Diterbitkan Oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) SME Tower Lt. 8 Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 94 Jakarta 12780 Indonesia Communication Center 021. 7167 3000 Telp. 021. 799 1025 (hunting), Fax. 021. 799 6033 / 799 1125 www.lkpp.go.id Pelindung Agus Raharjo Redaktur Ahli Eiko Whismulyadi, Himawan Adinegoro, Ikak G Patriastomo, Agus Prabowo, Pemimpin Umum Dharma Nursani Pemimpin Redaksi R Adha Pamekas Redaksi Suharti, Ratna Ayu Maruti, Mustika Rosalina, Gigih Pribadi, Himawan Giri Dahlan, R Ari Widianto
Redaksi menerima artikel/essay yang relevan dengan Dunia Pengadaan. Untuk petunjuk penulisan dapat dilihat di halaman 118-Panduan Penulisan
Kirimkan ke:
[email protected].
DAFTAR ISI
1-11
Kajian Pengadaan Alutsista dan Almatsus Direktorat Kebijakan Pengadaan Khusus dan Pertahanan Keamanan - LKPP
13-48
Sustainable Public Procurement Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional LKPP
51-70
Teori Kontrak Dan Implikasinya Terhadap Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Robin A. Suryo & Agita M. Ulfa
73-81
Manajemen Pengadaan Publik Togar M. Simatupang & Fanny Kartika
83-92
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis Dokumen Pada Pengadaan Barang dan Jasa Fadjar Prajitno
95-108
Sebuah Peta Jalan Profesionalisasi Pengadaan di Indonesia Erlangga Atmadja
111-115
Para Penulis
118-121
Panduan untuk Penulis
122-131
Indeks
PENGANTAR REDAKSI
Dari Redaksi
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Pengantar Redaksi
Data yang dirilis oleh Indonesia Procurement Watch (IPW) menunjukkan bahwa 70% kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyimpangan pengadaan barang dan jasa. Kontrak-kontrak yang diberikan oleh pemerintah di dalam proses pengadaan menjadi lahan subur praktek “kongkalikong” yang kolutif. Padahal, jumlah uang negara yang dikelola melalui proses pengadaan pada tahun 2014 diperkirakan sekitar Rp 600 triliun (APBN) dan Rp 320 triliun (APBD). Selain itu, menurut catatan IPW, setiap tahunnya ada sekitar 400 ribu paket pekerjaan di 560 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Paket pekerjaan ini belum termasuk paket yang ada di BUMN dan BUMD yang nilainya juga tak sedikit, dan sudah seharusnya dikelola secara profesional. Namun, berdasarkan analisis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada tahun 2010 telah terjadi inefisiensi sekitar Rp 110 triliun dari proses pengadaan barang/ jasa pemerintah. Salah satu jadi sebabnya adalah belum terbentuknya kompetensi dan kapasitas para pelaku proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang profesional. Padahal, mengingat beban yang sedemikian
besar tentu dibutuhkan effort yang besar dan kualitas pejabat pengelola pengadaan yang mumpuni. Peraturan Presiden RI No.106/2007 memandatkan LKPP sebagai instansi terkait yang mengatur pengadaan pemerintah untuk bertanggung jawab dan proaktif dalam proses profesionalisasi tenaga ahli pengadaan barang dan jasa pemerintah. Proses profesionalisasi pejabat pengadaan pemerintah pusat dan daerah dengan standar kompetensi dan jalur pengembangan karir fungsional yang jelas adalah elemen penting dalam proses reformasi pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menghasilkan sistem yang kredibel dan menyejahterakan. Proses profesionalisasi adalah proses dimana sebuah praktek/bidang keahlian dikembangkan untuk diakui secara luas dan menjadi terstandarisasi diperlukan agar insan pengadaan dapat dihargai, diakui, dan dapat memperoleh pelatihan yang menjadikan mereka mumpuni di bidangnya sesuai dengan tingkatan standar kompetensi yang diharapkan. Isu profesionalisasi tenaga ahli pengadaan inilah yang diangkat oleh Erlangga Atmadja
i
ii JURNAL PENGADAAN
lewat tulisan berjudul “Sebuah Peta Jalan Profesionalisasi Pengadaan di Indonesia” dalam Jurnal Pengadaan edisi ini. Dalam tulisannya, Erlangga mencoba melakukan pendekatan “profesionalisme” ini dari best practices pengadaan barang dan jasa di industri minyak dan gas bumi (migas) yang menurutnya telah memiliki sejarah profesionalisasi selama 60 tahun, sehingga dipandang memiliki kekayaan basis pengetahuan yang luas dan relevan untuk kepentingan pengembangan profesi ahi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia. Menurutnya, industri migas dipilih sebagai tolak ukur karena posisi strategis pengadaan dan pengelolaan rantai pasok dalam proses bisnis industri migas serta perannya sebagai pemimpin best practices dalam pengadaan dan pengelolaan rantai pasok di Indonesia terutama di bidang pengembangan karier ahli pengadaan. Selain Erlangga, ada Robin A. Suryo dan Agita M. Ulfa yang mengangkat persoalan “Teori Kontrak dan Implikasinya terhadap Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”. Menurut mereka, kontrak pengadaan yang optimal (yang memaksimalkan net benefit para pihak) seringkali tidak dapat diwujudkan. Penyesuaian atau adaptasi kontrak yang seharusnya dapat memaksimalkan net benefit para pihak pada umumnya justru
menimbulkan permasalahan atau sengketa kontrak antara pembeli (pemerintah) dan penyedia. Kesulitan para pihak mewujudkan kontrak yang optimal disebabkan oleh moral hazard karena adanya informasi asimetris serta ketidakmampuan para pihak untuk menuangkan seluruh ketentuan dalam kontrak akibat dari bounded rationality. Kontrak pengadaan yang optimal membutuhkan skema dan mekanisme adaptasi kontrak yang memberikan insentif bagi para pihak untuk memaksimalkan net benefit sekaligus meminimalkan perilaku yang oportunistik dan eksploitatif. Pada kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ketidaklengkapan kontrak tidak hanya disebabkan oleh bounded rationality dari para pihak dan institusi pengadilan, tetapi juga ketidaklengkapan regulasi yang dibuat oleh regulator Artinya, bounded rationality juga dihadapi oleh regulator pengadaan. Mengingat regulasi pengadaan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi skema dan mekanisme adaptasi kontrak yang optimal, Robin dan Agita menawarkan perlunya kajian yang lebih mendalam terkait hal tersebut, sehingga dapat meberi tuntunan dalam menyusun ketentuan yang dapat dijadikan pedoman untuk menghasilkan kontrak pengadaan yang optimal. Selain itu, pemahaman secara teoretis terkait dengan
Dari Redaksi
ekonomi kontrak perlu dilengkapi dengan kajian empiris untuk mempelajari bagaimana konsep yang ada dalam teori kontrak diimplementasikan di lapangan yang tentu jauh lebih kompleks daripada teori. Dalam Jurnal Pengadaan kali ini, Direktorat Kebijakan Pengadaan Khusus Dan Pertahanan Keamanan (Hankam) LKPP menyajikan kajian menariknya terkait Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan Alat Material Khusus (Almatsus). Kajian yang menerapkan metode gabungan antara kualitatif dan kuantitatif ini bersifat policy research, yaitu kajian yang ditujukan untuk menghasilkan masukan bagi penyusunan kebijakan terkait pengadaan alutsista dan almatsus. Kajian ini berupaya menggali permasalahan pengadaan alutsisa dan almatsus, yang selanjutnya dapat menjadi dasar dalam pembuatan pedoman serta kebijakan dalam pengadaan penyusunan kebijakan pengadaaan alutsista dan alat almatsus bagi LKPP yang sesuai dengan peraturan dan kondisi yang berlaku. Kasus pemalsuan surat dukungan dalam pengadaan alat kesehatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah coba diangkat oleh Fadjar Prajitno dengan tajuk “Pentingnya Konfirmasi dan Analisis Dokumen pada Pengadaan Barang dan Jasa”. Menurut Fadjar, terkadang panitia pengadaan barang dan jasa tidak menganalisis dokumen
November 2013/Vol. 3 - No. 3
penawaran yang diserahkan peserta pengadaan dan mengabaikan konfirmasi kepada pihak terkait atas keabsahan dokumen yang diserahkan peserta pengadaan kepada mereka. Hal ini tanpa disadari mengabaikan pula risiko adanya penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dengan melakukan analisis dokumen dan konfirmasi kepada pihak terkait, sebagian risiko penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa dapat dideteksi atau diantisipasi lebih dini agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar. Banyak cara untuk membuat pengadaan lebih memiliki makna terhadap masyarakat, salah satunya adalah melalui “Pengadaan Publik Berkelanjutan” yang coba dikaji oleh Togar M. Simatupang dan Fanny Kartika. Menurut mereka, di Indonesia saat ini pengadaan barang dan jasa publik saat ini sering dipandang sebagai salah satu fungsi dalam penyerapan anggaran saja. Pengadaan menjadi tergantung pada ketersediaan anggaran dan selesai bilamana anggaran sudah terserap. Penilaian sering hanya didasarkan pada percepatan penyerapan dana anggaran, sehingga pelaksanaan anggaran lebih mengutamakan jumlah realisasi ketimbang pemilihan jenis barang dan jasa yang sesuai kebutuhan, tanpa mempertimbangkan apakah barang dan jasa yang tersebut bermanfaat dalam menunjang kinerja instansi.
iii
iv JURNAL PENGADAAN
Akibatnya, jumlah barang dan jasa yang tidak begitu penting bisa jadi berlebih, sementara barang lainnya yang sangat dibutuhkan tidak tersedia dengan cukup. Permasalahan seperti ini seharusnya tak perlu terjadi, jika sejak awal proses pengadaan telah mempertimbangkan konsep pengadaan publik berkelanjutan. Melalui perspektif manajemen rantai pasok, Togar dan Fanny melihat bahwa denngan pengadaan publik berkelanjutan ini dapat memberikan dampak yang lebih luas kepada masyarakat. Subdirektorat Iklim Usaha Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional LKPP melakukan kajian terkait “Sustainable Public Procurement”. Tujuannya, menjadikan pengadaan publik berkelanjutan menjadi alat yang memungkinkan bagi pemerintah
untuk meningkatkan belanja publik dalam rangka untuk meningkatkan kebijakan sosial, lingkungan dan ekonomi negara. Selain itu juga memberikan kontribusi untuk menciptakan pasar untuk teknologi tepat guna dan solusi inovatif serta untuk mengetahui hambatanhambatan yang dihadapi para stakeholder dalam mengimplementasikan konsep pengadaan yang berwawasan lingkungan sesuai dengan Perpres 54/2010. Itulah beberapa sajian Jurnal Pengadaan kali ini. Redaksi mengucapkan terima kasih atas kontribusi para penulis yang telah berbagi pemikiran dan analisa di edisi ini. Untuk pembaca sekalian, kritik, saran, dan masukan Anda selalu kami nantikan. Selamat membaca, dan Salam Pengadaan!
Redaksi
KAJIAN PENGADAAN ALAT UTAMA SISTEM SENJATA (ALUTSISTA) DAN ALAT MATERIAL KHUSUS (ALMATSUS)
KAJIAN PENGADAAN ALAT UTAMA SISTEM SENJATA (ALUTSISTA) DAN ALAT MATERIAL KHUSUS (ALMATSUS) Abstrak Upaya modernisasi alutsista dan almatsus demi meningkatkan kapabilitas pertahanan dan keamanan tercantum sebagai salah satu prioritas pertahanan dalam RPJM 2010. Pada tahun yang sama, melalui Perpres No. 42 Tahun 2010 Pemerintah Republik Indonesia juga berkomitmen pada pengembangan industri pertahanan dalam negeri demi terwujudnya cita-cita kemandirian pertahanan dan keamanan. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan formulasi kebijakan dan regulasi yang dapat memberikan fondasi bagi proses pengadaan alutsista dan almatsus sehingga mampu mensinergikan
Direktorat Kebijakan Pengadaan Khusus dan Pertahanan Keamanan (HANKAM) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)
kebutuhan modernisasi persenjataan dengan upaya pembangunan industri pertahanan nasional.
Terkait dengan permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan alutsista dan almatsus, hasil kajian mengemukakan kurangnya koordinasi dan komunikasi, tidak hanya antar stakeholder, tetapi juga antar personil dalam stakeholder tersebut. Dengan menggunakan pendekatan akuisisi pertahanan dan model CADMID, pemetaan terhadap kurangnya koordinasi menyebabkan adanya kesenjangan antar tahapan pengadaan seperti dalam perencanaan kebutuhan, skema litbang, proses pengadaan dan produksi, pemakaian produk, serta ketiadaan kebijakan purna-pakai. Demi menyasar masalahmasalah tersebut, hal yang utamanya harus dilakukan adalah mengoptimalkan peran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang berperan dalam mengatur sinergi vertikal dan horizontal antara pemerintah sebagai regulator, industri sebagai provider, serta TNI-Polri sebagai user. Koordinasi antara upaya modernisasi alutsista dan almatsus serta pembangunan industri pertahanan kemudian dapat dilaksanakan melalui pengadaan yang mempertimbangkan aspek-aspek pemenuhan kebutuhan TNI/Polri, kemandirian industri pertahanan nasional, serta kemampuan penyelenggaraan pembiayaan serta realisasi anggaran negara.
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
1. LATAR BELAKANG erdasarkan sasaran pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014, kebijakan dalam bidang pertahanan dan keamanan utamanya diarahkan pada upaya untuk memodernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) dan alat material khusus (almatsus). Khusus bagi upaya modernisasi alutsista bagi angkatan bersenjata, sasaran pembangunan juga diarahkan pada peningkatan kemampuan pertahanan menuju Minimum Essential Force (MEF). Upaya modernisasi serta pencapaian standar MEF ini tidak hanya sangat penting bagi upaya meningkatkan profesionalitas dalam mengantisipasi perkembangan ancaman bagi pertahanan negara, namun juga berdampak besar bagi kewibawaan dan kehormatan Bangsa Indonesia.
B
Dalam prosesnya, upaya modernisasi alutsista dan almatsus memiliki agenda lebih dari sekedar pengadaan sistem baru untuk menggantikan alat-alat yang sudah tidak layak digunakan. Peremajaan alutsista dan almatsus ini harus berada dalam koridor transparansi dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan yang baik (GCG), peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan itu sendiri, serta dapat bersinergi dengan upaya pengembangan industri pertahanan nasional demi cita-cita kemandirian. Sebagai bentuk komitmen terhadap hal tersebut, pemerintah melahirkan dua produk yang secara beriringan
November 2013/Vol. 3 - No. 3
ditujukan untuk menyinergikan upaya peningkatan pertahanan dan keamanan serta pengembangan industri pertahanan nasional. Pertama, komitmen pada pengembangan industri pertahanan dilaksanakan dengan dikeluarkannya Perpres No. 42 Tahun 2010 yang mendasari didirikannya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang utamanya mengatur mengenai sinergi vertikal dan horizontal antara pemerintah sebagai regulator, industri sebagai provider, serta TNI-Polri sebagai user. Kedua, demi adanya proses modernisasi alutsista dan almatsus yang efektif dan efisien, diterbitkanlah Perpres No. 54 tahun 2010 pada tanggal 6 Agustus 2010 yang mengatur kekhususan bagi pengadaan dan pembiayaan pengadaan alutsista bagi TNI dan almatsus bagi Polri dengan pemberian prioritas pada industri strategis nasional. Secara khusus, pedoman dan tata cara pengadaan alutsista dan almatsus ini masing-masing diserahkan pada Menteri Pertahanan (dengan masukan dari Panglima TNI) dan Kapolri melalui konsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Oleh karena itu, dalam pengadaan alutsista dan almatsus posisi LKPP menjadi sentral untuk memberikan konsultasi kepada Menhan dan Kapolri mengenai penyusunan pedoman dan tata cara pengadaan alutsista dan almatsus yang sederhana, jelas, dan komprehensif.
1
2 JURNAL PENGADAAN
2. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari kegiatan ini adalah mengetahui permasalahan pengadaan alutsista dan almatsus, yang selanjutnya dapat menjadi dasar dalam pembuatan pedoman serta kebijakan dalam pengadaan penyusunan kebijakan pengadaaan alutsista dan alat almatsus bagi LKPP yang sesuai dengan peraturan dan kondisi yang berlaku. Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk memberikan pedoman dan rekomendasi yang sederhana, jelas dan komprehensif kepada Menteri Pertahanan dan Kepala Polisi Republik Indonesia dalam penyusunan kebijakan pengadaaan alutsista dan almatsus. Kebijakan ini menjadi esensial demi peningkatan pertahanan negara dan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibnas) sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang seirama dengan upaya pengembangan industri strategis nasional. 3. METODOLOGI Kajian ini menerapkan metode gabungan antara kualitatif dan kuantitatif yang bersifat policy research, yaitu kajian yang ditujukan untuk menghasilkan masukan bagi penyusunan kebijakan terkait pengadaan alutsista dan almatsus. Dalam kajian ini metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam proses pengadaaan alutsista dan
almatsus. Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan bersamaan untuk menyasar maksud dan tujuan kajian dimana sebagian pertanyaan yang muncul serta data yang diperoleh bersifat non numerikal sehingga tidak dapat diukur dengan angka, seperti hubungan politik antar negara, dan transfer teknologi. Penjelasan kualitatif ini kemudian didukung oleh kuantifikasi terbatas terhadap data yang diperoleh melalui wawancara dan FGD dengan masing-masing stakeholder pengadaan alutsista dan almatsus. Demi memperoleh hasil kajian yang efektif menjawab tujuan dengan komprehensif, kajian ini juga menerapkan jenis penelitian eksploratif, evidence based, deskriptif, analitis, komparatif dan konfirmatori. Penelitian secara eksploratif menjelaskan ide-ide atau hubungan-hubungan yang baru. Hal ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai konsep yang digunakan dalam penelitian. Evidence based berangkat dari kondisi yang berkembang di masyarakat dan pemangku kebijakan, sebagaimana media monitoring yang dilakukan. Melalui tahapan yang deskriptif kajian ini juga menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, situasi, dan variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian berdasarkan apa yang terjadi. Diharapkan
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
melalui penggunaan jenis penelitian deskriptif, pengkaji dapat menyajikan satu gambaran yang terperinci mengenai pengadaan alutsista dan almatsus. Kajian ini juga secara analitis menekankan pada penggalian isu-isu strategis terkait pengadaan alutsista dan almatsus, serta menelaah respon terhadap isu-isu pengadaan alutsista dan almatsus tersebut. Komparasi kemudian dilakukan terhadap contoh praktik pengadaan alutsista dan almatsus yang dilakukan di negara lain. Penelitian yang bersifat konfirmatori selanjutnya dilakukan permasalahan yang ditemukan dalam desk research dengan hasil temuan yang berasal dari FGD. Hasil temuan survey juga dapat membantu analisis secara kuantitatif.
Berdasarkan dari keterangan di atas, kajian mengenai pengadaan alutsista dan almatsus ini menghimpun berbagai data dan informasi dari studi literatur dan konsep, pendekatan pada regulasi dan peraturan yang telah ada, serta desk research yang meliputi aktivitas media monitoring perihal topik kajian. Selanjutnya, diperoleh informasi secara lebih ekstensif melalui wawancana mendalam dan focus group discussion (FGD) yang masing-masing melibatkan stakeholder dalam pengadaan alutsista dan almatsus di Indonesia. Secara umum, kerangka logis kajian pengadaan alutsista dan almatsus ini dapat dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1 Kerangka Logis Kajian Pengadaan Alutsista dan Almatsus
3
4 JURNAL PENGADAAN
4. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS Kajian pengadaan alutsista dan almatsus ini melibatkan berbagai stakeholder terkait demi diperolehnya data dan informasi yang komprehensif. Focus group discussion (FGD) dilaksanakan dengan narasumber dari Kementerian Pertahanan (Kemhan), ketiga matra TNI, Polri, dan industri pertahanan, mencakup PT. PAL, PT. DI, PT. Pindad, PT. LEN, PT. Inti, PT. Dahana, PT. Barata, dan PT. Palindo Marine. Untuk melengkapi informasi mengenai topik kajian maka dilakukan juga FGD dengan pihak akademisi dan jurnalis. FGD dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang tersusun berdasarkan desk research yang telah dilakukan sebelumnya. Pertanyaan yang menjadi pedoman FGD ini mencakup enam topik besar, yaitu kapabilitas pertahanan dan keamanan, masalah penyedia (supplier), substansi perjanjian, prosedur pengadaan, skema pembiayaan, dan poin “lain-lain” yang mencakup penegasan masalah yang dihadapi serta pokok mengenai prinsip-prinsip dan tata nilai dan pengadaan. Berdasarkan hasil FGD tersebut, diperoleh beberapa masalah yang mengemuka. Peningkatan kapabilitas pertahanan dan keamanan melalui pengadaan/modernisasi alutsista dan almatsus terhambat oleh adanya inkoherensi antara kebutuhan operasional yang diminta oleh pengguna dengan spesifikasi
teknis yang dihasilkan oleh produsen. Hal ini berkaitan dengan harapan pihak penyedia dan pengguna akan adanya keterlibatan pihak-pihak yang dapat membantu mengkomunikasikan kepentingan industri pertahanan sebagai produsen, kepentingan pencapaian efektivitas alutsista dan almatsus oleh pengguna, serta kepentingan pemerintah sebagai regulator. Demi memenuhi kepentingan para stakeholder, penting bagi pengguna dan penyedia untuk dapat memahami substansi perjanjian yang tercermin dari kontrak-kontrak yang ditandatangani. Saat ini masalah yang paling mengemuka terkait dengan ketidakselarasan perwujudan kontrak dan realisasi anggaran, multi-interpretasi terhadap substansi perjanjian, serta posisi tawar industri pertahanan dalam negeri yang umumnya diposisikan secara inferior oleh mitra kerjasama luar negerinya. Secara lebih luas, permasalahan dalam prosedur juga menjadi isu yang dibahas dalam FGD kajian ini. Berdasarkan hasil FGD, isu prosedur umumnya lebih banyak dikemukakan oleh pihak pengguna, di mana prosedur dan regulasi yang ada sekarang masih berkiblat pada pengadaan barang umum dan belum memiliki semangat pengadaan alutsista dan almatsus. Sedangkan pihak pengguna umumnya mengemukakan masalah prosedur dan tahapan pengadaan alutsista dan almatsus yang terlalu rumit dan
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
berbiaya tinggi (costly). Prosedur dan regulasi yang ada saat ini juga belum memberikan kejelasan mengenai beberapa hal terkait pengadaan alutsista dan almatsus, seperti mekanisme pemenuhan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), penelitian dan pengembangan dalam teknologi persenjataan, serta offset dalam pengadaan alutsista dan almatsus dari luar negeri. Tidak kalah penting, dalam pengadaan alutsista dan almatsus juga memperhatikan masalah pembiayaan yang utamanya menyoroti proses penganggaran nasional yang bersifat tahunan. Hal ini menghambat penganggaran proyek-proyek pekerjaan alutsista dan almatsus yang umumnya dapat berjalan selama lebih dari satu tahun anggaran. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian perkembangan pekerjaan dengan pembayaran, khususnya yang dananya bersumber dari APBN. Masalah penganggaran juga seringkali mengemukakan keterlambatan pencairan anggaran, sehingga menyebabkan keterlambatan peresmian kontrak serta dimulainya pekerjaan. Oleh karena itu, sisi penyedia mengharapkan dibukanya kesempatan untuk self-financing dengan bantuan PDN. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari berbagai FGD serta desk research yang dilakukan sebelumnya, tahapan
November 2013/Vol. 3 - No. 3
dalam pengadaan alutsista dan almatsus dapat disusun. Proses pengadaan yang saat ini berjalan di Indonesia ini kemudian dibandingkan dengan pendekatan akuisisi pertahanan yang berlaku di Inggris melalui mekanisme CADMID (concept, assessment, demonstration, manufacture, in-service, dan disposal). Dalam literatur konsep akuisisi pertahanan (defence acquisition), keenam tahap ini dianggap sebagai model perencanaan sistem pertahanan yang sudah mempertimbangkan keberlanjutan (sustainability) maupun memberikan kapabilitas terintegrasi yang bersifat “through-life”. Proses pengadaan alutsista dan almatsus di Indonesia dengan penerapan pada pendekatan sistem CADMID dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan pendekatan CADMID, dapat dilihat bahwa rangkaian proses pengadaan pertahanan yang seharusnya berlangsung secara berkelanjutan pada kenyataannya mengalami kesenjangan antar tahapannya (diwakili oleh garis putus-putus vertikal). Hal ini terlihat dari realisasi spesifikasi teknis yang didorong oleh kebutuhan operasional pengguna terhambat oleh komplikasi birokrasi/personil antara Kemhan, TNI, dan Polri sebagai requirement generator dan di saat yang sama berhadapan dengan pengadaan yang mengkompromikan spektek. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan dengan proses pengadaan.
5
6 JURNAL PENGADAAN
Grafik 2. Proses pengadaan alutsista dan almatsus dalam pendekatan CADMID
Kesenjangan pada tahap pengadaan ini menyebabkan perencanaan yang sarat dengan teknologi menjadi tidak in-line dengan proses produksi di tahap manufaktur. Maksudnya adalah, terjadi inkoherensi antara teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna (litbang) dengan kemampuan serta upaya pencapaian teknologi yang disasar oleh industri sebagai pengguna. Dengan kata lain, tidak terjadi kesinambungan dan koordinasi dalam proses litbang. Hal ini juga didukung oleh kekosongan industri pendukung pertahanan yang sebenarnya membenamkan kesempatan pembangunan rantai suplai di ranah domestik.
dengan tahapan operasional di mana alutsista atau almatsus digunakan oleh pengguna. Kesenjangan yang terjadi di tahapan ini juga secara intensif dipicu oleh tahapan-tahapan sebelumnya. Inefektivitas dalam penggunaan alutsista dan almatsus ini didorong oleh ketidaksesuaian antara produk yang sudah dibeli dengan tuntutan operasional yang direncanakan, sehingga menyebabkan menurunnya masa pakai produk, serta meningkatnya kebutuhan anggaran perawatan dan perbaikan yang kemudian mengurangi proporsi anggaran untuk pembaharuan/ penggantian peralatan.
Perlu diperhatikan bahwa kesenjangan antara kemampuan litbang dan kebutuhan pengguna didasari oleh ketidaksepahaman, apakah litbang seharusnya ditarik oleh kebutuhan TNI (demand pull) atau justru dilakukan di industri baru kemudian ditawarkan pada pengguna (supply push).
Pada tahap terakhir, proses pengadaan alutsista dan almatsus di Indonesia justru tidak memiliki kebijakan disposal, yaitu kebijakan purna-pakai yang memberikan panduan penanganan alutsista dan almatsus setelah masa pakainya habis. Dengan tidak adanya kebijakan ini, tingkat pemakaian peralatan (inservice) menjadi tidak dapat diukur sehingga risiko operasional meningkat karena masa pakai alat terus menerus diulur melalui
Selanjutnya, kesenjangan juga terjadi antara tahapan produksi di industri pertahanan
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
perbaikan tanpa adanya batas pemakaian. Secara singkat, berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa melalui gambaran yang lebih besar kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam tiap tahapan pengadaan alutsista dan almatsus ini didasarkan oleh tidak adanya koordinasi antar stakeholder dalam keseluruhan rangkaian pengadaan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. KESIMPULAN Saat ini isu pengadaan alutsista dan almatsus tidak hanya membawa isu teknis pengadaan serta pemenuhan kebutuhan saja. Pembahasan mengenai pengadaan alutsista dan almatsus hampir selalu melibatkan modernisasi kapabilitas pertahanan dan keamanan yang berhadapan dengan upaya pengembangan industri dalam negeri yang bercita-cita kemandirian.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
menyebabkan lubang-lubang kesenjangan yang mengganggu atau menghambat proses pemenuhan kebutuhan TNI dan Polri. Lebih jauh lagi, pengadaan yang dapat mendukung pengembangan industri pertahanan juga membutuhkan koordinasi elemen-elemen dalam pemerintahan, TNI/Polri, lembagalembaga litbang dan universitas, serta industri pertahanan.
5.
Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa proses pengadaan alutsista dan almatsus masih belum dapat berjalan sesuai ketetapan regulasi serta cita-cita kemandirian. Permasalahan dalam proses pengadaan alutsista dan almatsus yang bersinergi dengan pengembangan industri pertahanan terletak pada kurangnya koordinasi dan komunikasi, tidak hanya antar stakeholder, tetapi juga antar personil dalam stakeholder tersebut. Dalam proses pengadaan, kurangnya koordinasi
5.2. REKOMENDASI Demi sistem pengadaan alutsista dan almatsus yang dapat mendukung sinergi antara efektifitas pemenuhan kebutuhan serta pengembangan industri pertahanan maka dibutuhkan koordinasi yang tidak hanya menghubungkan pengguna dan penyedia tetapi juga regulator. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan dalam pengadaan alutsista dan almatsus banyak terkait dengan isu kurangnya koordinasi antar stakeholder serta prosedur pengadaan dan pembiayaan yang dianggap terlalu rumit. 1) Koordinasi stakeholder di bawah KKIP Dengan diterbitkannya UU no. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, KKIP menjadi tempat bertemunya stakeholder terkait pengadaan alutsista dan almatsus, yaitu pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus
7
8 JURNAL PENGADAAN
sebagai penyusun dasar hukum. Dengan peraturan perundangan ini muncul harapan bahwa KKIP dapat memfasilitasi upaya koordinasi dalam pengadaan alutsista dan almatsus yang selaras dengan cita-cita kemandirian melalui pembangunan industri pertahanan. Hal ini berarti keterlibatan para stakeholder sudah terbangun sejak tahap perencanaan kebutuhan dan litbang, pengadaan, penggunaan, hingga tahap purna pakai (disposal). Di samping itu, koordinasi juga penting untuk menyelaraskan kebijakan dalam pengembangan sumber daya, pembangunan industri pendukung, upaya penyehatan industri pertahanan nasional, harmonisasi regulasi, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal di atas maka keterlibatan Kementerian/Lembaga dalam KKIP harus dilaksanakan secara konsisten. Koordinasi akan sulit dilakukan tanpa sharing knowledge dan pemahaman yang seringkali menjadi distorsi, sedangkan keanggotaan KKIP yang langsung dipegang oleh Menterimenteri, Panglima TNI, dan Kapolri diperkirakan tidak akan bisa selalu hadir. Oleh karena itu, personil yang menjadi perwakilan tiap-tiap stakeholder yang duduk di KKIP sebaiknya ditetapkan melalui jabatan tetap (permanen). Hal ini dapat diwujudkan dengan mempersiapkan jabatan baru; memanfaatkan jabatan existing dengan tugas, fungsi, dan peran yang paling serupa; atau menjadikan tugas perwakilan KKIP menjadi
sebagai jabatan ex-officio. Intinya, penetapan perwakilan permanen ini adalah untuk membangun jaringan liaison officers (LO) yang menjembatani K/L terkait dengan KKIP sehingga koordinasi dapat berjalan dengan baik. 2) Mengatur keterlibatan pihak ketiga Sebagai bagian dari upaya membangun koordinasi antar stakeholder pengadaan alutsista dan almatsus, maka perlu juga diupayakan pengaturan pihak ketiga yang terlibat, yaitu agen perusahaan luar negeri. Dengan adanya pengaturan terhadap pihak ketiga berarti para agen ini tidak lagi menjadi pihak “luar” yang aktivitasnya tidak dapat diawasi dan dikendalikan. Pengaturan ini dapat disusun dalam bentuk standar kewenangan atau standar kecakapan sebagai prasyarat untuk menjadi agen pengadaan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kemampuan dan kapabilitas pihak ketiga dalam memenuhi pengadaan, sekaligus mengidentifikasi aktoraktor yang berlaku sebagai agen/broker pengadaan. Secara lebih makro, pengaturan dapat dilakukan melalui prosedur pengadaan dan regulasi terkait. 3) Membangun indikator kemandirian industri pertahanan nasional Koordinasi yang baik juga dapat mendukung akses informasi bagi KKIP untuk membangun sebuah indikator kemandirian industri pertahanan. Indikator ini dibangun
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
dengan melihat proporsi kebutuhan alutsista dan almatsus yang sudah dapat dipenuhi secara domestik sehingga kapabilitas industri pertahanan dapat dikembangkan tanpa mengompromikan spesifikasi alutsista dan almatsus yang dibutuhkan pengguna. Oleh karena itu, dibutuhkan data dan informasi baik dari pihak pengguna dan penyedia yang secara komprehensif dapat menggambarkan kondisi kesenjangan antara kebutuhan dengan kapabilitas industri pertahanan. Pihak pengguna (Kemhan/TNI/Polri) dapat memberikan data dan informasi yang secara riil menggambarkan kondisi kesenjangan kemampuan alutsista/almatsus serta rencana pengadaannya. Kesenjangan alutsista dan almatsus yang dimaksud di sini adalah informasi kemampuan/kapasitas alutsista dan almatsus eksisting dibandingkan dengan kebutuhan jangka panjang dan audit kelaikan yang dilaksanakan oleh masing-masing matra TNI dan satker Polri. Rencana kebutuhan serta pengadaan ini juga sebaiknya mencakup jangka waktu kebutuhan, melalui keterangan bahwa kebutuhan tersebut bersifat darurat, rutin, atau dalam jangka panjang. Dengan kata lain, pengguna menyusun sebuah perencanaan makro (macro planning) dalam pengadaan alutsista/almatsus. Rencana kebutuhan jangka panjang ini penting untuk menyelaraskan pengembangan kapabilitas industri pertahanan sesuai dengan arah kebutuhan pengguna sehingga saat industri
November 2013/Vol. 3 - No. 3
pertahanan belum mampu memenuhi kebutuhan TNI/Polri dalam jangka pendek, mereka mendapat kesempatan untuk mengupayakan pemenuhan tersebut melalui kesempatan litbang. Adanya kesempatan bagi industri pertahanan untuk melakukan litbang dengan kepastian arahan kebutuhan, kapabilitas pertahanan dan keamanan serta pengembangan industri pertahanan dapat dilakukan secara paralel. Selain informasi kebutuhan, dari sisi penyedia dibutuhkan informasi yang benarbenar menggambarkan kapabilitas industri pertahanan untuk dapat memetakan kesenjangan antara kebutuhan pertahanan keamanan dengan kapabilitas industri pertahanan. Hal ini penting demi tujuan pengadaan yang mendukung pengembangan industri pertahanan melalui pengadaan dari dalam negeri untuk produk yang benar-benar telah mampu diproduksi oleh industri pertahanan. Peta kemampuan industri pertahanan juga bermanfaat untuk memperlihatkan kompetensi masing-masing perusahaan dan potensi pengembangan teknologi, sehingga aktivitas litbang secara bertahap dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya, data-data ini juga harus meliputi sejauh mana industri pertahanan memenuhi syarat TKDN dalam produknya.
9
10 JURNAL PENGADAAN
Singkatnya, pembentukan indikator kemandirian dapat dilihat pada Gambar 1.
sudah bisa dipenuhi penyedia dalam negeri tetapi anggaran tidak dapat memenuhi, maka
Gambar 1 Proses pengadaan alutsista dan almatsus dalam pendekatan CADMID
4) Pembiayaan pengadaan alutsista dan almatsus Pengadaan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan sekaligus mengembangkan industri pertahanan sulit untuk terwujud tanpa adanya dukungan anggaran. Dengan adanya perencanaan jangka panjang serta data kapabilitas dan potensi industri pertahanan, maka pada saat anggaran bagi pengadaan terbatas dapat dilakukan penahapan pengadaan (periodisasi). Maksudnya adalah, ketika rencana pengguna mengemukakan kebutuhan alat tertentu yang
pengadaan barang tersebut dapat dilakukan dalam beberapa tahap pengadaan untuk mengurangi beban pada anggaran. Dengan kata lain, penahapan pengadaan dilakukan bukan hanya untuk memberikan kesempatan bagi industri untuk melaksanakan litbang tetapi juga untuk memberikan keleluasaan pembiayaan. Namun, perlu ditekankan juga bahwa penahapan pembiayaan membutuhkan komitmen alokasi anggaran yang tidak hanya direncanakan secara tahunan. Dengan kata lain, penahapan pengadaan juga membutuhkan perencanaan anggaran
Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata...
jangka panjang sehingga proses pemenuhan kebutuhan serta pengembangan litbang industri pertahanan dapat terus berjalan dan tidak terhenti sebelum selesai. Pembiayaan pengadaan alutsista dan almatsus juga harus difokuskan pada tujuan awal alokasi anggaran tersebut. Misalnya pembiayaan melalui Pinjaman Dalam Negeri (PDN) sebaiknya digunakan untuk membiayai pengadaan dari industri dalam negeri.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
11
SUSTAINABLE PUBLIC PROCUREMENT
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
SUSTAINABLE PUBLIC PROCUREMENT
Abstrak Tujuan dari pelaksanaan Sustainable Public Procurement yang diusung oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)
Subdirektorat Iklim Usaha Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
adalah untuk: 1) menjadikan pengadaan publik berkelanjutan menjadi alat yang memungkinkan bagi pemerintah untuk meningkatkan belanja publik dalam rangka untuk meningkatkan kebijakan sosial, lingkungan dan ekonomi negara; 2) memberikan kontribusi untuk menciptakan pasar untuk teknologi tepat guna dan solusi inovatif; 3) penerapan pengadaan yang berkelanjutan diharapkan dapat turut mengurangi dampak kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam proses pengadaan barang dan jasa; 4) mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi para stakeholder dalam upayanya mengimplementasikan konsep pengadaan yang berwawasan lingkungan sesuai dengan Perpres 54/2010. Metode analisa yang digunakan adalah metode kualitatif yang terdiri dari metode deskriptif analitis, analisis isi, dan analisis kebijakan. Pada kegiatan sustainable public procurement ini LKPP membuat kuesioner yang disebar ke LPSE (Lembaga Pengadaan Secara Elektronik) di seluruh Indonesia. Pemilihan LPSE di seluruh Indonesia dilandasi pemahaman bahwa LPSE adalah unit yang melayani sistem pengadaan secara elektronik dan melalui LPSE akses penyebaran kuesioner lebih mudah dan menjangkau seluruh daerah di Indonesia.
13
14 JURNAL PENGADAAN
Hasil dari pelaksanaan penyebaran kuesioner oleh LKPP mengenai pengadaan yang ramah lingkungan dimaksudkan untuk mengetahui: 1) tingkat tersosialisasinya Perpres 54/2010 yang mengandung konsep pengadaan yang berwawasan lingkungan, yaitu melalui pasal 105 ayat (1), (2) dan (3); 2) tingkat pemahaman dan kesiapan para stakeholder untuk implementasi peraturan pengadaan yang berwawasan lingkungan; dan 3) memperoleh banyak informasi dan best practice terkait pengadaan yang berwawasan lingkungan.
Kata kunci: pengadaan yang berkesinambungan, produksi bersih, pengadaan barang dan jasa pemerintah, pengadaan yang berwawasan lingkungan.
Sustainanble Public Procurement
PENDAHULUAN engadaan publik yang ramah lingkungan (green public procurement/ GPP) merupakan suatu prosedur dimana pertimbangan lingkungan diperhitungkan dalam proses pengadaan publik. Green public procurement adalah pengadaan yang lebih cerdas, itu berarti meningkatkan efisiensi pengadaan publik dan pada saat yang sama menggunakan kekuatan pasar masyarakat untuk membawa manfaat bagi lingkungan baik secara lokal maupun global.
P
Banyak negara maju telah menerapkan pengadaan dengan konsep pengadaan yang berkelanjutan, dengan sebagian besar berfokus pada pengadaan publik yang ramah lingkungan. Pendekatan ini diterima secara luas sebagai salah satu alat yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempromosikan produksi produk-produk yang ramah lingkungan. Indonesia sendiri sebenarnya telah melaksanakan konsepkonsep tersebut secara garis besar dalam kebijakan pembangunan nasional. Konsepkonsep dalam meningkatkan produktivitas dan manajemen lingkungan seperti minimalisasi limbah, sistem manajemen yang berbasis lingkungan, eco-labeling, life cycle assessment, dan beberapa hal lainnya. Namun dalam sistem dan pengaturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sudah ada, dalam hal ini Perpres 54/2010 dan perubahannya (Perpres 70/2012) belum
November 2013/Vol. 3 - No. 3
secara jelas menyatakan bahwa dalam pengadaan barang dan jasa diharapkan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan. Prakarsa green procurement dimulai sejak awal tahun 2004, tetapi masih pada tahap “introduction” dan hingga saat ini belum ada aturan yang memberikan ruang besar untuk berkembangnya konsep “green” di Indonesia. Indonesia harus menerapkan pengadaan publik yang ramah lingkungan. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan sangat kuat, yaitu orientasi pada lingkungan masa depan yang lebih baik akan menjamin keberlangsungan alam terutama untuk anak cucu, menangani tujuantujuan kebijakan lokal, penggagas untuk inovasi baru, popular (international best practice), dan yang paling penting adalah pengadaan publik yang berwawasan lingkungan sangat mungkin dilakukan. Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah salah satu katalis terbesar yang dapat menunjang pelaksanaan pengadaan yang berwawasan lingkungan. Untuk itu, dalam melakukan setiap kegiatan yang terkait dengan pengadaan, setiap Pengguna Anggaran (PA) selayaknya melakukan beberapa persiapan yang terkait lingkungan. Salah satu persyaratan yang seharusnya menjadi perhatian pejabat yang bersangkutan adalah green public procurement.
15
16 JURNAL PENGADAAN
Produksi bersih (cleaner production) bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan di seluruh tahapan produksi. Di samping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan produksi. Dengan menerapkan konsep produksi bersih, diharapkan sumberdaya alam dapat lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan (http://ppbn.or.id/site/index.php? modul). Menurut Pusat Produksi Bersih Nasional (PPBN) terdapat prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih dituangkan dalam 5 R (Re-think, Re-use, Reduction, Recovery, and Recycle). Re-think adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki pada saat awal kegiatan akan beroperasi. Implikasi dari re-think adalah perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik pada proses maupun produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis daur hidup produk. Upaya produksi bersih ini tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia usaha.
Re-use atau penggunaan kembali adalah suatu teknologi yang memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika/kimia/biologi. Implikasi dari re-use adalah penggunaan kembali untreated water serta pemakaian kemasan bahan kimia untuk bahan kimia sejenis. Reduction atau pengurangan limbah pada sumbernya adalah teknologi yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya pencemaran di awal produksi. Implikasi dari reduction adalah mengurangi dan meminimalisasi penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari pemakaian bahan baku berbahaya dan beracun serta mereduksi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga mencegah dari atau mengurangi timbulnya masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan serta risikonya terhadap manusia. Recovery adalah teknologi untuk memuliakan suatu bahan/energi dari suatu limbah untuk kemudian dikembalikan kedalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisika/ kimia/biologi. Implikasi recovery adalah merecover khrom pada limbah padat dari industri kulit, me-recover timah hitam dari limbah aki bekas, dan lain sebagainya. Recycling atau daur ulang adalah teknologi
Sustainanble Public Procurement
yang berfungsi untuk memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke proses semula yang dapat dicapai melalui perlakuan fisika/kimia/biologi. Implikasi recycling adalah daur ulang limbah plastik menjadi bijih plastik, daur ulang air proses, energi, dan lainlain. Prinsip-prinsip di atas lebih diarahkan pada pengaturan diri sendiri (self regulation) daripada pengaturan secara command and control. Jadi pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk merubah sikap dan tingkah laku seluruh stakeholders.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
environmental. • Economic factors include the costs of products and services over their entire life cycle, such as: acquisition, maintenance, operations and end-oflife management costs (including waste disposal) in line with good financial management; • Social factors include social justice and equity; safety and security; human rights and employment conditions; • Environmental factors include emissions to air, land and water, climate change, biodiversity, natural resource use and water scarcity over the whole product life cycle.
Pengertian sustainable public procurement yang dipublikasikan oleh UNEP and UNDESA dalam situs UNEP (http://www.unep.fr/scp/ procurement/whatisspp/) adalah sebagai berikut: “Sustainable procurement is a process whereby organisations meet their needs for goods, services, works and utilities in a way that achieves value for money on a whole life basis in terms of generating benefits not only to the organisation, but also to society and the economy, whilst minimising damage to the environment.”
Berdasarkan pengertian tersebut, sustainable public procurement atau pengadaan yang ramah lingkungan adalah suatu proses pemenuhan kebutuhan barang dan jasa KLDI sehingga keseluruhan tahapan proses pengadaan memberikan manfaat tidak hanya untuk KLDI tapi juga untuk masyarakat dan perekonomian dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan. Konsep pengadaan yang ramah lingkungan dapat diterjemahkan dalam dokumen pemilihan berupa persyaratan yang mengarah kepada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sustainable procurement seeks to achieve the appropriate balance between the three pillars of sustainable development i.e. economic, social and
Peraturan pemerintah mengenai pengadaan yang ramah lingkungan telah diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahannya
17
18 JURNAL PENGADAAN
memang masih bersifat introduksi atau pengenalan, namun sejatinya sudah dapat dilaksanakan oleh K/L/D/I. Pasal 105 berbunyi sebagai berikut: (1) Konsep ramah lingkungan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan barang dan jasa K/L/D/I, sehingga keseluruhan tahapan proses pengadaan dapat memberikan manfaat untuk K/L/D/I dan masyarakat serta perekonomian, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan. (2)Konsep pengadaan ramah lingkungan dapat diterapkan dalam dokumen pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidupsesuai dengan karakteristik pekerjaan. (3) Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pengadaan (value for money). Ayat (1) di atas merupakan komitmen bersama bahwa pemahaman konsep ramah lingkungan meliputi tiga pilar besar, yakni masyarakat (sosial), ekonomi, dan lingkungan. Ayat (2) merupakan tindakan nyata yang dapat dilakukan (operasional) oleh pengelola pengadaan dalam menerapkan konsep pada ayat (1). Ayat (3) merupakan ayat yang akan menaungi tindakan nyata dari KLDI pada saat memilih untuk melaksanakan pengadaan yang ramah lingkungan.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang lingkungan hidup dan ramah lingkungan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, atau yang terkait dengan jasa konstruksi salah satunya ada pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan. Pengadaan yang ramah lingkungan, dapat dimulai dengan menerapkan prinsip-prinsip yang mendukung terhadap pelestarian lingkungan hidup sehingga kerusakan lingkungan dapat mulai diminimalisir. Hal ini bisa mulai dengan menggunakan atau mengadakan (pengadaan) barang atau jasa yang memiliki perhatian baik secara langsung atau tidak langsung terhadap pelestarian, perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup. Persyaratan ini dapat dimasukkan dalam dokumen pengadaan dengan memberikan nilai lebih atau “lebih disukai” terhadap peserta lelang atau calon penyedia barang dan jasa yang memberikan perhatian terhadap barang dan jasa yang ramah lingkungan. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan atau secara internasional dikenal dengan sebutan sustainable public procurement
Sustainanble Public Procurement
adalah bagian dari pengejawantahan dari komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk mendorong pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang telah menjadi arus utama (mainstream) pembangunan di negara-negara maju dewasa ini. Upaya bangsa-bangsa di dunia untuk melaksanakan komitmen pengentasan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan melalui reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah sebagai aktor yang mewakili negara dalam penatakelolaan pembangunan seyogianya menjadi pelopor sekaligus sebagai contoh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan global secara sistematis. Pertimbangan lainnya adalah bahwa di banyak negara, terutama negara-negara berkembang, belanja barang dan jasa pemerintah merupakan penggerak utama kegiatan pembangunan sehingga bila belanja pemerintah didasarkan wawasan sosial dan lingkungan maka diyakini akan dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku para pelaku usaha dan penyedia jasa dalam menyikapi permasalahan sosial dan lingkungan yang berarti akan mempercepat proses perbaikan berbagai permasalahan tersebut secara global. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
November 2013/Vol. 3 - No. 3
berkelanjutan tidak sekadar dimaksudkan untuk memberikan beban tambahan kepada para penyedia barang dan jasa untuk ikut memikul beban tanggung jawab mengatasi berbagai permasalahan sosial melainkan bahwa manfaat dari tertanganinya berbagai masalah sosial dan lingkungan secara baik akan sekaligus memberikan jaminan keberlangsungan eksistensi dari penyedia barang dan jasa itu sendiri. Ilustrasinya, bahwa bila kalangan penyedia barang dan jasa tidak mempedulikan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat maka akan tiba masanya permasalahan sosial tersebut akan menjadi bumerang bagi penyedia barang dan jasa itu sendiri yang akan mengancam eksistensinya. Demikian pula bila terjadi kerusakan lingkungan, baik lingkungan hayati maupun non hayati yang sebenarnya merupakan basis utama dari hampir semua industri, bila mereka tidak ikut berkontribusi mengatasinya maka dapat dipastikan industri mereka pada akhirnya akan terancam eksistensinya. Pelibatan para penyedia barang dan jasa pemerintah untuk bersama-sama melaksanakan komitmen mengatasi berbagai permasalahan sosial dan lingkungan tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengganggu perolehan keuntungan yang selama ini
19
20 JURNAL PENGADAAN
menjadi orientasi pelaku usaha tersebut. Keberlanjutan peradaban juga ditentukan oleh karena pihak swasta sebagai profit taker tetap mendapatkan peluang yang demokratis untuk memenuhi hasratnya dengan tambahan misi, yakni secara lebih bertanggung jawab terhadap faktor yang oleh pelaku ekonomi konservatif disebut sebagai faktor non ekonomi, yakni tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah suatu cara mengadakan barang jasa yang mengedepankan pertimbangan kelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial dan kelayakan ekonomis. Meskipun tujuan utama pengadaan barang dan jasa pemerintah sudah baik atau ideal untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih baik, namun tidak akan serta merta dapat diterima atau diadopsi, baik oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas pembelian barang dan jasa maupun oleh kalangan penyedia barang dan jasa. Kendala pertama adalah terutama berkaitan dengan cara pandang atau persepsi masingmasing pihak dalam memaknai istilah pengadaan yang berkelanjutan. Sebagaimana lazimnya, setiap orang atau entitas yang diperhadapkan pada tawaran konsepsi
baru, meskipun itu adalah hal yang baik akan memasang penyaring yang disebut pertimbangan untung-rugi (gain and lost). Potensi penerimaan akan lebih tinggi manakala pihak yang ditawari melihat, meyakini, dan bahkan telah menghitung bahwa keuntungannya lebih besar dari kerugian yang akan dipikul. Siapa saja yang perlu diyakinkan, siapa yang bertugas untuk meyakinkan, dan bagaimana metodenya adalah serangkaian pertanyaan yang sangat penting dan perlu dijawab pada tingkat pertama karena sangat menentukan keberhasilan tahap selanjutnya. Ini adalah proses penyamaan atau penyelarasan persepsi (mind-setting) yang lamanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kondisi demografis, metode, media dan political will dimana proses mind-setting ini dilaksanakan. Kendala kedua adalah berkaitan dengan kesiapan supra struktur (legalitas dan penatalaksanaan), struktur (kelembagaan dan organisasi), dan infrastruktur (peralatan dan teknologi penunjangnya) yang akan mewadahi atau memayungi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan yang tentunya dapat merupakan struktur dan suprastruktur baru atau pengembangan/ perluasan dari struktur dan suprastruktur yang mungkin telah ada. Pengalaman mengajarkan bahwa meskipun
Sustainanble Public Procurement
suatu inisiatif telah diterima oleh para pihak (stakeholders) dan telah terbangun komitmen untuk melaksanakannya serta telah memiliki aspek legalitas namun tetap masih membutuhkan waktu yang panjang untuk terlaksana secara luas. Contoh konkret adalah inisiatif pengadaan secara elektronik yang diyakini tujuannya sangat ideal antara lain meningkatkan efisiensi, mengurangi potensi penyimpangan, memperluas kesempatan partisipasi, persaingan, dan lain-lain. Namun empat tahun waktu berlalu sejak pertama kali diluncurkan terasa masih terlalu singkat untuk membanggakan suatu success story. Kelembagaan telah disiapkan berupa aturan main, petunjuk teknis, SOP, dan sebagainya. Demikian pula dengan organisasinya yang populer dengan nama Lembaga Pelayanan Secara Elektronik (LPSE) telah dibentuk dan difungsikan di berbagai tempat. Infrastruktur yang tersedia dalam bentuk piranti keras (hardware) komputer, jaringan dan internet, peranti lunak (software) dan bangunan khusus untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan operasional LPSE telah diadakan di berbagai wilayah, namun pengadaan secara elektronik belum sepenuhnya dapat mengambil alih pengadaan secara konvensional terutama di daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya masih tertinggal. Pembelajaran dari pengadaan secara elektronik (e-procurement) ini menjadi penting
November 2013/Vol. 3 - No. 3
untuk dicermati saat kita memikirkan atau memprediksi tantangan yang akan dihadapi ke depan terutama berkaitan dengan upaya mengintegrasikan struktur, suprastruktur dan infrastruktur pengadaan barang jasa pemerintah yang berkelanjutan. Kendala kedua ini dapat kita sebut atau kelompokkan sebagai kendala yang berkaitan dengan perangkat kesisteman (systemic tool-set). Kendala ketiga adalah berkaitan dengan tingkat kapasitas pengelolaan atau kemampuan manusia (skill-set) yang akan menjalankan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan ini. Sejumlah pengetahuan dan keterampilan baru harus dikuasai oleh berbagai pihak untuk memastikan esensi dan tujuan pengadaan berkelanjutan ini terjaga dalam keseluruhan proses yang dijalankan dari waktu ke waktu. Identifikasi mengenai jenis pengetahuan dan keterampilan baru yang perlu dilatihkan, kepada siapa, oleh siapa, di mana, dan berapa lama seharusnya dapat diprediksi mengacu kepada pengalaman negara-negara lain yang telah lebih dahulu melaksanakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Meskipun kendala ini tidak akan tampak pada tahap awal inisiatif pengadaan berkelanjutan ini namun perlu dibahas dan dipersiapkan sejak dini.
21
22 JURNAL PENGADAAN
Penyiapan sumberdaya manusia berbeda dengan penyiapan infrastruktur dikarenakan proses penguasaan keterampilan (skill acquisition) membutuhkan waktu dimana faktor keterampilan/pengetahuan dasar (basic skills), perilaku belajar (learning attitude) dan sarana pembelajaran (learning infrastructures) menjadi faktor-faktor berpengaruh yang perlu diperhitungkan. Ketiga kendala yang diuraikan tadi dapat dilihat sebagai tantangan bila para pihak yang terkait memiliki komitmen yang tinggi untuk mengatasinya secara bersama-sama. Sebaliknya dapat menjadi ancaman yang serius bilamana para pihak yang seharusnya terlibat melihat ketiga kendala tersebut sebagai tanggung jawab pihak tertentu atau lembaga tertentu untuk mengerjakan semuanya. Untuk itu pada tahap awal dari inisiatif ini diperlukan pengamatan dan analisis yang objektif terhadap para pihak yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap penanganan masalah sosial dan lingkungan baik di tingkat daerah, nasional dan global. Pengamatan ini harus dihubungkan dengan wacana pengadaan barang dan jasa pemerintah sehingga akan tergambar kapan, di mana, dan sebesar apa tanggung jawab masing-masing stakeholders tersebut dalam konteks pengadaan barang
dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Beberapa metode kualitatif yang dipakai dalam kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Deskriptif Analitis, yaitu metode penelitian yang melakukan penuturan, analisis, dan mengklasifikasikan data dan informasi yang diperoleh dengan berbagai teknik seperti survei, wawancara, observasi, angket, kuesioner, studi kasus, dan lain-lain (Surakhmad, 1980). Dalam hal ini, analisis deskriptif analisis akan lebih difokuskan kepada analisis kondisi eksisting, yang meliputi analisis fenomena dan proses serta mekanisme sustainable public procurement. 2. Analisis Isi (Content Analysis), yaitu suatu metode untuk mengkaji substansi dan konsistensi dari suatu kebijakan, program, dan/atau perangkat hukum tertentu yang berkaitan dengan suatu permasalahan tertentu. Dalam hal ini, analisis isi akan lebih banyak difokuskan untuk menganalisis produk-produk hukum yang berkenaan dengan proses dan mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sustainanble Public Procurement
3. Analisis Kebijakan (Policy Analysis), yaitu sebuah pemikiran kritis dan seni untuk memahami permasalahan aktual yang terkait dengan kebijakan pembangunan yang akan dan/atau telah dilaksanakan oleh sebuah otoritas publik atau pemerintah yang bertalian dengan berbagai sektor dan kepentingan umum (Bridgman & Davis 2000, hal 46). Oleh karena itu, analisis kebijakan ini dapat dikatakan sebagai suatu metode analisis untuk mengetahui seberapa jauh sebuah kebijakan diimplementasikan dalam pelaksanaan. Analisis kebijakan ini mencakup tujuan kebijakan, hasil kebijakan serta dampak kebijakan yang mungkin terjadi. Pada kegiatan sustainable public procurement ini LKPP membuat kuesioner yang disebar ke LPSE di seluruh Indonesia. HASIL KUESIONER Pada bagian ini, akan diuraikan mengenai persepsi pelaku usaha terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Persepsi pelaku usaha tersebut berkaitan dengan empat pilar, yaitu: (1) Kerangka Legislasi dan Regulasi (2) Kerangka Institusi dan Pengembangan Kapasitas, dan (3) Pelaksanaan Pengadaan dan Perilaku Pasar (Market Operation) (4) Integritas, Transparansi, dan Antikorupsi
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Pilar I: Kerangka Legislasi dan Regulasi Bagian pilar I ini akan menguraikan bagaimana gambaran kerangka legislasi dan regulasi pengembangan pendekatan modernisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan, terutama berkaitan dengan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 mengenai perlunya pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Sosialisasi dan Dukungan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dalam Memulai Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mempertimbangkan Aspek Pelestarian Lingkungan. Sosialisasi tentang aspek regulasi yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di kalangan pelaku usaha pengadaan barang dan jasa pemerintah telah tersosialisasi dengan baik. Hal ini tergambar dari hasil survei yang menunjukkan 83% dari responden menyatakan adanya klausul di dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 mengenai perlunya pengadaan barang dan jasa pemerintah mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungan.
