Evaluasi Kritis Kelemahan UU Pengadilan HAM dalam Praktek Penegakan Hak Asasi Manusia1 Asmara Nababan2
Pendahuluan Penegakan atau tepatnya perlindungan hak asasi manusia sejak tahun 1999 telah diperkuat dengan perlindungan legal melalui UU 39/1999 dan bahKejagungn mendapat perlindungan konstitusional dengan amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000. Dalam amandemen tersebut 10 pasal baru dirumuskan yang memuat pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu adalah satu hal yang sudah seharusnya bagi kejahatan berupa pelanggaran berat hak asasi manusia dibentuk pengadilan yang
khusus untuk itu, yakni:
Pengadilan Hak Asasi
Manusia ( Psl. 104, UU 39/1999) yang diatur dengan UU 26/2000.
Meskipun UU 26/2000 baru di undangkan tanggal 23 November 2003, namun penyelidikan sebagai langah pertama dalam proses peradilan hak asasi manusia telah dilakukan sejak tahun 1999 dalam kasus Timor Timur dan kasus Tanjung Priok tahun tahun 20003. Kasus Timor Timur telah selesai diadili oleh Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim pada tingkat pertama pada tanggal 5 Augustus 2003, dan kasus Tanjung Priok berkasnya telah diserahkan penuntut ke pengadilan tanggal 19 Augustus 2003. Selain itu kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura tahun 2000, akan segera diadili di Pengadilan HAM Makasar. Laporan 1
Paper untuk Workshop Merumuskan Amandemen UU Pengadilan HAM, PUSHAM UII & ELSAM, Jogyakarta, 26 Augustus 2003. 2 Direktur Eksekutif DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta. 3 Yang menjadi dasar hukum adalah Perpu 1/1999 yg kemudian diganti dgn UU 26/2000
1
penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 (TSS) yang dilakukan oleh Komnas HAM masih terkatung-katung di tangan Kejagung RI. Sementara penyelidikan lainnya oleh Komnas HAM yang masih berlangsung adalah Kasus Kerusuhan Mei 1998. Seluruh proses tersebut di atas memberi kesempatan kepada usaha untuk menarik berbagai pelajaran
menyangkut perbaikan bagi
perlindungan hak asasi manusia di masa depan, dan secara khusus
untuk
mengatasi berbagai kelemahan dalam UU 26/2000.
Tahap Penyelidik: Komnas HAM adalah satu-satunya institusi yang memulai proses prosekusi dengan melakukan penyelidikan dalam hal dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik atas kejahatan yang terjadi sebelum dan sesudah UU 26/2000 diundangkan.
Dari beberapa penyelidikan pro-justicia yang dilakukan oleh Komnas HAM maka kesulitan utama yang ditemukan dapat diuraikan sbb:
a. Penafsiran Pasal 43 UU 26/2000
Penyelidikan oleh Komnas HAM telah dua kali terhambat dalam meminta keterangan dari anggota TNI, termasuk purnawirawan, yakni dalam Kasus TSS dan Kerusuhan Mei. . Mereka menolak hadir dengan alasan bahwa proses penyelidikan oleh Komnas HAM untuk pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum UU 26/2000. Dengan mengutip Psl 43, mereka mengatakan bahwa penyelidikan baru dapat dilakukan bila Pengadilan HAM Ad hoc telah terbentuk. Alasan ini mulai dikemukakan ketika Pansus DPR Kasus TSS merekomendasikan bahwa
dalam 3 peristiwa itu tidak ada
pelanggaran berat hak asasi manusia.
DPR memang telah melampaui
kewenangannya dengan memberi pendapat yang bersifat judicial, tetapi
2
argumentasi yang dikemukakan oleh anggota TNI menolak hadir memberi keterangan untuk keperluan penyelidikan merupakan obstrtuction of justice.
