Diterbitkan Oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) SME Tower Lt. 8 Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 94 Jakarta 12780 Indonesia Communication Center 021. 7167 3000 Telp. 021. 799 1025 (hunting), Fax. 021. 799 6033 / 799 1125 www.lkpp.go.id Pelindung Agus Raharjo Redaktur Ahli Eiko Whismulyadi, Himawan Adinegoro, Bima Haria Wibisana, Agus Prabowo, Djamaludin Abubakar Pemimpin Umum Salusra Widya Pemimpin Redaksi R Adha Pamekas Redaksi Mudji Santosa, M. Firdaus, Suharti, Ratna Ayu Maruti, Mustika Rosalina, Gigih Pribadi, Himawan Giri Dahlan
Redaksi menerima artikel/essay yang relevan dengan Dunia Pengadaan. Untuk petunjuk penulisan dapat dilihat di halaman 115-Panduan Penulisan
Kirimkan ke:
[email protected].
DAFTAR ISI 1-17
Sistem Pengadaan Berkelanjutan Dadan Umar Daihani
18-37
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa pada APBN M. Trisno Hadisaputra
39-48
The Imperative for a National Public Procurement that is Credible Erlangga Admadja
49-61
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada Nanang Priyatna
62-68
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Reformasi Birokrasi Mustofa Kamal
70-109
Report: Compliance Performance Indicator Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
110-114
Para Penulis
115-118
Panduan untuk Penulis
119-123
Indeks
PENGANTAR REDAKSI
Dari Redaksi
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Pengantar Redaksi Pengadaan yang kredibel, dan tidak mengada-ada akan berujung pada pemanfaatan APBN/APBD (Anggaran Negara) secara lebih tepat guna dan efektif. Para pelaku Pengadaan Barang/Jasa memiliki fungsi yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Memasuki usianya yang ke-67, bukanlah usia yang bisa dikatakan muda lagi bagi bangsa ini. Di usia yang seharusnya merupakan usia matang, sudah sepatutnya Indonesia telah menjadi bangsa yang semakin besar, berdaulat, dan mampu menyejahterakan rakyatnya. Namun, kenyataannya negara ini masih terpapar oleh banyak masalah. Masalah yang berakar pada masih maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Banyak pelaku korupsi yang masuk persidangan, namun hukuman yang lemah tidak juga membuat jera--sampai tercipta anekdot, “Di penjara tak apa, selama harta tidak pergi kemana”. Hal ini karena hukuman yang mereka dapatkan terlalu ringan dibandingkan jumlah uang yang dapat mereka kumpulkan. Pemimpin silih berganti, namun tampaknya Negara ini masih berkubang di masalah yang sama. Pesimis, tidak lagi mau berharap, dan pasrah adalah sikap yang kemudian meng-
hinggapi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Di tengah keadaan yang membuat rakyat kian frustasi, muncul anak-anak Bangsa yang seperti kembali menyulut semangat, sebuah asa, bahwa Indonesia masih ada, belum habis, dan masih ada harapan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik. Mereka yang ikut mewarnai Jurnal Pengadaan LKPP kali ini adalah bagian dari anak bangsa yang ikut kembali ‘menghidupkan’ mimpi dan harapan tersebut. Para pelaku pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah, adalah orang-orang yang diharapkan dapat menjadi pelopor, para pemberani yang berdiri di garis terdepan, sosok-sosok ini berani bersuara lantang ketika melihat adanya penyimpangan, semata demi menyelamatkan Bangsa. Berani untuk bilang “Tidak!” kepada berbagai tawaran yang menyimpang, mengemban tugas dengan baik, untuk mendukung institusi/lembaganya menjadi lebih bermartabat, profesional dan menjunjung tinggi etika.
i
ii JURNAL PENGADAAN
Jurnal Pengadaan LKPP kali ini berisikan beragam karya tulisan yang diharapkan dapat menggugah, inspiratif dan sangat mungkin untuk diaplikasikan dalam keseharian. Lewat tulisan yang beragam diharapkan dapat memperkaya ilmu dan wawasan para pembaca. Gaya bahasa yang bertutur dengan dialogis disajikan tanpa ingin terkesan menggurui. Topik seperti Sustainable Procurement (SP) atau Proses Pengadaan yang Berkelanjutan, misalnya ingin menginspirasi dan menyadarkan kita bahwa ternyata erat sekali hubungannya antara sumber daya alam dengan proses pengadaan. Dadan Umar Daihani, Guru Besar Universitas Trisakti yang sekarang juga aktif di LEMHANAS mencoba berbagi kepada para pembaca seputar SP ini. Dalam karya yang sama, Dadan juga ingin mengungkapkan bahwa keseimbangan lingkungan serta keharmonisan kehidupan sosial, sering tidak menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengadaan. Kesadaran akan pentingnya konservasi sumber daya alam inilah yang mendorong dikembangkannya konsep SP. Di Indonesia, kajian dan pembahasan mendalam mengenai SP belum banyak dilakukan, sementara di dunia internasional topik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan kebijakan procurement dunia yang dikaitkan dengan program pembangunan berkelanjutan.
Di samping itu, kami juga menyajikan tulisan karya M. Trisno Hadisaputro yang mengangkat porsi anggaran pengadaan barang/ jasa dalam APBN 2012. Untuk kembali mengingatkan akan arti penting dan strategisnya proses pengadaan barang/jasa yang kredibel bagi berjalannya proses pembangunan yang berkelanjutan. Sekaligus Trinso juga ingin berbagi tentang upaya-upaya konkrit yang bisa disumbangkan agar proses pengadaan berjalan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh regulasi yang berlaku. Jurnal kali ini juga ingin bertutur tentang fenomena korupsi, dari kacamata budaya dan teori. Sebuah tulisan karya Nanang Priyatna yang secara runtun mencoba membuat para pembaca tersadar akan bahaya penyakit korupsi itu, berikut hal-hal yang bisa dilakukan untuk mencegahnya sehingga dapat mengakhiri fenomena korupsi yang mewabah seperti saat ini. Lebih jauh, Erlangga Atmadja yang menyusun paper dengan judul : ‘The Imperative for a National Public Procurement Process that is Credible: A Challenge for the Academic Community to Provide Convincing Demonstrative Effects of the Economic Benefits of Having a Cutting Edge Country Procurement System,” mencoba mengingatkan kita bahwa sesungguhnya Indonesia memiliki kemampuan dan
Dari Redaksi
potensi yang luar biasa, sehingga kita mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi dunia yang hingga kini masih dirasakan akibatnya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengemas proses pengadaan yang lebih efektif dan efisien yakni dengan e-procurement. Sementara tulisan dengan judul “Optimalisasi Peran Aturan PBJP dalam Reformasi Birokrasi” karya Mustofa Kamal, menjabarkan hubungan antara Pengadaan Barang/Jasa yang optimal seiring dengan berjalan baiknya proses Reformasi Birokrasi. Beragam ilustrasi digambarkan dalam tulisan ini, memudahkan para pembaca untuk memahami konteks pengadaan barang/jasa serta Reformasi Birokrasi. Lewat ilustrasi dan pejabaran yang komprehensif Mustofa mencoba untuk mempermudah pembaca untuk memahami proses pengadaan yang kredibel sejalan dengan proses reformasi birokrasi yang tengah berjalan.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Redaksi juga menghadirkan hasil survei “Compliance and Performance Indicators of Public Procurement in Indonesia” yang digelar pada tahun 2011. Survei yang diselenggarakan oleh LKPP ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kemajuan implementasi reformasi sistem pengadaan di Indonesia yang disertai dengan berbagai rekomendasi aspek apa saja yang masih harus dibenahi dalam rangka memperkuat reformasi sistem pengadaan di Indonesia. Akhirnya Redaksi ingin memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para penulis yang telah berbagi dengan pembaca Jurnal Pengadaan LKPP, semoga para pembaca dapat memetik ilmu dan menambah wawasan khususnya dalam aspek pengadaan/procurement. Sehingga dapat menjadi bekal dalam mengemban tugas di lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selamat Membaca Redaksi
iii
SISTEM PENGADAAN BERKELANJUTAN
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
Abstract Kesetimbangan lingkungan serta keharmonisan kehidupan sosial, sering tidak dipertimbangkan dalam proses pengadaan. Padahal bencana alam yang berdampak pada bencana sosial pada dasarnya dimuai dari kebijakan pengadaan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Kesadaran akan pentingnya konservasi sumber daya alam inilah yang mendorong dikembangkannya konsep Sustainable Procurement (SP).
DADAN UMAR DAIHANI
Di Indonesia, kajian dan pembahasan mendalam mengenai SP belum banyak dilakukan, padahal di dunia internasional topik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan kebijakan procurement dunia yang dikaitkan dengan program pembangunan berkelanjutan, dan sudah menjadi agenda berbagai kongres internasional. Oleh karena nya kami tertarik untuk melakukan penelusuran literatur dan kajian ilmiah mengenai hal ini yang kami tuangkan dalam tulisan ini. Paper singkat ini tentu tidak dimaksudkan untuk membahas secara mendalam mengenai knowledge dan know how tentang SP. Pada paper ini baru akan dikemukakan ide dasar serta pengalaman praktis berbagai negara maju dalam mempraktekan prinsip-prinsip tersebut.
Kata kunci: Sustainable procurement, Pembangunan berkelanjutan, Konservasi sumber daya alam
1
2 JURNAL PENGADAAN
I
su mengenai lingkungan, kini semakin mengemuka. Pemanasan global, anomali perubahan cuaca, krisis energi, krisis pangan, krisis ekonomi sampai kebangkrutan suatu negeri ditenggarai sebagai akibat dari eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan sumber daya sosial yang tidak menghormati prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui istilah pembang-
berkelanjutan didefinisikan sebagai proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang di dasarkan atas prinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (Brundtland Report dari PBB, 1987). Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran
Konsep ini muncul sebagai jawaban terhadap kesewenangan proses pembangunan yang tidak memperhatikan kesinambungan lingkungan unan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Pada tahun 1980, istilah ini mulai diperkenalkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) dalam naskahnya yang berjudul “World Conservation Strategy” (Strategi Konservasi Dunia). Konsep ini muncul sebagai jawaban terhadap kesewenangan proses pembangunan yang tidak memperhatikan kesinambungan lingkungan. Akibat dari ulah manusia ini, maka bermunculan bencana, baik berupa bencana alam maupun bencana sosial. Seorang budayawan pernah berkata, “jika kita tidak pandai menghormati alam, maka alam akan balik menampar kehidupan manusia”. Menurut
berbagai
ahli,
pembangunan
lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Dengan kata lain, bagaimana memenuhi hajat hidup manusia saat ini tanpa mengorbankan masa depan. Inilah yang disebut prinsip berkeadilan untuk semua umat di semua jaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor publik maupun swasta dalam melakukan aktifitas ekonominya sangat bersinggungan dengan ekploitasi sumber SDA. Di samping eksploitasi SDA secara vulgar tanpa mempertimbangkan masa depan, kedua sektor tersebut sering memperburuk lingkungan dengan limbah yang dihasilkannya. Melihat fenomena ini, maka kini, sektor publik maupun swasta dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam mengeksploitasi SDA dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan SDA
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Sehubungan dengan itu, paper ini akan mencoba membahas satu topik menarik yang akhir-akhir ini sedang a la mode dibidang procurement yaitu “Sustainable Procurement” (SP). Ada beberapa ahli yang menamakan konsep ini dengan sebutan “Green Procurement”. Pada prinsipnya kedua konsep di atas mencoba mengintegrasikan prinsip efisiensi ekonomi dengan prinsip kemanfaatan yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan alam dan sosial. Sebagaimana didefinisikan oleh Helen (2009) bahwa SP secara sederhana adalah “ ... is procurement that is consistent with the principles of sustainable development, such as ensuring a strong, healthy and just society, living within environmental limits, and promoting good governance...” (Walker Helen, et al, 2009). Di Indonesia bidang ini belum banyak disentuh oleh para peneliti, ilmuwan maupun praktisi. Oleh karena itu kami tertarik untuk menjelajahi berbagai tulisan, ide serta hasil penelitian di mancanegara mengenai SP dan selanjutnya berbagi dengan para pegiat pro-
November 2012/Vol. 2 - No. 2
curement di negeri ini. Paper singkat ini tentu tidak dimaksudkan untuk membahas secara mendalam mengenai knowledge dan know how tentang SP. Pada paper ini baru akan dikemukakan ide dasar serta pengalaman praktis berbagai negara maju dalam mempraktekan prinsip-prinsip tersebut. Mudah-mudahan hal ini akan menggugah kita untuk mendalami dan mempraktekan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses procurement sebagai pertanggung jawaban kita bagi generasi selanjutnya di masa depan. 2. Sustainable Procurement: Konsep Dasar dan Pengalaman Praktis 2.1 Konsep Dasar Sustainable Procurement Munculnya konsep SP bermula dari keprihatinan banyak pihak terhadap lambatnya pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang mempertimbangkan daya dukung alam terhadap kemanfaatan kebutuhan manusia saat ini dan masa depan. Secara sederhana SP dapat didefinisikan pula sebagai suatu proses pemenuhan barang/jasa yang bermanfaat bagi pelaku, lingkungan sosial (masyarakat)
Secara sederhana SP dapat didefinisikan pula sebagai suatu proses pemenuhan barang/jasa yang bermanfaat bagi pelaku, lingkungan sosial (masyarakat) serta lingkungan perekonomiannya dengan cara meminimalkan kerusakan pada lingkungan (DEFRA, 2006)
3
4 JURNAL PENGADAAN
serta lingkungan perekonomiannya dengan cara meminimalkan kerusakan pada lingkungan (DEFRA, 2006). Dengan kata lain SP tidak saja ditujukan untuk mewujudkan kebutuhan pelaku secara efisien, tetapi juga mengemban misi kepedulian sosial, lingkungan dan ekonomi secara umum. Praktik SP sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap proyek pembangunan harus disertai “analisis mengenai dampak lingkungan”. Jika proyek tersebut ternyata diperkirakan akan merusak lingkungan baik fisik maupun sosial maka sejatinya proyek tersebut harus dihentikan. Atau kalaupun akan terus dilaksanakan maka harus dilengkapi dengan berbagai upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan fisik dan atau sosial yang ditimbulkannya. Kerusakan fisik biasanya berkaitan dengan kesetimbangan ekosistem dan berkurangnya daya dukung alam. Sedangkan kerusakan sosial dapat mengakibatkan terjadinya disharmonis pada kehidupan masyarakat. Kerusakan lingkungan fisik dan lingkungan sosial dapat terjadi secara bersamaan atau saling berkorelasi. Misalnya penebangan hutan yang dilakukan secara vulgar dan tidak sistematis serta tidak disertai dengan program peremajaan hutan (reboisasi) dapat merusak ekosistem sekitarnya. Pertama areal penyerapan dan penampungan air hujan akan menjadi berkurang. Jika terjadi hujan yang lebat, maka
secara langsung akan mengakibatkan banjir. Secara jangka panjang cadangan air tanahpun akan berkurang, karena setiap datang hujan, air yang turun akan langsung dialirkan. Demikian pula fungsi hutan sebagai paru-paru duniapun akan terganggu, akibatnya terjadi perubahan iklim yang tidak teramalkan. Kesemua gangguan tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada keharmonisan kehidupan manusia. Dari contoh kecil ini saja terlihat apa yang harus dilakukan dalam menyusun regulasi rantai pasok produk-produk yang berkaitan dengan bahan baku kayu dari mulai hulu sampai hilir. Di berbagai negara sudah dibatasi pemakaian kayu dari hutan alam. Kebutuhan kayu sebagai bahan baku bangunan, furniture, kertas, dan lain-lain hendaknya di pasok dari hasil budi daya. Kesemua pertimbangan tersebut sudah harus diintegrasikan pada sistem pengadaan, baik secara nasional maupun internasional. Dengan berpedoman pada SP, maka kebutuhan manusia saat ini dapat dipenuhi, dan kebutuhan di masa depanpun dapat tetap terjamin. Kebijakan yang mengatur rantai pasok bahan-bahan alamiah ini sering di istilahkan juga sebagai “green policy” atau kebijakan yang ”manusiawi”. Kasus lain yang menarik untuk dikaji adalah
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Untuk dapat melakukan konservasi energi dan mendorong terwujudnya pemakaian energi terbarukan secara berkelanjutan, maka proses pengadaan energi harus sudah dilaksanakan dengan mengadopsi prinsip-prinsip SP mengenai pengadaan energi. Sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, bahwa kita masih sangat bergantung pada energi yang berbasis fosil. Padahal energi ini termasuk unrenewable energy. Selain habis sekali pakai dalam proses eksploitasinya pun sering kali merusak lingkungan. Selain itu, energi yang berbasis fosil ini, dalam proses transformasinya seringkali menghasilkan pencemaran udara. Oleh karena itu dengan berpedoman pada SP, maka kini didorong untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan dan berbasis pada SDA yang bersifat renewable, seperti bio fuel, energi surya, energi air serta energi angin. Usaha untuk mengendalikan dan membatasi pemakaian energi berbasis fosil ini memang tidak mudah, karena menyangkut investasi yang cukup besar. Disamping itu juga berkaitan dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan serta faktor-faktor non teknis lainnya. Tetapi walau bagaimanapun usaha kearah ini harus terus dilakukan untuk menghindarkan dunia dari krisis energi serta kerusakan lingkungan yang semakin parah. Untuk dapat melakukan konservasi energi
dan mendorong terwujudnya pemakaian energi terbarukan secara berkelanjutan, maka proses pengadaan energi harus sudah dilaksanakan dengan mengadopsi prinsip-prinsip SP. Misalnya dalam penyediaan energi listrik perlu ditegaskan bahwa di masa depan, energi primer untuk pembangkit listrik harus menggunakan energi primer terbarukan seperti panas bumi, bio fuel, angin, air dan tenaga alam lainnya. Dengan demikian maka produksi energi listrik pun akan mendukung konservasi energi serta tidak mencemari lingkungan. Kasus lain yang juga menarik untuk dibahas adalah industri otomotif. Industri ini menarik untuk dikaji karena prosesnya sangat kompleks serta membutuhkan banyak sekali bahan baku dan akan melibatkan banyak industri lainnya. Melihat kompleksitas dan banyaknya industri yang terlibat, maka akan sangat menarik jika pada industri ini sudah diterapkan prinsip-prinsip SP. Misalnya untuk berbagai komponen dipersyaratkan mempergunakan bahan-bahan yang bersifat ramah lingkungan serta bisa didaur ulang. Dengan adanya kewajiban ini, maka konservasi SDA pun dapat dilakukan serta akan mendorong
5
6 JURNAL PENGADAAN
berbagai inovasi yang membuka peluang lapangan kerja baru. 2.2 Apa dan Siapa Promotor Sustainable Procurement Setelah membahas secara singkat mengenai konsep dasar SP, selanjutnya dua pertanyaan dasar yang akan dicoba untuk dijawab. Pertama mengapa SP perlu dilakukan? Kedua dimulai dari mana SP harus dilakukan ? Tidak hanya di Indonesia, kegiatan procurement yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah proses “pembelian”, pada mulanya sering dianggap hanya merupakan bagian kecil dari kegiatan manajemen. Hal ini tercermin dari kebanyakan struktur organisasi suatu institusi usaha yang hanya menempatkan bagian pembelian pada posisi yang tidak strategis dan tidak termasuk pada aras manajemen puncak. Bahkan hasil penelitian Ellegard di tahun 2006 di Inggris memperlihatkan bahwa banyak perusahaan khususnya SME (Small and Medium Enteprise) masih mengkategorikan kegiatan procurement, hanya sebagai aktifitas pelengkap dan bukan merupakan aktifitas kunci manajemen (Ramsay John, 2008). Padahal kalau dilihat dari volume transaksinya secara akumulatif sangat besar. Di berbagai negara OECD, aktifitas procurement barang/ jasa di sektor publik bisa mencapai 8 sampai 25 % dari GDP. Sedangkan di negara-negara Uni Eropa bisa mencapai 16 %. (Alfonso et
al, 2005). Di Inggris, misalnya, pada tahun 2007, transaksi pengadaan di sektor publik telah mencapai sekitar £ 150 miliar. Oleh karena itu di era modern ini, sangat tepat kalau istilah procurement diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “PENGADAAN”, karena tidak hanya berkaitan dengan proses pembelian tapi juga menyangkut seluruh siklus proses penguasaan barang/jasa dimulai dari Information gathering, Supplier contact:, Background review, Negotiation, Fulfillment, Consumption, maintenance, disposal, Renewal, and Tender Notification (Ardent Partners Research). Dari gambaran singkat di atas, dapat dibayangkan berapa banyak ekploitasi SDA yang dilakukan oleh umat manusia setiap tahunnya. Dari mulai energi, mineral, hasil hutan, sandang, papan serta bahan pangan. Untuk sektor energi saja, jutaan barel minyak bumi setiap tahunnya dipompa dari perut bumi, demikian juga jutaan metrik ton batu bara dan mineral lainnya di gali dari perut bumi, untuk dibakar menjadi energi dan jangan lupa menghasilkan efek samping berupa gas karbon yang mencemari udara. Hutan, yang juga merupakan paru-paru dunia, digunduli setiap saat untuk dijadikan berbagai bahan baku baik untuk bangunan, furnitur, kertas, dll. Ini semua menguras sumber daya alami sekaligus menghasilkan polusi. Dengan demikian kesetimbangan lingkungan terganggu dan inilah yang memicu terjadinya berbagai
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
bencana. Tentunya sangat tidak adil dan akan berdampak pada keberlanjutan lingkungan sosial dimasa depan, jika berbagai SDA tersebut, khususnya yang termasuk pada non renewable resources dihabiskan begitu saja. Inilah salah satu pertimbangan yang mendorong untuk mengembangkan ide bahwa faktor kesetimbangan dan keberlanjutan lingkungan harus masuk dan menjadi bagian strategis dalam proses pengadaan. Sebagaimana di uraikan di atas dari hasil pengamatan diberbagai negara, terlihat bahwa aktor terbesar dalam proses pengadaan adalah pemerintah. Demikian pula di Indonesia, pada tahun 2012 ini volume pengadaan barang/jasa di Indonesia kira-kira mencapai 45 s/d 50% dari APBN, belum termasuk APBD dan BUMN. Mengingat besarnya volume transaksi pengadaan di sektor publik, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa proses pengadaan barang/jasa publik sesungguhnya merupakan titik picu kegiatan ekonomi suatu negara. Di samping menjadi titik picu, sektor publik pun merupakan penggerak dan lokomotif berbagai kegiatan ekonomi sektor swasta. Dari berbagai penelitianpun terbukti bahwa sektor publik sangat mendominasi lalu lintas pengadaan barang/ jasa. Karena besarnya volume transaksi sektor publik, maka sektor ini sesungguhnya mam-
November 2012/Vol. 2 - No. 2
pu mempengaruhi perilaku pihak swasta (Helen, et al, 2009). Di samping itu, pengadaan barang/jasa sektor publik sesungguhnya merupakan belanja yang dibiayai dari uang para pembayar pajak. Oleh karenanya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas harus benar-benar ditegakkan. Pengadaan barang/jasa publik sesungguhnya juga dapat dijadikan faktor pengungkit (leverage factor) pencapaian misi pemerintah lainnya seperti merangsang munculnya berbagai inovasi, mendorong terwujudnya pemeliharaan lingkungan, menciptakan kehidupan sosial yang sejahtera serta menghidupkan pasar domestik yang berdaya saing (McCrudden, 2004). Oleh karenanya di berbagai negara maju (OECD), kegiatan pengadaan yang berbasis pada prinsip SP terlebih dahulu dimulai dari sektor publik. Pada tahun 2005, bahkan Inggris menyatakan dirinya ingin menjadi pelopor gerakan SP di Eropa Pemerintah dianggap layak untuk mempelopori gerakan SP karena pada dasarnya pemerintah memiliki dua peran yaitu “berpartisipasi dalam pasar sebagai pembeli dan pada saat yang sama, melalui penggunaan daya belinya dapat berperan sebagai regulator untuk memajukan konsep keadilan sosial” (McCrudden, 2004) Jika di sektor publik konsep SP dapat diberlakukan, maka sektor lainnya (swasta) akan terkena imbasnya secara langsung maupun tidak langsung.
