudian diplot dengan skala tertentu. Perhitungan luas menggunakan metode perhitungan grid serta luasan bentuk penampang sungai. Selanjutnya dari hasil pengukuran lapangan dan dari hasil pengolahan bisa dibuat peta bahaya lahar.
Gambar 2.1. Diagram Alir Penelitian
Perhitungan Rumus Volume : =
x L (Jarak)
Keterangan : L1 : Luas Penampang 1 L2 : Luas Penampang 2
Gambar 2.2. Asumsi Perhitungan Volume Dari Perhitungan
L : Jarak Antar Penampang
II.4.
Cross Section Identifikasi Kerentanan Bangunan Berdasarkan Survei dan Persepsi Masyarakat
Kerentanan bangunan akibat bahaya banjir lahar, dapat dianalisis dengan menentukan jumlah bangunan (number of building). Untuk menentukan jumlah bangunan, digunakan citra Ikonos dengan resolusi spasial 4 meter. Langkah selanjutnya yaitu melakukan survei lapangan untuk mengetahui jenis bangunan yang telah di deliniasi. Jika hanya menggunkan citra satelit saja, masih bisa terjadi kekeliruan dalam interpretasi jenis bangunan. Oleh karena itu, survei lapangan dan melakukan plotting dengan menggunakan GPS, akan membantu dalam melakukan analisis. Setelah melakukan deliniasi dan cek lapangan, maka dapat diketahui jumlah bangunan yang terdapat di daerah penelitian. Berikut ini rumus yang digunakan untuk mencari kepadatan lahan terbangun : Kepadatan Lahan Terbangun
=
……… (1)
Keterangan : Luas Total Area = merupakan luas blok pemukiman. Berdasarkan hasil perhitungan lahan terbangun, maka ditentukan interval kelas kepadatan Kepadatan rumah per wilayah permukiman Interval Kelas Kepadatan Lahan Terbangun = Keterangan : N max : Nilai Kepadatan Lahan Terbangun Maksimum N min : Nilai Kepadatan Lahan Terbangun Minimum
... (2)
Pengaruh banjir lahar dingin terhadap elemen berisiko bangunan, dapat dihitung dengan mengetahui hubungan antara variabel pengaruh (banjir lahar) dan variabel terpengaruh (bangunan). Analisis dilakukan dengan menggunakan pengolahan data statistik (uji statistik). Teknik analisa yang digunakan yaitu korelasi product moment, dengan rumus : Rxy =
…………………………(3) (Sutrisno Hadi, 1996)
Keterangan : rxy : angka indek korelasi „r‟ product moment 2 x : jumlah deviasi skor X setelah terlebih dahulu dikuadratkan (persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan pemukiman) 2 y : jumlah deviasi skor Y setelah terlebih dahulu dikuadratkan (kerentanan terhadap banjir lahar) II.5.
Penilaian Kerugian Bangunan Dalam Rupiah
Tingkat kerusakan bangunan, juga dapat dihitung dengan mengetahui seberapa besar nilai atau harga bangunan yang rusak. Sehingga dapat diperkirakan seberapa besar kerugian yang dialami oleh korban bencana di daerah penelitian. Data tingkat kerusakan kemudian dikonversi dengan data sekunder standar harga bangunan setiap meter persegi. Setiap unit bangunan mempunyai material yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tingkat kerugiannya juga berbeda. Untuk menentukan standar harga yang akan digunakan, maka dilakukan survei harga dari intansi terkait (PU dan Indeks Harga Kabupaten Magelang), kontraktor serta masyarakat. Masing-masing mempunyai standar harga yang berbeda-beda. II.6.
Identifikasi Tingkat Risiko
Penentuan tingkat risiko bahaya banjir lahar, didasarkan pada dua faktor, yaitu (1) zonasi kawasan bahaya terhadap banjir lahar dan (2) kerentanan bangunan pemukiman, yang dirumuskan dengan formula sebagai berikut : Tingkat Risiko = H x V …………….. (4) Keterangan : H = zonasi bahaya banjir lahar (bahaya atau hazard) V = kerentanan bangunan pemukiman (kerentanan atau vulnerability) Dengan menggunkan rumus tingkat risiko, maka akan diperoleh tingkat risiko bahaya banjir lahar. Selanjutnya hasil tersebut diberi harkat atau skoring, agar diperoleh tingkatan risikonya. Untuk menentukan tingkat risiko bahaya banjir lahar, dilakukan dengan melakukan pembobotan pada parameter bahaya (hazard) dan parameter kerentanan (vulnerability).