Karena penyelidikan oleh Komnas HAM barulah tahap untuk mencari bukti permulaan yang cukup tentang ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( Psl 20). Sehingga bila disyaratkan dulu adanya Pengadilan HAM Ad hoc baru dapat dilakukan penyelidikan , maka Pengadilan itu bisa tak berguna, karena dalam tahap penyidikan belum tentu diperoleh bukti permulaan yang cukup tentang adanya pelanggaran berat hak asasi manusia untuk di ikuti dengan penyidikan.
Pengadilan HAM Ad hoc diusulkan oleh DPR untuk dibentuk menurut penjelasan Psl 43 “..mendasarkan pada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat..” Dugaan
ini justru baru ada bila telah ada
penyelidikan! Keputusan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc sejatinya adalah keputusan politik. Hal ini juga sejajar dengan praktek internasional dimana keputusan pembentukan pengadilan ad hoc international dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB setelah ada dugaan telah terjadinya kejahatan yang serius berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.
b. Sub-poena power
Kewenangan Komnas HAM untuk memanggil seseorang dengan upaya paksa diatur dalam Psl 95, UU 39/1999, namun penjelasan pasal ini menjelaskan, pemanggilan paksa didasarkan pada Psl 140 (1) dan (2), Psl 141 (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) atau pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura. Kedua ketentuan perundang-undangan ini bersifat perdata, dan bila yang bersangkutan tetap tidak menuruti perintah pengadilan maka kepadanya hanya dijatuhkan denda. Pada hal dalam konteks pelanggaran berat hak asasai manusia, yang diselidiki adalah kasus pidana!
Bandingkan
3
dengan sanksi yang dikenakan pada seseorang yang tidak bersedia hadir bila dipanggil oleh DPR untuk diminta keterangannya. Dalam UU Susduk DPR , mereka yang menolak memenuhi panggilan dari DPR diancam kurungan.
c. Konflik Jurisdiksi
Dalam Kasus pembunuhan kilat relawan RATA di Aceh oleh aparat keamanan, Desember 2000. Komnas HAM memutuskan akan melakukan penyelidikan sesuai dengan kewenangannya yang diatur oleh UU 26/2000 karena menduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena kasus tersebut telah selesai disidik oleh Polri dan berkasnya telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Aceh. UU 26/2000 tidak mengatur dengan jelas bila terjadi hal yang demikian, apakah Komnas HAM masih dapat melakukan penyelidikan, serta meminta pengalihan perkara dari Kejaksaan.
Komnas HAM juga tidak punya
kewenangan untuk memerintahkan pihak kepolisian untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan dalam satu perkara, bilamana Komnas HAM menduga telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia.
Tahap Penyidikan dan Penuntutan
Penyidikan perkarara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penyidik ad hoc ( Psl 21 (1,3) UU 26/2000). Psl 23 (1) menentapkan bahwa penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penuntut umum ad hoc Psl 23 (2).
4
Hasil penyidikan dan penuntutan yang sudah dapat dievaluasi adalah dalam kasus Tim-Tim yang telah selesai diperiksa di di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim.
Hasil penyidikan Kejaksaan Agung ternyata sangat berbeda dengan laporan KPP HAM4 dan laporan-laporan penyelidikan lainnya seperti International Committee of Inquiry on East Timor (CIET) dan Serious Crimes Unit of East Timor .
Lemahnya penyidikan oleh Kejaksaan Agung menunjukkan dengan jelas penyakit sistemik yang menjangkiti Kejaksaan Agung, sebagaimana yang di simpulkan dalam Final Report of the Audit of the Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia (FRAPPS) tahun 2000, antara lain menyangkut:
Kompetensi dan Akuntabilitas
Sistem Hukum Indonesia
secara tipikal tidak bekerja untuk memajukan
mereka yang punya kompetensi, karena baik jaksa maupun hakim dinilai berdasarkan ukuran subyektif yakni ”loyalitas, kejujuran dan kerjasama” bukan
keberhasilan
dalam
kualitas
keputusan
maupun
keberhasilan
5
penuntutan . Jaksa yang baik adalah yang mengikuti perintah dari atas.
