EVALUASI KELAYAKAN SISTEM PENGAIRAN SPRINKLER MENUNJANG USAHATANI LAHAN KERING BERIKLIM KERING DI NUSA TENGGARA TIMUR Gabriel Wae dan Ignas K. Lidjang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur ABSTRAK Suatu kegiatan dalam pengkajian Rancang-Bangun SUT Lahan Kering adalah pengujian sistim pengairan sprinkler dengan tujuan mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomis. Luaran yang ingin dicapai adalah informasi tentang kelayakan teknis dan finansial sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi kepada calon pengguna sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sistem pengairan suplementer dalam kondisi kekeringan atau untuk pada musim kemarau dalam rangka meningkatkan intensitas pertanaman minimal 200 % per tahun.. Beberapa sistem sprinkler diuji pada skala usahatani (on farm) di lima lokasi: (1) di KP. Naibonat: air tanah (sumur bor), pompa centrifugal sebagai sumber tekanan, instalasi pipa besi, (2) di KP. Lili: air gravitasi (leding) sebagai sumber tekanan, instalasi pipa PVC, (3) di KP. Maumere: air tanah (sumur bor), dinamo (listrik) sebagai sumber tekanan, instalasi pipa besi, (4) di KP. Waingapu: mata air/air permukaan, pompa aksial 6 tingkat sebagai sumber tekanan, instalasi pipa besi, dan (5) di lahan petani Oesao: sungai, pompa aksial 6 tingkat dan pompa centrifugal sebagai sumber tekanan, instalasi selang. Tipe sprinkler yang digunakan sama yakni Impact H 46 Plus. Hasil pengkajian menunjukkan: (1) pipa besi, pipa PVC dan selang sama efektifnya menahan tekanan air sampai 150 PSI, (2) jumlah sprinkler terpasang dan jangkauan sebar air ditentukan oleh tekanan air; pada tekanan air 10 PSI sudah mampu menggerakkan sprinkler sebanyak 6 buah dengan radius sebar 10 m dan pada tekanan maksimal 120 PSI sebanyak 32 buah dengan radius sebar 18 m, (3) tekanan air dari pompa centrifugal dua tingkat minimum 10 PSI dan maksimum 70 PSI, air gravitasi (beda elevasi 100 m) minimum 10 PSI dan maksimum 65 PSI, dinamo (pompa aksial 2 tingkat) minimum 10 PSI dan maksimum 75 PSI, pompa aksial 6 tingkat minimum 10 PSI dan maksimum 150 PSI, (4) total debit air yang dipancarkan pada tekanan 10 PSI dengan 6 sprinkler sebesar 5,7 liter/detik sedangkan pada tekanan maksimum 120 PSI dengan 32 sprinkler sebesar 21,44 liter/detik, (5) biaya investasi instalasi per hektar untuk jaringan sprinkler tipe pipa besi sebesar Rp 17.500.000, tipe pipa PVC sebesar Rp 12.500.000 dan tipe selang sebesar Rp 15.000.000, (6) total biaya eksploitasi selama satu siklus masa tanam (90 hari) adalah Rp. 1.138.400 untuk pompa (solar dan pelumas), Rp 2.094.000 untuk air gravitasi (harga air sesuai standar PAM/M3) dan Rp 1.146.700 untuk dinamo/listrik (sesuai tarif PLN), (7) IP maksimum 200 %/tahun, (8) pendapatan kotor kumulatif/ha selama 2 kali tanam masing-masing: Rp 5.800.000 untuk tipe pompa + jaringan pipa besi; Rp 7.500.000 untuk dynamo + jaringan pipa besi; Rp 6.485.000 untuk air gravitasi = pipa PVC dan Rp 25.255.000 untuk tipe selang, (9) titik impas untuk tipe pompa + jaringan besi selama 4 MT; 3 MT untuk tipe dinamo = jaringan pipa besi dan air gravitasi + pipa PVC dan 1 MT untuk tipe selang, dan (10) titik impas sangat tergantung pada komoditas yang diusahakan. Kata kunci: lahan kering, periode kering, pengairan suplementer, sprinkler. PENDAHULUAN Latar Belakang Nusa Tenggara Timur dicirikan spesifik sebagai wilayah kering beriklim kering. Dari total luas wilayah, lahan yang cocok untuk pertanian seluas 3.074.750 ha terdiri atas lahan kering seluas 2.379.005 ha (94,29 %) dan lahan basah seluas 127.208 ha (5,71 %). Namun demikian, perhatian pemerintah terhadap pengembangan lahan kering masih jauh dari memadai jika dibandingkan dengan lahan basah, hal ini dapat dilihat dari proporsi lahan kering yang sudah dimanfaatkan sampai dengan awal Pelita VII seluas 822.850 ha (32,83 %) walaupun sekitar 70 % penduduk adalah petani pengusaha lahan kering (Pemerintah Propinsi NTT, 2002).