7
8 JURNAL PENGADAAN
2.3 Kunci Sukses Sustainable Procurement Mengacu pada model yang dikembangkan oleh Geldeman et al, ditengarai bahwa ada empat faktor utama yang mempengaruhi tingkat kesuksesan implementasi SP. Keempat faktor tersebut adalah: 1) Penguasaan konsep, 2) Efisiensi/biaya, 3) Insentif organisational/faktor penekan 4) Keberadaan pemasok. Hubungan keempat faktor penentu tersebut secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut: Penguasaan konsep, faktor pertama keberhasilan implentasi SP adalah berkaitan dengan sosialisasi dan ketersediaan informasi mengenai SP itu sendiri. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksaan SP di sektor publik, tentunya organisasi/birokrasi pemerintahan harus betul-betul memahami konsep SP. Dengan demikian secara kelembagaan, berbagai instrument dan kebijakan untuk merealisasikan SP dapat terformulasikan dengan baik. Tanpa penguasaan mengenai filosofi dasar serta hakekat pentingnya SP bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka komitmen pemerintah dalam merealisasikan SP tidak akan terwujud dengan baik.
Kedua adalah faktor Efisiensi/Biaya. Sampai saat ini banyak pihak yang menganggap bahwa implementasi SP sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Kalau dilihat secara sempit, pendapat tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena untuk mengintegrasikan kepentingan pemeliharaan lingkungan pada operasional pengadaan barang/jasa tentunya membutuhkan biaya tambahan. Sehingga terasa biaya yang harus ditanggung menjadi bertambah mahal. Disamping itu ditinjau dari segi waktu proses biasanya juga bertambah lama. Selain membutuhkan biaya dan waktu yang lebih besar juga kompleksitas prosesnya akan semakin tinggi. Pandangan tersebut sebenarnya bisa dipatahkan oleh argumen yang didasarkan atas analisis kepentingan jangka panjang. Sebagaimana diketahui seringkali biaya penanggulangan kerusakan lingkungan akan mengakibatkan biasa sosial yang jauh lebih
Gambar 1. Faktor penentu tingkat kesuksesan implentasi SP.
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Tanpa penguasaan mengenai filosofi dasar serta hakekat pentingnya SP bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat yang sejahtera, maka komitmen pemerintah dalam merealisasikan SP tidak akan terwujud dengan baik. besar dibandingkan pengintegrasian kepentingan lingkungan pada proses pengadaan. Misalnya kalau kita mewajibkan semua pihak untuk mempergunakan kemasan dari bahan yang bisa didaur ulang, maka akan mengurangi volume sampah yang dihasilkan. Dengan tertanggulanginya persoalan sampah, maka biaya untuk pengelolaan sampahpun menjadi berkurang, dan lingkungan fisik serta sosial pun akan semakin nyaman. Pandangan jangka panjang yang komprehensif dan holistik inilah yang perlu dikemukakan, sehingga dalam menghitung biaya tidak hanya didasarkan analisis biaya sektoral secara parsial dan jangka pendek saja. Faktor ketiga yang sangat berpengaruh pada sukses tidaknya pelaksanaan SP adalah kepedulian dari organisasi. Kepedulian terhadap penyelamatan lingkungan serta kepentingan dimasa depan harus menjadi bagian dari budaya organisasi. Sehingga gerak langkah proses pengadaan apapun akan mengintegrasikan kepentingan konservasi lingkungan dan kemanfaatan yang tinggi bagi kehidupan sosial masyarakat dimasa kini dan
masa mendatang. Budaya perusahaan seperti demikian biasanya membutuhkan dukungan pimpinan yang visioner. Langkah lain untuk mendorong kepedulian para birokrat untuk mengintegrasikan kepentingan lingkungan pada proses pengadaannya adalah dengan pemaksaan yang diikat oleh satu aturan yang ketat. Misalnya dalam pengadaan energi, jika ada satu aturan yang tegas yang mewajibkan seluruh pemakaian energi harus mempergunakan energi ramah lingkungan, maka mau tidak mau seluruh usaha akan diarahkan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Faktor terakhir yang akan mendorong sukses tidaknya penerapan SP adalah keberadaan pemasok itu sendiri. Untuk menciptakan pemasok yang mampu mendukung kebutuhan ini, merupakan tantangan tersendiri. Saat sekarang tidak semua pemasok memiliki visi yang sama terhadap penyelamatan lingkungan. Oleh karena itu usaha ini harus merupakan usaha bersama dari seluruh pihak yang terkit dalam satu rantai pasok secara integratif. Pelibatan pemasok harus dimulai dari tahap perencanaan terutama pada saat me-
9
10 JURNAL PENGADAAN
nentukan spesifikasi suatu produk. Sehingga dari tahap awal sudah diketahui apakah bahan untuk membuat produk tersebut dapat disediakan atau tidak. Dengan kata lain apakah pemasoknya sudah ada atau tidak. Pada pengadaan barang publik yang mensyaratkan tender terbuka, kadang-kadang prinsip kemiteraan seperti tersebut di atas sulit untuk dilaksanakan. 3. Berbagai Pengalaman Praktis Internasional Setelah memahami konsep dasar SP, hal menarik untuk dibahas selanjutnya adalah pengalaman praktis penerapan SP. Dari berbagai literatur yang ada, belum banyak kajiadan penelitian yang mencoba memetakan pelaksanaan SP secara komprehensif dan mendasar. Walaupun demikian, ada beberapa hasil kajian yang menarik untuk dikemukakan diantaranya hasil penelitian Walker Helen, Brammer Stephen yang dipublikasikan pada tahun 2009. Best practises lainnya yang juga menarik untuk dipelajari adalah informatisasi proses pengadaan yang dilakukan oleh General Electric sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi yang juga berdampak pada penghematan pemakaian energi dan kertas. 3.1 Pengalaman Praktik Implementasi SP di Inggris Dalam laporan penelitiannya, Helen Walker dan Stephen Brammer mengisyaratkan
bahwa gagasan implementasi SP di Inggris tidak terlepas dari himbauan “World Summit on Sustainable Development” pada tahun 2002. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari pertemuan puncak ini adalah mendorong dimasukannya pertimbangan aspek lingkungan dalam merumuskan kebijakan pengadaan di sektor publik. Sebagaimana di uraikan di atas, sektor publik menjadi tumpuan harapan untuk dapat menerapkan prinsip SP, karena volumenya sangat besar dan juga merupakan sentral aktivitas ekonomi. Sehingga dampak penyelamatan lingkungannya juga akan signifikan. Disamping itu, pemerintah selain mengemban misi untuk meningkatkan efisiensi, pengurangan biaya, dan meningkatkan nilai pada proses pengadaannya juga memiliki tambahan kewajiban yaitu memelihara lingkungan fisik dan sosial sebagai tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat. Beberapa perusahaan swasta juga melaksanakan SP, akan tetapi sifatnya bukan merupakan kewajiban melainkan kesadaran yang bersifat volunteer. Dalam rangka mengemban misi mensukseskan pembangunan yang berkelanjutan, mitigasi pada dampak perubahan iklim, serta untuk konservasi SDA, pemerintah Inggris telah mencanangkan implementasi SP yang dimulai dari sektor publik. Target awal dari komitmen ini difokuskan pada tiga hal yaitu :
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
sektor publik menjadi tumpuan harapan untuk dapat menerapkan prinsip SP, karena volumenya sangat besar dan juga merupakan sentral aktivitas ekonomi. 1). Memberikan bantuan pada berbagai usaha pengurangan emisi carbon, pemakaian energi dan air, pengurangan serta pendaur ulangan sampah. 2). Membantu untuk melindungi keanekaragaman hayati (biodiversity), dan 3). Melarang penggunaan produk-produk kayu ilegal atau yang tidak sesuai dengan program pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya ada 10 sektor yang mulai didorong untuk melaksanakan SP yaitu ; 1). Konstruksi (bangunan dan mereparasi jalan raya dan jalan lokal, operasi dan pemeliharaan); 2). Perawatan Kesehatan dan Sosial (biaya operasional rumah sakit, rumah perawatan sosial dan penyediaan perawa-
tan); 3). Makanan; 4). Pakaian dan tekstil lainnya; 5). Limbah; 6). Pulp, kertas dan percetakan; 7). Energi; 8). Barang-barang konsumabel (mesin kantor dan komputer); 9). Mebel; serta 10). Sektor transportasi/kendaraan bermotor. Selanjutnya penelitian ini mengemukakan bahwa dari survey terhadap 106 responden di sektor pelayanan umum, kesehatan, pendidikan dan sektor lainnya, respons terhadap implementasi SP dapat dipetakan sebagai berikut (lihat tabel1 ).
Tabel 1 : . Hasil penelitian Implementasi SP di Inggris. (Walker et al, 2009) RATA-RATA NILAI VARIABEL DENGAN MEMPERGUNAKAN SKALA LIKERT (5)
VARIABEL SP
PELAYANAN PUBLIK
KESEHATAN
PENDIDIKAN
LAINNYA
TOTAL
41
28
21
16
106
Menggunakan analisis siklus hidup untuk mengevaluasi tingkat keramahan lingkungan dari produk dan kemasan
2.71
2.71
3.00
2.87
2.79
Memiliki pemasok MWBE program pembelian resmi
2.17
2.07
2.19
2.33
2.17
11
12 JURNAL PENGADAAN
Berpartisipasi dalam desain produk yang berbasis pada prinsip daur ulang
2.24
2.46
2.71
2.20
2.39
Memastikan kemanan pergerakan produk pada fasilitas yang dimiliki
3.22
3.50
3.71
3.53
3.44
Melakukan pembelian dari pemasok MWBE
2.49
2.29
2.86
2.67
2.53
Berpartisipasi pada badan amal lokal
2.83
2.33
2.90
2.47
2.66
Meminta pemasok untuk berkomitment pada program pengurangan waste (sampah)
2.88
2.75
3.62
2.87
2.99
Melakukan pembelian dari pemasok kecil
4.27
3.54
4.05
3.80
3.96
Melakukan kunjungan ke pabrik pemasok untuk memastikan bahwa mereka tidak menggunakan tenaga kerja “sweatshop”
2.49
2.04
2.90
2.80
2.50
Berpartisipasi dalam desain produk untuk proses “disassembly”
2.34
2.07
2.33
2.33
2.27
Meminta pemasok untuk membayar "upah layak" lebih besar dari suatu negara atau upah minimum regional
2.78
2.29
2.90
2.80
2.50
Menyumbang kepada organisasi filantropi
2.61
2.14
2.48
2.60
2.46
Memastikan bahwa lokasi pemasok dioperasikan dengan cara yang aman
3.39
2.93
3.67
3.40
3.32
Memastikan bahwa pemasok mematuhi hukum pekerja anak
3.34
3.32
3.67
3.27
3.39
Melakukan pembelian dari pemasok lokal
4.23
3.50
3.71
3.40
3.81
Mengurangi pemakaian kemasan
3.24
3.25
3.67
3.07
3.30
Catatan: 1. Sangat Tidak Setuju ; 5. Sangat Setuju
Dari tabel di atas, terlihat bahwa respon sektor publik pada implementasi SP sangat bagus terlihat dari semua rata nilai variabelnya > 2, bahkan ada yang mencapai 3,6 hampir 4. Hal yang menarik lainnya adalah, bahwa semua sektor sangat setuju untuk memilih pe-
masok kecil (3,96) dan pemasok lokal (3,81) dalam memenuhi kebutuhan barang/jasanya. Hal ini memperlihatkan adanya komitmen keberpihakan pada industri kecil. Kebijakan ini tentunya akan meningkatkan stabilitas dan sosial ekonomi seluruh masyarakat. Hal me-
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
narik lainnya adalah adanya kemauan untuk mengurangi bahan-bahan kemasan yang pada dasarnya tidak berguna. Dengan demikian efisiensi akan meningkat dan jumlah sampah yang dihasilkanpun akan berkurang. Selanjutnya dari tabel di atas terlihat pula adanya komitmen untuk merajut jejaring kerja antara pemakain (user) dan pemasok (supplier) yang lebih erat. Hal ini terlihat adanya ide untuk berpartisipasi dengan pemasok dimulai dari proses design dan juga telah mempertimbangkan penggunaan bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Dari gambaran singkat ini terlihat bahwa di Inggris implementasi SP sudah mulai dilaksanakan. Kata kuncinya adalah adanya kemauan yang kuat dari semua pihak, khususnya pemerintah serta adanya konsistensi dalam melaksanakan seluruh kebijakan SP. 3.2 Pengalaman Praktik Implementasi di sektor Swasta Banyak anggapan bahwa untuk melaksanakan SP di sektor swasta biasanya membutuhkan biaya yang sangat tinggi dan prosesnya tidak efisien. Oleh karena itu SP sering dianggap tidak feasible untuk dilaksanakan oleh pihak swasta. Peryataan tersebut tidak sepenuhnya benar, ada kasus menarik yang ingin kami kemukakan disini yaitu usaha dari General Electric (GE) untuk meningkatkan efisiensi proses
November 2012/Vol. 2 - No. 2
pengadaannya. GE lighting adalah salah satu divisi dari GE yang memproduksi bola lampu. Jumlah pabrik yang dimilikinya pada tahun 1994 saja sudah mencapai 46 pabrik yang tersebar diseluruh dunia. Dalam memproduksi lampunya, GE lighting membutuhkan beragam material yang dipasok tidak kurang dari 25.000 pemasok yang juga tersebar diseluruh dunia. Dengan kondisi ini salah satu biaya yang cukup besar adalah biaya proses pengadaannya, karena jika GE akan memproduksi suatu produknya, maka dia harus mengirimkan dokumen spesifikasi produk (part drawing) serta RFQs (Requesst for Quates) yang biasanya cukup tebal keseluruh pemasok diseluruh dunia. Dari satu aspek ini saja sudah dapat dibayangkan biaya yang dibutuhkannya yang mencakup; 1) biaya fotokopi (penggandaan), 2) biaya pembeliaan kertas, amplop dll, 3) biaya pengiriman (ekspedisi). Di samping kebutuhan bahan-bahan untuk pengadaan dokumen spesifikasi produk, juga dibutuhkan sejumlah tenaga kerja untuk mengerjakan proses tersebut. Proses ini cukup memakan waktu yang panjang karena harus mengirim dan menunggu jawaban, paling tidak dibutuhkan waktu sekitar 1 bulan, belum ditambah untuk analisis penawaran dari pemasok dan keputusan untuk menen-
13
14 JURNAL PENGADAAN
tukan siapa pemenangnya. Jika GE lighting ini membutuhkan ratusan material dari ribuan pemasok, maka dapat dibayangkan kesibukan proses pengadaan setiap tahunnya dan besarnya biaya yang dibutuhkannya. Untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya pada proses pengadaan di GE lighting, maka pada tahun 1996 dibangunlah suatu aplikasi berbasis WEB yang dinamakan GE Trading Process Network. Pada saat ini aplikasi tersebut barangkali dapat dikategorikan sebagai e-procurement. Melalui sistem inilah komunikasi dan koordinasi antara GE dan pemasoknya serta antar pabrik GE dilakukan. Dengan adanya sistem ini ternyata efek dominonya sangat panjang dan meningkatkan manfaat serta pengurangan biaya yang luar biasa besarnya. Beberapa tangible dan intangibel benefit-nya diantaranya adalah sebagai berikut : 1). Keterlibatan pekerja dalam proses pengadaan menurun sebanyak 30%. 2). 60 % dari pekerja yang sudah tidak terlibat pada proses pengadaan dapat dipindahkan dan didayagunakan pada bagian lain, sehingga produktifitas tenaga kerjapun semakin meningkat. 3). Kualitas hasil kerja para tenaga pun dapat ditingkatkan karena 6 sampai 8 hari kerjanya yang biasanya hanya digunakan un-
tuk mengerjakan pekerjaan teknis seperti fotokopi, mengirimkan dokumen, mengadiminstrasikan ekspedisi dll, kini dapat dialihkan pada pekerjaan yang lebih strategis, dan memikirkan pengembangan perusahaan. Dengan demikian para pekerja dapat menggunakan kapasitas intelektualnya lebih intensif dibandingkan penggunaan ototnya. 4). Menghemat waktu kerja. Proses pengadaan yang dilakukan secara manual biasanya membutuhkan waktu sekitar 8 sampai 23 hari kerja dimulai dari identifikasi pemasok, mengirimkan dokumen penawaran, menganalisis hasil sampai menentukan pemenang dan melakukan kontrak. Kini melalui sistem ini hanya dibutuhkan waktu kerja antara 9 sampai 11 hari kerja. Dengan adanya pengurangan waktu tentunya akan menurunkan biaya serta meningkatkan produktifitas proses produksi itu sendiri. Dengan demikian kapasitas produksi dapat tingkatkan. Dari kasus ini banyak pelajaran yang dapat dipetik (lesson learned) diataranya adalah melalui sistem elektronik tidak dibutuhkan kertas yang banyak, tinta mesin fotokopi, energi listrik maupun bahan bakar, kemasan serta bahan habis lainnya. Dengan demikian tujuan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi (mengurangi biaya), meningkatkan
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Untuk menjawab tantangan dunia dalam rangka menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan konservasi SDA, maka prinsip pembangunan berkelanjutan serta berkeadilan sudah selayaknya dilakukan secara konsisten dan konsekuen. produktifitas (menaikkan utilitas jam kerja) serta meningkatkan kinerja pekerja dapat tercapai dengan baik. Disamping itu ada dampak ikutannya adalah konservasi SDA berupa kertas, energi serta material lain yang biasanya menimbulkan pencemaran (tinta, dll). Melalui sistem ini pula terjalin rantai nilai (value chain) dari rantai pasok (supply chain) yang kokoh dan saling menguntungkan. Dari gambaran kasus kecil ini, pada hakekatnya solusi efisiensi pengadaan yang dikembangkan oleh GE dapat dikategorikan sebagai praktik SP di sektor swasta yang cukup sukses. 5. Penutup Untuk menjawab tantangan dunia dalam rangka menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan konservasi SDA, maka prinsip pembangunan berkelanjutan serta berkeadilan sudah selayaknya dilakukan secara konsisten dan konsekuen. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengimplementasikan konsep SP pada berbagai aktifitas pengadaan khususnya di sektor publik. Pemerintah harus menjadi promotor utama,
karena volume pengadaan barang/jasa yang paling besar adalah disektor publik. Disamping itu pemerintah memilki peran ganda yaitu sebagai aktor ekonomi dan sekaligus juga sebagai regulator. Pemerintah dalam hal ini harus menjadi role model bagi pelaku ekonomi lainnya (sektor swasta) dengan menetapkan SP menjadi kebijakan utama bagi proses pengadaan barang/jasa publik. Sesuai dengan model yang dikembangkan Geldeman et al, maka langkah-langkah yang harus diambil diantaranya adalah, pertama mengintesifkan sosialisasi filosofis SP kepada semua pihak sehingga konsep tersebut dapat dipahami secara cermat. Kedua meningkatkan pemahaman bahwa implementasi SP memang seringkali terlihat membutuhkan biaya yang cukup besar, akan tetapi manfaat jangka panjangnya pun sangat besar. Sehingga dana yang dikeluarkan dalam rangka mengimplementasikan SP ini sejatinya digolongkan pada investasi. Faktor ketiga yang harus mendapat perhatian adalah pengembangan sistem reward and punishment. Bagi yang mengembangkan SP diberi insentif sedangkan yang
15
16 JURNAL PENGADAAN
melanggar tentunya diberi teguran. Dalam hal ini penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan. Faktor penting lainnya adalah pembinaan pemasok. Implementasi SP akan berjalan dengan baik jika ada kerjasama yang harmonis atara pengguna dan pemasok. Kemitraan ini harus sudah dimulai dari tahap disain suatu produk atau jasa. Sehingga spesifikasi teknisnya dapat dirumuskan bersama antara pengguna dan pemasok.
Pelaksanaan SP memang kompleks, akan tetapi kalau tidak dimulai maka tidak akan pernah terwujud. Mengutip kata-kata bijak dari Walter Aigner “A mind is like a parachute, it works when it’s open”. Apapun tidak akan terjadi kalau kita tidak berani memulai.
Sistem Pengadaan Berkelanjutan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
DAFTAR PUSTAKA Alfonso, A., Schuknecht, L. and Tanzi, (2005) ‘Public Sector Efficiency: An International Comparison’, Public Choice, Vol 123 no 3/4, pp 321-347 Ardent Partners Research - CPO 2011: “Innovative Ideas for the Decade Ahead”. Brammer Stephen, Walker Helen, (2011), “Sustainale procurement in the public sector : an international comparative study”, International Journal of Operations & Production Management Vol 31 No 4, pp 452-476. Conner S David, Nowak Andrew, Berkenkamp JoAnne, Feenstra Gail W, Van Soelen Kim Julia, Liquori Toni,e and Hamm Michael W, 2011, “Value chains for sustainable procurement in large school districts: Fostering partnerships” Journal of Agriculture, Food Systems, and Community Development. Dadan U D, 2000, “Cyber Communities”, hands out kuliah Magister Teknik Industri. HM Treasury (2000), “Government accounting 2000”. Mc Crudden, C. (2004), “Using public procurement to achieve social outcomes”, Natural Resources Forum, Vol. 28 No. 4, pp. 257-67.
Preuss Lutz, (2009), “Addressing sustainable development through public procurement: the case of local government”, Supply Chain Management: An International Journal, Vol 14 No 3, pp 213–223. Ramsay John, (2008), “Purchasing theory and practice: an agenda for change”, The Business School, Staffordshire University, Stokeon-Trent, UK, European Business Review Vol. 20 No. 6, 2008 pp. 567-569, Emerald Group Publishing Limited 0955-534X United Nations Commission on Sustainable Development, the 1987 Brundtland Report, “Our Common Future”. US Gouverment Accountability Office, 2007, “District of Columbia : Public Procurement System Needs Mayor Reform”, Journal of Public Procurement, V olume 7 Issue 2, p 229279. Walker Helen, Brammer Stephen, (2009), “Sustainable procurement in the United Kingdom public sector” Supply Chain Management: An International Journal Voluma 14/2, pp 128–137.
17
PORSI ANGGARAN PENGADAAN BARANG/JASA PADA APBN
18 JURNAL PENGADAAN
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa pada APBN Tujuan suatu negara pada dasarnya adalah memajukan kesejahteraan dan melindungi rakyatnya, serta mencukupi kepentingan-kepentingan lain rakyatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sekaligus melekat pada fungsi negara yang dapat dikategorikan sebagai fungsi utama negara dan fungsi sebagai agen pembangunan.
M. TRISNO HADISAPUTRA Fungsi utama negara adalah melaksanakan tugas yang membawa akibat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Sedangkan dalam menjalankan fungsi sebagai agen pembangunan, pemerintah bertindak sebagai pendorong inisiatif atau pendorong motivasi rakyat dalam usahanya untuk mengadakan perubahan dan pembangunan masyarakat menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, berupa pemberian fasilitasfasilitas fisik, dan lain-lain.