Tabel 2.1. Kriteria Tingkat Risiko
(BAKORNAS Penanggulangan Bencana, 2007 dengan modifikasi) II.7.
Analisis Alokasi Ruang Pembangunan Berbasis Pengurangan Risiko Bencana
Pemerintah daerah perlu memanfaatkan kesadaran masyarakat, Setelah bencana alam terjadi. Kondisi masyarakat yang sedang fokus terhadap kejadin bencana, serta memikirkan cara bagaimana agar bencana alam yang telah terjadi, tidak menimbulkan suatu bencana yang baru. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan menyesuaikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang ada, dan menambahkan aspek pengetahuan tentang bencana dalam rencana tata ruang. Informasi tentang bencana alam (dan juga bencana karena hasil perbuatan manusia) perlu dipetakan. Pemetaan bahaya dilakukan untuk kawasan yang sudah terbangun dan yang direncanakan untuk dibangun di kemudian hari. Wilayah yang sudah terbangun, peta bahaya perlu dibuat untuk menunjukkan wilayah yang struktur bangunan dan prasarananya perlu diperkuat agar tahan terhadap bencana. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1. Kondisi Kali Putih Pasca Erupsi Merapi dan Banjir Lahar Tahun 2010 – 2011 Akibat letusan Gunungapi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 (Oktober – November), material yang terdapat di puncak Gunungapi Merapi masih sekitar 100 juta m3. (http://www.vsi.esdm.go.id). Banjir lahar yang akan menghantam wilayah Magelang pada musim penghujan (selama tahun 2011-2012) diprediksi akan lebih dahsyat daripada tahun sebelumnya (2010-2011). Dimungkinkan material lahar yang mengalir ke wilayah Magelang akan semakin banyak dari pada musim hujan (2010-2011). Beberapa infrastruktur sungai masih dalam kondisi rusak. Sabo dam yang berada di hulu Kali Putih masih belum diperbaiki. Kondisi tersebut akan meningkatkan kecepatan laju aliran lahar dari puncak menuju wilayah hilir. Saat ini, kondisi 12 cek DAM yang berada di sungai-sungai
yang berhulu di Gunungapi Merapi masih menyimpan material vulkanik. Dengan demikian, material yang akan menjadi banjir lahar, tidak hanya berasal dari lereng Gunungapi Merapi, tetapi juga dari cek dam tersebut. Jika terjadi banjir lahar, maka material yang berada di cek dam tersebut akan terbawa aliran lahar. Selain itu material lahar juga akan semakin banyak, karena saat melintasi sungai, arus aliran lahar akan terus menggerus dinding sungai yang telah terisi tumpukan material (http://www.tribunnews.com). III.2. Area Bahaya Banjir Lahar Pasca Erupsi Gunungapi Merapi (Tahun 2010 – 2011) di Daerah Penelitian Penentuan daerah bahaya dilakukan dengan pengukuran cross section sungai, tracking area terdampak (pengukuran existing luapan lahar) dan interpolasi kontur atau morfologi sungai di daerah penelitian. Karakteristik aliran lahar yang terdiri dari campuran material vulkanik berukuran lempung sampai bongkah, mempunyai kekentalan yang cukup tinggi serta mengalir sangat cepat, dapat menghantam berbagai macam penghalang yang ada di depannya. Gambar 3.1 menunjukkan aliran luapan lahar yang keluar dari jalur sungai utama.