Tingkat produktivitas dan laju produktivitas berbagai komoditas yang dikembangkan di lahan kering tergolong rendah dan lamban. Hal ini dapat dilihat dari laju pertambahan produksi berbagai komoditas yang diusahakan pada lahan kering sejak 1996-2002 yang sangat bervariasi, yaitu: jagung, 0,66 %; ubi kayu, 0,07 %; ubi jalar, 25,49 %; kacang tanah, 12,21 %; kacang hijau, 2,83 %; kedelai, 4,65 %; buah-buahan, 22,86 %; kopi, 2,93 %; kelapa, 5,21 %; cengkeh, 7,69 %; jambu mente, 4,22 %, dan kakao (Pemerintah Propinsi NTT, 2002). Data di atas menunjukkan dua masalah pokok, yakni: (1) senjang pengelolaan lahan kering (areal gap) masih sangat tinggi, dan (2) senjang hasil (yield gap) juga masih sangat tinggi. Senjang pengelolaan terjadi akibat: (1) kepincangan kebijakan dimana alokasi dana untuk pengadaan infrastruktur lebih besar diarahkan ke lahan basah daripada ke lahan kering, dan (2) sosial-ekonomi: keterbatasan modal, kekurangan tenaga kerja, informasi pasar sangat minim, input tidak tersedia tepat waktu dan tepat jumlah, kelembagaan belum berfungsi optimal, status lahan umumnya komunal dan distribusi kepemilikan individual belum merata sedangkan senjang produktivitas disebabkan oleh: (1) air: sumber pengairan satu-satunya untuk lahan kering adalah curah hujan, secara kuantitatif jumlah curah hujan/tahun sebetulnya cukup tetapi distribusinya mengumpul pada periode singkat yakni Januari-Maret (Irianto et al, 2003 dan Kedang et al, 2004), (2) iklim, khususnya curah hujan yang eratik, dan (3) teknologi: teknologi yang sudah dihasilkan belum diterapkan secara konsisten. Pendekatan pengkajian ke depan untuk pemecahan masalah pengembangan lahan kering harus dilakukan lebih fokus tetapi bersifat secara simultan. Alur pikir utama (main set) pengelolaan lahan kering adalah menekan resiko kegagalan panen melalui skenario pola tanam atau pengairan suplementer, mengoptimalkan sumberdaya air dan merekayasa sistem pengairan spesifik lahan kering sehingga intensitas pertanaman dapat ditingkatkan minimal 200 %. DASAR PERTIMBANGAN Air merupakan komponen strategis dalam mata rantai pengelolaan usahatani lahan kering, namun aspek ini masih belum mendapat perhatian dalam pengkajian-pengkajian sebelumnya. Selama ini, pengelolaan lahan kering sepenuhnya mengandalkan curah hujan sebagai satu-atunya sumber pengairan padahal potensi air tanah dan air permukaan cukup baik. Pola hujan yang normal pada hampir seluruh wilayah NTT adalah satu puncak kecuali sedikit di bagian selatan Belu. Awal hujan umumnya jatuh pada bulan Oktober berpuncak pada bulan Januari dan atau Pebruari dan semakin menurun sejak bulan Maret. Fenomena umum dan sering menjadi kendala dalam pengelolaan tanaman adalah terjadinya periode kering selama musim hujan; terjadi antara Nopember dan Desember sehingga tanaman muda mengalami cekaman kekurangan air atau pada fase primordial atau pada saat pengisian biji. Kasus di pulau Timor menunjukkan bahwa kejadian kekeringan berlangsung antara 5 sampai 20 hari berturutturut dengan peluang kejadian masing-masing sebagai berikut: 67 % untuk periode kering selama 5 hari berturut-turut sebesar, 53 % untuk 10 hari bertutur-turut, 46 % untuk 15 hari berturut-turut dan 40 % untuk 20 hari berturut-turut (Kedang et all, 2004) Intervensi teknologi sejak tahun 1986 untuk menekan senjang produktivitas masih terbatas pada introduksi varietas dan pemupukan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada kondisi curah hujan yang normal memang