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
S
elain menjalankan kedua fungsi tersebut, pemerintah memiliki tugas lain yaitu sebagai pengelola keuangan negara. Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan kepada pihak ketiga. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran bersangkutan harus dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN pada hakekatnya merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau pembiayaan
November 2012/Vol. 2 - No. 2
yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan organisasi, fungsi, program/kegiatan, dan jenis belanja. Dengan disahkannya APBN, berarti DPR telah memberikan otorisasi kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan program/kegiatan dengan pagu anggaran yang dimilikinya. APBN yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan Presiden menjadi UU APBN dan selanjutnya dimuat dalam Lembaran Negara. UU APBN dilengkapi dengan rincian APBN yang dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN. Postur APBN Tahun Anggaran 2012 APBN memiliki fungsi strategis sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam mempengaruhi perekonomian nasional. APBN diupayakan dapat berfungsi secara optimal untuk meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi, atau dengan kata lain bersifat kontra-siklis. Hal tersebut berarti bahwa dalam kondisi perekonomian yang lesu, pengeluaran pemerintah yang bersifat autonomous, khususnya belanja barang/jasa serta modal, dapat memberikan stimulasi kepada perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya dalam kondisi perekonomian yang tengah memanas akibat terlalu tingginya permintaan agregat,
19
20 JURNAL PENGADAAN
dalam kondisi perekonomian yang tengah memanas akibat terlalu tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat didayagunakan untuk berperan dalam mendinginkan roda kegiatan ekonomi dengan menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian melalui dampak konstraksi APBN. kebijakan fiskal dapat didayagunakan untuk berperan dalam mendinginkan roda kegiatan ekonomi dengan menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian melalui dampak konstraksi APBN. Dalam nota keuangan yang disampaikan pemerintah kepada DPR dapat dilihat kebijakan alokasi anggaran belanja negara dalam RAPBN tahun 2012 diarahkan kepada upaya mendorong pertumbuhan di daerah melalui pengembangan koridor ekonomi, membangun infrastruktur yang mendukung terwujudnya keterhubungan wilayah, mendorong percepatan pembangunan Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur, memperluas partisipasi seluruh pemangku kepentingan, termasuk melibatkan unsur swasta, serta mendorong pelaksanaan program perlindungan sosial yang berpihak kepada masyarakat lemah dan tertinggal. Di samping itu, kebijakan alokasi anggaran juga tetap diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pen-
dapatan negara, meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan secara hatihati dan meningkatkan pemanfaatannya untuk kegiatan produktif. Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada RAPBN tahun 2012 akan difokuskan untuk memberikan dukungan terhadap: (1) peningkatan belanja infrastruktur; (2) pelaksanaan klaster 4, yang terdiri dari 6 program utama, dan 3 prioritas utama; (3) program perlindungan sosial dalam bentuk program Jamkesmas, program keluarga harapan (PKH), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), BOS, dan raskin; (4) peningkatan belanja untuk bidang perekonomian yang ditujukan untuk perluasan dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas; (5) implementasi anggaran berbasis kinerja oleh K/L dengan pendekatan pencapaian output dan outcome; (6) peningkatan kemampuan pertahanan menuju minimum essential force; (7) perbaikan kese-
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
jahteraan aparatur negara dan perluasan kebijakan reformasi birokrasi; (8) pengendalian pengangkatan PNS pusat dan daerah dengan mengarahkan kepada kebijakan zero growth; (9) pengalokasian anggaran subsidi agar lebih tepat sasaran; (10) peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara; serta (11) pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan mengarahkan pemanfaatan anggarannya untuk meningkatkan aksesibilitas serta kualitas sarana dan prasarana pendidikan. Dalam UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 yang telah disahkan DPR, postur APBN 2012 meliputi pokok-pokok besaran sebagai berikut : a. Pendapatan negara dan penerimaan hibah direncanakan mencapai Rp1.311,4 triliun. Anggaran pendapatan negara dan hibah diperoleh dari sumber-sumber; (a) penerimaan perpajakan yang direncanakan sebesar Rp 1.032,6 triliun; (b) penerimaan negara bukan pajak yang direncanakan sebesar Rp 278 triliun; (c) penerimaan
hibah yang direncanakan sebesar Rp 825,1 miliar. b. Belanja negara direncanakan sebesar Rp 1.435,4 triliun. Jumlah ini, berarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp 114,6 triliun atau 8,68 persen dari pagu anggaran belanja negara dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 1.320,8 triliun. Anggaran belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat dan anggaran transfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat dalam tahun 2012 direncanakan sebesar Rp 965 triliun. Sementara itu, anggaran transfer ke daerah dalam APBN tahun 2012 direncanakan sebesar Rp 470,4 triliun. c. Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp 124 triliun. d. Pembiayaan defisit APBN 2012 direncanakan berasal dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 125,9 triliun, dan pembiayaan luar negeri (netto) yang diperkirakan sebesar negatif Rp 1,9 triliun.
Tabel 1 STRUKTUR APBN 2012
(dalam jutaan rupiah) A
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH I
PENERIMAAN DALAM NEGERI 1
Penerimaan Perpajakan
2
Penerimaan Negara Bukan Pajak
1,311,386,679.47 1,310,561,587.88 1,032,570,205.00 277,991,382.88
21
22 JURNAL PENGADAAN
II B
HIBAH
825,091.59 1,435,406,720.00
BELANJA NEGARA I
BELANJA PEMERINTAH PUSAT
964,997,261.41
II
TRANSFER KE DAERAH
470,409,458.59
1
Dana Perimbangan
2
Dana Otsus dan Penyesuaian
C
KESEIMBANGAN PRIMER
D
SURPLUS/DEFISIT
E
PEMBIAYAAN
399,985,581.06 70,423,877.53 (1,802,430.53) (124,020,040.53) 124,020,040.53
1
PEMBIAYAAN DALAM NEGERI
2
PEMBIAYAAN LUAR NEGERI
125,912,297.44 (1,892,256.91)
Sumber : APBN 2012
Komposisi Belanja Negara dalam APBN Anggaran belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat (belanja pemerintah pusat) dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (transfer ke daerah). Belanja pemerintah pusat dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Rincian belanja pemerintah pusat menurut
jenis belanja terbagi atas 8 jenis belanja, yaitu: belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Anggaran transfer ke daerah dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus), dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian.
Grafik 1
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat TA 2012 !"#$%&$'678$#' 29-/90'
(":;$<$1$%'=>$%)' 2,-??0'
!"#$%&$'!$1$%)' 23-450'
@A;B+8+' ,2-?90'
!"#$%&$'(")$*$+' ,,-./0'
!"#$%&$'F$+%GF$+%' ,-390'
!"#$%&$'@7B+$#' 4-390'
!"#$%&$'C+;$D' E-230'
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Tabel 2
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2012 (dalam triliun rupiah) Jenis belanja
Pagu
%
Belanja Pegawai
215.90
22.37%
Belanja Barang
188.00
19.48%
Belanja Modal
152.00
15.75%
Pembayaran Utang
122.20
12.66%
Subsidi
208.90
21.65%
Belanja Hibah
1.80
0.19%
Belanja Sosial
47.80
4.95%
Belanja Lain-Lain
28.50
2.95%
Total Belanja
965.10
100.00%
Sumber : Kemenkeu
Dari alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN 2012 sebesar Rp 965 triliun, sekitar Rp 215,9 triliun atau 22,37 persen dialokasikan untuk belanja pegawai, sekitar Rp 188,0 triliun atau 19,48 persen untuk belanja
barang, sekitar Rp 152,0 triliun atau 15,75 persen untuk belanja modal, sekitar Rp 122,2 triliun atau 12,66 persen untuk pembayaran bunga utang, sekitar Rp 208,9 triliun atau 21,65 persen untuk subsidi, sekitar
Grafik 2
Komposisi Transfer ke Daerah TA 2012
!"#"$0*12")'$3454$ 67-+,/$ !"#"$%"&'$(")'*$ +,-+./$
!"#"$=>#?>)5"'"#$ ,+-<@/$
A54B>C$D$$0=%E$+F,+$
!"#"$:;)5)$ +-6$
!"#"$0*12")'$895)5)$ 6-66/$
23
24 JURNAL PENGADAAN
Rp 1,8 triliun atau 0,19 persen untuk belanja hibah, sekitar Rp 47,8 triliun atau 4,95 persen untuk bantuan sosial, dan sekitar Rp 28,5 triliun atau 2,95 persen untuk belanja lainlain.Dari alokasi anggaran transfer ke daerah dalam APBN 2012 sebesar Rp 470,41 triliun, sekitar Rp 100,06 triliun atau 21,27 persen dialokasikan untuk dana bagi hasil, sekitar Rp 273,81 triliun atau 58,21 persen untuk dana alokasi umum, sekitar Rp 26,12 triliun atau 5,55 persen untuk dana alokasi khusus, sekitar Rp 11,95 triliun atau 2,54 persen untuk dana otonomi khusus, dan sekitar Rp 58,47 triliun atau 12,43 persen untuk dana penyesuaian. Porsi Pengadaan Barang/Jasa dalam APBN TA 2012 Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan APBN. Hampir sebagian besar belanja pemerintah yang dialokasi dalam APBN dilaksanakan melalui proses pengadaan barang/jasa, seperti belanja barang, belanja modal, sebagian belanja bantuan sosial, dan belanja hibah. Belanja barang yang dialokasikan merupakan pengeluaran pemerintah dalam rangka pengadaan/pembelian barang/jasa non investasi guna mendukung kegiatan operasional pemerintah. Sedangkan belanja modal adalah belanja pemerintah pusat yang dilakukan
dalam rangka pembentukan modal/investasi dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya. Belanja modal dialokasikan untuk mendukung pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja, dan mengentaskan kemiskinan. Dari total belanja pemerintah pusat TA 2012 sebesar Rp 965 triliun, sekitar Rp 340 triliun atau 35,23% merupakan pengeluaran dalam rangka pengadaan/pembelian barang/jasa non investasi melalui belanja barang dan investasi melalui belanja modal. Angka tersebut belum termasuk sebagian belanja bantuan sosial berbentuk barang dan belanja terkait program PNPM Mandiri sebesar Rp 8,47 triliun yang dibelanjakan oleh Kementerian negara/ Lembaga (K/L). Di samping itu terdapat belanja hibah sebesar Rp 1,8 triliun melalui Kementerian Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara (BUN) kepada daerah dalam upaya mendukung peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dasar umum dalam bidang perhubungan, pendidikan, irigasi, perkebunan kelapa sawit, dan eksplorasi geothermal dengan rincian yaitu: Mass Rapid Transit (MRT) Project sebesar Rp 1,53 triliun, Pro-
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
gram Local Basic Education Capaciity (L-BEC) sebesar Rp 11,5 miliar, Development of Seulawah Agam Geothermal in NAD Province sebesar Rp 23,16 miliar, Water Resources and Irrigation
System Management Project APL 2 (WISMP-2) sebesar Rp 147,78 miliar, dan Simeuleu Physical Infrastructure Project-Phase 2 sebesar Rp 81,16 miliar.
Tabel 3
Komposisi Anggaran Transfer ke Daerah Tahun 2012 (dalam triliun rupiah) Jenis Transfer
Pagu
%
Dana Bagi Hasil
100.06
21.27%
Dana Alokasi Umum
273.81
58.21%
Dana Alokasi Khusus
26.12
5.55%
Dana Otsus
11.95
2.54%
Dana Penyesuaian
58.47
12.43%
Jumlah Total
470.41
100.00%
Sumber : Kemenkeu
Grafik 3
Porsi Pengadaan Barang / Jasa Melalui Belanja K/L dan BUN !#$$%$$!!
!)((%$$!! !)>#%$$!!
!)($%$$!! !)'$%$$!! !)&$%$$!! !)#$%$$!! !)$$%$$!! !($%$$!! !'$%$$!! !&$%$$!!
!(%&?!!
!)%($!!
*+,-./-!*-.646!78983! 3-.5:1:;!
*+,-./-!<:0-=!
!#$%$$!! !"!!
*+,-./-!0-1-.2!
*+,-./-!345-,!
25
26 JURNAL PENGADAAN
Selanjutnya dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, sebagai salah satu sumber pendanaannya, dalam APBN 2012 dialokasikan transfer ke daerah sebesar 470,41 triliun. Sebagian besar merupakan dana yang bersifat block grant mencapai kisaran 79, 48% atau Rp 337,87 triliun dari total keseluruhan dana transfer ke daerah yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Jenis transfer ke daerah lainnya yang sudah ditentukan penggunaannya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersifat specific grant untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana DAK sebesar Rp 26, 12 triliun untuk membiayai kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum, infrastruktur sanitasi, prasarana pemerintahan daerah, kelautan dan
perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana, kehutanan, sarana prasarana daerah tertinggal, perdagangan, listrik pedesaan, perumahan dan permukiman, transportasi perdesaan, sarana dan prasarana kawasan perbatasan, dan keselamatan transportasi darat. Alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp 11,95 triliun, dialokasikan untuk dana otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan, dana otonomi khusus Aceh untuk pendanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan, sedangkan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur.
Tabel 4 Alokasi Dana Otonomi Khusus TA 2012 Uraian
Pagu
Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
3,833,402,135,000
Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat
1,642,886,629,000
Dana Otonomi Khusus Aceh
5,476,288,764,000
Dana Tambahan Infrastruktur Otsus Provinsi Papua
571,428,571,000
Dana Tambahan Infrastruktur Otsus Provinsi Papua Barat
428,571,429,000
Jumlah Total Sumber : APBN 2012
11,952,577,528,000.00
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Grafik 4
Porsi Pengadaan Barang/Jasa Melalui Transfer Daerah (DAK & Otsus) (dalam Milyar)
Perkembangan Anggaran Belanja Pemerintah, 2008-2011 Perkembangan kebijakan belanja pemeritah pusat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Salah satu kebijakan belanja pemerintah yaitu dapat meningkatkan dampak anggaran (multiplier effect) dari setiap pengeluaran, agar APBN semakin efektif dalam memberikan stimulus kepada perekonomian. Belanja pemerintah melalui belanja barang dan belanja modal mendapat perhatian yang cukup besar karena dapat menstimulasi perekonomian. Hal ini menunjukkan proses pengadaan barang/jasa memiliki peran yang sangat penting untuk menggerakkan aktivitas ekonomi dilihat dari alokasi anggaran yang dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tabel 5 dapat kita lihat bahwa alokasi pagu belanja barang, belanja modal, bantuan
sosial dan belanja hibah dari tahun 2008 hingga 2011 mengalami kenaikan. Untuk alokasi belanja barang pada tahun 2009 sebesar Rp 85,46 triliun mengalami kenaikan sebesar Rp 17,98 triliun dibandingkan alokasi tahun 2008. Kemudian meningkat di tahun 2010 menjadi Rp 112,59 triliun. Dan pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp 30,21 triliun menjadi Rp 142,80 triliun dari alokasi yang dianggarkan pada tahun 2010 sebesar Rp 112,59 triliun. Untuk belanja modal pada tahun 2009 dialokasikan sebesar Rp 73,38 triliun mengalami penurunan dibandingkan alokasi tahun 2008 sebesar Rp 85,07 triliun. Kemudian meningkat di tahun 2010 menjadi Rp 95,02 triliun, dan pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp 45,98 triliun menjadi Rp 141,0 triliun dari alokasi yang dianggarkan pada tahun 2010 sebesar Rp 95,02 triliun.
27
28 JURNAL PENGADAAN
proses pengadaan barang/jasa memiliki peran yang sangat penting untuk menggerakkan aktivitas ekonomi dilihat dari alokasi anggaran yang dilaksanakan melalui pengadaan barang/jasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 5 Perkembangan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat (dalam Triliun Rupiah)
Uraian
2008
2009
2010
2011
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Belanja Barang
67.48
55.96
85.46
80.67
112.59
97.60
142.80
121.00
Belanja Modal
85.07
72.77
73.38
75.87
95.02
80.29
141.00
115.90
Belanja Bantuan Sosial
59.70
57.74
77.93
73.81
71.17
68.61
81.80
70.90
-
-
0.03
-
0.24
0.07
0.40
0.30
Belanja Hibah
Sumber : LKPP Audited 2008-2010, Kemenkeu Grafik 5
Tren Pagu Belanja 2008 - 2011 (Dalam Trilyun Rupiah) (&!"!!#
(%$"'!#
(%!"!!#
(%("!!#
($!"!!# (!!"!!# '!"!!#
(($"+)# **"),# )+"!$#
'+"%
'+"!*#
+)"*!#*,",'#
'("'!#
*("(*#
&*"%'#
&!"!!#
!"!!#
%!"!!#
!"!,#
!"$%#
$!"!!# !"!!# $!!'#
-./0120#-03014#
$!!)#
-./0120#5670/#
$!(!# -./0120#-018901#:6;<0/#
$!((# -./0120#=<>0?#
!"%!#
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
Realisasi belanja memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, realisasi belanja barang mencapai 55,96 triliun, dan pada tahun 2009 sebesar Rp 80,67 triliun dari yang dianggarkan sebesar Rp 85,46 triliun. Kemudian meningkat di tahun 2010 menjadi Rp 97,60 triliun. Dan pada tahun 2011, realisasi penyerapan mencapai sebesar Rp 121,0 triliun. Untuk realisasi belanja modal juga memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, realisasi belanja modal mencapai 72,77 triliun, dan pada tahun 2009 sebesar Rp 75,87 triliun dari yang dianggarkan sebesar Rp 73,38 triliun. Kemudian meningkat di tahun 2010 menjadi Rp 80,29 triliun, dan pada tahun 2011, realisasi penyerapan mencapai sebesar Rp 115,90 triliun. Namun baik realisasi belanja pegawai maupun belanja modal belum mengalami penyerapan secara maksimal dari pagu dana yang disediakan. Hal yang terjadi selama ini menunjukkan kurang optimalnya penyerapan anggaran belanja dan cenderung menumpuk di akhir tahun. Salah satu kendala yang ditengarai menjadi penyebab kurang optimalnya penyerapan anggaran belanja adalah kesiapan kementerian negara/lembaga dalam melaksanakan prosedur pengadaan barang/jasa serta kesiapan dalam menyediakan berbagai doku-
November 2012/Vol. 2 - No. 2
men pencairan. Hal ini yang perlu mendapat perhatian dari K/L agar alokasi belanja yang disediakan dalam APBN dapat memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat melalui konsumsi dan investasi dari belanja pemerintah. Untuk transfer ke daerah terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Otonomi Khusus untuk periode tahun 2008-2011 mengalami perubahan alokasi anggaran sebagaimana pada tabel 4. Alokasi DAK pada tahun 2009 sebesar Rp 24,82 triliun mengalami kenaikan sebesar Rp 3,62 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk alokasi tahun 2010 mengalami penurunan dengan alokasi sebesar Rp 21,14 triliun. Dan pada tahun 2011 alokasi DAK mengalami kenaikan sebesar Rp 4,06 triliun menjadi Rp 25,20 triliun. Sedangkan alokasi Dana Otsus pada tahun 2008 dialokasikan sebesar Rp 7,51 triliun. Sedangkan pada tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp 9,10 triliun yang berarti mengalami penurunan sebesar Rp 0,43 triliun dari dana yang dialokasikan pada tahun 2009 sebesar Rp 9,53 triliun. Dan pada tahun 2011 dana otsus dialokasikan sebesar Rp 10,40 triliun. Realisasi Transfer DAK ke daerah dari tahun 2008-2011 rata-rata mencapai 98% dari jumlah pagu dana, sedangkan realisasi trans-
29
30 JURNAL PENGADAAN
fer dana otsus dari tahun 2008-2011 mencapai 100% dari jumlah dana otsus yang dianggarkan. Realisasi DAK pada tahun 2008 mencapai Rp 20,79 triliun. Pada tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar Rp 3,92 triliun
dari tahun sebelumnya. Sedangkan untuk tahun 2011, realisasi mencapai Rp 24,80 triliun, yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 3,84 triliun dibandingkan realisasi pada tahun 2010 sebesar Rp 20,96 triliun.
Tabel 6
Perkembangan Realisasi Transfer Ke Daerah Dana DAK & Otsus (dalam Triliun Rupiah)
Uraian
2008
2009
2010
2011
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Pagu
Realisasi
Dana Alokasi Khusus
21.20
20.79
24.82
24.71
21.14
20.96
25.20
24.80
Dana Otonomi Khusus
7.51
7.51
9.53
9.53
9.10
9.10
10.40
10.40
Jumlah
28.71
28.30
34.35
34.24
30.24
30.06
35.60
35.20
Sumber : LKPP Audited 2008-2010, Kemenkeu
Grafik 6
Tren Realisasi Transfer Ke Daerah 2008 - 2011
(Dalam Trilyun Rupiah)
&$"!!#
&*")%#
&!")(#
&!"!!#
)"$%#
("$,#
&*"'!#
&!"(+#
%$"!!#
("%!#
%!"*!#
%!"!!# $"!!# !"!!# &!!'# &!!(# &!%!# &!%%# -./.#0123.45#678484#
-./.#9:2/2;5#678484#
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
5 Kementerian Negara/Lembaga dengan Alokasi Terbesar Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada APBN tahun 2012 ini akan difokuskan untuk memberikan dukungan terhadap: (1) peningkatan belanja infrastruktur; (2) pelaksanaan klaster 4, yang terdiri dari 6 program utama, dan 3 prioritas utama; (3) program perlindungan sosial dalam bentuk program Jamkesmas, program keluarga harapan (PKH), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), BOS, dan raskin; (4) peningkatan belanja untuk bidang perekonomian yang ditujukan untuk perluasan dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas; (5) implementasi anggaran berbasis kinerja oleh K/L dengan pendekatan pencapaian output dan outcome; (6) peningkatan kemampuan pertahanan menuju minimum essential force; (7) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan perluasan kebijakan reformasi birokrasi; (8)
pengendalian pengangkatan PNS pusat dan daerah dengan mengarahkan kepada kebijakan zero growth; (9) pengalokasian anggaran subsidi agar lebih tepat sasaran; (10) peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara; serta (11) pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan mengarahkan pemanfaatan anggarannya untuk meningkatkan aksesibilitas serta kualitas sarana dan prasarana pendidikan. Berdasarkan arah kebijakan dan prioritas pembangunan tersebut, maka alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN 2012 mengalami peningkatan terutama berkaitan dengan alokasi anggaran belanja pegawai, belanja modal, dan pembayaran bunga utang. Selanjutnya, terdapat 5(lima) K/L yang memperoleh alokasi anggaran untuk belanja modal terbesar sebagai berikut:
Tabel 7
5 Alokasi Belanja Modal Terbesar Kementerian (dalam miliar rupiah)
Kementerian Negara / Lembaga
Belanja modal
Total
Kementerian Pekerjaan Umum
48,809.30
48,809.30
Kementerian Pertahanan
26,225.16
26,225.16
Kementerian Perhubungan
20,583.31
20,583.31
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
11,357.89
11,357.89
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan
7,316.32
7,316.32
Sumber : DSP, Ditjen Perbendaharaan
31
32 JURNAL PENGADAAN
Grafik 7
Porsi Belanja Modal 5 K/L Terbesar !"#"$%"&'($)>('$) 051)
!"#"$%"&'($)*"+"&,(($)-#.#) /01)
!"#"$%"&'($)) ;$"&9')2($)<.#3"&)=(4()81) !"#"$%"&'($)*"&6.3.$9($) 7:1)
Dari total belanja modal dalam APBN 2012 sebesar Rp 152 triliun, 5 K/L terbesar dengan alokasi belanja modal adalah sebagai berikut: (1) Kementerian Pekerjaan Umum dengan alokasi Rp 48,81 triliun atau sebesar 52% dari total belanja modal APBN. Alokasi tersebut untuk mendukung pencapaian prioritas-prioritas pembangunan, yang diharapkan menghasilkan output: terbangunnya jalan baru sepanjang 127 km, jembatan sepanjang 7.682 m, flyover/underpass sepanjang 2.256 m, jalan strategis di lintas Selatan Jawa, perbatasan, terpencil dan terluar sepanjang 292 km dan jalan tol yang dibangun sepanjang 10 km; terbangunnya waduk dan embung/situ sebanyak 9 waduk yang dibangun baru; 24 waduk yang direhabilitasi dan 87 embung/situ yang dibangun baru, dan 62 waduk selesai direhabilitasi; terbangunnya 79.337 ha jaringan irigasi baru, 425.563 ha jaringan
!"#"$%"&'($)*"&%(6($($)) 781)
!"#"$%"&'($)) *"$2'2'+($)2($)!"3.2(4((()) 51)
yang direhabilitasi, 23.746 ha jaringan rawa yang dibangun, dan 98.750 ha jaringan rawa yang direhabilitasi; terbangunnya infrastruktur pedesaan (PPIP) di 3.000 desa tertinggal; serta terlaksananya pendampingan pemberdayaan sosial (P2KP/ PNPM) di 10.948 desa. (2) Kementerian Pertahanan dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 26,23 triliun atau sebesar 17%. Alokasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan diarahkan untuk mendukung pelaksanaan perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pertahanan Republik Indonesia. Pagu alokasi anggaran tersebut akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat, program modernisasi alutsista dan non alutsista serta pengembangan fasilitas dan sarana dan prasarana
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
matra udara, matra laut, matra darat, dan program penggunaan kekuatan pertahanan integratif. 3) Kementerian Perhubungan dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 20,58 triliun atau sebesar 14%. Anggaran belanja tersebut direncanakan menghasilkan output dari berbagai kegiatan, antara lain berupa: terlaksananya pembangunan terminal transportasi jalan di 29 lokasi dan jembatan timbang di 7 lokasi; terlaksananya pembangunan prasarana 60 dermaga penyeberangan, pembangunan dermaga penyeberangan lanjutan 16 dermaga, 30 dermaga sungai dan danau, dan 4 lokasi breakwater dermaga penyeberangan; terlaksananya rehabilitasi 33,39 km jalur kereta api dan 39 unit jembatan kereta api; terlaksananya pembangunan jalur KA baru termasuk jalur ganda sepanjang 149,99 km; terlaksananya pembangunan jalur ganda lintas Cirebon-Tegal sepanjang 75,94 km dan jalur ganda lintas Semarang–Surabaya sepanjang 280 km; tersedianya 4 (empat) unit kapal inspeksi kenavigasian, 17 unit kapal patroli KPLP, 6 unit kapal marine surveyor dan dua dermaga kapal kenavigasian yaitu di Sibolga dan Sorong; serta terlaksananya pembangunan 14 bandar udara baru, pengembangan 116 bandar udara dan pengembangan 41
November 2012/Vol. 2 - No. 2
bandar udara di daerah perbatasan dan rawan bencana. 4) Kementerian ESDM dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 11,36 triliun atau sebesar 7%. Dalam rangka mendukung visi kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yaitu “Terwujudnya Ketahanan dan Kemandirian Energi Serta Peningkatan Nilai Tambah Energi dan Mineral yang Berwawasan Lingkungan Untuk Memberikan Manfaat 2012 yang Sebesar-besarnya Bagi Kemakmuran Rakyat”, alokasi anggaran Kementerian ESDM diharapkan menghasilkan output dari berbagai kegiatan diantaranya : terselenggaranya listrik murah dan hemat melalui penyambungan listrik 1.500 RTS nelayan on grid dan 81.500 pelanggan off grid; pembangunan PLTS terpusat untuk listrik perdesaan sebanyak 240 unit; tersedianya perangkat sistem monitoring kegunungapian hasil rancang bangun sendiri di 20 gunung api sebanyak empat perangkat sistem. (5) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 7,32 triliun atau sebesar 5%. Alokasi anggaran tersebut untuk mendukung program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Pendi-
33
34 JURNAL PENGADAAN
dikan Nasional; program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kementerian Pendidikan Nasional; program pendidikan dasar; program pendidikan tinggi; program pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal; program penelitian dan pengembangan Kementerian
Pendidikan Nasional; program pendidikan menengah; program pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra; serta program pengembangan profesi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dan penjaminan mutu pendidikan.