Struktur birokrasi yang kompleks dari Kejaksaan Agung serta lemahnya budaya akuntabilitas, membuat amat sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas penuntutan yang gagal.
Kegagalan ini bisa
diakibatkan oleh “ persiapan yang buruk dari penuntut, keputusan yang salah dari atasannya, atau strategi yang buruk dari penuntut atau oleh atasannya”6
4
Lihat lampiran 1. FRAPPS hal 67 6 FRAPPS hal 56 5
5
Inilah salah satu persoalan yang muncul ketika Kejaksaan Agung mengumumkan tersangka kasus Tim-Tim sebanyak 19 orang, dan semua pejabat tinggi militer yang bertanggungj-awab dalam aras kebijakan tidak ada yang menjadi tersangka. Kejaksaan Agung tidak menjelaskan kepada publik tentang perbedaan yang begitu besar dengan hasil Penyelidik KPPHAM TimTim7.
Kultur Politik : Militerisasi Kejaksaan Agung & Alat Kekuasaan Politik
Struktur hirarkis yang kaku dari Kejagung, membuat pejabat bawahan tidak akan bicara kalau atasan ada, perintah datang dari atas, diskresi terbatas, prakarsa bukan sesuatu yang dihargai, sanksi bagi kesalahan dapat diubah. Aturan yang rinci, adanya persetujuan atasan atas rencana prosekusi dan seringnya penilaian membuat sempitnya kesempatan untuk diskresi di semua aras8.
Tidak boleh dilupakan bahwa Kejagung untuk puluhan tahun adalah alat untuk menegakkan kebijakan pemerintah dan tidak harus menegakkan hukum. Begitu juga Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda selama puluhan tahun dijabat oleh anggota militer, membuat istitusi ini sangat akomodatif terhadap kultur militer. Hal ini tampak, pejabat yang berpakaian ala militer, upacara ala militer, cara memberi salam ala militer dst.
Dalam struktur yang seperti itu, jaksa yang ditugaskan
sebagai penyidik
dalam prakteknya melihat ke atasannya. Sikap atasan secara langsung atau tidak langsung akan memberi tahu sejauh mana prioritas satu kasus harus disidik, dan dituntut.
7
Laporan Akhir KPP HAM Tim-Tim merekomendasikan agar diminta pertanggungjawaban dari Jenderal Wiranto, mantan Menhankam/Panglima ABRI, Letjen Johny Lumintang, Wakasad, Mayjen Zacky Anwar Makarim dan Mayjen(purn) H.R. Garnadi 8 FRAPPS hal 13, 16-17.
6
Dengan melihat kehadiran 1 atau 2 orang penuntut dalam persidangan kasuskasus Tim-Tim berhadapan dengan 10 s/d 15 pembela hukum para terdakwa, dengan jelas dapat dilihat bahwa perkara ini bukan prioritas bagi Kejagung, karena Kejagung juga melihat tanda-tanda sejauh mana pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik menyikapi perkara itu.
Dengan demikian alokasi dana juga amat kecil untuk penyidikan dan penuntutan. Pemeriksaan saksi melalui tele-conference hanya dapat diadakan karena desakan yang kuat dari luar tubuh Kejaksaan Agung, dan juga adanya pihak lain yang memberi sokongan dana untuk membiaya tele-conference itu.
Perlakuan dalam penyidikan dan penuntutan yang memperlakukan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai pidana ringan, tampak dari berbagai keadaan seperti: para tersangKejagung dan kemudian terdakwa tidak pernah di tahan9, begitu juga usaha yang minimal dalam menghadirkan saksi maupun bukti-bukti material lainnya dalam Kasus Tim-Tim.
Oleh karenanya kelemahan penyidikan dan penuntutan terutama terletak akibat dari penyakit yang sistemik dari Kejaksaan Agung, dan bukan terletak dalam kelemahan UU 26/2000.