terjadi peningkatan produktivitas yang sangat nyata, misalnya: jagung, 128 %; padi ladang, 25 %; sorgum, 257 %; kacang tanah, 50 %; kacang hijau, 100 %; kedelai, 20 %; kacang gude, 290 %; kacang tunggak, 470 %; ubi jalar, 200 % dan ubi kayu, 311 %. (NTASP, 1994; Puslittanak, 1994 dan Lidjang dan Nulik, 2002). Namun demikian, peningkatan produktivitas tidak akan stabil jika masalah pokok lahan kering yakni ketersediaan air yang cukup tidak terpecahkan. Oleh karena itu, alur pikir utama (main set) pengelolaan lahan kering yang efektif-efisien dan berkelanjutan harus dimulai dari pemecahan masalah keamanan air melalui berbagai upaya yang simultan yakni: (1) analisis iklim untuk memahami perilaku curah hujan agar dapat merancang skenario pola tanam dan saat tanam yang aman, (2) introduksi teknologi panen hujan/aliran permukaan selama periode hujan yang singkat, dan (3) introduksi teknologi teknologi untuk memanfaatkan cadangan air tersedia baik air permukaan (sungai dan mata air) maupun air tanah untuk pengairan suplementer jika terjadi gangguan curah hujan dan atau untuk meningkatkan intensitas pertanaman.
Analisis iklim memerlukan seri data jangka panjang, minimal 10 tahun, harus didukung pengadaan peralatan (stasiun klimatologi) yang mahal dan sumberdaya manusia (analis iklim) yang ahli sedangkan teknologi panen air hujan/aliran permukaan juga memerlukan dana yang relatif mahal. Upaya jangka pendek yang paling realistis adalah memanfaatkan cadangan air tersedia sebagai sumber pengairan suplementer dengan intervensi teknologi yang sesuai kondisi bio-fisik dan sosial-ekonomi petani. Pengkajian sistem pengairan sprinkler dalam pengelolaan sistem usahatani lahan kering merupakan salah satu alternatif teknologi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan kering melalui peningkatan intensitas pertanaman dan menekan resiko kekeringan. Pengkajian ini bertujuan untuk a. Mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomis sistem pengairan sprinkler. b. Meningkatkan intensitas pertanaman, minimal 200 % c. Meningkatkan produktivitas lahan kering per satuan luas, minimal 50 % d. Meningkatkan pendapatan petani, minimal 30-50 % METODOLOGI Lokasi Pengkajian dilaksanakan pada MT. 2003 dan 2004 di lima lokasi yakni: (1) Kebun Percobaan (KP) Naaibonat, (2) KP. Lili, (3) hamparan lahan petani Oesao, (4) KP. Maumere, dan (5) KP. Waingapu. Rancangan 7. KP. Naibonat: sumur bor sebagai sumber air, pompa centrifugal sebagai sumber tekanan, instalasi/jaringan pipa besi, tipe sprinkler Impact H 46 Plus, luas lahan 0,25 ha dan komoditas jagung (MT I/MH) serta sayur-sayuran (MT II/MK). 8. KP. Lili: air gravitasi (leding) sebagai sumber air/sumber teknanan, instalasi/jaringan pipa PVC, tipe sprinkler Impact H 46 Plus, luas lahan 0,25 ha dan komoditas jagung (MT I/MH) serta sayur-sayuran (MT II/MK). 9. Lahan petani Oesao: sungai sebagai sumber air, pompa aksial 6 tingkat sebagai pengangkat air dari kali ke selokan dan pompa centrifugal sebagai pengisap air dari selokan/sumber tekanan sprinkler, instalasi/jaringan selang, tipe sprinkler Impact H 46 Plus, luas lahan 0,25 ha dan komoditas padi (MT I/MH) serta jagung benih (MT II/MK). 10. KP. Maumere: sumur bor sebagai sumber air, pompa dinamo aksial 2 tingkat (listrik) sebagai sumber tekanan, instalasi/jaringan pipa besi, tipe sprinkler Impact H 46 Plus, luas lahan 0,25 ha dan komoditas sayuran (MT I/MH dan MT II/MK). 