Tabel 8
5 Alokasi Belanja Barang Terbesar Kementerian (dalam miliar rupiah)
Kementerian Negara / Lembaga
Belanja barang
Total
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan
43,014.00
43,014.00
Kementerian Kesehatan
13,095.00
13,095.00
Kementerian Pertahanan
11,485.00
11,485.00
Kementerian Agama
11,438.80
11,438.80
Kementerian PU
9,169.04
9,169.04
Sumber : DSP, Ditjen Perbendaharaan
Grafik 8
Porsi Belanja Barang 5 K/L Terbesar !"#"$%"&'($);('$) :12)
!"#"$%"&'($)*"$+'+',($)+($) !"-.+(/((($) 012)
!"#"$%"&'($)!"3"4(%($) 52) !"#"$%"&'($)*9) :2)
!"#"$%"&'($)78(#() 62)
!"#"$%"&'($)*"&%(4($($)) 62)
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan APBN. (6) Sisanya terbagi ke dalam 79 kementerian lembaga dengan alokasi total belanja modal sebesar Rp 37,71 triliun. Sedangkan untuk belanja barang, dari total belanja barang dalam APBN 2012 sebesar Rp 188 triliun, 5 K/L terbesar dengan alokasi belanja barang adalah sebagai berikut: 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan alokasi belanja barang sebesar Rp 43,01 triliun atau sebesar 23%; 2) Kementerian Kesehatan dengan alokasi belanja barang sebesar Rp 13,10 triliun atau sebesar 7%; 3) Kementerian Pertahanan dengan alokasi belanja barang sebesar Rp 11,49 triliun atau sebesar 6%; 4) Kementerian Agama dengan alokasi belanja barang sebesar Rp 11,44 triliun atau sebesar 6%; 5) Kementerian Pekerjaan Umum dengan alokasi Rp 9,17 triliun atau sebesar 5% dari total belanja barang APBN; 6)sisanya terbagi ke dalam 79 kementerian lembaga dengan alokasi total belanja barang sebesar Rp 99,80 triliun. Penutup Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan APBN. Hampir sebagian besar belanja
pemerintah yang dibelanjakan oleh satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) maupun Bendahara Umum Negara (BUN) dilaksanakan melalui proses pengadaan barang jasa dan diperuntukkan untuk kegiatan yang dilakukan dengan pengadaan barang/ jasa. Belanja pemerintah pusat pada K/L yang dialokasi dalam APBN yang dilaksanakan melalui proses pengadaan barang/jasa, seperti belanja barang dan belanja modal. Selain itu terdapat sebagian belanja bantuan sosial, dan belanja hibah berbentuk barang yang dibelanjakan oleh K/L yang pelaksanaannya melalui pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan anggaran pada transfer daerah seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana Otonomi khusus diperuntukkan untuk membiayai kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum, infrastruktur sanitasi, prasarana pemerintahan daerah, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana, kehutanan, sarana prasarana daerah tertinggal, perdagangan, listrik pedesaan, perumahan dan permukiman, transportasi perdesaan, sarana dan prasarana kawasan perbatasan, dan keselamatan trans-
35
36 JURNAL PENGADAAN
portasi darat. Seluruh kegiatan pelaksanaan anggaran tersebut tidak lepas dari proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Tercatat kurang lebih Rp 350,27 triliun dana yang dialokasikan pada APBN TA 2012 untuk keperluan belanja barang, belanja modal, bantuan sosial pada program PNPM Mandiri serta hibah pemerintah yang mencapai kira-kira 36,30% dari keseluruhan belanja pemerintah pusat. Dan dari dana transfer ke daerah tercatat sebesar Rp 38,07 triliun yang dialokasikan dalam DAK dan Dana Otsus
yang diperuntukkan untuk membiayai sebagian besar kegiatan infrastruktur di daerah yang pelaksanaan dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian pengelolaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang baik serta mengedepankan prinsip-prinsip dan etika pengadaan terhadap belanja pemerintah diharapkan dapat memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Porsi Anggaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada APBN
November 2012/Vol. 2 - No. 2
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2011. Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2010 (Audited)
Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2009 (Audited) Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2008 (Audited)
37
THE IMPERATIVE FOR A NATIONAL PUBLIC PROCUREMENT PROCESS THAT IS CREDIBLE
The Imperative for A National Public Procurement...
November 2012/Vol. 2 - No. 2
The Imperative for a National Public Procurement Process that is Credible: A Challenge for the Academic Community to Provide Convincing Demonstrative Effects of the Economic Benefits of Having a Cutting-Edge Country Procurement System ERLANGGA ATMADJA
39
40 JURNAL PENGADAAN
I
ndonesia was in the past described as a nation in waiting, a nation where its vast resources and human potentials when tapped correctly through a stable and credible system can develop exponentially and become one of Asia’s resilient economic drivers (see Schwartz, 1999). It was described as such due to the wealth of potential it has was being hampered by a lack of stability. Well, frankly it is shedding-off this perception of instability and uncertainty as it is increasingly being acknowledged as one of the few bastions of stable, sustained economic development in a world plagued by economic malaise. Forbes magazine in April 2012 predicts that Indonesia’s potential would start to raise even more eyebrows across the globe by being a trillion dollar economy when the year 2013 begins. Consider this on top of the endearing analysis by The Economist, which in its February 2012 edition published an article celebrating the virtues of the Indonesian economy. What’s interesting is that amongst the virtues of resilient sustained growth amidst a glo-
bal economy in recession mentioned by the economist article, the Indonesian economy is still not fully unleashing its potentials and risk undermining the momentum of economic growth due to the less than ideal rate of public expenditure. Public expenditure, meaning procurement through public finances is an important part to ensure that procurements made using public finances become wise public investment of goods and services that increase national competitiveness and create equitable prosperity – especially to the outlying provinces. The Economist mentioned that the Government of Indonesia has “often struggled to spend the money it has budgeted, even for worthwhile projects. In 2008-10 the central government spent less than three-quarters of the money it had allocated for public investment” and continues that “part of the improvement in Indonesia’s public finances, therefore, reflects fiscal constipation more than it does budget conservatism.” Conscious of this concern, the Government of Indonesia has taken concrete steps so that
Forbes magazine in April 2012 predicts that Indonesia’s potential would start to raise even more eyebrows across the globe by being a trillion dollar economy when the year 2013 begins.
The Imperative for A National Public Procurement...
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Indonesian economy is still not fully unleashing its potentials and risk underminingthe momentum of economic growth due to the less than ideal rate of public expenditure. such ‘constipation’ is relieved by prescribing de-bottlenecking policies that act as an antacid to ensure that the procurement process is made to support faster absorption of state budgets in anaccountable manner that also creates equitable business opportunities across the vast archipelagic nation. To this end, the Government has enacted a new public procurement regulatory framework the Presidential Decree No.70 of the year 2012 which replaces the Presidential Decree No.54/2010 to this effect based on best practices learnt in the field. The new re- gulation highlights the following policy initiatives (please have a read of Khalid Mustafa’s blog on the new decree http://www.khalidmustafa. info/2012/08/08/matriks-perpres-no-70-tahun2012-dan-perpres-no-54-tahun-2010.php): 1. Provision on the procurement of international consulting services; 2. Provision for the transparency and advance public announcement of public procurement plans; 3. Provision for advance tendering and se-
lection (before the relevant fiscal year) upon approval by the relevant legislating body; 4. Increase of budget ceiling for tenders (goods and construction works below IDR 5 billion or equivalent to USD 550,000, and for projects related to public housing and utilities for the poor) can qualify, for single selection; 5. Temporarily relaxing the certification and competency requirements for procurement officials pending a deliberate process of professionalizing the field of procurement; 6. Provision for multi-year projects using state budgets for priority areas; 7. Revised provisions on owner estimates; 8. Revised provisions on complaints handling service standards; 9. Revised provisions on domestic content 10. Recognition of Presidential Instruction No.17 of theYear 2012 regarding the compulsory use of e- Government Procurement systems (LPSE). It should also be mentioned that even the
41
42 JURNAL PENGADAAN
To this end, the Government has enacted a new public procurement regulatory framework the Presidential Decree No.70 of the year 2012 which replaces the Presidential Decree No.54/2010 previous regulation has introduced innovative public procurement policies, such as the structural creation of dedicated procurement service units (ULPs) in every government procuring entity and recognizing that green procurement may be linked to better energy efficiency and longer term savings. This paradigm to shift the view that procurement activities are cost centers into value-creation centers are also based on the increasing recognition by the private sector as proven through the six decades of best practices development from Indonesia’s oil and gas industry; that when planned and managed proportionately through a good system, goods and services procured can be better investments that also create savings and efficiency throughout the entire supply chain. This would in turn ultimately be felt by the consumer (see Djokopranoto et al, 2012). In the public procurement context, this value-driven process of shifting procurement processes from an ad-hoc laxly regulated function to a value-creation oriented government procurement process will result in
better; more efficiently administered and absorbed public investments and expenditures. This is how the public as the end consumer of government services would benefit from a properly regulated and efficient country procurement system; and how through a supply chain management point of view, credible national procurement processes create prosperity to its peoples. The diligent but little-known National Public Procurement Agency (NPPA) is the responsible national regulatory authority mandated not only to reinstalling confidence in the country procurement system, but to also revolutionize the system through the following critical elements: 1. Full e-Government Procurement automation; 2. Professionalize public procurement officials with defined competency standards and promising career deve- lopment throughout all procuring units (ULPs); 3. Set best practices in public financial management-Strike a fine balance between facilitation towards greater budget absorption and more stringent regulations
The Imperative for A National Public Procurement...
to prevent misappropriation of public funds in the procurement processes; 4. Harmonize into a single country system that complies to the regulatory standards set by the NPPA and mo- nitor its compliance and performance against international benchmarks; and 5. Provide technical guidance and complaints handling services. “Mainstreaming the agenda of supporting NPPA to create a cutting-edge country procurement system is a development theme of the Post-reform era for Indonesia. Strategic partners that the NPPA needs to coordinate with in order to establish the desired cutting-edge country procurement system, still hold the old paradigm that procurement is a cost center as opposed to a savings and value-creation center.” Allow the author to go through the critical elements of NPPA’s desired design that defines a cutting-edge country procurement system for Indonesia:
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Electronic Government Procurement has been recognized to enhance good governance through more efficient, effective, transparent, and accountable public sector expenditure and open a non-discriminatory and competitive marketplace for public procurement. The current national e-Government Procurement system and has received international recognition through the technology leadership award from FutureGov 2012 for developing the system and by a combination of Presidential directive and systems readiness, was able to implement the system to 500 units of the 600 government procuring entities nationwide in an archipelago of 17,000 islands spanning more than 5,000 KMs across the equator. The award recognizes the vision and project management excellence in the technology’s effective deployment. Furthermore, the national electronic government procurement services (LPSE) according to NPPA estimates have a savings potential of up to USD 585 million in FY 2011. This estimate is only a conservative estimate on the legacy eGovernment Procurement system operating now not the whole systemic reform contain-
The diligent but little-known National Public Procurement Agency (NPPA) is the responsible national regulatory authority mandated not only to reinstalling confidence in the country procurement system,
43
44 JURNAL PENGADAAN
Electronic Government Procurement has been recognized to enhance good governance through more efficient, effective, transparent, and accountable public sector expenditure and open a non-discriminatory and competitive marketplace for public procurement. ing the above critical elements potentially can bring. In addition, the allure of e-procurement is in its market- creation effects; it is an enabling technology that opens a single national public procurement market through a single portal (Inaproc portal) to any vendor in across the archipelago, thus promoting domestic industry competitiveness. “The integration of the national e-Government Procurement system to become a unified single market is aligned to the future government strategy in e-Government that envisions an Indonesia that is locally integrated and globally connected. But such lofty visions can only be substantiated if the e-Government Procurement processes are fully automated and adopted nation-wide.” Full automation entails expanding the current usage and functionality from e-tendering per
se, to include the complete range of activities that constitute the whole process of procurement from e-tendering until e-contract management therefore creating a platform where businesses regardless of their size can compete for government contracts, and when asset management becomes an added functionality to the fully automated system, then it can be said that full automation of the entire supply chain management of the government is within reach. Professionalization of Public Procurement Officials–Indonesia’s public procurement officials are sequentially upgraded from prone ad-hoc positions before the NPPA was established; to positions that require understanding to regulatory compliance; and finally to performance-based competency standards development. The NPPA is at the forefront in developing the Indonesian professional association for procurement specialists (IAPI) and to develop the field’s professionalization as competent procurement specialists administering the public procurement practice
The Imperative for A National Public Procurement...
is key to develop efficiency and credibility to the system. Fresh blood is needed to rejuvenate the country system and this can be supported only if the public is aware of procurement as a viable profession with sound and competitive remuneration and career development pathways that match private sector standards. Such awareness is not forthcoming as strategic partners that the NPPA needs to coordinate with in order to establish a competent and professional workforce behind the country procurement system, still hold the old paradigm that procurement is a cost center as opposed to a savings and value-creation center. Best Practices in public financial management - The NPPA’s efforts to mainstream public procurement into the state budgeting by including procurement planning into the existing applications for budget and work plan of ministries and agencies (RKA-KL) and requiring all mi- nistries and agencies to report their procurement planning making reference to the NPPA developed guidelines for procurement planning, as reflected by the current regulation is a policy example on how accountability can meet with better planning, coordination, and therefore better absorption
November 2012/Vol. 2 - No. 2
rate of state budgets. “NPPA’s mandates and efforts need to be supported by the public at large and not pushed aside as being technical with very few tangible demonstrated effects” Harmonized system adoption – NPPA’s mandates and efforts need to be supported by the public at large and not pushed aside as being technical with very few tangible demonstrated effects that can be seen not only by the public but by otherwise strategic partners within the government it needs to foster to enable the harmonized country system of its design (one that is cutting-edge with the mentioned elements) to be implemented and adopted nation-wide. The merit of a harmonized system is that there is a single standard that everyone adheres to. In the past a proliferation of standards causes inefficiency and creates loopholes where public funds can be misappropriated. “The National Public Procurement Agency (NPPA) deserves to receive greater support to implement their idealized harmonized country system”. Numerous other policy and services products of the NPPA could be mentioned, such as innovations in complaints- handling,
45
46 JURNAL PENGADAAN
whistleblower system, et cetera can be mentioned however, faced with its relative obscurity compared to other cabinet-level ministries, institutions, and agencies with a direct reporting line to the President, the National Public Procurement Agency (NPPA) deserves to receive greater support to implement their idealized harmonized country system which includes the aforementioned elements.
curement of goods and services using public funds with credibility and full accountability. Its vision and mission is to be “reliable in creating a credible procurement system” by “Creating clear procurement regulations, reliable monitoring and evaluation systems, professional human resources, and sound legal basis in public procurement of goods and services.”
It is a herculean task for the NPPA in terms of resources to go in it all alone to harmonize the system, such an irony when considering that effective and credible procurement may be the key to unlocking the nation’s vast potentials to truly manifest into a sustainable reality.
“It is therefore an interesting and urgent area for further research, especially for economists, to convincingly support NPPA’s mandates by demonstrating the inherent benefits of having a harmonized comprehensive country system in place and also the opportunity cost of not having it. Such research would prove seminal in mainstreaming the agenda of a credible public procurement process.”
The NPPA was established through the Keppres 106/2007, almost five years ago in December 2007 which specifically mandates the NPPA to become the regulator for the national public procurement process complete with monitoring and evaluation functions. It empowers the NPPA to become independent and report directly to the pre- sident with the responsibility to reform the public procurement processes that include strategies, policies, regulations, development of procurement institutions and systems, and building the capacity of central and regional government human resources to handle pro-
There is a danger that if the desired cuttingedge design proposed by the NPPA consisting the aforementioned critical elements, are not effectively implemented or loses steam due to the anemic support shown to NPPA for implementing its mandates – Indonesia risks not deriving any economic benefit from the desired country procurement system. It is therefore an interesting area for further research, especially for economists, to convincingly support NPPA’s mandates by dem-
The Imperative for A National Public Procurement...
onstrating the inherent benefits of having a harmonized comprehensive country system in place and also the opportunity cost of not having it. I dare the reader to be challenged in providing such academic support that is crucially needed to justify and strengthen support for the NPPA’s mandate of building a credible national public procurement process.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Such research would prove seminal in mainstreaming the agenda of a credible public procurement process. NPPA’s fifth anniversary of its founding on 6 December 2012 may be the right timing for a birthday present for such a hard working agency that deserves to be known better.
47
48 JURNAL PENGADAAN
DAFTAR PUSTAKA
Schwartz, Adam (1999) A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. Second Edition. Rapoza, Kenneth (2012) Forbes Magazine Article “Where are the Next Economic Miracles?” cited at http://www.forbes.com/ sites/kenrapoza/2012/04/10/whereare-the-next-economic-miracles/ The Economist (February 2012 edition) The Komodo Economy: Workers Protest Dampen News of Ratings Upgrade, cited at http:// www.economist.com/node/21547866 Djokopranoto, R; Endropoetro, S.; Widharto, S (2012) Merajut Karya Mengukir Sejarah: Memoar Alumni Pendidikan Ahli Minyak dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan Industri Minyak dan Gas di Indonesia Published by: Pertamina
Khalid Mustafa (2012) Khilid Mustafa’s Blog: Matriks Perpres No.70 tahun 2012 dan Perpres No.54 tahun 2010 http:// www.khalidmustafa.info/2012/08/08/ matriks-perpres-no- 70-tahun-2012-danperpres-no-54-tahun-2010.php For Statistics on the current usage and savings of the Indonesian LPSE system. Please access http://report- lpse.lkpp. go.id/v2
MENGAPA KORUPSI (TETAP) ADA
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
Sudah kurang lebih empat belas tahun reformasi bergulir, namun tidak ada perkembangan yang menggembirakan (jika istilah lebih parah, terlalu berlebihan) terhadap upaya memerangi korupsi di negeri ini. Kalau dulu berita kasus korupsi bisa dihitung dengan jari, sekarang hampir setiap hari ada
NANANG PRIYATNA
berita kasus korupsi. Bahkan tidak jarang bermunculan kasus-kasus baru. Belum selesai suatu kasus diinvestigasi oleh aparat penegak hukum, sudah muncul lagi berita tertangkap-tangannya aparatur pemerintah yang diduga menerima suap. Berita-berita mengenai kasus cek pelawat, Wisma Atlit, Hambalang, dan yang terbaru pengadaan Al-Quran menunjukkan betapa seriusnya permasalahan korupsi di negeri ini. Bahkan di lingkungan birokrasi dan pegawai negeri pada umumnya, belakangan muncul pula sinyalemen adanya upaya pembocoran keuangan negara dalam kaitannya dengan perjalanan dinas yang direkayasa.
49
50 JURNAL PENGADAAN
D
ata hasil survei tahun 2011 Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI), menunjukkan Indonesia berada di peringkat 100 dari 183 negara yang disurvei. Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya (2010) sebesar 2,8. "Namun, lompatan skor Indonesia dari 2,8 pada tahun 2010 dan 3,0 tahun 2011 bukanlah pencapaian yang signifikan karena Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapatkan skor 5,0 dalam CPI 2014 mendatang," menurut Transparency International (TI) Indonesia.
upaya memeranginya tidak kurang pula peningkatannya? Mulai dari kiprah lembaga KPK yang oleh sebagian orang disebut superbody, peningkatan peran lembaga penegak hukum lainnya dalam memerangi korupsi, sampai upaya preventif dan edukasi dengan sosialisasi anti korupsi, atau dengan menerbitkan peraturan-peraturan di bidang pengadaan, standar biaya umum dan lain-lain. Apakah masih kurang upaya tersebut atau justru malah ‘oknum’ nya yang selalu mencari-cari celah untuk melakukan korupsi?
Mengapa Orang Melakukan Korupsi? "Tetapi Indonesia tetap dipersepsikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi," ungkap Indonesia Corruption Wacth (ICW). Pada tahun 2011 banyak skandal korupsi yang terungkap seperti kasus Muhammad Nazarudin dan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). "Kasus lain yang banyak menyita publik juga seperti Badan Anggaran DPR," katanya. Yang menjadi pertanyaan, mengapa korupsi masih terus terjadi? Walaupun dari sisi lain
Pengaruh Lingkungan
Banyak teori dari para ahli kriminologi dan sosiologi yang menjelaskan tentang latar belakang yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang, termasuk juga fraud (baca: korupsi). Salah satunya sebagaimana yang diungkapkan oleh Edwin H. Sutherland. Ia mengembangkan teori yang dikenal dengan “theory of differential association”. Dalam teorinya lebih jauh ia berpandangan bahwa sifat kriminal pada diri seseorang merupakan sifat yang diturunkan, hal ini berdasarkan ob-
Data hasil survei tahun 2011 Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI), menunjukkan Indonesia berada di peringkat 100 dari 183 negara
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
servasi yang ia lakukan terhadap para pelaku street crime, dan sifat ini akan semakin kuat jika lingkungan tempat tinggal mendukung. Ia menjelaskan bagaimana lingkungan bisa mempengaruhi sifat-sifat kriminal seseorang menjadi semakin kuat adalah melalui proses belajar. Melalui proses ini lambat laun orang akan mempelajari keadaan di lingkungannya dan membentuk sikap mental serta perilaku seseorang. Misalnya, dalam lingkungan kerja yang terbiasa merekayasa bukti-bukti perjalanan dinas akan mempengaruhi pegawai lain untuk melakukan hal yang sama. Sutherland yakin proses belajar perilaku kriminal seseorang terjadi melalui proses komunikasi antara satu orang dengan lainnya. Ia beralasan bahwa kejahatan seseorang tidak akan terjadi tanpa adanya bantuan dari orang lain. Hal yang dipelajari meliputi dua area, yaitu cara-cara melakukan tindak kriminal dan perilaku, dorongan, rasionalisasi dan motif yang ada di benak pelaku. Organisasi
November 2012/Vol. 2 - No. 2
yang memiliki pegawai tidak jujur, dipastikan akan memberikan pengaruh kepada pegawai yang jujur. Sebaliknya, pegawai yang jujur juga pasti mempengaruhi para pegawai lainnya yang memiliki sifat tidak jujur. Coba - coba
Filsuf dari Inggris Jeremy Bentham, penemu Classical Criminological Theory pada abad ke-18, menyatakan bahwa kemungkinan seseorang untuk melakukan tindak fraud (baca: korupsi) ditentukan oleh hasil perhitungan dan pertimbangan dia terhadap untung-rugi atas perbuatan tersebut. Jika menurutnya resiko terdeteksi, berarti rugi, lebih besar, maka kemungkinan dia tidak akan melanjutkan niat jahatnya untuk menyimpang dari ketentuan. Jadi hal yang paling ditakutkan oleh para fraudster adalah kejahatannya akan terungkap dan akhirnya ditangkap, dia tidak berpikir tentang internal control yang ada pada satu institusi. Inilah konsep yang dikenal dengan istilah the perception of detection.
