PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH 1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu komunikasi. 2. Artikel ditulis dengan Bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi ganda dilengkapi dengan abstrak dalam Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam Bahasa Inggris juga. 3. Penulisan kutipan dibuat dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang, tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung. Contoh Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12) Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25) 4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama belakang, nama depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota:Penerbit Contoh: Dominick, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in Digital Age. New York: McGraw Hill. 5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki dalam halaman pertama naskah 6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microfoft Word dengan format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12, spasi 2 7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam Bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8) Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel) 8. Artikel konsseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam Bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel) 9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada: Jurnal Ilmu Komunikasi d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 487711 ext 4130, Fax. (0274) 487748, Email:
[email protected] 10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak lima eksemplar. Artikel yang tidak dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 -6564 Volume 7, Nomor 2,Desember 2010 Halaman 129 - 240
Personal Influence Model of Public Relations: A Case Study in Indonesia's Mining Industry Gregoria Arum Yudarwati (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
129-152
Exploring the Communication Process for Rural Community Development Desideria Cempaka Wijaya Murti (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
153-170
Riset sebagai Ujung Tombak Keberhasilan Program Public Relations Ike Devi Sulistyaningtyas (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta) Pembreidelan Pers di Indonesia dalam perspektif Politik Media Reny Triwardani (Universitas Pembangunan Nasional "Veteran ", Yogyakarta) Efektivitas Komik Saku sebagai Media Pemilih dan Pemilu bagi Perempuan Marginal Dhyah Ayu Retno Widyastuti (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta) Mustika Kuri Prasela (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)
171-186
Memahami Makna Simbol dalam Komunikasi dengan Dayak Jangkang R. Masri Sareb Putra (Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta)
187-208 209-226
227-240
Personal Influence Model of Public Relations: A Case Study in Indonesia's Mining Industry1 Gregoria Arum Yudarwati2 Abstract: Studi kasus di industri pertambangan Indonesia dipilih sebagai jendela untuk memahami fungsi public relations (PR) di era paska Suharto. Partisipan memandang era reformasi yang memungkinkan kebebasan berpendapat dan sistem desentralisasi sebagai pemicu untuk menyusun strategi public relations (PR) yang baru dalam menjalin hubungan dengan publik. Personal relationship model of PR ditemukan sebagai model PR yang dominan di industri pertambangan Indonesia. Model ini dipilih sebagai strategi untuk membangun hubungan baik dengan orangorang kunci di komunitas yang dipahami sebagai masyarakat kolektif. Temuan ini mendukung proposisi yang menyatakan adanya pengaruh budaya setempat dan nilai-nilai lokal terhadap paktekPR. Key words: public relations, personal influence model, mining industry Public relations practices vary across the world. Some scholars (Grunig et al., 1995, Vercic et al., 1996) have proposed the concept of generic principles and specific applications of public relations. Generic principles refer to standardised world-wide principles, while specific applications mean that the generic principles are applied differently in different settings (Grunig et al., 2006). Grunig etal (2006) refer to the principles proposed by The Excellence Study as the generic principles. Meanwhile, the culture, political and economic system, the media system, the degree Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam the European Public Relations Education and Research Association (EUPRERA) Conférence, Milan 2008. 2 Gregoria Arum Yudarwati adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
129
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
of activism, and the level of economic development have characterised specific applications of public relations (Sriramesh and Vercic, 2003). Several international studies have confirmed that variation in public relations models has been found in many cultures and political systems, illustrating the use of the personal influence model (Grunig et al., 1995, Huang, 2000, Jo and Kim, 2004, Park, 2002, Rhee, 2002, Sriramesh, 1992). Sriramesh (1992) argued that the personal influence model is an additional fifth model that encompasses elements of public relations not covered by the original four models that Grunig and Hunt proposed. In spite of this, it is still unclear why certain public relation practices are more common in certain countries (Jo and Kim, 2004). In relation to this, this article seeks to better understand public relations practices in Indonesia today. The premise of this article is that the economic, social, and political changes after Suharto's resignation have resulted in opportunities and challenges for public relations practices. In Indonesia, public relations was first introduced in the 1950s when a number of multinational companies commenced business in Indonesia and needed to build a good relationship with the government and the public (Ananto, 2004a, Putra, 1996). Public relations practice in government agencies began to develop, when in 1962 the government decided that all government agencies should have public relations departments to facilitate dialogue between government and the public and support decision making process (Ananto, 2004a). The foreign and domestic capital investment law, passed in 1967, resulted in an increase in the number of foreign and domestic investors (Putra, 1996). Accordingly, the number of public relations agencies as well as the number of public relations practitioners working within organisations also increased (Ananto, 2004a). suppressed public opinion. As a consequence, public relations was limited to a one way communication process (Ananto, 2004a). Public relations practitioners were mainly assigned to providing the media with favourable publicity while ensuring that unfavourable publicity was kept out. They were merely communication technicians who executed policy assigned by others in companies and were not involved in the decision making process (Ananto, 2004a, Ananto, 2004b, Putra, 1996).
130
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. Suharto's resignation in May 1998 however, gave new hope for the growth of the public relations profession. Since 1999, when freedom of speech and expression became legal, the number of mass media outlets increased. People became more concerned about the democratic system, protection of the law, and human rights. Today there are more public movements that are demanding transparency, accountability, reliability, responsibility and fairness. This democratic atmosphere (Thompson, 2008) has had an influence on the way companies manage their relationships with the public. This article focuses on the public relations practices in the Indonesia's mining industry as the case study. This provides us with a "window" into public relations in the post Suharto era. This industry has contributed significantly to the economic sectors in Indonesia (Pricewaterhouse Coopers, 2005). During the Suharto era, the government provided security around mining areas through the use of the military. The mining industry enjoyed a privileged position, being able to communicate directly with the government through official reports. This system meant that the mining industry could avoid communicating with the public and was able to ignore the public's demand for information about its operations. In the post Suharto era, however, Indonesia has moved towards a more democratic system. There have been more public demands on mining companies and the number of conflicts with the community has increased (Wiriosudarmo, 2001). In addition, the government has been pressured to decentralise its authority to regional governments. In 1999, as a result of Law no 22 which regulates regional autonomy, the government decentralised its authority, making the district level responsible for major needs, including the environment, health, land management, public works, and education. This decentralisation also affects the mining industry, as most aspects of this industry are under the jurisdiction of local government (Wiriosudarmo, 2001, Wahju, 2002). This background accordingly provides an important site for exploring the way companies manage their relationships with their stakeholders. Against this background, this article seeks to better understand the practices of public relations in the post Suharto era. In more detail, this article aims: 1. to understand how changes in the external environment have contributed to the implementation of public relations functions,
131
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
2. to better understand how senior management and public relations practitioners within the company perceive these public relations functions, 3. to identify how these perceived public relations functions relate to the model of public relations.
METHODS A multiple case studies strategy was employed to gather and analyse the data. Three mining companies, which operate in three different environmental areas, were chosen. Data was collected through semistructured interviews. The interviews were conducted to explore how the company defines public relations and how it engages with the public. There were two groups or participants for this study: those who were members of top level management and those who were members of a public relations unit. Interviews with members of top level management aimed to explore how they view public relations functions. Meanwhile, interviews with public relations practitioners sought to find out the pattern of public relations practices. Thirty seven participants were interviewed, including three members of top management and thirty four members of departments, which are claimed to be responsible for public relations functions. The interviews were conducted in Indonesian and tape-recorded. They were then transcribed and translated into English. The data gathered was analysed to construct a picture of public relations functions in this company. Using the NVTVO program, the patterns were identified and compared with what public relations theorists suggest about the generic principles of public relations functions. Additionally, secondary data were collected from relevant documents, such as organisational structure and job descriptions, annual reports containing the history and performance of the company, articles in the media about the company with regard to stakeholder relationships, mining industry regulations, and other research related to this topic. Document analysis was carried out to study the history and context of relevant public relations functions in the post-Suharto era.
132
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model..
BACKGROUND OF THE CASES STUDIED Company A
The first company is an Indonesian privately owned mining company3. Previously this company was owned by foreign investors, but since 2001, the company has sold all of its shares to an Indonesian public company. This company started its operation in 1991 and is planning to close down mining by 2021. The mine operates in a remote area isolated from the district government. Due to the mining activities, population in the area increased. Apart from the original ethnic groups4, there are migrants from different islands islands5 who come and settle in around this area voluntarily or due to the transmigration6 program (Evers and Gerke, 1992). During the Suharto era, public relations of this company was conducted by officers in the headquarter office in Jakarta, close to the central government. After Suharto's resignation in 1998, however, this company established an independent division, which is responsible for handling external issues and corporate social responsibility (CSR) programs. This division is also claimed to be responsible for handling the public relations functions of this company
Company B
The second company is an Indonesian limited state mining corporation which was established as a merger from several single state owned companies inl968. This company was first listed on the stock exchange when the government sold 35% of the company to the public in 1997. The majority of this 35% is held by foreign institutions. Currently this company runs nine mining areas spread across Indonesia. This study 3
According to Law no.19/2003, domestic private companies are companies which at least 51% of their shares owned by non state and non foreign investors.
There are two major ethnic groups, each group also consisting of different ethnic group categories. 5 There are at least three prominent migrant ethnic groups. 6 The transmigration program was initiated by the Indonesian government to move landless people from densely populated areas of Indonesia to less populous areas of the country, which include the island, where this company operates (Adhiati and Bobsien,
4
2001).
133
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
is undertaken in the one mining area which is located only two-hours drive from the capital city of Jakarta. This mining area was isolated and less developed. This area is not surrounded by a multicultural community. There is only one majority ethnic group and one major religion. As soon as the company provided road access and started production in 1994, however, many migrants came to the area seeking a better living. Predominantly, they are unemployed with hopes of making money from the ore deposit (Irawan et al., 2005). They want to get instant cash as illegal miners. This condition leads to conflicts between the company and the community, since most illegal miners are organised by local figures and claim that they also have the right to benefit from the mining industry (Sufa, 2004). The company documented that in the post Suharto era, the number of conflicts with these illegal miners has increased (Irawan et al., 2005).
Company C
The third company is a multinational company which operates in one island of Indonesia. This company started its construction in 1997 and commenced commercial production in 2000. It is surrounded by a relatively homogenous community for whom mining industry is something new, since no other mining company has operated in this island before. This company has become the main income resource of the province (Sumbawa Regency, 2002), where it employs 7200 employees, 60% of whom are from the local community.
FINDINGS Indonesia's Mining Industry in the Suharto Era and the Post Suharto Era
During the Suharto era, mining investments were regulated through Contracts of Work (CoW). This was an exclusive contract between the government and mining investors. This transaction did not involve local government. Local government became the instrument of the central government in implementing the agreements. In the CoW system, the investor worked as contractor for the government to explore mineral resources, and was relieved of any social obligation. This exclusive
134
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. position enabled mining companies to solve any investment problems, including social problems with local communities, since the government protected the mining operation by arranging settlement with local government and through the use of military force (Wiriosudarmo, 2001). To quote a superintendent, who mostly handles community development programs, "For us, we felt secure during the New Order era, because the government provided security". A public relations officer added: "We had a conducive situation because the military and police handled the security around mining area". The mining industry also enjoyed a privileged position, being able to communicate directly with the government through official reports (Wiriosudarmo, 2001). This system meant that the mining industry could avoid communicating with the public and was able to ignore the public's demand for information about its operations. In the post Suharto era, however, Indonesia has moved towards a more democratic system. Public has pressured the government to decentralise its authority to regional governments. In 1999, as a result of Law no 22 which regulates regional autonomy, the government decentralised its authority, making the district level responsible for major needs, including the environment, health, land management, public works, and education. Article 10 of this law, states that "regional government has full authority to promote and develop the national resources available in its region..." (Wahju, 2002, p. 17). Local government is now responsible for issuing mining licenses, replacing the previous "contract of work" system. Local governments have authorisations to decide, rule and administer resources development in their regions. There have been also more public demands on mining companies and the number of conflicts with the community has increased. As commented by a superintendent from company A, who is responsible for community development programs: "In the last five years, the most frequent problems that arose were not technical problems but social problems...relationships between the company and communities". Communities are brave enough to share their opinion and make their demands. Company C was attacked by its communities which led this company to close its camp's exploration. The attack was sparked by the refusal of the company to pay compensation to residents (Nugraha, 2006). Company B also experiences problems with illegal miners who are organised by local figures (Sufa,
135
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
2004) . The economic hardship during the reformation era has led the community around this company to change their livelihoods from farming to gold digging, in the hope of making a quick fortune (Irawan et al., 2005) . In responding to these conflicts, the use of military force has been criticised by human rights organisations and shareholders, since these guards are often involved in serious human rights abuses against the local population (Down To Earth, 2004). This condition led the company to build a strategy to handle social pressure and social conflicts which have tended to become uncontrollable.
The Establishment of Public Relations Unit Company A
During the Suharto era, company A focused its relationship with central government by employing its public relations officers at its Jakarta office. However, in the post Suharto era, this company realised the need to manage a better relationships with communities. As asserted by a supervisor, who handles relationship with local government: "The president director of this company at that time realised the need to have a specialised independent division to handle external affairs relating to the community, the community's leaders, and the government". Accordingly, in 2003, this company established an independent division, which is responsible for handling external affairs and corporate social responsibility programs. This division, which is run by a general manager, consists of five departments, i.e. Community Empowerment, Land Management, External Relations, Project Management and Evaluation, and Government Relations. This division is claimed to perform public relations functions. As the general manager of this division commented: "It is impossible to assign public relations functions to all employees. Accordingly, these functions must be institutionalised into this division". In spite of this, some of those interviewed argued that there is a section within this division that is specifically responsible for formal public relations functions. This section is called the Public Communication Section. As asserted by a superintendent of community support: "In a practical context, we also perform public relations. However, in a formal context, Public
136
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. Communication (section) plays this role". This section is primarily responsible for handling media relations, guest relations, and publications.
Company B
In the Company B, public relations and community development unit was established in 2000. During the Suharto era, this company had a public relations unit situated at its head office in Jakarta. Relationships with communities during the Suharto era were carried out through community development programs, which were treated as ad hoc programs and handled by the general affairs unit. However, as public demands to the company increased the company realised the need to establish an independent unit to manage relationships with them. As commented by an assistant public relations manager: "The company finally established an independent unit to handle conflicts with communities, explore communities' needs and opinion, and to socialise the community development programs". This unit, which is chaired by a manager, consists of three sub units, i.e. community development, public relations, and mining security.
Company C
Company C started its construction in 1997, one year before Suharto's resignation. During its construction periods between 1997 to 1999, relationships with communities were handled by the government relations and public relations unit. However, in 2000 this company has expanded this unit into a division called the External Relations division. The public relations unit was separated from the government relations unit and became an independent unit, which is chaired by a manager. Besides government relations and public relations units, there are also some other units within this division which are responsible for handling commimity relations, NGO relations, and community development programs. This company claimed that this external relations division carried out public relations functions.
Public Relations Functions in Mining Companies
Public relations functions are perceived as relationship functions by the mining companies. According to their understanding, public relations is about how they work together with society, interact directly with
137
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
society, and build relationships with society. This is also about the communication function, as remarked by the CEO of company A: "Public relations is a function needed by the company to give accurate information about the company to the public and to avoid inaccurate information spreading out from the company". The External Relations Senior Manager of company C added: "It is not only about how we share information to public, but it is about a process of communication". Public relation functions within these mining companies mainly focus on relationships with the community. This public relations function is integrated with the unit which is also responsible for corporate social responsibility programs. As claimed by the general manager of external affairs of company A: "When we do CSR (corporate social responsibility), at the same time actually we carry out public relations functions...CSR is a tool to make an interaction". Public relations function is also carried out to communicate their community development programs. As asserted by a superintendent of company A, who is responsible for community development programs: "It is about how to inform the public about our programs...so they get clear and balanced information about our programs". These companies understand the need to inform internal and external stakeholders of their activities. However, in practice the publications only partly inform the public as they omit bad publicity and act in a privileged propaganda role. As pointed out by several participants:
"We cannot expose employees' demonstrations, since the orientation of company publications is to get good public relations on its CSR programs...We cannot expose controversial issues" (the media relations supervisor of company A). "Public relations should have good relationships with media...try to build a good image and avoid a bad publicity. This is the role of our public relations. This is also a one way communication to publish our community development programs. Thus, the communities know about these programs" (the External Relations Senior Manager of Company C).
138
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. This public relations function aims to promote a good company image for the sake of business purposes. The CEO of company A stated that
"as a public company, there is a need for the corporate group which owns this company to announce that this company has implemented good corporate governance principles. This is also an effort to promote its shares...A business entity is never free from this interest". In line with this, some participants claimed that image building is important for shareholders. Before signing the contract, buyers will not only examine the product quality, but also get to know the company's concern for the environment, including community welfare. Good community relations are also important to get a social licence to operate from the community. As stated by a staff who handles infrastructure programs in Company A: "Even though we have legal approval from the government, if the community does not approve it, we cannot start our programs. If we break it, there will be a 'war'." The senior manager of external relations in Company C added:
"No matter how much fund we spend for the community, if we do not have good communication and relationships with them, they will close our mine. If their cultural and religious values clash with the company's interests, this big organisation is meaningless ". Personal Influence Approach
In building relationships with communities, Company A assigns field officers who live in the community. These field officers are staff employed under the agriculture section and mainly assist the community to perform CSR programs. They are also liaison officers who bridge relationships and facilitate communication between the company and the community by identifying key actors and developing informal and personal relationships with them. As commented by a field officer:
139
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
"We preferably develop a personal communication...not positioning ourselves as a representative of the company. This is a community. We mix with them... With this kind of communication pattern, they seem to accept us more easily and perceive us as their family ". To identify key actors within communities, this company also utilises social mapping. As stated by a superintendent of community support,
"We make a social mapping...identify who are the cultural leaders, the religious leaders, and the community leaders. We also identify their positions, whether they are willing to cooperate or not, and whether they are actively involved. We update this map every three months. So when there is a problem, we can ask their help ". Besides identifying these key actors, the company also identifies other opinion leaders. Among them are community leaders, those who have better economic status or education level, and those who have succeeded in running the programs offered by the company. Company A operates within a multi cultural environment. The communities come from different cultural backgrounds, some of them are migrants from other islands and some of them are local people. Most of the field officers have similar cultural backgrounds as the community in which they live. An understanding of their cultures and their languages enables the company to make informed choices about what they should or should not do, as well as to develop trust from the community.
As asserted by some participants, "I am a Bugis7, they are also Bugis. We can communicate easily and closely. They treat me as their family They trust me, since they know I will not lie to my own people" (The Field Officer A).
Bugis is the name of an ethnic group from South Sulawesi of Indonesia.
140
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model..
"I can speak several languages to communicate with several ethnic groups, i.e. Java8, Bugis, Kutaf, and Banjar10. These languages enable me to approach them closer. When Bugis people complain, I will slowly approach them using Bugis language. If the complain comes from Kutai people, I will use Kutai language. Similarly, I will do this to the people from Java and Banjar. By using this cultural language approach, we will explore what their problems are. Then we analyse the problems and take actions" (The Conflict Management Supervisor). Field officers of this company emphasised the importance of forming relationships with ethnic group leaders and adat" leaders. As commented by a field officer: "When there are conflicts involving members from different ethnic groups, kepala desa12wi\\ not be able to do anything. The communities will only listen to their ethnic groups or adat leaders." Accordingly, the company routinely organises meetings with religious leaders, adat leaders, ethnic group leaders, and local leaders. Similar to the Company A, Company C also assigns field officers who live in the community to manage relationships with them. These field officers are coordinated under a community relations unit. This unit is responsible for establishing and maintaining mutual relationships with communities, assuring communication between the company and the community, defusing issues before they become problems, identifying impacts of mine operation on the community and helping to minimise or solve them, and informing management of community issues. This company has established a community relations office in almost each Javanese is an ethnic language from Java.
9 Kutai basically is a local ethnic group where the company is (East Kalimantan) 10Banjar is the name of an ethnic group who mainly lives in South Kalimantan. 11 Adat leaders are those who are responsible to maintain a set of local and traditional laws
in many parts of Indonesia. They are usually the elders of the ethnic group. leader who is in charge to lead a village. Kepala desa or "village head" owns the highest authority in the village, and is responsible for the welfare of residents, the maintenance of law and order, and representing the interests of the Indonesian Government. Generally, the appointment of a kepalad Desa is made by the subdistrict administrator (Camat) based upon recommendations received from village residents.
12 Kepala desa is an administrative
141
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
village making it easy for the community to get access to the company. At each community relations office, there are some books, magazines, newspapers, or other documents about the company that can be accessed by the community. If there is a problem within the community that relates to the company, field officers are front liners who should solve it. As commented by the Senior Manager External Relations: "All problems in the community which relate to the company must be fixed. The community relations officers must fix it...since one day their problems will be our problems as well." This company does not operate in the multicultural environment. Most of the community also have the same religion. Religion plays a big role in helping build personal relationships. The field officers claimed that personal relationship with local leaders and religious leaders are important, since they are key actors who influence the relationships with the company. These field officers are assigned to maintain good relationships with local leaders of villages to kecamatan13. Meanwhile, relationships with leaders of district and central government are handled by the government relations unit. In the company B, community relations are handled by a public relations unit which is chaired by an assistant manager. There are only four staff members, including the assistant manager, who manage relationships with communities, including local government, local media, and informal leaders. This company operates in a relatively urban area. There is only one primary ethnic group and religion. The public relations staff stated that besides village leaders, the religious leaders are key actors who are mostly respected by communities. Close to the mining area, there is an Islamic boarding school which is chaired by a kyai14. The company involves kyai in the company's activities, such as by inviting the kyai to lead an employee prayer during a fasting month or by inviting the kyai to attend special company occasions, e.g. the company's anniversary celebration. The company also gives financial support to the Islamic boarding school. 13 Kecamatan or subdistrict is a subdivision of regency or a city in Indonesia. A subdistrict is divided into several administrative villages. 14 Kyai is an expert in the religion of Islam. A kyai has his position and authority because people will listen to what he says.