23
24 JURNAL PENGADAAN
Grafik 1 Pengetahuan pelaku usaha tentang adanya aspek peletarian lingkungan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
Grafik 2. Persepsi responden tentang dukungan Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai dasar hukum dalam memulai
Masih terdapatnya 13% responden yang tidak mengetahui adanya klausul tersebut di dalam Perpres No.54 tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa masih dibutuhkan upaya sosialisasi lebih lanjut berkaitan dengan perpres tersebut terhadap para pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dari jumlah responden yang mengetahui adanya aspek pelestarian lingkungan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010, 48,8% beranggapan bahwa perpres tersebut kurang memadai untuk dijadikan dasar hukum dalam memulai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan/ ramah sosial, 24,4% berpendapat cukup memadai, sedangkan 26,9% menyatakan sangat memadai. Hal ini mengindikasikan perlunya pengaturan lebih lanjut dalam perpres tersebut dalam mendukung pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam memulai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan.
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan/ramah sosial
Praktek Aturan yang Berhubungan dengan Upaya Pelestarian Ekosistem dan Sumber Daya Alam Praktek oleh pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah berkaitan dengan aturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam, misalnya aturan penghematan penggunaan air, bahan bakar, energi listrik, pengaturan pengelompokan limbah/sampah, penghematan kertas, penggunaan tinta dari bahan ramah lingkungan, perlindungan budaya setempat, dan semacamnya. Berdasarkan hasil survei, 65% responden telah mempraktekkan aturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam, yang mengindikasikan bahwa pelaku usaha telah melakukan sebagian upaya proses produksi
Sustainanble Public Procurement
yang “ramah lingkungan/ramah sosial” seperti pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam, misalnya aturan penghematan penggunaan air, bahan bakar, energi listrik, pengaturan pengelompokan limbah/sampah, penghematan kertas, penggunaan tinta dari bahan ramah lingkungan, perlindungan budaya setempat, dan semacamnya walaupun klausul di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 belum dilaksanakan secara utuh. Persepsi pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah tentang kemungkinan produk
Grafik 3. Praktek aturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam
November 2013/Vol. 3 - No. 3
hukum yang sebaiknya dijadikan dasar hukum untuk pengaturan praktek yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumber daya alam. 79,7% menginginkan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat yang dijadikan acuan. Sedangkan 20,3% menginginkan peraturan daerah yang dijadikan acuan. Preferensi pengusaha terhadap perundangundangan pemerintah pusat yang dijadikan dasar hukum untuk pengaturan praktek yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam, 36,4% memilih Undang-undang sebagai dasar hukum, sedangkan 13,6% menginginkan peraturan daerah sebagai dasar hukum. Perlunya dibuat persyaratan khusus penguasaan kompetensi pengadaan barang dan jasa pemerintah berkelanjutan untuk pengangkatan seseorang menjadi panitia pengadaan atau pejabat pengadaan
Grafik 4. Praktek aturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam
25
26 JURNAL PENGADAAN
Grafik 5. Persepsi tentang perlunya syarat kompetensi bagi panitia pengadaan.
Perlunya persyaratan khusus penguasaan kompetensi pengadaan barang dan jasa pemerintah berkelanjutan untuk pengangkatan seseorang menjadi panitia pengadaan atau pejabat pengadaan. Dari Grafik 5 dapat dilihat 83% responden menyatakan perlunya syarat khusus kompetensi untuk pengangkatan panitia dan pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Persepsi pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah tentang seberapa perlunya persyaratan khusus penguasaan kompetensi pengadaan barang dan jasa pemerintah berkelanjutan untuk pengangkatan seseorang menjadi panitia pengadaan atau pejabat pengadaan. Hasil survei menunjukkan bahwa 84,5% menyatakan perlu hingga sangat perlu adanya persyaratan khusus tersebut, sedangkan 15,5% menyatakan tidak perlu hingga kurang perlu. Berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan bahwa menurut persepsi pengusaha syarat khusus untuk pengangkatan panitia pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan sangat diperlukan.
Grafik 6. Persepsi responden tentang perlunya syarat khusus untuk pengangkatan panitia pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berwawasan lingkungan.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Persepsi responden tentang metode yang paling mungkin untuk menerapkan kualifikasi ramah lingkungan-ramah sosial yang dapat diadopsi pada kesempatan pertama
Grafik 7. Urutan preferensi responden tentang metode yang paling mungkin untuk menerapkan kualifikasi ramah lingkunganramah sosial yang dapat diadopsi pada kesempatan pertama.
Preferensi responden tentang metode yang paling mungkin diadopsi untuk menerapkan kualifikasi ramah lingkungan-ramah sosial pada kesempatan pertama. Urutan prioritas menurut persepsi responden adalah pada metode-metode pelelangan umum dengan pasca kualifikasi, pelelangan umum dengan pra-kualifikasi, pemilihan langsung, pengadaan langsung, penunjukan langsung dan yang terakhir swakelola. Persepsi responden tentang program/ proyek yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan/ekosistem yang telah menerapkan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan.
Persepsi responden tentang program/proyek yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan/ ekosistem yang telah menerapkan kaidah/ persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan, 56% responden menyatakan bahwa program proyek yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan/ekosistem belum menerapkan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan. Sedangkan 11% responden menyatakan telah menerapkan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan.
27
28 JURNAL PENGADAAN
Grafik 8. Persepsi responden tentang penerapan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam program/proyek yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan/ekosistem.
Persepsi responden tentang penerapan kaidah/persyaratan ramah sosial dalam mayoritas program/proyek pengadaan barang dan jasa yang bertujuan untuk pengentasan masalah sosial seperti pengangguran, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. Dari Grafik 9 dapat dilihat bahwa 44% responden yang memilih jawaban “tidak”. Hal
ini menunjukkan bahwa penerapan kaidah/ persyaratan ramah sosial dalam mayoritas program/proyek pengadaan barang dan jasa yang bertujuan untuk pengentasan masalah sosial seperti pengangguran, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya belum dilaksanakan. Sedangkan 19% menyatakan bahwa penerapan kaidah tersebut sudah dilaksanakan.
Grafik 9. Persepsi responden tentang penerapan kaidah/persyaratan ramah sosial dalam mayoritas program/proyek pengadaan barang/jasa.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Persepsi/pengetahuan responden tentang bentuk penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint)
Grafik 10. Persepsi/pengetahuan responden tentang bentuk penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint).
Persepsi/pengetahuan responden tentang bentuk penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint) sebagai salah satu cara untuk menilai seberapa ramah lingkungan suatu produk dari saat mulai diproduksi hingga pendistribusiannya ke pasar. Dari Grafik 10 dapat dilihat 48% responden yang memilih jawaban “tidak”. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagian besar belum mengetahui adanya bentuk penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint) sebagai salah satu cara untuk menilai seberapa ramah lingkungan suatu produk dari saat mulai diproduksi hingga pendistribusiannya ke pasar. Sedangkan 21% responden pernah mendengar dan mengetahui tentang bentuk penilaian tersebut.
Grafik 11. Kemungkinan model pendekatan penilaian jejakjejak karbon (carbon footprint)diterapkan dalam evaluasi kualifikasi pengadaan barang/ jasa pemerintah.
Dari total responden yang mengetahui suatu bentuk penilaian yang disebut jejakjejak karbon (carbon footprint) sebagai salah satu cara untuk menilai seberapa ramah lingkungan suatu produk dari saat mulai diproduksi hingga pendistribusiannya ke pasar, 76,5% berpendapat bahwa bentuk penilaian tersebut mungkin hingga sangat
29
30 JURNAL PENGADAAN
mungkin untuk dijadikan cara untuk menilai ramah lingkungan suatu produk. Sedangkan 23.5% menyatakan kurang atau tidak memungkinkan untuk dijadikan cara untuk menilai ramah lingkungan. Pilar II: Kerangka Institusi dan Pengembangan Kapasitas Pada pilar II akan diuraikan mengenai kerangka institusi dan pengembangan kapasitas dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan. Bagian ini berisi tentang pemahaman, pengetahuan, komitmen, pemihakan, serta identifikasi faktor penghambat pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Persepsi responden tentang pengetahuan yang perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan menunjukkan bahwa seluruh pengetahuan yang terdapat pada pilihan-pilihan pernyataan perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari distribusi pernyataan yang cukup merata, dengan ketimpangan yang relatif kecil. Namun paling banyak responden (22,9%) menyatakan pengetahuan tentang strategi memaksimalkan belanja pemerintah untuk menjadi instrumen yang berpengaruh bagi pelestarian lingkungan dan mengatasi permasalahan sosial penting untuk dipahami oleh aparat pemerintah yang berhubungan
Persepsi responden tentang pengetahuan yang perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan.
Grafik 12. Pengetahuan yang perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
dengan pengadaan barang dan jasa yang berkelanjutan. Persepsi responden tentang komitmen pimpinan tertinggi di instansi/lembaga dalam hal pelestarian lingkungan dan penanganan berbagai permasalahan sosial. Pengetahuan responden mengenai komitmen pimpinan tertinggi di instansi/lembaga dalam hal pelestarian lingkungan dan penanganan
berbagai permasalahan sosial. Dari Grafik 13 dapat dilihat bahwa sebagain besar responden (58,3%) menyatakan bahwa pimpinan tertinggi di instansi/lembaga pengusaha mempunyai komitmen yang tinggi hingga sangat tinggi dalam hal pelestarian lingkungan dan penanganan berbagai permasalahan sosial, sedangkan 27,1% menyatakan bahwa pimpinan tertinggi di instansi kurang atau bahkan tidak memiliki komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan penanganan permasalahan-permasalahan sosial.
Grafik 13. Persepsi tentang Komitmen pimpinan tertinggi di instansi/lembaga dalam hal pelestarian lingkungan dan penanganan berbagai permasalahan sosial.
31
32 JURNAL PENGADAAN
Persepsi responden tentang faktor-faktor yang berpotensi menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial.
Grafik 14. Faktor-faktor yang berpotensi menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang/jasa ramah lingkungan dan ramah sosial
Persepsi responden tentang faktor-faktor yang berpotensi menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial, menunjukkan bahwa persepsi paling banyak responden terhadap faktor paling berpengaruh menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial adalah: • Tidak tersedianya produk ramah lingkungan (green list), yang dapat dipedomani oleh pengelola pengadaan dalam melakukan pengadaan.
• Kurang lengkapnya regulasi beserta petunjuk pelaksanaanya yang memandu pelaksana dari tingkat perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, hingga evaluasinya. • Kurangnya keterampilan pengelola pengadaan dalam menyusun spesifikasi barang dan jasa ramah lingkungan-ramah sosial di dalam dokumen pengadaan. • Kemungkinan mahalnya harga produk/ jasa ramah lingkungan-ramah sosial dibanding produk konvensional. • Kurang tersedianya produk barang dan jasa di pasaran yang memenuhi kriteria ramah lingkungan–ramah sosial.
Sustainanble Public Procurement
• Rendahnya komitmen pimpinan di kementerian, lembaga, daerah dan institusi dalam mengapresiasi pengadaan ramah lingkungan-ramah sosial. Sedangkan kesiapan penyedia barang dan jasa untuk berpartisipasi dalam pengadaan yang mensyaratkan produk atau jasa yang ramah lingkungan-ramah sosial menjadi faktor yang agak berpengaruh menjadi penghambat pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan-ramah sosial. Pengetahuan responden terhadap pengertian pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Pengetahuan responden terhadap apa yang dimaksud dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Berdasarkan Grafik 15 dapat dilihat bahwa mayoritas responden, yaitu 36,2% menyatakan pengetahuan responden terhadap apa yang dimaksud dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan adalah cukup mengerti, 31,8% responden menyatakan lebih mengerti hingga sangat mengerti. 32% responden menyatakan kurang hingga tidak mengerti. Persepsi responden tentang pengalaman dan kedalaman mempelajari pengetahuan berkaitan dengan manajemen rantai pasokan (supply chain management)
Grafik 16. Responden pernah mempelajari pengetahuan berkaitan dengan manajemen rantai pasokan (supply chain management) Grafik 15. Pengetahuan responden terhadap apa yang dimaksud dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan
Dari Grafik 16 menunjukkan bahwa sebanyak 62% responden masih belum pernah mempelajari manajemen rantai pasokan (supply chain management), dan hanya
33
34 JURNAL PENGADAAN
19% responden yang menyatakan pernah mempelajari manajemen rantai pasokan. Dari responden yang pernah mempelajari manajemen rantai pasokan (supply chain management), 31,3% responden menyatakan pengetahuan mengenai manajemen rantai pasokan (supply chain management) adalah cukup, 31.3% dari responden penyatakan pengetahuan tentang manajemen rantai pasokan lebih dari cukup dan 18,8% responden menyatakan pengetahuan tentang hal tersebut masih kurang hingga tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.
Pengalaman dan kedalaman responden mempelajari hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
Grafik 18. Pengalaman responden mempelajari hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dari Grafik 18 dapat dilihat bahwa 62% responden menyatakan tidak pernah mempelajari hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Hanya 19% responden yang menyatakan pernah mempelajarinya.
Grafik 17. Kedalaman pengetahuan responden mengenai manajemen rantai pasokan (supply chain management).
Kemudian pada grafik berikutnya yaitu Grafik 19, terdapat 19% responden yang pernah mempelajari hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Kedalaman pengetahuan responden tentang hal tersebut, 26,9% menyatakan cukup memahami, 57,7% mengatakan pemahaman tentang hal tersebut lebih dari cukup hingga sangat memahami, dan 15,3% menyatakan kurang hingga tidak memahami hal tersebut.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Pengetahuan responden tentang adanya lembaga swadaya masyarakat di wilayahnya yang memiliki pemihakan dan kepedulian terhadap masalah lingkungan dan permasalahan sosial.
Grafik 19. Kedalaman pengetahuan responden mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pengetahuan responden tentang adanya seseorang di lingkungan kerjanya yang terlibat pengadaan yang memiliki pengetahuan tentang aspek lingkungan hidup dan atau aspek sosial.
Grafik 21. Pengetahuan responden mengenai adanya lembaga swadaya masyarakat di wilayahnya yang memiliki pemihakan dan kepedulian terhadap masalah lingkungan dan permasalahan sosial.
atau aspek sosial.
Berdasarkan Grafik 21 dapat dilihat bahwa responden yang menjawab tidak dan tidak tahu, sebanyak 67%, artinya 67% responden tidak tahu adanya lembaga swadaya masyarakat di wilayahnya yang memiliki pemihakan dan kepedulian terhadap masalah lingkungan dan permasalahan sosial. Sementara 23% responden menyatakan mengetahui tentang hal tersebut.
Berdasarkan Grafik 20 dapat dilihat bahwa terdapat 48% responden menjawab tidak tahu mengenai keterlibatan seseorang di lingkungan perusahaannya dalam pengadaan yang memiliki pengetahuan tentang aspek lingkungan hidup, 10% mengetahui, dan 36% ragu-ragu.
Pilar III: Pelaksanaan Pengadaan dan Perilaku Pasar Pilar ini meliputi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan inisiatif global yang diadopsi secara nasional, prioritas sumber pembiayaan pembangunan, prioritas pengadaan barang
Grafik 20. Pengetahuan responden mengenai seseorang di lingkungan kerjanya yang terlibat pengadaan yang memiliki pengetahuan tentang aspek lingkungan hidup dan
35
36 JURNAL PENGADAAN
dan jasa pemerintah yang diujicobakan, efektivitas media dan metode, gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan di kantor pemerintah, keterlibatan lembaga akreditasi/sertifikasi, juga untuk melihat kesiapan dan ketersediaan penyedia dalam pelaksanaan pengadaan yang berkelanjutan. Tingkat keyakinan responden terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan sebagai suatu inisiatif global yang akan diadopsi secara nasional untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dan sosial.
Berdasarkan Grafik 22, tingkat keyakinan responden mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan merupakan suatu inisiatif global yang akan diadopsi secara nasional untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dan sosial, 20% responden menyatakan cukup yakin, 73,3% menyatakan lebih yakin hingga sangat yakin, dan 6,6% responden menyatakan kurang yakin. Tanggapan responden berkaitan dengan sumber pembiayaan pembangunan yang paling menjadi prioritas untuk segera menerapkan pendekatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan
Grafik 22. Tingkat keyakinan mengenai pengadaan barang/
Grafik 23. . Sumber pembiayaan pembangunan yang
jasa pemerintah yang berkelanjutan merupakan suatu inisiatif
menurut responden paling prioritas untuk segera menerapkan
global yang akan diadopsi secara nasional untuk membantu
pendekatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dan sosial.
berkelanjutan.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Tanggapan responden berkaitan dengan barang dan jasa yang menjadi prioritas untuk diujicobakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan.
Grafik 24. Persepsi responden tentang pengadaan barang dan jasa yang prioritas untuk diujicobakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan.
Berdasarkan Grafik 24 terlihat persepsi responden tentang barang dan jasa yang dapat dijadikan prioritas utama untuk diujicobakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan. Prioritas pertama adalah pengadaan jenis kendaraan roda empat, jenis kendaraan roda dua, jasa transportasi darat, barang cetakan,
bahan bahan kostruksi, lampu penerangan luar ruangan, lampu penerangan dalam ruangan, jasa cleaning service, jasa katering, dan bahan bakar kendaraan dinas. Prioritas kedua meliputi pengadaan jasa transportasi laut, jasa transportasi udara, jasa pemeliharaan/ rehabilitasi kantor, printer, dan komputer.
37
38 JURNAL PENGADAAN
Tanggapan responden mengenai efektivitas media dan metode dalam rangka mendorong kesadaran pengelola dan penyedia untuk mendukung pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Grafik 25. Efektivitas media dan metode dalam rangka mendorong kesadaran pengelola dan penyedia untuk mendukung pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Berdasarkan Grafik 25 dapat dilihat bahwa media atau metode yang paling efektif dalam inisiatif pengadaan barang dan jasa pemerintah berdasarkan persepsi responden adalah melakukan sosialisasi ke sekolah/perguruan tinggi, melibatkan tokoh masyarakat untuk memasyarakatkan SPP, menyebarluaskan panduan pelaksana SPP, menyelenggarakan SPP Award, menyelenggarakan seminar terbuka di kabupaten/kota, menyelenggarakan seminar
tingkat nasional, mengadakan talkshow di televisi, dan mengintensifkan artikel di media cetak. Tanggapan responden terhadap penyedia barang dan jasa dalam menyikapi perubahan kebijakan/aturan pemerintah. Berdasarkan Grafik 26 berkaitan dengan sikap pengusaha barang dan jasa terhadap perubahan kebijakan/aturan pemerintah, 25% responden cukup koperatif, 47,8% lebih
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
koperatif hingga sangat koperatif dan 27,2% responden kurang hingga sulit menerima perubahan kebijakan/aturan pemerintah tersebut.
pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK) dalam mengaudit/memeriksa pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Berikut adalah hasil pengukuran pengawasan penerapan aturan pengadaan, perlunya panduan audit dalam mendukung pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Grafik 26. Sikap penyedia barang dan jasa terhadap
Persepsi responden mengenai tingkat kepentingan untuk dilaksanakannya gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan di semua kantor pemerintah seiring dengan inisiatif pengadaan yang berwawasan lingkungan yang dilaksanakan pemerintah.
perubahan kebijakan/aturan pemerintah.
Pilar IV: Integritas, Transparansi, dan Antikorupsi Bagian Pilar IV merupakan pilar terakhir dari pengukuran SPP yang menguraikan indikatornya, yaitu pelaksanaan gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan, komposisi organisasi lembaga akreditasi/ sertifikasi yang akan memberikan label ramah lingkungan (eco-label) dan/atau ramah sosial (socio-label) kepada barang dan jasa, satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berkelanjutan, penetapan ancaman sanksi kepada produsen/penyedia jasa yang terbukti dengan sengaja melakukan pemalsuan sertifikasi/akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah, panduan audit/pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan baik bagi aparat
Grafik 27. Persepsi tentang tingkat kepentingan untuk dilaksanakannya gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan.
Tingkat kepentingan dilaksanakannya gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan di semua kantor pemerintah seiring dengan inisiatif pengadaan yang
39
40 JURNAL PENGADAAN
berwawasan lingkungan yang dilaksanakan pemerintah. Berdasarkan Grafik 27 dapat dilihat bahwa 45,8% responden menyatakan bahwa gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan di semua kantor pemerintah seiring dengan inisiatif pengadaan yang berwawasan lingkungan yang dilaksanakan pemerintah itu sangat penting, 35,4% penyatakan lebih penting, 6,3% menyatakan cukup penting dan 12,6% menyatakan kurang hingga tidak penting. Berdasarkan Grafik 28 dapat dilihat bahwa 41,9% responden atau sebagian besar responden berpendapat bahwa lembaga pemerintah yang mempekerjakan kalangan profesional merupakan komposisi organisasi yang paling baik dalam mengeluarkan sertifi-
kasi/akreditasi yang akan memberikan label ramah lingkungan (eco-label) dan/atau ramah sosial (socio-label) kepada barang dan jasa, untuk menjaga profesionalisme, integritas, transparansi dan objektivitas pemberian sertifikat atau akreditasi. Persepsi responden tentang diperlukannya suatu badan atau satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Berdasarkan Grafik 29 berkaitan dengan perlunya suatu badan atau satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
Persepsi responden tentang komposisi organisasi lembaga akreditasi/sertifikasi yang akan memberikan label ramah lingkungan (eco-label) dan/atau ramah sosial (socio-label) kepada barang dan jasa.
Grafik 28. . Persepsi responden tentang komposisi organisasi yang mengeluarkan sertifikasi/akreditasi.
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
berkelanjutan, 69% responden menyatakan perlu dan 25% responden menyatakan tidak diperlukan untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Dari responden yang menganggap perlu adanya suatu badan atau satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan, organisasi yang sesuai untuk keperluan tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup merupakan pilihan utama untuk kegiatan tersebut, yaitu sebesar 32,6%. Pilihan kedua adalah Komisi Daerah untuk Pengawasan, Pemantauan, dan Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan dengan 20,9%.
Grafik 29. Persepsi tentang perlunya suatu badan atau satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Untuk responden yang berpendapat tidak diperlukannya badan atau satuan kerja/unit khusus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan, bila satuan kerja yang telah ada dalam lembaga pemerintah seperti Inspektorat Daerah, Badan Pengawas Daerah (Bawasda), Inspektorat Jenderal di
Grafik 30. Pilihan bentuk organisasi yang paling sesuai untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan
41
42 JURNAL PENGADAAN
Kementerian, yang kesemuanya biasa disebut Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dioptimalkan kemampuannya dengan memberikan tambahan pengetahuan audit lingkungan dan audit sosial untuk selanjutnya difungsikan untuk mengemban tugas dimaksud, 38,9% (paling banyak responden) menyatakan sangat sependapat akan hal tersebut.
Persepsi responden tentang diperlukannya penetapan ancaman sanksi kepada produsen/penyedia jasa yang terbukti dengan sengaja melakukan pemalsuan sertifikasi/akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah.
Grafik 32. . Perlunya menetapkan ancaman sanksi kepada produsen/penyedia jasa yang terbukti dengan sengaja melakukan pemalsuan sertifikasi/akreditasi terhadap produk/ jasa yang dijual ke pemerintah
Grafik 31. Persetujuan responden terhadap lembaga pengawas yang sudah ada.
Berdasarkan Grafik 32 dapat dilihat bahwa 92% responden menyatakan diperlukannya ancaman sanksi kepada produsen/penyedia jasa yang terbukti dengan sengaja melakukan pemalsuan sertifikasi/akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah. Hanya 2% yang menyatakan tidak diperlukan. Berdasarkan Grafik 33, 30,2% responden menyatakan kemungkinan sanksi yang paling memberikan efek jera kepada pelakunya adalah memasukkan ke dalam daftar hitam dalam kurun waktu tertentu, lalu disusul dengan pengaduan kepada penegak hukum untuk diproses sesuai ketentuan hukum
Sustainanble Public Procurement
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Grafik 33. Kemungkinan sanksi yang menurut responden paling memberikan efek jera kepada pelakunya.
pidana yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan dengan 24,4%. Artinya dua sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat membuat efek jera terhadap pelaku dalam melakukan pemalsuan sertifikasi/ akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah. Persepsi responden tentang diperlukannya suatu panduan audit/ pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan, baik bagi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK) dalam mengaudit/memeriksa pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan.
Berdasarkan Grafik 34 dapat dilihat bahwa 90% responden menyatakan bahwa diperlukannya suatu panduan audit/ pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan baik bagi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK) dalam mengaudit/memeriksa pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Kemudian berdasarkan Grafik 35 dapat dilihat dari responden yang menjawab “ya” pada pernyataan nomor 36 cenderung menganggap bahwa panduan tersebut mendesak untuk diadakan. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya responden
Grafik 34. Perlunya suatu panduan audit/pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan, baik bagi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK) dalam mengaudit/memeriksa pengadaan barang/ jasa pemerintah yang berkelanjutan.
43
44 JURNAL PENGADAAN
yang menjawab nilai angka “4” dan “6” yaitu sebanyak 31,1% dan 33,3%. Iklim bisnis yang berkembang di negara ini masih diwarnai oleh banyak pelanggaran. Oleh karena itu, adanya panduan audit merupakan langkah awal yang sangat diharapkan untuk segera direalisasikan oleh pemerintah.
Grafik 35. Tingkat urgensi panduan panduan audit/ pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan, baik bagi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK), dalam mengaudit/ memeriksa pengadaan barang/ jasa pemerintah yang berkelanjutan untuk diadakan
KESIMPULAN Pilar I: Kerangka Legislasi dan Regulasi Sosialisasi tentang aspek regulasi yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan di kalangan pelaku usaha pengadaan barang dan jasa pemerintah telah tersosialisasi dengan baik. Meskipun masih dibutuhkan upaya sosialisasi lebih lanjut berkaitan dengan perpres tersebut terhadap para pengusaha
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perpres No. 54 Tahun 2010 terkait adanya aspek pelestarian lingkungan dianggap masih kurang memadai untuk dijadikan dasar hukum dalam memulai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan/ramah sosial. Perlunya pengaturan lebih lanjut dalam perpres tersebut dalam mendukung pengusaha pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam memulai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan. Praktek aturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumber daya alam telah dilakukan. Pelaku usaha telah melakukan sebagian upaya proses produksi yang “ramah lingkungan/ramah sosial” seperti pelestarian ekosistem dan sumber daya alam, misalnya aturan penghematan penggunaan air, bahan bakar, energi listrik, pengaturan pengelompokan limbah/sampah, penghematan kertas, penggunaan tinta dari bahan ramah lingkungan, perlindungan budaya setempat dan semacamnya, walaupun klausul di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 belum dilaksanakan secara utuh. Produk hukum yang sebaiknya dijadikan dasar hukum atau acuan untuk pengaturan praktek yang berhubungan dengan upaya pelestarian ekosistem dan sumberdaya alam adalah peraturan perundang-undangan pemerintah pusat.
Sustainanble Public Procurement
Perlunya persyaratan khusus penguasaan kompetensi pengadaan barang dan jasa pemerintah berkelanjutan untuk pengangkatan seseorang menjadi panitia pengadaan atau pejabat pengadaan. Perlunya syarat khusus kompetensi untuk pengangkatan panitia dan pejabat pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Urutan prioritas metode yang paling mungkin diadopsi untuk menerapkan kualifikasi ramah lingkungan-ramah sosial pada kesempatan pertama adalah pada metode pelelangan umum dengan pasca kualifikasi, pelelangan umum dengan prakualifikasi, pemilihan langsung, pengadaan langsung, penunjukkan langsung dan yang terakhir swakelola. Program/proyek yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan/ekosistem yang telah menerapkan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan sebagian besar belum menerapkan kaidah/persyaratan ramah lingkungan dalam mayoritas barang dan jasa yang diadakan. Penerapan kaidah/persyaratan ramah sosial dalam mayoritas program/proyek pengadaan barang dan jasa yang bertujuan untuk pengentasan masalah sosial seperti seperti, pengangguran, pengentasan kemiskinan, dan
November 2013/Vol. 3 - No. 3
sebagainya belum dilaksanakan. Penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint) sebagai salah satu cara untuk menilai seberapa ramah lingkungan suatu produk dari saat mulai diproduksi hingga pendistribusiannya ke pasar. sebagian besar belum mengetahui adanya bentuk penilaian yang disebut jejak-jejak karbon (carbon footprint) sebagai salah satu cara untuk menilai seberapa ramah lingkungan suatu produk dari saat mulai diproduksi hingga pendistribusiannya ke pasar. Penilaian jejakjejak karbon memungkinkan untuk dijadikan cara untuk menilai ramah lingkungan suatu produk. Pilar II: Kerangka Institusi dan Pengembangan Kapasitas Pengetahuan yang perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang reatif berkelanjutan, yaitu seluruh pengetahuan tentang manajemen rantai pasokan (supply chain management), pengetahuan mengenai aspek lingkungan dan sosial yang perlu mendapat perhatian dalam perencanaan, metode pemantauan dan evaluasinya. Strategi memaksimalkan belanja pemerintah untuk menjadi instrumen yang berpengaruh bagi pelestarian lingkungan dan mengatasi permasalahan sosial. Strategi mendorong
45
46 JURNAL PENGADAAN
peran serta industri dan pengusaha setempat untuk berkompetisi secara sehat, bersih dan tangguh dalam pengadaan barang dan jasa publik berkelanjutan, Pengetahuan mengenai esensi berbagai regulasi lingkungan dan penanganan masalah sosial yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa publik berkelanjutan. perlu untuk dipahami oleh aparat pemerintah. Namun paling banyak menyatakan pengetahuan tentang strategi memaksimalkan belanja pemerintah untuk menjadi instrumen yang berpengaruh bagi pelestarian lingkungan dan mengatasi permasalahan sosial penting untuk dipahami oleh oleh aparat pemerintah yang berhubungan dengan pengadaan barang/ jasa yang berkelanjutan. Pimpinan tertinggi di instansi/lembaga dalam hal pelestarian lingkungan dan penanganan permasalahan-permasalahan sosial memiliki komitmen yang tinggi. Faktor-faktor yang berpotensi menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan dan ramah sosial adalah: • Tidak tersedianya produk ramah lingkungan (green list) yang dapat dipedomani oleh pengelola pengadaan dalam melakukan pengadaan. • Kurang lengkapnya regulasi beserta
•
•
•
•
•
•
•
•
petunjuk pelaksanaanya yang memandu pelaksana dari tingkat perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, hingga evaluasinya. Kurangnya keterampilan pengelola pengadaan dalam menyusun spesifikasi barang dan jasa ramah lingkungan-ramah sosial di dalam dokumen pengadaan. Kemungkinan mahalnya harga produk/ jasa ramah lingkungan-ramah sosial dibanding produk konvensional. Kurang tersedianya produk barang dan jasa di pasaran yang memenuhi kriteria ramah lingkungan–ramah sosial. Rendahnya komitmen pimpinan di kementerian, lembaga, daerah, dan institusi dalam mengapresiasi pengadaan ramah lingkungan-ramah sosial. Pengetahuan terhadap pengertian pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan masih belum memadai. Pengalaman dan kedalaman mempelajari pengetahuan berkaitan dengan manajemen rantai pasokan (supply chain management) masih rendah. Pengalaman dan kedalaman mempelajari hal yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) masih rendah. Pengetahuan tentang adanya seseorang di lingkungan kerjanya yang terlibat pengadaan yang memiliki pengetahuan
Sustainanble Public Procurement
tentang aspek lingkungan hidup dan atau aspek sosial masih cukup rendah. • Pengetahuan tentang adanya lembaga swadaya masyarakat di wilayahnya yang memiliki pemihakan dan kepedulian terhadap masalah lingkungan dan permasalahan sosial masih rendah.