51
52 JURNAL PENGADAAN
kemungkinan seseorang untuk melakukan tindak fraud (baca : korupsi) ditentukan oleh hasil perhitungan dan pertimbangan dia terhadap untung-rugi atas perbuatan tersebut Gambar di atas mengilustrasikan proses berpikir seseorang yang berpotensi untuk melakukan tindakan fraud. Adanya tekanan, biasanya bersifat finansial, pada diri seseorang menumbuhkan motivasi pada dirinya untuk segera memenuhi tekanan tersebut. Kemudian dia membuat rencana tindakan jahat yang akan diambilnya sekaligus juga bagaimana cara menyembunyikan kejahatannya agar
yang lain, atau membatalkan tindakan fraudnya tersebut.
tidak diketahui oleh orang lain. Selanjutnya pada tahap penentuan, dia menimbangnimbang, memperhitungkan kemungkinan terbongkar (atau tidak) penyimpangan yang dia lakukan. Jika menurut hasil perhitungannya tidak akan terbongkar, maka kecurangan akan dilanjutkan. Tapi jika dia melihat kemungkinan sebaliknya yang lebih besar, maka dia akan berupaya mengembangkan modus
(pressure), perceived opportunity dan rationalization. Pressure (tekanan) bisa dalam bentuk finansial bisa juga non finansial. Kebanyakan pressure merupakan kebutuhan finansial dari pelaku, walaupun tekanan non finansial juga (seperti dorongan untuk menyajikan laporan yang salah, rasa frustasi terhadap pekerjaan, masalah keluarga, atau tantangan untuk mendobrak sistem) bisa menjadi motivasi sese-
Fraud Triangle Theory Fraud Triangle Theory dikembangkan berdasarkan hipotesis Donald R. Cressey. Teori ini beranggapan bahwa seseorang melakukan fraud (baca: korupsi) adalah didorong oleh tiga hal, yaitu adanya non-shareable financial problems
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
orang melakukan korupsi. Opportunity merupakan kondisi seseorang yang memiliki kesempatan/akses terhadap pengeluaran uang, misalnya apakah ia berkedudukan sebagai bendahara, pemimpin proyek atau kepala kantor. Kesempatan atau peluang terjadinya korupsi juga bisa muncul dikarenakan peraturan perundang-undangan yang belum sempurna sehingga masih bisa ditemukan celah untuk mengelabuinya. Atau juga karena lemahnya sistem pengendalian yang ada di institusi tersebut. Rasionalisasi atau pembenaran adalah upaya yang dipakai oleh pelaku untuk menganggap bahwa penyimpangan yang dilakukannya seolah-olah dapat dibenarkan. Pelaku fraud mencari cara untuk membuat seolah-olah penyimpangan yang dilakukannya adalah wajar. Biasanya ada dua tipe rasionalisasi, yaitu: (1) ia merasa tidak yakin bahwa yang dilakukannya adalah illegal, walau ia tahu mungkin tidak etis, (2) ia merasa yakin dapat mengembalikan uang yang diambilnya segera alias hanya meminjamnya.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Pressure Fraud dilakukan dengan maksud untuk memperoleh manfaat atau keuntungan bagi pelaku atau organisasinya, atau keduanya. Employee fraud, kondisi dimana seseorang melakukan penggelapan atau manipulasi dari pemberi kerjanya, biasanya memberikan manfaat bagi pelaku saja. Di sisi lain management fraud, yaitu kondisi dimana anggota organisasi melakukan penipuan terhadap investor atau kreditor (biasanya dengan memanipulasi laporan keuangan), adalah sering dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi organisasi dan pelaku yang bersangkutan. Para peneliti fraud membagi jenis-jenis pressure ke dalam klasifikasi sebagai berikut: 1) Pressure/tekanan keuangan Beberapa contoh tekanan keuangan yang biasanya berkaitan dengan fraud dan memberikan keuntungan bagi pelakunya, yaitu: • Serakah, • Gaya hidup di luar kepatutan, • Tingginya tagihan atau hutang pribadi, • Kerugian keuangan pribadi, • Kebutuhan keuangan mendesak.
Rasionalisasi atau pembenaran adalah upaya yang dipakai oleh pelaku untuk menganggap bahwa penyimpangan yang dilakukannya seolah-olah dapat dibenarkan.
53
54 JURNAL PENGADAAN
Daftar tersebut di atas bisa saja bertambah, namun secara umum daftar itulah yang seringkali dikait-kaitkan dengan terjadinya fraud yang dilakukan oleh seseorang. Sudah nyata akhir-akhir ini siapa saja pelaku fraud yang sudah terungkap. Kebanyakan ciri-ciri mereka adalah orang-orang yang secara materi berkecukupan, namun memiliki lifestyle yang tidak sebanding jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata mereka di tempat kerjanya. Ketika seorang pelaku korupsi ditangkap, investigator menemukan fakta bahwa yang bersangkutan banyak mengeluarkan uang untuk jalan-jalan ke luar negeri, membeli pakaian mahal dengan kancing emas, memiliki koleksi mobil mewah, villa mahal, kondominium di pinggir pantai, cincin berlian, dan perhiasan lain untuk istrinya, mobil baru untuk sanak famili dan lain-lain. Mungkin bisa saja orang berpandangan bahwa pelaku fraud itu tidak dalam tekanan keuangan, karena melihat kondisi serba berkecukupan tersebut, tetapi bagi pelaku pressure tersebut adalah nafsu atau keinginannya untuk memiliki segala macam kemewahan itulah yang mendorongnya untuk melakukan fraud.
Financial pressure merupakan tekanan yang paling mungkin bisa membuat seseorang
melakukan employee fraud. Demikian juga dengan management fraud, perusahaan bisa jadi meng-overstate asetnya di dalam neraca dan pendapatan bersihnya di dalam laporan rugi-laba, hal ini dilakukan untuk menutupi kondisi posisi kas yang lemah, piutang yang tidak tertagih, pelanggan yang bangkrut, persediaan yang usang, kondisi pasar yang menurun, atau karena pelanggaran perjanjian kredit dengan bank. 2) Vice Vice didefinisikan sebagai perilaku/sifat buruk seseorang seperti kecanduan atau ketagihan terhadap judi, narkoba, dan alkohol. Vices dan hubungan perkawinan yang mahal, misalnya sering ganti pasangan atau punya pacar lagi, juga bisa mendorong orang untuk melakukan tindakan penyimpangan. 3) Tekanan lingkungan kerja Seperti sudah diuraikan dimuka, tekanan keuangan dan vice merupakan faktor utama yang mendorong seseorang melakukan fraud. Disamping itu, orang melakukan fraud juga karena dorongan untuk membalas tindakan manajemen/perusahaan. Faktor-faktor seperti tidak adanya pengakuan yang cukup terhadap prestasi kinerja, perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang dibebankan, kekhawatiran
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Elemen yang paling penting dalam komponen lingkungan pengendalian adalah peran dan teladan dari manajemen. akan kehilangan satu pekerjaan, merasa tidak pernah mendapat kesempatan untuk promosi, dan merasa dibayar terlalu rendah atau tidak sebanding dengan beban pekerjaan yang diberikan dapat mendorong seseorang untuk melakukan penyimpangan. 4) Tekanan lain Faktor-faktor lain yang bisa memotivasi orang untuk melakukan penyimpangan misalnya karena pengaruh pasangan (suami/istri) yang memaksa untuk bergaya hidup mewah atau sifat seseorang yang cenderung ingin selalu melawan sistem. Opportunity Anggapan adanya kesempatan/peluang untuk berbuat fraud, kemudian menyembunyikannya, atau berupaya agar terhindar dari penghukuman merupakan unsur kedua dari fraud triangle. Terdapat dua klasifikasi besar yang terkait dengan opportunity ini, yang pertama berhubungan dengan lemahnya pengendalian (control) yang ada di organisasi sehingga meningkatkan peluang orang untuk melakukan fraud dan yang kedua tidak ada kaitannya secara langsung dengan pengendalian.
1) Faktor-faktor pengendalian Memiliki sistem pengendalian yang efektif bisa jadi merupakan satu-satunya jalan bagi organisasi supaya dapat mencegah dan mendeteksi terjadinya employee fraud. Terdapat tiga komponen dalam struktur pengendalian organisasi, yaitu: 1) lingkungan pengendalian, 2) sistem akuntansi, dan 3) aktivitas atau prosedur pengendalian. The Committee of Sponsoring Organisations (COSO) merinci sistem pengendalian ini menjadi lima komponen. Untuk lembaga pemerintah di Indonesia, COSO ini pula yang mendasari terbitnya peraturan pemerintah (PP) tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Kelima unsur pengendalian tersebut adalah: • • • • •
Lingkungan pengendalian, Penilaian risiko, Aktivitas pengendalian, Informasi dan komunikasi, Pemantauan pengendalian intern.
Elemen yang paling penting dalam komponen lingkungan pengendalian adalah peran dan teladan dari managemen. Ketika manajemen menunjukkan perilaku yang tidak baik, maka hal ini akan dicon-
55
56 JURNAL PENGADAAN
Pelaku fraud sering merupakan orang terpandang di lingkungannya, di tempat kerja,tempat ibadah, atau di keluarganya. toh dan ditiru oleh bawahannya, sehingga lingkungan pengendalian dikatakan sudah terkontaminasi. Demikian juga, ketika manajemen penunjukkan perilaku yang tidak konsisten dengan prosedur pengendalian, maka efektivitas sistem pengendalian yang ada menjadi terkikis. Teladan dari manajemen merupakan elemen yang paling critical dalam lingkungan pengendalian dalam upaya mencegah terjadinya fraud. Perilaku yang tidak tepat dari manajemen akan dijadikan justifikasi oleh bawahan dalam mengesampingkan dan mengabaikan prosedur pengendalian.
Elemen lain yang juga penting dalam lingkungan pengendalian adalah komunikasi manajemen dan rekrutmen pegawai yang tepat. Manajemen harus mampu secara efektif mengkomunikasikan kebijakan organisasi/perusahaan kepada bawahannya sehingga diperoleh pemahaman yang sama. Organisasi juga harus memiliki kebijakan tentang rekrutmen pegawai dan mekanisme seleksi yang tepat. Jika organisasi tidak melaksanakan seleksi atas lamaran kerja secara hati-hati dan menghire orang yang tidak jujur, maka organisasi akan menjadi korban perilaku fraud,
walaupun pengendalian yang lain sudah baik.
Elemen keempat dalam lingkungan pengendalian yang harus dipertimbangkan dalam upaya pencegahan fraud adalah struktur organisasi yang jelas. Setiap orang dalam organisasi harus mengetahui secara tepat siapa yang memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tertentu, sehingga diharapkan kecil kemungkinan fraud akan dilakukan. Dengan struktur organisasi dan job description yang jelas, akan lebih mudah untuk menelusuri aset yang hilang dan mempersulit seseorang untuk melakukan penggelapan tanpa risiko terdeteksi. Akuntabilitas yang ketat atas kinerja masing-masing pegawai menjadi hal yang critical untuk terwujudnya suatu lingkungan pengendalian yang baik.
Komponen kedua dalam stuktur pengendalian adalah sistem akuntansi. Setiap fraud terdiri dari tiga elemen, yaitu: 1) pencurian, diambilnya aset secara tidak sah, 2) penyembunyian, upaya pelaku untuk membuat fraud-nya tidak diketahui orang lain, dan 3) konversi, yaitu pelaku membelanjakan uangnya atau mengkonversi aset
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
yang dicurinya menjadi uang untuk kemudian membelanjakannya. Fraud seringkali disembunyikan dalam catatan akuntansi. Suatu sistem akuntansi yang efektif akan meninggalkan audit trail, memberikan jalan untuk menemukan tindak fraud dan membuat upaya penyembunyian fraud menjadi sulit. Komponen ketiga dalam struktur pengendalian adalah aktivitas (atau prosedur) pengendalian. Organisasi yang melibatkan banyak karyawan harus memiliki prosedur pengendalian sehingga kegiatan yang dilaksanakan oleh seluruh unsur organisasi sejalan dengan tujuan organisasi. Dengan adanya prosedur pengendalian, maka peluang untuk melakukan penyimpangan dan/atau menyembunyikan perbuatannya menjadi berkurang atau diminimize. Secara umum, terdapat lima aktivitas atau prosedur pengendalian, yaitu: • Pemisahan tugas dan tanggungjawab, • Sistem otorisasi, • Adanya independent checks, • Pengamanan fisik aset, • Dokumentasi dan catatan yang memadai.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
2) Faktor non pengendalian Di samping faktor pengendalian, terdapat juga faktor-faktor yang tidak terkait langsung dengan sistem pengendalian internal suatu organisasi yang bisa memberikan celah untuk terjadinya fraud, sehingga organisasi perlu menetapkan kebijakan khusus untuk mengantisipasi terjadinya halhal non pengendalian ini. a. Tidak mampu menilai performance Jika organisasi/perusahaan mempekerjakan tenaga-tenaga ahli seperti lawyer, dokter, dentist, akuntan, engineer, ahli mekanik, seringkali sulit untuk dapat menetapkan apakah jumlah uang yang kita bayarkan sepadan dengan prestasi kerja yang telah mereka berikan, apakah kita bayar berlebih ataukah tenaga ahli tersebut memberikan jasanya dibawah standar. Untuk kontrak jasa seperti ini, kadang terjadi overcharge, melakukan pekerjaan yang tidak diperlukan, memberikan jasa di bawah standar, atau pembebanan biaya atas pekerjaan yang tidak dilakukan. b. Gagal dalam penerapan sanksi Ahli kriminologi sepakat bahwa perkosaan memiliki tingkat tertinggi dalam jenis kejahatan yang berulang (residivis) dari seluruh jenis kejahatan.
57
58 JURNAL PENGADAAN
Kategori berikutnya dari pelaku yang berulang adalah fraudster yang tidak dituntut secara pidana ataupun pengenaan sanksi disiplin. Seseorang yang melakukan tindak fraud dan tidak dihukum atau prosesnya berakhir dengan tidak ada pengenaan penalti, seringkali akan mengulang lagi perbuatan fraudnya. Pelaku fraud sering merupakan orang terpandang di lingkungannya, di tempat kerja, tempat ibadah, atau di keluarganya. Jika ia dihukum secara marjinal (tidak dimumkan), mereka jarang memberikan informasi penghukuman ini kepada keluarganya tentang alasan penghukuman atau penghentian hukumannya. Tetapi jika ia dituntut sesuai prosedur hukum yang berlaku, mereka biasanya akan merasa malu jika keluarga, teman sejawat, rekan bisnisnya mengetahui tindak kejahatannya. Memang, penghinaan/rasa malu seringkali menjadi faktor yang paling kuat untuk mencegah terjadinya aktivitas fraud yang akan datang. c. Kurangnya akses terhadap informasi Banyak fraud terjadi karena korban tidak memiliki akses terhadap informasi yang dimiliki oleh pelaku (pe-
rusahaan). Ini biasanya terjadi dalam management fraud skala besar yang dilakukan perusahaan untuk menipu para pemegang saham, investor, dan pemberi pinjaman. Para pelaku menahan informasi yang dibutuhkan korban saat melakukan evaluasi. Untuk mencegah terjadinya fraud ini, maka perlu diminta agar perusahaan bersifat terbuka (full disclosure), termasuk laporan keuangan audited, sejarah bisnis, dan informasi lain yang dapat mengungkap penyimpangan yang dilakukan. d. Tidak ada jejak audit Organisasi sadar betul tentang pentingnya dokumentasi/pencatatan yang dapat memberikan jejak audit sehingga transaksi dapat direkonstruksi dan dimengerti pada waktu mendatang. Banyak fraud melibatkan pembayaran kas atau manipulasi pencatatan yang tidak dapat ditelusuri. Pelaku fraud mengerti bahwa tindakannya harus disembunyikan, dan penyembunyian ini biasanya dilakukan dengan memanipulasi catatan keuangan. Ketika dihadapkan pada pilihan, catatan keuangan mana yang akan direkayasa, pelaku biasanya memilih income statement, karena pos-pos income statement pada akhir periode akan
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
di-nol-kan, sehingga mereka yakin jejak auditnya akan segera dihapus pada akhir tahun buku. Rasionalisation Rasionalisasi merupakan upaya pembenaran, mencoba memuaskan dirinya sendiri tetapi dengan mencari-cari alasan yang tidak benar atas perilakunya. Setiap pelaku penyimpangan, apalagi yang baru pertama kali, dipastikan memiliki alasan pembenaran atau rasionalisasi. Dengan rasionalisasi membantu mereka untuk menutupi perilaku dishonestnya. Beberapa rasionalisasi yang biasa digunakan oleh pelaku antara lain: • Organisasi/perusahaan telah berutang kepadaku, • Aku hanya meminjam uang itu, nanti akan aku kembalikan, • Tidak akan orang ada yang bakal terluka, • Seharusnya aku memperoleh lebih dari yang sekarang, • Aku melakukan perbuatan itu adalah untuk tujuan yang mulia, • Kami akan sesuaikan catatan dan pertanggungjawaban segera setelah kesulitan finansial ini teratasi, • Memang harus ada yang dikorbankan, integritas saya atau reputasi saya.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
GONE Theory GONE Theory dikemukakan oleh Jack Bologna bahwa faktor-faktor seseorang melakukan fraud (baca: korupsi) meliputi Greeds, Opportunities, Needs dan Exposures. Greeds (serakah) berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang. Opportunities (kesempatan) berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs (kebutuhan) berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar. Exposures (pengungkapan) berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan. Jadi, suatu perbuatan korupsi akan dapat muncul apabila terdapat keadaan GONE yang kondusif untuk korupsi. Misalnya, pada situasi dimana seseorang tidak bisa mengendalikan diri sehingga sifat serakahnya muncul dan didukung dengan kebutuhan hidup yang mengikuti gaya hidup yang boros. Bersamaan dengan itu, keadaan organisasi tempat dia berada tidak memiliki perangkat kendali yang memadai. Ditambah lagi pelaksanaan sanksi hukum yang berkaitan dengan perbuatan korupsi juga tidak tegas. Dalam keadaan GONE
59
60 JURNAL PENGADAAN
seperti itu, maka sangat besar kemu ngkinan bahwa seseorang akan melakukan korupsi. Kesimpulan Demikianlah beberapa pandangan mengenai sebab musabab munculnya perbuatan fraud atau korupsi. Bahwa perbuatan fraud tersebut bisa dipelajari oleh seseorang dari lingkungannnya, lingkungan yang terbiasa membiarkan perilaku menyimpang akan membentuk seseorang untuk melakukan penyimpangan juga, atau dengan bahasa lain lingkungan
yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan fraud. Bisa juga kecurangan tersebut terjadi karena adanya 3 (tiga) unsur yang saling mendukung pada diri seseorang yaitu pressure, opportunity dan razionalization. Dan jika menurut pelaku perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain ataupun jika menurutnya akan lebih besar keuntungan yang ia peroleh dengan melakukan perbuatan korupsi dibandingkan dengan konsekuensinya.
Mengapa Korupsi (Tetap) Ada
November 2012/Vol. 2 - No. 2
DAFTAR PUSTAKA Joseph T. Wells. Principles of Fraud Examination. Albrecht & Albrecht. Fraud Examinations. Joseph T. Wells. Selected writings. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, BPKP Nanang Priyatna. Belajar dari Korupsi untuk Tidak Korupsi.
Indonesia Peringkat ke-100 Indeks Persepsi Korupsi 2011, Kompas.com Pemerintah akui Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Rendah, DetikNews Indeks Korupsi Indonesia 2011 Meningkat, Liputan6.com
61
OPTIMALISASI PERAN ATURAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DALAM REFORMASI BIROKRASI
62 JURNAL PENGADAAN
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Reformasi Birokrasi Pendahuluan Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan perbaikan, penyempurnaan, penataan ulang, pembaharuan, dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (proses bisnis) dan sumber daya manusia (SDM). Reformasi
MUSTOFA KAMAL
birokrasi merupakan tuntutan perbaikan manajemen birokrasi yang entry point-nya melalui kelahiran 3 (tiga) paket UU yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tentang Pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan Negara. Aturan terkait yang merupakan anak dari 3 (tiga) paket UU tersebut adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 (PP 60/2008) tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP menjadi trigger gelora sekaligus pijakan reformasi birokrasi.
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah...
Benang Merah Andil Aturan PBJP dalam Reformasi Birokrasi Posisi Perpres 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Pepres70/2012) dalam reformasi birokrasi
P
erpres 70/2012 menjadi bagian yang melesakkan gelora reformasi birokrasi dan menjadi aksi nyata di lautan manajemen pemerintahan. Kehadirannya merupakan bagian melekat dari internal control (SPIP). Koneksi 3 paket UU, SPIP dan Perpres 70/2012 (dan aturan yang lainnya) dalam reformasi birokrasi dapat divisualisasikan sebagai berikut: Dari gambar tersebut terlihat bahwa seluruh
November 2012/Vol. 2 - No. 2
mekanisme yang berbasis aturan dan best practice akan menjadi bagian inherent perancangan dan pelaksanaan SPIP. Perpres 70/2012 merupakan bagian motor penggerak reformasi birokrasi. Semakin nyata, terasa, mudah dan nyaman implementasinya semakin nyata dan membumi rancangan SPIP. Semakin membumi SPIP berarti kian terasa hasil reformasi birokrasi. Peran Strategis Perpres 70/2012 dalam pencapaian tujuan organisasi
Dalam PP 60/2008 disebutkan bahwa “Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpi-
63
64 JURNAL PENGADAAN
nan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, peng amanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”. Uraian ini dapat divisualisasikan sebagai berikut: Dari gambar diatas dapat diurai bahwa untuk
kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset dan ketaatan pada aturan merupakan jalan keniscayaan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan organisasi. Perpres 70/2012 mengungkapkan bahwa “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP)
Gambar 2. Definisi SPIP
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah...
November 2012/Vol. 2 - No. 2
“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”. yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa”. Selanjutnya pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Sehingga dapat ditarik hubungan bahwa peran PBJP sangat strategis dalam pencapaian tujuan yaitu kegiatan PBJP yang efektif, efisien, akuntabel dan taat aturan serta sekaligus menjadi salah satu ‘syarat/ jalan/langkah antara’ menuju pencapaian tujuan organisasi. Optimalisasi peran Aturan PBJP dalam reformasi birokrasi Jika ditengok dari kenyataan, praktik birokrasi menampilkan fragmen sinyal peran PBJP yang kurang menggembirakan. Bu-
kannya menjadi jembatan pencapaian tujuan tapi malah menghambat dengan praktik yang menyimpang. Sebagai contoh, ada sebuah informasi fakta praktik PBJP, “Kasus korupsi di tingkat pemerintahan daerah masih didominasi proses pengadaan barang/jasa mencakup 70% dari keseluruhan kasus korupsi. Diperkirakan kasus tersebut merupakan pelanggaran proses penerimaan barang/jasa”. Contoh ini seharusnya menjadi warning sekaligus trigger kreasi kepada birokrat agar lebih peduli terhadap risiko-risiko yang akan menghambat pencapaian tujuan sekaligus mengoptimalkan implementasi peran strategis aturan PBJP dalam reformasi birokrasi. Peraturan yang telah dibuat dan dikembangkan sampai dengan lahirnya Perpres 70 tahun 2012 merupakan upaya perbaikan dan bukti keseriusan pemerintah untuk terus mengantisipasi dan mengendalikan risiko yang ada. Pengendalian melalui aturan tersebut ada yang telah jelas dan mudah dipraktikkan namun
65
66 JURNAL PENGADAAN
tidak menutup kemungkinan ada yang kurang jelas dan butuh kreativitas untuk membuat mekanisme berikutnya sebagai rincian sekaligus panduan langkah best practice-nya. Perpres 70/2012 telah mengungkapkan tugas dan kewenangan tiap pelaku pengadaan. Panduan ini seharusnya menjadi alat yang ampuh untuk mengantisipasi dan mengendalikan risiko penyimpangan yang mungkin terjadi di tahap/proses PBJP, termasuk pelanggaran proses penerimaan barang/jasa seperti contoh fragmen diatas. Jika ditengok tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) di Perpres 70/2012, maka dapat diungkap antara lain “melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak”. Bagaimana langkah pemeriksaannya? Perpres 70/2012 belum memberikan panduan detailnya dan tentu wajar karena Perpres 70/2012 di launching untuk umum/nasional. Bermacam-macam bentuk pengadaan barang/jasa dengan segala lika-likunya membutuhkan langkah pemeriksaan hasil pengadaan barang/jasa yang berbeda-beda pula. Dan inilah ladang PBJP yang sangat butuh kreativitas birokrat dalam wujud panduan kerja bagi PPHP. Sebagai contoh kecil, bagaimana PPHP akan melakukan pemeriksaan spesifikasi kom-
puter yang legal yang akan diterima? Praktik yang selama ini adalah dengan verifikasi data spesifikasi di kontrak dibandingkan dengan kondisi riil komputer. Hal ini masih belum memadai karena di pasar beredar computer legal market dan black market (BM) dengan komposisi spesifikasi yang persis sama. Komputer yang BM tentu lebih murah dan mensupport peningkatan profit yang menggiurkan bagi rekanan. Jika komputer ini di kemudian hari rusak maka agen resminya yang ada di Indonesia sudah pasti tidak akan berani memperbaikinya. Konsekuensinya adalah barang tidak dapat digunakan. Muara tragisnya adalah menjadi temuan auditor bahkan masalah di meja hijau. Oleh karena itu PPHP membutuhkan panduan kerja yang mendetailkan kata “pemeriksaan di Perpres 70/2012” dengan uraian langkah verifikasi dan konfirmasi ke agen resminya serta menjadi bagian melekat dari SK tim PPHP. Banyak faktor potensial yang menjadi penyebab PPHP tidak optimal dalam mengawal kualitas BJP yang diterima. Dan sebaliknya banyak pula sesi-sesi proses PBJP yang akan men-support pengawalan kualitas BJP, misalnya di evaluasi teknis penawaran oleh Pokja ULP dan lain-lain. Namun contoh kecil diatas setidaknya menampilkan fragmen yang sangat potensial terjadi, apalagi dalam PBJP yang menjadi peserta dalam proses pelelangan adalah para penyedia barang jasa bukan para
Optimalisasi Peran Aturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah...