142
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. The personal relations approach is also applied in building relationships with the government's employees. In the reformation era, as a result of the local expansion program15, the areas where the companies A and C operate have become capitals of new districts. There are new key actors within this new government. Among these key actors are members
of MUSPIDA (Musyawarah Pimpinan Daerah or Regional Security
Council), which consists of local government, police and military. Accordingly, as mentioned by the staff who manage relationships with the government, the company needs to build and maintain good relationships with them to avoid difficulty in managing legal issues and to build good cooperation instead of being exploited in doing community development programs. The company needs their authorisation for running the mining operation, such as authorisation for using dynamite in their mine site or shipping the product overseas. In the company B, the public relations staff stated that despite the fact that the company is a state owned it still needs to build good relationships with local government leaders due to the decentralised authority. The companies support local government with some facilities, such as facilitating key persons to use companies buildings or transportation for certain events, or providing opportunities to use the companies' airport for business travel. The staff who manage government relationships in these three companies, mentioned that they build good relationships with key actors, through social interaction such as by playing tennis or other sports together, giving gifts for their special occasions, hosting lunches or dinners with them, and attending their family celebrations such as marriages. They also stated that they regularly visit the village leaders just for a chat. As commented by the assistant manager public relations of Company B:
"Sometimes when there is a village leader who is not happy because his demand has not been approved by the company, we come and visit him. We bring coffee, biscuits, and cigarette for him. We approach him and try to make him understand of the company's condition." The decentralisation reform allows for the creation of new regions by dividing or merging existing administrative units. This process is known as local expansion program.
143
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
Despite the fact that the companies try to approach the government key actors personally, the local government officers still want to show their authority over the mining companies, as implied by this statement:
"In our daily activities, we accept many proposals that according to our procedures are not appropriate. For instance, if the MUSPIDA16 needs to go to Jakarta17, they will ask for airfares, if there is an event they will ask for accommodation, catering, transportation... We cannot easily refuse their proposals... We need their authorisation for our mining operations" (a superintendent who responsible for government relationships). In building relationships with the media, the public relations staff claim that they enter into friendships with key individuals in the media. They also open a 24 hours personal phone line for journalists to contact them. This personal relationship plays a critical role in obtaining good media coverage and minimising unfavourable media coverage. To quote a media relations staff of Company C: "We entertain the journalists. We ask them for dugem18. This entertainment approach is so effective...They always ask our confirmation before publishing any news about our company". This media relations officer added that he was fully supported financially by the company to entertain the media professionals.
DISCUSSION AND CONCLUSION
In the Post Suharto era, the mining companies realise the need to establish an independent unit to manage relationships with their public. The transformation toward democracy, the decentralised authority, and the freedom of speech and expression after Suharto's resignation force the 16 MUSPIDA (Musyawarah Pimpinan Daerah) is a group of local leaders which consists
of leaders of the local government, police and military. Sometimes local leaders must attend at national meeting in Jakarta, the capital of Indonesia. 18 Dugem is an Indonesian acronym of dunia gemerlap which textually means a glamorous world. This refers to a night, entertained activities. People go dugem in pub, discotheque, or other well-known places. 17
144
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. companies to undertake public relations function in order to build good relationships with them. As asserted by Sriramesh and Vercic (2003, p.3): "in societies whose political systems do not value public opinion, the nature of public relations is not sophisticated". However, as pointed out by Sharpe (1992), the freedom of the press, the transformation toward democracy, global economic growth, and cultural diversity have influenced public relations practises on a global scale. Public relations function in the mining companies mainly focuses on building relationships with the community. Decentralised reform has resulted in moving power from the central government to the local people where their approval is needed for mining companies to operate effectively. The increasing number of conflicts with communities has also forced the company to value the community as its main constituency. This public relations function, however, mainly aims to secure business and attract more buyers for company shares. The companies believe that relationships with communities are able to save money, since they prevent costly issues or bad publicity. The companies' concerns for community welfare aim to improve their image in order to attract more investors. This condition is in line with what The Excellence Study called the "strategic constituencies approach" (Grunig et al., 2002). This approach asserts that the company must identify key elements of the environment whose opposition or support can influence the company's goals. Furthermore, Post, Preston, and Sachs (2002) point out that a company's wealth and its licence to operate are influenced by its relationship with stakeholders. In this case, it is influenced by the company's relationship with communities. A two way symmetrical model of public relations is not found in these mining companies. Nevertheless, personal influence model is predominantly carried out to approach communities. The companies assign field officers who live and get along with the community in almost each mining circle area. Members of the community can easily access information from the field officers and are able to share their problems or hopes with these officers. There is an interpersonal relationship between members of communities and field officers. The personal relationships with key actors and opinion leaders have also become the main concern of field officers.
145
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
This finding shows the importance of interpersonal relations as part of the relationship building process. The repressive approach during the Suharto era has created a low level of trust between companies and communities. Accordingly, interpersonal relations between management and communities including the key actors and field officers, aims to build trust and reduce conflict. As asserted by Huang (2001), trust is a crucial factor which influences relationships between publics and organisations. This is a foundation of relationship building. Without trust, management and public will not be able to communicate and cooperate well (Taylor, 2003). This personal relations approach is also based on a cultural variable of power distance. Power distance refers to the extent of power, prestige, and wealth inequality among people of different social strata or classes (Hofstede, 2001). Hofstede's study (2001) shows that Indonesia has a high power distance index. During Suharto era, the mining industry paid the royalty to the central government. This became the national income which should be distributed to the local governments. However, it has been criticised that only the central government benefited from this royalty (Wiriosudarmo, 2001). This inequality has contributed to a low level of trust between local people with mining companies, which are associated to the central government. This is in line with what Tayeb (1988) claimed that there is a relationship between power distance and interpersonal trust. Tayeb (1988) found that the class struggle has led to the opposition and mistrust between managers and their employees. Personal relationships with key actors in the communities are important due to the collectivism values which characterise ethnic groups around mining areas. Hofstede (2001) classified Indonesia as a high collectivistic country. Collective culture stresses the group goals over the personal goals, and that individuals are more likely to be attached to their leaders. Among the Bugis, for instance, siri is the most basic element in the life of the Bugis (Said, 2004). In the communal context, siri implies the obligation of supporting group solidarity among members of the community. Dayak ethnic groups also have strong solidarity and loyalty among themselves and a strong sense of communalism (Sukamdi et al., 2002). A cultural interpreter model reflects this cultural value. The company assigns field officers, who mostly have the same cultural background as members of the multicultural community, or who have a
146
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. good understanding of their culture, to facilitate communication and problem solving processes when there is conflict. Personal relationships with members of local government are addressed to secure business. This decentralised reform has placed the legal aspects of mining operations under local government jurisdiction. However, the alienation of local government from mining operations which occurred during the Suharto era, still affects the understanding of local government staff regarding mining operations regulations (Wahju, 2002, Wiriosudarmo, 2001). Mining executives complain that even minor matters, such as who issues explosives permits, are unclear (American Embassy Information Resource Center, 2007). Accordingly, the companies approach local government people to avoid problems regarding legal issues and more importantly to get legal certainty for the benefit of future investors. Relationships with media professionals can be categorised into three relational types. The first one is formal relationships, in which companies send releases or conduct press conferences to disseminate information. The second one is informal personal relationships in which the companies extend their professional relationships with the media into friendships outside of the work place, such as by playing sport together, or entertaining them. The third one is maintaining complementary relationships, such as by giving gifts. Extending personal networks among media professionals brings benefit to the companies, especially in minimising unfavourable media coverage (Jo and Kim, 2004).This approach, however, has been criticised as discrediting the quality of the media coverage, since the news can be influenced by personal relationship factors rather than news values (Taylor, 2003). The relationships with media in these companies also predominantly reflect the practice of the press agentry and publicity model and the public information model of public relations. Media relations mainly aim to publish corporate social responsibility programs and are forbidden to expose controversial issues which lead to conflicts. Despite the fact that these mining companies claim to perform public relations functions, these functions are perceived as supporting tools for other areas, rather than as integrated communication functions. Public relations functions are a part of a division which is responsible for corporate social responsibility functions. This is in line with what Banks
147
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
(2000) stated, that in the 1990s and beyond companies have started to employ public relations to perform corporate social responsibility. However, as asserted by The Excellence Study, public relations functions should not be integrated into another department whose primary responsibility is not a communication management function. Furthermore, Grunig etal. (2006:45) pointed out that the integration of the public relations function into other areas means that this function "cannot be managed strategically, because it cannot move communication resources from one strategic public to another - as an integrated public relations function can." This finding is in line with a power-control theory (Grunig et al., 2006:53), which discusses "the way organisations behave in general, and practice public relations in particular as they do because the dominant coalition chooses to organise and manage in that way". Cutlip etal. (2006) remark that the public relations function will be useful only if the management wants it. If the management perceives this function as not something crucial for the company, then this function will not have a strategic position in the company and its contribution will be small.
BIBLIOGRAPHY Adhiati, A. S. & Bobsien, A. 2001. Indonesia's Transmigration
Programme - An Update, http://dte.gn.apc.org/ctrans.htm, Accessed 2 April 2008. American Embassy Information Resource Center. 2007. Indonesian Mining Investment - Not Such a Rosy Picture, http://www.usembassyjakarta.org/econ/rosy.html, Accessed 25 July 2007. Ananto, E. G. 2004a. "The development of public relations in Indonesia". In Sriramesh, K. (Ed.) Public Relations in Asia an Anthology, Singapore: Thomson. Ananto, E. G. 2004b. Public relations research, EGA Briefing, Vol.23. Banks, S. P. 2000. Multicultural Public Relations, A Social Interpretive Approach, Iowa: Iowa State University Press. Cutlip, S. M., Center, A. H. & Broom, G. M., 2006. Effective Public Relations, New Jersey: Pearson Education International,
148
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. Down to Earth, 2004. Military will Continue to Vital Object, http://dte.gn.apc.org/61BRF.HTM, Accessed 1 June 2008. Evers & Gerke, 1992. "The culture of planning: transmigration area development in East Kalimantan, Indonesia", International Sociology, Vol.7, pp.141-151. Grunig, J. E., Grunig, L. A. & Dozier, D. M., 2006. "The Excellence theory". In Botan, C. H. & Hazleton, V. (Eds.) Public Relations Theory II, Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Grunig, J. E., Grunig, L. A., Sriramesh, K., Huang, Y.-H. & Lyra, A., 1995. "Models of public relations in an international setting", Journal of Public Relations Research, Vol.7, No.3, pp.163-186. Grunig, L. A., Grunig, J. E. & Dozier, D. M., 2002. Excellent Public
Relations and Effective Organizations, A Study of Communication Management in Three Countries, Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates. Hofstede, G., 2001. Culture's Consequences, Comparing Values,
Behaviour, Institutions, and Organisations Across Nations,
California: Sage. Huang, Y.-H., 2000. "The personal influence model and gao guanxi in Taiwan Chinese public relations". Public Relation Review, Vol.26, No.2, pp. 219-236. Huang, Y.-H., 2001. OPRA: A cross cultural, multiple-item scale for measuring organization-public relationships. Journal of Public Relations Research, Vol.13, No.l, pp.61-90. Irawan, I., Mumbunan, C. E. F. & Ardianto, A., 2005. "Community development in the urban area of a developing country: a case study of the Antam-Pongkor gold mine, Java Island, Indonesia". Mining Engineering, Vol. 57, No.2, pp. 37-41. Jo, S. & Kim, Y., 2004. "Media or personal relations? Exploring media relations dimensions in South Korea". Journalism and Mass
Communication Qarterly.Vol. 81, No.2, pp.292-306.
Nugraha, P., 2006. Newmont closed, attack under investigation, http://old.thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp? FileID=20060321.D01, Accessed 17 June 2008. Park, J., 2002. "Discrepancy between Korean Government and corporate practitioners regarding professional standards in public relations:
149
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
a co-orientation approach". Journal of Public Relations Research,^'oil 5, No.3, pp.249-275. Post, J. E., Preston, L. E. & Sachs, S., 2002. Redefining the Corporation, Stakeholder Management and Organizational Wealth, Stanford, CA: Stanford University Press. Pricewaterhouse Coopers, 2005. Review of Trends in the Indonesian Mining Industry. Jakarta: Pricewaterhouse Coopers. Putra, I. G. N., 1996. Public Relations Practices in Indonesia. Unpublished Master's thesis, University of Canberra, Canberra. Rhee, Y., 2002. "Global public relations: a cross-cultural study of the excellence theory in South Korea". Public Relations Research, Vol.14, No.3, pp.159-184. Said, N., 2004. "Religion and cultural identity among the Bugis". Inter Religio, Vol. 45, pp. 12-20. Sharpe, M. L., 1992. "The impact of social and cultural conditioning on global public relations", Public Relation Review, Vol.18, pp. 103¬ 107. Sriramesh, K., 1992. "Societal culture and public relations : ethnographic evidence from India", Public Relation Review, Vol. 18, No.2, pp.201-211. Sriramesh, K. & Vercic, D. (Eds.), 2003. The Global Public Relations Handbook, Theory, Research and Practice, Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Sufa, T., 2004. Illegal mining hard to prevent: Antam, http://old.thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp? FileID=20040319.G05, Accessed 17 June 2008. Sukamdi, Setiadi, A. D. & Sembiring, H., 2002. "Forced internal
displacement: the Maduranese in West Kalimantan, Indonesia", Indonesia and Displacement. Ford Foundation.
Sumbawa Regency, (2008), PDRB, http://www.sumbawakab.go.id/index_static.php? top=23&urut=4&ver=eng, Accessed 1 June 2008. Tayeb, M., 1988. Organizations and National Culture : A Comparative Analysis, London: Sage. Taylor, M., 2003. "Personal Relationships as a Foundation for Public Relations in Croatia", Speech at The Annual Meeting of the International Communication Association, San Diego, CA.
150
Gregoria Arum Yudarwati, Personal Influence Model.. Thompson, G., 2008. Indonesia Post-Suharto: Decade of Democracy or
Cultivating
Corruption,
http://www.abc.net.aU/news/stories/2008/05/21/2251000.htm, Accessed 1 June 2008. Vercic, D., Grunig, J. E. & Grunig, L. A., 1996. "Global and specific principles of public relations: evidence from Slovenia", In Culbertson, H. M. & Chen, N. (Eds.), International Public Relations: a Comparative analysis, Mahwa, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Wahju, B. N., 2002. "Indonesia Mining Industry in the Period of Transition, between 1997-2001", speech at the International Convention Trade Show Investor Exchange, Toronto. Wiriosudarmo, R., 2001. Baseline Study and Gap Analysis on Mining in
Indonesia,
http://www.natural-
resoiirces.org/rmneral/CD/docs/rrmTsd/omercountries/183_wiriosu darmo.pdf, Accessed 10 January 2007.
151
Jurnal KOMUNIKASI ILMU
152
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 129-152
Exploring the Communication Process for Rural Community Development Desideria Cempaka Wijaya Murti1 Abstract: Daerah pedesaan secara global memperlihatkan adanya keragaman dalam jumlah penduduk, struktur sosial, lokasi dan tujuan. Namun secara umum desa dilihat sebagai daerah miskin yang terkendala pelayanan bagi masyarakat (publik dan swasta). Setiap organisasi yang membantu pengembangan masyarakat desa menghadapi tantangan seperti cara pikir masyarakat, kepemilikan tanah, birokrasi pemerintahan lokal, pendidikan yang rendah dan sebagainya. Tulisan ini mengkaji arti penting proses interpretasi bagi suatu organisasi dalam mendefinisikan makna masyarakat bagi mereka dan peran penting penyesuaian bersama antara organisasi dan masyarakat dalam rangka mengelola pembangunan desa. Tulisan ini akan memaparkan konsep pembangunan desa yang dikembangkan melalui proyek ESSV (Energy Self Sufficient Village) di Indonesia. Keywords: interpretation, village community, development, community partnership
village
Indonesia's vast stretches along the 7,102,623 km2, equivalent to the length of Dublin in Ireland go to Ankara, Turkey, and the number of the island of 17,504 islands making geographic constraints become a significant limitation. Thus, the 'homework' of Indonesian government in rural development is challenging. One of the rural developments 'homework' is in rural electrification, as T
Desideria Cempaka Wijaya Murti adalah dosen Program Studi Umu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
153
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
in 2000 the ratio of rural electrification is still 57.65% (Soerawidjaja, 2002). One of the government programs which synergistic with various parties, is a micro-hydro energy development program. The program is conducted in collaboration with private sector organizations, non government organizations, rural organizations, as well as foreign parties. Micro-hydro energy development program is very useful to develop hydro energy or water to rural communities which are remote and far from the city for the supply of transmission. Although micro-hydro energy is currently only able to supply 6.6% of the power producer, but micro-hydro are the forefront of energy development in rural communities because it makes rural people able to independently develop micro-hydro system and gain power independently or commonly referred to Selfsufficient Village. According to data of IBEKA (People Centered Economic and Business Institute) in 2008, which has built 64 villages to have electricity on their own, independent rural development project has the energy dependence by 70% to the social approach, and 30% to technical and mechanical requirements. This shows how the social approach to the community has a crucial role in rural development. Communication as an approach to rural community becomes a vital tool, especially in the case of rural Indonesia who is anthropologically, is a collective society that consists of many communication activities. The interaction occurs between organizations and rural communities, the organization is IBEKA (People Centered Economic and Business Institute). Since 1980 IBEKA has been working with local and foreign governments to build the remote villages of Indonesia. Until now IBEKA been successfully promoting more than 64 villages across Indonesia, to produce their own electricity, and improve the welfare of the community. Moreover, IBEKA able to develop people to sell electricity they
154
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
produce to the State Electricity Company '(PLN), so that they can have much cash to carry out rural development in the village. Meanwhile, this research will diagnose the interpretation process that took place between organizations IBEKA with villagers of Cinta Mekar in the framework of enactment theory. To do the research required an accurate diagnostic tool to see and evaluate the communication that is already underway. Therefore, this study has conducted a qualitative method in examining the interpretation of the organization. In Griffin (2003:272) it is stated that Clifford Geertz has initiated an interpretive approach to see the activity of an organization. Adopting an idea inspired by Geertz, the study of communication process in community rural development will take the interpretive path. Interpretive approach, according to Crotty as quoted by Hidayat (2002:7), included in constructivism. In constructivism, social science is a systematic analysis of the actions that have socially. This analysis is done through direct inquiry to the social actors in their natural setting every day. The purpose of inquiry is to gain an understanding of how social actors create and maintain their social world (Hidayat, 2002:3). The idea of constructivism itself can refer to personal cognitive constructivism and socio cultural constructivism. By taking thought Cobb (Suparno, 1994:47), then the personal cognitive constructivism can be combined with socio cultural constructivism in order to obtain a complete understanding of the subject of research. The construction process can be viewed as a process of active formation of individual knowledge and also as a process of enculturation in community practice. In line with this, by quoting the opinion of Suparno (1997:47), it can be argued that by combining the knowledge construction process is not only a purely individual construction, but there are socio cultural components included in the construction process. In other words can be argued that individual socio-cultural component is an integral part of knowledge.
155
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
The challenge in rural community development, related closely to the information system approach from the organization to the community. Therefore the theory closely related to information system approach in communication study which, according to Karl Weick of exciting the attention of Lundberg (Pace, 2005) is how the study of organizational communication will bring the individual in a new experiences through the wonders of paradoxical about the areas which we think has been known previously . Recent theoretical understanding of organizational communication in organizations themselves according to Pace (2005:79) is a system that adjusts and sustains itself by reducing the uncertainty it faces. Communication own organization is performing and interpretation of messages between the communication units that are part of a particular organization. In the organizing process are important steps according to Weick (Pace, 2005), as in the theory of Information Systems Approach to Organizations, namely (1) Stage acting out or enactment is a process to collect a part of a number of experiences to consider further. In this process the members of organizations create their environment by re-define and negotiate a special meaning for an event.'; (2) Phase selection is a process of inserting a set of interpretation into the part that was assembled, therefore rules and communication cycles are used to determine the appropriate reduction in obscurity; (3) Phase retention is the storage segments that have been interpreted for the future, this process enabled the organization to store information about how the organization provide a response to various situations. The various stages are mutually affecting one another, such as retention of knowledge to guide the organization in the process of characterization and selection of the organization. In the process organization, there are important theories that emerged the theory of organizational culture. Smircich and Calas (Pace, 2005) states that culture can be tested as assessment basis points, or a metaphor, and when viewed externally, the culture is
156
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
something that is brought into the organization. The emphasis is on cultural forms such as rituals, stories and so forth. METHODOLOGY
The primary data about the subjective experience of individual has been done with depth-interview technique (depth interviews). According to the history of interviews in the social sciences, Andrea Fontana and James Frey shows that interview revealed three main forms, which are structured, unstructured, and open-ended, the researcher choose open-ended interviews which allow for changes or modifications to the instrument interviews during the research process. In this technique contained art to ask questions and listen to the answers the informant. In qualitative research, this technique is not neutral, because when the interviewer tried to build the reality of the situation, the interview will produce basic understanding of the situation he built. Instruments used in order to use this technique are the self-researcher or interviewer himself with the tools in the form of interview guidelines or schedule an interview. This Schedule contains a list of issues that will be revealed by the researchers (Minichiello et al, 1995). Qualitative data analysis technique has been used in a coding system development technique. Coding system is about organizing the data according to conceptual themes that are known by the researcher. These codes come from the stories of respondents, research questions, and theoretical framework. The key used to develop a coding system is to create a list of words that will be conceptualized into categories and then linked with the general framework (Minichiello, 1995:255). The research has been done by interviewing the key person of the village and the organization leader of organization as key person of organization. The village is located in District Serang Panjang Cintamekar Subdistrict Subang, West Java Province. Cinta Mekar Village has an area of 191.55 hectares, mostly rice fields with an
157
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
organization to empower themselves. A community is a group of people who have a sense of belonging among one member with another member in the group and convince each other among the members of the group (Mc Millan and Chavis, 1986). This shows how the development of individuals within a community will give effect to the community, the more individuals who thrive in that community the more growing possibility for the community. IBEKA see that individuals who experience a change and improved quality of life will affect other individuals in the community; (2) Structural empowerment or ability for communities to empower themselves. Communities that have characteristics of high collectivity will possess a particular structure in their society. The structure that is able to empower themselves will be able to help accelerate the development process of society, because the structural capability already exists in society. So that changes made in the structural process will not make too much friction in the process of implementation; (3) Objective outcomes or results obtained in accordance with the goals and objectives of development itself. The purpose of the organization or community development programs also requires attention in measuring the success of a community development program. Program evaluation in accordance with long-term outcome or short-term that have been identified previously, for example by holding meetings with community and discuss the results of the size of the preservation of a program in accordance with the elements that are already identified by organizations such as (1) awareness or understanding from the community about technology and organizations; (2) consolidation within the community or unity and compromise within their own communities so that people can deliberate on a variety of things for the common good; (3) the ability to organize themselves in society so that the organization can be efficient and help increase the awareness of society to unite and organize for the betterment and welfare.