Gambar 3.1. . Peta Aliran Luapan Lahar di Daerah Penelitian
Gambar 3.2. Peta Area Terdampak Banjir Lahar (Pengukuran Existing Luapan Lahar) Di Daerah Penelitian
Gambar 3.3. Peta Tingkat Bahaya Banjir Lahar Daerah Penelitian
Tingkat bahaya banjir lahar di sepanjang aliran Kali Putih, dapat digunakan untuk melakukan analisis mengenai kondisi bangunan pemukiman di daerah penelitian. Informasi mengenai jumlah bangunan yang berada di daerah bahaya banjir lahar, dapat dilihat pada Tabel 3.1. Secara keseluruhan, jumlah bangunan yang tidak berbahaya sebesar 68% dari total bangunan yang ada di daerah penelitian. Sedangkan bangunan yang berada pada tingkat bahya tinggi berjumlah 1.880 (9%).Sebagian besar bangunan berada di lereng datar atau hampir datar. Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 menunjukkan area terdampak banjir lahar dan daerah bahaya banjir lahar di daerah penelitian. Daerah yang tidak berbahaya berada jauh dari sumber bencana. Berdasarkan kondisi di lapangan, bangunan yang terdapat di daerah tidak bahaya cukup padat. Sehingga persentasenya paling tinggi. Daerah bahaya tinggi, dimungkinkan dapat meluas, jika banjir lahar terjadi dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan adanya peta tingkat bahaya di daerah penelitian, maka dapat digunakan untuk menentukan upaya mitigasi yang akan dilakukan untuk meminimalisir dampak dari bencana banjir lahar. Tabel 3.1. Jumlah dan Persentase Bangunan di Daerah Bahaya Banjir Lahar No 1 2 3 4
Tingkat Bahaya Tidak Bahaya Rendah Sedang Tinggi
Jumlah Bangunan 14350 2677 2214 1880 21121
Persentase 68 13 10 9 100
Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2011 Berdasarkan peta bahaya banjir lahar di daerah penelitian (Gambar 3.3.), tingkat bahaya banjir lahar diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu tidak berbahaya, rendah, sedang dan tinggi. Tingkat bahaya banjir lahar mempunyai luas seperti yang terdapat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Luas Daerah Bahaya Banjir Lahar Tingkat Bahaya Banjir Lahar
3175
Persentase (%) 70
Rendah
458
10
Sedang
494
11
Tinggi
407
9
4536
100
Tidak Berbahaya
Total
Luas (Ha)
Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2011 Daerah tingkat bahaya tinggi, mempunyai luasan yang paling rendah dibandingkan dengan tingkatan bahaya yang lainnya, karena daerah tingkat bahaya tinggi dekat dengan sumber bencana. Begitu juga dengan perhitungan asumsi volume untuk menentukan tingkat bahaya banjir lahar. Daerah tingkat
bahaya tinggi mempunyai asumsi volume yang lebih kecil. Karena daya tampung volume kecil, jika terjadi banjir lahar dengan volume yang melebihi daya tampung sungai, maka akan meluap dan merusak pemukiman di sekitra sungai. III.2. Penilaian Elemen Risiko, Khususnya Bangunan Pemukiman Bangunan di Daerah Penelitian III.2.1. Identifikasi Kerentanan Bangunan Pemukiman Terhadap Banjir Lahar Berdasarkan Survey Lapangan dan Persepsi Masyarakat Bangunan pemukiman di daerah penelitian, merupakan salah satu elemen risiko (element at risk) yang digunakan untuk menganalisis risiko banjir lahar terhahap pemukiman. Kerentanan fisik merupakan potensi dampak fisik dari lingkungan dan populasi. Berikut ini beberapa parameter fisik yang digunakan untuk menentukan keretanan banjir lahar terhadap bangunan pemukiman yang ada di daerah penelitian : 1. Interpolasi Kontur Dengan Memperhatikan Jarak Dari Sungai (Dengan Pengukuran Cross Section) Jarak dari sungai akan mempengaruhi pengaruh bahaya banjir lahar terhadap lingkungan di sekitarnya. Jarak dari sungai tidak menggunakan analisis buffer, tetapi menggunakan jarak dari pengukuran cross section dan interpolasi kontur. Sehingga, lokasi bangunan pemukiman dapat diinterpretasi dengan menggunakan sumber bahaya (sungai yang mempunyai potensi banjir lahar) akan lebih rentan, jika dibandingkan dengan bangunan pemukiman yang berada jauh dari sumber bencana. Karena dampak yang ditimbulkan akan lebih besar. 