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Perpres 70 tahun 2012 merupakan upaya perbaikan dan bukti keseriusan pemerintah untuk terus mengantisipasi dan mengendalikan risiko yang ada. agen resmi. Tentu fenomenanya akan lebih seru lagi jika pengadaanya adalah pekerjaan konstruksi, jasa lainnya dan jasa konsultansi. Pasti sangat bervariasi bentuk teknik pemeriksaannya dan tentu membutuhkan “langkah pemeriksaan oleh PPHP yang jelas”. Legalitas kreativitas langkah-langkah pemeriksaan dalam SK tim PPHP merupakan langkah nyata dalam optimalisasi peran aturan PBJP dalam reformasi birokrasi. Penutup Keberhasilan Reformasi birokrasi sangat membutuhkan internal control (SPIP) yang kuat di pemerintahan. SPIP akan menjadi wadah bagi peran seluruh aturan formal dalam mengendalikan segala risiko yang akan menghambat pencapaian tujuan organisasi. Birokrat harus kreatif dalam membaca, memahami dan mengimplementasikan aturan termasuk aturan PBJP. Jika fakta mekanisme
praktis berbasis aturan belum bisa menjadi bekal yang memadai untuk mencapai tujuan organisasi, maka birokrat K/L/D/I harus merancang, melegalkan dan mengimplementasikan mekanisme berbasis best practice. Tiap lekuk proses PBJP di tiap para pelaku PBJP yang kemungkinan menimbulkan bias praktiknya harus diidentifikasi dan dibuatkan legalitas langkah detailnya. Optimalisasi kreativitas ini akan menjawab dan meruntuhkan stigma yang beredar (bahkan beberapa telah menjadi fakta) bahwa mayoritas kasus korupsi dari PBJP. Dampak nyata dan strategisnya adalah reformasi birokrasi akan kian membumi. Dan birokrat pun telah menyajikan fragmen sebagai katalis (pemberi arah) dan reformis (pembaharu) sejati. Think globally act locally, sentuhan aktivitas lokal (merancang panduan kerja) akan berdampak global (tujuan K/L/D/I tercapai).
67
68 JURNAL PENGADAAN
DAFTAR RUJUKAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tentang Pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Pendopo, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sebagai Fondasi Reformasi Birokrasi, edisi VI, Perwakilan BPKP Jawa Tengah, Semarang, 2011 Kamal Mustofa, Mencermati Arah Perubahan Aturan PBJ, Majalah BPKP “Warta Pengawasan” volume XVIII/No.3/September 2011, Jakarta, 2011 http://www.lkpp.go.id/v2/berita-detail. php?id=6214472140 diakses tanggal 15 oktober 2012 Kamal Mustofa, Konstruksi Temuan, Majalah Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementrian Perindustrian “SOLUSI” no. 3 volume 2 September 2012, Jakarta 2012
COMPLIENCE AND PERFORMANCE INDICATOR OF PUBLIC PROCUREMENT IN INDONESIA 2011 Pilot Survey Findings
70 JURNAL PENGADAAN
Compliance and Performance Indicators of Public Procurement in Indonesia: 2011 Pilot Survey Findings
Introduction NPPA has just completed a pilot survey which is based on the OECD/DAC tool of
NATIONAL PUBLIC PROCUREMENT AGENCY www.lkpp.go.id
Compliance and Performance Indicators (CPI). This is a valuable tool and simply using it as it stands would bring benefits to an understanding of the way in which public procurement is implemented in Indonesia. However, NPPA has sought to improve on the basic CPI tool and to enhance it in a way which will provide the country with a tailored means of assessing the level of implementation and identifying systemic weaknesses in the overall system with a view to improving that system.
Complience and Performance Indicator
1.1 The OECD/DAC CPI Tool The CPI tool was developed under the aegis of the OECD Development Assistance Committee (DAC). Under the joint World Bank/DAC Procurement Round Table initiative, developing countries and bilateral and multilateral donors worked together to develop a set of tools and standards that provide guidance for improvements in procurement systems and the results they produce. The Round Table initiative culminated in 2006 with the adoption of two tools: the Baseline Indicator (BLI) tool and the CPI tool. The BLIs deal with the formal and functional features of the existing system and provide a comparison of the actual system against the international standards that the BLIs represent. The CPIs, on the other hand, deal with monitoring performance data to determine level of compliance with the formal system and thus with how the system actually operates. Whilst the BLIs are more like a “snapshot” of the system design at a given time, the CPIs look at what is happening on the ground by examining a sample of procurement transactions and other relevant information that is deemed representative of the performance of the system. The BLI tool has been amended several times with the latest iteration being contained in the Methodology for Assessing Procurement Systems
November 2012/Vol. 2 - No. 2
(MAPS) of February 2010. The CPI tool remains unchanged from its 2006 version. Together, these tools are intended to provide a common mechanism to assess the quality and effectiveness of national procurement systems. The understanding among the participants of the Round Table initiative was that the assessment will provide a basis upon which a country can formulate a capacity development plan to improve its procurement system. Similarly, donors could use the common assessment to develop strategies for assisting the capacity develop plan and to mitigate risks in the individual operations that they decide to fund. The long term goal is that countries will improve their national procurement systems to meet internationally recognized standards enabling greater effectiveness in the use of funds to meet country obligations. From the outset then, the goal is to assess the performance of the system in order to improve it, where necessary. It has a national perspective in that it can be used by a Government to improve its own system. It also has an international perspective in that it can be used by donors when assessing country procurement systems. In 2007, Indonesia carried out a baseline In-
71
72 JURNAL PENGADAAN
dicator (BLI) self-assessment which not only provided the first snapshot of the formal aspects of the Indonesian procurement system but also informed a process of improvement and amendment. As a result, significant changes have been made to the Indonesian procurement system. Building on the early achievements of Keppres 80 of 2003 and Perpres 106 of 2007 which introduced major reforms into the system, NPPAhas been instrumental in developing Perpres 54 of 2010 which makes further improvements to the national procurement system. What has been missing to date is the second part of the overall system assessment which concerns compliance and performance. That has been the purpose of the present exercise. Its primary objective is to complete the picture so that, armed with a snapshot of the formal legal framework and, after this CPI Survey, with a good understanding of how that legal framework works in practice, NPPA will be able to identify any weaknesses in the system and, consequently, make recommendations for improvement. 1.2 The Indonesian CPI The CPIs of the OECD/DAC provide a very useful starting point but it was felt that they would not, on their own, provide the information needed by NPPA to assess and improve
the national system. In the first place, they are limited by their reference to the BLIs which represent an ‘ideal’ procurement system but which are not linked to any particular national system. This means that, when considering a specific system, the local context will need to be taken into account, making some of the data requirements redundant. Similarly, because if the advances already made in Indonesia, the standard CPIs are incomplete in some respects for NPPAs purposes. NPPA would wish, for example, to assess compliance and performance of additional legal requirements so that it can obtain a fuller picture of the local situation. The ‘ideal’ nature of the reference point (the BLIs) also means that not all of the compliance and performance data is readily available, especially where an electronic monitoring system is not yet fully operational as is the case so far in Indonesia. This has implications for the data gathering methodology. Further, the standard CPIs are often limited to addressing the level of compliance but fail, where the level of performance is insufficient, to identify the causes of poor compliance, i.e. they do not addresses the weaknesses in implementation, only the results of such weaknesses. In order to improve the system, NPPA needs to understand why, if that is the case, performance is poor in order to be in a position to propose appropriate improvement measures. Finally,
Complience and Performance Indicator
the CPIs themselves are, in some cases, misleadingly drafted. NPPA has decided to take these further and seek additional information in order to provide meaningful results. As a result, the CPIs to be used in Indonesia are a little different to the standard CPIs of the OECD/DAC. Some of the CPIs have been amended in light of the Indonesian context in order to provide meaningful data, i.e. they have been reworded according to the Indonesian legal context with a view to obtaining the data envisaged under the original CPI tool. Some of the CPIs have been supplemented in order to provide better results, again taking into account the specificities of the Indonesian context. NPPA has also added some new CPIs designed to provide data on implementation issues which are relevant in Indonesia but which do not figure in the standard CPI tool. In consequence, NPPA has used an enhanced set of CPIs based on the above process which will provide a more appropriate tool for Indonesia. This process has been undertaken with specific purposes in mind. In general terms, the purposes of the Indonesian CPIs do not differ from those of the OECD/DAC. However, as will be appreciated from the above description, the original CPIs have been adapted to the Indonesian context and to the
November 2012/Vol. 2 - No. 2
country’s needs. There are a number of specific objectives: First, the CPIs will show what has been achieved to date and what remains to be done. Second, it will pinpoint weaknesses in the implementation of the national procurement system. Third, it will enable NPPA to make informed choices as to areas in need of improvement and provide a basis for recommendations for the required improvements. Fourth, it will provide information to donors on the functioning of the national procurement system and feed in to current initiatives in respect of the use of country procurement systems. 1.3 Data Collection Methodology Given the absence of a comprehensive electronic management system which is able to capture the information required under the CPI exercise, NPPA has chosen to engage directly with the various stakeholders with a view to obtaining the relevant information. It has not, as has been the case in some countries, simply asked stakeholders to provide data without evidence; that is clearly not sufficiently rigorous where meaningful results and consequential actions are envisaged. Rather,
73
74 JURNAL PENGADAAN
NPPA has, in consultation with a number of stakeholders developed a series of questionnaires designed to elicit relevant information from the appropriate sources. Recognizing that not all the required information is available from a single source, the CPIs have been broken down into a series of questionnaires destined for four key groups of stakeholders, namely: • • • •
Procuring entities Procurement staff within those entities Goods and services providers Government auditors
In this way, the data will be collected from those most likely to be in possession of the relevant data. The questionnaires were not simply distributed to the stakeholders but were used rather as the main data collection tool by teams of reviewers, who are mostly procurement specialist,while visiting the stakeholders in order to elicit responses based on the questionnaires and review the available documentation which supported the answers given. Though not an audit, the process borrowed some techniques from the field of audit in order to ensure the validity of the responses given. This provides NPPA with some guarantee that the resulting statistics provide a re-
alistic reflection of the current state of play. As indicated above, NPPA is seeking to understand the underlying problems with the system, where there are any, and to address them in a concrete and meaningful way. It was not enough, therefore, in NPPA’s opinion, to simply collect a series of figures which indicate whether compliance or performance is good or bad. What matters understands why compliance or performance is good or bad. When the reasons for poor performance can be identified (and not just the fact that performance is poor), then it will be possible to provide practical support or recommendations for corrective measures of whatever nature (additional guidance; legislative amendments; capacity building) which will have the effect of improving implementation. This is not a cosmetic exercise but a concrete means of improving the system. The interview process adopted enabled broader information to be collected relating to particular difficulties with implementation and with the reasons for the level of compliance and performance achieved. tIn addition, NPPA provided a Manual of Procedures for the survey exercise which explained in detail to the survey teams what was required under each of the questions and what information should be elicited orally and
Complience and Performance Indicator
through documentary evidence. The Manual also explained appropriate interview techniques so that the teams would be prepared to collate and assess the information and data provided in preparation for input into the analytical database. Given the importance of the way in which data is to be collected, those engaged in obtaining the data from stakeholders underwent specific training to assist them in the data collection exercise. For the most part, the team members were taken from among NPPA staff to ensure that those conducting the interviews were familiar with the legal framework and those broader lessons from the exercise would be absorbed within NPPA. These teams were assisted by procurement analysts and statisticians. For the most part, the teams consisted of 5-7 persons led by NPPA staff, all of whom had expert knowledge of procurement. In order to check prior assumption in the targeted area of respondents, a fact finding program was held. This activity was also intended to introduce this pilot survey to officials to prepare them forarranging a smooth execution of the survey. Prior to the data collection, all team members were trained on details of CPI background, sampling procedures, interview techniques,
November 2012/Vol. 2 - No. 2
document assessment, and field management. The training was held in an open and participatory forum. It was also enriched by practice sessions with practitioners who included the review of actual documents. During this session, team members played several roles in the mock survey includinginterviewer, document reviewer,and liaisonmember and team leader. This session provided a good flavor of what would happen in the field and how the survey team should deal with the likely situation on the ground. In general, the training participants were very active and critical. As a result, it was possible to further explain the indicators listed in the questionnaires and in the manual with a view to capturing accurately the issues of compliance with Presidential Decree (Keppres) No 80 of 2003. In addition, some issues were raised with regard to differences between what is stated in the Keppres and what actually happens in the field. Some heated discussions clarified the issues and led to significant inputs to the improvement of the questionnaires, manuals and field management. Detailed practical inputs were incorporated into a revised version of questionnaires and manual. 1.4 Piloting the Survey Given the size of Indonesia and the num-
75
76 JURNAL PENGADAAN
ber of contracting entities operating in the country under the procurement system, it was decided toconduct a survey, rather than a census. Before conducting a national survey, it is important to test the planned methodology and questionnaires in a smaller scale on a pilot basis. The selection was made on the basis of a random sampling method which has nevertheless provided a series of representative entities and locations (of entities, e.g. central, regional) providing the possibility of collecting data across a range of entities. Ultimately, it is intended to roll out the surveyover the whole, or a large proportion, of the country but the pilot stage was expected to provide a flavor of the expected results which may be used as indicative results for the country.
that it enables NPPA to review the questionnaires and the data collection methodology with a view to making any necessary adjustments for the future. In the event, the CPI Pilot Survey was conducted in three line ministries, three provinces, two cities, and two districts. These were the Ministries of Public Works, National Education and Health; the provinces of West Java, Southeast Sulawesi and East Nusa Tenggara; the cities of Manado and Balikpapan; and the districts of West Sumbawa and East Belitung.
As a limited pilot, the results cannot, by definition, be a true reflection of the national situation but will give an indication of trends. It is important not to draw final conclusions from this pilot survey which will be used more to indicate areas where the current techniques and methodologies can be improved and to indicate the potential areas of weakness allowing the survey team to focus on these in the future roll-out of the survey.
The pilot survey was divided into three batches. The first batch was conducted on 25-30 July 2011 covering Southeast Sulawesi, West Java, and Manado. The second batch was conducted on 31 July – 6 August 2011 covering East Nusa Tenggara, Balikpapan, Ministry of Health, Ministry of Public Works, and Ministry of National Education. The third batch was conducted on 7-12 August 2011 covering Balikpapan, West Sumbawa, and East Belitung. By 13 August, the CPI Pilot survey was completed in 7 respondent provinces, cities, and districts. In respect of the Ministries, additional bureaucratic requirements meant that there was some delay and those surveys were still being completed in early October.
The additional benefit of this piloting stage is
The results of the interviews were collated
Complience and Performance Indicator
using the CSPro database system and later statistically analyzed using the Stata software. This allows for the collection, collation and analysis of the data and the resulting analysis has produced a series of tables providing the data necessary to respond to the various indicators. Given the scope of the questions asked and the data collected, it has been possible to provide more results than suggested by the indicators but which provide more accurate findings. These are indicated in the matrix contained in section 3 below. 2 Results for Methodology and Data Collection Before turning to the substantive results of the CPI pilot survey, it is clear that the pilot survey has provided valuable lessons in respect of the methodology adopted. This has consequences for the future roll-out of the survey to a broader group of stakeholders. It should also be pointed out that these lessons arise out of the methodology chosen, i.e. the face to face interview method which enables the survey team to obtain direct experience of the working environment of those interviewed so that they were able to experience first-hand the difficulties faced in the conducting such a survey. These are not lessons that would have been learned through indirect information gathering and in itself demonstrates the value of the method chosen.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
2.1 Overall Reception of Survey It has to be said that, overall, most of the stakeholders interviewed were very receptive to the pilot survey and willing to provide access to their staff and facilities. Indeed, in keeping with the spirit of consultation and with the intention of identifying areas in need of improvement, the majority of stakeholders were also very keen to know the results of the pilot survey and its consequences. This is a positive response, especially since great care was taken from the outset to ensure that the whole pilot survey exercise would not be seen as any form of audit. In a few cases, there appeared initially to be a degree of ‘audit fatigue’ in the sense that there was initial reluctance to engage in what appeared to be yet another fact finding exercise. However, once the purpose of the exercise was properly explained, the pilot survey team received the willing cooperation of the respondents concerned. From this point of view, the general approach of the pilot survey appears to have been successful. In several cases, it appears that the relevant information about the whole CPI exercise had not filtered down to the appropriate people so that those who were being interviewed did not initially know too much about the purpose of the survey. Again, once the purpose was properly explained and commu-
77
78 JURNAL PENGADAAN
nicated, there was full cooperation. This may have been the result of the relatively tight time lines involved in the conduct of the survey but suggests that, in terms of broader roll-out, care will need to be taken to ensure that the scope and purpose of the survey is properly communicated to the right people in a timely manner. One further issue in this regard concerns the bureaucratic nature of government. Whilst cooperation was evident at all levels when it came to those actually interviewed, some delay was occasioned by the failure to issue formal letters and requests to the proper authorities in advance of the surveys. This was again not evidence of any reluctance on the part of the stakeholders but an issue of the formalities which need to be followed. As with communication, above, care will need to be taken in future that the proper formalities are followed. This includes such things as informing the appropriate authorities of the sampling methods, training and interview schedule and documents to be reviewed. 2.2 Timing One unsurprising finding is that the one week set aside for the conduct of the survey at each stakeholder was, for the most part, not enough, especially to assess the procurement documents. Of course, it might be sufficient
in respect of, for example, the goods and services providers whose inputs were largely limited to responding to the questionnaires, but finding and making appointment with the selected providers were time consuming. Also in the case of procuring entities, one week proved largely insufficient. Some of the difficulty arises from section2.1. Where formalities were not properly followed or where sufficient information had not percolated down to the relevant interviewees, this led to delay both in holding meetings and in getting to substance of the survey, with much time being used for explanations that could have been provided more efficiently earlier. The bureaucracy and need for following the proper channels does restrict the time available for the survey. There are also other reasons for the insufficiency of time, some of which were exacerbated by the bureaucratic delays. A survey such as this requires appropriate staff to be mobilized and made available at specific times. Not all the relevant staff could be made available at the arranged times and some staff who had been responsible for certain procedures had since moved on. This is not unusual and is to be expected in such a survey, although it does mean that record keeping then needs to be well done so that others can subsequently follow the ‘paper trail’. In one case, one of
Complience and Performance Indicator
the units randomly selected for the survey was found no longer to exist. Whilst former officers remained within the organization and could be traced, the formalities required to interview them meant that there was further delay and wasted time in making the journey to visit them. As well as conducting interviews, the survey teams were also required to review the relevant documentation in order to supplement the information received in the interviews. Procurement records are by their nature rather voluminous and, in those entities which conduct significant amounts of procurement; this can make it a lengthy task. As the survey teams found, all relevant documentation was not always contained in one location with, as an example, financial information relating to contracts (in terms of invoicing and payments) often processed by and, therefore, kept by different officers to those responsible for conducting the pre-contractual procurement award procedure. It thus took more time than anticipated to locate and review the relevant records. 2.3 Records One of the major obstacles faced by the survey teams was the poor state of the documentation found to exist in respect of individual contract award procedures. It has already
November 2012/Vol. 2 - No. 2
been stated that records relating to different aspects of the procedure are often kept in different locations. That is, to some extent, inevitable, although it would be more sensible, from a practical point of view of course, for those responsible for the contract award procedures to at least maintain copies of all documents relating to a single procedure in one place so that a complete and comprehensive file can be easily located and retrieved. This was not, however, the major problem. More of an obstacle was the level of incomplete records maintained. In some cases, there were no records at all to be found but, in the majority of cases, the records were simply incomplete. This, of course, made it very difficult as well as time consuming (to the extent that the lack of documentation necessitated further research and interviews) for the survey team to collect data and verify information received. This also has an effect on the reliability of the data obtained. Where possible, this is indicated in the results matrices. It seems that, where records are kept, is done might be more to satisfy the auditors than to provide an internal file which allows for contract administration. The files that are maintained are often bound in book form for presentation to the authorities, thus giving the superficial appearance of adequacy. However, they will contain only what is thought to
79
80 JURNAL PENGADAAN
be of interest to auditors and are thus selective (by definition, incomplete). They, generally, as was discovered during the survey, only contain the information relevant to the winning bidder but not to the others (other than in respect of providing an indication of the competition that took place). As a statement of what happened, that may suffice; as a record of proceedings for internal purposes, it does not. By definition, a bound volume is finite and it is not possible to add further documents to it as and when they arrive. The records are, therefore, fixed at a certain point of time and are useless as a continuing record of the process and thus not useable for the purposes of contract administration.
ments or reporting requirements in the legal framework in respect of the basic procurement documents.
The conclusion to be drawn from this, however, is not necessarily that procuring entities are failing to maintain records as they are required to do. The legal framework is rather weak in respect of record keeping and refers merely to what is translated as the ‘procurement implementation document’. This appears to refer to a collection of documents relevant to the procurement process such as planning, announcement, aanwijzing (prebid meeting), evaluation report, contract, workexecution and handover, concerning procurement as well as all financial (payment) documents but there is no formal definition. There are no specific record keeping require-
2.4 Persons Interviewed There were two issues raised in this regard. First, in respect of the procuring entities, it was discovered that not all procuring entities were staffed in the same way. This is again not surprising given the differing levels of procurement activity and functions at the different levels of government and in the various sectors. However, the main concern was that the number of certified personnel (i.e. those who have achieved the NPPA certification) was not always sufficient for the procurement needs, notably at the regional level. In some cases at the regional level, same persons assist the procurement committee in several differ-
Whilst it does mean the data obtained will also be incomplete since there are incomplete records, the solution lies in improving record keeping procedures in general so that any future CPI survey will have the benefit of more complete records. The purpose of proper record keeping is not primarily to do with CPI surveys, of course, and is an element of professionalization of the procurement function. It is the only means that a procurement procedure can be adequately and efficiently managed and then monitored internally.
Complience and Performance Indicator
ent institutions. This indicates a capacity issue which will need to be addressed.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
and terminology.
Second, in respect of the goods and services providers, the survey teams found it difficult to identify a sufficiently broad range of tenderers. This was mainly due to the poor record keeping since records of tenderers were generally not kept. Where records were kept, only information relating to successful tenderers was available. Whilst this again highlights the issue of record keeping, the concern of the survey teams was that they may not be receiving the representative opinion of tenderers since they could obtain information only from those who had been successful. These, of course, are less likely to have any negative opinions to air than those who have been unsuccessful. Caution thus needs to be exercised in assessing the response of tenderers since that response is quite possibly one-sided.
