Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM1 Oleh : Budi Santoso2
Dari proses peradilan HAM ad hoc Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat yang telah berlangsung hingga sekarang ini kita telah bisa menilai dan memberikan evaluasi secara lebih spesifik mengenai beberapa kelemahan yang sebenarnya sejak awal sudah menjadi perhatian dan kritik dari berbagai kalangan yang concern pada persoalan-persoalan HAM, baik dari dalam maupun dari luar seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dsb. Keputusan-keputusan Majelis Hakim Peradilan HAM Ad Hoc itu sendiri sudah bisa diprediksi akan menuai kekecewaan bagi sebagian kalangan pemerhati/aktifis HAM maupun dunia internasional sebagaimana yang sekarang terjadi, oleh karena itu usulan amandemen terhadap Undang-Undang Peradilan HAM (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000) tersebut perlu didukung. Penulis ada pada posisi yang setuju / mendukung dengan usulan amandemen itu paling tidak dengan tiga alasan mendasar, yaitu: I.
Sebagai suatu extra ordinary crimes, maka ‘perlakuan’ khusus pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat terkesan tidak tegas / tidak jelas pada Undang-Undang No. 26/2000 tersebut. Oleh karena itu, perlunya peradilan yang secara khusus beserta aturan-aturan
yang
khusus
pula,
menjadi
dasar
adanya
pengadilan khusus yang kemudian kita kenal sebagai Pengadilan HAM sekarang ini. Disampaikan pada “Workshop Merumuskan Amandemen Undang-Undang Peradilan HAM’ yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, pada tanggal 26 Agustus 2003 2 Budi Santoso, S.H., LL.M., adalah Advokat/Konsultan Hukum dan Direktur ‘Independen’ 1
1
II.
Pada delik pelanggaran HAM berat, kejahatan terhadap kemanusiaan (KTK) sebenarnya bukan hanya musuh korban an-
sich, namun musuh manusia (enemies of the human race – hostis humanis generis). Sehingga bisa dipahami bahwa konsepsi pengadilan HAM domestik adalah bagian dari proses penegakan hukum
internasional
respons/kekecewaan
secara
tidak
internasional
langsung. terhadap
Karena
itu,
keputusan-
keputusan peradilan HAM Timor Timur saat ini merupakan sesuatu yang wajar dan bukanlah sesuatu keanehan. III.
Beberapa pihak yang mempunyai otoritas dalam undang-undang tersebut seperti Hakim dan Jaksa tampak belum menunjukkan keseriusan
dalam
mengimplementasikan
Undang-undang
tersebut, sehingga seringkali terjebak pada alasan-alasan teknis yang tidak argumentatif, seperti ketika Jaksa Agung menolak penggunaan teleconference untuk pemeriksaan saksi di Timor Timur (dalam kasus KTK berupa pembunuhan yang terjadi di Gereja Ave Maria Suai – Timor Timur) dengan dalih bahwa hal itu belum diatur dalam Hukum Indonesia. Alasan itu terlalu dibuat-buat sebab pemeriksaan menggunakan sarana elektronik dan sarana khusus lain, in camera, via voice mempunyai sandaran hukum jelas yaitu Statuta Yugoslavia 1993, Statuta Rwanda 1995, dan Statuta Roma 1998, bahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat (PP HAM Berat). Sehingga seperti penulis sebutkan diatas, dasar hukum pelanggaran HAM berat mestinya tidak boleh terjebak
2
oleh ruang domestik, namun juga ruang hukum internasional, ini mengingat sifatnya yang khusus terebut. Sebenarnya, sebagai salah satu ‘buah’ reformasi yang sejak lama diperjuangkan, kehadiran Peradilan HAM cukup membawa angin segar bagi upaya penegakan HAM di tanah air, sekaligus sebagai bukti dan upaya agar kita bisa masuk kategori sebagai bangsa yang dianggap menghormati dan memberi apresiasi yang cukup pada Hak Asasi Manusia. Hal ini mengingat
track-record negara kita yang selalu terpuruk dalam hal penegakan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, ternyata pihakpihak yang berusaha menghambat/merecoki pelaksanaan yang konsisten dari UU Peradilan HAM juga tidak sedikit, mereka ada di semua sudut baik dikalangan legislatif, eksekutif/birokrasi, militer ataupun pihak yudikatif sendiri. Sebenarnya, dengan kata lain, saya hanya ingin mengatakan bahwa permasalahan atau kelemahan dari Undang-undang Peradilan HAM itu bisa terdiri dari perundang-undangannya dan aparat