Kelemahan yang bersifat struktural justru pada pengaturan UU 26/2000 yang meletakkan dua fungsi; penyelidikan dan penuntutan di satu institusi yang sangat hirarkis seperti Kejaksaan Agung. Dalam keadaan demikian tidak dimungkin satu hubungan antara penyidikan dan penuntutan yang bersifat check and balance.
Tentang hubungan kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung)
9
Salah seorang tersangka yang diumumkan oleh Kejagung dalam kasus ini yakni Olivia Mendoza Moruk terbunuh di Timor Barat tahun 2000, sebelum sempat diadili.
7
Dari sejak kasus Tim-Tim hubungan kerja antara Komnas HAM dengan Kejagung hampir tidak ada. Satu-satunya pertemuan antara tim penyidik Kejagung dengan Komnas HAM adalah pertemuan untuk menjelaskan bagaimana membaca data base KPP HAM Tim-Tim yang menggunakan sistem HURIDOC10. Selama penyidikan oleh Kejagung tidak pernah ada permintaan, atau diskusi
berhubungan dengan hasil penyelidikan
Komnas HAM.
Hubungan kerja yang amat menganggu terjadi dalam kasus TSS. Laporan penyelidikann Komnas HAM pada awalnya dikembalikan untuk dilakukan perbaikan terutama dalam format berita acara pemeriksaan. Setelah diperbaiki kemudian laporan diserahkan ke Kejagung. Tidak lama kemudian laporan itu dikembalikan dengan alasan baru yang belum pernah dikemukan Kejagung dalam kasus Tim-Tim, T.Priok dan Abepura yakni penyelidik ad hoc harus diambil sumpahnya. UU 26/2000 tidak mensyaratkan hal tersebut. Memang untuk penyidik ad hoc disyaratkan untuk mengangkat sumpah sebelum melakukan tugasnya ( Psl 21 (3). Permintaan Kejagung ini ditolak Komnas HAM.
Dalam kasus yang sama penyelidik ad hoc juga meminta Kejagung agar mengeluarkan perintah penyitaan berbagai dokumen dari instansi TNI dan Polri yang berhubungan dengan kasus TSS11, permintaan tersebut tidak pernah dipenuhi.
Tahap pemeriksaan di pengadilan
Berbagai persoalan yang dihadapi dalam tahap penyidikan dan penuntutan dihadapi juga selama pemeriksaan di pengadilan.
Independensi Pengadilan HAM ad hoc
dipertanyakan berhubung dengan lemahnya independensi dari semua sistem peradilan di Indonesia12.
Proses persidangan kasus Tim-Tim
di pengadilan menjadi gambaran
10
Belakangan hari saya mendapat keterangan lisan tidak resmi dari tim penyidik Kejagung, bahwa system HURIDOC tidak mereka pakai karena dianggap terlampau rumit, semua berkas laporan KPP HAM TimTim di susun ulang menurut kehendak tim penyidik. 11 Psl 19 (1. g) 12 Kesimpulan yang dibuat Special Rapporteur on Independence of Judges and Lawyers Dato Param Cumaraswamy dalam laporannya yang dibahas di sidan Komisi HAM PBB bulan April 2003; Para 81 :
8
kehendak dan komitmen politik pemerintah atau kekuasaan politik lainnya dalam menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Timor Timur tahun 1999.
Sumber Daya Pengadilan
Prioritas yang rendah dari pemerintah secara nyata tercermin dari dukungan sumber daya yang sangat kecil untuk Pengadilan HAM Ad hoc. Kebutuhan yang paling pokok dari hakim tidak tersedia seperti, ruang kantor, komputer, foto copy, kertas, staf pendukung adminitrasi apalagi staf untuk kebutuhan riset tidak ada. Bahkan honor bulanan para hakim pertama kali dibayar setelah 8 bulan persidangan berjalan. Ketentuan tentang pengangkatan hakim ad-hoc13 untuk Pengadilan HAM disamping hakim karier sebenarnya didasarkan kepada pemikiran bahwa hakim ad hoc; pertama, akan menambah berbagai pengetahuan baru berhubung dengan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional
yang dibutuhkan dalam mengadili
kejahatan
terhadap kemanusian, sebagai satu extra ordinary crime. Kedua, hakim ad hoc belum atau tidak mengidap penyakit sistemik pengadilan pada umumnya.