2. Kepadatan pemukiman Bangunan pemukiman merupakan salah satu elemen risiko yang rentan terhadap banjir lahar. Semakin padat penduduk dan atau pemukiman di suatu wilayah, maka akan semkain rentan terhadap bahaya. Semakin padat penduduk dan pemukiman, maka dapat dimungkinkan banyak rumah yang hanyut terbawa aliran lahar, serta dapat juga menimbulkan korban yang semakin banyak. Karena kepadatan pemukiman mempunyai korelasi positif dengan kepadatan penduduk. Oleh karena itu, parameter kepadatan pemukiman dapat digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan suatu wilayah. 3. Kondisi lereng Kondisi lereng yang datar atau hampir datar, akan lebih rentan terhadap aliran lahar. Karena lairan lahar cenderung akan meluap menuju wilayah yang lebih rendah. Terdapat tiga zonasi dalam proses terjadinya lahar hujan, yaitu zona produksi, transportasi dan sedimentasi. Pada zona produksi material berada pada lereng curam (dengan kemiringan >20%). Pada zona produksi, material mengalami longsoran karena gaya gravitasi. Saat material berada pada zona
transportasi (lereng landai), material akan meluncur dengan kecepatan tinggi dan energi yang besar, apapun yang menghalangi laju aliran lahar akan dihantam. Pada zona sedimentasi, semua material yang terbawa aliran lahar akan menghantam wilayah yang dilaluinya. Karena mempunyai kekuatan energi yang cukup besar, maka aliran lahar dapat merusak bangunan yang ada di sekitarnya. Kondisi tersebut yang terjadi di sepanjang Kali Putih. Secara keseluruhan bangunan yang berada pada tingkat kerentanan tinggi berjumlah 2.348 bangunan (11%) dari total bangunan yang ada di daerah penelitian. Bangunan yang berada pada tingkat kerentanan tinggi jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah bangunan yang ada di daerah penelitian (Tabel 3.3.). Pola pemukiman di daerah penelitian cenderung menyebar di seluruh wilayah daerah penelitian. Sebagian besar bangunan yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi berada di sepanjang aliran Kali Putih. Tabel 3.3. Persentase Jumlah Bangunan Pemukiman Berdasarkan Tingkat Kerentanan di Daerah Penelitian No
Tingkat Kerentanan
Jumlah Bangunan
Persentase (%)
1
Rendah
8958
42
2
Sedang
9815
47
3
Tinggi
2348
11
21121
100
Jumlah
Sumber : Hasil Pengolahan dan Perhitungan, 2011 Berdasarkan hasil perhitungan korelasi perhitungan statistik, hasilnya kurang signifikan. Karena nilai korelasinya sangat rendah atau sangat lemah. Dapat dimungkinkan bahwa, masih ada variabel lain yang belum diteliti dan kemungkinan mempunyai korelasi yang lebih besar. Hal ini bisa dijadikan saran untuk penelitian selanjutnya. Hasil nilai indeks korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.4. Secara keseluruhan korelasi dari ketiga variabel lemah. Persepsi masyarakat masih lemah terhadap bahaya banjir lahar di daerah penelitian. Sehingga diperlukan upaya mitigasi untuk meminimalisir dampak dari bencana banjir lahar. III.3. Klasifikasi Tingkat Risiko Banjir Lahar Berdasarkan Tingkat Bahaya Banjir Lahar dan Elemen Risiko Bangunan Pemukiman di Daerah Penelitian Analisa tingkat risiko di daerah penelitian, menggunakan risk index atau matrik risiko. Penentuan tingkat risiko banjir lahar menggunakan aspek fisik dengan elemen risiko berupa bangunan pemukiman, karena bangunan pemukiman merupakan salah satu elemen yang terkena dampak secara langsung apabila terjadi bencana banjir lahar. Persebaran jumlah sampel bangunan yang digunakan