158
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
produce to the State Electricity Company '(PLN), so that they can have much cash to carry out rural development in the village. Meanwhile, this research will diagnose the interpretation process that took place between organizations IBEKA with villagers of Cinta Mekar in the framework of enactment theory. To do the research required an accurate diagnostic tool to see and evaluate the communication that is already underway. Therefore, this study has conducted a qualitative method in examining the interpretation of the organization. In Griffin (2003:272) it is stated that Clifford Geertz has initiated an interpretive approach to see the activity of an organization. Adopting an idea inspired by Geertz, the study of communication process in community rural development will take the interpretive path. Interpretive approach, according to Crotty as quoted by Hidayat (2002:7), included in constructivism. In constructivism, social science is a systematic analysis of the actions that have socially. This analysis is done through direct inquiry to the social actors in their natural setting every day. The purpose of inquiry is to gain an understanding of how social actors create and maintain their social world (Hidayat, 2002:3). The idea of constructivism itself can refer to personal cognitive constructivism and socio cultural constructivism. By taking thought Cobb (Suparno, 1994:47), then the personal cognitive constructivism can be combined with socio cultural constructivism in order to obtain a complete understanding of the subject of research. The construction process can be viewed as a process of active formation of individual knowledge and also as a process of enculturation in community practice. In line with this, by quoting the opinion of Suparno (1997:47), it can be argued that by combining the knowledge construction process is not only a purely individual construction, but there are socio cultural components included in the construction process. In other words can be argued that individual socio-cultural component is an integral part of knowledge.
159
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
The challenge in rural community development, related closely to the information system approach from the organization to the community. Therefore the theory closely related to information system approach in communication study which, according to Karl Weick of exciting the attention of Lundberg (Pace, 2005) is how the study of organizational communication will bring the individual in a new experiences through the wonders of paradoxical about the areas which we think has been known previously . Recent theoretical understanding of organizational communication in organizations themselves according to Pace (2005:79) is a system that adjusts and sustains itself by reducing the uncertainty it faces. Communication own organization is performing and interpretation of messages between the communication units that are part of a particular organization. In the organizing process are important steps according to Weick (Pace, 2005), as in the theory of Information Systems Approach to Organizations, namely (1) Stage acting out or enactment is a process to collect a part of a number of experiences to consider further. In this process the members of organizations create their environment by re-define and negotiate a special meaning for an event.'; (2) Phase selection is a process of inserting a set of interpretation into the part that was assembled, therefore rules and communication cycles are used to determine the appropriate reduction in obscurity; (3) Phase retention is the storage segments that have been interpreted for the future, this process enabled the organization to store information about how the organization provide a response to various situations. The various stages are mutually affecting one another, such as retention of knowledge to guide the organization in the process of characterization and selection of the organization. In the process organization, there are important theories that emerged the theory of organizational culture. Smircich and Calas (Pace, 2005) states that culture can be tested as assessment basis points, or a metaphor, and when viewed externally, the culture is
160
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
owned or known by IBEKA as local resources. From the definition of community that the community is the people who are bound in a similar geographic region and engage in social interaction and have one or more of a psychological bond with each other and with the place they live (Christenson and Robinson, 1989). With the community's ability to know the ins and outs of the place and culture rooted in the community, so working with community residents who know exactly the area itself is a necessary strategy in rural community development. Setting objectives which is to create social transformation is essential in the implementation of a program by the organization. Community development refers to the social transformation (Biddle and Biddle, 1965). IBEKA identify competence in terms of education, economic prosperity, in terms of social organization, and the ability of communities to become independent. The process of identifying community from IBEKA about its partnership also led to the orientation of the main objectives. This orientation in organizational communication can be included in the selection phase, where this selection phase requires the selection of an interpretation device. It could be argued that the interpretation IBEKA practically oriented to the fulfillment of basic needs and meaning of the outcome in social transformation can be measured through this interpretation, "villagers of Cinta Mekar able to meet their basic needs"-leader of IBEKA, Jakarta. Determination of priorities in the principles of an organization is the organization's process in selecting what is important for the organization, and what is valuable to the organization. Value to the organization cannot be viewed solely in terms of finance or financial, but also assessed in the contribution of a program for various important aspects in the surrounding environment. For example, by carrying out community development programs, the local wisdom of a village will be maintained and the environment surrounding the micro hydro village preserved especially in case of the flow of waters. The process of education in these priorities are
161
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
socially interpreted the value contributed by the organization as a high social value. Community development process also has another definition by Huei (1976, in Christenson and Robinson, 1989) is a community development in a process of local decision making and development of programs designed to make the community a good place to live and work. To design a program for the life and welfare of the community, a sustainable program is essential. This is seen in the managerial processes that need to be established so that the managerial system that can be sustainable and help the community to become independent. Learn from Other Mistakes and Make Collective Memory In the process of strategy development, benchmarking IBEKA also did a lot of learning for their organizations or by reference to the theory and implementation process. IBEKA learned from government programs or companies that are often not well targeted, sustainable or not sustainable, and there is no social change toward a better community life. The process of identification are between the idealism of an ideal community development and community development process in reality, to create an organization in determining its policy direction and guiding the organization not to make the same mistake as his predecessor. Identification of errors or error analysis was mentioned by Karl Weick in the retention process (Griffin, 2003:269). Karl Weick explains how an organization is like a reproductive biology in the universe, where the processes within the organization is determined on how the memory system of the organization or system memory organization. Memory that is interpreted by the organization leads the organization in response or what changes would he make, to do something better ahead. This memory is also not only kept by the individual alone, for example, only remembered by the executive director, but a collective memory that is used by all persons who are members of the organization. Collective memory of what has been
162
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
done by governments or companies in community development are implemented in the strategy of IBEKA. Weick also explains how some level of collective memory in an organization is going to stabilize the people within the organization to work together. That is why IBEKA also carry out the education about this comparison is on the organization and the village community which can stabilize the commitment to improve community development program. IBEKA then made a series of strategies in community based development program. The strategy was divided into two important parts of the grass-roots strategy or strategies based on the mobility of local communities and strategy that combines the management of organizations and society itself. Grass roots strategy that is owned by IBEKA is based on the action or proposed action plan which will result in the implementation of programs that have been planned. However those two things are not done by IBEKA because that meant the grassroots village itself is a community, so that the subject of this strategy is that community and not IBEKA. Communities should implement the process of planning and implementing of programs. The goal of IBEKA is to help the community be able to plan and implement their programs independently and do something that could help improve welfare. For this reason there were trainings which were conducted by IBEKA. This process can also be interpreted as a process of internalization of the community, or the process of entering into the implementation of organizational culture community. Smircich and Calas (Pace, 2005:91) states that culture is something that is brought into the organization. However, the organization itself is meant is Cinta Mekar villagers who bring in the values and principles from IBEKA into the organization. According to Louise (1985: 74) organizational culture is a set of understanding organizational culture or the meaning of which is owned jointly by a group of people. In the training and facilitation at a meeting with the villagers, there is the process of delivering meaning and understanding IBEKA on concepts and strategies of
163
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
community development itself, so that the community has the same understanding and the same meaning that community development requires the participation of grassroots communities and mobility, so that people approve this concept and implement this strategy in accordance with the purpose IBEKA itself. In this implementation, community may have its own views which may be different or same with the organization. If the views of that community (local vision) similar with the implementation of the organization they will continue it, but if there are different or even contradictory to the local view of the contradictions or different things that will be included in the issue or issues will be discussed. Issues will be a direction for the next strategy, which in the implementation process for the strategy allows the opening of a new substance. The new strategy would be directed at practical vision for the future of the community itself. This process is entered in a Functional Perspective in Group decision making theory is analyzed by Randy Hirokawa and Dennis Gouran (Griffin, 2003: 232). In organizational communication is the decision making process that is analyzed the problems, or in this case IBEKA analyze different issues or contradictory about the concept of grass-roots movement in community development with rural communities, and then determine goal setting or goal to be achieved, for example social change what you want emphasized here, and then search for alternatives or other means in this case IBEKA mention about a new strategy, which this new strategy will be conducted in accordance with a practical view of the community in the future. In his book, Seitel (1998:351) explains that in order for an organization to be accepted by the community, there are three things to be demands to be done. First is to know the response of society and what people know about the organization. The second is to inform the community or local community organization perspective. While the last is a negotiation between the organization and the local community in order to reach an agreement so there is
164
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
While the long term is to achieved (1) Value added in the integration between the organization and the community such as loyalty, environmental awareness, etc; (2) Maturity of the people in thinking about public interest and common interest; (3) Community education and community creativity The implementation of community development programs (1) The discovery of data or the source of the program, location and condition; (2) Social survey to meet the community leaders or village board and scientific research on the potential of natural resources such as rivers and others; (3) Planning Program IBEKA internal organization and planning of funding; (4) Adequate social preparation, so that development activities can classified as activitybased "society". Preparation includes IBEKA approach to community leaders and prominent community organizations that can be useful to the process approach to society in full; (5) Seeing business and community willingness to own and operate electrification system which relies on the community by utilizing the village potentiality; (6) Improving technical skills and managerial personnel manager of the village organization, for example with practical training and facilitation of good managerial material; (7) Increasing public awareness about the technical issues and rules that already exist within government for example by holding meetings with community and socializing processes or procedures that exist in various community development programs; (8) Shaping catalyst bodies and community empowerment, which strengthen and accelerate the growth of programs such as the formation of the committee for residents who wish to contribute actively in the process of decision making and planning in greater detail, for example issues meetings, technical meetings, and etc; (9) Providing training and support for engineering and managerial activities for institutions and individual villages. The aim is that there is a process of independence from the village; (10) Disseminate information, opportunities and assistance for traditional institutions, rural institutions to understand and
165
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
implement a system that relies on community development. Organizations can also take advantage of community leaders and civil society organizations to disseminate to the public this; (11) Establishment of enterprise organization to manage the profit of micro hydro program; (12) Support policies and subsidies from government (central and local); (13) Simplification of licensing and regulation. The Diffusion of Innovation In the process of community development, the most challenging is how to bring advance technology and knowledge to low-educated rural communities. For that Rogers (1995) have analyzed the diffusion of innovation theory. Diffusion of innovation leads to the process by which innovation is communicated through certain media or certain channels over time to members of a social system. Rural development of Cinta Mekar for example, the process of communicating the innovation which is micro-hydro technology and the concept of community partnership is introduced through the medium of direct communication either interpersonal or interpersonal, communication in rural organizations distributing the information in a hierarchical process from village to village heads, and the RT (families unit), as well as in public with communication through village meetings. An innovation is an idea, practice, or object that is accepted as something new by an individual or a social sphere. According to villagers building a society that has played a large fund and capital through micro-hydro technology is new information and many residents had never heard before, that's why the main idea here is working with PT HIBS to have a micro-hydro in the river, then sell electricity to PLN and money played in the cooperative village institutions need a process of socialization in the village. Diffusion of innovations involves both mass media and interpersonal communication channels (Rogers, 1995:409), this can be identified among others by communication in meetings, meeting in private
166
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
conirnunication (interpersonal) in house to house visits, mass communication with an appeal and a call in the event village and organizational communication in village or with IBEKA Difussion of Technology The theory of diffusion of innovation according to Rogers is almost similar to the understanding of communication theory according to Lasswell (1948) which has a fairly well-known communication models namely: SMCRE (sender-message-receiverchannel-effect) or sender, message, media/channel, receiver, and effect. Depths of adoption are described in more detail by Rogers is Innovator, Early adopters, Early Majority, Late Majority and Laggards/avoiders. Innovator, someone who likes new things, usually innovators have important positions in society or usually a leader who has influence on society. According to the research of this character are owned by the village head, village head and prominent women who currently serve as the cooperative management. Early adopters are someone who is quick to accept an innovation. They are someone who always considered a critical thinking decision after he had decided a decision then that decision is completely and firmly believed to be applied. Characteristics: the paragon (opinion leaders), people who are respected, in the high access. According to the research of this character are owned by members of the youth organization who take responsibility as operator for the Micro Hydro in the future. Early Majority is someone who is intelligent, open to new things but not too critical thinking and consideration. Characteristics: full consideration, high internal interactions. According to research, these characters are owned by the village authorities such as Chief of Sub village, Chairman of families unit, and citizens who work as labors or who will get help and follow the village meeting.
167
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
Late Majority is someone who is always followed with suspicion / skeptics always think about the difficulties of something innovative, they belong to people who are late to the emergence of an innovation. If it is a lot of people uses these innovations and proven to be good and safe to use then finally he participate using these new innovations. Characteristics: skeptical, receive due consideration of economic or social pressure, too careful. Examples are community members who have negative thoughts towards micro-hydro programs and have a fear that their fields will run dry because the water is used for micro-hydro. There are also people who had just become members of the cooperative for fear of loss at first. Laggards/avoiders are someone who is closed to new things. Characteristics: traditional, isolated, limited insight, not opinion leaders, limited resource. They are citizens, including people who want to help shape their funds in the form of direct cash assistance only and does not want his help given to the needy, but were divided equally to anyone. Diffusion of this innovation was specifically lead to processes that have been passed by IBEKA that brings innovation to the village of Cinta Mekar. Therefore, the diffusion of innovation has become an important connection with the process through which the village and carried on by the organization to achieve the community development programs. CONCLUSION
Overall, this communication of audit results can be concluded that the community development program conducted by IBEKA in the village of Cinta Mekar is in conformity with the strategy to be implemented, namely a strategy that can achieve the desired results. The organization also has the right to implement its program and involve the community both individually and structurally, which
168
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Exploring the Communication Process..
causes the key resource person were able to explain in detail what organizations do and what is being done by the community with constancy, constancy or consistency of message from each resource persons. As a whole also can be seen how the placement of the approach and communication strategy conducted in accordance with community needs and not to impose the will of the organization about what is good for society, but to listen to public opinions about what is good for the community itself, so that the organization is able to adapt to the society. BIBLIOGRAPHY Argenti.A,Paul.2007.Cor/?orate Communication,vo\ 4. New York:The McGrawHillCompanies,Inc Beard,Mike.2003Jtonnzng a Public Relation Departement^ew Delhi:Crest Publishing House Bungin, Burhan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana Perdana Media Group Cutlip.M,Scott. 2006.Effective Public relation,\ol9.Pearson Education Inc Hadi, Sutrisno. 1997. Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset Hardjana, Andre. Audit Komunikasi Teori dan Praktek. 2000. Jakarta: PT Grasindo Heath.L, Robert. 2005.Encyclopedia of Public relation,vo\ 2.California: Sage Publication, inc Istijanto, m.M, M.Com. 2006. Riset Sumber Daya Menusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Keyton, Joann. 2006. Communication Research: Asking Question Finding Answer, Second Edition. New York: McGraw Hill rnc Sigarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Wasesa,Silih Agang.Strategi Public Relation.2006.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama West, Richard dan Turner, Lynn. Introducing Comm unication Theory: Analysis and Application. 2007. New York: McGraw Hill Inc Pace, Wayne dan Faules, Don. Komunikasi Organisasi. 2005. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
169
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
170
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 153-170
Riset sebagai Ujung Tombak Keberhasilan Program Public Relations Ike Devi Sulistyaningtyas1 Abstract : Public Relations encompasses basically the management and communications function between organizations and public. The important thing of the public relations management is research, because Public Relations program is started from research and after all the programs done. It is also using research to find the output and outcome. The point is how to gain successful of Public Relations program depend on how to use research. Key words: Public relations, management, research.
Keberhasilan public relations dalam membentuk atau mempertahankan citra organisasi, merupakan keberhasilan dari sederet rangkaian proses yang kompleks dan cukup panjang. Citra organisasi terwujud dari berbagai macam komponen pembentuknya dan setiap komponen sudah barang tentu bersinggungan dengan ragam publik yang spesifik. Ketika proses yang kompleks dan panjang tersebut diurai, terdapat sedemikian panjang proses yang menghantarkan keberhasilan pembentukan citra. Proses yang panjang tersebut jika dicermati berawal dari adanya temuan atas fakta yang diperoleh melalui kekuatan riset, dan pada akhirnya berujung pula pada bukti keberhasilan proses tersebut, yang sekali lagi mengandalkan adanya 1
Ike Devi Sulistyaningtyas adalah dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
171
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
riset. Dengan demikian dapat dikatakan, riset bagi sebuah perusahaan adalah bagian yang sangat penting untuk mendukung kegiatan. Riset dapat dimanfaatkan untuk mengetahui profil khalayak perusahaan, penentuan kebijakan, program kerja, evaluasi atas berbagai kegiatan, penentuan strategi menghadapi persaingan bisnis, solusi atas krisis perusahaan. Sulit diandaikan jika aktivitas bisnis perusahaan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi atau intuisi dan mengabaikan metode ilmiah yang menjadi bagian penting dalam proses public relations. Realitasnya, riset kehumasan dalam dunia empiris sangatlah tidak populer. Hal ini terlihat dari gejala yang ditemui di banyak organisasi yang tidak mengandalkan riset kehumasan dalam program kerja humas tahunan maupun jangka panjang. Padahal sebagai salah satu fungsi manajemen, humas bekerja dengan perencanaan yang matang dan terukur, pengorganisasian yang berkesinambungan dan terkoordinir, pelaksanaan yang sesuai perencanaan dan pengawasan yang ketat, sesuai dengan parameter yang ditetapkan dalam perencanaan. Artinya, pengawasan dilakukan salah satunya dengan melakukan riset dan perencanaan disusun pun berdasarkan hasil riset yang dapat diandalkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan obyektif. Salah satu fenomena yang menarik di Indonesia dalam perspektif public relations, yaitu pada tahun 2009 mengenai kasus Omni Hospital dan Prita yang berujung pada aspek hukum. Kasus Prita merupakan kasus yang terkait dengan upaya mengelola hubungan dengan pelanggan. Singkatnya, Prita yang notabene adalah pelanggan Omni Hospital, merasa dirugikan dan menyampaikan curahan hati melalui dunia maya. Dalam perspektif public relations, pelanggan menjadi salah satu stakeholder yang utama bagi sebuah organisasi penyedia jasa layanan kesehatan. Apabila keluhan ataupun berbagai macam catatan mengenai layanan yang diberikan oleh pelanggan dianalisis secara periodik dalam sebuah upaya riset public relations, maka pengelolaan terhadap
172
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
pelanggan akan mampu mencegah munculnya kasus tertentu mencuat di ranah publik. Gambaran lain mengenai pentingnya riset mengemuka pada saat organisasi berupaya memotret citra yang tampil pada media massa. Dalam perspektif public relations, media massa juga sebagai stakeholder yang notabene kerap memberitakan banyak hal mengenai organisasi. Untuk mengetahui bagaimana citra organisasi di mata publik melalui pemberitaan di media massa, maka riset menjadi "dewa penolong" untuk memperoleh hasil gambaran mengenai citra organisasi melalui analisis isi (content analysis research). Macnamara (2005:21) mengungkapkan kendala implementasi riset public relations pada organisasi adalah bahwa riset public relations dianggap sebagai kegiatan yang hanya terfokus pada proses dan output dan selalu memandang pengukuran dilakukan pada akhir program (done at the end). Padahal semestinya pengukuran dibangun dari awal, dipadukan pada saat proses berlangsung, dan dipertajam dengan mengukur keberhasilan program pada bagian akhir. Oleh karena itu, untuk memahami keseluruhan program public relations, maka perlu memahami dan menguasai bagaimana riset dilakukan. PEMAHAMAN DASAR MENGENAI PUBLIC RELATIONS
Sebelum menyinggung pentingnya riset, dibutuhkan pemahaman mendasar mengenai public relations. Definisi mengenai public relations sangat beragam, bergantung dari bagaimana cara pandang para penggagas konsep public relations tersebut. Cutlip, Center dan Broom mendefinisikan public relations sebagai fungsi manajemen untuk membangun dan menjaga hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan berbagai publik yang menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Sedangkan Grunig dan Hunt (1984:6) menempatkan public relations sebagai kegiatan komunikasi dengan mengemukakan pengertian public relations sebagai aktivitas
173
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
pengelolaan komunikasi antara sebuah organisasi dengan berbagai publiknya. Baskin, Aronoff & Lattimore (1997:5) mendefinisikan public relations sebagai fungsi manajemen yang membantu organisasi untuk mencapai tujuan, menentukan filosofi, dan memfasilitasi organisasi untuk berubah. Praktisi public relations berkomunikasi dengan semua publik internal dan eksternal yang relevan untuk mengembangkan hubungan yang positif dan menciptakan hubungan yang konsisten antara tujuan organisasi dan harapan publik. Praktisi public relations mengembangkan, melakukan dan mengevaluasi program organisasi yang memajukan pertukaran pengaruh dan pemahaman antara bagian pokok organisasi dan publik. Definisi tersebut memberikan gambaran mengenai cakupan fungsi yang dilakukan oleh praktisi public relations, di mana di dalamnya meliputi fungsi manajemen, komunikasi dan pengelolaan pemahaman publik. Ketika paparan mengenai public relations tersebut disandingkan, maka terdapat beberapa persamaan di antara definisi di atas, bahwa pada dasarnya public relations merupakan usaha untuk membangun hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publiknya. Berdasar definisi public relations yang dikutip dari Baskin, Aronoff & Lattimore, (1997:5), dapat diketahui terdapat tiga fungsi yang dijalankan oleh public relations yakni fungsi manajemen, fungsi komunikasi dan fungsi opini publik. Public relations sebagai fungsi manajemen mempunyai peranan penting untuk membentuk citra institusi, dengan mengetahui apa yang dilakukan untuk organisasi dan mengetahui apa yang menjadi harapan publiknya. Public relations harus memberi masukan atau saran kepada top management dalam pembuatan kebijakan, tujuan dan filosofi organisasi agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan publik. Public relations harus membantu atau memfasilitasi pihak organisasi melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungan.