Dari rekruitmen hakim ad hoc ternyata hanya beberapa orang yang mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Oleh karena itu tujuan pengangkatan hakim ad hoc tidak sepenuhnya tercapai.
The independence of the judiciary is the cornerstone for the rule of law in any democratic society. The Special Rapporteur notes with extreme concern the lack of a culture of judicial independence in the country. For the first 40 years after independence, judicial was seen as an extension of executive power. This has resulted in the judiciary being plagued with corrupt practices. 13 Istilah hakim ad hoc sebenarnya tidak tepat, karena hakim yang dimaksud diangkat untuk 5 tahun ( Psl. 28(3)) bukan untuk satu perkara tertentu. Bandingkan dengan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc dan penuntut ad hoc untuk satu perkara saja.
9
Selain itu hakim karier yang ditunjuk sebagai anggota majelis hakim dalam Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim, ternyata tidak dibebaskan dari tugas-tugas mengadili perkara lain. Sehingga konsentrasi untuk mengadili kejahatan yang luar biasa itu tidak ada14.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bagaimana berbagai pertimbangan dan keputusan yang diambil oleh majelis-majleis hakim sangat berbeda dari satu perkara ke perkara lainnya. Penerapan doktrin-doktrin hukum seperti “sistematik atau meluas”, “tanggungjawab komandan” diterapkan secara berbeda , sehingga kejanggalan seperti dalam kasus pembebasan Tono Suratman berhadapan dengan penghukuman atasannya Adam Damiri dapat terjadi. Padahal kedua-duanya dituntut atas dasar tanggungjawab komandan .
Kewibawaan Pengadilan
Kewibawaan pengadilan juga direndahkan oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari ketentuan yang ada, seperti adanya pengunjung sidang yang membawa pestol ke ruang sidang. Kehadiran belasan sampai puluhan anggota TNI yang berseragam lengkap ketika terdakwa perwira tinggi TNI di periksa di dalam dan di luar ruang sidang. Belum lagi teriakan-teriakan pengunjung yang mengecam hakim atau memberi dukungan bagi terdakwa. Beberapa tindakan tersebut sebenarnya sudah merupakan contempr of the court, tapi sayangnya tidak ada tindakan yang diambil. Semua itu menunjukkan bagaimana pengadilan di intimidasi secara nyata.
Perlindungan Saksi & Korban
Kehadiran saksi korban dipersidangan yang sangat sedikit pertama-tama di sebabkan oleh persiapan yang sangat
tidak memadai dari jaksa penuntut. Saksi korban semuanya
berdiam di Timor Timur. Beberapa saksi korban menolak datang ke Jakarta karena alasan keamanan. Bahkan saksi korban yang berani datang ke Jakarta dari Timor Timur 14
Beberapa pengamat asing di persidangan Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim sangat heran akan keadaan ini, karena mereka membandingkan dengan hakim-hakim di ICTY dan ICTR yang penuh waktu hanya
10
merasakan intimidasi baik di luar ruang sidang maupun di dalam ruang sidang15. Peraturan Pemerintah yang mengatur perlindungan saksi dan korban ( Psl 34 (3)) baru dikeluarkan satu hari sebelum persidangan kasus Tim-Tim di mulai. Oleh karenanyakalaupun ada niat baik dari pemerintah- jelas tidak ada cukup waktu untuk membangun satu mekanisme operasional yang efektif bagi perlindungan saksi dan korban.