Pilar III: Pelaksanaan Pengadaan dan Perilaku Pasar Diyakini bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan merupakan suatu inisiatif global yang akan diadopsi secara nasional untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dan sosial. Sumber pembiayaan pembangunan yang paling prioritas untuk segera menerapkan pendekatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berkelanjutan adalah APBN dan APBD. Barang dan jasa yang dapat dijadikan prioritas utama untuk diujicobakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ramah lingkungan. Prioritas pertama adalah pengadaan jenis kendaraan roda empat, jenis kendaraan roda dua, jasa transportasi darat, barang cetakan, bahan bahan kostruksi, lampu penerangan luar ruangan, lampu penerangan dalam ruangan dan jasa cleaning service, jasa katering, bahan bakar kendaraan
November 2013/Vol. 3 - No. 3
dinas. Prioritas kedua adalah pengadaan jasa transportasi laut, jasa transportasi udara, jasa pemeliharaan/rehabilitasi kantor, printer, dan komputer. Media atau metode yang paling efektif dalam inisiatif pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah melakukan sosialisasi ke sekolah/perguruan tinggi, melibatkan tokoh masyarakat untuk memasyarakatkan SPP, menyebarluaskan panduan pelaksana SPP, menyelenggarakan SPP award, menyelenggarakan seminar terbuka di kabupaten/kota, menyelenggarakan seminar tingkat nasional, mengadakan talkshow di televisi, dan mengintensifkan artikel di media cetak. Sikap pengusaha barang dan jasa koperatif terhadap perubahan kebijakan/aturan pemerintah, menerima perubahan kebijakan/aturan pemerintah tersebut. Tingkat kepentingan dilaksanakannya gerakan percontohan perilaku ramah lingkungan di semua kantor pemerintah seiring dengan inisiatif pengadaan yang berwawasan lingkungan yang dilaksanakan pemerintah merupakan sesuatu yang penting.
47
48 JURNAL PENGADAAN
Pilar IV: Integritas, Transparansi, dan Antikorupsi Lembaga pemerintah yang mempekerjakan kalangan profesional merupakan komposisi organisasi yang paling baik dalam mengeluarkan sertifikasi/akreditasi yang akan memberikan label ramah lingkungan (eco-label) dan/atau ramah sosial (socio-label) kepada barang dan jasa, untuk menjaga profesionalisme, integritas, transparansi dan obyektivitas pemberian sertifikat/akreditasi. Perlu suatu badan atau satuan kerja/unit khu-sus untuk mengawasi dan memantau kepatuhan terhadap penerapan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan, organisasi yang sesuai untuk keperluan tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup merupakan pilihan utama untuk kegiatan tersebut, pilihan kedua adalah Komisi Daerah Untuk Pengawasan, Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, bila satuan kerja yang telah ada dalam lembaga pemerintah seperti Inspektorat Daerah, Badan Pengawas Daerah (Bawasda), Inspektorat Jenderal di Kementerian, yang kesemuanya biasa disebut Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dioptimalkan kemampuannya dengan memberikan tambahan pengetahuan audit lingkungan dan audit sosial untuk selanjutnya difungsikan untuk mengemban tugas dimaksud.
Perlu penetapan ancaman sanksi kepada produsen/penyedia jasa yang terbukti dengaan sengaja melakukan pemalsuan Sertifikasi/akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah. Kemungkinan sanksi yang paling memberikan efek jera kepada pelakunya adalah memasukkan ke dalam daftar hitam dalam kurun waktu tertentu, lalu disusul dengan pengaduan kepada penegak hukum untuk diproses sesuai ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan. Kedua sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat membuat efek jera terhadap pelaku dalam melakukan pemalsuan sertifikasi/ akreditasi terhadap produk/jasa yang dijual ke pemerintah. Perlu suatu panduan audit/pemeriksaan khusus yang akan menjadi pegangan baik bagi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) maupun lembaga pengawasan eksternal (BPK) dalam mengaudit/ memeriksa pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan. Hal ini sangat penting mendesak untuk diadakan.
TEORI KONTRAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP REGULASI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Teori Kontrak dan Implikasinya...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
TEORI KONTRAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP REGULASI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Abstrak Kontrak pengadaan yang optimal (yang memaksimalkan net benefit para pihak) seringkali tidak dapat diwujudkan.
Penyesuaian atau adaptasi
kontrak yang seharusnya dapat memaksimalkan net benefit para pihak pada umumnya justru menimbulkan permasalahan atau sengketa kontrak antara
Robin A. Suryo Agita M. Ulfa
pembeli (pemerintah) dan penyedia. Kesulitan para pihak mewujudkan kontrak yang optimal disebabkan oleh moral hazard karena adanya informasi asimetris serta ketidakmampuan para pihak untuk menuangkan seluruh ketentuan dalam kontrak akibat dari bounded rationality. Sejalan dengan teori ekonomi, kontrak optimal ditentukan oleh jenis kontrak yang digunakan dan mekanisme adaptasi. Jenis kontrak insentif diprediksi lebih efisien daripada kontrak lainnya dan mekanisme adaptasi di luar pengadilan dinilai lebih optimal daripada penyelesaian sengketa melalui institusi pengadilan. Penulis juga berkesimpulan bahwa tidak hanya para pihak yang berkontrak yang dihadapkan pada bounded rationality. Regulator pengadaan juga dihadapkan pada persoalan yang sama.
51
52 JURNAL PENGADAAN
1. PENDAHULUAN roses pengadaan barang/jasa pemerintah secara garis besar terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap seleksi untuk memilih penyedia dan tahap administrasi kontrak dimana para pihak menyepakati secara tertulis hak dan kewajiban masingmasing dalam rangka menghasilkan atau menyediakan barang/jasa yang diinginkan. Administrasi kontrak merupakan tahapan yang sangat penting namun relatif kurang mendapat perhatian dibandingkan proses pemilihan sehingga pada saat pelaksanaan kontrak sering terjadi masalah, bahkan dapat berujung pada sengketa kontrak yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi salah satu atau kedua belah pihak.
P
Pada dasarnya tidak ada pembeli (pemerintah) maupun penyedia yang menginginkan terjadinya perselisihan dalam berkontrak, karena jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya akan membutuhkan waktu, biaya, serta upaya yang sangat besar. Bahkan perselisihan dapat menimbulkan kerusakan hubungan yang mempengaruhi keberlanjutan bisnis para pihak serta dapat merusak reputasi. Dalam artikel ini penulis mengidentifikasi permasalahan utama yang muncul dalam kontrak pengadaan, mengeksplorasi teori yang berhubungan dengan kontrak
pengadaan, serta menjelaskan kemungkinan dan tantangan penerapan teori kontrak dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah. 2. PERMASALAHAN KONTRAK PENGADAAN Permasalahan pengadaan dapat timbul pada tahap sebelum kontrak ditandatangani, yaitu proses pemilihan (ex ante screening) dan pada tahap setelah kontrak ditandatangani, yaitu pelaksanaan kontrak (ex post adaptation). Sebagian besar permasalahan terjadi pada tahap pelaksanaan kontrak, meskipun dalam beberapa kasus permasalahan tersebut disebabkan oleh proses pemilihan yang tidak sesuai dengan prosedur. Secara garis besar permasalahan kontrak pengadaan barang/ jasa pemerintah di Indonesia yang dalam banyak kasus berakhir dengan sengketa antara penyedia dan pembeli, terkait dengan tiga hal, yaitu (1) ketidaklengkapan dokumen kontrak; (2) ketidakjelasan/multitafsir ketentuan dalam kontrak; (3) munculnya faktor-faktor yang tidak dapat/sulit diprediksi. Sebuah paket dokumen kontrak yang lengkap pada umumnya mencakup dokumen lelang, ketentuan umum, spesifikasi, gambar, dan laporan hasil investigasi kondisi lapangan. Namun demikian terkait dengan gambar, ketentuan umum, dan hasil investigasi lapangan secara substansi seringkali tidak
Teori Kontrak dan Implikasinya...
lengkap. Untuk pekerjaan konstruksi, gambar merupakan bagian dari dokumen kontrak yang harus disajikan dengan jelas dan akurat agar penyedia dapat menyesuaikan diri dengan seluruh kondisi dalam gambar sehingga konstruksi yang baik akan terbangun. Dalam beberapa kasus gambar ada yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan sehingga perlu dilakukan desain ulang. Ketentuan umum dalam kontrak yang sering tidak lengkap adalah tentang klausul warranty dan ketentuan penyelesaian sengketa. Klausul warranty1 pada umumnya tidak ada dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, padahal dalam hukum kontrak klausul warranty ini sangat diperlukan dalam sebuah standar kontrak/perjanjian. Tidak adanya klausul warranty mengakibatkan pihak yang dirugikan tidak memiliki alasan yang kuat untuk melakukan gugatan wanprestasi atau menuntut ganti rugi. Sebaliknya dengan adanya klausul warranty, ketika salah satu pihak menemukan bahwa warranty yang dibuat oleh pihak lain keliru atau tidak sesuai dengan fakta, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi. Sedangkan apabila ditemukan unsur fraud atau penipuan dalam klausul ini 1
November 2013/Vol. 3 - No. 3
maka pihak yang dirugikan dalam kontrak dapat menuntut pembatalan kontrak. Terkait ketentuan penyelesaian sengketa, yang selama ini menjadi permasalahan adalah timbulnya ambiguitas. Misalnya dalam standar dokumen pengadaan dicantumkan bahwa penyelesaian sengketa dapat melalui arbitrase atau pengadilan, namun dalam implementasinya kebanyakan kontrak malah mencantumkan keduanya dalam klausul penyelesaian sengketa, sehingga menimbulkan ambiguitas. Ambiguitas seharusnya sangat dihindari dalam bahasa sebuah kontrak. Laporan hasil investigasi kondisi lapangan yang tidak lengkap/akurat berdampak pada kesalahan analisis kebutuhan dan berimplikasi pada ketidakjelasan kontrak. Contoh kondisi lapangan yang sering tidak dijelaskan dengan baik dalam kontrak adalah land clearing yang ternyata belum selesai atau belum dilaksanakan. Ini merupakan hambatan yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan kontrak. Perbedaan antara kondisi lapangan dengan gambar dan spesifikasi dalam dokumen kontrak dapat mengakibatkan perubahan ruang lingkup dan
Pada umumnya klausul warranty berisi pernyataaan tentang tidak adanya gugatan dari pihak ketiga atas objek yang diperjanjikan, keakuratan kondisi perusahaan, kontrak tidak akan melanggar hukum nasional yang berlaku (jika melibatkan subjek hukum pihak asing). Dalam kontrak pengadaan, klausul warranty diperlukan jika misalnya terdapat pekerjaan subkontrak, kontrak multiyears, atau pengadaan barang dimana penyedia harus menyatakan bahwa kondisi barang yang akan disediakan dalam kondisi yang dipersyaratkan sesuai dalam kontrak, dan sebagainya.
53
54 JURNAL PENGADAAN
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan pada akhirnya berpotensi menimbulkan sengketa kontrak. Ketidakjelasan/multitafsir sering terjadi pada kontrak pengadaan, dan ini dapat menimbulkan sengketa. Hal ini pada umumnya berkaitan dengan kriteria pemutusan kontrak, pekerjaan yang melewati batas tahun anggaran, ketentuan addendum kontrak, klausul perjanjian yang tidak konsisten dengan dokumen pengadaan, penetapan sanksi, penetapan jaminan pelaksanaan, dasar penentuan keadaan kasar, penetapan penyesuaian harga dan tata cara perhitungannya (price adjustment), penggunaan jenis kontrak, pembayaran berdasarkan kemajuan/prestasi pekerjaan, serta penganggaran. Pada jenis pekerjaan tertentu, seperti konstruksi permasalahan kontrak juga disebabkan faktor yang sulit diprediksi seperti kegagalan desain, kondisi lingkungan dan lokasi pekerjaan yang tak terduga, serta perubahan kebijakan. Hal tersebut mengakibatkan gangguan pada jadwal pelaksanaan pekerjaan. Pada pengadaan barang, faktor yang sulit diprediksi misalnya barang yang harusnya disediakan ternyata
sudah tidak diproduksi (discontinue). Faktor yang sulit diprediksi ditambah dengan penggunaan kontrak lumpsum juga sering menimbulkan masalah. Di satu sisi terjadinya faktor yang sebelumnya sulit diprediksi menuntut adanya perubahan ruang lingkup pekerjaan, namun di sisi lain perubahan ruang lingkup pekerjaan (pekerjaan tambah kurang) pada kontrak lumpsum seperti ini pada praktiknya sulit untuk dilakukan.4 Timbulnya berbagai permasalahan dalam kontrak pengadaan sebagaimana diuraikan di atas secara umum disebabkan oleh ketidakmampuan para pihak untuk menuangkan seluruh ketentuan yang relevan (termasuk hal-hal yang bersifat kontinjen) ke dalam kontrak. Semakin kompleks suatu pekerjaan maka ketidakmampuan untuk menuliskan seluruh ketentuan yang relevan ke dalam suatu kontrak semakin tinggi. 3. Teori Kontrak Pengadaan Weshsler (2012) mendefinisikan kontrak sebagai “legally binding agreement involving two or more parties that set forth an exchange of promise of what each party will or will not do”. Menurut Macaulay (1963) kontrak didesain untuk mendefinisikan dan menjaga serta memelihara pertukaran atau transaksi. Dalam
Ketika terjadi permasalahan dalam kontrak pengadaan, institusi pengadilan biasanya berpendapat bahwa penyedia seharusnya tidak dituntut untuk menyelesaikan item atau pekerjaan yang melebihi dan diluar yang telah disepakati sejak awal dalam kontrak. Meskipun pembeli berhak menuntut penyedia agar beritikad baik memenuhi seluruh kewajiban sesuai kontrak namun tidak berhak untuk memperluas dan memperbanyak kewajiban penyedia. Oleh karena itu, dalam kontrak lumpsum, penyedia tidak diwajibkan melaksanakan pekerjaan diluar yang sudah disepakati sebelumnya tanpa adanya kompensasi tambahan dari pembeli. 2
Teori Kontrak dan Implikasinya...
ilmu ekonomi, kontrak merupakan hal yang mendasar. Setiap transaksi selalu difasilitasi dengan kontrak dalam bentuk tertentu, baik eksplisit maupun implisit. Namun demikian, ilmu ekonomi sebelumnya lebih banyak memberikan perhatian pada transaksi on the spot, dimana dua sisi transaksi, yaitu membeli dan menjual terjadi secara bersamaan (ada uang ada barang), dan dimana elemen kontraktual relatif sederhana dan tidak eksplisit. Untuk transaksi yang sederhana (barang/jasa yang sudah standar), peran dan ekspektasi para pihak lebih mudah dipahami bahkan tanpa kontrak formal. Namun untuk kontrak atau transaksi yang menyangkut barang/ jasa yang lebih kompleks, peran masingmasing pihak seringkali sulit atau bahkan tidak dapat didefinisikan dengan jelas, dan ketidaksepahaman dapat timbul terkait dengan siapa bertanggung jawab terhadap apa. Dalam pengadaan barang/jasa yang kompleks, kontrak sangat membantu karena memberikan definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab para pihak. Kontrak juga dapat menjamin para pihak mengetahui ekspektasi masing-masing, sehingga dapat mengurangi efek detrimental/ merugikan jika timbul perselisihan (Jehn, 1977). Karakteristik lain dari ekonomi kontrak yang
November 2013/Vol. 3 - No. 3
membedakan dengan transaksi ekonomi on the spot pada umumnya adalah bahwa transaksi yang dilakukan oleh para pihak dalam konteks kontrak berada diluar keseimbangan pasar dan dilakukan secara bilateral, serta pada kondisi dimana para pihak umumnya tidak memiliki pengetahuan mengenai harga (pasar). Pada kondisi seperti ini kontrak menjadi semakin penting karena di dalamnya juga terdapat elemen waktu dimana salah satu pihak tidak yakin dengan apa yang akan dikerjakan oleh pihak lain. Oleh karena itu, para ekonom tertarik pada hubungan transaksional jangka panjang dimana terdapat perbedaan waktu yang cukup lama antara terjadinya transaksi dengan diperolehnya barang/jasa. Teori kontrak dimotivasi oleh ketidakpuasan terhadap model analitis standar mengenai bekerjanya mekanisme pasar. Salah satu ketidakpuasan adalah terkait dengan asumsi informasi yang simetris/sama dan sempurna/lengkap. Asumsi tersebut dianggap tidak realistis oleh Arrow (1971), Akerlof (1970), dan Coase (1937). Arrow menjelaskan teorinya dengan mengambil contoh pasar asuransi, sedangkan Akerlof memberikan contoh pasar mobil bekas. Dijelaskan bahwa dalam suatu transaksi ada situasi dimana salah satu pihak memiliki informasi yang tidak diketahui oleh pihak lain (informasi asimetris), dan hal ini dapat mencegah terjadinya transaksi yang
55
56 JURNAL PENGADAAN
efisien karena salah satu pihak yang berkontrak dapat mengeksploitasi pihak lain. Sebelumnya Coase telah memberikan kontribusi penting terhadap teori kontrak. Dia mempertanyakan validitas asumsi zero transaction cost pada model standar mekanisme pasar. Berbeda dengan transaksi ‘on the spot’ yang mengacu pada bekerjanya mekanisme pasar, transaksi dalam pengadaan barang/ jasa melalui kontrak memiliki karakteristik biaya transaksi positif (positive transaction cost). Ketika organisasi pemerintah membeli barang/jasa dari penyedia terdapat biaya transaksi yang timbul, yaitu biaya pemilihan penyedia/searching costs (menyusun HPS dan dokumen lelang, melakukan evaluasi), manajemen kontrak (menyusun kontrak, memonitor kinerja), dan resolusi konflik (penyelesaian sengketa). Perbedaan struktur tata kelola antara transaksi berdasarkan competition in the market dan competition for the market menimbulkan biaya transaksi yang disebut juga sebagai biaya mengoperasikan pasar (costs of operating market). Teori kontrak pada prinsipnya mempelajari bagaimana pelaku ekonomi dapat membangun kesepakatan kontrak yang efisien/optimal, umumnya dalam keadaan ketidakpastian dan adanya informasi yang asimetris (Laffont J. J. & Tirole J., 1993). Ketidakpastian muncul karena para pihak tidak dapat sepenuhnya
memprediksi dan menuangkan ke dalam kontrak apa yang akan terjadi selama periode kontrak berlangsung, dimana kejadian tersebut dapat mempengaruhi hak dan kewajiban dari para pihak. Informasi asimetris terjadi karena penyedia dianggap memiliki informasi tentang biaya produksi dan level of effort yang tidak diketahui oleh pembeli. Informasi asimetris juga dapat timbul ketika terjadi perubahan disain setelah kontrak ditandatangani (misalnya karena kegagalan desain, kondisi lingkungan dan lokasi yang tidak dapat diantisipasi, perubahan regulasi, dan lain-lain). Masalah seperti ini sangat sulit diprediksi oleh masing-masing pihak. Namun demikian, sekali masalah tersebut muncul dan diketahui maka penyedia pada umumnya memiliki informasi yang lebih baik terkait dengan permasalahan yang dihadapi, metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah, serta konsekuensi biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan. 3.1. Teori (In)complete Contract Dalam perkembangannya terdapat dua aliran teori kontrak yang sering dijadikan rujukan, yaitu (1) teori kontrak lengkap (complete contract) - yang diasosiasikan dengan teori ekonomi kelembagaan (institutional theory) khususnya terkait dengan masalah principal-agent, dan (2) teori kontrak tidak lengkap (incomplete contract) - yang diasosiasikan dengan model transaction cost.
Teori Kontrak dan Implikasinya...
Teori Kontrak Lengkap (Teori Insentif). Dengan asumsi para pihak dapat membuat kontrak yang lengkap, teori ini melihat permasalahan kontrak pengadaan sebagai persoalan insentif. Menurut Laffont dan Tirole (1993), dalam model principal-agent pemerintah sebagai principal dihadapkan pada masalah informasi yang asimetris karena tidak bisa mendapatkan beberapa informasi penting mengenai penyedia (agent), terutama terkait dengan usaha (effort) yang akan dilakukan oleh penyedia. Usaha dalam hal ini dapat menggambarkan tipe dari penyedia (misalnya penyedia yang efisien atau inefisien, penyedia yang risk-taker atau risk averse). Dalam hal ini pemerintah sebagai pembeli tidak bisa membedakan antara penyedia yang efisien dan yang tidak efisien, dan pemerintah juga tidak dapat memonitor sejauh mana usaha dari penyedia untuk semaksimal mungkin memenuhi kepentingan pemerintah sebagai pembeli sebagaimana yang tertuang dalam kontrak. Dengan demikian masalah yang dihadapi pemerintah sebagai pembeli adalah bagaimana mendesain suatu insentif (skema kontrak) agar penyedia memberikan informasi atau mengadopsi perilaku sesuai keinginan pembeli. Dikaitkan dengan tahapan proses pengadaan, teori insentif
November 2013/Vol. 3 - No. 3
lebih menitikberatkan pada desain kontrak sebelum kontrak ditandatangani. Teori Kontrak Tidak Lengkap (Teori Biaya Transaksi). Berbeda dengan teori insentif yang mengasumsikan bahwa para pihak dapat menuangkan hak dan kewajiban untuk seluruh kemungkinan yang akan terjadi, dalam teori biaya transaksi asumsi tersebut tidak berlaku. Pada kenyataannya hampir semua kontrak (termasuk kontrak pengadaan) merupakan kontrak yang tidak lengkap.3 Ketidaklengkapan suatu kontrak tidak dapat dihindari sebagai akibat dari pertimbangan biaya transaksi yang mahal untuk membuat kontrak yang lengkap terutama biaya informasi (information costs), adanya rasionalitas yang terbatas (bounded rationality) atau ketidakmampuan untuk melihat atau memprediksi hal-hal yang bersifat kontinjen, dan oleh sebab lainnya (Grossman, S J & Hart O D, 1986). Dalam model ekonomi, kontrak disebut sebagai “contigenly incomplete”, karena di dalam bahasa kontrak, para pihak tidak dapat memaksimalkan keuntungan transaksi di setiap keadaan kontigensi masa depan (Ayres, Ian and Robert H. Gertner, 1992). Dalam teori ini ketidaklengkapan suatu
Namun Ben-Shahar (2004) menyatakan bahwa secara definisi hukum sebuah kontrak tidak boleh tidak lengkap, karena agar institusi pengadilan dapat menegakkan kontrak, mereka harus memastikan bahwa ketentuan yang ada dalam kontrak cukup lengkap sehingga maksud dari para pihak dapat diketahui dan dipahami dengan jelas. Jika kontrak tidak lengkap maka institusi pengadilan akan mengisi kekosongan atau ketidaklengkapan ketentuan dalam kontrak. Dalam konteks ini maka kontrak selalu dianggap lengkap karena institusi pengadilan akan mengisi ketentuan yang tidak lengkap, atau jika tidak maka kontrak tersebut tidak dapat diberlakukan. Oleh karena itu, dalam teori legal, hukum menyediakan default rule yang mengisi celah dalam kesepakatan aktual dari para pihak. Default rule menjadikan kontrak tidak lengkap (incomplete contract) menjadi kontrak lengkap (complete contract). 3
57
58 JURNAL PENGADAAN
kontrak juga disebabkan oleh ketidakmampuan institusi yang bertanggung jawab untuk menjamin kinerja kontrak (yaitu institusi pengadilan), karena mereka tidak mampu menegakkan ketentuan yang sulit/ tidak dapat diverifikasi. Karena teori ini beranggapan bahwa para penegak hukum juga memiliki bounded rationality, maka kinerja kontrak tidak dapat dijamin oleh mekanisme eksternal (lembaga pengadilan). Oleh Williamson (1996) kondisi seperti ini disebut sebagai kegagalan institusi. 3.2. Konsekuensi dari Teori Kontrak Kedua teori tersebut di atas memiliki konsekuensi atau prediksi yang sama, yaitu terjadinya kontrak yang tidak efisien/ optimal. Namun terdapat perbedaan dalam hal penyebab dari kontrak yang tidak efisien/ optimal tersebut. Pada teori insentif, inefisiensi kontrak disebabkan oleh adanya moral hazard, dimana penyedia dalam menjalankan kontrak berperilaku tidak sejalan/sesuai dengan kepentingan pembeli. Sedangkan pada teori biaya transaksi, sumber dari inefisiensi kontrak berasal dari proses adaptasi atau penyesuaian yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kontrak.
Pada teori insentif, moral hazard menyebabkan kontrak tidak efisien karena penyedia dengan informasi yang dimiliki (yang tidak dimiliki oleh pembeli) dapat melakukan tindakan yang mempengaruhi utility pembeli. Upaya pembeli untuk memaksimalkan utility-nya dalam hal ini dipengaruhi oleh perilaku penyedia. Pada teori biaya transaksi, inefisiensi disebabkan oleh biaya adaptasi. Proses adaptasi jika tidak berjalan dengan baik dapat menimbulkan potensi sengketa kontrak di antara kedua pihak serta menimbulkan biaya, dan biaya adaptasi tersebut selama ini kurang diperhatikan dalam kontrak pengadaan barang/jasa. Dalam banyak kasus perubahan kontrak ex post menimbulkan efek yang signifikan terhadap biaya total proyek.4 Proses adaptasi juga dapat menimbulkan underinvestmenta atau overinvestment. Underinvestment terjadi ketika kewajiban para pihak tidak secara optimal dirumuskan dan dituangkan dalam kontrak, sehingga terdapat peluang untuk melakukan renegosiasi terkait dengan kewajiban tersebut pada saat pelaksanaan kontrak. Renegosiasi memberikan peluang perilaku yang oportunistik, yaitu satu atau kedua pihak mencoba untuk mengambil keuntungan dari proses renegosiasi yang
Menurut Bajari, et al (2006) biaya yang ditimbulkan dari proses adaptasi lebih besar dibandingkan dengan biaya yang ditimbulkan dari masalah yang muncul pada tahap seleksi/lelang, yaitu masalah penguasaan pasar (market power) dan penawaran yang tidak seimbang (unbalanced bidding) yang biasanya berakibat pada harga penawaran yang tidak efisien. 4
Teori Kontrak dan Implikasinya...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
biasanya cenderung mengakibatkan terjadinya underinvestment. Sebaliknya, kontrak yang tidak lengkap - ditambah dengan adanya ganti rugi (damage remedy) - juga dapat berakibat pada investasi yang berlebihan (overinvestment). Karena kontrak mengharuskan salah satu pihak untuk melakukan investasi, sementara kondisi kontigensi menghendaki bahwa lebih baik bagi pihak terkait untuk tidak melakukan investasi, maka terjadi investasi yang tidak optimal (overinvestment). 4. Kontrak Pengadaan yang Optimal Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa isu sentral dalam teori ekonomi kontrak adalah bagaimana para pihak merumuskan kontrak yang efisien atau optimal. Kontrak optimal dalam hal ini didefinisikan sebagai kondisi dimana tidak mungkin lagi untuk meningkatkan expected utility dari salah satu pihak yang berkontrak tanpa mengurangi expected utility bagi pihak lain (kondisi Pareto Optimal).