11. KP. Waingapu: mata air sebagai sumber air, pompa aksial 6 tingkat sebagai sumber tekanan, instalasi/jaringan pipa besi, tipe sprinkler Impact H 46 Plus, luas lahan 0,25 ha dan komoditas kacang tanah (MT I/MH) serta semangka + sayur-sayuran (MT II/MK). Data Data yang dikumpulkan terdiri atas: (1) harga seluruh komponen jaringan/instalasi sprinkler, (2) Farm Record Keeping (FRK) usahatani selama 2 MT, (3) umpan balik petani, dan (4) umpan balik stakeholders lainnya. Analisis data menggunakan metoda “Analisis Finansial/Usahatani” dan analisis deskriptif-kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelayakan Teknis Sistem pengairan sprinkler dipengaruhi oleh tiga hal penting: (1) sumber tekanan, (2) ketahanan jaringan instalasi, dan (3) spesifikasi tipe nozzle sprinkler. Besar kecilnya kapasitas sumber teknanan menentukan tekanan air. Semakin besar kapasitas pompa semakin besar tekanan air dan sebaliknya. Besar kecilnya tekanan air mempengaruhi ketahanan jaringan instalasi, semakin besar ketahanan jaringan instalasi semakin besar volume air yang tercurah pada bidang lahan karena semakin banyak jumlah sprinkler yang terpasang. Tipe nozzle
sprinkler dan tekanan air menentukan jarak pancar butiran-butiran air ke dalam bidang lahan, semakin besar tekanan air dan semakin besar ukuran nozzle maka semakin jauh daya pancar dan semakin besar ukuran butir air yang memancar. Keragaan sumber tekanan dan jaringan Kemampuan masing-masing pompa sebagai sumber tekanan dan penggerak unit sprinkler disajikan pada Tabel 1. Pompa Aksial 6 tingkat mampu menggerakkan sekaligus 34 unit sprinkler pada waktu yang bersamaan, pompa centrifugal hanya mampu menggerakkan 12 unit sedangkan air gravitasi dan 4ynamo hanya 9 unit. Tabel 1: Spesifikasi kemampuan dan efektifitas masing-masing sumber tekanan Jenis pompa/Sumber tekanan No Uraian Pompa Dinamo Pompa Centri-fugal (Aksial 2 Aksial 6 Tingkat) Tingkat 1. Tekanan minimum utk mulai 10 PSI 10 PSI 10 PSI menggerakkan sprinkler 2. Tekanan maksimum 70 PSI 75 PSI 150 PSI 3. Jumlah sprinkler yang dapat digerakkan 6 unit 6 unit 6 unit serentak pada tekanan minimum 4. Jumlah sprinkler yang dapat digerakkan 12 unit 9 unit 32 unit serentak pada tekanan maksimum 5. Daya tahan maksimum jaringan thdp tekanan - Jaringan pipa besi 120 PSI 120 PSI 120 PSI - Jaringan pipa PVC * * 65 PSI - Jaringan selang 45 PSI * * Keterangan : * tidak ada perlakuan
Air Gravitasi 10 PSI 65 PSI 6 unit 9 unit
* 65 PSI *
Pada grafik 1 diperlihatkan pengaruh tekanan terhadap jarak pancar air dari sprinkler. Semakin tinggi tekanan semakin jauh jangkauan sebaran. Artinya, penggunaan bahan semakin hemat jika tekanan pompa makin tinggi karena jarak pipa tiang sprinkler (riser) semakin jauh. Keseragaman penyiraman Dalam pengkajian ini digunakan tipe sprinkler Impact H 46 Plus dengan daya pancar 18 x 18 m tetapi dalam operasional di lapang menunjukkan bahwa sebaran penyiraman ideal (merata) hanya 16 x 16 meter karena harus ada overlapping 60 % atau jarak tiang sprinkler (riser) ideal adalah 14 meter sehingga per hektar membutuhkan 50 unit sprinkler. Kecepatan angin sangat mempengaruhi kemerataan penyiraman, dalam pengamatan diketahui bahwa kecepatan angin tidak boleh lebih dari 25 km/jam sehingga waktu penyiraman yang ideal adalah pagi antara jam 05.00-07.00 atau malam di atas jam 20.00. Pada Tabel 2 diperlihatkan uji BNT keseragam sebaran air dalam bidang lahan pada masing-masing level tekanan. Semakin tinggi tekanan semakin merata penyiraman, artinya tidak ada bidang lahan yang tidak terbasahi.