Sering terjadi Hakim memerintahkan penuntut untuk menghadirkan saksi korban, tapi penuntut selalu punya alas an untuk tidak memenuhinya16. Karena persidangan sudah harus rampung dalam 180 hari17, maka saksi lain yang diperiksa terlebih dahulu, dan saksi-saksi tersebut keterangannya justru lebih sering meringankan terdakwa, daripada memperkuat tuntutan penuntut.
Kurangnya bukti-bukti yang disampaikan penuntut dalam persidangan sering ditimpakan sebagai kesalahan dari KPP HAM Tim-Tim, padahal data-data yang dikumpulkan KPP HAM Tim-Tim amat banyak untuk mendukung pembuktian adanya kejahatan yang sistematik atau meluas yang dapat ditelusuri dari daftar peristiwa, pelaku, korban dan lain-lain. Berbagai dokumen yang menunjukkan keterhubungan TNI dengan milisi telah disebut dalam laporan KPP HAM Tim-Tim dan begitu juga berbagai dokumen yang dimiliki oleh UNTAET. Dokumen-dokumen itu sebenarnya dapat diminta oleh Kejagung sesuai dengan Memorandum of Understanding (MOU) antara UNTAET dan Jaksa Agung RI tanggal 5 April 2000, tetapi hal ini tidak pernah dilakukan.
Haruslah pula diingat
bahwa tugas Komnas HAM hanyalah sampai mengumpulkan bukti permulaan atas dugaan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia, sedangkan pengumpulan barang bukti adalah tugas penyidik yakni Kejagung.
Tentang Keputusan Pengadilan
untuk tribunal tersebut. 15 Lemahnya perlindungan saksi dan korban dikemukakan juga oleh Special Rapporteur dalam kesimpulan laporannya. Para 101. 16 Alasan yang dikemukan oleh Kejagung adalah tidak ada dana untuk mendatangkan saksi. Selain alasan itu ada keengganan yang besar bagi saksi dari Tim-Tim untuk datang ke Jakarta, baik karena alasan keamanan maupun karena ketidak-percayaan terhadap pengadilan di Indonesia. 17 Psl.31
11
Mengevaluasi pemeriksaan di persidangan memang tidak semata-mata dengan melihat keputusan persidangan: berapa yang dihukum dan berapa yang dibebaskan18. Walaupun demikian, penting mencatat dua hal dari keputusan-keputusan yang diambil oleh majaleis hakim yakni: a. Hukuman kurang dari ketentuan minimal Berbeda dengan hukuman pidana dalam KUHP maka UU 26/2000 menentukan hukuman pidana penjara minimal yakni 10 tahun19 dan 5 tahun20 bagi barang siapa yang terbukti melakukan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian. Dasar pertimbangan untuk ketentuan pidana penjara minimal ini sebenarnya didasarkan kepada sifat keluar-biasaan kejahatan tersebut. Kejahatan tersebut telah dinilai sebagai musuh semua manusia. Oleh karenanya penghukuman terdakwa yang
dijatuhi hukuman penjara dibawah ketentuan
tersebut telah menghilangkan maksud dari hukuman minimal bagi kejahatan yang luar biasa itu. Apalagi para terhukum tidak diperintahkan untuk masuk penjara, menuggu keputusan banding.
b.
Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi UU 26/2000 memberikan aturan yang sangat maju menyangkut hak korban dari kejahatan yang luar biasa itu. Pemulihan hak korban diatur dalam Psl 35, namun dalam semua perkara yang diputus, tidak ada amar keputusan yang dicantumkan oleh majelis hakim untuk memberikan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
kepada para korban.
Dari uraian di atas tampaklah jelas bahwa dari proses pengadilan kasus Tim-Tim yang berjalan sejak April 2002 hingga Augustus 2003, dapat kita simpulkan bahwa keadilan belum atau tidak dapat ditegakkan .
18
Dari 16 terdakwa hanya 6 yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. 19 Psl 36, Psl 37, Psl 40 20 Psl 38, Psl 39.