4.1. Kontrak Optimal dari Perspektif Teori Insentif Berdasarkan teori insentif, kontrak optimal ditentukan oleh jenis kontrak yang digunakan. Dalam teori dan juga praktek, jenis kontrak secara ekstrem dapat dibedakan antara kontrak harga tetap atau lumpsum (LS) di satu sisi dengan kontrak cost plus (C+) di sisi lain. Pada kontrak LS pembeli bersedia untuk membayar penyedia dengan harga yang tetap, dan penyedia menanggung seluruh risiko apabila terjadi perubahan harga, atau mendapatkan seluruh keuntungan dari penghematan biaya. Sebaliknya, pada kontrak C+ seluruh biaya yang diperlukan oleh penyedia untuk menghasilkan barang/ jasa ditanggung oleh pembeli. Dalam hal ini risiko seluruhnya ditanggung oleh pembeli. Diantara kedua ekstrem tersebut terdapat beberapa kemungkinan variasi jenis kontrak yang disebut sebagai Kontrak Insentif. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Jenis Kontrak Pengadaan
59
60 JURNAL PENGADAAN
Hubungan antara pembayaran dan realisasi biaya pada Kontrak LS dan C+ diilustrasikan pada Gambar 2. Pada jenis kontrak LS berapa pun realisasi biaya yang dikeluarkan oleh penyedia, pembayaran yang diterima oleh penyedia dari pembeli tetap sebagaimana ditunjukkan oleh P. C menunjukkan bahwa realisasi biaya sama dengan pembayaran (P=C), sedangkan C-1 menunjukkan bahwa pembayaran lebih besar dari realisasi biaya (P>C). Selisih antara P dan C-1 adalah keuntungan yang dapat sepenuhnya dinikmati oleh penyedia. Sebaliknya C+1 menunjukkan bahwa realisasi biaya lebih besar daripada pembayaran (P
Dalam hal ini pembeli menanggung seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan barang/jasa, dan penyedia tidak menanggung risiko terjadinya perubahan biaya. Dua jenis kontrak tersebut dianggap tidak optimal karena pada jenis kontrak LS meskipun penyedia memiliki insentif untuk melakukan efisiensi, tetapi tidak dimungkinkan bagi pemerintah sebagai pembeli untuk mendapatkan keuntungan dari efisiensi yang dilakukan oleh penyedia (yaitu ketika realisasi biaya C-1 atau P>C). Dengan demikian, pada kontrak LS terdapat kecenderungan bahwa pemerintah membayar lebih tinggi dari yang seharusnya (overpayment). Selain itu, dengan kontrak LS penyedia cenderung mengorbankan kualitas barang/jasa yang dihasilkan dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dengan menekan pengeluaran secara
Gambar 2. Hubungan antara Pembayaran dan Realisasi Biaya Pada Kontrak LS dan C+
Teori Kontrak dan Implikasinya...
berlebihan. Pada jenis kontrak C+ karena penyedia tidak menghadapi risiko maka tidak ada insentif bagi mereka untuk melakukan upaya efisiensi, bahkan mereka cenderung untuk boros. Dalam hal ini konsekuensinya juga sama, yaitu pemerintah membayar lebih mahal dari yang seharusnya. Pada prakteknya kontrak yang optimal tidak mudah untuk dirumuskan karena adanya kesulitan dalam menciptakan mekanisme insentif yang sempurna. Model pengadaan pada kondisi informasi asimetris (Laffont J. J. & Tirole J., 1993) memprediksi bahwa kontrak optimal akan selalu mengandung unsur pembagian biaya (cost sharing) antara pembeli dan penyedia, dan pembayaran kontrak merupakan fungsi convex (convex function) dari realisasi biaya, atau kombinasi antara harga penawaran (fixed cost) dan stochastic term (cost plus payment). Implikasi dari model yang dikemukakan oleh Laffont dan Tirole adalah bahwa jenis kontrak yang dianggap paling optimal adalah jenis kontrak yang disebut dengan kontrak insentif. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Bajari dan Tadelis (2001) ciri penting dari kontrak pengadaan yang optimal adalah kemampuannya untuk mengakomodasi atau merespon perubahan, karena perubahan akan menimbulkan trade-off antara biaya transaksi yang disebabkan oleh perubahan, dan insentif
November 2013/Vol. 3 - No. 3
untuk menurunkan biaya. Dibandingkan dengan kontrak LS dan C+, kontrak insentif memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengakomodasi dan merespon perubahan dan sekaligus memberikan insentif untuk menurunkan biaya. Argumen bahwa kontrak insentif merupakan yang optimal dibandingkan dengan kontrak jenis lain dimodelkan secara matematis oleh McAfee dan McMillan (1986). Pemerintah sebagai pembeli (principal) bertujuan meminimalkan pembayaran/nilai kontrak (P) kepada penyedia (agent). Pembayaran dalam hal ini merupakan fungsi dari realisasi biaya proyek (c) dan harga penawaran pemenang lelang (b) yang juga merupakan nilai kontrak awal, sehingga: P = αc + βb + γ Notasi α dan β dalam hal ini merupakan konstanta yang dapat mengarahkan kita pada tiga jenis kontrak. Jika α = 1 dan β = 0 maka P merupakan kontrak C+ dan γ adalah (extra) profit bagi penyedia. Jika α = 0 dan β = 1, maka P merupakan kontrak lumpsum, dan jika 0 <α< 1 dan β = 1 – α, maka P merupakan kontrak insentif, dimana penyedia bertanggung jawab terhadap sebagian dari cost overrun (1 –α). Pada kontrak insentif diasumsikan β = (1 - α) dan γ = 0, sehingga kita dapat memodifikasi kontrak yang optimal menjadi P = b + α (c –
61
62 JURNAL PENGADAAN
b), yaitu pembayaran (P) sama dengan harga penawaran/nilai kontrak (b) ditambah dengan bagian dari α yang mewakili cost overrun atau underrun. Jika realisasi biaya (c) lebih besar daripada nilai kontrak awal (b) berarti terjadi cost overrun maka penyedia akan menerima pembayaran lebih besar dari kontrak awal. Sebaliknya jika c < b maka pemerintah juga akan mendapatkan pembagian keuntungan dan penyedia menerima pembayaran lebih rendah dari nilai kontrak awal. 4.2. Kontrak Optimal dari Perspektif Teori Biaya Transaksi Teori biaya transaksi menjelaskan bahwa pembeli dan penyedia harus menegosiasikan penyesuaian/adaptasi lingkup pekerjaan dan kompensasi, yang mengakibatkan perbedaan nilai kontrak dengan realisasi pembayaran. Di sini teori biaya transaksi melihat kontrak optimal dari perspektif yang sangat berbeda dari teori insentif, yaitu bagaimana proses/ mekanisme adaptasi kontrak yang paling efisien agar menghasilkan kontrak pengadaan yang optimal, yang oleh Williamson (1979) disebut sebagai ...the most economical governance structure. Solusi yang ditawarkan adalah para pihak membuat kesepakatan (yang dituangkan dalam kontrak) mengenai prosedur untuk menentukan tindakan yang harus diambil oleh masing-masing pihak, dan menggunakan
cara untuk menjamin kinerja sesuai dengan komitmen dalam kontrak. Kontrak juga perlu memuat ketentuan tentang mekanisme supervisi (pengawasan) dan upaya paksa (coercion) untuk memastikan agar para pihak menghormati komitmen yang ada dalam kontrak. Dengan demikian kontrak harus menciptakan “private order”, yaitu para pihak menciptakan sistem/mekanisme penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, sehingga para pihak dapat menjamin adanya kerjasama untuk menyelesaikan perselisihan setelah penandatanganan kontrak. Teori ini menekankan mekanisme penyelesaian konflik di luar institusi pengadilan. Dengan alasan bahwa komitmen dalam kontrak tidak lengkap bersifat terbuka dan spesifik, maka penyelesaian konflik tidak dapat secara efisien dilakukan oleh pihak berwenang di luar para pihak yang berkontrak (institusi pengadilan). Dalam hal ini para pihak yang berkontrak harus sepakat di awal mengenai prosedur bilateral untuk menyelesaikan perselisihan. Williamson (1996) berpendapat bahwa lembaga arbitrase (pengadaan) memiliki keunggulan daripada institusi pengadilan karena memiliki kapasitas yang lebih baik dari sisi pengetahuan untuk mengevaluasi sengketa kontrak dan mengisi kesenjangan kontrak. Para arbiter memiliki keahlian khusus di bidang pengadaan yang memudahkan mereka memahami
Teori Kontrak dan Implikasinya...
kompleksitas teknis dari kontrak/transaksi pengadaan serta memiliki pengetahuan yang secara umum diterima dan dipahami oleh para pelaku pengadaan. Arbiter biasanya juga berasal dari para profesional yang menjunjung tinggi kode etik profesi yang dikeluarkan oleh asosiasi tertentu. Mekanisme arbitrase juga diyakini lebih baik dalam pengertian dapat mendorong para pihak untuk mewujudkan kontrak yang lebih lengkap. 5. Penerapan Teori Kontrak dalam Regulasi Pengadaan 5.1. Kontrak Insentif Meskipun kontrak insentif secara teori dianggap paling optimal, namun dalam kenyataannya hanya sedikit negara yang menerapkan skema tersebut dalam regulasinya, salah satunya adalah Amerika Serikat. Padahal apabila dicermati lebih lanjut, permasalahan pengadaan barang/jasa
November 2013/Vol. 3 - No. 3
pemerintah yang sering muncul sebagaimana telah dikemukakan di awal sebenarnya dapat diatasi dengan penggunaan jenis kontrak insentif. Permasalahan yang terkait dengan perubahan ruang lingkup pekerjaan misalnya terjadi/baru diketahui ketika kontrak sudah berjalan. Perubahan tersebut memiliki potensi besar dalam menimbulkan permasalahan pengadaan dan kontrak yang optimal seharusnya dapat merespon perubahan. Kontrak insentif dalam hal ini dapat mengantisipasi informasi asimetris sekaligus bounded rationality yang muncul pada tahap pemilihan penyedia yang dapat menimbulkan permasalahan karena terlanjur tertuang dalam kesepakatan kontrak. Salah satu fitur utama dari kontrak insentif adalah adanya pembagian cost overrun/underrun antara penyedia dan pembeli, serta perlunya menetapkan price ceiling/floor.
Gambar 2. Pembagian Risiko/Keuntungan antara Pemerintah dan Penyedia Pada Kontrak Insentif
63
64 JURNAL PENGADAAN
Pada prakteknya tidak mudah untuk menganalisis/menghitung kedua hal tersebut. Sebagai contoh, Defense Materiel Organisation (DMO, 2009) menyatakan bahwa sangat sulit membuat formula umum untuk menghitung pembagian risiko/keuntungan, karena setiap kontrak memiliki variasi dan karakteristik yang sangat beragam. Namun demikian, untuk pengadaan alat pertahanan yang kompleks mereka berpendapat bahwa rasio minimum pembagian risiko/keuntungan seharusnya 50:50 agar dapat mencerminkan perlunya penyedia untuk mengelola tingginya ketidakpastian biaya (lihat gambar 3). Mengacu pada regulasi yang ada, Indonesia belum mengadopsi penggunaan kontrak insentif. Dalam regulasi pengadaan barang/ jasa pemerintah di Indonesia, berdasarkan cara pembayaran terdapat lima jenis kontrak yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu (1) kontrak lumpsum, (2) kontrak harga satuan, (3) kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan, (4) kontrak persentase, (5) kontrak terima jadi (turnkey). Pada umumnya, jenis kontrak yang sering digunakan adalah tiga jenis kontrak yang pertama yaitu lumpsum, harga satuan, dan gabungan. Kontrak persentase dan kontrak turnkey belum terdefinisi dengan baik dalam regulasi pengadaan kita sehingga jenis kontrak ini belum banyak digunakan. Pada
lima jenis kontrak tersebut tidak ada satu pun yang mensyaratkan atau memungkinkan adanya pembagian biaya/keuntungan antara pembeli dan penyedia, yang merupakan karakteristik utama dari kontrak insentif. Melihat karakteristik dan kompleksitasnya, kontrak insentif lebih efektif digunakan untuk kontrak pengadaan yang ruang lingkup pekerjaannya belum jelas/pasti dan biayanya sulit diestimasi. Kontrak insentif pada prinsipnya tetap diawali dengan proses kompetisi/lelang untuk mendapatkan target price, namun demikian kontrak insentif memiliki prosedur yang lebih rumit/ kompleks. Misalnya, dalam pengadaan yang bersifat khusus seperti pertahanan keamanan, diperlukan adanya negosiasi pra-kontrak. Negosiasi diperlukan karena menyangkut ketersediaan barang dan ketika jumlah penyedia terbatas. Oleh karena itu, negosiasi ini bertujuan untuk mengantisipasi trade-off antara biaya, fungsionalitas dan ketersediaan komponen sesuai dengan yang dipersyaratkan sehingga ada ukuran kinerja dari penyedia pada saat pelaksanaan kontrak. Negosiasi juga bertujuan untuk memverifikasi harga akhir (final price) sehingga dapat diketahui variasi biaya yang dapat diberlakukan dalam rangka pembagian risiko/keuntungan. Namun demikian, terdapat tantangan dan kendala yang cukup besar dalam
Teori Kontrak dan Implikasinya...
mengimplementasikan regulasi yang memperkenalkan kontrak insentif. Selain terkait dengan bagaimana menentukan rasio pembagian cost overrun/underrun serta batas atas/bawah pembayaran, yang juga menjadi tantangan adalah bagaimana mekanisme penganggaran dan pembayaran dalam kontrak insentif. Mekanisme yang ada saat ini belum memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembayaran atas suatu pekerjaan yang belum pasti/ jelas. Pembayaran pada kontrak insentif didasarkan pada harga penawaran (nilai kontrak awal) ditambah/dikurangi dengan cost overrun atau cost underrun yang membuat kedua belah pihak dapat menikmati cost sharing yang wajar sehingga tercapai kontrak yang efektif dan efisien. Pemerintah sebagai pembeli harus menentukan besaran α berdasarkan jenis pekerjaan (barang, jasa, jasa konstruksi atau jasa lainnya) sehingga dapat diperoleh pembayaran yang sesuai dengan ruang lingkup, tipe, dan risiko pekerjaan. Hal ini akan berpengaruh pada dasar perhitungan penyusunan HPS maupun pada saat pelaksanaan pekerjaan karena dimungkinkan penyedia akan memperbesar realisasi biaya untuk mengantisipasi harga penawarannya (b) apabila pemerintah tidak menentukan α dengan tepat. 5.2.
Adaptasi Kontrak melalui Arbitrase
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Pada regulasi pengadaan di Indonesia penyelesaian perselisihan diatur melalui musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan. Dengan demikian, mekanisme yang diutamakan dalam penyelesaian sengketa kontrak pengadaan adalah melalui musyawarah. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak efektif karena secara konseptual tidak ada teori yang melandasinya, dan terlebih lagi tidak ada data empiris yang menunjukkan penggunaan mekanisme ini oleh para pihak untuk melakukan adaptasi kontrak. Dengan demikian, regulasi pengadaan seharusnya lebih mendorong penggunaan mekanisme arbitrase untuk penyelesaian sengketa kontrak pengadaan daripada mekanisme lainnya termasuk alternatif penyelesaian sengketa dan pengadilan. Sesuai dengan teori biaya transaksi penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap lebih optimal dibandingkan dengan mekanisme lainnya. Mekanisme arbitrase juga merupakan salah satu pengamanan (safeguards) dalam kontrak pengadaan. Arbitrase memungkinkan penyelesaian sengketa masih berada pada kendali para pihak, karena para pihak dapat memilih sendiri arbiternya. Selain itu arbiter juga berasal dari profesional yang memiliki keahlian khusus di bidang pengadaan.
65
66 JURNAL PENGADAAN
Arbitrase di sisi lain memiliki sifat litigasi tetapi dipermudah dengan adanya simplifikasi prosedur. Arbitrase (tribunals) memiliki ahli khusus yang mengerti kompleksitas teknis suatu transaksi dan memiliki pengetahuan terhadap kelaziman yang tertuang dalam kontrak baik secara eksplisit maupun implisit. Arbiter dapat memverifikasi aspek yang hampir tidak kentara terkait kualitas dan kecukupan komponen suatu pekerjaan (Dixit, 2003). Sebaliknya, institusi pengadilan harus mengulas seluruh rentang keperdataan dan tidak memiliki keahlian atau pengetahuan khusus mengenai suatu pekerjaan. Meskipun institusi pengadilan memiliki akses untuk menghadirkan ahli, namun institusi pengadilan tetap harus menginterpretasikan keterangan ahli berdasarkan pemikiran dan pengetahuan mereka sendiri yang sangat terbatas mengenai suatu pekerjaan pengadaan. Negara yang secara intensif menggunakan lembaga arbitrase untuk penyelesaian sengketa pengadaan (khususnya pekerjaan konstruksi) adalah Malaysia. Amerika Serikat dan Perancis juga menggunakan arbitrase namun setelah penggunaan alternatif penyelesaian sengketa yang lain dianggap tidak berhasil. Di Indonesia, ketentuan pelaksanaan alternatif
penyelesaian sengketa di luar arbitrase dalam pengadaan tidak diatur secara terperinci dan keberadaan lembaga arbitrase yang ada sekarang belum dianggap sebagai lembaga terpercaya yang dapat memenuhi harapan para pihak. Aspek kerahasiaan dalam proses arbitrase merupakan salah satu alasan kenapa lembaga arbitrase belum banyak digunakan untuk menangani sengketa pengadaan publik. Para pihak akhirnya cenderung lebih banyak memilih institusi pengadilan sebagai pemutus terbaik dalam menyelesaikan sengketa pengadaan. Sementara berdasarkan perspektif teori biaya transaksi, institusi pengadilan dianggap tidak dapat menyelesaikan perselisihan secara efisien.5 Artinya selama ini kita cenderung memilih mekanisme yang sebetulnya tidak efisien. Untuk memperkuat lembaga arbitrase di Indonesia dalam penyelesaian sengketa pengadaan, arbiter yang ditunjuk untuk menangani sengketa seharusnya menguasai hukum publik yang terkait dengan pengadaan, seperti peraturan mengenai pengadaan, sistem pembayaran, serta peraturan mengenai batasan-batasan pelaksanaan kontrak itu sendiri. Terkait dengan aspek kerahasiaan yang sebenarnya merupakan kelebihan dari
Steven Shavel (2003) dalam analisis ekonominya terhadap hukum kontrak menyatakan bahwa arbitrase bisa menjadi suatu forum pilihan dalam penyelesaian sengketa kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah sepanjang kontrak tersebut tidak memiliki “harmful external effect”. Jika suatu kontrak dirasakan memiliki harmful external effect sebaiknya menggunakan institusi pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Namun demikian Shavel tidak menjelaskan lebih lanjut definisi harmful external effect. 5
Teori Kontrak dan Implikasinya...
arbitase, maka UNCITRAL membuat suatu konsep proses arbitrase yang mengakomodasi tuntutan transparansi dalam proses penyelesaian sengketa pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam hal ini Working Group UNCITRAL mencoba mengkaji penerapan transparansi dalam proses arbitrase, dan akhirnya pada awal tahun 2013 UNCITRAL Working Group II sepakat memodifikasi aturan arbitrase UNCITRAL guna menjamin transparansi dalam proses arbitrase.8 Namun demikian usulan tersebut masih harus disetujui oleh Komisi UNCITRAL dan Majelis Umum PBB. Salah satu modifikasi penting terkait dengan transparansi adalah bahwa semua dokumen penting dalam arbitrase akan dipublikasikan, termasuk pemberitahuan arbitrase, semua transkrip pembelaan dan keputusan serta putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Selain itu dengar pendapat secara lisan untuk presentasi bukti harus terbuka untuk umum (tergantung kebijaksanaan pengadilan untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi informasi rahasia). Ketentuan tersebut tentunya juga bisa diadopsi oleh lembaga arbitrase di Indonesia sehingga tuntutan terhadap adanya transparansi dalam penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase dapat dipenuhi. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi 6
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Kontrak pengadaan yang optimal membutuhkan skema dan mekanisme adaptasi kontrak yang memberikan insentif bagi para pihak untuk memaksimalkan net benefit sekaligus meminimalkan perilaku yang oportunistik dan eksploitatif. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kontrak yang tidak optimal adalah meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pihak dalam berkontrak sehingga kesenjangan yang ada dalam kontrak dapat dikurangi. Namun harus dipahami bahwa sebaik apa pun kemampuan dan pengetahuan para pihak dalam menyusun kontrak, masalah fundamentalnya adalah tetap sama, yaitu akan selalu ada keterbatasan rasionalitas para pihak yang mengakibatkan kontrak yang dibuat tidak pernah lengkap, dan terdapat informasi asimetris yang menimbulkan moral hazard (eksploitasi). Pada kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ketidaklengkapan kontrak tidak hanya disebabkan oleh bounded rationality dari para pihak dan institusi pengadilan, tetapi juga ketidaklengkapan regulasi yang dibuat oleh regulator rtinya, bounded rationality juga dihadapi oleh regulator pengadaan. Mengingat regulasi pengadaan yang ada saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi skema dan mekanisme adaptasi kontrak
http://www.hlarbitrationlaw.com/2013/04/uncitral-arbitration-rules-transparency-provisions/
67
68 JURNAL PENGADAAN
yang optimal, maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait dengan hal tersebut sehingga dapat menuntun kita dalam menyusun ketentuan yang dapat dijadikan pedoman untuk menghasilkan kontrak pengadaan yang optimal. Pemahaman secara teoretis terkait dengan ekonomi kontrak perlu dilengkapi dengan kajian empiris untuk mempelajari bagaimana konsep yang ada dalam teori kontrak diimplementasikan di lapangan yang pastinya jauh lebih kompleks daripada teori.
Teori Kontrak dan Implikasinya...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
DAFTAR PUSTAKA
Akerlof, G. A. (1970). The market for lemons: quality, uncertainty and the market. Quarterly Journal of Economics 84, 488-500.
Coase, R. H. (1937). The Nature of the Firm, Vol. 4, pp. 386-405. Economica, Vol. 4, 386-405.
Arrow, K. J. (1971). Essays in the theory of risk. Amsterdam: North Holland Publishing.
Dixit, A. ( 2003). Arbitration and Information. Princenton University.
Ayres, Ian & Robert Gertner. (1989). Filling Gaps in Incomplete Contracts: An Economic Theory of Default Rules. 98 YALE L.J. 87.
DMO. (2009). Incentive Contracting in Defence Procurement: An Updated Approach Incorporating Performance-Based Measures. DMO Discussion Paper.
Ayres, Ian and Robert H. Gertner. (1992). “Strategic Contractual Inefficiency and the Optimal Choice of Legal Rules. Yale Law Journal 101 (4), 729. Bajari, Patrick, Stephani Houghton, and Steven Tadelis. (2006). Bidding for Incomplete Contracts: An Empirical Analysis. NBER Working Paper No. 12051. Bajari, Patrick, and Steven Tadelis. (2001). Incentives Versus Transaction Costs: A Theory of Procurement Contracts. RAND Journal of Economics Vol 32(3), 287-307. Ben-Shahar, O. (2004). Agreeing to Disagree: Filling Gaps in Deliberately Incomplete Contracts. Wisconsin Law Review, 389– 428.
Grossman, S J & Hart O D. (1986). The costs and benefits of ownership: a theory of vertical integration. Journal of Political Economy, Vol. 94 No. 4, 691-719. Jehn, K. A. (1977). A Qualitative Analysis of Conflict Types and Dimensions in Organizational Groups. 42 Administrative Science Quarterly , 530-557. Laffont J. J. & Tirole J. (1993). A Theory of Incentives in Procurement and Regulation,. Cambridge, Mass: MIT Press. Laffont, J.J., J. Tirole. (1986). Using Cost Observation to Regulate Firms. Journal of Political Economy, Vol.94, 614-41.
69
70 JURNAL PENGADAAN
Macaulay, S. (1963). Non-Contractual Relations in Business: A Preliminary Study. American Sociological Review Vol. 28, No. 1, 55-67. McAfee, R.P. and McMillan, J. (1986). Bidding for Contracts: A Principal Agent Analysis. Rand Journal of Economics, Vol. 17 , 326-38. Shavell, S. (2003). Economic Analysis of Contract Law. Cambridge: National Bureau of Economic Research.
Weshsler, M. M. (2012). The Law Guide V1.1. New York: The Law Network, LLC. Williamson, O. E. (1979). Transaction-Cost Economics: The Governance of Contractual Relations. Journal of Law and Economics, Vol. 22, No. 2, 233-261. Williamson, O. E. (1996). The Mechanism of Governance. Oxford: Oxford University Press.
MANAJEMEN PENGADAAN PUBLIK
Manajemen Pengadaan Publik
November 2013/Vol. 3 - No. 3
MANAJEMEN PENGADAAN PUBLIK
Abstrak Pengadaan barang dan jasa publik saat ini sering dipandang sebagai salah satu fungsi dalam penyerapan anggaran. Pengadaan menjadi tergantung pada ketersediaan anggaran dan selesai bilamana anggaran sudah
Togar M. Simatupang
terserap. Pengadaan barang dan jasa publik lebih luas mempunyai peran
Fanny Kartika
penting lainnya dalam pembangunan suatu negara. Tulisan ini mencoba menampilkan peran pengadaan publik berkelanjutan dari perspektif manajemen rantai pasok yang berfungsi untuk memberikan dampak yang lebih luas kepada masyarakat.
73
74 JURNAL PENGADAAN
PENDAHULUAN embenahan di bagian pengadaan barang dan jasa sedang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia. Perbaikan Perpres Nomor 54 tahun 2010 menjadi Perpres Nomor 70 tahun 2012 menandakan bahwa Pemerintah memiliki niat untuk mengefektifkan pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Perubahan ini dilandaskan ada pertimbangan Presiden dalam rangka percepatan pelaksanaan pembangunan melalui pengadaan publik yang efektif.
P
Salah satu butir yang menjadi fokus perbedaan pada Perpres Nomor 70 adalah diwajibkannya pemberlakuan pengadaan melalui sistem elektronik (e-procurement). Melalui sistem e-procurement, prinsip-prinsip lelang; yaitu efisien, efektif, transparan, bersaing, tidak diskriminatif, terbuka, dan akuntabel dapat tercapai. Masyarakat dapat mengawasi proses lelang melalui sistem ini. Selanjutnya, sistem ini juga memberikan keterbukaan kepada penyedia dari perusahaan kecil yang ingin ikut bergabung dalam seleksi tender. Baik perusahaan besar dan perusahaan kecil mengalami proses tender yang sama dan adil. Pembelanjaan yang memakai uang negara melalui proses pengadaan sebesar kurang lebih 35-40% dari APBN. Jumlah yang besar menjadi rentan ketika timbul peluang korupsi dengan memakai sistem manual, yakni tatap muka. E-procurement secara mendasar
menghindari intrik tersebut karena penyedia dan penyelenggara tidak dapat bertemu langsung. Pembenahan melalui Perpres Nomor 70 tahun 2012 ini tidak serta merta langsung mengubah pengadaan barang dan jasa publik. Pengadaan barang dan jasa publik adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Konsumen akhir pengadaan adalah masyarakat itu sendiri. Konsep pengadaan seharusnya memiliki konsep berkelanjutan (sustainable procurement). Dalam mencapai konsep tersebut, arti pengadaan tidak hanya terbatas pada mendapatkan barang, bangunan, dan jasa, melainkan juga untuk mencapai value for money, yakni perbesaran nilai dari uang yang dikeluarkan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat dan ekonomi dengan turut serta meminimalkan kerusakan lingkungan. Konsep pengadaan publik berkelanjutan Pengadaan publik berkelanjutan (sustainable public procurement) adalah penggabungan dari konsep pengadaan publik dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan berfokus pada
Manajemen Pengadaan Publik
pembangunan dalam memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Ada tiga faktor yang menjadi pilar utama, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sedangkan, pengadaan publik harus berprinsip pada pembentukan nilai dan keadilan. Dengan menggabungkan kedua konsep ini, terciptalah konsep pengadaan publik berkelanjutan yang dipromosikan oleh WCED (World Commission on Environment and Development). Dengan mengaplikasikan konsep berkelanjutan, pengadaan publik di Indonesia yang saat ini lebih mengarah pada orientasi proyek perlu dikembangkan menjadi orientasi nilai. Artinya, pengadaan tidak lagi hanya terbatas pada penyerapan dana namun mengoptimalkan nilai dari proyek pengadaan sebagai pengangkat pembangunan. Untuk pengoptimalan nilai dari pengadaan, perlu dipahami bahwa manajemen rantai pasok adalah konsep yang mendasari aktivasi pengadaan. Menurut pengertian Bank Dunia, manajemen rantai pasok adalah manajemen dari keseluruhan proses bisnis yang menghasilkan dan menyampaikan produk atau jasa ke konsumen akhir. Melalui pengertian ini, dapat dipahami bahwa manajemen rantai pasok adalah manajemen yang bergerak dari hulu ke hilir, dari pemasok ke konsumen. Manajemen rantai
November 2013/Vol. 3 - No. 3
pasok dalam sektor publik adalah konsep yang menawarkan kerangka acuan untuk komposisi rantai pasok publik dan jaringan aras majemuk (Migiro dan Ambe, 2008). Rantai pasok sendiri merupakan koneksi antar organisasi, orang, peraturan, dan sistem dalam kegiatan penyampaian produk dan jasa ke tangan konsumen. Kaitannya pada pengadaan publik, koneksi antar organisasi dan orang diartikan pada koordinasi antar tiga pemangku kepentingan dalam pengadaan, yakni pemerintah, penyedia, dan masyarakat. Sedangkan, peraturan dan sistem sangat penting ditetapkan oleh pemerintah dalam pencapaian pengadaan yang teratur, adil, efektif, efisien, dan transparan. Kolaborasi dari ketiga pihak tersebut dapat membentuk manajemen rantai pasok yang efektif dengan ciri-ciri mekanisme penyelarasan, kerja tim lintas fungsi, pengukuran kinerja, perancangan kelembagaan, sistem informasi, dan pemberdayaan. Berdasarkan penelitian Migiro dan Ambe (2008) mengenai manajemen rantai pasok di sektor publik Afrika Selatan, terdapat berbagai faktor pendorong kolaborasi rantai pasok (pelanggan semakin menuntut, bergesernya daya tawar, persaingan, globalisasi), penghambat manajemen rantai pasok yang efektif (kurangnya dukungan manajemen
75
76 JURNAL PENGADAAN
puncak, sulitnya berbagi informasi, tidak mau berbagi risiko, benturan kepentingan, penolakan perubahan) dan tentunya keuntungan dari manajemen rantai pasok yang efektif (mutu yang lebih baik, manajemen aset yang efisien, kecepatan kas-ke-kas, dan siklus pengembangan yang lebih singkat). Proses dan kegiatan pengadaan publik dapat menjadi efektif apabila ada efektivitas dalam manajemen rantai pasok. Selanjutnya, Choi (2010) menemukan adanya lima peran pengadaan publik yang dalam upaya mewujudkan pengadaan berkelanjutan seperti tampak pada Gambar 1. Kelima peran tersebut adalah kontribusi pada nasional ekonomi (national economic contribution), tanggung jawab sosial (social responsibilities), kepemimpinan pejabat pemerintah (leadership in government official), kegiatan yang ramah lingkungan (eco-friendly activities), dan inovasi industri (industry innovation).