untuk mengetahui tingkat risiko banjir lahar di daerah penelitian, dapat dilihat pada Gambar 3.4. Persebaran tingkat risiko di daerah penelitian cukup variatif. Berdasarkan Tabel 3.5, dapat dilihat bahwa pada umumnya, bangunan pemukiman di daerah penelitian tidak berisiko terhadap banjir lahar (68%). Karena daerah penelitian meliputi desa-desa yang berada di sepanjang aliran Kali Putih. Sehingga analisis dilakukan secara keseluruhan. Meskipun demikian, terdapat 13% bangunan pemukiman yang mempunyai risiko rendah, 8% termasuk ke dalam risiko sedang dan 11% merupakan tingkat risiko tinggi. Tabel 3.4. Nilai Indeks Korelasi No
persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan pemukiman (X)
Banjir Lahar (Y)
Indeks Korelasi
1
persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan pemukiman rendah (X1)
Banjir Lahar (Y)
rx1y
0.237
0.396
Korelasi Lemah
2
persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan pemukiman sedang (X2)
Banjir Lahar (Y)
rx2y
0.1107
0.297
Korelasi Lemah
3
persepsi masyarakat tentang kerentanan bangunan pemukiman tinggi (X3)
Banjir Lahar (Y)
rx3y
0.111
0.176
Korelasi Lemah
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Nilai r-hitung
Nilai r tabel
Hasil
Sumber : Hasil Wawancara, 2011 dan Hasil Pengolahan, 2012 Tabel 3.5. Jumlah dan Persentase Tingkat Risiko Bangunan di Daerah Penelitian No
Tingkat Risiko
1
Tidak Berisiko
2
Jumlah Bangunan
Persentase (%)
14.350
68
Rendah
2.677
13
3
Sedang
1.682
8
4
Tinggi
2.412
11
Total
21.121
100
Sumber : Hasil Pengolahan dan Perhitung III.3.1. Nilai Kerugian Bangunan (Dalam Rupiah) di Daerah Penelitian Penilaian kerugian bangunan permanen, semi permanen dan non permanen mempunyai tingkatan sesuai dengan perhitungan harganya. Seperti pada Tabel
3.6, 3.7 dan 3.8, terdapat tingkatan penilaian tingkat kerugian pada masing-masing jenis bangunan (permanen, semi permanen dan non permanen). Pada rumah permanen, nilai kerugian paling rendah yaitu sebesar Rp 52.000.000,00 dan nilai
kerugian paling tinggi yaitu sebesar Rp 104.000.000,00. Pada kondisi
Gambar 3.4. Peta Tingkat Risiko Banjir Lahar di Daerah Penelitian rumah semi permanen, nilai kerugian terendah yaitu sebesar Rp 24,000,000,00 dan paling tinggi sebesar Rp 48.000.000,00. Tingkat kerugian rumah non permanen, paling rendah yaitu Rp 9.430.000,00 dan paling tinggi sebesar Rp 18.860.000,00. Tabel 3.6. Tingkat Kerugian Bangunan Permanen No 1 2 3
Tingkat Kerugian Rendah Sedang Tinggi
Nominal (Dalam Rupiah) < Rp 52.000.000,00 Rp 52.000.000,00 - Rp 104.000.000,00 > Rp 104.000.000,00
Sumber : Hasil Perhitungan, 2011 Tabel 3.7. Tingkat Kerugian Bangunan Semi Permanen No 1 2 3
Tingkat Kerugian Rendah Sedang Tinggi
Nominal (Dalam Rupiah) < Rp 24.000.000,00 Rp 24.000.000,00 – Rp 48.000.000,00 > Rp 48.000.000,00
Sumber : Hasil Perhitungan, 2011 Tabel 3.8. Tingkat Kerugian Bangunan Non Permanen No 1 2 3
Tingkat Kerugian Rendah Sedang Tinggi
Nominal (Dalam Rupiah) < Rp 9.430.000,00 Rp 9.430.000,00 – Rp 18.860.000,00 > Rp 18.860.000,00
Sumber : Hasil Perhitungan, 2011
III.4. Mitigasi (Struktural Dan Non Struktural) Terhadap Bencana Banjir Lahar Di Daerah Penelitian Bangunan pengendali sedimen yang berupa Sabo dam dan tanggul sungai perlu di evaluasi untuk mengurangi dampak dari risiko banjir lahar di daerah penelitian. Jika dilihat dari proses terjadinya lahar yang terbagi menjadi tiga zona (produksi, transportasi dan sedimentasi) maka seharusnya bangunan Sabo dam sudah sesuai dibangun pada ketiga zona tersebut. Tetapi, kondisi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Karena kekuatan aliran banjir lahar yang sangat besar, bangunan Sabo dam justru jebol dan semakin membuat aliran menjadi semakin besar. Diperlukan perbaikan dan perencanaan ulang untuk memperbaiki kondisi bangunan sabo dam di daerah penelitian. Kondisi ketinggian juga sudah berubah. Bangunan sabo mempunyai pengaruh besar untuk mengendalikan sedimen. Dalam proses pembangunan sabo, terdapat beberapa fenomena yang tidak diperkirakan pada saat