174
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
Peran public relations sebagai Communication Facilitator, (1) Berperan sebagai pendengar dan penyampai informasi yang peka; (2) Berperan sebagai fasilitator, mediator dan interpreter antara organisasi dengan publik; (3) Menjalankan komunikasi simetri dua arah; (4) Memfasilitasi pertukaran informasi antara organisasi dengan publiknya, termasuk menjamin adanya saluran komunikasi; (5) Bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak; (6) Menjaga agar manajemen selalu mengetahui informasi terkini berkaitan dengan masalah PR; dan (7) Menjaga agar tiap individu dalam organisasi mengetahui informasi terkini berkaitan dengan perkembangan organisasi. Peran public relations sebagai Communication Technician, (1) Melakukan aktivitas administratif di bidang public relations; (2) Tidak terlibat serta dalam pembuatan keputusan; (3) Menekankan pada aktivitas teknis public relations, meliputi menulis materi PR, editing, produksi brosur, poster, fotografi dan grafis, menjaga hubungan dengan media dan penempatan press relations Dengan memperhatikan keempat peran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa khususnya dalam peran manajerial, data mengenai kebaruan informasi yang diperoleh dari publik dan lingkungan menjadi basis awal untuk mendiagnosa problem Public Relations, bahkan menjadi pertimbangan untuk memutuskan sebuah kebijakan bagi organisasi. Data tersebut tentunya bukan berangkat dari asumsi atau intuisi saja, namun harus merupakan realitas atas kondisi nyata yang terjadi pada publik, dan alat untuk dapat memperoleh data tersebut adalah dengan menggunakan riset. PENTINGNYA RISET DALAM PROSES MANAJEMEN PUBLIC RELATIONS
Dikatakan bahwa Public Relations merupakan kombinasi manajemen dan komunikasi antara organisasi dan publik, maka dalam prosesnya dikembangkan manajemen Public Relations. Cutlip, Center dan Broom menggambarkan dengan jelas bagaimana
177
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
public relations berproses, di mana riset menjadi awal dan akhir dari keseluruhan rangkaian dalam ranah ke-PR-an. Tahap pertama diawali dengan proses pencarian fakta. Fakta yang dimaksudkan adalah untuk mendefinisikan problem Public Relations (Defining PR Problem). Fakta tersebut baru dapat diperoleh dari adanya aktivitas riset dengan menggunakan berbagai macam metode yang relevan bagi organisasi. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan tahap perencanaan dan pemrograman, lalu aksi dan komunikasi dan diakhiri dengan tahap evaluasi, sebagaimana tertuang dalam gambar berikut ini : Gambar 1. Manajemen Public Relations
Proses dalam manajemen Public Relations sebagaimana digambarkan, dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, fact finding, tahap ini merupakan awal pengumpulan data-data, mengamati kondisi organisasi maupun lingkungan serta menetapkan suatu fakta dan informasi yang berkaitan langsung dengan kepentingan organisasi. Tahap ini sangat penting untuk menentukan proses tahapan selanjutnya dan dibutuhkan riset dalam penggalian data, di mana praktisi PR perlu melibatkan diri dalam penelitian dan pengumpulan fakta. Selain itu praktisi PR perlu memantau dan
178
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
membaca terus pengertian, opini, sikap dan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan dan terpengaruh oleh sikap dan tindakan perusahaan. Pada tahap ini riset dibutuhkan untuk mendapatkan fakta dan simptom masalah. Adapun jenis riset pada bagian ini antara lain: (1) Riset Informal. Riset informal dibutuhkan oleh organisasi yang tidak memiliki anggaran yang memadai untuk melaksanakan riset secara formal. Selain itu, riset informal dapat dimanfaatkan ketika organisasi tidak mengharapkan adanya gejolak yang menimbulkan keresahan saat riset dilakukan. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa ketika riset dilakukan, individu dalam organisasi bisa saja merasa sedang dinilai, sehingga dapat menimbulkan kegundahan bagi sebagian orang. Adapun yang dimaksud sebagai riset informal antara lain record keeping, key contact, special committes dan casual monitoring. (2) Riset Formal. Riset Formal ditujukan untuk pengumpulan data yang disusun secara ilmiah dengan sampel yang representatif, artinya ada aspek metodologis yang diacu dalam riset. Riset ini akan membantu hal yang tidak dapat diungkap pada metode informal. Riset formal tersebut antara lain survei, analisis isi, dan riset eksperimental. Kedua, planning programming. Pada tahap ini PR telah menemukan penyebab timbulnya permasalahan dan siap dengan langkah-langkah pemecahan atau pencegahan. Langkah-langkah tersebut dirumuskan dalam bentuk rencana dan program, termasuk anggaran. Dalam tahap ini rumusan masalah sudah diketahui, sehingga mulailah seorang PR mengatur dan menentukan apa yang menjadi goals dan objectives. Untuk meraih goals dan objectives diperlukan strategi yang diterapkan melalui program-program kehumasan. Perencanaan disusun untuk mendekati kepastian dan memperkecil resiko, sehingga dapat menyelamatkan dan memastikan tujuan yang hendak dicapai. Dalam perencanaan diletakkan unsur evaluasi, di mana unsur tersebut untuk meneguhkan apakah perencanaan dan pemrograman yang sudah
179
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
disusun nantinya akan realistis untuk dilakukan. Dalam evaluasi inilah komponen riset juga digunakan. Ketiga, taking action and communicating. Tahap ini merupakan implementasi dari rencana program yang didasarkan pada temuan fakta. Aksi dan komunikasi merupakan bentuk riil yang menyangkut operasional dan teknis. Pada tahap ini PR berhadapan langsung dengan publik sehingga diperlukan teknik kehumasan. Ketika implementasi dilakukan, dibutuhkan adanya monitoring terhadap pelaksanaan program. Aspek monitoring mensyaratkan adanya riset. Keempat, evaluating, merupakan tahap akhir di mana PR melakukan assesment terhadap hasil dari program kerja yang telah dilaksanakan. Pada tahap ini riset kembali dibutuhkan untuk melakukan evaluasi atas hal-hal yang sudah dilakukan. Beberapa model evaluasi sudah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana dan kapan waktu yang tepat untuk mengadakan riset dan mengevaluasi program maupun kegiatankegiatan komunikasi di dalam bidang Public Relations. Terdapat lima model yang sudah diidentifikasi dan dievaluasi oleh UK academica yaitu Paul Noble dan Tom Watson (dalam Macnamara, 2002:12), yaitu: 1. PII Model (Preparation, Implementation and Impact Model) Nama model ini diambil dari tiga tingkatan dalam melaksanakan riset, yaitu preparation, implementation and impact. Model ini memiliki beberapa pertanyaan-pertanyaan spesifik yang muncul dalam setiap langkah. Jawaban dari setiap pertanyaan tersebut memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan menambah informasi sehingga mengefektifkan evaluasi. Pada intinya, menurut Noble dan Watson, tiap tahapan dalam model PII mempunyai peranan masing-masing dalam hasil akhir evaluasi. Kelebihan dari PII Model adalah pembedaan antara output dengan outcomes (dampak), dan dengan penjelasan bahwa dua tahap tersebut berbeda dan memerlukan alat yang berbeda pula
180
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
dalam pelaksanaan riset. Akan tetapi, Pil Model tidak menjelaskan mengenai metodologi riset dan berasumsi bahwa program-program dan kampanye PR akan diukur dengan metodologi ilmu sosial. 2. Pyramid Model Pyramid model (model Piramida) merupakan hasil revisi dari model makro mengenai evaluasi program PR, yang pelaksanaannya dilakukan secara bottom-up. Bagian paling bawah mencerminkan dasar dari proses perencanaan strategik kemudian diikuti oleh penjenjangan proses evaluasi pada setiap level, untuk merumuskan hasil yang diinginkan. Dalam model ini, input merupakan komponen fisik yang sangat penting dalam mengkomunikasikan program-program atau proyekproyek, seperti pilihan media komunikasi yang disertai formatnya (misal, tulisan, gambar-gambar, serta berbagai macam media komunikasi). Output merupakan bentuk material dan kegiatan yang dilakukan (misal, melalui media publikasi, intranet, serta events) dan proses dalam mewujudkan kegiatan-kegiatan komunikasi. Outcomes merupakan dampak dari kegiatan komunikasi yang telah dilakukan, dalam bentuk perubahan sikap dan tingkah laku. Dapat dikatakan bahwa model ini merupakan suatu model riset yang praktis dan sangat informatif. Hal ini tampak dari daftar metodologi yang disarankan atau dapat dilakukan pada setiap level. Artinya tidak harus ada keseragaman metode pada tiap level, melainkan dapat dibedaka sesuai kebutuhan dan konteks evaluasi yang diharapkan. Tahapan proses komunikasi terlihat jelas pada piramida, lengkap dengan metodologi riset yang sejalan dengan tujuan yang tepat dan disesuaikan dengan waktu. Dalam pelaksanaan riset, pemilihan metode yang tepat merupakan elemen yang penting (Macnamara, 2002:16). Model riset ini secara terencana merupakan suatu kombinasi antara riset formatif dan evaluatif, yang mempercayai bahwa dua
181
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
tipe riset tersebut harus dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan antara mengumpulkan hingga memberikan feedback dalam suatu proses komunikasi, sehingga masing-masing fungsi tidak dapat berjalan secara terpisah. Dalam implementasinya, disarankan agar riset dilakukan sebelum, saat berlangsung, selama dan setelah aktivitas komunikasi dilaksanakan. Model piramida ini cukup praktis dalam memberikan suatu evaluasi dalam level tertinggi, akan tetapi tetap saja tidak semua dapat dilaksanakan. Beberapa metodologi dasar ketika dievaluasi bisa saja tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan, maka dapat dilakukan perubahan dalam metode evaluasi. Walaupun demikian, hasil dari kombinasi beberapa metode dasar pada level input dan output secara signifikan akan meningkatkan kemungkinan-kemungkinan dalam mencapai suatu hasil yang diinginkan. Gambaran mengenai aplikasi riset evaluasi untuk perolehan output dengan model piramida dapat dilakukan untuk mengukur efektivitas media internal, seperti (1) menghitung jumlah sirkulasi dari media internal yang dapat didistribusikan kepada anggota organisasi; (2) Survei terhadap respon kebijakan atau mekanisme dalam organisasi. Riset ini akan sangat membantu manajemen, mengenai kebijakan atau mekanisme yang akhirnya diterima oleh anggota organisasi. Jika dalam realisasinya ternyata sebuah kebijakan justru membebani dan menurunkan kinerja, maka bisa saja sebuah kebijakan ditinjau ulang; (3) Melakukan survei pembaca, untuk melihat kemungkinan apakah media internal membawa suatu perubahan yang diinginkan oleh audiens. Dengan demikian efektivitas dari media internal sebagai kepanjangan tangan informasi yang dapat menyentuh berbagai lini dalam organisasi dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya. Namun survei bukan hanya melihat jangkauan media saja, melainkan juga mengukur apakah pesan yang disampaikan sudah benar-benar dipahami oleh targent audiens
182
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
Model evaluasi piramida ini menerapkan sistem evaluasi tertutup dan terbuka. Seperti yang dipaparkan Baskin dan Aronoff, sistem evaluasi tertutup fokus pada kegiatan yang telah direncanakan pada sebuah kampanye serta dampak-dampak pada publik, untuk melihat apakah dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berhasil menghasilkan dampak yang diinginkan. Sedangkan pada sistem evaluasi terbuka, terdapat faktor-faktor di luar kendali, di mana dampak yang diperoleh akan mempengaruhi hasil dan direkomendasikan untuk menjadi sebuah pertimbangan. Metode ini menitikberatkan pada keefektivitasan publik secara menyeluruh pada sebuah organisasi. Kombinasi dari sistem evaluasi terbuka dan tertutup ini sangat diharapkan pada setiap situasi dan kondisi yang ada. 3. PR Effectiveness Yardstick Model Walter Lindenmann, seorang praktisi PR dari Amerika telah menyarankan untuk melakukan pendekatan riset dan evaluasi berdasarkan tiga level. Dengan menggunakan level berjenjang maka tingkat ketelitian lebih tinggi dibandingkan proses kronologis dari komunikasi itu sendiri yang dimulai dari perencanaan sampai dengan implementasian hingga pencapaian objective. Level 1, yaitu evaluasi output seperti pengaruh dari pemilihan media dengan melihat jumlah total audiens yang dapat dijangkau. Artinya apakah penempatan pesan pada media tertentu sudah cukup menjangkau target audiens. Level 2, yaitu evaluasi lanjutan dan memperhitungkan pemahaman kesadaran & penerimaan. Ketika pesan sudah ditempatkan pada media tertentu, perlu dievaluasi apakah pesan yang sampai pada audiens sesuai dengan pesan yang diharapkan sampai pada audiens. Level 3 merupakan level advance, fokus pada pengukuran perubahan opini, perubahan sikap sampai pada perubahan tingkah laku. Jika dikaitkan dengan proses pencitraan, maka evaluasi pada tahap ketiga ini sudah tidak lagi mengukur dampak pesan pada tataran kognitif atau sekedar kesan terhadap citra, melainkan tampak pada perubahan perilaku target
183
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
audiens. Bahkan memungkinkan target audiens menjadi thirdparty endorsment (pihak ketiga) yang secara tanpa sadar menyampaikan hal positif mengenai organisasi. Menurut Watson, evaluasi pada level satu merupakan evaluasi dasar dengan biaya yang terhitung ekonomis, namun diharapkan hasilnya tetap lebih detail, sehingga tidak hanya sekedar menghitung kliping dari media-media atau reaksi yang merupakan suatu penilaian informal yang hanya berdasarkan perasaan saja (tidak dapat dipertanggungjawabkan), dikarenakan kurangnya kedisiplinan dalam hal pelaksanaan metodologi. Seperti yang telah disampaikan Cutlip pada PII Model, model Lindenmann ini tidak memberikan spesifikasi metodologi riset yang seperti apa yang sebaiknya dipergunakan. Walau demikian, Lindenmann memperluas kombinasi antara teknik pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif antara lain menggunakan metode analisis isi media pada level 1, kemudian menggunakan teknik pengumpulan data focus groups, wawancara dan mengadakan polling pada target audiens pada level 2, dan pada level 3 Lindenmann menyarankan sebelum dan sesudah polling untuk melakukan metode observasi, analisis psikografi dan teknik ilmu sosial lainnya. 4. Continuing Model Watson (2005:76) menemukan adanya elemen lain mengenai kurangnya aspek feedback. Kekurangan aspek feedback tersebut membuat Watson mengembangkan model lain yang disebut dengan continuing model. Elemen basis model ini adalah pada proses di mana aspek feedback menjadi bagian penting. Elemen-elemen yang terdapat pada continuing model adalah sebagai berikut: (1) Tahapan awal riset, penentuan objektif dan dampak seperti apa yang diharapkan dari suatu program; (2) Pemilihan strategi dan taktik dengan basis objective yang telah ditetapkan; (3) Ketika program berjalan, dapat dilakukan analisa formal dan informal yang nantinya dapat dijadikan penilaian apakah
184
Ike Devi Sulistyaningtyas, Riset sebagai Ujung Tombak..
hasil dari sebuah program berakibat sukses atau hanya akan bertahan saja. Penilaian ini akan menjadi suatu masukan (feedback) melalui suatu putaran kembali ke masing-masing elemen program. Masukan-masukan tersebut akan sangat membantu para praktisi dalam melakukan validasi dan menambah data sehingga membuat objektif, strategi, berbagai variasi penilaian dari berbagai taktik menjadi mudah, efektif dan sesuai dengan kebutuhan (Macnamara, 2002:22). 5. Unified Evaluation Model Setelah melihat model-model yang telah dikembangkan dan dipublikasikan sebelumnya, Paul Noble dan Tom Watson mengembangkan model baru yang mengkombinasikan hal-hal yang terbaik dari masing-masing model tersebut dengan menciptakan model yang dinamakan The Unified Evaluation Model (Macnamara, 2002: 22) Model ini mengidentifikasi bahwa ada empat tahap di dalam komunikasi. Noble dan Watson menamakan empat tahapan tersebut dengan sebutan input, ouput, impact dan effect (Macnamara, 2002 : 22). Pada model ini tahapan input dan output tidak berbeda dari model-model yang lain. Akan tetapi pada tahapan outcomes dibagi menjadi dua tipe, yaitu hasil yang sifatnya kognitif disebut dengan impact dan hasil yang sifatnya behavioural disebut dengan effect. Paparan riset yang melekat dalam proses manajemen Public Relations menunjukkan kebutuhan riset dalam setiap tahap. Dengan demikian menjadi tidak berlebihan, jika sebagaimana diungkapkan dalam judul tulisan ini, bahwa riset menjadi ujung tombak dari keberhasilan program Public Relations. Manakala riset tidak dilakukan dan program tetap berjalan, maka dampak terhadap aspek lain seperti finansial maupun penjadualan akan sangat dirasakan. Hasil riset tentunya sangat membantu dan memberi landasan yang lebih kuat untuk digunakan dalam menunjukkan dan mempertanggungjawabkan kinerja public relations pada pihak
185
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 171-186
manajemen perusahaan secara lebih konkrit. Dengan cara demikian, public relations value di mata organisasi akan lebih jelas. DAFTAR PUSTAKA Baskin, Otis, Craig Aronof & Lattimore. 1997. The Profession and The Practice. New York: Brown & Benchmark Broom G., & Dozier, D. 1990. Using research in public relations: Applications to program management. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Caywood, Clarke L. 1997. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communicatins. New York: MCGraw Hill Cutlip, Scoot M,Allen Center, Glen M Broom. 2006. Effective Public Relations 9th ed. NJ: Prentice Hall Heat, Robert L. 2001. Handbook of Public Relations, Calf: Sage Publications Macnamara, J. 2002. Research and evaluation. In C. Tymson & P. Lazar, The New Australian and New Zealand Public Relations Manual. Sydney: Tymson Communications. Macnamara, J. 2005. Jim Macnamara's Public Relations Handbook (5th Edn.). Sydney: Archipelago Press. Watson, T., & Noble, P. 2005. Evaluating public relations: A Best Practice Guide to Planning, Research and Evaluation. London: Kogan Page.
186
Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Perspektif Politik Media Reny Triwardani1 Abstract: To observe the dinamics of the press in Indonesia is very interesting as the development of national press can not be apart of socio-politics situation in this country. Even it can be told that the "live or dead" of national press depends on how the ruler treat it. Historical facts inform us that media censorship has become a snate for press development time by time. In this connection, media censorship has become primary weapon to limit the press freedom in media politics applied by the ruler. It because media has a very important role in contemporary political arts. Press freedom is now a thing that journalists struggle to be happen. At the other hand, the ruler needs press to legitimate its power. This articles aim to analyze how media censorship had chained the press freedom in view of media politics. In this case, the ruler applies the press policy toward the press institution to secure its position and power. Key words: press, press freedom, media censorship, media politics, ruler
Di Indonesia, pers memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan nasional. Pers Indonesia pada awal perkembangannya memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat kolonial dengan ketegasan membela kepentingan tujuan pergerakan nasional. Bahkan pers nasional bertindak sebagai oposisi dari pers kolonial, yang lebih mengutamakan kepentingan Reny Triwardhani adalah dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta.
187
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
pemerintah Hindia Belanda. Pers nasional setidaknya memiliki sejarah panjang sebagai institusi pemberdaya masyarakat serta alat perjuangan bangsa. Ironisnya, pergulatan menuju kebebasan pers masih terus menjadi agenda perjuangan para insan pers dari masa ke masa. Hal ini dikarenakan kebebasan pers tidak diterima sepenuhnya sebagai sesuatu yang seharusnya dan menyeluruh, melainkan bergantung pada kebijakan penguasa yang sedang berkuasa baik sejak zaman kolonial sampai dengan zaman Republik Indonesia. Kebebasan pers di Indonesia seringkah berlangsung dengan prinsip "buka tutup". Artinya, ruang keterbukaan yang diberikan kepada insan pers seringkah bergantung pada "mood" penguasa yang sedang memerintah negeri ini. Kebebasan pers itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baru, yang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya. Periode kebebasan pers pernah dinikmati pers di Indonesia pada tahun 1945-1949 ketika merdeka dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang; kemudian tahun 1966-1972, setelah tumbangnya pemerintahan Soekarno, dan pasca tumbangnya Soeharto pada Mei 1998. Kendala terbesar yang dihadapi pers dalam memperoleh kebebasan pers adalah kebijakan penguasa yang seringkah mematikan industri pers. Pemerintahan yang berkuasa memiliki senjata maut dalam menghadapi pers yang dianggap terlalu kritis terhadap penguasa negara, yaitu pembreidelan. Pelarangan terbit atau pembreidelan terhadap surat kabar dapat berlaku untuk sementara waktu maupun seterusnya. Tak jarang dalam aksi pembreidelan pers seringkah disertai penahanan terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan. Banyak peristiwa, rekaman tekanan, intimidasi dan pemberangusan terhadap pers Indonesia melalui ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah masih dapat terangkum dengan jelas, balikan peristiwa-peristiwa serupa masih sangat mungkin terjadi pada era reformasi seperti saat ini.