2.5
Jarak (m)
2
2
1.5 1
1
0.5 0
0 Perlakuan
10 Tekanan air
Gambar 1.
Hubungan antara tekanan air dengan jarak jatuhnya air di lahan yang dibasahi dengan menggunakan sprinkler.
Tabel 2: Hasil Uji BNT curahan/sebaran air pada tiga level tekanan (10, 20 dan 30 PSI) Pasangan uji 30 PSI vs 20 PSI
Beda rerata 0.07324
Nilai BNT 5 % 0.2655 (c)
30 PSI vs 10 PSI 20 PSI vs 10 PSI Keterangan: t (0.05/2.6) =2.31
0.18048 0.10725
0.2655 (b) 0.2655 (a)
Debit air Hasil uji statistik (Tabel 3) menunjukkan bahwa debit air antar tekanan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % Artinya, tekanan pompa sangat menentukan jumlah air yang dapat dikeluarkan oleh setiap nozzle sprinkler yang pada akhirnya menentukan jumlah curahan per bidang lahan dan lama penyiraman. Semakin tinggi tekanan semakin baik untuk penyiraman menggunakan sprinkler tetapi pemilihan tekanan sebaiknya disesuaikan dengan komoditas yang disiram. Tabel 3: Hasil Uji BNT debit air pada tiga level tekanan (10, 20 dan 30 PSI) Pasangan uji 30 PSI vs 20 PSI 30 PSI vs 10 PSI
Beda rerata 0,93333 1,86667
Nilai BNT 5 % 0,32058 (c) 0.32058 (b)
20 PSI vs 10 PSI
0.93333
0.32058 (a)
Keterangan: t (0.05/2.6) =2.31
Debit air terukur pada tekanan 10 PSI adalah 5,7 liter/detik; pada tekanan 20 PSI sebesar 6,3 liter/detik dan tekanan 30 PSI sebesar 7,3 liter/detik. Pada teknanan maksimum 150 PSI dengan 32 unit sprinkler debit air tercurah mencapai 21,44 ltr/detik Konsumsi waktu dan interval penyiraman Tanaman menyerap air secara ideal pada kondisi kapasitas lapang dimana kapiler tanah berfungsi optimum mensuplai air. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa: (1) konsumsi waktu untuk mencapai kondisi jenuh air pada bidang lahan yang disiram adalah 24 jam untuk sprinkler (30 PSI) sedangkan pompa membutuhkan waktu 6 jam tetapi untuk mencapai kapasitas lapang membutuhkan waktu 6 jam (sprinkler) sedangkan pompa membutuhkan 7 hari, sehingga (2) interval penyiraman untuk pompa dilaksanakan etiap 7 hari sedangkan sprinkler harus setiap hari. Hal ini terjadi karena penyiraman dengan pompa menggunakan debit air yang lebih besar sehingga meresap sampai kedalaman 1-2 meter sedangkan sprinkler hanya terbatas pada zona perakaran sehingga kehilangan air dari bidang lahan yang diairi sprinkler lebih cepat daripada pompa. Lama penyiraman tergantung komoditas dan debit air yang terpancar dari nozzle sprinkler. Tipe Impact H 46 Plus mempunyai ukuran nozzle yang dapat memancarkan air pada tekanan maksimum sejumlah 7,5 liter/detik/ha atau setara 450 m3/jam. Jenis tanaman pangan dan sayur-sayuran yang hanya membutuhkan kapasitas lapang (ketebalan lapisan basah 5-20 cm atau setara 500-2000 m3/ha) memerlukan waktu 1,5-5 jam tergantung kondisi angin, Jika tidak ada angin, penyebaran air merata dan maksimum sehingga per hektar membutuhkan 1,5 jam untuk sayuran dan 5 jam untuk tanaman pangan (misalnya jagung) tetapi dalam kondisi ada angin waktu yang dibutuhkan lebih lama. Dibandingkan dengan cara petani yakni sistem penggenangan (contoh: jagung), penggunan sprinkler lebih hemat air. Petani biasanya melakukan penggenangan awal selama 36 jam untuk mencapai kondisi tanah jenuh air (ketebalan lapisan basah minimal 1 m atau setara 10.000 m3 air/hektar), diulangi lagi setiap 7 hari sehingga selama satu siklus pertanaman (90 hari, 13 kali siram) memerlukan air 130.000 m3/ha. Dengan frekwensi penyiraman