Gambar 1. Peran Pengadaan Publik
Pengadaan publik pertama-tama memiliki peran sebagai fungsi yang berkontribusi pada perekonomian nasional. Sebagai contoh, pengadaan publik seperti pengadaan infrastruktur berfungsi sebagai penyambung ekonomi daerah. Dengan adanya infrastruktur, aktivitas perekonomian di masing-masing daerah semakin efisien dan efektif. Selanjutnya, kontribusi tersebut dapat lebih dikembangkan dengan menggunakan kesempatan yang ada melalui proses pengadaan. Kesempatan yang dimaksud adalah mengenai penekanan biaya pengadaan. Penekanan biaya ini ditujukan untuk memperoleh keuntungan lebih yang kemudian bisa difungsikan untuk pembangunan sosial. Seperti pada halnya pengadaan swasta, strategi bisnis mereka adalah untuk menekan biaya pada pengadaan sehingga lebih banyak keuntungan yang diperoleh. Perbedaannya, keuntungan tersebut dalam pengadaan publik tidak dapat dipergunakan untuk pribadi melainkan harus dikembalikan pada kebutuhan masyarakat. Fungsi selanjutnya, kepemimpinan dalam pemerintahan merujuk kepada dua hal, yakni pemaksimalan efisiensi pada penggunaan alokasi dana pemerintah dan transparansi sistem kerja dalam pengadaan. Seperti kita ketahui, pemerintah memiliki sistem dengan regulasi yang rumit dan sulit untuk dikembangkan. Choi (2010) menjelaskan
Manajemen Pengadaan Publik
bahwa untuk membuat inovasi dan memaksimalkan efesiensi pada pengadaan, Pemerintah Korea membentuk sistem pengadaan terpusat dan transparan dengan menggunakan e-procurement. Selanjutnya. Fokus Pemerintah Korea tidak terbatas pada penghematan pengeluaran, namun membuat juga model penghematan biaya. Setiap penghematan dari setiap proyek akan dialokasikan untuk pengembangan ekonomi negara. Penghematan ini kemudian didukung oleh kontrol mutu yang baik untuk menjamin bahwa mutu produk dan pengerjaan tidak menurun karena adanya penghematan biaya. Kepemimpinan dalam pemerintahan juga merujuk pada etika dari para pejabat pemerintah. Etika ini kembali berhubungan dengan masalah paling mendasar dari segala perilaku pejabat pemerintah untuk menjauhi korupsi. Unsur kepemimpinan terdiri dari etika, inovasi, inisiatif, dan tanggung jawab. Seluruh unsur ini dibutuhkan oleh pejabat pemerintah sebagai orang yang memiliki kedudukan lebih di antara masyarakat. Inisiatif dari pejabat pemerintah dibutuhkan untuk membentuk sebuah proses yang efektif dan mengahasilkan hasil yang inovatif. E-procurement merupakan buah karya inovasi yang memberikan unsur transparasi dalam cara pengadaan barang atau jasa. Kemudian, fungsi tanggung jawab sosial (social responsibility) mengarah pada hak dan
November 2013/Vol. 3 - No. 3
keselamatan pekerja serta pengembangan usaha kecil-menengah (UKM). Fungsi ini dibentuk sebagai acuan mengenai etika sosial dan lingkungan dalam pengadaan publik. Kasat mata, pengadaan yang berlandaskan fungsi ini tampak menghabiskan lebih banyak biaya, namun ada keuntungan lain yang tidak bisa dinilai oleh uang. Pengadaan berlandaskan tanggung jawab sosial dapat menghasilkan lingkungan yang lebih bersih dan aman. Hak dan keselamatan kerja adalah tentang sistem kompensasi pekerja dari pihak penyedia. Proyek pengadaan harus memenuhi standar kompensasi, seperti tidak mengerjakan pekerja di bawah umur, membayar upah sesuai upah minimum, tidak mempekerjakan pekerja melebihi jam kerja, dan menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja. Sementara, fokus kedua adalah mengenai pengembangan usaha kecil-menengah. UKM tidak kuat untuk bersaing dengan perusahaan besar walaupun mereka memiliki kemampuan yang sama. Di sini, Pemerintah perlu berperan untuk membimbing pengembangan UKM. Pemerintah harus menjamin persaingan yang adil mengenai tender pengadaan. Selain itu, Pemerintah dapat mendorong perusahaan besar untuk memberikan kesempatan subkontrak dengan UKM. Pemerintah juga dapat berkoordinasi dengan pihak keuangan seperti bank mengenai dana pinjaman kepada
77
78 JURNAL PENGADAAN
penyedia. Pemerintah Korea, dalam penelitian Choi (2010), memungkinkan kontraktor untuk meraih pinjaman besar yakni mencapai angka maksimum 80 persen dari keseluruhan nilai kontrak. Hal tersebut masih berbeda dengan realitas pengadaan di Indonesia, dimana proyek pengadaan sangat bergantung kepada ketersediaan dana. Fungsi keempat adalah konsep ramah lingkungan (eco-friendly activities). Konsep ini memadukan faktor lingkungan pada kebijakan pengadaan. (Choi, 2010) dalam tulisannya membagi konsep manajemen ramah lingkungan ke dalam tiga tahapan kegiatan, yakni sebelum produksi (preproduction), saat produksi (during-production), dan setelah produksi (post-production). Dari ketiga kegiatan tersebut yang paling penting adalah tahap sebelum produksi. Dalam artian kualitas, tindakan pencegahan adalah cara terbaik untuk mempertahankan mutu produk. Tindakan pencegahan sendiri merupakan fase dalam tahap sebelum produksi. Pemerintah harus mengadakan evaluasi terhadap atribut lingkungan pada pengadaan barang dan jasa selanjutnya. Atribut lingkungan sendiri memiliki ragam yang banyak, seperti efisiensi energi, daur ulang, efisiensi penggunaan air, emisi gas rumah kaca, konservasi sumber daya, pencegahan limbah, persentase material yang dapat diperbaharui, dan efek samping
pada manusia, hewan, tumbuhan, udara, air, tanah, racun, konten material, kemasan, dan transportasi. Pemerintah Korea dalam aplikasi konsep ramah lingkungannya, lebih menekankan kepada atribut efisiensi energi dan penggunaan produk berkarbon rendah. Pada dasarnya, konsep ramah lingkungan ini selain membawa pengaruh positif pada lingkungan juga dapat meningkatkan kesan positif kepada masyarakat karena telah memperhatikan lingkungan dalam pengerjaan proyek pengadaan. Konsep yang juga sering disebut dengan istilah “green procurement” diartikan sebagai pengadaan yang memiliki sedikit implikasi buruk pada lingkungan. Dengan manajemen penggunaan material yang lebih baik, keuntungan dari konsep ini adalah pengiritan biaya yang terbentuk dari berkurangnya konsumsi energi, sumber daya yang dipakai, dan manajemen material. Inovasi industri (industry innovation) menjadi peran kelima dalam pengadaan publik. Pengadaan publik secara dasar terbagi atas dua. Pertama adalah pembelanjaan produk standar seperti komoditas kertas, kain, peralatan dan lainnya. Kedua adalah pengadaan berteknologi yang membutuhkan keahlian berteknologi. Dalam artian pengadaan publik, penyedia barang dan jasa disebut sebagai industri. Sementara yang
Manajemen Pengadaan Publik
menjadi konsumer adalah sektor pengadaan publik itu sendiri. Inovasi industri fokus kepada kooperasi antara sektor publik dan swasta dalam tujuannya memenuhi kebutuhan pengadaan. Sebelumnya, konsep pengadaan hanya sebatas pada pemenuhan infrastruktur dasar dan jasa seperti rumah sakit, jalan raya atau konstruksi di bidang infrastruktur. Namun sekarang ini pengadaan lebih dari sekadar pengadaan dasar. Pengadaan saat ini memiliki keperluan dan teknologi yang tinggi. Untuk itu dengan adanya kerja sama dengan sektor swasta yang pada dasarnya lebih berkembang secara teknologi, inovasi dalam pengadaan dapat lebih ditingkatkan. Dalam kaitan koordinasi dengan sektor swasta, pemerintah juga harus membangun sebuah program yang mendukung penemuan dan pengembangan teknologi pada sektor bisnis kecil-menengah. Program tersebut dapat berupa paten, model, dan produk. Kesimpulan Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran masyarakat juga semakin besar. Pengadaan adalah salah satu unsur penting dalam kegiatan operasi pemerintahan. Pengadaan publik dapat mengubah cara kerja karena pengadaan publik sangat mempengaruhi banyak area. Karena itu, pengadaan publik dinilai dapat membuat kehidupan masyarakat semakin baik.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Namun dalam kaitannya pada Indonesia, pengadaan masih terbentur dengan adanya sistem penilaian kinerja kantor yang sering mendasarkan penilaian pada percepatan penyerapan dana anggaran. Akibatnya pelaksanaan anggaran lebih mengutamakan jumlah realisasi ketimbang pemilihan jenis barang/jasa yang sesuai kebutuhan. Pembelian barang/jasa dilakukan dengan tujuan agar dana yang ada dapat segera dicairkan, tanpa mempertimbangkan apakah barang/jasa yang dibeli bermanfaat dalam menunjang kinerja instansi. Akibatnya jumlah barang/jasa yang tidak begitu penting dapat menjadi berlebih sementara barang lainnya yang sangat dibutuhkan tidak tersedia dengan cukup (Sopian, 2013). Perubahan Perpres menjadi Nomor 70 juga lebih menfokuskan pengadaan untuk percepatan penyerapan anggaran. Dari pernyataan, kondisi, dan contoh yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa belum ada langkah strategis untuk mengembangkan nilai dari pengadaan itu sendiri. Banyak cara untuk membuat pengadaan lebih memiliki makna terhadap masyarakat melalui konsep pengadaan publik berkelanjutan. Contoh lain dari bentuk pengadaan yang berkelanjutan diimplementasikan melalui sistem kontrak dan relasi dengan penyedia. Saat ini pemerintah mengikat kontrak dengan penyedia yang
79
80 JURNAL PENGADAAN
menawarkan harga terendah. Dalam konteks pengadaan berkelanjutan, pemerintah dapat memilih penyedia yang proyeknya berbasis value-to-money, bukan sekadar dari proyek yang anggarannya paling murah. Kemudian, setiap proyek lebih baik membina hubungan dengan penyedianya, seperti memberikan insentif kepada mereka yang berhasil menerapkan konsep pengadaan berkelanjutan. Melalui tulisan ini, ingin disampaikan bahwa alangkah bermanfaat apabila pengadaan publik di Indonesia dikembangkan untuk memberi dampak yang lebih luas terhadap masyarakat karena pada dasarnya, pengadaan adalah bentuk pelayanan publik.
Manajemen Pengadaan Publik
November 2013/Vol. 3 - No. 3
DAFTAR PUSTAKA Choi, J.W. (2010), “A Study of The Role of Public Procurement – Can Public Procurement Make Society Better?” Paper Presented at the 4th International Public Procurement Conference in South Korea. Available at http://www.ippa.org/IPPC4/Proceeding s/13ProcurementPreferences/Paper13-4. pdf Migiro, S.O. dan Ambe, I.M. (2008), “Evaluation of the implementation of public sector supply chain management and challenges: A case study of the central district municipality, North west province, South Africa”, African Journal of Business Management, Vol. 2, No. 12, pp. 230-242.
Sopian, A. (2013), “Strategi pengadaan barang”, Retrieved September 13, 2013, from http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/ palembang/attachments/204_Strategi Pengadaan Barang.
81
PENTINGNYA KONFIRMASI DAN ANALISIS DOKUMEN PADA PENGADAAN BARANG DAN JASA (Kasus Pemalsuan Surat Dukungan Dalam Pengadaan Alat Kesehatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah TA 2008)
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
PENTINGNYA KONFIRMASI DAN ANALISIS DOKUMEN PADA PENGADAAN BARANG DAN JASA (Kasus Pemalsuan Surat Dukungan Dalam Pengadaan Alat Kesehatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah TA 2008)
Abstrak Kadang panitia pengadaan barang dan jasa tidak menganalisis dokumen penawaran yang diserahkan peserta pengadaan dan
mengabaikan
konfirmasi kepada pihak terkait atas keabsahan dokumen yang diserahkan peserta pengadaan kepada mereka. Hal ini tanpa disadari mengabaikan
Fadjar Prajitno
pula risiko adanya penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dengan melakukan analisis dokumen dan konfirmasi kepada pihak terkait, sebagian risiko penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa dapat dideteksi atau diantisipasi lebih dini agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar.
83
84 JURNAL PENGADAAN
PENDAHULUAN alam praktiknya, tidak jarang penyedia barang dan jasa (peserta lelang atau rekanan) melakukan berbagai bentuk perbuatan yang menyimpang dari praktik yang sehat untuk memenangkan lelang/ pengadaan seperti suap, berbuat curang, gratifikasi, dan pemalsuan.
D
Penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa sejalan dengan modus operandi dalam korupsi. Modus operandi korupsi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain mark-up pembelian/pengeluaran, manipulasi pencatatan, pemalsuan dokumen, menghilangkan dokumen, pencurian, memalsukan kualitas, dan membuat peraturan yang hanya membela atau menguntungkan pihak tertentu saja. Salah satu kasus pemalsuan dokumen dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah yang kemungkinan dapat dideteksi atau diantisipasi lebih dini agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, tampak pada pengadaan alat kesehatan Tahun Anggaran 2008 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Sanggahan Terhadap Pemenang Lelang dan Terhadap Surat Dukungannya Tahun Anggaran 2008 Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah telah melakukan kegiatan pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial. Kegiatan pengadaan tersebut di atas terbagi dalam 8 (delapan) paket pekerjaan, di mana salah satu aspek data teknis yang mendapat penilaian adalah surat penunjukan/ surat dukungan pabrikan/agen tunggal/ supplier dengan bobot nilai 5. Para peserta lelang telah menyerahkan Surat Dukungan dari pabrikan/agen tunggal/supplier terhadap perusahaan mereka sebagai kelengkapan dokumen penawaran yang diserahkan kepada panitia pengadaan kedelapan paket pekerjaan itu. Pada 21 Agustus 2008 telah ditetapkan pemenang lelang dari masing-masing paket pekerjaan. Dari delapan paket pengadaan, empat diantaranya diduga terkait dengan surat dukungan palsu, yaitu:
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Tabel 1. Paket 2 Pengadaan Peralatan Penyuluhan Evaluasi No.
Perusahaan
Harga
Hasil Evaluasi Merit Point System
Administrasi Nilai Teknis
Nilai Harga
Nilai Gabungan
Peringkat
1
CV Ruhama
915.833.000
Memenuhi syarat
49,00
26,05
75,05
I
2
CV Yusinda J.L
795.353.000
Memenuhi syarat
43,75
30,00
73,75
II
Tabel 2. Paket 3 Pengadaan Peralatan Laboratorium
No.
Perusahaan
Harga Terkoreksi
Evaluasi
Hasil Evaluasi Merit Point System
Administrasi Nilai Teknis
Nilai Harga
Nilai Gabungan
Peringkat
1
CV Ananta
851.184.800
Memenuhi syarat
62,58
25,16
87,74
I
2
CV Banjar Alkestron
783.300.000
Memenuhi syarat
55,77
27,35
83,12
II
Tabel 3. Paket 4 Bidan Kit
No.
Perusahaan
Harga Terkoreksi
Evaluasi
Hasil Evaluasi Merit Point System
Administrasi Nilai Teknis
Nilai Harga
Nilai Gabungan
Peringkat
1
CV Yusinda Jaya Lestari
712.410.000
Memenuhi syarat
59,18
23,86
83,04
I
2
CV V Ifsan Pratama
611.700.000
Memenuhi syarat
49,43
27,79
77,22
II
Tabel 4 Paket 4 Sanitarian Kit
No.
Perusahaan
Harga Terkoreksi
Evaluasi
Hasil Evaluasi Merit Point System
Administrasi Nilai Teknis
Nilai Harga
Nilai Gabungan
Peringkat
1
CV. Mulia Medical
372.396.000
memenuhi syarat
64,29
26,22
90,51
I
2
CV. Delima Merah
382.290.000
memenuhi syarat
64,77
25,54
90,31
II
85
86 JURNAL PENGADAAN
Penetapan pemenang lelang untuk delapan paket pengadaan tersebut telah mendapat sanggahan dari peserta lelang lainnya yang merasa dirugikan dan diperlakukan tidak adil oleh panitia lelang sehingga para peserta lelang itu mengadukan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan alat kesehatan tersebut kepada DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tanggal 3 dan 4 September 2008, beberapa perusahaan pabrikan atau agen tunggal/ supplier membuat Surat Pernyataan yang disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Surat Keterangan yang intinya menyatakan bahwa: 1. PT Hanna Instruments Indotama tidak mengeluarkan surat dukungan No. 0617/HII/SD/VIII/08 tertanggal, Agustus 2008 untuk Pengadaan Alatalat Kedokteran Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. 2. PT Sarandi Karya Nugraha sebagai pabrikan alat kesehatan merek Karixa adalah pihak yang berhak mengeluarkan
Surat Dukungan Pabrikan untuk keperluan tender. 3. PT Golden Star MedPerdana tidak pernah menerbitkan surat dukungan berikut seperti pada Tabel 5. Analisis Dampak Pemalsuan Surat Dukungan Berdasarkan Dokumen Lelang untuk empat paket pengadaan di atas, pada Bab II Instruksi Kepada Peserta Pengadaan (IKPP) huruf C. Penyiapan Penawaran, angka 13.1 tentang Dokumen Penawaran di antaranya menyatakan bahwa penawaran yang disampaikan oleh peserta pengadaan harus terdiri dari: (i) Surat Jaminan Pabrikan bagi Peserta Pengadaan yang tidak memproduksi sendiri barang yang ditawarkan (jika disyaratkan dalam LDP atau Lembar Data Pengadaan, dan harus dalam bentuk terlampir pada Bab IV); Jadi surat jaminan pabrikan tersebut merupakan hal yang wajib disertakan dalam penawaran oleh peserta lelang.
Tabel 5. Daftar Surat Dukungan Palsu Menurut PT Golden Star MedPerdana No
Nomor Surat Dukungan
Tanggal
Perusahaan Yang Didukung
Paket Pekerjaan
1
572/GSP/VIII/08
1 Agustus 2008
CV Putra Perkasa Kalimantan
Pengadaan Posyandu Kit
2
569/GSP/VIII/08
1 Agustus 2008
PT Najib Sukses
Pengadaan Peralatan Lab
3
575/GSP/VIII/08
1 Agustus 2008
CV Ananta
Pengadaan Peralatan Lab
4
578/GSP/VIII/08
5 Agustus 2008
CV Yusinda Jaya Lestari
Pengadaan Peralatan Bidan Kit
5
560/GSP/VIII/08
5 Agustus 2008
CV Mulia Medical
Pengadaan Sanitarian Kit
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis...
Selanjutnya, Bab II huruf E Pembukaan dan Evaluasi Penawaran pada angka 29.6 Penilaian Data Teknis dan Harga diantaranya menyatakan: 1) Penilaian data teknis Untuk data teknis, pembobotan aspekaspek yang dinilai adalah sebagai berikut: a. Unsur-unsur yang dinilai: (8) Surat penunjukan/surat dukungan pabrikan/agen tunggal/supplier (bobot 5) b. Tata cara penilaian: (8) Surat penunjukan/surat dukungan pabrik/agen tunggal/supplier • Ada surat penunjukan/pernyataan dari pimpinan, nilai 100 • Tidak ada surat penunjukan/ pernyataan dari pimpinan, nilai 0 Untuk Penilaian Teknis, Nilai Akhir = (bobot x skor setiap jenis penilaian) : 100
Atas hasil penilaian dari aspek teknis maupun harga yang telah dilakukan oleh Panitia Pengadaan yang dimuat dalam tabulasi di atas (tabel 1 s.d tabel 4), dengan adanya pengaduan tentang beberapa pemenang lelang yang diduga memalsukan dokumen untuk kelengkapan teknis akan mempengaruhi poin akhir yang dimiliki peserta pengadaan sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Paket 2 (Pengadaan Peralatan Penyuluhan) Apabila terbukti surat dukungan tersebut palsu maka daerah berpotensi mengalami kerugian sebesar selisih antara harga yang ditawarkan CV Ruhama sebagai peringkat I (Rp 915.833.000,00) dengan CV Yusinda Jaya Lestari sebagai peringkat II (Rp 795.353.000,00), yakni sebesar Rp 120.480.000,00. Pemalsuan itu akan mengurangi Nilai Total Peringkat I sehingga nilainya menjadi lebih kecil dibanding Peringkat II, sebagaimana perhitungan berikut: Nilai akhir untuk tersedianya surat penunjukan/surat dukungan pabrik/agen tunggal/supplier adalah: (5 x 100) : 100 = 5. Jika terbukti surat dukungan untuk CV Ruhama itu palsu maka nilainya menjadi nol sehingga Nilai Total Peringkat I (CV Ruhama) berkurang 5 poin menjadi 70,05 (75,05 dikurang 5), sedangkan Nilai Total Peringkat II sebesar 73,75. Dengan demikian pemenangnya bergeser ke Peringkat II (CV Yusinda Jaya Lestari) dengan harga penawaran Rp 795.353.000,00. Dokumen yang diduga palsu adalah surat dukungan untuk produk merek Karixa yang seharusnya diterbitkan oleh PT Sarandi Karya Nugraha ternyata diterbitkan oleh PT Kartika Sentamas.
87
88 JURNAL PENGADAAN
Paket 3 (Pengadaan Alat Laboratorium) Apabila terbukti surat dukungan tersebut palsu maka daerah berpotensi mengalami kerugian sebesar selisih antara harga yang ditawarkan CV Ananta sebagai peringkat I (Rp 851.184.800,00) dengan CV Banjar Alkestron sebagai peringkat II (Rp 783.300.000,00), yakni sebesar Rp 67.884.800,00. Pemalsuan itu akan mengurangi Nilai Total Peringkat I sehingga nilainya menjadi lebih kecil dibanding peringkat II, sebagaimana perhitungan berikut: Nilai akhir untuk tersedianya surat penunjukan/surat dukungan pabrik/agen tunggal/supplier adalah: (5 x 100) : 100 = 5. Jika terbukti surat dukungan untuk CV Ananta itu palsu maka nilainya menjadi nol sehingga nilai total peringkat I (CV Ananta) berkurang 5 poin menjadi 82,74 (87,74 dikurang 5), sedangkan nilai total peringkat II sebesar 83,12. Dengan demikian pemenangnya bergeser ke peringkat II (CV Banjar Alkestron) dengan harga penawaran Rp 783.300.000,00. Dokumen yang diduga palsu adalah surat dukungan No.575/GSP/ VIII/08 tanggal 1 Agustus 2008 untuk pengadaan peralatan lab oleh CV Ananta. Paket 4 (Pengadaan Bidan Kit) Nilai akhir untuk tersedianya surat penunjukan atau surat dukungan pabrik/
agen tunggal/supplier adalah: (5 x 100) : 100 = 5. Jika terbukti surat dukungan untuk CV Yusinda Jaya Lestari itu palsu maka nilainya menjadi nol sehingga nilai total peringkat I CV Yusinda Jaya Lestari) berkurang 5 poin menjadi 78,04 (83,04 dikurang 5), sedangkan nilai total peringkat II (CV Ifsan Pratama) sebesar 77,22. Dengan demikian CV Yusinda Jaya Lestari tetap sebagai pemenang dan tidak ada potensi kerugian daerah. Dokumen yang diduga palsu adalah surat dukungan No.578/GSP/VIII/08 tanggal 5 Agustus 2008 untuk pengadaan peralatan bidan kit oleh CV Yusinda Jaya Lestari. Paket 5 (Pengadaan Sanitarian Kit) Nilai akhir untuk tersedianya surat penunjukan/surat dukungan pabrik/agen tunggal/supplier adalah : (5 x 100) : 100 = 5. Jika terbukti surat dukungan untuk CV Mulia Medical itu palsu maka nilainya menjadi nol sehingga nilai total peringkat I (CV Mulia Medical) berkurang 5 poin menjadi 85,51 (90,51 dikurang 5), sedangkan nilai total peringkat II sebesar 90,31. Dengan demikian pemenangnya bergeser ke peringkat II (CV Delima Merah) dengan harga penawaran Rp 382.290.000,00. Kendati demikian tidak ada potensi kerugian daerah karena harga dari CV Mulia Medical lebih rendah dibandingkan harga dari CV Delima Merah. Dokumen yang
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
diduga palsu adalah surat dukungan No.560/ GSP/VIII/08 tanggal 5 Agustus 2008 untuk pengadaan peralatan sanitarian kit oleh CV Mulia Medical, dan surat dukungan No. 0617/ HII/SD/VIII/08, Agustus 2008 dari PT Hanna Instruments Indotama.
dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dan Perubahannya, yang antara lain menyatakan larangan kepada PPK, panitia pengadaan dan rekanan membuat dan atau menyampaikan dokumen dan atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan dalam Dokumen Pemilihan.
Di dalam dokumen lelang untuk empat paket pengadaan tersebut di atas, pada bab II. Instruksi Kepada Peserta Pengadaan (IKPP) bagian A. Umum, angka 5. Larangan KKN serta Penipuan, sebagaimana disebutkan
Para rekanan yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen semestinya dimasukkan daftar hitam. Sebagaimana tercantum dalam
Tabel . Poin Akhir Pemenang I dan II Setelah Memperhitungkan Pemalsuan Surat Dukungan Uraian
Rekanan
Tot. Poin
Koreksi
Poin Akhir
Harga
Peringkat Seharusnya
Paket 2 Pengadaan Peralatan Penyuluhan Pemenang I
CV Ruhama
75,05
5
70,05
915.833.000
Pemenang II
Pemenang II
CV Yusinda J.L
73,75
-
73,75
795.353.000
Pemenang I
Potensi kerugian
120.480.000
Paket 4 Pengadaan Bidan Kit Pemenang I
CV Ananta
87,74
5
82,74
851.184.800
Pemenang II
Pemenang II
CV Banjar Alkestron
83,12
-
83,12
783.300.000
Pemenang I
Potensi kerugian
67.884.800
Paket 4 Pengadaan Bidan Kit Pemenang I
CV Yusinda Jaya Lestari
83,04
5
78,04
712.410.000
Pemenang I
Pemenang II
CV Ifsan Pratama
77,22
-
77,22
611.700.000
Pemenang II
Paket 5 Pengadaan Sanitarian Kit Pemenang I
CV. Mulia Medical
90,51
5
85,51
372.396.000 Pemenang II
Pemenang II
CV. Delima Merah
90,31
-
90,31
382.290.000 Pemenang I
Selisih
9.894.000
89
90 JURNAL PENGADAAN
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Pasal 14 ayat (9): Penyedia barang dan jasa wajib menandatangani surat pernyataan di atas meterai bahwa semua informasi yang disampaikan dalam formulir isian kualifikasi adalah benar, dan apabila diketemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan, terhadap yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam daftar hitam sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dan tidak boleh mengikuti pengadaan untuk 2 (dua) tahun berikutnya, serta diancam dituntut secara perdata dan pidana. Sedangkan pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pada pasal 118 ayat (6) menyatakan apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan penyedia barang dan jasa, dikenakan sanksi pembatalan calon pemenang dan dimasukkan dalam daftar hitam. Pemalsuan dokumen tersebut di atas telah merugikan Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah karena memperoleh barang dengan harga lebih mahal dan merugikan peserta lelang lainnya karena gagal jadi pemenang. Selain itu, pemalsuan tersebut melanggar ketentuan hukum. Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) pasal 263 tentang pemalsuan surat menyatakan: ayat (1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu
hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun, ayat (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. SARAN Sebelum pengadaan dilaksanakan, panitia pengadaan dapat meminta informasi atau data yang penting kepada pihak terkait seperti meminta kepada perusahaan pabrikan atau agen tunggal/supplier daftar perusahaan yang mendapat dukungan tertulis dari mereka sehingga mengurangi risiko dokumen dukungan penawaran yang palsu lolos dari penyaringan panitia pengadaan. Langkah lain yang dapat ditempuh panitia pengadaan adalah membandingkan dan menganalisis surat dukungan yang diserahkan rekanan apakah terdapat perbedaan tanda tangan atau yang menandatangani surat dukungan tersebut, apakah terdapat perbedaan kop
Pentingnya Konfirmasi dan Analisis...
surat perusahaan yang mengeluarkan surat dukungan, apakah ada perbedaan stempel atau cap perusahaan yang mendukung, apakah surat dukungan tersebut telah habis masa berlakunya dan hal-hal lainnya yang patut dikritisi oleh panitia pengadaan barang dan jasa. PENUTUP Seandainya panitia pengadaan meminta informasi dan melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada perusahaan pabrikan atau agen tunggal/supplier yang tercantum dalam surat dukungan yang disertakan peserta lelang, kemungkinan besar tidak akan menyeret panitia pengadaan dan peserta lelang sebagai rekanan ke ranah hukum dan pengadilan. Kecuali mungkin panitia pengadaan memang berniat melakukan kolusi dengan peserta lelang tertentu. Wallahu ‘alam.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
91
92 JURNAL PENGADAAN
DAFTAR PUSTAKA Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kitab Undang-undang (KUHP)
Hukum
Pidana
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
SEBUAH PETA JALAN PROFESIONALISASI PENGADAAN DI INDONESIA
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
November 2013/Vol. 3 - No. 3
SEBUAH PETA JALAN PROFESIONALISASI PENGADAAN DI INDONESIA Pendekatan Pemikiran-Pemikiran Baru dari Best Practices Pengadaan Industri Migas
Abstrak Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan tema yang bergema terus menerus pasca reformasi karena pencegahan praktek
Erlangga Atmadja Fanny
korupsi, khususnya pada pengadaan barang/jasa pemerintah. Ditambah
Richardus Djokopranoto
lagi, insan pengadaan pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan tiga unsur pertanggungjawaban: i) kredibilitas proses pengadaan dari sudut pandang auditor, ii) kredibilitas proses pengadaan dari sudut pandang percepatan penyerapan anggaran, serta iii) ketepatan pembelian barang/ jasa yang mendukung efesiensi manajemen proyek/operasional.