188
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
Tulisan ini akan ditujukan untuk menganalisis secara kritis bagaimana pembreidelan pers telah memasung kebebasan pers dalam pandangan politik media. Pada bagian awal, akan dipaparkan konsepsi kebebasan pers dalam perspektif politik media. Selanjutnya, akan dipaparkan peristiwa-peristiwa pembreidelan pers dari masa ke masa dalam perkembangan pers dan bagaimana penguasa negara berperan dalam proses tersebut. Dalam kaitan ini, dapat diketahui bagaimana sesungguhnya sebab-akibat pembreidelan pers sebagai upaya pembatasan kebebasan pers. Bagian berikutnya akan dipaparkan bagaimana kebijakaan pers, dalam hal ini UU Pers No. 44 tahun 1999 mempunyai peran penting sebagai perwujudan kebebasan pers yang bertanggungjawab. Bagian akhir tulisan akan ditutup dengan kesimpulan, yang merangkum keseluruhan tulisan ini. KONSEP KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF POLITIK MEDIA
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Pers sering disebutkan sebagai "pilar keempat" dari sistem yang demokratis. Komisi kebebasan pers di Amerika Serikat mendefinisikan kebebasan pers sebagai berikut: (1) Pers bebas adalah pers yang bebas dari paksaan manapun, pemerintah atau sosial, luar atau dalam; (2) Pers bebas adalah pers yang bebas untuk mengungkapkan pendapat melalui segala bentuk; (3) Pers yang bebas harus bebas bagi semua yang perlu mengatakan sesuatu yang berguna kepada umum karena tujuan pokok yang menjadikan pers bebas dihargai adalah gagasan yang patut didengar oleh umum harus didengar oleh umum. (Basuki, 1995:56-57) Konsepsi di atas menunjukkan bahwa pers memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat. Dari Empat Teori Pers yang dikemukakan oleh Siebert dan kawan-kawan, terdapat anggapan bahwa Indonesia termasuk penganut teori pers
189
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
pertanggungjawaban sosial. Teori ini meminta kenetralan dan keseimbangan pers terhadap pemerintah dan terhadap soal-soal kontroversial masyarakat (Santana,2005:226). Sistem kebebasan pers merupakan bagian dari sistem kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat baik lisan maupun tulisan, sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945. Ciri yang menonjol dalam sistem kebebasan pers di Indoensia yaitu, (1) kebebasan pers mengandung maksud kebebasan mencari, menulis, mencetak dan menyebarluaskan berita melalui media yang bersangkutan, dan (2) kebebasan pers diabdikan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggungjawab. Dalam kaitan ini, Kovach dan Rosentiel (2001:6) menjelaskan mengenai sembilan elemen jurnalisme yang dapat menjadi acuan dalam kegiatan jurnalistik meliputi: (1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga; (3) Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi; (4) Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita; (5) Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; (6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga; (7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan; (8) Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; (9) Para praktisi harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Idealisme kegiatan jurnalistik Kovach dan Rosentiel tersebut, menunjukkan bagaimana praktik jurnalisme merupakan kerja profesional dari para praktisi dan peran penting pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Kebebasan pers dan pertanggungjawaban sosial harus berjalan beriringan. Pers harus mempertanggungjawabkan tiap berita yang dipublikasikan kepada khalayak. Jadi konsep kebebasan pers tidak bisa diartikan sebagai kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan pers sesungguhnya dibatasi oleh sebuah nilai yang disebutkan kemudian sebagai tanggung jawab sosial. Esensi pers bebas dan bertanggung jawab
190
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
mengandung dua polar (bipolar) yaitu, unsur kebebasan dan unsur tanggung jawab. Akan tetapi, kebijakan penguasa seringkah tidak sejalan dengan semangat kebebasan pers yang bertanggungjawab. Pembreidelan pers lebih menjadi instrumen politik penguasa negara dalam mengawasi pemberitaan pers terhadap publik. Pembreidelan menjadi pukulan terhadap kebebasan pers sekaligus sebagai pernyataan dominasi penguasa negara atas media pers. Dalam konteks hubungan pers dan negara, pers memiliki posisi politik yang lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. Pers justru menjadi bagian dari kekuatan negara. Hal ini lebih merupakan konsekuensi politis, ideologis dan sosiologis dari eksistensi pers itu sendiri. PERISTIWA PEMBREIDELAN PRES DAN PENYEBABNYA
Penguasa negara merumuskan kebijakan yang mengatur kehidupan pers sejak zaman kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan pada tahun 1856, dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif. Terbaca dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stb.no 74) antara lain; Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi danAlgemene Secretarie. Pengiriman harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka karya cetak tersebut disita. Tindakan itu bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau penyimpanan barang-barang cetakan itu. (Surjomihardjo, 2001:171-172) Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Dalam perubahan tahun 1906 (KB 19 Maret 1906 Ind.Stb.no.270) dihapuskan ketentuan yang bersifat preventif
191
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
sehingga penyerahan eksemplar kepada pejabat tersebut dilakukan dalam waktu 24 jam setelah barang cetakan diedarkan. Ketentuan bahwa pada karya cetak tersebut harus dicantumkan nama dan tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya masih berlaku. Pelanggaran ketentuan ini tidak akan mengakibatkan penyitaan, melainkan denda flO-flOO. Dua puluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan yang dinilai bisa "mengganggu ketertiban umum". Larangan terbit baru dilaksanakan setelah penerbitan yang bersangkutan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai penerbitan yang dilarang terbit untuk sementara. Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Bahkan bisa diperpanjang sampai dengan tiga puluh hari berturut-turut. Selain Persbreidel Ordonnantie, dikenal pula tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers berdasarkan Haatzaai Artikelen (Surjomihardjo, 2001:173) yakni pasal 154,155,156 dan 157 Wetboek van Strafrecht. Aturan ini mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, yang berlaku sejak 1918. Pada zaman pendudukan Jepang, untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 (Surjomihardjo, 2001:175-176) yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Dua segi yang menonjol dari UU itu terkait dengan berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif, yaitu pasal 1 menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit. Pasal 2 melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang untuk meneruskan penerbitannya. Ketentuan mengenai sensor preventif ditegaskan dalam pasal 4: Semua barang cetakan, sebelum diedarkan harus melewati badan sensor Balatentara Jepang. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa
192
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
kantor-kantor sensor berada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta (atau Sala) dan Surabaya. Kantor pusat sensor ditempatkan di Jakarta. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas "penasehat" ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi. Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh pemerintahan Republik Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Penghapusan aturan ini juga dikarenakan adanya perjuangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang didirikan di Sala 9 Februari 1946. Dalam kongres ke-7 di Denpasar bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menuntut kepada Pemerintah supaya segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19 Undang Undang Dasar Sementara. Akan tetapi sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers Indonesia masih menghadapi peratuan-peraturan yang dirasa menekan para wartawan. Perkembangan politik turut mempengaruhi lahirnya peratutan-peraturan tersebut. Pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan
193
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
yang sangat mirip dengan Haatzaai Artikelen ini, kemudian dicabut tanggal 4 Desember 1957 setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembreidelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian diatur dengan Peraturan Peperti No. 10/1960, yang memuat 19 pasal yang harus disetujui oleh penerbit surat kabar. Aturan ini dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 September 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh. UU Pokok Pers 1966 yang mengatur ketentuan SIT diperjelas kemudian dengan peraturan Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969. Keberadaan UU Pokok Pers ini dinilai sangat mengganggu pertumbuhan pers terutama persoalan SIT. UU Pokok Pers tersebut akhirnya dapat tergantikan setelah tumbangnya kepemimpinan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dengan ditetapkannya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. UU Pokok Pers yang terbaru ini disinyalir menjadi produk hukum yang telah menjamin kebebasan pers di Indonesia dengan keberadaan pasal yang meniadakan SIUPP. Akan tetapi, perubahan kebijakan pemerintah ini tidak serta merta menjamin berlangsungnya kebebasan pers dalam negara karena implementasi dari kebijakan tersebut pada kenyataan belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi pers. Keberadaan kebijakan-kebijakan sebagaimana telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa adanya campur tangan penguasa negara dalam keberlangsungan kehidupan pers di Indonesia.
194
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
Kewenangan penguasa untuk membreidel pers merupakan ciri khas yang menonjol pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan Republik. Dalih atas kewenangan tersebut selalu didasarkan pada stabilitas keamanan atau untuk menjaga ketertiban umum. Kebebasan pers, pada gilirannya, dikendalikan oleh keamanan. Keamanan adalah suatu titik kontrol terhadap kebebasan dan sekaligus kontradiksi kebebasan. Karena itu keamanan lebih menjadi faktor yang mengalienasi, yang menggulung kebebasan sehingga menjadi tidak berfungsi dan tidak produktif (Dhakidae, 2003:374-5). Pandangan keamanan ini bukanlah sebagai upaya menghilangkan ketidakamanan melainkan terus-menerus memupuk ketidakamanan sehingga penguasa negara dapat menggunakan legitimasi keamanan ini sebagai ideologi operasional dalam melakukan tindakan anti pers melalui kebijakan-kebijakan tertentu maupun tindakan langsung lainnya. Manakala penguasa negara menganggap bahwa setiap pemanfaatan ruang jurnalistik yang diperkirakan akan dan mampu menyentuh rasa keadilan, meningkatkan kesadaran akan hak sebagai warga, dan menaikkan kesadaran akan posisi ekonomi politik berindikasikan "membahayakan" stabilitas keamanan negara, maka tindakan anti pers dinilai dapat dibenarkan. Pembungkaman pers (baca: breidel) dengan segala bentuk manisfestasinya pun dilakukan oleh pemerintah. Dalam catatan sejarah pers di Indonesia, tradisi ini merupakan warisan kolonial Belanda dalam rangka "mendisiplinkan" perilaku pers yang dinilai telah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara secara berlebihan. Pembreidelan pertama terhadap pers di Indonesia menimpa surat kabar Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Surjomihardjo, 2001:192), yang diterbitkan oleh onderkoopman Jan Erdmans Jordens tanggal 7 Agustus 1744. Terbitnya surat kabar ini tidak berkenan pada Heeren XVII, sehingga 20 November 1745 mengeluarkan perintah untuk melarangnya. Dikatakan bahwa Bataviasche Nouvelles menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
195
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
Larangan terbit pada masa itu hanya karena pemerintahan VOC yang otoriter. Akan tetapi, sikap otokratis itu tidak dengan sendirinya berakhir dengan lenyapnya VOC tahun 1799. Tidak mengherankan kemudian jika Drukpers Reglement tahun 1956 juga bersifat otoriter. Belum ada data terperinci mengenai surat kabar yang terkena Reglement, hanya disebutkan 1856-1874 tercatat 50 kasus delik pers yang diadukan, tapi hanya 27 yang membawa akibat penuntutan hukum. Selanjutnya, Surat kabar Bromartani yang semula bernama Djurumartani merupakan surat kabar berbahasa pribumi yang pertama terkena delik pers, terjadi tahun 1896, sebagai akibat tulisan yang menuduh seorang Panewu Polisi melakukan tindakan-tindakan pidana. Sanksi hukuman yang diterima adalah denda. Penindakan yang berupa larangan terbit suatu surat kabat tampaknya tidak terjadi sebelum lahirnya Presbreidel Ordonnantie tahun 1931. Tindakan anti pers yang dilancarkan oleh pemerintahan yang sedang berkuasa ternyata tidak hanya berlaku pada media pers saja, melainkan juga menimpa para insan pers yang disinyalir melakukan kegiatan jurnalistik, dalam hal pemberitaan pers, telah berakibat sesuatu hal yang merugikan. Misalnya, para wartawan yang terkena Haatzaai Artikelen adalah mereka yang tulisan-tulisannya menyerang praktek kolonial Belanda, seperti Raden Mas Soewardi Soeryaningrat tahun 1920,dalam kedudukannya sebagai redaktur penanggung jawab mingguan Persatoean Hindia, karena memuat artikel "Volk dan Pemerintah", dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Demikian juga dengan Mas Marco Katodikromo, karena dituduh melanggar ketentuan tersebut dua kali, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Berikut adalah dañar para wartawan yang terkena hukuman Haatzaai Artikelen (pasal 154,155,156,157) pada tahun 1919-1920 antara lain; Sarimin Partoatmodjo (Semarang,1919), Kiai Taman alias Ismail (Pamekasan,1919), Mas Soekandar (Kediri,1919), Soerionitimihardjo (Kediri, 1919), Adam Selar Sari Alam (Padang, 1919), Parada Harahap (Padang,1919), Moh Sanoesi (Tasikmalaya, 1920), Mas Soewito (Pekalongan, 1920),
196
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
Danoedjoe (Semarang, 1920), Kamidin (Demak, 1920), Soekirman (Surabaya, 1920), Raden Darsono (Surabaya, 1920), Koesman (Blitar, 1920), dan Haji Misbach (Klaten, 1920). Sementara itu, salah satu surat kabar yang terkena Presbreidel Ordonnantie adalah Soeara Oemoem di Surabaya. Larangan terbit bagi surat kabar ini dilakukan berdasarkan Keputusan Gubernur de Jorge tertanggal 23 Juni 1933,No.6. Sedangkan pada zaman Jepang, pers hanya digunakan untuk kepentingan propaganda Dai Nippon. Surat kabar juga hanya diperbolehkan terbit dibawah pengawasan ketat penguasaan Militer. Surat kabar pertama yang dibolehkan terbit adalah Asia Raya (29 April 1942) untuk propaganda Jepang. Untuk penduduk Jepang diterbitkan Unibara, yang berakhir 1942 dan diganti Jawa Shinbun. Ada juga dwimingguan Djawa baroe dan Kana Jawa Shinbun. Setelah Indonesia Merdeka, pembreidelan pers banyak terjadi setelah berlakunya SOB, 14 Maret 1957. Pada masa demokrasi terpimpin, terutama; setelah ada keharusan izin terbit dengan kewajiban penerbit untuk menerima 19 pasal kesanggupan; setelah Gestapu tahun 1965; juga pada 15 Januari 1974 setelah peristiwa Malari dan terakhir dalam bulan Januari tahun 1978. Dengan banyaknya pembreidelan pers itu, seakan-akan pencabutan Persbreidel Ordonnantie tahun 1954 tidak berarti. Beberapa peristiwa penting tersebut di atas menunjukkan banyak tindakan anti pers yang dilakukan penguasa negara. Beberapa contoh pembreidelan pers pada masa sebelum tahun 1960-an antara lain; Suara Maluku di Ambon dilarang terbit 15 Januari 1958; Suara Andalas, Medan dibredel 30 Januari 1958; Keng Po (Jakarta, 21 Februari 1958); Tegas (Kutaraja, 25 Februari 1958); Bara (Makassar,13 Maret 1958), Pedoman (Jakarta,22 Maret 1958) kantor berita PIA, Indonesia Raya, Bintang Minggoe (semua di Jakarta,29 Mei 1958). Penahanan wartawan pun banyak terjadi pada tahun itu; Enggak Bahau'ddin (Indonesia Raya, Jakarta). Sjar'ie Musjaffa dan Sjahdan Salim Rahman (Indonesia Berdjuang
197
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
dan Terompet Islam, Banjarmasin) serta Yusuf Sou'yb (Lembaga, Medan) Menurut laporan Tribuana Said, 1988 (dalam Abar, 1995. 1966-1974) ada 28 surat kabar yang dilarang terbit oleh Presiden Soekarno karena terlibat atau mendukung kegiatan politik BPS, pada bulan Februari 1965 yakni: Semesta, Berita Indonesia, Merdeka, Berita Indonesia Sport dan Film, Indonesia Observer, Warta Berita, Revolusioner, Garuda, Karyawan, Gelora Indonesia, Suluh Minggu, dan Mingguan Film (Jakarta), Indonesia Baru, Cerdas baru, Mimbar Umum, Waspada, Duta Minggu, Suluh Massa, Mimbar Teruna, Mingguan Film, Siaran Minggu , Genta Revolusi, Resopin, Pembangunan, Waspada Minggu, dan Syarahan Minggu (Medan), Aman Makmur (Padang), Pos Minggu (Semarang). Pelarangan ke 28 surat kabar ini menyebabkan kevakuman pers yang berperan sebagai oposisi propaganda pers komunis yang dominan. Sementara itu, setelah peristiwa G30S/PKI, seluruh pers komunis dilarang terbit secara permanen oleh penguasa militer yang berhasil mengambilalih kekuasaan negara dari kepemimpinan Soekarno. Tanggal 1 Oktober 1965 (Abar, 1995:54), surat kabar yang dibreidel karena dituduh terlibat aktif mendukung peristiwa berdarah tersebut adalah Harian Rakyat, Kebudayaan Baru, Bintang Timur, Warta Bakti, Ekonomi nasional, Gelora Indonesia, Ibukota, Huo Chi Pao, Chung Cheng Pai, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, dan Berita Minggu (Jakarta), Warta Bandung (Bandung), Gema Massa (Semarang), Waspada (Yogyakarta), Jalan Rakyat, Jawa Timur, Trompet Masyarakat, Indonesia, dan Generasi (Surabaya), Suara Khatulistiwa, Kalimantan Membangun, dan Duta Nusa (Pontianak), Pikiran Rakyat, Trikora (Palembang), Suara Persatuan (Padang), Sinar Massa, Berita Revolusi (Pekan Baru), Harian Harapan, Gotong Royong, Bendera Revolusi, Pembangunan, Patriot, Angin Timur, Tavip, Bintang Rakyat (Medan)
198
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
Aturan (breidel) yang menindas pers itu masih terus dilestarikan pada era Soeharto, represi dijalankan balikan sejak pada awal Orde Baru, yang sebelumnya telah menjanjikan masa keterbukaan pers. Sejumlah surat kabar yang menjadi korban antara lain Majalah Sendi terjerat delik pers pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Pada 1974, setelah meledak Peristiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel2, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah "menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar." Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya. Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta {Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan Penerbitan pers yang ditutup adalah: Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian KAMI, Nusantara, Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Majalah Ekspress (Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasisswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Lihat Kronologi perkembangan dan pembredelan Pers di sekitar "Malari", Januari 1974 dalam Surjomihardjo (red). Op cit. Hal.289-297
199
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon3 dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto). Kisah pembreidelan di era Soeharto masih terus berlanjut. Hal ini dikarenakan masa kepemimpinan terpanjang dalam sejarah politik Indonesia, yaitu 32 tahun. Tahun 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah "melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers". Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial "Mencari Golongan Miskin" (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul "Eben menemui Pak Harto". Tulisan pertama dinilai "cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentangan kelas", sedangkan tulisan kedua dianggap "bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab." Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit (Junaedhie , 1991:145-146). Deretan pembreidelan itu terus berlanjut dengan koran Prioritas, 3
Hanya lewat telepon, Kepala Dinas Penerangan Laksusda Jaya memberitahukan pada tanggal 20 Januari malam untuk harian Kompas jam 20.25, bahwa surat kabar yang bersangkutan dilarang terbit pada hari berikutnya, 21 Januari 1978. Keputusan tertulis, katanya, akan dikeluarkan Departemen Penerangan. Namun, sampai Koran-koran itu diijinkan terbit kembali—dua minggu kemudian—keputusan tertulis mengenai pelarangan terbit dan alasannya, tidak pernah dikeluarkan. Ibid, hal.203.