per 2 hari pada sistem sprinkler cukup dilakukan selama 70 hari (35 kali siram) sehingga membutuhkan hanya 70.000 m3/ha. Jaringan pipa besi vs pipa PVC vs selang Sumber kekuatiran utama penggunaan selang adalah apakah hanan terhadap tekanan air yang bisa mencapai 150 PSI sedangkan pipa PVC adalah apakah sambungan (menggunakan lem) tidak lepas pada tekanan yang semakin tinggi?. Ternyata dalam pengujian, ketiga tipe jaringan sprinkler tahan terhadap tekanan sampai 150 PSI. Debit air, jangkauan sebaran dan keseragaman sebaran pada tiga tipe jaringan sprinkler juga tidak ada beda nyata. Namun untuk penggunaan jangka waktu lama, tekanan ideal untuk pipa PVC adalah 65 PSI sedangkan untuk selang adalah 45 PSI. Tipe selang mempunyai keunggulan dalam hal operasional karena ketika sprinkler beserta tiang risernya dilepas, selangnya dapat ditarik oleh satu orang saja. Pada tipe PVC memerlukan tenaga 2-3 orang sedangkan tipe besi memerlukan tenaga 4-5 orang. Kelemahan tipe selang dan PVC adalah resiko terbakar tinggi apalagi petani setempat masih sering mempraktekkan pembakaran sisa tanaman, juga resiko pecah terinjak hewan atau tergilas traktor. Mengatasi kendala tersebut perlu dirancang instalasi yang sifatnya dapat dibongkarpasang atau menggunakan alat pengolahan tanah (traktor) kecil atau instalasi dibenamkan lebih dari 20 cm. Kelayakan Ekonomi Biaya operasional Terkait dengan interval penyiraman maka biaya operasional untuk dua tipe penyiraman menjadi berbeda. Hasil analisis perbandingan dengan pengairan cara petani (Tabel 4) menunjukkan bahwa walaupun interval penyiraman dengan sistem sprinkler lebih banyak (70 kali) dibandingkan cara petani (10-12 kali) tetapi biaya operasional lebih rendah.
Tabel 4: Analisis perbandingan biaya operasi (jagung)
Sistem Sprinkler
No
Uraian
1.
Biaya investasi - Pompa - Jaringan (selang) Biaya operasional (70 hari masa tanam efektif) - Pemasangan instalasi, 14 HOK - Bahan bakar - Olie - Sarana produksi Tenaga kerja - Bongkar pasang sprinkler, 7 HOK - Membuat got, mengatur air, 30 HOK - Menanam sampai panen Nilai air (Rp 60,000/mobil tangki kapasitas 5000 liter) Total biaya oreasional (2+3+4) Nilai hasil (benih) Pendapatan bersih (6-5)
2.
3.
4. 5. 6. 6.
vs pengairan permukaan
Sprinkler
Pengairan permukaan
6,000,000 12,500,000
20,000,000 1,500,000
140,000 525,000 150,000 750,000
375,000 250,000 750,000
70,000 700,000 840,000
300,000 700,000 1,560,000
3,175,000 18,000,000 14,825,000
3,935,000 18,000,000 14,065,000
Sumber penghematan utama pada sistem sprinkler adalah penggunaan air dengan penyiraman sampai kapasitas lapang (kedalam lapisan basah maksimum 20 cm), sedangkan penyiraman sistem pompa dibiarkan jenuh sampai kedalaman minimal 1 meter sedangkan komponen biaya lainnya relatif sama. Jika air yang digunakan diperhitungkan maka cara petani yang membutuhkan 130.000 M3 atau setara 26 mobil tangki dengan harga Rp 60.000/tangki maka setara Rp 1.560.000 sedangkan cara sprinkler membutuhkan 70.000 M3 setara 14 tangki atau Rp 840.000. Kelayakan Investasi Padaa Tabel 5 ditampilkan hasil analisis kelayakan investasi dan titik impass masingmasing tipe jaringan sprinkler. Titik impas sangat tergantung pada pilihan komoditas, semakin tinggi nilai ekonomi maka semakin pendek masa pengembalian modal.
Tabel 5: Kelayakan investasi dan titik impas tiga tipe jaringan sprinkler No
Tipe Jaringan/Komoditas
1.