pelaksana-nya sekaligus. Yang disebabkan oleh perundang-undangan adalah kelemahan atau kendala yang secara umum disebabkan pengadopsian dari instrumen-instrumen internasional yang tidak lengkap dan terdapat kesalahan dalam penerjemahannya. Hal itu dapat kita temukan dalam Undang-undang no. 26 / 2000 itu sendiri, diantaranya: -
Pertama, tidak adanya kejelasan terhadap unsur meluas (widespread),
sistematik
(systematic)
dan
maksud/motif
(intention), hal ini akan berakibat adanya berbagai macam interpretasi dan penafsiran atas pengertian diatas, sementara kalau kita lihat dalam ketentuan Statuta Roma, disana secara
3
tegas dan jelas memberikan elaborasi terhadap unsur intention tersebut.3 -
Kedua, ‘widespread or systemic attack directed against any civilian population’ dalam Statuta Roma diterjemahkan menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, padahal seharusnya
berbunyi
ditujukan
kepada
populasi
sipil
sebagaimana tersurat dalam pasal 9 UU no.26/2000. Kata “langsung” seolah-olah hanya ditujukan kepada para pelaku dilapangan saja yang dapat dikenai pasal ini, sedang para atasannya yang notabene tidak berada di lapangan seolah terhindar dari jerat pasal ini, demikian juga dengan terjemahan
population dengan istilah penduduk yang merujuk pada batasanbatasan wilayah yang dapat dipersempit target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan sebagiamana diatur dalam UU Peradilan HAM.4 Hal diatas berkaitan erat dengan ‘delik tanggung-jawab komando’ sebagaimana yang diatur di dalam pasal 42 ayat 1 yang menyatakan : “Komandan Militer atau seseorang yang secara
efektif
bertindak
sebagai
komandan
militer
dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau dibawah kekuasan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengandalian pasukan secara patut…..”. Penggunaan Lihat Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke-10, tanggal 28 Januari 2003 Lihat Human Rights Watch, Indonesia: Justice For East Timor Still Elusive, New York, February 21 2002
3 4
4
kata dapat dan bukannya kata akan
atau harus, telah
menyebabkan bahwa tanggungjawab komando dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak bersifat wajib, tapi lebih dibebankan kepada pelaku langsung di lapangan (dalam hal ini para anak buah/prajurit dilapangan).5 -
Ketiga, pada pasal 10 UU no. 26 tahun 2000 secara eksplisit dinyatakan bahwa : “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini, hukum atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana”, yang berarti bahwa hukum acara yang dipakai adalah sesuai KUHAP yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan standar dalam praktek peradilan internasional. Sebagai contoh yang paling konkrit adalah soal alat bukti, dimana di dalam KUHAP ini tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek-praktek peradilan internasional, karena pengalaman praktek peradilan internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak memakai alat-alat bukti diluar yang diatur dalam KUHAP, seperti rekaman (film atau kaset yang berisi pidato), siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kliping koran, artikel lepas/opini.6 Sedang alat bukti yang sah menurut
pasal
184
KUHAP
adalah
:
keterangan
saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, yang seringkali sangat sulit untuk dilengkapi dengan minimal dua alat bukti yang sah. Ketidaksesuaian KUHAP sebagai hukum acara proses peradilan HAM ini akan berdampak serius. Penolakan Lihat pasal 28 verse 1 (a) Rome Statutes dalam Nomi ar-Yaacov, Command Responsibility, 1 May 2003 6 Lihat progress report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke-10, tanggal 28 Januari 2003 5