200
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
tabloid Monitor, majalah Senang. Menjelang masa-masa kejatuhan rezim Soehato, 3 surat kabar yang masih terkena senjata maut pemerintah (pembreidelan pers) pada tanggal 21 Juni 1994 yakni, Tempo, Editor dan Detik. Pers Indonesia pun semakin kehilangan nyali pasca pembreidelan ketiga surat kabar tersebut. Khususnya periode setelah terjadi huru-hara dalam peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers arus utama hanya berharap dapat bertahan dalam situasi ekonomi politik yang tidak menentu dan tidak terancam 'hantu' pencabutan lisensi SIUPP dari penguasa negara yang dinilai makin arogan. Pers mainstream seolah "mati suri" selama tiga tahun (1994-1997), dan mulai menggeliat bangkit pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997 turut mempengaruhi kinerja pers. Serangkaian kisah klasik, dalam tindak pembreidelan, yang dilakukan penguasa negara dalam rangka mempertahankan status quo memperlihatkan bahwa hakikatnya praktik kebebasan pers yang berlangsung sampai masa terakhir tindak pembreidelan adalah kebebasan pers yang semu. Artinya, pemerintah yang berkuasa tidak sungguh-sunguh memberikan kebebasan pers kepada institusi pers, yang mana ini berarti masyarakat belum dapat menggunakan hak mengetahui dan berpendapat di ruang publik. Pembreidelan pers, sebagai bentuk arogansi penguasa negara, menyebabkan ruang keterbukaan pers dalam menginformasikan berita kepada publik menjadi terampas dengan paksa. Sebagaimana paparan di atas, maka ditemukan bahwa penyebab utama pembreidelan pers adalah keamanan kekuasaan, yang sebelumnya telah berlangsung sejak zaman kolonial sampai dengan pemerintahan republik. Alasan utama pemerintah melakukan pembreidelan adalah terganggunya "stabilitas nasional'. Seperti halnya "mengganggu ketertiban umum" yang diberlakukan semasa pemerintahan kolonial atau "anti komunisme" pada masa kepemimpinan Soekarno, stabilitas nasional merupakan suatu strategi pemerintahan (Orde Baru) dalam rangka mempertahankan
201
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
dan melanggengkan kekuasaan negara dan membela modal dengan mengorbankan rakyat. Keamanan kekuasaan, sekali lagi, yang dihubungkan dengan pers itu bukanlah keamanan dengan pengertian terganggunya suatu kondisi sosial ekonomi oleh kerusuhan-kerusuhan yang sifatnya fiskal, melainkan keamanan di sini sudah menjadi suatu diskursus politik, dalam proses terjadinya suatu ideologisasi keamanan, balikan lebih jauh menjadi suatu religiofication of security, keamanan menjadi doktrin, semacam agama (Dhakidae, 2003:373). Dalam hal ini, ideologi keamanan merumuskan tindakan, dalam bentuk larangan-larangan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat negara dan warga yang dikontrol oleh kebijakan tersebut. Seluruh suasana sosial dan politik ditafsirkan menurut pengertian keamanan. Dalil keamanan yang seringkah' menjadi senjata maut penguasa negara dalam melakukan pembreidelan pers, dinilai sebagai bentuk ketakutan negara terhadap kekuatan pers yang mampu memberikan dampak negara yang hampir tak terduga dalam suatu perubahan politik yang besar. Dalam konteks hubungan masyarakat dan negara, pers itu berada di posisi "antara". Pers tidak sepenuhnya milik masyarakat, tetapi juga tidak sepenuhnya milik negara karena itu perannya terutama adalah sebagai mediasi. Bila pers ditempatkan sebagai mediasi dalam konteks dinamika hubungan negara dan masyarakat, maka terdapat dua proposisi utama yang menempati dua kutub yang saling bertentangan dalam melihat isi dan orientasi pers. Proposisi pertama, mengatakan, apabila negara menempati posisi dominasi, berarti masyarakat menempati posisi sub-ordinasi, maka pers cenderung lebih berorientasi ke negara. Proposisi kedua, mengatakan, apabila masyarakat menempati posisi "dominasi" dan negara menempati posisi "sub-ordinasi", maka pers cenderung berorientasi ke masyarakat. Dalam pandangan ini, dominasi negara menunjukkan adanya otoriterisasi dan tindakan yang cenderung represif dalam penyelenggaraan negara sehingga pers menjadi tidak berdaya dalam menjalankan
202
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
fungsi kontrol atas negara, karenanya "pembangkangan pers terhadap negara" hanya akan menyebabkan pers dibreidel. Sebaliknya, dominasi masyarakat dalam hubungan negaramasyarakat menunjukkan adanya demokratisasi dan liberalisasi. Sebagai contoh dominasi negara yang menonjol pada rejim Orde Baru, menunjukkan konsentrasi kekuasaan yang berada sepenuhnya di tangan presiden. Peran dan intervensi negara yang menonjol dalam kebijakan ekonomi kapitalis, cenderung mengalami pemusatan kekuasaan. Bahkan dalam bisnis media massa, pemusatan modal dan usaha bertumpu pada Soeharto dan para kroninya. Pers Pancasila yang dilakukan pada rejim ini membatasi kebebasan media sesuai dengan prioritas ekonomi, kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Dalam hal ini, media diwajibkan menerima dan melaksanakan tugas-tugas positif pembangunan sesuai dengan kebijakan nasional yang ditetapkan. Isi media juga perlu memprioritaskan kebudayaan dan bahasa nasional. Bahkan dengan dalih kepentingan pembangunan, negara dirasa berhak untuk ikut campur atau mengeluarkan pembatasan-pembatasan dan pengoperasian media, melakukan penyensoran dan memberikan subsidi, serta pengendalian secara langsung. Bahkan penguasa negara seolah-olah memiliki otoritas absolut dalam mengatur dinamika kerja pers, dengan sejumlah kebijakan pers, seperti mekanisme surat izin, SIUPP, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Kebergantungan usaha penerbitan pers terhadap lisensi yang diterbitkan oleh aparat negara ini, seringkah "memaksa" institusi pers untuk berdamai dengan negara dalam pemberitaan medianya. Dengan demikian, keseluruhan pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia hampir selalu berupaya mengamankan kekuasaan dengan menghambat kebebasan pers di ruang publik melalui berbagai macam cara, mulai dari yang preventif hingga yang represif. Bahkan bukan tidak mungkin di tengah-tengah era reformasi saat ini yang disinyalir telah terbukanya keran kebebasan pers, pers belum benar-benar terbebas dari praktik-praktik pembreidelan. Pemberlakuan SIUPP atau izin terbit memang sudah
203
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
Di Indonesia, pers merdeka akan selalu terancam bila masih diatur peraturan pemerintah dan undang-undang. Pasal 28 UUD 1945 asli dan Pasal 28 F Amandemen II adalah pasal-pasal karet karena tidak berdaya menghadapi peraturan dan perundangundangan yang mengekang kemerdekaan pers. Sebagai langkah awal, UU Pers No 40/1999 dinilai berpotensi memerdekakan pers. Kehadiran undang-undang ini dipandang sebagai bukti sejarah yang monumental dalam menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kebenaran, demokratisasi dan supremasi hukum sekaligus penghargaan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada beberapa hal yang penting dalam UU Pers ini, yakni: (1) tidak adanya pasal yang mencantumkan masalah ijin penerbitan pers (pasal 9 ayat 1). Artinya, intervensi dan kontrol pemerintah atas pers telah dihapuskan dengan tidak perlunya ijin usaha penerbitan dari aparat negara terkait, (2) telah adanya bab tersendiri tentang wartawan (pasal 8), dalam hal ini, kegiatan profesionalitas wartawan semakin diakui, sehingga menguatkan fungsi kontrol pers tanpa ada lagi ancaman pidana penjara bagi para jurnalis, (3) pada pasal 15 dalam undang-undang ini, menjadi dasar hukum bagi pembentukan dewan pers yang independen dengan tugas-tugas, di antaranya melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, serta melakukan pengkajiaan untuk pengembangan kehidupan pers. Lebih dari itu, peraturan pemerintah dalam penyelenggaraan pers, persyaratan izin pemerintah untuk menerbitkan pers, sensor, dan pembreidelan, semua ditiadakan. Demikianlah UU no. 40 tahun 1999, sekaligus telah mencerminkan konsep kualitas profesional pemberitaan oleh media massa orde reformasi, yang semakin baik. Profesionalitas sangat dimaknai dalam ruang (sphere) ini khususnya pada organisasi kewartawanan. Organisasi profesi wartawan pun tidak lagi dibatasi. Suasana semacam ini tentunya akan sangat berdampak pada kualitas pemberitaan yang dihasilkan. Akan tetapi, bukan berarti UU no.40 tahun 1999 ini, tidak memiliki kelemahan. Banyak kalangan memandang masih terdapat
205
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
berlalu, tetapi pengawasan pemerintah terhadap pers masih sangat kuat. UU 40/1999 TENTANG PERS: SEBUAH HARAPAN DEMOKRASI
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan. Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP— yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya, diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain. Kebebasan pers bukanlah sesuatu yang dengan mudah dinikmati oleh insan pers. Kebebasan pers sebagai suatu nilai budaya dalam masyarakat tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui proses panjang dalam institusionalisasi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Indikator untuk melihat kebebasan pers dalam negara yang demokratis didasarkan atas faktor kekuasaan (sosial, ekonomi, politik dan budaya) dalam menyikapi hak untuk tahu dan berekspresi warga negara dalam konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya tertentu. Selain itu, cara-cara warga masyarakat menggunakan kedua hak asasi tersebut.
204
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
kekurangan- kekurangan pada pasal-pasal yang masih mengatur hal-hal yang tidak seharusnya diatur oleh sebuah Undang-Undang Pers. Sejumlah undang-undang lainnya dirasakan masih juga dapat membatasi kemerdekaan pers sekalipun UU Pers ini telah diberlakukan. Misalnya, pemberitaan media yang kritis sebagai fungsi kontrol media kerapkali masih dikenai tuduhan dalam pasal pencemaran nama baik berdasarkan KUHP. PENUTUP
Akhirnya, pembreidelan pers menimbulkan implikasi memudarnya kebebasan pers, bahkan bukan tidak mungkin akan hilang. Salah satu ciri penting dalam sistem demokratis adalah pers yang bebas dan independen. Pers sering disebut sebagai "pilar keempat" dari sistem yang demokratis. Tanpa pers yang bebas dan independen, suatu negara sulit mengaku sebagai negara demokratis. Ketika kebebasan pers tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam suatu negara, niscaya demokrasi dalam negara tersebut tidaklah akan pernah ada. Karena di dalam negara yang cenderung dominan, pers hanya akan cenderung menjadi corong ataupun alat propaganda pemerintah. Bilamana keduanya tidak memiliki kedudukan yang seimbang, maka demokrasi hanyalah sebuah utopia belaka. Implikasi lain atas pembreidelan pers juga mengakibatkan profesionalitas jurnalis atau profesi wartawan menjadi terkebiri. Artinya, tidak ada kesempatan bagi seorang jurnalis untuk melakukan aktivitas jurnalisme secara independen, karena pengawasan (monitoring) penguasa negara yang berujung pada pembreidelan institusi pers maupun penahanan dari para insan pers. Bahkan aksi nekad beberapa jurnalis tidak juga kuasa menghentikan tindakan antipers dari negara. Media pers pun hanya berakhir sebagai sarana atau alat negara bagi pengembangan ideologi (ideological state apparatus). Media, sebagaimana terjadi di rejim Orde Baru, dianggap sebagai alat pemerintah untuk
206
Reny Triwardani, Pembredeilan Pers di Indonesia..
menyebarluaskan pesan-pesan yang sarat dengan kepentingan pemerintah semata-mata. Media bukan lagi menjalankan fungsi anjing penjaga (watch dog) , melainkan sebagai entitas politik yang mengarahkan dan membimbing masyarakat sesuai dengan yang diinginkan pemerintah. Dengan demikian, perubahan politik di tingkat makro telah melahirkan relasi yang mengkhawatirkan antara media massa— negara. Dalam hal ini, posisi negara yang dominan dapat mengancam keberlangsungan kebebasan pers, dan pada posisi sebaliknya, euphoria kebebasan pers seringkah tidak dapat dibendung. Dalam relasi yang masih selalu bergeser akibat kondisi politik yang masih juga belum stabil, bahkan dengan adanya UU Pers terbaru ini, dapat dikatakan bahwa relasi media massa dengan negara, masih belum secara utuh mampu mewujudkan media sebagai infrastruktur komunikasi politik pendorong demokrasi. Indikasi ini tampak pada adanya tekanan-tekanan tertentu pada media baik oleh kelompok pemilik modal yang memiliki kepentingan tertentu, sementara pemerintah juga masih ingin agar media massa mendukung legitimasinya. Pada batas-batas tertentu tampaknya media Indonesia masih sulit menolak dan melepaskan diri dari campur tangan yang seharusnya tidak terjadi. Demikian pula ancaman praktik pembreidelan terselubung terhadap media pers sebagai bentuk breidel gaya baru tidak juga mereda. Secara keseluruhan, yang terpenting adalah perlu dikembangkan sikap kedewasaan dan saling menghormati di antara institusi-institusi demokrasi yang ada untuk saling berfungsi bersama-sama menghela demokrasi. Indikasi sikap pemaksaan dari satu institusi yang merasa dirinya lebih kuat pada institusi yang lain demi keamanan kekuasaan merupakan cara-cara yang tidak bijak dan merugikan jalannya proses demokratisasi. Khususnya untuk media massa, tindakan antipers yang berujung pembreidelan hanya akan berakibat pada semakin tertinggalnya kualitas media massa Indonesia.
207
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 187-208
DAFTAR PUSTAKA
Abar, Akhmad Zaini. 1995. 1966-1974 .Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: LKIS. Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hanazaki, Yasuo. 1998. Pers terjebak, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Kurniawan Junaedhie. 1991. Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel, 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme, Jakarta: Pantau. McCargo, Duncan. 1999. Killing the Messenger: The 1994 Press Bannings and the Demise of Indonesia's New Order. Press/Politics, 4(1) Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas Suroso. 2001. Menuju Pers Demokrasi: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP. Utami, Ayu (et.al). 1994 . BREDEL 1994: Kumpulan Tulisan tentang Pembredelan Tempo, Detik , Editor. Jakarta:Aliansi Jurnalis Independen.
208
Efektivitas Komik Saku sebagai Media Pemilih dan Pemilu bagi Perempuan Marginal Dhyah Ayu Retno Widyastuti & Mustika Kuri Prasela1 Abstract: Women's participation in politics is very low particularly because of the situation in which women are marginalized both in terms of voters and candidates. In this sense, voter education based on gender perspective is one of the significance ways to increase women's political awareness. Pocket comic is seen as a media that can be used to achieve such awareness. This study examines the effectiveness of comic as an aid used in voter education in order to increase political participation of women as evaluators. This study found that pocket comic could be well understood by married women who received information from the media. Those women had also been trained by the Government and the PKK in the elections training through which they were stimulated to have gender awareness and then internalize it in their life. Key Words: pocket comic, effectiveness, women, participation, evaluators
Keterlibatan perempuan di dunia politik masih sangat terbatas. Pada pemilu tahun 2004, misalnya, posisi perempuan dalam parlemen untuk DPRD Provinsi Jawa Tengah menunjukkan jumlah 15 orang (15 persen) dari 100 anggota DPRD. Sementara itu, menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah tahun 2004 tercatat jumlah anggota DPRD seluruh Kabupaten/Kota di Jawa 1
Dhyah Ayu Retno Widyastuti adalah staf pengajar pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Mustika Kuri Prasela adalah staf pengajar pada Prodi Ilmu Komunikasi dan staf di Pusat Penelitian & Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
209
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
Tengah sebanyak 1.487 orang terdiri dari 1.335 laki-laki (89,78 persen) dan 152 perempuan (10,22 persen). Persentase perempuan yang menjadi anggota DPRD, baik DPRD Provinsi Jawa Tengah maupun DPRD kabupaten/kota tersebut belum memenuhi quota 30 persen seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005. Keberadaan anggota DPRD perempuan juga belum mampu mewarnai keputusan-keputusan tentang berbagai kebijakan berkaitan dengan isu perempuan. Dalam Pemilu 1999, pemilih perempuan yang berjumlah sekitar 57%, hanya terwakili tidak lebih dari 9% di DPR. Dari sekitar 13% perempuan calon anggota legislatif, hanya sekitar 4,3% yang berada di urutan atas, sisanya di urutan nomor "sepatu". Pemilu 2009, menurut penelitian kajian wanita Universitas Indonesia (UI), mencatat total pemilih pada 2008 adalah 154.741.787 jiwa, di mana sebanyak 76.659.325 jiwa adalah pemilih perempuan dan 78.082.462 jiwa adalah pemilih lakilaki. Jumlah pemilih perempuan sangat potensial. Namun dari hasil akhir Pemilu nampak sekali bahwa posisi dan peran perempuan belum beranjak dari peran dan posisi yang masih tersubordinasi oleh peran dan posisi politik laki-laki (Fahmina Institute, 2009). Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya: 1) sistem perekrutan pada partai politik belum memberikan ruang penuh kepada perempuan; 2) Kehidupan politik dalam anggapan masyarakat adalah bahwa kehidupan politik tidak cocok untuk perempuan; 3) Standar kehidupan politik masih menggunakan standar laki-laki; 4) Kurang percaya diri pada perempuan untuk memasuki wilayah politik; dan 5) Lemahnya dukungan kepada perempuan dalam berpolitik. Perempuan pada umumnya masih ditempatkan pada posisi kedua dan pengikut. Kondisi di dalam partai politik sendiri masih menempatkan perempuan pada posisi pelengkap, bukan posisi penting yang harus ada. Contoh lain misalnya saat harus menentukan pilihan dalam pemilu, perempuan cenderung harus mengikuti pilihan suami. Bahkan realitas di Surakarta pada saat diskusi di Pusat Penelitian dan Studi Gender (PPSG) pada 2009 ada
210
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
pernyataan bahwa semua keluarga ketika mengikuti pemilihan presiden harus memilih keturunan Soekarno dan itu pun berlanjut secara turun-temurun (PPSG, 2009). Pierre Bourdieu, dalam bukunya La Domination Masculine (2001) memaparkan bahwa kepercayaan perempuan mengenai aturan bahwa dirinya memang tercipta lebih rendah daripada lakilaki, tidak bisa memimpin, apalagi ikut campur dalam ranah publik merupakan hasil dari salah tafsir (mis-recognition) terhadap norma yang sebenarnya disepakati secara sosial sebagai sesuatu yang memang sudah sewajarnya demikian. Pemahaman yang keblinger demikian, akibatnya semakin memarginalkan perempuan dari wilayah politik di mana kebijakan tentang kesejahteraan dan kebutuhan mereka dibuat. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dilema yang dihadapi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik adalah dengan menggelitik kesadaran perempuan yang terjerat dalam kekerasan simbolis seperti yang dipaparkan sebelumnya. Pendidikan pemilih dan pemilu yang demokratis dan berperspektif gender merupakan sebuah cara untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan. Bukan hanya sebagai pemilih, perempuan juga memiliki hak sebagai yang dipilih dan sebagai evaluator. Perempuan selain terlibat dalam pemungutan suara, mereka juga diharapkan aktif dalam proses penghitungan suara. Peran sebagai evaluator bukan hanya pada saat pemilu berlangsung namun perlu tindakan pasca pemilu. Perempuan seharusnya menjadi pengawal kehidupan politik; pembaharu kebijakan publik yang pro perempuan; mengawal dan mengawasi janji caleg; mengingatkan kepada legislatif terpilih dan aktif berperan serta dalam program kerja legislatif tersebut (menagih janji kepada calon legislatif terpilih). Selanjutnya bagaimana memberi pemahaman pentingnya perempuan untuk mengisi peran dan posisi di berbagai aspek kehidupan dengan mendapat hak dan kewajiban yang sama atau yang berperspektif gender tersebut melalui pendidikan pemilih dan
211
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
pemilu. Media massa mempunyai peranan penting dalam hal ini. Salah satu langkah maju guna mencapai kesadaran politik perempuan yaitu dengan memanfaatkan komik saku sebagai media pembelajaran. Komik sebagai media bergambar, lebih menarik dan memudahkan pembaca untuk lebih mengerti cerita. Isi cerita dalam komik menekankan informasi pada perempuan bahwa perempuan bukan hanya sebagai pemilih, perempuan juga memiliki hak sebagai yang dipilih dan sebagai evaluator. Sebagai evaluator, perempuan perlu berpartisipasi aktif dalam pemilu dengan menjadi pemilih yang cerdas, memilih caleg perempuan yang peka kebutuhan perempuan; pemantau pemilu, memantau dengan alasan untuk mengawal suara perempuan; perempuan menjadi saksi, mengawal suara perempuan dalam pemilu; dan perempuan menagih janji atas kontrak politik calon legislatif terpilih. Sebagai media bergambar, komik dapat mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Hasil penelitian ICMC bersama ACILS (2004) menunjukkan bahwa penggunaan komik dianggap mampu memudahkan persoalan, mudah diingat, sehingga mempercepat informasi. Pemanfaatan komik memudahkan daya cerna informasi dan mempercepat penyampaian pesan. Sumbo Tinarbuko, pengamat Komunikasi Visual dan Desain Grafis dari ISI, menyatakan bahwa efektivitas penggunaan komik untuk program pemberdayaan memang terasakan. Komik memiliki pesan yang sangat bersifat individual, maksudnya komik yang dibuat diarahkan lebih dekat pada target sasaran yang dituju. Selain itu, komik mempunyai daya ungkap yang cukup dahsyat di antara target sasaran. Menurutnya, selain ditopang unsur estetika didukung pula oleh unsur gambar yang kadang cukup lucu, kadang cukup satir, dan ditambah kemampuan merangkai pesan menjadi kalimat yang tidak menggurui, seperti kita bergumam, seperti kita sharing antara satu orang dengan orang lain (http://64.203.71.ll/kompascetak/0409/18/pustaka/1274853.htm).
212
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
Menurut F. Lacassin (Rosidi, 2001) komik menjadi sarana pengungkapan yang benar-benar orisinil karena menggabungkan antara gambar dengan teks tersebut. Komik sebagai media bergambar memudahkan pembaca untuk lebih mengerti ceritanya. Selain itu komik memiliki keunggulan antara lain (a) Ada gambarnya jadi bisa mengerti adegan secara jelas; (b) Ketegangan maupun emosi bisa terasa jelas walau cuma melihat sekilas; (c) Cerita mudah dicerna dan tentu saja sangat menarik. Adanya keterbatasan yang dimiliki berbagai jenis media cetak lain seperti majalah, surat kabar, dan lain-lain, tentunya juga ada keterbatasan bagi komik dalam mencapai efektivitas komunikasi pembacanya. Namun ada juga kelemahannya, seperti (a) Pembaca tidak bisa berimajinasi; (b) Kadang karakter kurang mengena (Rosidu2001). Selain itu terdapat hal penting yang harus diperhatikan dalam komunikasi bermedia komik. Seperti media komunikasi pada umumnya, komik perlu menghadapi perempuan dengan berbagai karakteristik yang memiliki berbagai macam pengetahuan dan pengalaman untuk menyampaikan gagasannya sehingga dapat diterima dengan baik. Apabila faktor ini terabaikan, tak ayal komik pasti gagal menjadi media yang memberdayakan perempuan. Oleh karena itu, selanjutnya dalam artikel ini akan membahas bagaimana efektivitas penggunaan komik saku sebagai media pendidikan pemilih dan pemilu yang berwawasan gender tersebut, dan pada pembaca perempuan dengan karakteristik apa komik tersebut paling efektif. Artikel ini merupakan hasil penelitian terhadap peserta pelatihan pemilu dan pemilih yang peka gender di Kelurahan Bumi, Surakarta pada masa kampanya Pemilu Caleg tahun 2009. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media komik saku menjadi wacana, sumber informasi untuk perubahan
213
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
peran gender, keterlibatan perempuan di lapangan politik. Mengacu pada persoalan ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus tunggal. Penelitian yang dilakukan hanya menggambarkan suatu isu atau perhatian di Kota Surakarta dengan mengambil studi kasus di Kelurahan Bumi, Laweyan. Pendekatan studi kasus tunggal dipakai dalam penelitian ini untuk dapat menjelaskan; informasi dari komik saku yang ditangkap oleh perempuan tentang pemilu; bagaimana makna penting pemilu bagi perempuan; pengaruh pesan komik saku terhadap perubahan perilaku perempuan untuk berperan sebagai evaluator. Tentu belumlah cukup ketika penelitian ini hanya dari studi kasus, oleh karena itu, penulis perlu menganalisis terlebih dahulu isi yang disajikan di dalam komik saku tersebut. Oleh karena itu penulis juga menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus guna memecahkan persoalan. Analisis isi dibutuhkan untuk menangkap isi/makna dari setiap kategori informasi dalam proses komunikasi yang berbentuk bahasa maupun simbol sebagai ungkapan pengalaman, perasaan, persoalan, dan lain-lain yang menjelaskan konteks masyarakatnya (Moleong, 2005). Penekanan informasi yaitu berkaitan dengan bagaimana perempuan mampu menjadi pemilih cerdas dan sebagai evaluator, menagih janji kontrak politik pada caleg terpilih. Penelitian ini mengambil lokasi di kelompok perempuan marginal yang terlibat pendidikan pemilih dan pemilu di Kota Surakarta tepatnya Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Kodya Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena (1) peran serta aktif perempuan dalam lapangan politik masih rendah (2) lokasi ini tidak jauh dari pusat kota Surakarta, hanya berjarak kurang-lebih 10 kilometer sehingga memudahkan peneliti untuk mengamati dan mengakses informasi yang diperlukan.
214
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
HASIL PENELITIAN a. Analisis Isi Komik Gambar 1. Komik I "Perempuan Pemilih Cerdas"
Gambar 2. Komik n "Rembug Bareng Legislatif Perempuan".