Pompa + pipa besi (jagung - sayur) Leding (PAM) + pipa PVC ( jagung - sayur) Dinamo (listrik) + pipa besi (Sayur-sayuran) Pompa + selang (Padi - jagung benih)
2. 3. 4.
Biaya Investasi (Rp/ha) 17.500.000
Biaya produksi/ operasional 2 MT (Rp/ha) 1.138.400
Pendapatan kumulatif 2 MT (Rp/ha) 5.800.000
Titik Impas
17.500.000
1.146.700
7.500.000
3 MT
12.500.000
2.094.000
6.485.000
3 MT
15.000.000
1.131.100
25.225.000
1 MT
4 MT
Umpan-Balik Pada tahun 2003 hanya diuji satu jenis instalasi yakni pipa besi. Saat temu lapang petani dan stakeholders lainnya memberikan umpan balik bahwa jaringan pipa besi relatif mahal dan perlu ada alternatif lain seperti pipa PVC atau selang. Tahun 2004, tipe PVC dan selang diujicoba dan hasilnya memuaskan dan relatif lebih murah. Petani dan stakeholders lainnya juga menyarankan agar jaringan tidak permanen dan kalau bisa sistim bongkar-pasang demi keamanan dan tidak mengganggu saat pengolohan tanah. Semua saran tersebut telah diakomodasikan sehingga semua jaringan bersifat tidak permanen (dapat dibongkar dan dipindahkan). Penggunaan dynamo juga adalah saran pengguna agar dapat digunakan pada usahatani pekarangan skala rumah tangga. Sistim ini memang lebih mahal karena penggunaan daya listrik yang cukup besar berakibat pada biaya operasional yang besar. Namun dengan usaha sayuran hampir sepanjang tahun, biaya untuk daya dapat ditutup. Implikasi Kebijakan NTT memiliki potensi air permukaan yang cukup besar dan lahan-lahan tidur di sepanajang bantaran kali dapat diairi dengan sistem sprinkler terutama pada musim kemarau untuk usaha sayur-sayuran atau perbenihan. Pada lahan-lahan avulial di Timor dan Sumba umumnya mempunyai air tanah yang dangkal sehingga dapat dioptimalkan dengan program pompanisasi dan sistem pengairan sprinkler. Pada daaerah-daerah yang memungkinkan pengaliran air secara gravitasi (pipa), sistem pengairan sprinkler juga layak dilakukan asalkan beda elevasi tidak kurang dari 100 m. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara teknis, sistem pengairan sprinkler layak dikembangkan dengan tipe jaringan yang dapat dijangkau secara ekonomis oleh petani. 2. Secara ekonomis, system pengairan sprinkler lebih murah daripada system pengairan petani (penggenangan). 3. Tergantung pada komoditas, titik impas tidak lebih dari 4 MT atau dua tahun. 4. Petani dan stakeholders lainnya bisa menerima teknologi ini asalkkan disertai dengan arahan komoditas yang ekonomis. Saran 1. Penggunaan system sprinkler sebaiknya diimplementasikan dalam kebijakan pengembangan lahan-lahan potensial di sekitar bantaran kali atau di dataran Aluvial disertai bantuan pompa. 2. Pompa yang baik adalah tipe Aksial 6 tingkat karena memiliki tekanan yang besar DAFTAR PUSTAKA
Amir Kedang, Haruna, Donbosco Meke dan Ignas K. Lidjang, 2004. Analisis Data dan Implementasi Infromasi Iklim Dalam Pengelolaan Sistem Usahatani Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Laporan Teknis Pengkajian Rancang-Bangun SUT Lahan Kering Beriklim Kering di NTT Tahun Anggaran 2003. Irianto, G., H. Sosiawan dan Sri Maryani, 2002. Teknologi Panen Air: Modul Pelatihan Analisis Iklim dan Implementasinya dalam Pengelolaan Usahatani di Kupang, 21-29 Juli, Kupang. Lidjang, I. K., dan J. Nulik, 2002. Hasil-Hasil Pengkajian Basis Tanaman Pangan di Nusa Tenggara Timur. Makalah Padu-Padan Kegiatan Litkaji Tanaman Pangan di Mataram. Puslittanak, 1994. Lima Tahun Proyek P2ULK/UFDP di Nusa Tenggara Timur, Kupang. Pemerintah Propinsi NTT, 2002. Petunjuk Teknis Pengembangan Lahan Kering di NTT. Nusa Tenggara Agricultural Support Project, 1994. Project Completion Report, Kupang.