5
pemeriksaan saksi melalui teleconference itu sedianya untuk meminta keterangan saksi kunci dari kasus tersebut. -
Keempat, disamping persoalan-persoalan adopsi/penerjemahan yang tidak sesuai yang penulis sebutkan diatas (lepas apakah hal itu
disengaja
atau
tidak),
terbukti
telah
menyebabkan
munculnya pengertian/penafsiran yang berbeda pada isi pasalpasal yang ada dalam UU no. 26/2000 dengan ketentuan yang ada pada Statuta Roma yang dijadikan dasar/rujukan. Tapi yang tidak kalah penting adalah tidak adanya/tidak dicantumkannya apa yang disebut sebagai element of crimes di dalam UU Peradilan HAM kita. Karena dalam element of crimes itulah secara jelas terdapat elaborasi atas unsur-unsur, definisidefinisi dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga perbedaan penafsiran maupun interpretasi dalam hal ini bisa diminimalkan. Sedang yang penulis sebut sebagai aparat pelaksana-nya adalah lebih pada kualifikasi/kapasitas majelis hakim dan independensi para jaksapenuntut umum yang terpilih untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini. Hal itu mengingat bahwa pada proses rekrutmen/selesi pada hakim Peradilan HAM beberapa waktu yang lalu juga sempat dipersoalkan karena dianggap tertutup dan prosesnya tidak trnasparan. Sehingga yang terpilih sebagai hakim bukan mereka yang track record serta kredibilitasnya dalam bidang HAM sudah teruji, begitu juga halnya dengan pemilihan para jaksa-penuntut umum. Beberapa kelemahan dan peroalan yang penulis kemukakan diatas adalah sebagian dari akumulasi masalah yang ada pada Undang-undang Peradilan HAM yang kita miliki saat ini, oleh karena itu, agar ke depan
6
keberadaan Pengadilan HAM kita diakui eksistensinya serta sesuai dengan standar peradilan internasional pada umumnya, maka upaya amandemen terhadap Undang-undang tersebut menjadi suatu langkah yang relevan, yaitu: -
Mengamandemen
Pasal
10
UU
no.
26/2000
dalam
hal
penggunaan KUHAP sebagai Hukum Acara dalam proses peradilan HAM kedalam suatu pengaturan tentang mekanisme beracara dan pembuktian (rules of procedure and evidence) yang lebih spesifik berkaitan
dengan
sifat/karakteristik
kejahatan HAM yang khusus dan bersifat extra ordinary
crimes. -
Mengamandemen Pasal 9 mengenai pengaturan delik Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) berkaitan dengan ketidak-lengkapan dan ketidak-jelasannya yang selama ini berakibat pada beragamnya penafsiran serta interpretasi pada pasal tersebut. Demikian juga dengan pasal 42 tentang tanggung jawab komando (command responsibility). Disamping itu, perlu untuk dikemukakan pentingnya pencantuman apa yang disebut sebagai element of crimes di dalam UU Peradilan HAM kita. Karena dalam element of crimes itulah dielaborasi secara detail unsur-unsur dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun unsur delik kejahatan HAN lainnya secara lebih jelas sesuai dengan kaidah dan standar internasional, sehingga perbedaan penafsiran maupun interpreatsi dalam hal ini bisa dihindari sejak awal.
Tentu saja, rumusan amandemen atas Undang-undang Peradilan HAM tiak cukup hanya dengan beberapa prinsip dan pasal-pasal yang penulis
7
uraikan diatas. Akan tetapi, sebagai suatu usulan dan kontribusi pada acara workshop kali ini, tampaknya amandemen pada pasal-pasal yang penulis sebutkan diatas mendesak untuk segera dilakukan mengingat urgensinya, sesuai dengan evaluasi atas hasil-hasil dan keputusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim ad hoc yang telah mengadili para terdakwa pada Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur pasca jajak pendapat, sehingga putusan yang akan dikeluarkan oleh majelis hakim ad hoc kasus Tanjung Priok yang akan segera digelas, lebih sesuai dengan standar internasional dan mengakomodasi rasa keadilan korban serta kita semua. Terima kasih.
Yogyakarta, 26 Agustus 2003
8