95
96 JURNAL PENGADAAN
M
engembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan tema yang bergema terus menerus pasca reformasi karena pencegahan praktek korupsi, khususnya pada pengadaan barang/jasa pemerintah. Ditambah lagi, insan pengadaan pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan tiga unsur pertanggungjawaban: i) kredibilitas proses pengadaan dari sudut pandang auditor, ii) kredibilitas proses pengadaan dari sudut pandang percepatan penyerapan anggaran, serta iii) ketepatan pembelian barang/jasa yang mendukung efesiensi manajemen proyek/operasional. Apabila pengadaan pemerintah itu betulbetul mumpuni, niscaya justru proses pengadaan barang/jasa pemerintah dapat secara bersamaan mencegah praktek korupsi dalam pengadaan, menjamin bahwa barang/ jasa yang dibeli betul-betul tepat guna, dan perencanaan pengadaan yang baik mempercepat penyerapan anggaran. Dari sisi makro, bila seluruh insan pengadaan pemerintah memiliki tingkat profesionalisasi yang mumpuni maka anggaran pengadaan pemerintah sebesar Rp 500 triliun dapat benarbenar di pergunakan untuk memberikan layanan pemerintah yang menyejahterakan rakyat. Alasan inilah yang merupakan argumen utama untuk pengarusutamaan pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai
agenda dalam manajemen fiskal negara (Atmadja, 2012). Proses profesionalisasi, yaitu proses yang dimana sebuah praktek/bidang keahlian dikembangkan untuk diakui secara luas dan menjadi terstandarisasi diperlukan agar insan pengadaan dapat dihargai, diakui, dan dapat memperoleh pelatihan yang menjadikan mereka mumpuni di bidangnya sesuai dengan tingkatan standar kompetensi yang diharapkan. Peraturan Presiden RI No.106/2007 memandatkan LKPP sebagai instansi terkait yang mengatur pengadaan pemerintah untuk bertanggung jawab dan proaktif dalam proses profesionalisasi tenaga ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Proses profesionalisasi pejabat pengadaan pemerintah pusat dan daerah dengan standar kompetensi dan jalur pengembangan karier fungsional yang jelas adalah elemen penting dalam proses reformasi pengadaan barang/ jasa pemerintah untuk menghasilkan sistem yang kredibel dan menyejahterakan (Atmadja, 2012). Pendekatan pemikiran-pemikiran baru yang bersumber dari best practices pengadaan barang/jasa dari industri migas yang memiliki sejarah profesionalisasi selama 60
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
tahun memiliki kekayaan basis pengetahuan yang luas dan relevan untuk kepentingan pengembangan profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Tulisan ini bermaksud untuk mengupas secara singkat sejarah proses profesionalisasi ahli pengadaan pada industri migas, pengembangan benchmark tersebut menjadi sebuah peta jalan profesionalisasi pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dahulu dan Sekarang Kapasitas pejabat pengadaan pemerintah sebagai penyeimbang dari tiga unsur pertanggungjawaban bukanlah suatu keadaan yang unik untuk Indonesia saja. Semua insan pengadaan pemerintah dihadapkan oleh tantangan yang sama. Hal ini menjadikan kekhususan profesi ahli pengadaan pemerintah sebagai palang pintu yang mengatur tingkat “risiko fidusia” dalam pengelolaan keuangan negara. Definisi oleh komunitas donor internasional mendefinisikan risiko fidusia sebagai: “Risiko bahwa dana tidak dipergunakan untuk tujuan yang dimaksudkan, bukan merupakan pembelian dengan nilai setara harga yang baik (value-
November 2013/Vol. 3 - No. 3
for-money), dan atau tidak diperhitungkan dengan baik. Terjadinya risiko fidusia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, termasuk lemahnya kapasitas, kompetensi, inefisiensi birokrasi, atau korupsi yang merajalela (DFID, 2011).” Ini berarti bahwa praktek pengadaan barang/ jasa pemerintah berpengaruh terhadap kualitas hasil dari suatu transaksi/kontrak pengadaan yang ditujukan untuk proyek/ kegiatan menyangkut kepentingan umum. Kualitas hasil pembelian disini menyangkut aspek tepat nilai, tepat mutu, tepat waktu dan tepat sumber (Djokopranoto dkk, 2010). Dahulu, praktek pengadaan adalah bidang yang rentan dengan risiko fidusia. Posisi pejabat pengadaan dahulu biasanya merupakan posisi ad-hoc dengan pangkat yang tidak terlalu tinggi dan memikul beban beratnya pengaruh politis dari pejabat tingkat tinggi yang korup. Parahnya, pejabat yang ditunjuk pada posisi ad-hoc tersebut tidak dilengkapi dengan kompetensi yang minimum diperlukan untuk mengemban tanggung jawab seorang ahli pengadaan. Ditambah lagi, kerendahan pangkat pejabat seringkali menjadikanya sebagai tumbal dari pejabat korup karena tekanan dari pejabat tingkat tinggi yang korup tersebut. Di Tahun 2012, KPK mengestimasikan bahwa hampir 80 persen
97
98 JURNAL PENGADAAN
dari korupsi bersumber dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Sangat mudah sekali untuk melihat mengapa dahulu orang tidak tertarik atau tidak bersungguh-sungguh untuk mengemban tugas sebagai pejabat pengadaan pemerintah. Dengan memprofesionalisasikan praktek pengadaan barang/jasa pemerintah, diharapkan bahwa trend kurangnya permintaan dan minat menjadi tenaga ahli pengadaan dapat diubah. Pengadaan kini harus menjadi profesi yang dihargai dan mumpuni. Profesionalisasi di bidang pengadaan memiliki arti bahwa harus ada proses yang harus dilewati dengan tolak ukur tertentu dan proses profesionalisasi yang dirancang untuk memenuhi dan menciptakan kebutuhan permintaan keahlian tersebut berdasarkan nilai yang dihasilkan oleh tenaga ahli pengadaan yang benar-benar profesional. Proses pengembangan profesi ini seyogianya harus terus menerus untuk dapat mengembangkan kemampuan profesional dan kedewasaan para insan pengadaan. Sekarang adalah saatnya untuk mengubah persepsi bahwa posisi sebagai ahli pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan posisi professional yang memiliki prospek masa depan cerah sejalan dengan cita-cita reformasi dibidang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Arti dari Sebuah Proses Profesionalisasi Visi dari profesionalisasi pengadaan adalah bahwa pengadaan adalah bidang yang memerlukan dukungan tenaga yang profesional dimana semua insan pengadaan baik swasta maupun pemerintah memiliki kualifikasi yang tepat, terstandarisasi, dan merupakan ahli dalam tugas yang mereka emban, melalui pelatihan dan pengalaman, dimana mereka selalu berpegang teguh kepada kode etik profesi. Para tenaga ahli pengadaan diharapkan memiliki pengetahuan yang mendalam dari hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya dan pengetahuan dan pengalaman mengenai ‘best practices’ dan aplikasinya serta perangkat dan teknik yang dipergunakan dalam kegiatan terkait pengadaan barang/ jasa pemerintah dan memiliki kompetensi untuk mendayagunakanya. Para tenaga ahli pengadaan diharapkan mempunyai kompetensi keahlian dan kualifikasi profesi terkait sesuai dengan tingkatan tanggung jawabnya pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Proses profesionalisasi modern mungkin pertama kali didefinisikan oleh ahli Sosiologi Carr-Saunders dan Wilson (1933) yang merekomendasikan bahwa sejarah
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
perkembangan suatu profesi dapat dipetakan untuk pembelajaran pengembangan profesi baru/terkait. Wilensky (1964) mengaplikasikan pendekatan ini dan memetakan proses profesionalisasi 18 profesi dan mencatat bahwa perkembangan suatu profesi dapat dilihat dari sejarah proses profesionalisasi formal dan terarah yang melalui tahapan-tahapan pencapaian pendewasaan tertentu yang pada akhirnya mendapat pengakuan luas. Tahapan-tahapan proses pendewasaan proses profesionalisasi tersebut adalah i) diterimanya profesi tersebut sebagai pekerjaan yang ‘fulltime,’ ii) pengukuhan mekanisme dan institusi pelatihan dan akreditasi, iii) pengukuhan program akademis tingkat sarjana dan pasca sarjana, iv) dibentuknya ikatan keahlian pada tingkat lokal, v) dibentuknya ikatan keahlian pada tingkat nasional, vi) lisensi/sertifikasi yang secara regulasi atau hukum diwajibkan, vii) pengukuhan kode etik profesi secara formal (Wilensky, 1964). Melalui dukungan LKPP, Indonesia kini sudah melewati ke enam elemen dasar tahapan untuk pembentukan profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah dengan adanya jabatan fungsional yang mengelola unit-unit layanan pengadaan pemerintah (ULP) di lingkungan kementerian/lembaga/
November 2013/Vol. 3 - No. 3
pemerintah daerah/dan instansi lainya (K/L/D/I) di seluruh Indonesia. Jabatan fungsional tersebut didukung oleh institusi pelatihan yang terakreditasi, kompilasi batang tubuh keilmuan yang dikemas dalam pelatihan berbasis kompetensi, dan mekanisme sertifikasi berbasis ujian, pengembangan kurikulum tingkat sarjana dan pasca-sarjana seperti yang dipilotkan pada Universitas Diponegoro. Ditambah lagi, ikatan asosiasi profesi terbentuk dan bekerja sama dengan LKPP untuk membentuk kode etik profesi. Seluruh inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan atas dasar hukum pada Keputusan Presiden No.80/2003 yang pertama kali mewajibkan sertifikasi profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah yang kemudian disempurnakan oleh Peraturan Presiden No.54/2010 dan diamandemen kembali oleh Peraturan Presiden No.70/2012. Apakah cukup sampai disini? Tidak, karena tahapan-tahapan proses pengembangan profesi tetap harus dikonsolidasikan secara berkesinambungan seiring dengan pengakuan luas dan adanya permintaan dari pasar tenaga kerja (Wilensky, 1964). Untuk menciptakan permintaan yang dapat menarik minat baru untuk menjalani karier sebagai ahli pengadaan barang/jasa pemerintah, saat ini pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan profesi yang akan mudah-mudahan dapat mengubah
99
100 JURNAL PENGADAAN
persepsi terdahulu mengenai profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Proses profesionalisasi idealnya dikawal dengan sebuah rencana induk dan peta jalan yang membantu memastikan bahwa ‘Key Process Areas (KPA)’ dari profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dikembangkan secara proporsional dan berkesinambungan dan tidak terpotongpotong. Sebelum tahun 2012, belum pernah ada rencana induk dan peta jalan yang membantu mengkonsolidasikan pencapaianpencapaian profesionalisasi pengadaan dan mengembangkan kedewasaan dan kemampuan ahli pengadaan barang/jasa pemerintah secara lebih mendalam. Karena belum memiliki preseden sebelumnya, maka benchmarking pengalaman profesionalisasi ahli pengadaan di sektor migas di Indonesia dapat menginspirasi rencana induk dan peta jalan ahli pengadaan pemerintah. LKPP mengapresiasi pengalaman profesionalisasi ahli pengadaan di industri migas sebagai salah satu benchmark yang dapat dipergunakan sebagai referensi dalam pengembangan profesi ahli pengadaan di Indonesia. Ini dibuktikan melalui tenaga narasumber-narasumber dari industri migas yang kerap didayagunakan untuk mendukung simposium-simposium tahunan
profesionalisasi ahli pengadaan yang diadakan oleh LKPP dan Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) serta rangkaian kegiatan lainya yang menghasilkan sebuah peta jalan profesionalisasi pengadaan di Indonesia. Benchmark Profesionalisasi Industri Migas Indonesia Industri Migas dipilih sebagai tolak ukur karena posisi strategis pengadaan dan pengelolaan rantai pasok dalam proses bisnis industri migas serta perannya sebagai pemimpin best practices dalam pengadaan dan pengelolaan rantai pasok di Indonesia terutama di bidang pengembangan karier ahli pengadaan. Djokopranoto dkk (2010) mendokumentasikan memoar yang merupakan narasi sistematis dari sejarah perkembangan profesi ahli perminyakan secara umum, yang di dalamnya termasuk ahli pengadaan dan logistik perminyakan dari tahun 1950 hingga tahun 2010. Tahun 1950 merupakan titik awal sebab warga Indonesia pertama kali menerima pengakuan dari Belanda sebagai ahli perminyakan melalui proses pelatihan professional dan menerima ‘erkenning van kameraadschap’ dari ‘de Bataafsche Petroleum Maatschappij’ (NV BPM) yang merupakan pendahulu Royal Dutch Shell dan Pertamina. Angkatan pertama pelatihan jurusan ‘Materiaal
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
Administratie’ tahun 1950 mengenyam pendidikan selama dua tahun untuk menjadi ahli perlengkapan yang bertanggung jawab untuk pengadaan. Awal cakupan tugas hingga tahun 60-an meliputi penguasaan pengadaan untuk 150,000 jenis material dan suku cadang dalam inventarisasi NV BPM/ Shell cakupan ini pada tahun 90-an menjadi lebih kompleks dengan 450,000 jenis material dan suku cadang untuk dukungan operasi Pertamina lengkap dengan standarisasi kodifikasi material (Djokopranoto dkk, 2010). Pengetahuan material dan suku cadang melengkapi kemampuan pengelolaan pembelian dari segi tepat waktu, tepat harga, tepat mutu, dan tepat sumber (Djokopranoto dkk, 2010). Pertamina membuat program pengembangan karier ahli pengadaan yang komprehensif dengan tidak mengurangi pre-employment training yang minimum adalah dua tahun dan dengan dukungan program pengembangan SDM seperti training, human development, dan career development, ini tercermin dari organisasi divisi logistik Pertamina dari tahun 1976 (Djokopranoto dkk, 2010). Peran alumni pelatihan Material Administratie dalam pengadaan di dalam tubuh Pertamina sangat menentukan, dimana mereka menempati semua kedudukan dan posisi kunci dalam organisasi logistik dari tingkat pusat hingga
November 2013/Vol. 3 - No. 3
tingkat lapangan (Djokopranoto dkk, 2010). Pengembangan Rencana Induk dan Peta Jalan Profesionalisasi Benchmark dari industri migas memberikan masukan pada key process area (KPA) untuk training, human development, dan career development. Upaya yang berjalan saat ini di LKPP didukung oleh intitusi pelatihan terakreditasi yang bersama LKPP mengembangkan proses sertifikasi profesi berbasis kompetensi, standarisasi tata kelola, serta formalisasi standar kode etik profesi pencapaian-pencapaian LKPP dalam hal ini dan proses konsolidasinya menjadi KPA tersendiri. Untuk pengembangan strategis ke depannya, kerja sama pengembangan jejaring ahli pengadaan, kemitraan dengan penyedia pelatihan serta pengembangan keilmuan juga menjadi KPA. Dengan demikian 9 KPA telah teridentifikasi. Kebetulan, Asian Development Bank (ADB) memiliki kerja sama teknis dengan LKPP untuk penguatan proses pengadaan barang/ jasa pemerintah dan salah satu hasil yang diharapkan adalah penguatan kapasitas SDM pengadaan barang/jasa pemerintah. Melalui koordinasi serta arahan dari LKPP khususnya dari Direktorat Pengembangan Profesi pada Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan SDM, kerangka kerja sama
101
102 JURNAL PENGADAAN
teknis memobilisasi tim yang terdiri dari empat tenaga ahli yaitu ahli strategic human resource development yang terlibat dalam proses profesionalisasi ahli pengadaan di industri migas dari angkatan perintis. Kemudian, ahli pengembangan standar kompetensi yang bersama LKPP membantu mengembangkan profesi ahli pengadaan dari sisi pengembangan standar kompetensi dan juga tenaga ahli yang mengerti pengembangan jejaring serta procurement knowledge management dan potensi pengembangan strategisnya. Metodologi yang diambil untuk mengembangkan rencana induk dan peta jalan profesionalisasi serta strategi pengembangan jejaring adalah melalui Capability-Maturity Model Integration (CMMI) (lihat CMMI
Product Team, 2010), yaitu kerangka analitis yang dikembangkan oleh Carnegie Mellon University yang menggambarkan keterkaitan antara kemampuan dan tingkat kedewasaan pada masing-masing KPA. Pada 23 Oktober 2012 di Jakarta, rekomendasi rencana induk dan peta jalan profesionalisasi serta pengembangan strategi pengembangan jejaring ahli pengadaan barang/jasa pemerintah dipaparkan pada Simposium Nasional Pengadaan Barang Jasa Pemerintah. Peta jalan yang direkomendasikan memiliki rentang waktu short term (2012-2014), medium term (2015-2017) dan long-term (pasca 2018). Rencana induk mendefinisikan tingkatan kedewasaan profesi berdasarkan best practices yang teridentifikasi.
Strategic Implementation of 9 Key Process Areas Key Process Ares
1. Training 2. HumanDevelopment 3. Career Developmnet 4. Professional Certfication 5. Government Standardization 6. Establishment of Code of Ethics and Code of Conduct 7. Partnership with Professional Association 8. Partnership with Training Providers 9. Knowledge Management Developmnet
Level of Importance Low High 1 2 3 4 5
X X X X
X
Long
Med
Short
X
X X
X X
X
X X X
Timeframes
X X X
X X
X
X
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
Tiap KPA dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah tabulasi/matriks yang merinci kompetensi yang diperlukan untuk mencapai tingkat kedewasaan profesional tertentu. Ada lima tingkat kedewasaan, yaitu ad-hoc (level-1), terencana (level-2), terkelola (level-3), terintegrasi (level-4), dan berkelanjutan (level-5). Karakteristik dari setiap tahap tingkat kedewasaan tercermin dari bagan di atas yang diambil dari dokumen rekomendasi rencana induk dan peta jalan profesionalisasi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Perlu diakui bahwa tidak ada satu cara saja yang dapat meningkatkan tahapan kedewasaan dan kapabilitas dari seluruh unit layanan pengadaan barang/jasa pemerintah secara serentak, yang notabene jumlahnya
November 2013/Vol. 3 - No. 3
diperkirakan hampir 600 unit, tersebar di seluruh pelosok nusantara dari berbagai macam instansi dengan kebutuhan dan kompleksitas pengadaan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, apabila ada semacam panduan berupa rencana induk atau peta jalan, dokumen tersebut harus dapat dibongkar pasang (berbentuk moduler) sesuai dengan kebutuhan pengembangan kapabilitas dan tingkatan kedewasaan masing-masing unit layanan pengadaan (ULP). Dokumen tersebut harus secara komprehensif memuat apa saja yang menjadi perhatian pimpinan ULP dalam mengembangkan kemampuan SDM-nya. Pada sudut pandang lainya, dokumen tersebut juga dituntut untuk dapat menginspirasikan LKPP sebagai regulator yang dimandatkan untuk pengembangan SDM pengadaan barang/jasa pemerintah secara nasional.
103
104 JURNAL PENGADAAN
Pencapaian proses profesionalisasi ahli pengadaan yang dipimpin oleh LKPP telah meletakan pondasi yang kokoh dan terencana untuk pengembangan selanjutnya agar menjadikan ahli pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai profesi yang terkelola lebih baik (Level-3), terintegrasi (Level-4) dan berkelanjutan (Level-5). Ternyata lompatan proses pengembangan profesi yang terberat adalah saat meningkatkan dari level terencana menjadi level terkelola. ULP Institut Teknologi Bandung (ITB) bersedia dijadikan pilot uji coba draft rencana induk dan peta jalan profesionalisasi pada bulan Agustus 2012. Uji coba ini dimaksudkan untuk melihat kegunaan referensi draft tersebut sebagai alat ULP untuk menilai kemampuan dan kedewasaan profesional ULP itu sendiri dan kemudian menempatkan dirinya pada tahapan
kedewasaan dan kapabilitas profesional serta mengambil langkah sejalan dengan pedoman peta jalan untuk meningkatkan kepada tahapan berikutnya. Berikut adalah konsep dari panduan peta jalan yang dimaksud. Hasilnya, ULP ITB sebagai salah satu sentra best practice dalam teknologi menerapkan cara-cara inovatif dalam tata kelola layanan pengadaanya sehingga dalam beberapa KPA dinilai cukup mumpuni dan terintegrasi, namun beberapa KPA seperti kerja sama dengan asosiasi profesi atau instansi pelatihan masih dalam tahap ad-hoc. Ada pula KPA tertentu yang menjadi perhatian LKPP sebagai regulator dan pembuat kebijakan terkait pengadaan barang/jasa pemerintah, seperti standarisasi tata kelola, kemitraan dengan asosiasi profesi, dan pengembangan manajemen keilmuan (knowledge management).
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
Apabila ULP ITB dapat dijadikan tolak ukur kematangan kesiapan ULP di Indonesia, maka secara keseluruhan (9 KPA yang menjadi parameter), mungkin kebanyakan ULP di Indonesia berada pada posisi Level-2. Peta jalan, khususnya dalam mengembangkan kemampuan ULP dari posisi Level-2 ke Level-3 berpotensi menjadi alat panduan yang strategis dalam mengembangkan profesionalisasi praktisi pengadaan barang/ jasa pemerintah secara nasional. Mengembangkan Persepsi Nilai Tambah dari para Profesional Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Pengakuan luas berpangkal dari persepsi nilai tambah dari profesi tersebut dan dibuktikan dari besaran permintaan dan sesuainya remunerasi profesi tersebut baik dari sisi keseimbangan permintaan dan penawaran ekonomis dan dari sisi persepsi praktisi akan remunerasi dan pengembangan karier yang setimpal dengan risiko profesi. Proses profesionalisasi menurut Wilensky (1964) dinyatakan berhasil apabila pengakuan luas tersebut, diraih dan mengukuhkan profesi tersebut setara dengan pengakuan luas yang diraih oleh profesi kedokteran, pengacara, ataupun arsitek. Untuk mewujudkan ini, kerja sama di tubuh
November 2013/Vol. 3 - No. 3
pemerintah sebagai sumber permintaan dari ahli pengadaan barang/jasa pemerintah harus terkoordinasi dengan baik. LKPP bekerja sama dengan Kementerian Pendaya- gunaan Aparatur Negara (PAN), Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk mewujudkan profesi yang memiliki jenjang karier serta remunerasi yang menarik dan setara dengan apa pun risiko yang terkait dengan tiga unsur tanggung jawab para ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Kerja sama instansi-instansi pemerintahan di atas secara kolektif merupakan kunci keberhasilan pengakuan profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah oleh masyarakat luas dan fungsi LKPP yang dimandatkan untuk memimpin koordinasi proses profesionalisasi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Titik terang dari hasil koordinasi pemerintah dalam proses profesionalisasi yang membuktikan perubahan persepsi yang positif bahwa ada nilai tambah yang diberikan oleh ahli pengadaan barang/jasa pemerintah adalah dengan diakuinya jabatan fungsional ahli pengadaan pada struktur kepegawaian pemerintah pada 20 Desember 2012. Di hari itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan Peraturan Menteri (Permenpan No.77/2012) dan tercantum pada Lembaran Negara No.67/2013 yang mengukuhkan
105
106 JURNAL PENGADAAN
jabatan fungsional tersebut pertama kali dalam sejarah Indonesia. Ini harus disusul dengan pemberian tingkat remunerasi yang layak dan dapat menarik minat masyarakat untuk menggeluti profesi ini. Kesimpulan Mudah-mudahan tulisan mengupas dengan baik proses profesionalisasi, pembelajaran dari sejarah dan pengalaman proses profesionalisasi di sektor migas yang memiliki best practice di bidang pengadaan barang dan jasa. Serta bagaimana mengemas proses profesionalisasi tersebut menjadi sebuah rencana induk dan peta jalan yang dapat dijadikan pedoman pengembangan kompetensi dan tingkatan kedewasaan profesi secara moduler dari tingkat ULP hingga regulator pengadaan tingkat pusat juga telah disinggung secara singkat. Sampailah kita pada poin kesimpulan, yaitu proses profesionalisasi akan dapat terlaksana apabila para pemangku kepentingan, baik dari sisi pembuat kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, pembuat kebijakan kepegawaian dan keuangan pemerintah, asosiasi profesi, maupun pemakai jasa layanan pengadaan pemerintah, mengambil langkahlangkah terencana dan terkoordinir untuk mengembangkan profesi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Lambat
laun ini diharapkan dapat mengarusutamakan pentingnya meningkatkan standar kompetensi dan profesionalisme insan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan pengertian peran dan potensi secara ekonomis apabila sistem pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi efisien dan kredibel akibat proses profesionalisasi tersebut (Atmadja, 2012). Paradigma lama tentang stigma seorang ahli pengadaan barang/jasa pemerintah harus diubah begitu pula pandangan mengenai peran dari proses pengadaan barang/jasa dalam menyediakan barang dan jasa yang tepat waktu, tepat harga, tepat mutu, dan tepat sumber. Menyejajarkan kualitas dan efesiensi pengadaan barang/jasa di pemerintah dengan best practices dan pemikiran-pemikiran baru di swasta yang paling mutakhir saat ini dapat membantu proses profesionalisasi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah dengan menyempurnakan pengembangan program karier jabatan fungsional, pelatihan serta remunerasi yang menarik, sehingga ahli pengadaan di masa depan secara sadar memilih dan bangga menjadi seorang ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Merupakan suatu keniscayaan apabila kualitas dan kompetensi SDM pengadaan barang/jasa pemerintah meningkat, pengadaan tidak akan dipandang
Sebuah Peta Jalan Profesionalisme...
lagi sebagai suatu proses yang menghambat bagai leher botol. Keberhasilan kerja sama LKPP dengan para pemangku kepentingan, terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam mengarusutamakan profesionalisasi ahli pengadaan barang/ jasa pemerintah sebagai salah satu agenda reformasi birokrasi nasional adalah dukungan institusi yang kuat dalam proses profesionalisasi. Dengan dikukuhkanya jabatan fungsional ahli pengadaan barang/ jasa pemerintah secara efektif pada awal tahun 2013. Akan menarik untuk disimak kelanjutan dari proses profesionalisasi tersebut dari sisi pelatihan berbasis kompetensi dan akreditasi SDM dan kemampuan manajemen strategis para ULP untuk meneruskan proses profesionalisasi secara berkesinambungan ke tahapan profesionalisasi level-3 dan level-4. Akan menarik pula untuk disimak pola remunerasi dan tunjangan seperti apa yang dapat menarik minat ‘darah segar’ untuk meremajakan SDM perangkat pengadaan barang/jasa pemerintah agar dapat lebih sejajar dengan tingkatan kompetensi dan pelaksanaan best practices dari pemikiran di industri swasta.
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Simposium tahunan yang biasanya dijadwalkan di bulan Oktober dan diprakarsai oleh LKPP menjadi ajang untuk memantau perkembangan profesionalisasi insan pengadaan barang/jasa pemerintah. Mudahmudahan masyarakat lambat laun akan memberikan pengakuan secara luas akan prospek dan potensi seorang ahli pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai profesi yang prestisius. Mari kita pantau pelaksanaan dan hasil acara tersebut di situs resmi LKPP serta di blog-blog yang aktif memberitakan halhal terkait keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah seperti yang dikelola oleh Bapak Khalid Mustafa dan blog lainya.