The questionnaires themselves were developed through an iterative process using the matrix as a starting point. In seeking to design questions to match the matrix indicators, some of the questions have veered off course and, ultimately, answer questions different to those set out in the original indicators. To the extent possible, these difficulties have been highlighted in the commentary on the matrix below. To some extent, this has simply led to additional information of lesser or greater value. In some cases, however, it has resulted in a failure to provide relevant data for the specific indicators. It is thus important for the teams to review the questionnaires and the matrix to ensure (i) that there is consistency between the two tools and (ii) that the questions set out in the questionnaires do indeed address the issues raised by the indicators.
2.5 Questionnaires For the most part, the questionnaires appear to have worked well as a survey tool. It is clear from the matrix set out in section 3 below, however, that some of the questions need to be amended and some other questions added in order to obtain a clearer picture of the situation. In some cases, there has also been some debate concerning language
In addition, the way in which questions are asked based on the questionnaires may need to be adjusted. For example, clearer indications could be provided on those cases where questions can be ‘skipped’, i.e. where the answer to one question allows the respondent to ‘skip’ some of the subsequent questions related to the first. Naturally, any subsequent changes to the questionnaires will need to be
81
82 JURNAL PENGADAAN
reflected by consequential adjustments to the Manual. Following on from comments related to the persons interviewed in section 2.4, it may be necessary to amend (and make more flexible) the detailed identification and number of respondents written into the Manual since the current descriptions do not always reflect reality of the respondents on the ground, e.g. different local makeupof the entity or nonavailability of personnel).
• •
•
• •
2.6 Organizational issues There were a number of additional organizational and logistical issues which were brought up, some of which are the result of the issues discussed above. These will need to be addressed in the further roll-out of the survey. They include: • the need to ensure that the list of selected respondents is updated and continuously revised • managing the timetables of the survey teams so that all are available when required and not diverted to other tasks • making sure that the interviewers are trained extensively on the purpose and background of the questions and the OECD indicators – this will help in ensuring consistency between the matrix and questionnaires, even where the text is
not sufficiently clear providing a clear and thorough explanation of the indicators to stakeholders taking care that random sampling will be effective by providing advance warning and ensuring the availability of data coordinating then timetables and availability of respondents, especially where the appropriate officers may have moved on foreseeing the likely locations of relevant documentation ensuring, where feasible, the participation of high level NPPA staff to facilitate access to people and documents
3. CPI Pilot Survey Results The results of the CPI Pilot Survey are presented in tabular format below. This provides the figures required by the various indicators. This table also contains a commentary, however, explaining the relevance and significance of these findings and highlighting any issues of further concern raised by the exercise. The tables will be showing the comparison of the two indicators, the original OECD/ DAC CPIs and the Indonesian CPIs. Some indicators can be figured based on the data collected but some of them have not. This gap will surely be another notification for NPPA develop the survey methodology,
Complience and Performance Indicator
November 2012/Vol. 2 - No. 2
questioners, and involving more respondents to broaden data resources and complete information
ed were based on the pilot survey which is collected from very limited samples compare to the country size.
Again we would like to rise that the results shown on below matrix are only an example of the survey findings. Those figures present-
However, it is considered as a valuable data that shows the silhouette of the country’s procurement performance.
83
84 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework c)
Advertising rules
c)
andtime limits (i) Percentage of
80
(i)
Advertising rules and-
It should be noted that
time limits
the legal framework
Percentage of public
invitations for open
bid processes that are
tenders publicly
publicly advertised
advertised
(ii) Average number of days
(ii) Average number of
80% As in column 2
provides for a minimum number of 8 days only. However, the ‘aver-
As in column 2
age’ result does not
between bid invitation
provide the full picture.
days between invita-
(announcement) and bid
Additional statistics are,
tion to tender adver-
opening, by category
therefore, useful: the
tisement and tender
of procurement (goods,
distribution of days actu-
opening by type of
works, consulting and
ally given is instructive.
procurement:
other services)
In 25% of cases, the
Goods
11
Works
10
Services
6
between bid invitation
tion (incorporating all
Consulting services
12
and bid opening for:
procedures other than
- simple procurements
consulting services) as
- complex procurements
follows:
(as defined in Keppres
Less than 8 days
80)
40.1%
days given were 3 on (iii) Average number of days
n.a.
average. The distribu-
8-11 days 24.7% More than 11 days 34.2%
1. This column provides the result to the OECD/DAC CPI question described in the previous column. 2. 3.
This column provides the result to the Amended Indonesian CPI question, where different, described in the previous column. The numbering follows the OECD/DAC numbering system. Indicator 1(a), for example, is relevant only to the BLIs and not the CPIs; it is, therefore, excluded, so the first relevant indicator is 1(b). The same process will be followed throughout with all indicators relevant only to the BLI being deleted from this table.
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework e) Tender documenta-
e) Tender documentation
tion and technical
and technical specifica-
specifications.
tions
65.8%
Procedural comment: it would be useful to know
34.2%
how many tenderers there were on average
Percentage of ten-
(i) Percentage of bids ex-
in each procedure. This
ders rejected in each
cluded for administrative
would give us an indica-
process.
non-compliance
tion of the percentage rejected. Currently the
Note: only those
(ii) Percentage of bids
statistics provide us only
participating in open
excluded for technical
with the percentage of
tendering were
non-compliance
times bidders were re-
canvassed.
jected. This is important given the survey teams’ comments on numbers of participants and abuse of direct appointment. An appropriate question should be added to the questionnaires. This is already an OECD/DAC indicator but has not been addressed (see indicator 7(b) below).
85
86 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Result 1
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework f)
Tender evaluation
f) Tender evaluation and
and award criteria
These figures are surpris-
award criteria
ingly low. This may well be explained, how-
(i) Percentage of
3.9%
(i) Percentage of procure-
0%
ever, by the incomplete
tenders including
ment processes where
records kept and by the
non-quantifiable or
non-quantifiable/
fact that this exercise
subjective evaluation
subjective criteria were
was not an investigation/
or post qualification
included
audit so that any assess-
criteria.
ment of the existence of (a) in any bid advertisement/
(ii) Public perception
58.7%
3.9%
documentation
fiable criteria would, at
of confidentiality of tender evaluation process.
extraneous non-quanti-
best, have been superfi(b) in procedures after bid submission
58.7%
cial. Without changing the whole nature of the survey exercise, it would
(ii) Percentage of bidders
be inadvisable to seek to
who believe the procure-
obtain further evidence
ment entity does not
on this indicator from
retain the appropriate
the procuring entities
level of confidentiality for
and their documenta-
their information
tion. The solution may well be to ensure that providers are asked this question in the same was as they
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework were asked about the incidence of nonquantifiable qualification criteria (indicator 2(d) above). Though this may become opinion evidence rather than documentary evidence, providers will probably be in a better position to answer this question. The questionnaire for providers should thus be amended to reflect this indicator. h) Complaints system
These statistics provided
h) Complaints system struc-
structure and se-
by the survey are mis-
ture and sequence
quence.
(i)
Percentage of sup-
17.6%
leading since there is
plier complaints/protests
no figure for the total
resolved within the
number of complaints
resolved within the
terms established in legal
actually made.
terms established in
framework*
Percentage of cases
78.3%
An additional question
the legal framework. based on theadditional ques-
asked to providers dur-
Note: ‘terms established
tion: Percentage of providers
ing the survey was the
in the legal framework’
having submitted complaints
percentage of providers
has been interpreted
which received responses
having submitted com-
as meaning ‘within the
plaints which received
timeframe’
responses.
87
88 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Result 1
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework The second question was to determine, out of those, how many were satisfactorily resolved within the legal framework. The response to the first question was 22.6%. The percentage of 21.3% is the response to the second question.
As a result of this additional question, we can estimate (this is an assumption) that 77.4%of complaints received no response at all. The satisfactory conclusion of 78.3% should be applied only to the 22.6% of the responses received. This percentage is 17.6%
This wouldbe a poor result and the actual percentage may well be somewhere between 17.6% and 78.3%.
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework The problem again is that the additional question has conflated two separate questions. Following the pilot, the questionnaire should be amended to ask two separate questions: (i) how many complaints were made and (ii) of those, how many received responses. Currently, whilst the conflated question might be assumed to reach the same result, that is not certain.
(ii) Percentage of procure-
41.0%
This was based on a
ment entities with
series of additional ques-
systems to record the
tions put to procuring
receipt, handling and
entities. The results need
outcome of bid protests/
to be read in conjunction
complaints.
with indicator 10.
This again shows rather (a) Of those systems, how many had complete records containing:
weak record keeping but also demonstrates that,
89
90 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework -
complaints received
-
responses to complaints
- results
81.3% 75% 78.1%
where records are kept, they usually contain fairly complete information. However, this should also be read with the results for question (b) of these additional questions.
(b) How many procurement
1.9%
files contained: -
-
a record of receiving a
The figures here are very different from those
0.4%
under (a) above. The
complaint
probable reason is that
evidence of the com-
procuring entities keep
plaint (copy letter)
two sets of files: one for the procurement procedure and one for any complaints. This may explain why very few records of complaints are found in the main procurement files. Even if this explains it, however, t would be preferable for there to be at least a reference to complaints in the main procurement file and this should be part
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
1. The Public Procurement Legistive and Regulatory Framework of any guidance issued subsequent to this survey.
2. Implementing Regulations and Documentation c)
Procedures for pre-
c) Procedures for pre-
qualification (i) Percentage of cases
qualification
69% (68.4%)
The additional question asked by the survey teams indicates that
56% additional question:
there is a very high
fication was used
percentage or procurements
incidence of prequalifica-
appropriately as
using pre-qualification
tion – much more than
prescribed in the
(i) Percentage of pro-
for which prequali-
(59.3%)
legal framework.
(ii) Percentage of cases that used objective pass/fail prequalifica-
curements for which
56% (59.3%)
qualitative ones.
were used in appropriate
prequalification was
circumstances. It seems
52.7%
used appropriately as
that it is used almost
(55%)
prescribed in the legal
as matter of course as
framework.
the basis for qualifying bidders. Comments have
tion criteria as opposed to subjective
would be expected if it
(ii) Percentage of procure-
52.7%
been made that there is a
ments that used objec-
(55%)
tendency to invite 3 bid-
Note: As with Indicator
tive pass/fail prequalifica-
ders in almost all cases,
1(b), the statistics relat-
tion criteria as opposed
whatever the method
ing to open tendering
to subjective qualitative
adopted. This apparently
also cover consultancy
criteria.
excessive use of prequali-
services. The figures
fication may provide an
which contain con-
explanation.
sultancy services are retained here in parenthesis. The emboldened figures do not cover consultancy
91
92 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Result 1
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
2. Implementing Regulations and Documentation It may be that the number of bidders is always whittled down to a small. Curiously, the statistics relating to consultancy services tend to conceal the true picture. It seems that the procedures are compliant in 95.2% of cases in respect of consultancy services. In the case of other procurements, the average prevails. It is again curious that pass/fail criteria are used in more than 90% of cases in respect of consultancy services.
Additionally, it appears from a further question asked during the survey that in 95% of cases, the pass/fail criteria adopted was capable of objective assessment.
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public sector governance system b) Budget law and
b) Budget law and financial
Note: the statistics here
financial procedures
procedures support
are based on the dates
support timely pro-
timely procurement,
set out in the contract.
curement, contract
contract execution, and
However, this does not
execution, and
payment
take into account any
payment
legitimate delays in (i) Percentage of occasions
(i) Percentage of late
73.8%
73.8%
contract commencement
contractual payment is
(e.g. inclement weather)
payments (e.g.
made later than the con-
which could have a
exceeding the con-
tractually specified date
knock-on effect on such
tractually specified
deadlines. Nonetheless,
payment schedule).
(ii) Average number of
(ii) Average number of days
1-2 days
1-2 days
the questionnaire asked
contractual payment is in
an additional question,
arrears
namely the percentage
days in arrears.
of delayed contracts to which the answer is
Note: statistics were also
66.7%
66.7%
5.3%. This is sufficiently
collected on the basis of
33.3%
33.3%
low to have only a mar-
percentages. Thus, pay-
ginal effect on the late
ment delays of
payment results.
One month or less More than one month
93
94 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public sector governance system Despite the apparent range of late payments indicated by looking at the spread, the average number of days for late payment is no more than 1-2 days.
These percentages belie the fact that the vast majority of payments are only 1-2 days late. d) Systematic comple-
60.2%
d)
Systematic completion
tion reports are
reports are prepared for
prepared for certi-
certification of budget
fication of budget
execution and for recon-
execution and for
ciliation of delivery with
reconciliation of
budget programming.
delivery with budget programming
(i) Percentage of complex*
(i) Percentage of major
contracts with comple-
contracts* with com-
tion reports.
pletion reports. * *
‘major’ taken to mean awarded by open bidding
‘complex’ was removed from the questionnaire.
60.2%
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
3. Integration and mainstreaming of the public procurement system into the public sector governance system (ii) Average time after
(ii) Average time after
Same day:
These figures are unex-
78.4%
pected since one would
final contract liquida-
contract completion
tion within which
within which completion
More than 1
expect more days in the
completion reports
reports are finalized for:
day: 21.6%
case of works between
are finalized
Goods
6-7 days
contractors statement
Works
0 (same day)
of completion and
Services
0-1 day
employer’s acceptance
Consultancy services
4-5 days
and no days in the case of goods which would normally be done upon delivery (and inspection).
This suggests a need for capacity building on contract administration issues.
5. Institutional development capacity c)
Strategy and train-
c) Strategy and training
Given the scale of Indo-
ing capacity to pro-
capacity to provide
nesia’s public sector, the
vide training, advice
training, advice and as-
numbers trained (at least
and assistance to
sistance to develop the
in terms of officers per
develop the capacity
capacity
entity – overall country
(i) Number of procure-
Not
(i) Evidence of strategy and
figures are not available),
training capacity to pro-
whilst relative low, are
central government
vide training, advice and
probably no more than
that receives formal
assistance to develop the
can be expected. It is a
training in the year.
capacity.
huge task
ment officers in the
available
95
96 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
5. Institutional development capacity (ii) Average waiting time to get in a for-
2-3
(ii) Percentage of procure-
months
mal training event
47.6%
These data indicate the
ment personnel provided
prevalence of fairly short
with programmed learn-
term, compliance based
ing opportunities.
training provided either in-house or by other
(iii) Average duration of to-
2-4
Government institutions.
tal learning programmer
Experience elsewhere has
per person per year
shown that longer-term, competence based train-
(iv) Percentage of entities
39.7%
ing provided by profes-
with quality control
sional and academic
standards and staff per-
organizations generally
formance evaluation for
have greater impact.
capacity development.
(v) Percentage of procure-
40%
ment personnel having attended non-procurement specific training
(vi) Whether training is
45.2%
focused on Compliance
16.7%
or Competence or Equal
38.1%
distribution
(vii) Percentage of training that is -
provided in-house
42.9%
-
by academic,
4.8%
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
2-3 per entity
There is no general figure
5. Institutional development capacity viii) Number of procurement officers that receive for-
for this but comments of
mal training in the year.
the survey teams and re-
ix) Average waiting time to
2-3 months
sults under other indica-
get in a formal training
tors (15.2.1.) suggest that
event.
records are incomplete in most cases.
This is a low figure which needs to be addressed. It is to be recalled, even though, that there is legal obligation to maintain such systems.
6. Efficiency of procurement operations and practices a) Adequacy of procurement competence among government officials
(i)
Percentage of staff involved in procurement who hold procurement certificates at Levels 2, 4 or 5
75.6%
97
98 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Result 1
Amended Indonesian CPI
Result 2
6. Efficiency of procurement operations and practices iii) Percentage of procure-
81.9%
ment staff who have competency-based job roles
(iv) Percentage of providers
36.6%
satisfied with the competence of procurement committee NA as CPI
b) Procurement train-
under
ing and information
OECD/
programs
DAC (i) Percentage of procure-
34.1%
ment personnel satisfied with content and availability of procurement training, including relevance to career progression (ii) Percentage of the total supply base that have received assistance by procurement entities on how to be successful in winning government contracts.
32.4%
Commentary
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
Result 1
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
71%
Note: ‘briefing’ refers to
6. Efficiency of procurement operations and practices (iii) Percentage of suppliers satisfied with content
guidance materials, not
and availability of brief-
‘debriefing’ in the sense
ing/training
of communication to providers reasons for the failure to win bids.
7. Functionality of the public procurement market a) Effective mechanisms
a) Effective mechanisms for
Relatively few of the
for partnerships
partnerships between
entities surveyed engage
between the public
the public and private
in any meaningful way
and private sector
sector
with the private sector. However, when it does
Percentage of favorable
(i) Percentage of procure-
28.2%
happen, providers ap-
opinion on effective-
ment entities that have
pear to be satisfied.
ness of mechanisms by
an ongoing formal dia-
relevant organizations or
logue process with their
This should be a lesson
agenciest
supply markets,
learned and thought should be given to
(ii) Percentage of supplier
27.5%
encouraging greater use
population involved in
of dialogue with the bid-
the dialogue process
ding community.
(iii) Percentage of surveyed providers who consider the supplier ...
87%
99
100 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
7. Functionality of the public procurement market dialogue processes with procurement entities is worthwhile.
(iv) Percentage of providers
31.4%
having joined a debriefing exercise NA as CPI
c)
Systemic constraints
under
inhibiting the private sec-
OECD/
tor’s capacity to access
DAC
the procurement market
Payment terms: These are relatively sig41.5% Access to
nificant problems being faced by bidders.
credit: 36.6%
Consideration should
Other: 21.9%
also be given to iden-
Percentage of surveyed
tifying the problems
contract suppliers that
connected to payment
consider opportunities to
terms in case there is
access bid opportunities are
a possibility of amend-
limited by factors such as
ing standard contract
access to credit, government
terms to remedy such
procurement procedures and
problems.
payment terms Improving access to credit is less straightforward but thought should be given to identifying any provisions of the legal rules which require to seek loans...
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
7. Functionality of the public procurement market unnecessarily (e.g. for securities and guarantees).
It would be useful to consider finding out what the ‘other’ problems are.
8. Existence of contract administration and dispute resolution provisions a)
Procedures are
a)
Procedures are clearly
These figures are rela-
clearly defined for
defined for undertaking
tively poor indicating, as
undertaking contract
contract administration
elsewhere, that contract
administration
responsibilities
administration is not yet
responsibilities
a common practice in (i) Existence of a contract
Percentage of satisfac-
80%
32.1%
Indonesia.
management manual
tory opinions on perfor-
to guide relevant staff
Most providers assume
mance of the system
in their responsibilities
that contract manage-
after a contract has been
ment plan will be very
established
effective.
(ii) Percentage of contracts for which procuring entities have established contract management plans
16.2%
101
102 JURNAL PENGADAAN
OECD/DAC CPI
Result 1
Amended Indonesian CPI
Result 2
Commentary
8. Existence of contract administration and dispute resolution provisions (iii) Percentage of contracts
No data
These figures are rela-
awarded where there
tively poor indicating, as
is evidence of compli-
elsewhere, that contract
ance with operational
administration is not yet
procedural manuals and/
a common practice in
or contract management
Indonesia.
plans Most providers assume (iv) Percentage of contracts
42.3%
that contract manage-
that have a nominated
ment plan will be very
contract manager re-
effective.
sponsible for monitoring compliance with the contract by suppliers &
t
users.
(v) Percentage of providers
80%
that consider contract management is effective
10. Efficiency of appeals mechanism b) Capacity of the com-
b) Capacity of the com-
Note: it must be noted
plaint review system
plaint review system and
that records on com-
and enforcement of
enforcement of decisions
plaints exist in only 41%
decisions
of the survey sample, meaning that the situation is unknown for almost...
Complience and Performance Indicator
OECD/DAC CPI
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Amended
Result 1
Indonesian CPI
Result 2
Commentary
10. Efficiency of appeals mechanism i)
Percentage of com-
78.3%
i)
Percentage of complaints
24.4%
...60% of cases (indica-
plaints processed
processed within the
tor 1(h) above). The fig-
within the time limits
time limits posted or set
ures here are, therefore,
posted or set out in
out in the legal frame-
limited to those 41% of
the legal framework.
work.
reported cases. Whilst it may be that there are
ii) Percentage of
78.1%
ii) Percentage of decisions
15.8%
positive results which
decisions taken that
taken that has been
have not been recorded,
has been actually
actually enforced.
that is not an assump-
enforced.
c) Fairness of the complaints system
tion that can be made.
c) Fairness of the complaints
Note: As above, there-
system
sults on the perception of providers also related
Percentage of favorable
(i) Percentage of favorable
opinions by the par-
opinions (by the partici-
ticipants in the system
pants in the system) on
on the fairness of the
the fairness of the bid
process
protest system.
See column 4 for a more accurate breakdown.
(ii) Percentage of complainants satisfied with the results of the process
40%
only to the recorded cases.
33.3%
103
104 JURNAL PENGADAAN
4. Issues Arising As indicated in the Section 3, the pilot survey gave rise to a series of valuable findings and conclusions. These are summarized for ease of reference in this section. The detailed commentary is contained in the matrix set out above. However, the main findings, both in terms of improving the survey following this pilot and in terms of improving the national procurement system are summarized as follows: Relevant
Issues Arising
Indicator 1(c)
There is clearly a need to enforce the minimum time periods provided for. There seems little doubt that this provision of the rules is being breached extensively. One possibility would be to improve capacity in this area, i.e. to emphasize this as part of ongoing training. Another option would be for NPPA to issue instructions (made public) requiring compliance. By making the instruction public, bidders will be aware of this requirement and would be in a better position to bring complaints where breaches of the rules have a negative effect on their chances of success.
1(e), 7(b)
No data is currently available on the number of bidders participating in each process. The OECD/DAC indicator 7(b) needs to be reinstated.
1(e)
It appears that better training is required for bidders which would permit them to prepare better bids for the benefit of procuring entities. At the same time, better training for evaluation committees is also required.
1(f )
To provide a more complete picture of the use of qualification criteria, the questionnaire destined for providers should include questions relating to the use of non-quantifiable qualification criteria.
1(h)
This is a record keeping issue. Ideally, a procurement file should contain all information relating to each procurement process, including complaints and contract administration. If separate files are kept (by different people or in different locations) there should at least be a cross-reference ion the file or a copy of essential information.
2(c)
There is a high incidence of prequalification being used as a consequence of ambiguity of Keppres 80 of 2003. Thought should be given to clarifying the direction on using this method, in the legal rules where appropriate, but otherwise by way on instructions from NPPA. If the legal rules are not inadequate, then this would need to be remedied by way of improved capacity development and better enforcement.
Complience and Performance Indicator
3(b)
November 2012/Vol. 2 - No. 2
To provide accurate data, the dates used for calculating late payments need to be amended to provide a more accurate picture.
3(d)
The results indicate some weakness in the completion (inspection) activities which may need to be addressed through improved capacity building in respect of contract administration.
5, 6(c)
There is currently no requirement collecting procurement information and data which would enable contract administration to take place. Together with the poor record keeping identified in this survey, it is clear procuring entities are handicapped by lack of information.
5(c), 6(a),
The capacity building efforts that were surveyed are clearly seen to be inadequate. The emphasis ap-
6(b)
pears to be on short-term, compliance based training provided by primarily by Government institutions.
7(a)
There seems to be insufficient communication between the public and private sectors and a need to encourage further dialogue between the partners in the procurement equation.
7(c)
Whilst many of the problems faced by bidders in doing business with the Government are outside the scope of procurement regulation, the possibility should be considered that the procurement rules may contribute to the difficulties (e.g. payment terms) and it may be useful to see what can be done about easing problems of bidders.
8(a)
The absence of any regulatory provisions indicates a strong need to address lack of guidance on contract administration.
10(b), (c)
Due to limited number of providers who submit complaints consequently the complaint mechanism cannot be assessed clearly.