perencanaannya. Oleh karena itu diperlukan pekerjaan konstruksi yang sesuai dengan kondisi sungai yang ada di lapangan. Menurut Master Plan Pembangunan Sabo, skala dan lokasi fasilitas bangunan sabo telah direncanakan secara efektif selama 50 tahun. Berdasarkan aturan dan rencana yang telah dibuat, penggunaan bangunan sabo dapat digunakan untuk saluran irigasi. Berdasarkan ketentuan pembangunan bangunan sabo, maka dapat diketahui syarat yang harus dipenuhi untuk menetukan lokasi bangunan sabo. Jika dikorelasikan dengan persebaran bangunan pemukiman yang ada di daerah penelitian, maka bangunan sabo memang sudah diperhitungakan untuk melindungi kawasan pemukiman yang terdapat di daerah penelitian. Namun kondisi yang terjadi saat ini, aliran lahar telah meluap ke pemukiman penduduk. Dengan demikian, diperlukan second opinion atau lokasi alternatif pembangunan sabo dam. Second opinion tersebut, perlu mempertimbangkan jumlah material yang ada di daerah hulu serta kondisi lereng dan letaknya terhadap pemukiman. Jika diperlukan pembangunan lokasi sabo dam yang baru, sebaiknya tetap menggunakan Master Plan Pembangunan Sabo yang sudah ada, tetapi perlu diperbaiki dan di evaluasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi dampak banjir lahar yang ada di daerah penelitian. Upaya mitigasi non struktural lebih efektif jika dilakukan dengan cara memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap warga masyarakat. Sebaiknya pemerintah setempat melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat dan aparat pemerintah desa. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk berdiskusi serta menampung usulan dari masyarakat. Agar masyarakat semakin tanggap terhadap bencana yang terjadi di sekitar mereka, khususnya bencana banjir lahar di sepanjang aliran Kali Putih. Pemasangan poster atau spanduk, sebaiknya perlu ditambah dengan penjelasan dari pemerintah setempat. Jika hanya
dipasang di beberapa tempat strategis, namun tidak dibaca serta dipahami secara seksama, upaya tersebut kurang maksimal. III.5. Pengalokasian Ruang Pembangunan Pemukiman Berbasis Pengurangan Risiko Bencana Banjir Lahar di Daerah Penelitian Pasca bencana erupsi Gunungapi Merapi (2010) dan bencana banjir lahar khususnya, rencana dan pola pemanfaatan ruang yang relatif aman dari kemungkinan bencana yang sama telah disiapkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Saat ini, pemerintah sedang dalam tahap penyusunan revisi mengenai RTRW Kabupaten Magelang 2010 – 2030 yang tercantum dalam Peraturan daerah (Perda) No 5 Tahun 2011. Rencana-rencana dan pembangunan tata ruang tersebut mengutamakan terjaminnya keterikatan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, dan pengawasan serta masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tulisan dalam penyusunan perencanaan pembangunan melalui penjaringan aspirasi dari bawah. Rencana dan pola pemanfaatan ruang pasca bencana di Kabupaten Magelang baik secara makro maupun mikro tetap mengacu kepada kaidah pemanfaatan ruang yaitu pemanfaatan ruang bagi kawasan budaya dan kawasan non budidaya dan ditunjang dengan pemanfaatan ruang mitigasi bencana alam. Pola pemanfaatan ruang yang terjadi di Kabupaten Magelang, khususnya di sepanjang aliran Kali Putih dapat dilihat berdasarkan berkembangnya kawasan permukiman yang terjadi di beberapa kawasan yang terkena dampak bencana atau mengalami kerusakan fisik. Perkembangan kawasan permukiman dapat dilihat dari peta blok bangunan yang dihasilkan. Daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi menjadi fokus utama dalam perencanaan tata ruangnya. Terutama kalau daerah tersebut mempunyai kepadatan penduduk tinggi dan terletak pada daerah bahaya. Konsekuensinya apabila perencanaan yang sudah ada tidak segera terlaksana dikarenakan belum selesainya pendataan tata batas persil kepemilikan perorangan, hancurnya kawasan-kawasan budidaya pertanian dan perikanan serta kawasan pariwisata, maka akan mengakibatkan perubahan pemanfaatan lahan yang kurang terkontrol, seperti yang terjadi pada kawasan-kawasan hunian sementara. Dapat dilihat di daerah penelitian, hunian sementara atau huntara masih terletak di sekitar daerah bahaya banjir lahar. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Lokasi Huntara (Hunian Sementara) di Daerah Penelitian Penataan ruang kawasan bahaya gunungapi dalam hal ini banjir lahar lebih dititikberatkan kepada upaya memelihara dan meningkatkan kualitas ruang melalui upaya peningkatan kelestarian dan keseimbangan lingkungan dengan lebih memperhatikan azas pembangunan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan sosial ekonomi pada zona-zona dalam kawasan berpotensi bencana lebih bersifat lokal, sehingga penataan ruangnya lebih diprioritaskan pada pengembangan sistem internal kawasan/zona yang bersangkutan dengan tetap mempertahankan hubungan fungsional dengan sistem wilayah kabupaten/kota dan/atau provinsi. Sistem internal kawasan/zona dalam hal ini adalah struktur ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal kawasan/zona yang bersangkutan. Pengembangan kawasan permukiman mendapatkan prioritas dalam menentukan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan permukiman dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan penduduk dan menepis kecenderungan pemanfaatan lahan yang hanya memusat pada kantong-kantong permukiman yang telah ada. Akibatnya, wilayah perdesaan sulit berkembang karena jauh dari jangkauan sarana dan prasarana yang memadai. Pasca bencana banjir lahar, sebenarnya perlu dilakukan evaluasi untuk pembangunan permukiman dengan memperhatikan beberapa kriteria antara lain kriteria fisik. Kriteria fisik yang dibutuhkan untuk pembangunan kawasan permukiman adalah: Kemiringan antara 0-15% atau lebih; Erodibilitas baik dan bebas banjir atau air genangan. Berdasarkan tingkat bahaya, peta tingkat kerentanan dan peta tingkat risiko yang sudah dihasilkan bisa diketahui dimana sebenarnya lokasi paling aman untuk dibangun permukiman. Lokasi yang aman bagi pemukiman, seharusnya memanfaatkan lahan yang sesuai dengan kriteria pemukiman yang aman dan sesuai tata ruang. Terdapat beberapa desa yang berada di daerah tidak berisiko dan tidak berbahaya, yaitu desa Bringin, Mranggen, Ngablak, Ngargosokam Polengan, Tersangede. Dengan mengetahui kondisi penggunaan lahan di daerah penelitian serta peta bahaya dan peta risiko yang ada di daerah penelitian, maka dapat di
ketahui arahan pemukiman yang tepat. Jika daerah dengan bahaya sedang dan rendah juga terkena dampak bahaya banjir lahar, maka sebaiknya lokasi tempat pengungsian dan alokasi pemukiman ditempatkan pada daerah yang tidak berbahaya menurut peta bahaya yang telah dibuat. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terburuk dari dampak yang akan ditimbulkan oleh bahya banjir lahar di daerah penelitian. Pola pemanfaatan ruang yang ada, sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan bahaya yang mungkin akan terulang kembali. Sebaiknya pola pemanfaatan ruang juga di dasarkan pada beberapa hal berikut ini : Terbangunnya tata laksana (good governance) yang baik. Pengendalian pemanfaatan ruang yang didasarkan kepada aspirasi ataupun berbasis masyarakat dan sinergis dengan kebijakan yang ada, Terciptanya mekanisme pengendalian (pengawasan, evaluasi dan penertiban) yang dapat diterapkan pada pemerintah, masyarakat dan stakeholder, Dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang ini, diharapkan juga masyarakat mengerti akan keterbatasan sumber daya yang ada, baik secara fisik maupun financial pemerintah (BRR NAD-Nias, 2009). IV. IV. 1.