107
108 JURNAL PENGADAAN
DAFTAR PUSTAKA ADB-LKPP (2012) Procurement Professionalization Masterplan and Roadmap Final Report. Asian Development Bank TA 7653-INO: Strengthening National Public Procurement Processes. English Version ADB-LKPP (2012) Procurement Professional Network Development Final Report. Asian Development Bank TA 7653INO: Strengthening National Public Procurement Processes. English Version Atmadja, E. (2012) “The Imperative for a National Public Procurement Process that is Credible: A Challenge for the Academic Community to Provide Convincing Demonstrative Effects of the Economic Benefits of Having a Cutting-Edge Country Procurement System” in ‘Jurnal Pengadaan’ December 2012. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP)
Carnegie Mellon University website: h t t p : / / w w w. s e i . c mu . e d u / l i b r a r y / Abstraks/reports/10tr034.cfm Djokopranoto, R; Endropoetro, S.; Widharto, S. (2010) Merajut Karya Mengukir Sejarah: Memoar Alumni Pendidikan Ahli Minyak Tentang Peran dan Sumbangsihnya Dalam Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia. PERTAMINA DFID (2011) A DFID Practice Paper How to Note: Managing Fiduciary Risk when Providing Financial Aid. June 2011. Department for International Development, United Kingdom cited: https://www.gov.uk/ government/uploads/system/uploads/ attachment_data/file/67488/how-tofiduciary-fin-aid.pdf (Accessed June 2013)
Carr-Saunders, A.M and Wilson, P.A (1933) The Professions Oxford: Clarendon Press
KPK (2012) “Korupsi Pengadaan Paling Banyak Ditangani KPK” cited at: http://beritasore. com/2012/04/10/korupsi-pengadaanpaling-banyak-ditangani-kpk/
CMMI Product Team (2010). CMMI for Services, Version 1.3 (CMU/SEI-2010TR-034). Retrieved September 25, 2012, from the Software Engineering Institute,
Wilensky, H.L (1964) “The Professionalization of Everyone?” in The American Journal of Sociology. September 1964 Vol.LXX(2). The University of Chicago Press
110 JURNAL PENGADAAN
PARA PENULIS
Para Penulis
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Fadjar Prajitno lahir di Banjarmasin, 5 April 1971. Menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Akuntasi, Fakultas Fakultas Ekonomi, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin tahun 1997. Saat ini ia bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ) Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 2011. Sebelumnya, Fadjar bekerkas cukup lama di BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan dari tahun 2000 hingga 2011. Beberapa karya tulis Fadjar dimuat di beberapa surat kabar dan majalah, misalnya APBD dan Korupsi ( Banjarmasin Post 2012), PDAM: Kenaikan Harga dan Ketidakadilan terhadap Konsumens (Radar Banjar, 2002), Laporan Kekayaan Pejabat Negara: Kewajiban yang Terlupakan (Banjarmasin Post, 2003), Kejahatan terhadap Perpajakan (Banjarmasin Post, 2003), Pengelolaan Logistik Farmasi dan Kaitannya dengan Penilaian Kinerja Pelayanan Farmasi (Majalah Pemeriksa, 2007), Manajemen Penurunan Tingkat Kehilangan Air dan Pengaruhnya terhadap Kinerja PDAM (Majalah Pemeriksa, 2007), serta Upah Pungut: Antara Ketidakpatutan dan Ketidakadilan (Sinar Kalimantan, 2009).
111
112 JURNAL PENGADAAN
Erlangga S. Atmadja lahir di Jakarta, 8 Agustus 1980. Sejak Mei 2011 hingga sekarang Erlangga bekerja untuk Asian Development Bank (ADB) sebagai Co-Team Leader ADB Technical Assistance (TA) 7653-INO. Tugas utamanya ada¬lah untuk memperkuat proses pengadaan publik, di antaranya dengan menyeleng¬garakan program bantuan teknis yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas insititusi LKPP, agar LKPP dapat menjalankan dan mengatur proses pengadaan barang dan jasa yang kredibel. Pada tahun 2001, Erlangga memperoleh gelar Sarjana Bisnis Internasional dari Murdoch University, Australia. Selanjutnya dia langsung melanjutkan pendidikan pascasarjananya di universitas yang sama namun untuk bidang Electronic Commerce dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2010, Erlangga menyabet gelar Master of Diplomacy and Trade dari Monash University, Melbourne, Australia.
Para Penulis
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Togar M. Simatupang adalah profesor bidang Manajemen Operasi dan Rantai Pasok pada Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Massey, Selandia Baru dalam bidang Sains Keputusan tahun 2004. Minat riset Togar antara lain kolaborasi rantai pasok, model persediaan, manajemen operasi, industri jasa, dan ekonomi kreatif. Hasilnya risetnya telah diterbitkan pada berbagai jurnal internasional. Tahun 2012 Togar dianugerahi gelar sebagai peneliti berprestasi bidang Sains dan Humaniora oleh Rektor ITB. Fanny Kartika memperoleh gelar sarjana manajemen dari Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB). Fanny memiliki pengalaman riset tentang manajemen hubungan pemasok pada sebuah ritel lokal ternama di Jawa Barat. Saat ini ia tengah belajar bisnis internasional dengan cakupan Asia-Pasifik.
113
114 JURNAL PENGADAAN
Robin A. Suryo adalah lulusan dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, serta peraih gelar Master of Arts (MA) dan Doctor of Philosophy (PhD) di bidang Ekonomi dari Colorado State University dengan konsentrasi Ekonomi Publik serta Ekonomi Moneter dan Lembaga Keuangan. Robin pernah mengikuti berbagai pelatihan, antara lain dalam bidang public private partnership, project finance, fiscal management, economic analysis of project, serta fundamental of public procurement. Sebagai penulis, salah satu artikelnya dimuat di The Social Science Journal (2007) yang terbit di Amerika. Saat ini Robin menjabat sebagai Direktur Pengembangan Profesi LKPP. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Biro Perencanaan, Organisasi dan Tatalaksana (2008-2012). Pengalaman kerjanya dimulai dari BAPPENAS sejak tahun 1990 dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Sub Direktorat Pembiayaan dan Kerjasama Investasi pada Direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Aktivitas lainnya adalah sebagai Sekjen Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) serta mengajar di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Para Penulis
November 2013/Vol. 3 - No. 3
Agita M. Ulfa mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan konsentrasi pada bidang Hukum Internasional dan lulus pada 2007. Selanjutnya dia bekerja sebagai Associate Account Officer untuk Kredit Komersial di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. Pada tahun 2010, Agita bekerja di PT Pelni (Persero) sebagai Junior Staff pada Satuan Pengawas Intern. Pada tahun yang sama dia memulai karir di LKPP sebagai Penyusun Bahan Bantuan Hukum Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Instansi Pemerintah Pusat pada Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum. Tugasnya adalah menyiapkan saran, pendapat, dan rekomendasi dalam rangka penanganan permasalahan hukum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang banyak terjadi di K/L/D/I. Agita telah memiliki Sertifikat Ahli Pengadaan Tingkat Dasar/Pertama. Berbagai pelatihan yang pernah diikuti diantaranya adalah English for Lawyers, Sistem Pengawasan Intern Pemerintah, Pendidikan Khusus Profesi Advokat, dan DasarDasar Audit.
115
PANDUAN UNTUK PENULIS
118 JURNAL PENGADAAN
Petunjuk Untuk Penulisan Jurnal 1. Penulisan naskah. Naskah yang dikirim ke Jurnal Pengadaan belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah populer bisa berasal dari ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang kritis, mencerahkan dan membuka wawasan. 2. Topik. Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik Utama yang ditetapkan redaksi dan bisa juga berisi topik bebas di luar Topik Utama. Tulisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman dan pergulatan pemikiran. Rubrik Survei berisi hasil penelitian tentang segala macam persoalan sosial ekonomi yang aktual. Rubrik Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau penelitian tentang satu daerah tertentu di Indonesia. Rubrik Buku berisi tinjauan bukubuku baru atau lama yang masih relevan dengan kondisi sekarang. 3. Panjang. Panjang tulisan untuk rubrik Topik Utama, Survei dan Laporan Daerah, kecuali atas kesepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan
sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum terhitung didalamnya jika ada gambar, ilustrasi, bagan dan tabel. Panjang Esai maksimal 12.000 karakter dengan spasi (tidak perlu di sertai catatan kaki). Tinjauan Buku tediri dari dua versi; tinjauan pendek sekitar 12.00014.000 karakter dengan spasi dan tinjauan panjang sekitar 24.000.-29.000 karakter dengan spasi. 4. Abstrak. Setiap naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia. Panjang asbtrak maksimal 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri dari satu paragraf yang menggambarkan esensi isi tulisan secara gamblang, utuh dan lengkap. 5. Catatan kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupun tidak langsung, harus diletakkan dalam Catatan Kaki dengan urutan nama lengkap pengarang, judul lengkap sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit, dan nomor halaman, kalau perlu. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.
Panduan Untuk Penulis
Contoh-contoh Buku dengan Satu Penulis Weny Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hal 65. Buku dengan Dua atau Tiga Penulis Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000) Buku dengan Empat Penulis atau Lebih Edward O Laumann et.al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Pratices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hal. 225-262. Buku Terjemahan atau Suntingan Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh Richmond Lattimore (Chicago: University of Chicago Press, 1951) Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, disunting oleh John Naughton and Anthony Rudolf (Chicago: University of Chicago Press, 1995) Bab atau Bagian dari Sebuah Buku Andrew Wiese,”The House I Live In’:Race, Class, and African American Subruban Dreams in the Postwar United States,” dalam Kevin M Kruse dan Thomas J Sugrue (eds), The New Suburban History (Chicago: University of Chicago Press, 2006), hal. 101-102.
November 2012/Vol. 2 - No. 2
Prakata, Kata Pengantar, atau Pendahuluan dari Sebuah Buku James Rieger,”Kata Pengantar” untuk Mary Wollstonecraft Sheley, Frankenstein; or, The Modern Prometheus (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hal. XX-XXI Buku Elektronik Phillip B Kurland dan Ralph Lerner (eds), The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago Press, 1987), atau http:// press-ubs. uchicago.edu/founders/ (diakses tanggal 27 Juni 2006). Artikel Jurnal, Majalah, atau Surat Kabar Cetak John Maynard Smith,”The Origin of Altruism”, dalam Nature 393 (1998), hal. 639 William S Niederkorn, A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York Times, 20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra). Tesis atau Disertasi M Amundin,”Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Purpoise, Phocoena phocoena” (Disertasi Phd, Stockholm University,1991), hal. 22-29,35. Makalah Brian Doyle,”Howling Like Dogs: Metaphorical Languange in Psalm 59” (Makalah diajukan
119
120 JURNAL PENGADAAN
pada pertemuan internasional the Society of Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19-22 Juni 2002).
Surat Elektronik Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penulis, 31 Oktober 2005
Laman Evanston Public Library Board of Trustees,”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000-2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, dalam http://www.epl.org/ library/strategic-plan-00. html (diakses tanggal 1 Juni 2005)
Item dalam Basis Data Maya Pliny the Elder, The Natural History, John Bostock dan HT Riley (eds.), dalam the Perseus Digital Library, http:// www.perseus.tufts.edu/ cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedication (diakses tanggal 17 November 2005)
Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya Mark A Hlatky et.al.,”Quality- Of-Life and Depressive Symptoms in Postmenapausal Women after Receiving Hormone Therapy: Result from the Heart and Estogen/ Progestin Replacement Study (HERS) Trial”, dalam Journal of the American Medical Association 287, No. 5 (2002), atau http://jama.ama-assn. org/issues/ v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004). Komentar Weblog Komentar Peter Pearson tentang “The New American Dilemma: Illegal Immigration,” The Becker-Posner Blog, diposting 6 Maret 2006,dalam http;//www.becker-posner-blog. com/archives/2006/03/ t h e _ n ew _ amer ica.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret 2006)
Wawancara Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta, 1 Januari 2010. 6. Tabel. Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/ gambar/bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/ilustrasi diletakkan persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilus trasi bersangkutan. 7. Biodata. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri 8.
Pengiriman. Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik dan 2) naskah tercetak (2 kopi)
Panduan Untuk Penulis
ditujukan kepada : a. File elektronik :
[email protected];
[email protected] b.
Naskah tercetak : Pemimpin Redaksi Jurnal Pengadaan, Kantor LKPP SME Tower lt.8, Jl Gatot Subroto Kav 94, Jakarta 12780 Indonesia
9. Nomor bukti. Setiap penulis akan menerima nomor bukti penerbitan 10. Hak cipta. Dengan publikasi lewat Jurnal Pengadaan, maka penulis menyerahkan hak cipta
November 2012/Vol. 2 - No. 2
(copyright) artikel secara utuh (termasuk abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) kepada Jurnal Pengadaan, termasuk hak menerbitkan ulang dalam semua bentuk media.
121
122 JURNAL PENGADAAN
Indeks
18 profesi
99
5-R (Re-think, Re-use, Reduction, Recovery, and Recycle) ad-hoc adaptasi kontrak
16 97, 103, 104 51, 62, 65, 67
analitis anggaran pengadaan Aparat pemerintah
30, 45, 46
Aparat Pengawasan Internal
administrasi kontrak
52
Pemerintah (APIP)
agen/broker pengadaan
APBD
47
84, 86, 87, 88,
APBN
5, 47, 74
90
arbiter
62, 63, 65, 66
arbitrase
62, 65, 66, 67
8 96 - 107
Asian Development Bank
Ahli Pengadaan barang/jasa
96 - 107
(ADB)
akademisi
100 4 36, 39, 40, 42,
akreditasi akuisisi akuntabilitas almatsus ambiguitas analisis
42, 43, 44, 48
8
Ahli pengadaan Ahli Perminyakan
73, 96 23, 39, 48
54
agen tunggal
105
antikorupsi
addendum kontrak agen pengadaan
2, 3, 13, 22, 55,
43, 48, 99, 101,
Asosiasi profesi atribut lingkungan audit
107,
auditor
5, 74
Badan Kepegawaian
1 1 - 11 53
Negara (BKN)
101 99, 104, 106 78 9, 39, 42, 43, 44, 48 95, 96 105, 107
Badan Pengawas Daerah (Bawasda)
41, 48
3, 4, 7, 13, 16,
Bank Dunia
75
22, 23, 53, 64,
basic skill
22
86, 90
Belanda
100
analisis isi (content analysis)
22
belanja barang dan jasa
analisis kebijakan (Policy Analysis)
23
Belanja Pemerintah
19 19, 30, 45, 46
Indeks
berkelanjutan (level-5)
November 2012/Vol. 2 - No. 2
103, 104
daur ulang
berkelanjutan (Sustainable procurement) best practices
darah segar
74
de Bataafsche Petroleum
95, 96, 98, 100,
Maatschappij (NV BPM)
102, 106, 107
6
demand pull
biaya produksi
56
Deputi Bidang Pengembangan
bisnis kecil-menengah
79
dan Pembinaan SDM
67
desk research deskriptif
CADMID (concept, assessment,
deskriptif analitis
demonstration, manufacture, in-service
detrimental
dan disposal)
5, 6, 10
gration (CMMI) carbon footprint career development
102 29, 45 101
University
102
3, 4, 5 2, 3, 13, 22 2, 13, 22 55 84, 86
Direktorat Pengembangan Profesi discontinue disposal
Carnegie Mellon
101
Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Capability-Maturity Model Inte-
100 5
57
51, 57, 58, 63,
16, 17, 78
defence acquisition
biaya informasi
Bounded rationality
107
Djokopranoto
cita-cita reformasi
98
dokumen kontrak
cleaner production
16
Dokumen Pemilihan
command and control
17
competition for the market
56
competition in the market
56
domestik
contigenly incomplete
57
donor internasional
cost overrun
61
DPRD Kabupaten Hulu Sungai
cost sharing
61, 65
Dokumen Pengadaan
Tengah
101 54 5, 6, 8, 17 100, 101 52, 53 17, 18, 89 18, 32, 46, 53, 54 6, 9 97 86
123
124 JURNAL PENGADAAN
e-procurement eco-friendly activities eco-label
21, 74, 77 76, 78 15, 39, 40, 48
eco-labeling
15
efektifitas
7
green procurement
15
hardware
21
hubungan transaksional
55
hukum pidana
efisiensi energi
78
human development
efisiensi penggunaan air
78
Ikatan Ahli Pengadaan
ekosistem
24, 25, 27, 44,
15, 78
green public procurement (GPP)
Indonesia (IAPI)
48, 90 101 100
45
implikasi
eksploitatif
67
in-line
eksploratif
2
ekstensif
3
2, 3, 5, 6, 13, 15,
elemen kontraktual
55
23, 52, 64 - 67,
emisi gas rumah kaca
78
Erkenning van Kameraadschap
in-service
Indonesia
16, 17, 5361, 78 6 5, 6
74, 75, 78, 79,
100
80, 99, 100, 105,
2, 84
106
etika sosial dan lingkungan
77
1, 4, 6, 7, 8, 9,
Evaluasi penawaran
87
10, 16, 19, 46,
esensial
evidence based
2
existing
8
97, 100, 101,
59
102, 107
expected utility fasilitator focus group discussion (FGD)
7
2-5
industri
Industri Migas
76, 78, 79, 96,
96, 97, 100, 101, 102
fraud
53
industry innovation
full time
99
inefektivitas
6
fungsi convex
61
inferior
4
ganti rugi
53, 59
goods
74, 17
gratifikasi green list
84 32, 46
Informasi asimetris infrastruktur
76, 78
51, 55, 56, 61, 63, 67 20, 21, 22, 76, 79
Indeks
inkoherensi inovasi
November 2012/Vol. 2 - No. 2
4, 6 15, 76 - 79
insan pengadaan
Hidup
41, 48
Kementerian Pendayagunaan
inovasi industri (industry innovation)
Kementerian Lingkungan
76, 79 96 -98, 106
Aparatur Negara (PAN)
107
Kepala Polisi
Inspektorat Daerah
41, 48
Republik Indonesia
2
Inspektorat Jenderal
41, 48
kepercayaan rakyat
95, 95
integritas
48, 23, 39, 40
Keputusan Presiden Nomor 80
international best practice
15
Tahun 2003
89, 90
introduction
15
kesan positif
78
introduksi
18
keselamatan kerja
77
investigasi
52, 53
Jabatan fungsional
99, 105, 106, 107
jabatan fungsional ahli pengadaan barang/jasa pemerintah jurnalis
107 4 18, 99
kamtibnas
2 4, 5, 7 - 10, 103, 104,
kapasitas Kapolri keamanan
1, 2, 4, 7, 9, 10, 21, 64 1, 2, 6, 8, 13, 15,
kebijakan
Kementerian Keuangan
106
Key Process Areas (KPA)
100
22, 23, 38, 39, 47, 54, 78, 104,
79
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) KKIP klausul KLDI knowledge management
1, 8
95, 96,
keuangan pemerintah kinerja kantor
K/L/D/I
kapabilitas
ketepatan pembelian
kode etik profesi Kodifikasi material kolaborasi rantai pasok Komisi daerah
90 1, 7, 8 23 - 25, 44, 53, 54 17, 18 102, 104 63, 98, 99, 101 101 75 41, 48
Komite kebijakan Industri Pertahanan (KKIP)
1
106
komparasi
3
105
komparatif
2
125
126 JURNAL PENGADAAN
kompensasi
54, 62, 77 9, 25, 26, 45, 96,
kompetensi
97, 98, 99, 101, 102, 103, 106, 107
Kompetensi keahlian komprehensif
98 1, 2, 4, 9, 101,
koperatif KPA KPK kredibilitas kualifikasi
38, 39, 47 100, 101, 102, 104, 105 97 95, 96 27, 29, 45, 90, 98
103
Kualifikasi Profesi
komunikasi
4, 7
kualitatif
konfirmatori
2, 3
kuantitatif
2, 3
78
land clearing
53
Layanan pemerintah
96
leadership in government official
76
learning attitude
22
learning infrastructures
22
konservasi konsisten
8, 22, 54
konsultasi
1
konten material kontinjen
78 54, 57
98 2, , 13, 22
kontrak ex post
58
legalitas
20, 21
kontrak harga satuan
64
legislasi
23, 44
kontrak insentif
51, 57, 59, 61, 63, 64, 65
kontrak LS
59, 60
kontrak lumpsum
54, 64
kontrak pengadaan
51 - 54, 58, 59, 61 - 68, 97
1, 2, 12, 13, 22, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP)
96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105,107
Lembaga Pelayanan Secara Elektronik (LPSE)
21, 39
kontrak persentase
64
Lembaga Pengawasan Eksternal
kontrak terima
64
(BPK)
39, 43
kontrak turnkey
64
Lembaga Swadaya Masyarakat
35, 47
kontrol mutu
77
Lembaran Negara No.67/2013
konvensional
21, 22, 46
kooperasi koordinasi
79 6, 7, 8, 75, 77, 79, 101, 105
level of effort level-2 level-3
105 56 103, 105 103, 104, 105, 107
Indeks
liaison officers (LO) life cycle assessment litbang
November 2012/Vol. 2 - No. 2
8 15 6 - 10
model modernisasi alutsista
Logistik Perminyakan
100
modus operandi
logistik Pertamina
101
Moral Hazard
long-term
102
multi-interpretasi
LPSE (Lembaga Pengadaan
multitafsir
5, 29, 55, 56, 57, 61, 77, 79, 102 1, 4 84 51, 58, 67 4 52, 54
Secara Elektronik)
13
1, 2, 5, 8 , 15,
mainstream
19
16, 22, 35, 36
Makro makro (macro planning) manajemen material manajemen proyek/ operasional manajemen ramah lingkungan manajemen rantai pasok
8, 9, 96
nasional
38 , 47 , 53, 79,
9
99, 102, 103,
7,8
105, 107
96, 95 78 33, 34, 45, 36,
national economic contribution net benefit notasi
76 51, 67 61
72, 75, 76
numerikal
2
manufaktur
6,
nusantara
103
mark-up
84
NV BPM/ Shell
101
market operation
23
obat generik
masyarakat
2, 17, 18, 35, 38,
Obyektivitas pemberian
47, 73 - 80, 103,
sertifikat/akreditasi
106,107 Medium term
102
mekanisme dan institusi pelatihan Menteri Pertahanan metode mind-setting minimum essential force
99 1, 2 2,13, 20, 22, 23, 27, 36,38, 47, 56
offset oportunistik
84 48 5 58, 67
orientasi nilai
75
orientasi proyek
75
Panitia Pengadaan paralel
25, 26, 83, 84, 87, 89, 90, 91 9
20
pareto optimal
59
1
pasar asuransi
55
127
128 JURNAL PENGADAAN
pasca reformasi
95, 96
penyedia barang dan jasa
18-20, 33, 38,
pasca sarjana
99
paten
79
penyelesaian sengketa
51, 53, 56, 65-67
5, 11
Penyerapan anggaran
73, 79, 95, 96
PDN pedoman Pejabat pengadaan Pejabat Pengadaan Pemerintah pelaksanaan kontrak
1, 2, 4, 68, 92, 104, 106 96 -98 25, 26, 45, 96 - 98 52, 53,58, 64, 66
Pelelangan umum dengan pasca kualifikasi
27, 45
Pelelangan umum dengan prakualifikasi pembuat kebijakan kepegawaian
39, 79, 84, 90
Peraturan Menteri (Permenpan No.77/2012) Peraturan Presiden No.70/2012
105 99
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
23, 90, 99
Peraturan Presiden RI No.106/2007
96
Perencanaan pengadaan
96
permasalahan pengadaan alut45 106
sista dan almatsus
2
Perpres No.42 Tahun 2010
1
pemerintah Korea
77, 78
pertahanan
1, 2, 4-11, 64
Pemilihan langsung
27, 45
Pertamina
100, 101, 108
pencegahan limbah
78
pendekatan akuisisi pertahanan
5
pengadaan pengadaan (periodisasi)
Peserta pengadaan 10
pengadaan alutsista dan almatsus
Peserta lelang
1-8, 10, 11
Peta jalan pidana
18, 84, 86, 90, 91 83, 86, 87, 89 94, 95, 97, 99107 43, 48, 90, 92
pengadaan barang atau jasa
18, 77
policy research
Pengadaan langsung
27, 45
Polri
1, 4, 5, 7-9
95 - 100, 106
PPK
89
pengadaan pemerintah pengadaan publik Pengadaan publik berkelanjutan pengamanan
13, 15, 66, 72-81 13, 73-75, 79 65
Pengelola pengadaan
18, 32, 46
Penilaian data teknis
87
Penunjukkan langsung
45
praktek korupsi pre-employment training price ceiling/floor Procurement knowledge management
2
95, 96 101 63 102
Indeks
November 2012/Vol. 2 - No. 2
1, 6, 9, 16, 22, 25, 29, 30, 32, produk
profesionalisasi Profesionalisasi modern profesionalisasi pengadaan
rantai suplai Re-think
16
Re-use
16
16, 17, 24, 29, 44, 45, 54, 56,
proporsi prosedur
realisasi biaya Recycling
16, 17
94-107
Reduction
16
98 94, 95, 97, 98,
Reformasi pengadaan barang/ jasa pemerintah
100 regulasi
99, 101, 103, 99 6, 9, 100 4, 5, 7, 8, 15, 52, 62, 64, 66
regulator regulator pengadaan rekomendasi
52
renegosiasi
2, 13, 15, 17,
rasionalitas
1, 4, 7, 51, 67, 103, 104, 106 51, 67, 106 2, 7, 67, 98, 102, 103 105 58
requirement generator
5
riil
9
23, 46, 66, 67,
risiko fidusia
97
72-81, 92,
risiko profesi
105
8
Pusat Produksi Bersih Nasional (PPBN)
44, 46, 50-52, 56, 63-67, 76, 99
proses pemilihan
1, 102
19, 96 3-5, 7, 8, 23, 32,
remunerasi profesi
purna pakai (disposal)
60-62, 65
4, 39, 42, 48
62
publik
65, 79 16
prosedur bilateral Provider
4, 5, 44, 60-62,
Recovery
105-107 program akademis
realisasi
6
78, 86
40, 48, 95, 97, profesionalisme
73, 75, 76, 100
46, 48, 77-79, 6, 9, 14, 15,
produsen
33, 34, 45, 46,
33, 39, 42, 4487
produksi
rantai pasok
16 57, 67
risk averse
57
risk-taker
57
Royal Dutch Shell RPJMN
100 1
129
130 JURNAL PENGADAAN
saat produksi (during-production) Sanggahan sanksi sarjana SDM sebelum produksi (pre-production)
78 84, 86 39, 42, 43, 48, 54, 90 99 101, 103, 106, 107 78
spektek SPP award stakeholder standar kompetensi
5 38, 47 2-4, 7, 8, 13, 14, 17, 21, 22 96, 102, 106
Strategic human resource development
102
Struktur kepegawaian
105
studi literatur
sektor migas
100, 106
sektor publik
75, 79
subkontrak
53, 77
sektor swasta
79
Success story
21
self-financing sengketa kontrak
5 51, 52, 54, 58, 2, 65, 66 18, 36, 39, 40,
Sertifikasi
42, 43, 48, 99, 101
Sertifikasi profesi services setelah produksi (post-production) sharing knowledge short term simposium
99, 101 17, 74, 108 78 8 102 100, 102, 107
Simposium Nasional Pengadaan
suap
3
suistainable development supervisi supplier supply chain management supply push suprastruktur surat dukungan surat dukungan pabrik
1, 7
surat pernyataan
skill acquisition
22
survey
skill-set
21
sustainability
software SOP
21, 108 38, 39, 47
4, 84, 86-88, 90, 91 33, 34, 45, 46, 81 6 20, 21 82-84, 86-91 84, 86-88 86
sinergi
39, 40, 48
62
Surat Jaminan Pabrikan surat penunjukan
socio-label
46, 74
86
102
76, 77
17, 19, 34, 35,
Surat jaminan
Barang Jasa Pemerintah
social responsibilities
84
Sustainable Procurement sustainable public procurement swadaya masyarakat
84, 87, 88 86, 90 35 5 17, 74 12, 13, 17, 18, 22, 23, 74 35, 47
Indeks
swakelola systemic tool-set
November 2012/Vol. 2 - No. 2
27, 45, 21
tanggung jawab sosial (social responsibility) tata kelola teknologi Tenaga Ahli Pengadaan
20, 76, 77 1, 56, 101, 104 2, 5, 6, 9, 13, 16,
UNDESA
17
UNEP
17
untreated-water
16
upaya paksa
62
user validitas value for money
17, 18, 84
96, 98
value-to-money
80
77
WCED (Word Commission En-
teoretis
68
vironment and Development)
tepat mutu tepat nilai
50-61, 63, 65, 67-69 97, 101, 106 97
tepat sumber
97, 101, 106
tepat waktu
97, 101, 106
terencana terencana (level-2)
103, 104, 106 103
terintegrasi (level-4)
103, 104
terkelola
103, 104
terkelola (level-3) through-life
TKDN
103
5 5, 9
TNI
1, 4-9
trade-off
61, 64
transparansi
Usaha Kecil Menengah (UKM)
1, 23, 39, 40, 48, 67, 76
77
Unit-Unit Layanan Pengadaan Pemerintah (ULP) underinvestment
56
20, 78, 79, 104
tender pengadaan
teori kontrak
1
99, 103-107 58, 59
works
75 17, 74
131