12
Penutup Persidangan kasus-kasus di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim tidaklah terlepas dari keadaan politik riel yang ada. Komitmen politik Pemerintah yang lemah
dalam
menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999, tergambar dalam proses persidangan terutama dalam menilai kualitas penyidikan dan penuntutan yang sangat lemah oleh Kejagung. Sepertinya Pemerintah telah kehilangan minat untuk memenuhi kewajiban untuk memprosekusi para penjahat kemanusian dalam kasus Tim-Tim.
Para hakim Pengadilan HAM Ad hoc memang menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Selain sumber daya yang terbatas, para hakim juga berhadapan dengan opini banyak pemimpin pemerintahan dan politik, begitu juga sebagian masyarakat umum yang melihat apa yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999, adalah ekses dari jajak pendapat, dan berbagai peristiwa yang terjadi bersifat spontan dan bersifat konflik horizontal antara pendukung integrasi dan pendukung kemerdekaan. Para terdakwa tidak jemu-jemunya menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan di Tim-Tim adalah menjalankan tugas negara, bagi kehormatan bangsa.
Penuntutan tidak menyiapkan tuntutannya dengan bukti-bukti yang kuat sehingga dapat menggambarkan dengan jelas bahwa kejahatan yang sistematis atau meluas yang terjadi di Tim-Tim hanya dapat terjadi karena adanya kebijakan aparat negara (TNI/POLRI) yang mendukung, melatih dan membiaya kelompok-kelompok milisi sehingga terjadi kejahatan terhadap kemanusian
berupa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan
paksa, perkosaan, pengungsian paksa, dan pembumi hangusan.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim yang banyak menimbulkan kritik dari para pekerja hak asasi manusia dari dalam maupun luar negeri, menggambarkan kombinasi dari ketidakmauan (unwilling) dan ketidak-mampuan (unable) negara untuk mengadili secara adil dan tidak memihak kasus kejahatan terhadap kemanusia yang terjadi di Timor Timur tahun 1999.
13
Perjuangan untuk adanya perlindungan yang efektif bagi hak asasi manusia memang masih akan memakan waktu yang panjang. Pengadilan HAM ad-hoc Tanjung Priok akan segera dimulai, kita akan mengamati dari dekat apakah akan ada perobahan ke arah perbaikan dalam proses persidangan, atau sebaliknya!
An/25.08.03
• Lampiran 1.
Pola kejahatan
Kejaksaan Agung
KPP HAM Tim-Tim
• •
• •
Pembunuhan Penganiayaan
• • •
Pembunuhan Massal Penyiksaan dan Penganiayaan Penghilangan Paksa Perbudakan seks dan perkosaan Pembumihangusan
14
• •
Pemindahan dan Pengungsian Paksa Pengrusakan dan Penghilangan Barang Bukti
Jangka waktu terjadinya Kejahatan
April 1999 dan September 1999
Januari hingga September 1999
Kasus Kejahatan
4 Kasus • Pembantaian di Gereja Liquisa • Penyerangan Gereja di Suai • Penyerangan rumah Manuel Carrascalao • Penyerangan Rumah Uskup dan Diosis Dili
16 Kasus utama, tapi tidak terbatas hanya Kasus tersebut. • Eksekusi Seketika di Bobonaro • Pembantain di Gereja Liquisa • Pembunuhan warga Kailako • Penghadangan Rombongan Manuel Gama • Penyerangan Rumah Manuel Carrascalao • Kerusuhan di Dili • Penyerangan Diosis Dili • Penyerangan Rumah Uskup Belo • Pembakaran Rumah Penduduk di Maliana • Penyerangan Gereja di Suai • Pembunuhan di Polres Maliana • Pembunuhan Sander Thoenes • Pembunuhan Rombongan Rohaniawan di Los Palos • Kekerasan Seksual (3 Kasus)
Tempat kejahatan
3 lokasi/Kejagungbupaten Suai Dili Liquisa
Di 16 Kabupaten
Pelaku
19 Tersangka
Lebih dari 100 pelaku langsung dan pengendali operasi dan pengambil kebijakan
15