2.
3. 4. 5.
6.
KESIMPULAN
KESIMPULAN Hasil pemetaan bahaya lahar di daerah penelitian mempunyai area yang tidak berbahaya sebesar 70%, bahaya rendah 10.11%, bahaya sedang 10.90% dan bahaya tinggi 8.99%. Penilaian kerentanan bangunan di daerah penelitian berdasarkan persepsi masyarakat menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif atau hubungan searah antara variabel bebas/X (pendapat masyarakat terhadap banjir lahar) dan variabel/Y terikat (bangunan pemukiman terhadap lahar). Jumlah bangunan pada tingkat kerentanan rendah yaitu 8.958 (42%), kerentanan sedang 9.815 (47%) dan kerentanan tinggi 2.348 (11%). Jumlah bangunan yang tidak berisiko yaitu 14.350 (68%), risiko rendah 2.677 (13%), risiko sedang 1.682 (8%) dan risiko tinggi 2,412 (11%). Perbaikan dan perencanaan ulang untuk memperbaiki kondisi bangunan sabo dam harus segera dilaksanakan, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, jika banjir lahar akan terjadi dengan kekuatan dan intensitas yang lebih besar. Rencana dan pola pemanfaataan ruang pasca bencana di Kabupaten Magelang baik secara makro maupun mikro mengacu pada kaidah pemanfaatan ruang, yaitu pemanfaatan ruang bagi kawasan budaya dan kawasan non budidaya serta ditunjang dengan pemanfaatan ruang mitigasi bencana alam.
7.
8.
Fokus utama perencanaan tata ruang terletak pada daerah dengan tingkat bahaya tinggi (Desa Jumoyo, Seloboro, Sirahan, Gulon, Blongkeng dan Plosogede), hal ini terkait dengan penetuan lokasi yang aman untuk pengembangan wilayah pemukiman. Lokasi yang aman bagi pemukiman seharusnya memanfaatkan lahan yang sesuai dengan kriteria pemukiman yang aman dan sesuai tata ruang, daerah tidak berisiko dan tingkat bahaya rendah dapat digunakan untuk alokasi ruang pengembangan wilayah pemukiman (Desa Bringin, Mranggen, Ngablak, Ngargosokam Polengan, Tersangede).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Indek Harga. PU Kabupaten Magelang. Anonim. 2010. Indeks Harga Kabupaten. Bappeda Kabupaten Magelang. BRR NAD-Nias. 2009. Penyusunan Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasca Bencana Di Provinsi NAD dan NIAS. Laporan Penelitian. NAD : PT. Citra Murni Semesta. ESDM. 2010. Sejarah Merapi. http://www.vsi.esdm.go.id Diakses pada 30 November 2011, 19.30 WIB. Kementrian Pekerjaan Umum. 2001. Supporting Report (B) Volcanic Disaster Mitigation Plan For Review Master Plan Study. Yogyakarta : Proyek Merapi Kementrian Pekerjaan Umum. Wahyono, Sri Agus. 2002. Kajian Tingkat Risiko Bahaya Vulkanik Melalui Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Lokasi Kasus Lereng Selatan Gunungapi Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Peraturan Perundang-undangan Perda No. 5 Tahun 2008. tentang Rencana Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten magelang 2008 – 2028. Perda No. 5 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang 2010 – 2030.