Ada dua judul komik yang digunakan sebagai media pelatihan dalam pendidikan pemilih dan pemilu, yang pertama "Perempuan Pemilih Cerdas" dan kedua "Rembug Bareng Legislatif Perempuan". Komik I dan II merupakan satu rangkaian cerita dan merupakan satu kesatuan sehingga dalam analisis isi tidak dilakukan secara terpisah. Analisis isi dilakukan pada kedua komik tersebut, dengan hasil sebagai berikut:
215
Jurnal ILMU KOMUNIKASI Kategori Isi
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226 Tabel 1. Analisis Isi Komik Saku Indikator
Informasi umum Bu Sabar mantan TKI membuka toko kelontong Mengenali Persoalan Kerja berat Kebutuhan perempuan - kerja di luar rumah (pasar) - pekerjaan rumah (di dapur, menyiapkan keperluan suami, mengurus anak) Kendala untuk berperan di ruang publik - takut suami (istri harus nurut suami) Menjadi pemilih - Ikut dalam pemilu, ikut menentukan nasib (satu suara itu cerdas penting) - Mengenali caleg perempuan yang mengetahui persoalan dan kebutuhan perempuan - Memilih yang peka pada persoalan dan kebutuhan perempuan Menjadi pemantau - Aktif dalam proses penghitungan suara (menjadi saksi) - Menjadi pengawal kehidupan politik (mengawal dan mengawasi janji caleg, aktif ikut serta dalam program kerja legislatif)
Data di atas menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang disampaikan dalam komik terdiri dari tiga kategori yaitu: (1) identifikasi dan analisis persoalan & kebutuhan; (2) menjadi pemilih & cerdas (ikut pemilu); (3) mengawal suara perempuan (pemantau pemilu & saksi). b. Hasil Studi Kasus Lima Macam Responden Wawancara mendalam dilakukan terbatas pada lima responden yang mewakili setiap karakteristik responden yang ditentukan dalam studi kasus. Keseluruhan responden adalah peserta pelatihan pemilih dan pemilu bagi perempuan di Kelurahan Bumi. Adapun karakteristik responden ditentukan berdasarkan latar belakang pengetahuan dan pengalaman partisipasi politik mereka, khususnya pemilu, yaitu: (1) Responden yang diam, tidak mengetahui informasi, berpartisipasi dalam pemilu; (2) Responden yang diberi masukan, mengetahui informasi, berpartisipasi dalam pemilu; (3)
216
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
Responden yang diam, mengetahui informasi, mengetahui bagaimana berpartisipasi, berpartisipasi dalam pemilu; (4) Responden yang diberi masukan, mengetahui informasi, mengetahui bagaimana berpartisipasi, berpartisipasi pemilu, pemantau, memperjuangkan pendapat; (5) Responden yang diberi masukan, mengetahui informasi, mengetahui bagaimana berpartisipasi, berpartisipasi dalam pemilu, pemantau, memperjuangkan pendapat, bisa membangun kapasitas. Berdasar data dari responden menunjukkan bahwa isi dari komik saku mampu mempengaruhi kognitif (aspek pengetahuan responden). Gambar dan narasi yang terkandung di dalam komik saku mampu membangun pemahaman pentingnya terlibat di dalam kegiatan pemungutan suara (pemilu) secara bebas sesuai dengan kebutuhan perempuan. Sebagian perempuan memiliki kesadaran untuk memperjuangkan kebutuhannya dan membangun kapasitas supaya suaranya didengar orang lain di masyarakat. Perubahan perilaku bisa terlihat melalui keikutsertaan perempuan dalam kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, pertemuan PKK, atau bentuk organisasi lain di lingkungannya dan menyampaikan program untuk pemberdayaan perempuan di lingkungannya sehingga bisa membantu perekonomian keluarga. Pada titik ini dapat ditarik pemahaman bahwa perubahan pengetahuan, sikap, maupun perilaku yang ditunjukkan responden ini tidak terlepas dari pengaruh yang cukup kuat dari penyajian informasi dalam media pendidikan pemilih dan pemilu, salah satunya komik saku. PEMBAHASAN
Berdasarkan data analisis isi dan studi kasus yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka temuan dalam penelitian mengenai efektivitas komik saku yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman responden akan dipaparkan secara kolaboratif. Hal ini dilakukan dengan mempertemukan data hasil analisis isi dan studi kasus, secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.
217
00
Tabel Informasi Responden Lapangan No. 2. Data Karakteristik Informasi di Yang Ditangkap Oleh Responden
Perempuan dari Komik Saku tentang Pemilu
Pemahaman Perempuan Mengenai Makna Penting Pemilu gagi Perempuan
Pengaruh Komik Saku terhadap Perilaku Perempuan sebagai Evaluator
Responden yang diam; tidak mengetahui informasi; berpartisipasi pemilu
Membedakan laki-laki dan perempuan Ikut serta pada pelaksanaan pemilu berwawasan gender
Menyaksikan proses penghitungan suara
Responden yang diberi masukan; mengetahui informasi; berpartisipasi pemilu
Memiliki keinginan adanya perubahan Turut menyontreng tanpa ada kendala agar tidak diremehkan oleh dominasi dan pilihannya pun bebas, tidak ada laki-laki paksaan dari siapapun Menentukan pilihan sesuai dengan pilihan masing-masing (bebas, rahasia) Bagaimana menentukan pilihan wakil Mengikuti pemilu perempuan yang peka terhadap kebutuhan perempuan
Berpartisipasi sebagai pemantau, mengikuti proses penghitungan suara meskipun tidak secara penuh dan hanya didorong rasa 'ikut-ikutan' Mengikuti proses penghitungan suara Sudah sadar, tapi belum mengambil peran karena tidak ditunjuk
Kedudukan perempuan tidak Akses informasi sebelum menentukan menghalangi perempuan untuk pilihan dalam pemilu sangat penting berjuang, memperoleh akses, bagi perempuan melakukan kontrol dan mendapatkan
Sudah melakukan perubahan dengan menyampaikan program untuk pemberdayaan terhadap perempuan melalui PKK Keterlibatan responden yang terlibat dalam berbagai organisasi masyarakat
w
Responden yang diam; mengetahui informasi; mengetahui bagaimana berpartisipasi; berpartisipasi pemilu Responden yang diberi masukan; mengetahui informasi; mengetahui bagaimana berpartisipasi; berpartisipasi pemilu; pemantau; memperjuangkan pendapat.
Responden yang diberi Pentingnya terlibat dalam kegiatan masukan; mengetahui masyarakat (organisasi; pelatihan) informasi; mengetahui untuk memberdayakan perempuan bagaimana berpartisipasi; berpartisipasi pemilu; pemantau; memperjuangkan pendapat; bisa membangun kapasitas.
(Sumber: Widyastuti & Prasela, 2010, hal 45-54)
Ikut serta dalam pemilu
Punya inisiatif untuk kaderisasi keorganisasian kepada ibu-ibu muda namun terkendala oleh kemauan dari perempuan sendiri Memberi akses pada perempuan (muda) untuk terlibat dalam kebiasaan masyarakat
2O
o a
a' CD K) O ra
O Oi to to
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
Komik sebagai Media Massa Berwawasan Gender Komik merupakan suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Media ini didasarkan pada ide yang sederhana. Ide untuk meletakkan satu gambar setelah gambar lainnya untuk menunjukkan pergerakan waktu (McCloud, 2008:1). Asal mula komik masih diperdebatkan para pemerhati komik. Komik Indonesia saat ini terinspirasi dari luar negeri. Namun, hal ini bukan berarti Indonesia tidak memiliki budaya yang dapat diidentikkan dengan komik (Hidayat dan Surtiati, 1998). Menurut Dwi Nanto—seorang Physics Teacher dari Jubilee School, Yayasan Citra Bangsa, Jakarta—bila dirunut dari sejarah komik Indonesia, media yang sering pula dikenal dengan istilah cerita bergambar ini sudah mulai ada sejak zaman prasejarah. Pada zaman itu manusia Indonesia sudah mampu merekam pengalamannya dalam bentuk gambar meskipun baru ditorehkan di gua, misalnya yang terdapat di Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Namun yang akhirnya beredar di Indonesia saat ini adalah jenis komik modern yang dinyatakan ada sejak sebelum kemerdekaan (1930). Melihat perkembangan komik yang mampu sebagai informing dan persuading, selanjutnya dalam konteks penelitian ini komik dijadikan sebagai media pendidikan politik dengan harapan membawa perubahan bagi masyarakat baik dalam aspek kognitif, konatif maupun behavioral. Terlebih bahwa realitas peranan media pada saat sekarang sangatlah luar biasa. Media massa mempunyai peran yang sangat besar dalam masyarakat. Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini, balikan manusia mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap media massa. Ketergantungan yang sangat tinggi pada media massa tersebut mendudukkan media sebagai alat yang akan membentuk apa dan bagaimana masyarakat (Nurudin, 2004:31). Sebagaimana pendapat McQuail (1987) media
219
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
mempunyai kekuatan untuk membangun suatu citra dalam masyarakat mengenai realita sosial yang sedang berkembang. Begitu juga pada realitas Pemilu 2004, media mampu mempengaruhi pikiran hingga perilaku masyarakat. Media massa sangat gencar mempengaruhi pemilih dalam perannya sebagai sarana sosialisasi (Burton, 2008:2). Keterbatasan yang ada pada media massa yang banyak beredar tersebut masih bersifat umum, belum mengakomodasi kebutuhan kaum marginal terutama pemilih perempuan. Sajian media belum peka terhadap persoalan dan kebutuhan gender. Bertolak dari alasan tersebut komik saku sebagai media pendidikan pemilih dan pemilu secara spesifik ditujukan kepada perempuan marginal yang luas dan heterogen di mana pesan yang terkandung bersifat umum. Dalam perspektif komunikasi bisa dikatakan komik tersebut termasuk ke dalam konteks komunikasi massa. Sebagai media massa komik mampu memberi informasi mengenai peran perempuan dalam pemilu, mencontreng, cara memilih yang tepat dan berwawasan gender, dan informasi seputar pra pemilu, pada saat pemilu, maupun pasca pemilu. Pesan dan alur cerita komik saku bersumber dari kehidupan nyata khalayak sasarannya dengan mempertimbangkan perempuan dalam segala keterbatasannya (need assesment). Kondisi masyarakat mempengaruhi sajian media massa dan keberadaan media tersebut dapat mempengaruhi masyarakatnya. Hal ini merujuk pada William L. Rivers (2003 :ix) bahwa pada dasarnya, kondisi di dunia nyata mempengaruhi media massa, dan ternyata keberadaan media massa juga dapat mempengaruhi kondisi nyata dunia. Oleh karena itu dalam komunikasi massa, keduanya, yaitu media massa dan manusia mempunyai hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan, masing-masing saling mempunyai kepentingan dan saling memerlukan. Sebagai media massa berwawasan gender, komik tentunya mampu menggambarkan keadilan dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Sejak media massa digunakan sebagai media sosialisasi dalam pemilu pada 2004 dan pada pemilu periode
220
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
2009 sajian baik content maupun ilustrasi masih terjadi ketimpangan gender. Kecenderungan yang terjadi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar adalah isu ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan yaitu pelabelan bahwa kehidupan perempuan tidak cocok untuk kehidupan politik dalam anggapan masyarakat; subordinasi (penomorduaan), penempatan perempuan pada posisi pelengkap, bukan posisi penting yang harus ada atau untuk mempengaruhi sajian media pemilu. Kondisi tersebut mempengaruhi penerima pesan. Dalam kondisi lebih spesifik ketika dihadapkan pada komunikan perempuan, ketertarikan terhadap pesan dan komunikator cenderung lebih pada adanya kesamaan karakteristik antara komunikator dengan komunikan. Sebagaimana teori cognitive consistency, Fritz Heider (1958), menyatakan bahwa manusia selalu berusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan perilakunya. Artinya ketika komunikator dan pesan yang disampaikan dalam komik disukai oleh perempuan karena menunjukkan kesamaan karakteristik, maka perempuan cenderung akan melakukan hal yang sama dengan apa yang disampaikan oleh media. Azas kesamaan sudah tercermin dalam media pendidikan pemilih dan pemilu khususnya bagi komunitas perempuan yang disajikan dalam komik saku baik yang berjudul "Perempuan Pemilih Cerdas" maupun "Rembug Bareng Legislatif Perempuan". Oleh karena itu, media tersebut telah memberi jawaban bagi persoalan dan kebutuhan perempuan baik dalam akses informasi maupun cara meningkatkan keterlibatan perempuan dalam ranah publik melalui keikutsertaan dalam pemilu dan perspektif gender. Efektivitas Komik Saku sebagai Media Pendidikan Pemilih dan Pemilu Komik sebagai media massa berperan sebagai sumber rujukan di bidang pendidikan dan penyebaran informasi yang cepat bagi masyarakat terutama perempuan marginal yang memiliki keterbatasan akses informasi maupun partisipasi di lapangan publik.
221
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
Dalam hal ini, berdasar data di lapangan (Tabel 1) bahwa media dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat. Perempuan mulai menyadari haknya dan mulai berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki. Perempuan mulai memperluas fungsi dari sektor domestik atau rumah tangga menuju sektor publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa media turut mendukung persebaran ide-ide peningkatan peranan perempuan dalam sektor publik. Sosialisasi dan pelatihan yang marak di masyarakat memicu masalah gender menjadi signifikan sebagai suatu isu. Kesadaran dan partisipasi perempuan yang tinggi mempercepat gerakan pemberdayaan perempuan. Melalui komik yang disampaikan dalam kegiatan Pendidikan Pemilih dan Pemilu yang dilakukan oleh PPSG Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, bersama mitra mampu meningkatkan peran perempuan dalam hal akses, kontrol dan manfaat. Perempuan bisa memperoleh informasi, menggunakan hak tanpa ada paksaan ataupun intervensi dari orang lain dan mereka mampu membangun kapasitas demi kemajuan diri dan perempuan yang lain. Informasi yang disampaikan melalui komik yang dijadikan media pelatihan mampu mempengaruhi konstruksi berpikir perempuan agar semakin banyak perempuan menjadi anggota legislatif sehingga semakin besar kemungkinan isu-isu perempuan seperti kesehatan/reproduksi, pendidikan, lingkungan, persamaan upah, perlindungan kerja dapat diperjuangkan di tingkat kebijakan publik. Hal ini berarti memilih caleg perempuan berarti turut memperjuangkan nasib, persoalan dan kebutuhan perempuan (Widyastuti & Prasela, 2010: 61-62). Komik sebagai media yang berisi gambar dan tulisan cenderung lebih bersahabat dengan kaum perempuan, karena materi yang disampaikan tidak hanya melalui konsep kata dan kalimat, sehingga secara teknis lebih mudah dimengerti. Melalui ilustrasi gambar dan alur cerita yang bersahabat dengan perempuan dari kalangan menengah ke bawah, komik saku yang disebarkan
222
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku..
jelas efektif dalam memberikan informasi mengenai pemilu dan tata caranya, terutama juga mengenai bagaimana perempuan bisa berpartisipasi secara aktif dalam politik. Melalui penelitian ini terbukti, komik memiliki kekuatan besar sebagai jembatan antara perempuan dan politik. Tanpa menyederhanakan kajian komunikasi yang berlangsung di dalam proses tersebut, namun secara singkat dapat dikatakan demikian. Dari temuan data di lapangan tampak bahwa terjadi peningkatan pengetahuan para pembaca komik tentang bagaimana terlibat dalam politik secara aktif. Perempuan yang semula tidak memiliki media tersendiri sebagai tempat mencari informasi mengenai pemilu yang sesuai dengan latar belakang ekonomi, pengalaman hidup dan sosial, kini dapat menemukannya di dalam sebuah media komik saku. Kemasan yang tidak terlalu tebal dan besar memberikan kenyamanan bagi perempuan untuk menikmati isi dan ceritanya. Hal ini memudahkan bagi mereka untuk berbagi satu dengan yang lain, dalam arti meminjamkan maupun kemudian menceritakan kembali informasi yang terdapat di dalam komik tersebut. Sesuai dengan evaluasi yang telah dilakukan pula, format komik tersebut memang membutuhkan banyak perbaikan, terutama dari segi penyajian. Terlepas dari masalah teknis, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komik dapat menjadi salah satu media efektif yang menjembatani perempuan dari keterasingan politik yang selama ini mengungkungnya. Pelatihan dari pemerintah dan media massa umum saja, jelas tidak cukup mendorong partisipasi aktif perempuan di dalam pemilu, terutama sebagai pemilih cerdas. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasar paparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa efektivitas komik saku baru dapat ditangkap secara baik oleh perempuan yang sudah menikah dan sebelumnya telah mendapat
223
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
informasi dari media massa, pelatihan pemerintah maupun penyuluhan PKK mengenai pemilu, serta perempuan yang memang sebelum membaca telah memiliki kesadaran gender serta melakukannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara bagi perempuan—yang dalam keluarganya belum memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat secara lebih leluasa—mengalami kesulitan untuk merekam isi pesan dan memperoleh dampak dari komik saku dibandingkan kriteria dua perempuan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperbaiki isi cerita maupun bentuk fisik gambar, tulisan dan properti karakter tokoh yang ada di dalam komik saku. Penggunaan komik saku juga perlu memperhatikan audiens perempuan yang belum melek huruf dengan menonjolkan kekuatan gambar dibanding tulisan. Peluang komik saku untuk menjembatani perempuan dan politik agaknya dapat dikembangkan mengingat media cetak menempati urutan kedua setelah media elektronik untuk menyampaikan informasi mengenai pemilu kepada perempuan. Komik saku sebagai media pendidikan pemilih dan pemilu diharapkan dapat berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Buku Bourdieu, P. 2000. La Domination Masculine. Stanford: Polity Press. Bourdieu, P. 1993. Sociology in Question. London: Thousand Oaks. Burton, G., 2008. Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar kepada Kajian Media. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra Charles, Pierre. 2001. Sociogy is a Martial Art. Perancis. De Fleur, Melvin L dan Everette E. Dennis. 1985. Understanding Mass Communication, Fith Ed. New York: David McKay. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Faisal,Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi. IKIP Malang, Yayasan Asih Asah Asuh Malang (YA3). Jalaluddin Rakhmat, 1994. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
224
Dhyah Ayu Retno W & Mustika Kuri P, Efektivitas Komik Saku.. Lexy J. Moleong M. A., 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. McQuail, Denis.1987. Mass Communication Theory, Second Ed. Terj. Agus Dharma, dkk. Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Cespur. Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1994. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Sutopo, 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Scott McCloud. 1993. Understanding Comics: The Invisible Art, HarperCollins Publishers, New York, William R. Rivers atal, 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern: Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta Yin, R. K., 1987. Case Study Research: Design and Methods. Beverly Hills, CA.: Sage Publications. Artikel: Fahmina Institute, 2009. Problem Kebijakan Afirmatif Bagi Perempuan (http://www.fahmina.or.id/penerbitan/warkah-al-basyar/508-problemkebijakan-afirmatif-bagi-perempuan-.html, diunduh pada 8 Desember 2010). Hidayat dan Rahayu Surtiati. Komik dan Animasi Menghadapi Tantangan. Pekan Komik dan Animasi Nasional, Jakarta, 1998 Jurnal Nasional, 2007."Keterlibatan Perempuan dalam Politik Masih Kurang". (http://ww.beipolitik.com/sMic/internal/2007/05/news_4322.html., 04. Mei, diunduh pada 27 Febuari. 2009) Pujiono, B ambang, 2008. Mengefektifkan Peran Politik Formal Perempuan (http://www.bandarlampungnews.com/cetak/detail.php?id=932, diunduh tanggal 27 Februari 2009) Rosidi, R., 2001. Kabinet Komik Indie (http://komikazemedia. tripod.com/arsip/02-04-06kabinetindie.htm, 31 Mei 2001, diunduh pada 8 Maret 2009)
225
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 209-226
Women Research Institute. Delphi Panel: Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia (Kuota dan Desentralisasi) {http://wri.or.id/id/penelitian/Penelitian%20Politik%20dan %20Perempuan?q=id/penelitian%20politik%20dan %20perempuan/Delphi%20Panel%3A %20Perempuan %20dan %20Politik%20dalam %20Era%20Otonomi%20Daerah %20di %20Indonesia) 8 April 2010.
226
Memahami Makna Simbol dalam Komunikasi dengan Dayak Jangkang R. Masri Sareb Putra1
Abstract: Dayak Jangkang is one of the Dayak's sub-ethnics that inhabits the Jangkang district, Sanggau regency, West Kalimantan and directly borders with Sarawak, Malaysia. Jangkang Dayak population reaches 45,000. Dayak Jangkang nowadays still maintains and continue the tradition of the ancestors, as reflected in the structure of society, social relations, customs, and culture. Therefore it still maintains and continues the tradition of the Dayak Jangkang's ancestors in their way of life. Many people, especially those outside Dayak, lack of understanding of their own culture. Therefore, the social conflicts caused by social relations between Dayak Jangkang and migrants (outsiders) are due to the insufficient understanding of the meaning of the symbols. Key words: Dayak, Jangkang, adat, simbol, mitos, manusia.
Artikel ini akan diawali dengan paparan tentang kondisi umum dan locus studiorum Dayak Jangkang. Pemaparan tentang dua hal tersebut menjadi penting, karena selain memberikan latar dan konteks, juga bermanfaat di dalam melokalisir permasalahan, sehingga pembahasan menjadi lebih fokus, terarah dan tidak melebar. Sementara itu, tali temali dan kondisi umum Kalimantan Raya beserta konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik juga 1 R. Masri Sareb Putra adalah dosen pada Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta
227
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
tidak terlepas dari pokok bahasan. Tidak mungkin untuk melepaskan Dayak Jangkang dari koloni Dayak Kalimantan Raya karena merupakan bagian utuh dari padanya. Di pihak lain, Dayak Jangkang pun dapat dilihat sebagai sebuah entitas tersendiri, dengan segala anasir yang dimunculkannya dalam segala bentuk, baik yang kasat mata maupun yang tidak seperti nyata dalam adat, budaya, sistem sosial, politik, keagamaan, dan sebagainya. Gambar 1 memperlihatkan locus studiorum (lokasi penelitian) Dayak Jangkang dalam konfigurasi pulau Kalimantan dan wilayah NKRI. Gambar 1. Locus studiorum (lokasi penelitian) Dayak Jangkang dalam konfigurasi pulau Kalimantan dan wilayah NKRI.