5 Preliminary Conclusions and Recommendations The pilot survey provides NPPA with significant information both on the future conduct of the survey itself and on the areas of apparent weakness which are in need of improvement. In respect of the first series of conclusions, namely the conduct of a broader roll-out of the survey, the conclusions and recommendations can be fairly robust. In respect of the broader recommendations
relating to possible improvement in the system, these must necessarily be only preliminary and indicative since they are based on a pilot survey only. Whilst the findings can indicate the trends and tendencies, they cannot provide a definitive view of the country situation. However, they certainly indicate the areas on which NPPA needs to focus and, where they are the result of clearly identifiable deficiencies, may be addressed even at this stage since the results are likely to be rep-
105
106 JURNAL PENGADAAN
licated elsewhere, e.g. lack of legal provisions relating to record keeping. With this in mind, we make two series of recommendations, the first related to the survey design, the second to the broader system results. For current purposes, they are provided in bullet form. 5.1 Survey Design In terms of the organization of the surveys: • Improve clarity of purpose of survey for respondents to emphasize that this is not an audit • Improve communications between survey teams and respondents • Complete bureaucratic formalities in a timely fashion • Provide more time for surveys (1 weeks is not sufficient where documentation is not readily available) • Coordinate availability of survey team and respondents more effectively • Identify the correct respondents • Seek to identify a greater number of bidders (losers as well as winners) • Train the surveyors to understand the background of OECD indicators
In terms of the content: • Review the questions in the questionnaires for consistency with the original matrix • Revise the matrix accordingly • Provide clearer instructions in respect of issues raised in 2.5 above • Make consequential amendments to Manual • Make changes to questions, including: o new question relating to reasons used for resorting to procedures other than open bidding (1(b)) o reintroduce question relating to number of bidders per procedures (1(e) and 7(b)) o new question for providers on use of non-quantifiable qualification criteria (1(f)) o refine questions relating to total number of complaints (1(h)) o change details of dates used for calculation of late payments (3(b))
Complience and Performance Indicator
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Problem Area
Possible Actions
Low level of open
It may well be necessary to provide clearer guidance/instruction on contract splitting. This would
bidding
need to be enforced.
Minimum time
Instructions should be issued on the need to comply with the minimum periods and on the
periods
need to provide however many days that are sufficient to enable bidders to prepare bids. The minimum periods must be enforced. Improve training components relating to bid preparation requirements.
Record Keeping
Consider amending the legal framework to require adequate record keeping commensurate with contract administration needs. Provide guidance on how best to maintain records and, where possible, provide tools to facilitate this. In addition, develop and provide software for the electronic recording of project specific procurement data.
Private sector
Encourage further dialogue between procuring entities and the private sector.
dialogue
Ideally, seek to create national and regional fora between contractor and supplier organizations and the procuring entities which should be based on regular meetings/workshops. Consider amending current approach to capacity building. Look towards longer-term solutions using professional and academic institutions to provide long term, competence based training. Even without improving the overall approach, consider introducing/improving training components related to: • contract administration, including inspection and completion • duties of evaluation committees and the criteria to be applied • bid preparation for the providers
Complaints
Consider introducing improved complaints mechanism
107
108 JURNAL PENGADAAN
6. The National Pilot Survey Team NPPA 1. Sarah Sadiqa, Director of the Business Climate and International Cooperation 2. TB. AchmadChoesni, Director of Procurement Planning of State Budtget 3. R. AdhaPamekas, Division Head of Public Relations 4. Tjipto P. Nugroho, Head of Sub-Directorate of Institutions, Enterprises & KPS 5. M. Iskandarsyah, Head of Sub-Directorate of Expert Witness 6. Hermawan, a.i. Head of sub-Directorate Business Climate 7. Fanni Sufiandi, Section Head of Multilateral Cooperation 8. Samudera Gunadarma, Section Head Complaints, Java and Bali area
9. Ebrinda Daisy G, Staff of Dir. Business Climate and International Cooperation 10. Widya Prima Sari F, Staff of Dir. Business Climate and International Cooperation 11. Natasha Saskia, Staff of Dir. Business Climate and International Cooperation 12. M. DwiSumanto, Staff of Dir. Business Climate and International Cooperation 13. Ihsan Sidik, Staff of Directorate of Settlement of Complaints 14. Sri AdityaNur Primary, Staff of Dir. Procurement Planning State Budget
Ministries, Provinces And Districts /Cities 15. Mardi Parnowiyoto, Ministry of Public Works 16. NurdienAji, ST, Ministry of Public Works 17. RochadiMasyhadi, Ministry of Public Works 18. Khalid Mustafa, Ministry of National Education and Culture 19. Firmansyah, ST, Ministry of National Education and Culture 20. Ben AnomHaryoSuseto, Ministry of Na-
tional Education and Culture 21. Sugiarto, ST, Ministry of Health 22. Djarot Darsono WH, M. Epid, Ministry of Health 23. Hendra Gunawan, S. IP, MM, West Java Province 24. Rispiaga, ST, West Java Province 25. DidingDjunaedi, ST., MM, West Java Province
Complience and Performance Indicator
26. DR. Drs. Ron Jacob L, M. Si, Southeast Sulawesi Province 27. Ir. H. Samaruddin, Southeast Sulawesi Province 28. Suprin, S. Sos, Southeast Sulawesi Province 29. Nday Ibrahim, SE, East Nusa Tenggara Province 30. Stanislaus K. Jawan, S. Sos., M. AP, East Nusa Tenggara Province 31. EkaLaydayani C, S.Si., Apt, Balikpapan City
November 2012/Vol. 2 - No. 2
32. Tarso, Balikpapan City 33. Ferry A. Woy, ST, Manado City 34. Drs. Boyke Robot, Manado City 35. Kurniawan, S. IP, East Belitung District 36. Agusseno, West Sumbawa District 37. Hj. SitiMaesarah, SIP, West Sumbawa District 38. Laksana Jaya, SE, West Sumbawa District
Technical Experts / Consultants 39. FransVos, AusAID – ISP3 40. Peter Trepte, AusAID – ISP3 41. NurBaharuddin, AusAID – ISP3 42. NenengWidiastuti, AusAID – ISP3 43. Sorta S. Nainggolan, AusAID – ISP3 44. Maria Tri Wahyuari, A4DES
45. Farid MN, ADB 46. EllminYuliasri, A4DES 47. RahmiKasri , ADB 48. Barmen Simatupang, ADB
109
PARA PENULIS
110 JURNAL PENGADAAN
Tentang Penulis
Dadan Umar Daihani. Setelah lulus dari jurusan Teknik Industri ITB tahun 1979, langsung mengabdikan dirinya di almamater tercinta selama dua tahun sebagai pengajar Pendidikan Ahli Teknik Jurusan Penggunaan Komputer dan juga merangkap sebagai staf di Pusat Komputer ITB. Pada tahun 1981 Dadan hijrah ke Universitas Trisakti dan menjadi dosen tetap hingga saat ini. Pada tahun 1989 Dadan mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk melanjutkan studi master dan doktoral di bidang teknik produksi otomatis yang diselesaikannya pada tahun 1994. Sepulang dari Perancis, Dadan mendapat kepercayaan untuk menjadi direktur Lembaga Penelitian Universitas Trisakti dan kini menjabat sebagai Ketua Program Magister Teknik Industri serta Program MBA dan DBA Trisakti International Business School dan Program Dual Degree Trisakti International Business School bekerjasama dengan Rotterdam Business Scholl pada bidang Logistik. Jabatan sebagai Guru Besar untuk kajian Sistem Produksi diperolehnya pada tahun 2000. Jabatan ini menjadi pembuka pintu untuk terus berkarya baik pada bidang industri maupun bidang lainnya khususnya yang berkaitan dengan strategi kebijakan publik. Langkah ini membawa dirinya untuk mengikuti Program Pendidikan Singkat Angkatan XVI Lemhannas RI pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 bergabung di Lemhannas menjadi Tenaga Profesional dan anggota Tenaga Ahli pada Laboratorium Ketahanan Nasional.
Para Penulis
November 2012/Vol. 2 - No. 2
M. Trisno Hadisaputra. Lahir di Cirebon, 29 Juni 1975. Sejak tahun 2006 Trisno menjabat sebagai Staf Bidang Pembinaan Pembedaharaan, di Kantor Wilayah X Direktorat Jenderal Pembedaharaan Serang, Provinsi Banten. Bermula di tahun 2008, Trisno senantiasa mengembangkan dirinya dengan mengikuti beragam program sertifikasi tentunya dalam bidang pengadaan, pada tahun tersebut Trisno mengikuti Program Trainer of Trainer (ToT) PPAKP di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Sementara di tahun 2011 Trisno mengikuti dua pelatihan yakni ToT Pengadaan Barang/jasa Tingkat Dasar LKPP dan ToT Penyuluhan Pembedaharaan, BPPK Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Kegigihannya untuk terus mengembangkan diri akhirnya mengantarkan Trisno sebagai salah seorang Ahli Pengadaan dan tercatat sebagai anggota Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI). Menempuh pendidikan dasarnya di Cirebon, hingga akhirnya di tahun 1994 Trisno hijrah ke Jakarta dan berhasil menamatkan pendidikan Diploma III Bidang Pembedaharaan Negara dari STAN-PRODIP Departemen Keuangan RI tiga tahun kemudian, tak berhenti disitu Trisno kemudian pada tahun 2004 di sela-sela kesibukannya di Unit Kerja KPPN Majene Kanwil XXIII Ditjen Pembedaharaan berhasil menyelesaikan pendidikan dari STIE YAPMAN Majene Sulawesi Selatan. Dan di tahun 2008 berhasil menyelesaikan studinya dari STIE IPWIJA Jakarta.
111
112 JURNAL PENGADAAN
Erlangga S. Atmadja. Lahir di Jakarta, 8 Agustus 1980. Sejak Mei 2011 hingga sekarang Erlangga bekerja untuk Asian Development Bank (ADB) sebagai CoTeam Leader ADB Technical Assistance (TA) 7653-INO, dimana tugas utamanya adalah untuk memperkuat proses pengadaan publik, di antaranya dengan menyelenggarakan program bantuan teknis yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas insititusi LKPP, agar LKPP dapat menjalankan dan mengatur proses Pengadaan Barang/jasa yang kredibel. Pada tahun 2001 Erlangga memperoleh gelar Sarjana Bisnis Internasional dari Murdoch University, Australia, Erlangga langsung melanjutkan pendidikan Pasca Sarjananya di universitas yang sama, kali ini untuk bidang Electronic Commerce dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2010, Erlangga kembali menyandang gelar Master of Diplomacy and Trade dari Monash University, Melbourne, Australia.
Para Penulis
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Nanang Priyatna. Lahir di Jakarta, 3 Pebruari 1966, sejak 2009 menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan LKPP setelah sebelumnya bertanggung jawab sebagai Kepala Layanan Audit BRR NAD-Nias. Ia menyelesaikan studi bidang akuntansi dari STIE INABA Bandung pada tahun 1998. Nanang juga pernah tercatat sebagai Fungsional di Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kurun waktu 2004 - t2005. Nanang juga mengantongi sertifikasi Certified Fraud Examiners yang dikeluarkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) pada tahun 2002.
113
114 JURNAL PENGADAAN
Mustofa Kamal, dilahirkan di Pekalongan 1 Juni 1972. Saat ini Mustofa mengemban amanah sebagai Widyaiswara Muda di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan (Pusditlatwas) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kabupaten Bogor. Setelah manamatkan studi D III di STAN Jakarta di tahun 1994, Mustofa melanjutkan studi Strata-1 di STIE Mahardhika Surabaya, dan berhasil menyelesaikan masa studinya di bidang akuntansi pada tahun 2001. Sementara untuk pendidikan non formal, Mustofa terus mengembangkan dirinya dengan mengikuti berbagai pelatihan seputar pengadaan dan pengawasan. Terakhir di tahun 2012 Mustofa mengikuti dua pelatihan yakni Diklat Asesor Kompetensi Widyaiswara, yang dise-lenggarakan oleh Ikatan Widyasiwara Indonesia (IWI), dan Diklat Sertifikasi Peng- adaan Barang/jasa internasional yang diselenggrakan oleh LKPP. Sementara Program Sertifikasi Pengadaan Barang/jasa Pemerintah yang diselenggrakan oleh Pusdiklatwas BPKP telah ia peroleh pada tahun 2009.
PANDUAN UNTUK PENULIS
Panduan Untuk Penulis
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Petunjuk Untuk Penulisan Jurnal 1. Penulisan naskah. Naskah yang dikirim ke Jurnal Pengadaan belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah populer bisa berasal dari ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang kritis, mencerahkan dan membuka wawasan. 2. Topik. Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik Utama yang ditetapkan redaksi dan bisa juga berisi topik bebas di luar Topik Utama. Tulisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman dan pergulatan pemikiran. Rubrik Survei berisi hasil penelitian tentang segala macam persoalan sosial ekonomi yang aktual. Rubrik Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau penelitian tentang satu daerah tertentu di Indonesia. Rubrik Buku berisi tinjauan bukubuku baru atau lama yang masih relevan dengan kondisi sekarang. 3. Panjang. Panjang tulisan untuk rubrik Topik Utama, Survei dan Laporan Daerah, kecuali atas kesepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan
sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum terhitung didalamnya jika ada gambar, ilustrasi, bagan dan tabel. Panjang Esai maksimal 12.000 karakter dengan spasi (tidak perlu di sertai catatan kaki). Tinjauan Buku tediri dari dua versi; tinjauan pendek sekitar 12.00014.000 karakter dengan spasi dan tinjauan panjang sekitar 24.000.-29.000 karakter dengan spasi. 4. Abstrak. Setiap naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia. Panjang asbtrak maksimal 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri dari satu paragraf yang menggambarkan esensi isi tulisan secara gamblang, utuh dan lengkap. 5. Catatan kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupun tidak langsung, harus diletakkan dalam Catatan Kaki dengan urutan nama lengkap pengarang, judul lengkap sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit, dan nomor halaman, kalau perlu. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.
115
116 JURNAL PENGADAAN
Contoh-contoh Buku dengan Satu Penulis Weny Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hal 65. Buku dengan Dua atau Tiga Penulis Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000) Buku dengan Empat Penulis atau Lebih Edward O Laumann et.al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Pratices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hal. 225-262. Buku Terjemahan atau Suntingan Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh Richmond Lattimore (Chicago: University of Chicago Press, 1951) Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, disunting oleh John Naughton and Anthony Rudolf (Chicago: University of Chicago Press, 1995) Bab atau Bagian dari Sebuah Buku Andrew Wiese,”The House I Live In’:Race, Class, and African American Subruban Dreams in the Postwar United States,” dalam Kevin M Kruse dan Thomas J Sugrue (eds), The New Suburban History (Chicago: University of Chicago Press, 2006), hal. 101-102.
Prakata, Kata Pengantar, atau Pendahuluan dari Sebuah Buku James Rieger,”Kata Pengantar” untuk Mary Wollstonecraft Sheley, Frankenstein; or, The Modern Prometheus (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hal. XX-XXI Buku Elektronik Phillip B Kurland dan Ralph Lerner (eds), The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago Press, 1987), atau http:// press-ubs. uchicago.edu/founders/ (diakses tanggal 27 Juni 2006). Artikel Jurnal, Majalah, atau Surat Kabar Cetak John Maynard Smith,”The Origin of Altruism”, dalam Nature 393 (1998), hal. 639 William S Niederkorn, A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York Times, 20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra). Tesis atau Disertasi M Amundin,”Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Purpoise, Phocoena phocoena” (Disertasi Phd, Stockholm University,1991), hal. 22-29,35. Makalah Brian Doyle,”Howling Like Dogs: Metaphorical Languange in Psalm 59” (Makalah diajukan
Panduan Untuk Penulis
November 2012/Vol. 2 - No. 2
pada pertemuan internasional the Society of Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19-22 Juni 2002).
Surat Elektronik Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penulis, 31 Oktober 2005
Laman Evanston Public Library Board of Trustees,”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000-2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, dalam http://www.epl.org/ library/strategic-plan-00. html (diakses tanggal 1 Juni 2005)
Item dalam Basis Data Maya Pliny the Elder, The Natural History, John Bostock dan HT Riley (eds.), dalam the Perseus Digital Library, http:// www.perseus.tufts.edu/ cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedication (diakses tanggal 17 November 2005)
Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya Mark A Hlatky et.al.,”Quality- Of-Life and Depressive Symptoms in Postmenapausal Women after Receiving Hormone Therapy: Result from the Heart and Estogen/ Progestin Replacement Study (HERS) Trial”, dalam Journal of the American Medical Association 287, No. 5 (2002), atau http://jama.ama-assn. org/issues/ v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004). Komentar Weblog Komentar Peter Pearson tentang “The New American Dilemma: Illegal Immigration,” The Becker-Posner Blog, diposting 6 Maret 2006,dalam http;//www.becker-posner-blog. com/archives/2006/03/ t h e _ n ew _ amer ica.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret 2006)
Wawancara Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta, 1 Januari 2010. 6. Tabel. Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/ gambar/bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/ilustrasi diletakkan persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilus trasi bersangkutan. 7. Biodata. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri 8.
Pengiriman. Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik dan 2) naskah tercetak (2 kopi)
117
118 JURNAL PENGADAAN
ditujukan kepada : a. File elektronik :
[email protected];
[email protected] b.
Naskah tercetak : Pemimpin Redaksi Jurnal Pengadaan, Kantor LKPP SME Tower lt.8, Jl Gatot Subroto Kav 94, Jakarta 12780 Indonesia
9. Nomor bukti. Setiap penulis akan menerima nomor bukti penerbitan 10. Hak cipta. Dengan publikasi lewat Jurnal Pengadaan, maka penulis menyerahkan hak cipta (copyright) artikel secara utuh (termasuk
abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) kepada Jurnal Pengadaan, termasuk hak menerbitkan ulang dalam semua bentuk media.
Indeks
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Indeks
a la mode Agen pembangunan Agregat Akuntabilitas Alutsista Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
APBD APBN 2012 Audit Trail Autonomous Background review Badan Anggaran DPR Bantuan Sosial Belanja Bantuan Sosial Belanja barang Belanja hibah Belanja lain-lain Belanja modal Belanja Negara
3 18 19 7, 34, 56 32 i, ii, 7, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 31, 32, 35, 36 i, 7 ii, 21-24, 26, 31, 32, 35 57 19 6 50 22, 24, 27, 28 35, 36 24, 28, 35, 19, 22-24, 27-29, 34-36 23, 24, 27, 28, 35 22-24 23, 24, 27-29, 30-33, 35, 36 21, 22, 23, 32,
Belanja pegawai Bendaharawan Umum Negara (BUN) Bio fuel Block grant BOS Breakwater Budaya organisasi BUMN Cirebon-Tegal Classical Criminological Theory Consumption Dana alokasi khusus
22, 23, 29, 31 24 5 26 20, 31 33 9 7 33 51
6 22, 24-26, 29, 30, 36 Dana Alokasi Umum 22, 24-26 Dana bagi hasil (DBH) 22, 24-26 Dana otonomi Khusus 22, 24, 26, 29, 30, 35 Dana Otonomi khusus 26 Aceh Dana perimbangan 22 Daya dukung alam 3, 4 Defisit 19, 21, 22 Defisit Anggaran 21 Desentralisasi fiskal 22, 26
119
120 JURNAL PENGADAAN
Development of Seulawah Agam Geothermal in NAD Province
25
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Disharmonis Disposal Dokumen spesifikasi produk (part drawing) Efektivitas Efisiensi
19, 20, 21, 50 4 6 13
Ekosistem Employee Fraud Energi air Energi angin Energi primer Energi surya ESDM Exposures (Pengungkapan) Feasible Finansial Fluktuasi ekonomi Fraud Fraud Triangle GDP
20, 21, 31, 56 3, 8, 10, 13-15, 20, 21, 31 4 53-55 5 5 5 5 33 59 13, 82 52, 59 19 50-60 52, 55 6
GE lighting GE Trading Process Network General Electric (GE) Greeds Green policy Green procurement Hibah Hutan alam Illegal Income Statement Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Industri otomotif Information gathering Infrastruktur Infrastruktur air minum Infrastruktur irigasi Infrastruktur jalan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) Infrastruktur sanitasi International Union for Conversion of Nature and Natural Resources (IUCN) Jeremy Bentham
13, 14 14 10, 13 59 4 3, 42 21-24, 27, 28, 35, 36 4 11, 53 58 50
5 6, 77 20, 24, 26, 31 32, 35, 36 26, 35 26, 35 26, 35 32 26, 35 2
51
Indeks
Job Description Kehutanan Kelautan dan perikanan Keluarga berencana Kementerian Agama Kementerian Negara/ Lembaga Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pertahanan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Kementerian Kesehatan Kesehatan Keselamatan transportasi darat Kesempatan kerja Kesetimbangan ekosistem Konservasi energi Kontra-siklis Konversi Korupsi KPK Kriminologi Lembaran Negara Leverage factor Lingkungan hidup
November 2012/Vol. 2 - No. 2
56 26, 35 26, 35 26, 35 34, 35 19, 24, 29, 31, 34, 35, 31, 32, 35, 31, 32-35 31, 32, 34 50
34, 35 11, 26, 26 24 4 5 19 56 i, ii, 49, 51-54, 59, 60, 65, 113 50 50, 57 19 7 26, 35
Lingkungan Pengendalian Lingkungan sosial Listrik perdesaan Maintenance Management Fraud Marine Surveyor Mass Rapid Transit (MRT) Matra Darat Matra Laut Matra Udara Mengentaskan kemiskinan Minimum essential force Mitigasi Muhammad Nazarudin Multiplier effect Needs
55, 56 3, 4 33 6 53, 54, 58 33
24 32, 33 33 33 24 20, 31 10 50 27 43, 45, 59, 72, 73, 78, 80, 81, 105 Non renewable resources 7 Non-shareable financial 52 problems (pressure) Nota keuangan 20 OECD 6, 7, 71-73, 82, 106 Off grid 33 On grid 33 Opportunities 41, 59 Opportunity 47, 52, 53, 55, 60 Outcome 20, 31 Output 20, 31-33
121
122 JURNAL PENGADAAN
Pasar Domestik Pembangunan berkelanjutan Pembayaran bunga utang Pembelian Pemberdayaan Sosial (P2KP/PNPM) Pembiayaan defisit Pendapatan negara dan penerimaan hibah Pendidikan Pengelola keuangan negara Perceived Opportunity Perdagangan Perlindungan Sosial Permukiman Pertahanan Integratif Pertanian Pertumbuhan ekonomi Perubahan iklim Perumahan PLTS PNPM PNS Pressure Pressure/Tekanan keuangan
7 ii, 2, 3, 11, 15 22, 23, 31 6, 24 32 21 22 11, 21, 24, 26, 31, 34, 35 19 52 26, 35 20, 31 26, 35 33 26, 35 20, 24, 29, 31, 36 4, 10 25, 36 26, 35 20, 24, 31, 32, 36 21, 31 52, 53, 54, 60 53, 54
Procurement
Program Keluarga Harapan (PKH) Program Local Basic Education Capacity (L-BEC) Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Rantai nilai (value chain) Rantai pasok (supply chain) RAPBN Raskin Rasionalisasi Reboisasi Reformasi birokrasi Renewable Renewal RFQs (Request for Quates) Sarana dan prasarana kawasan perbatasan Sarana prasarana daerah tertinggal SDA Sektor publik Siklus bisnis Simeuleu Physical Infrastructure Project-Phase
ii, iii, 1, 3, 6, 14, 40-47, 71-76, 78-80, 83 20, 31 25 20, 26 20, 26 15 4, 9, 15 20 20, 31 51, 53, 59 4 iii, 21, 31, 63, 65, 67 5, 7 6 13 26, 35 26, 35 i, 2, 5, 6, 7, 10, 15, 2, 6-8, 10, 12, 15 19 25
Indeks
Sektor publik Siklus bisnis Simeuleu Physical Infrastructure Project-Phase Sistem Akuntansi Sistem reward and punishment SME (Small and Medium Enterprise) Sosiologi Specific grant Street Crime Subsidi Supplier Surplus Sustainable development Sustainable Procurement (SP) Tender notification The Committee of Sponsoring Organisations (COSO) The Perception of Detection Theory of Differential Association Tidak etis Titik picu Transparansi Transparency International
November 2012/Vol. 2 - No. 2
2, 6-8, 10, 12, 15 19 25 55-57 15 6 50 26 51 21, 22, 23, 31 6, 13 19 2, 3, 10 3, 10, 46 ii, 3, 6 6 55
51 50 53 7 7 50
Uni Eropa Unit Kapal Patroli KPLP United Nations Environment (UNEP) Unrenewable energy User Vice Water Resources and Irrigation System Management Project APL 2 (WISMP-2) World Conservation Strategy World Summit on Sustainable Development World Wide Fund for Nature (WWF) Zero growth
6 33 2 5 13 54 25
2 10 2 22, 32
123