Fenomena yang menjadi rangkaian sejarah Dayak Jangkang seperti dipaparkan di atas akan direkonstruksi dengan menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes. Elemen-elemen semiologi menurut Barthes (1964) terdiri atas bahasa dan wacana, signified dan signifier, syntagm and sistem, dan konotasi dan denotasi, sebagaimana kutipan berikut: "Denotation is the descriptive and literal level of meaning shared by most of members within a culture; connotation, on the other hand, is the meaning
228
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
generated by connecting signifiers to the wider cultural concerns, such as the beliefs, attitudes, frameworks and ideologies of a social formation." Alasan menggunakan teori semiotika karena teori ini selain dapat menjelaskan signified dan signifier yang sangat esesial dalam komunikasi antaretnis Dayak Jangkang, juga semiotika Barthes dapat dipakai untuk menjelaskan mitologi. Menurut Barthes (Barthes, 1972:109), mitos ialah a system of communication, that it is a message cannot be possibly be an object, a concept, or an idea; it is a mode of signification, a form. Menurut Barthes, mitos ialah a second-order semiological system. That which is a sign in the first system (namely the associative total of a concept and an image) becomes a mere signifier in the second (Barthes, 1972:114). Barthes mendefinisikan tanda sebagai first-order system, or language, as the languageobject sementara mitos disebutnya sebagai metabahasa {metalanguage). Dasar teori semiotika ini seluruhnya dari buku Barthes berjudul Mythologies (1972). METODE PENELITIAN
Untuk memahami budaya dan adat istiadat lokal, diperlukan pemahaman dan penafsiran yang benar, bukan hanya sebatas apa yang kasat mata, namun juga melihat simbol-simbol dan makna (konotatif) yang ada di baliknya. Dengan demikian, pemahaman akan etnis Dayak menjadi semakin utuh dan menyeluruh, tidak sebatas stereotip yang mungkin saja salah, dan memang kerap keliru. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat banyak teori semiotika yang pada umumnya mencoba menjelaskan simbol dan maknanya. Penulis memilih semiotika Barthes karena dapat menjelaskan simbol-simbol untuk memahami Dayak Jangkang. Barthes
229
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
dipengaruhi oleh dua pakar strukturalis yakni Saussure dan LéviStrauss. Model semiotika Barthes dapat digambarkan dalam tiga tabel yang berikut ini. Tabel 1. Model Barthes Language 1. signifier 2.signified 3. sign MYTH SIGNIFIER SIGNIFIED (FORM) (CONCEPT) SIGN (SIGNIFICATION) Tabel 2. Contoh tata bahasa Latin "quia ego nominor leo" (quia ego Language 1. signified 2.(because signifiedmy nominor leo) name is lion) 3.SIGNIFIER sign SIGNIFIED MYTH (FORM) (CONCEPT) (I am a (because my grammatical name is lion) example) SIGN (SIGNIFICATION) Tabel 3. Contoh: fotografi Language 1. signified (photograph of black soldier saluting) 3. sign MYTH SIGNIFIER (FORM) (A black soldier is giving the French salute) SIGN (SIGNIFICATION)
230
2. signified (A black soldier is giving the French salute) SIGNIFIED (CONCEPT) (Great French empire, all hereta^s equal,
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
Dunia akademik terpanggil untuk mengubah dan meluruskan stereotip yang keliru. Hal ini bukan mustahil dilalukan. Salah satu tujuan penulisan artikel ini adalah mengubah stereotif dan membongkar mitos-mitos yang terselubung serta coba menjelaskannya dari sudut pendekatan semiotika Roland Barthes. Sebagaimana diketahui bahwa semiotika secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion, dalam Bahasa Inggris sign, dan dalam Bahasa Indonesia adalah lambang atau simbol. Secara sederhana, semiotik dapat disebut sebagai studi tentang simbolsimbol atau dalam istilah Daniel Chandler "the study of signs" (Chandler, 2004: 2). Akan tetapi, pengertian ini masih menyisakan pertanyaan: Apa yang dimaksudkan dengan lambang? Banyak orang berasumsi bahwa semiotik ialah studi tentang simbol-simbol visual. Padahal, semiotika bukan hanya sebatas simbol visual. Lalu, apakah semiotik itu? Definisi semiotik yang lebih luas diberikan Umberto Eco (Eco, 1976:7) yang menyatakan bahwa: ...semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign Semiotics involves the study not only of what we refer to as "signs" in everyday speech, but of anything which "stands for" something else. In a semiotic sense, signs take the form of words, images, sounds, gestures and objects. Contemporary semioticians study signs not in isolation but as a parts of semiotics "sign-systems" (such as a medium or genre). They study how meanings are made and how reality is represented. Semiotics is concerned with meaning-making and representation in many forms, perharps most obviously in the form of "text" and media. Such term are interpreted very broadly. For the semiotician, a "text" can exist in any medium and may be verbal, non-verbal, or both, despite the logocentric bias of this distinction. The term text usually refers to a message which has been recorded in some way (e.g. writing, audio- and video-recording) so that it is physically independent of its sender or receiver. A text is an assemblage of signs (such as words, images, sounds and/or gestures) constructed (and interpreted) with reference to the conventions associated with a genre and in a particular medium of communication.
231
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
Studi semiotika modern dibangun berdasarkan teori-teori sejumlah ahli bahasa dan filosof yang menjadi terpesona oleh bagaimana manusia memberi makna pada dunia sekitar dengan menciptakan tanda-tanda dan bagaimana tanda-tanda ini berinteraksi satu sama lain untuk membentuk bahasa dan praktik budaya. Bagi ahli semiotika, bidang-bidang penting penyelidikan meliputi hubungan antara tanda dan benda, atau konsep, bagaimana hubungan antara berbagai tanda-tanda (misalnya, bagaimana tanda berhenti dan sebuah tanda batas kecepatan saling berhubungan?); dan hubungan antara tanda-tanda dan orang yang menafsirkan tanda tersebut. Artikel ini dibuat berdasar dari penelitian yang dilakukan penulis pada Maret-Agustus 2010 dengan menggunakan studi pustaka dan dilengkapi dengan studi lapangan HASIL DAN PEMBAHASAN
Semiotika memiliki implikasi luas bagi linguistik karena semua bahasa pada galibnya terdiri atas tanda-tanda (Chandler, 2002). Ketika berbicara atau menulis, sesungguhnya manusia berkomunikasi dengan kata-kata yang merupakan tanda-tanda. Susunan huruf tertentu yang membentuk kata adalah penanda, dan makna kata yang dituliskan atau diucapkan itu adalah apa ditandakan. Jadi, melalui penggunaan tanda, manusia dapat mengekspresikan ide tentang apa saja, misalnya tentang manusia, benda, dan konsep yang tidak hadir secara fisik hanya dengan mengacu benda tersebut melalui kata-kata. Proses penafsiran dan pemaknaan ini merupakan inti dari semua bahasa. Sebagai contoh betapa pentingnya memahami signifier dan signified di kalangan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya, betapa tanda {signifier) membawa celurit dan parang dalam keadaan terhunus (tidak disarungkan) adalah penanda {signified) menantang berkelahi. Dayak Jangkang tidak pernah membawa
232
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
pedang dalam keadaan terhunus, selalu disarungkan, dan diikat pada pinggang menghadap ke depan. Dalam hukum adat istiadat Dayak Jangkang, ada sanksi adat bagi orang yang membawa senjata tajam tanpa disarungkan. Ternyata tanda ini telah keliru ditafsirkan etnis lain. Salah satu pemicu clash antara Dayak-Madura ialah tidak memahami budaya dan simbol lokal seperti ini. Sudah akar permasalahan konflik tidak cupahami, penyelesaiannya pun tidak melalui pendekatan budaya. Di sinilah ilmu semiotika memainkan peranan. Penelitian ini coba merekonstruksi dan menjelaskan semua simbol dan mitologi Dayak Jangkang khususnya dan Dayak Kalimantan Raya pada umumnya. Sebagaimana diketahui bahwa pelopor dan tokoh semiotika banyak sekali. Namun, lima nama yang selalu muncul dalam studistudi semiotika yang masing-masing menawarkan pendekatan, tentu saja, dengan kelebihan dan keterbatasannya di dalam upaya mendekati suatu objek. Mereka adalah Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Roman Osipovich Jakobson, Umberto Eco, dan Roland Barthes. Gambar 2. Diagram alur teori Barthes tentang simbol dan mitologi
Signifier
Signified
SIGN
Sumber: wUdpedia/Daniel Chandler
Dari lima tokoh semiotika yang menonjol tersebut, semiotika ala Roland Barthes agaknya cocok untuk mendekati etnis Dayak Jangkang. Alasan peneliti menggunakan semiotika Barthes adalah karena Barthes meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pendekatan yang lebih baik pada studi-studi ilmu sosial era 1960-an terutama karena metode semiotikanya yang kokoh untuk memahami
233
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
mitologi. Esai-esai Barthes tentang mitologi kemudian mempengaruhi studi-studi kebudayaan, terutama di Inggris ketika itu. Sebagai salah satu peletak dasar semiotika, Barthes merujuk kepada "tanda-tanda" dan melihat tanda-tanda sebagai simbolsimbol budaya dan sebagai blok bangunan penting bahasa dan komunikasi. Seorang semiotisian tidak tertarik pada tanda lalu lintas atau tanda berhenti sebatas hanya bendanya saja. Sebaliknya, ia akan menganalisis bahasa atau proses simbolik melalui oktagon merah yang menjadi simbol universal untuk berhenti di persimpangan dan proses kognitif melalui pengendara yang sampai pada pemahaman simbol universal ini. Dayak Jangkang, sebagai etnis yang menyatu dengan alam dan menjadi ekosistemnya, sarat dengan simbol dan mitos-mitos. Hal ini tampak dari titik permulaan hidup siklus kehidupan etnis ini hingga meninggal yang penuh dengan ritual, sarat dengan simbol dan mitos. Bagi orang luar yang kurang atau tidak memahami simbol dan mitos, yang hingga hari ini masih hidup di kalangan suku ini, akan sulit berinteraksi, apalagi menjalin relasi dengan baik. Banyak pakar menyebutkan bahwa Kalimantan Barat merupakan laboratorium studi etnologi dan cross culture yang sangat kaya. Pernyataan itu tepat sekali, mengingat wilayah ini rawan konflik antaretnis dan dihuni multietnis dari berbagai latar kebudayaan dan strata sosial ekonomi yang berbeda. Ihwal yang penting dicatat, sebenarnya faktor pemicu konflik tidak pernah benar-benar dapat tercerabut dari akarnya manakala akar permasalahan, sumber konflik, serta etnis Dayak sebagai indigenous people tidak dipahami secara benar. Pendekatan hukum saja tidaklah cukup, diperlukan pula pemahaman yang menyeluruh terhadap cara hidup dan cara berada etnis Dayak dengan memahami adat istiadat dan simbol-simbol yang hidup dan diyakini sebagai keniscayaan oleh mereka.
234
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
Di situlah letak kegagalan aparat penegak hukum dan penguasa daerah Kalimantan ketika terjadi konflik antarsuku. Hampir selalu pendekatan hukum yang dilakukan, bukan pendekatan budaya, dan pendekatan budaya -sarat dengan simbol dan lambang-lambang. Contoh paling jelas ihwal simbol dan lambang-lambang ini dapat dilihat dari simbol manusia di kalangan Dayak Jangkang. Dalam bahasa Dayak Jangkang, manusia disebut sebagai ntoyant. Dalam semiotik, ucapan "ntoyant" adalah signifier, signifier ini lantas menjadi signified, sebab apabila ditelusuri makna konotatif di balik simbol ini, maka ntoyant dibentuk dari kata ntok yang berarti otak dan yant yang berarti berkata. Jadi, ntoyant sebagai signifier menyimbolkan bahwa manusia, menurut konsep Dayak Jangkang, adalah otak yang dapat berbicara atau otak yang hidup. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk hidup dan otak merupakan pusat dari kehidupan. Manusia adalah makhluk hidup yang segala perilaku dan tindak tanduknya berporos pada otak. Bagi Dayak Jangkang, selain otak, darah juga menjadi simbol kehidupan. Simbol ini terkait fakta bahwa sebagian besar tubuh manusia terdiri atas darah. Pertumpahan darah, yang dapat memicu dan mengakibatkan kematian batang otak, sangat ditabukan. Jika darah keluar, sengaja atau tidak, orang yang menyebabkannya keluar akan dikenai adat "pertumpahan darah". Darah adalah signifier, sedangkan kehidupan adalah signified-nya. Apabila simbol tentang manusia diterangkan lebih jauh maka konsep manusia di kalangan Dayak Jangkang sama esensinya dengan definisi dalam dunia kedokteran. Dunia kedokteran mendefinisikan bahwa kehidupan manusia berpusat pada batang otak. Dengan demikian, tidak berfungsinya otak sama saja dengan kematian manusia itu sendiri. Manusia yang tidak menggunakan otaknya, maka sudah kehilangan esensinya sebagai manusia. Ini sepadan dengan definisi manusia dalam dunia filsafat bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi (animai rationale). Manusia (ruh dan organ tubuhnya) secara gamblang dapat dilihat dari Hukum Adat Dayak Kecamatan Jangkang, Bab 27
235
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
tentang Pengganti Alat Tubuh Manusia yang secara terperinci menunjuk signifier dan signified ditunjukkan dalam tabel 4 berikut ini. NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
236
Tabel 4. Signifier dan Signified dalam Hukum adat Dayak Kecamatan Jangkang SIGNIFIER SIGNIFIED NILAI ORGAN Tuak pati: 1 buah tajau Darah Rp. 1.100.000,00 isi 60 liter Rambut 1 lusin benang hitam Rp. 18.000,00 1 buah bokor tembaga Tempurung kepala Rp. 400.000,00 2 buah lotos Biji mata Rp. 150.000,00 2 buah par tembaga Daun telinga Rp. 1.000.000,00 2 batang pipa besi Lubang hidung Rp. 60.000„00 1 buah oncoi tembaga Batang hidung Rp. 350.000,00 1 buah pipa tembaga Mulut Rp. 500.000,00 4 persegi panjang 7 buah beliung/kampak Gigi Rp. 105.000,00 1 buah gong cap naga Suara Rp 3 .000.000,00 1 kayu kain putih Kulit Rp. 80.000,00 1 karung tepung terigu Otak Rp. 67.000,00 1 batang besi parang Tulang punggung Rp. 10.000,00 1 batang besi parang Tulang ru suk Rp. 10.000,00 1 batang besi parang Tulang pinggang Rp. 10.000,00 2 batang besi parang Tulang tangan Rp. 20.000,00 1 batang besi parang Tulang paha Rp. 10.000,00 2 buah pipa tembaga bulat Tulang lutut Rp. 400.000,00 1 batang besi bulat Tulang betis Rp. 70.000,00 2 buah serampang besi Jari tangan Rp. 20.000,00 2 buah serampang besi Jari kaki Rp. 20.000,00 20 buah skop/cangkul Kuku Rp. 700.000,00 2 buah talam tembaga Telapak tangan Rp. 600.000,00 1 pasang sandal kulit Telapak kaki Rp. 65.000,00 2 buah gima putih Pergelangan tangan Rp. 200.000,00 10 kg kawat Urat-urat Rp. 35.000,00 1 buah lila (meriam) Kemaluan Rp. 3 .000.000,00 2 pasang giring-giring Biji kemaluan Rp. 1 .000.000,00 1 buah tajau hijau cap naga Kerangka badan Rp. 3 .000.000,00
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
Jumlah nilai uang pengganti alat tubuh manusia adalah Rp 16.000.000,00 (enam belas juta rupiah). Tentu saja, nilai ini masih merupakan simbol. Makna simbol Rp 16.000.000,00 bagi Dayak Jangkang adalah angka yang tinggi, tidak terbatas. Jadi, bukan berarti itu nilai yang sepadan dengan harga manusia atau jika mempunyai uang sebanyak itu boleh menebus nyawa seseorang. Simbol tersebut sama sekali tidak bermakna seperti itu, karena dalam praktiknya, sulit menemukan barang-barang yang menjadi simbol organ dan nyawa manusia. Hubungan antara tanda, penanda, apa yang ditandakan dengan bahasa dan mitologi Dayak Jangkang ternyata memiliki hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan, dan memang harus dimengerti dalam konteks. Misalnya, kata "Ponompa" (penempa, penjadi, pencipta) adalah bahasa yang menunjuk pada petanda dan apa yang ditandakan. Simbol ini muncul dalam mitologi -suatu korelasi positif sebagaimana yang dilukiskan dalam diagram alur Roland Barthes. Contoh mitos yang lain mengenai asal-usul Dayak Jangkang setelah diserang "musuh gelap" di poya tona Tampun Juah; asal usul Bukit Ponongu; asal usul dan filosofi ngayau; mengapa perlu mengadakan tolak bala; memasang pontok urangk pada kiri kanan jalan sebelum masuk kampung; asal usul upacara dan festival; larangan untuk tidak merusak hutan, hingga legenda mengapa makhluk hidup tidak boleh dihinakan; semua itu dapat dijelaskan dengan pendekatan semiotika. Menarik mengangkat pontok urangk sebagai kajian semiotika. Pontok berarti pantak atau patung dari kayu dan urangk adalah orang merupakan petanda bahwa kampung itu dijaga agar hantuhantu dan segala yang jahat terhadang sebelum masuk kampung. Kayu yang digunakan hanya boleh menggunakan kayu molali. Mitos tentang pontok urangk terkait dengan mitos pertemuan Bujangk Tobalangk yang tengah memancing menjelang malam di Lubuk Aji, Sungai Sedua dengan hantu-hantu yang mengayuh perahu ke hulu hendak membinasakan dukun sekaligus kepala
237
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
kampung yang sombong bernama Belian Tujuh. Ketika Bujangk Tobalangk memancing, hantu-hantu yang berperahu ke hulu sungai Sedua bertemu Bujangk Tobalangk. Ketika ditanya oleh Bujangk Tobalangk, hantu-hantu tersebut mengatakan akan membinasakan Belian Tujuh dan segenap anak buahnya yang bermukim di hulu, tepi kanan sungai Sedua. Sementara Bujangk Tobalangk tidak diganggu, sebab hantu-hantu mengatakan mereka takut pada pontok urangk jika dipasang menghadap keluar kampung dan itu akan menghadang mereka sebelum bisa merangsek masuk untuk menyerang. Oleh karena itu, setiap keluarga harus membuat pontok urangk sesuai dengan jumlah jiwa. Jika kurang maka salah satu atau yang kurang itu menjadi tumbal. Dengan demikian, simbol-simbol sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa bagi Dayak Jangkang manusia tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, semiotika ala Barthes sangat tepat untuk mendekati dan menjelaskan cara berada dan cara hidup Dayak Jangkang karena selain dapat menjelaskan makna simbol, juga sanggup membongkar dan menjelaskan makna konotatif di balik mitologi. Simbol dan mitologi tersebut hingga hari ini masih hidup dan melekat kuat di kalangan Dayak Jangkang. Pemahaman akan simbol dan mitologi etnis ini dapat memberikan sumbangsih praktis maupun teoretis di dalam memahami dan berinteraksi dengan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya—ihwal yang selama ini senantiasa luput dari bahasan dan pendekatan para antropolog dan peneliti sebelumnya. PENUTUP
Dayak Jangkang haruslah dipahami dalam konteks kebudayaan lokal sekaligus dalam ranah Dayak Kalimantan Raya secara keseluruhan. Karena Dayak Jangkang merupakan bagian dari Dayak secara keseluruhan di mana terdapat ciri umum sebagai komunal namun sekaligus juga mempunyai identitas sendiri dilihat dari dialek dan tempat tinggal.
238
R. Masri Sareb Putra, Memahami Makna Simbol..
Nilai-nilai lokal dan komunal demikian kuat berakar sehingga membentuk identitas bukan saja dari segi bahasa (Djo) melainkan membentuk cara berada (modus essendi) dan cara hidup (modus vivendi) komunitas itu sendiri. Karena sifatnya yang khas maka banyak aspek kehidupan hanya dimengerti oleh komunitas itu sendiri. Sementara orang luar harus dapat menafsirkan dan memaknai simbol-simbol di kalangan Daya Jangkang jika ingin berkomunikasi efektif dan memahami mereka. Manusia, menurut Dayak Jangkang, terdiri atas 29 organ penting. Ke-29 organ itu mempunyai fungsi, sehingga mempunyai nilai tersendiri. Namun, di antara sekian banyak fungsi tersebut maka otak ialah organ paling penting. Kematian manusia, menurut Dayak Jangkang, ditandai dengan kematian batang otak. Setelah otak maka darah merupakan organ penting. Oleh karena itu, pertumpahan darah sangat ditabukan. Jika Dayak Jangkang organ-organnya dirusak baik sengaja maupun tidak sengaja maka akan dikenai adat sesuai dengan nilai yang ditetapkan. Penghilangan nyawa atau pembunuhan di kalangan Dayak Jangkang, baik sengaja maupun tidak sengaja, tidak cukup diselesaikan hanya dengan hukum positif. Hukum adat sangat penting untuk menyelesaikannya. Inilah yang tidak dipahami aparat atau pihak luar sehingga konflik antaretnis di Kalbar, yang juga melibatkan Dayak Jangkang, tidak pernah benar-benar menyentuh akar permasalahan. Karena sarat dengan simbol, pendekatan budaya sangat penting dilakukan manakala berkomunikasi dengan Dayak Jangkang dan Dayak pada umumnya. Simbol-simbol dan mitos-mitos tersebut hingga kini masih hidup di kalangan Dayak Jangkang. Simbolsimbol dan mitos-mitos tersebut harus dimengerti dan diberi makna agar dapat memahami dan berkomunikasi dengan Dayak Jangkang dengan baik.
239
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 7, NOMOR 2, Desember 2010: 227-240
DAFTAR PUSTAKA Barthes, R. 1972. Mythologies. A. Lavers (trans.), New York: Hill and Wang. (Orig. 1957) Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: The Basics. London: Routledge Hukum Adat Dayak, Kecamatan Jangkang
240
Jurnal ILMU KOMUNIKASI ISSN 1829 -6564 Volume 7, Nomor 2, Desember 2010 Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan pemikiran konseptual di bidang komunikasi Ketua Penyunting F. Anita Herawati, M.Si. Wakil Ketua Penyunting D. Danarka Sasangka, MCMS Penyunting Ahli Prof. André A. Hardjana, Ph.D. (Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta) Dedy Nur Hidayat, Ph.D. (Universitas Indonesia, Jakarta) Pawito, Ph.D. (Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Dr. Turnomo Rahardjo (Universitas Diponegoro, Semarang) Penyunting Pelaksana Drs. Josep J. Darmawan, MA A. Vita Noor P. Astuti, S. Pd., M.Hum Pelaksana Tata Usaha Artati Sukarnasari Y. Suwito Mulyatno Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurnal Ilmu Komunikasi, d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 487711 ext 4130, Fax. (0274) 487748, Email:
[email protected] Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan sejak Juni 2004 oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Penerbit menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media lain. Tulisan dikirim dalam bentuk softcopy dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalam belakang. Naskah yang masuk akan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.