EVALUASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA
ESSAI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Perlombaan National Education Fair 2014
Rizka Syafaatul Udzma NIM: 050113a055
PROGRAM STUDI ILMU FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO 2014
Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Di Indonesia Pendahuluan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bagian penting dalam tatanan kehidupan. Diberbagai Negara maju maupun Negara berkembang memiliki sistem tersendiri dalam meregulasikan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas tentu menjadi dambaan setiap orang. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang. Dimana, Pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Reformasi: (OXFORD –Dictionary) Radical change for the better in political, religious or social affair (suatu perubahan radikal untuk yang lebih baik dalam bidang politik, keagamaan dan sosial). Health sector Reform: Cassel “activities concerned with changing health policies and institution through which these are impelented. Radefining policies alone is not enough, there is a need for institutional reform with changes to institutions, organizational structure and management system”. Reformasi kesehatan adalah perubahan yang menyangkut perubahan kebijakan, institusi dan sistem management kesehatan. Reformasi kesehatan di dunia pertama kali diberlakukan oleh Zambia, 1992, Columbia, 1993, U.S.A, 1994, dan saat ini Negara yang sedang melakukan reformasi kesehatan adalah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Berdasarkan UU No.40 Tahun 2004 (pasal 1 ayat 6) tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Namun yang menjadi pertanyaan, Apakah masayarakat Indonesia sudah puas dengan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia? Lalu, Bagaimana perkembangan tenaga kesehatan maupun lembaga yang bergabung dalam sistem jaminan kesehatan nasional? Apakah semua institusi/lembaga mau bekerjasama dan menerima sistem tersebut?, Bagaimana kondisi dan perkembangan bangsa Indonesia di era Jaminan Kesehatan Nasional?, atau Sejauh mana BPJS mampu mengontrol, meregulasikan permasalahan kompleks mengenai pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia dengan baik dan efektif?, dan masih banyak pula pertanyaan lainnya yang membuat kita sebagai masyarakat umum dapat berfikir kompleks mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah diberlakukan di Negeri tercinta ini. Oleh sebab itu, penulis akan mengevaluasi bagaimana Program Jaminan Kesehatan Nasional dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan di Indonesia.
Mutu Pelayanan Kesehatan Di Indonesia Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Azrul Azwar, 1996). Mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Dalam hal ini kepuasan pasien bersifat sebyektif. Namun untuk menghindari subjektivitas individual batasan kepuasaan yang disepakati dalam menilai mutu pelayanan kesehatan di Indonesia yakni sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk. Berbagai upaya dan program kesehatan telah dilakukan Pemerintah untuk menyejahterakan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Deklarasi PBB 1948 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 25 Ayat 1, Pancasila dengan sila Ke5, dan Resolusi Watch Health Organization ke-58 Tahun 2005 di Jenewa, dibentuklah program Jaminan Kesehatan Nasional. Jaminan Kesehatan yang beredar di Indonesia berbagai macam bentuknya, baik dari Pemerintah maupun Swasta. Adapun yang dari pemerintah seperti Askes, Jamsostek, Jamkesda, Jamkesmas, Asuransi TNI/POLRI yang saat ini di Integrasikan kedalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Sedangkan Asuransi kesehatan swasta lainnya seperti AIA dan masih banyak yang lainnya. Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang disampaikan pada acara Seminar Nasional Perumahsakitan Surabaya Hospital Expo Shagrila Surabaya-7 Mei 2014.
Menurut data tersebut berdasarkan responsi tertinggi yaitu Jamkesmas sebesar 36.3%, Uninsured (tanpa asuransi) sebesar 28%, Jamkesda sebesar 16.79%, Company Self Insurance
(Asuransi Pribadi) sebesar 7.12%, Askes PNS sebesar 6.69%, JPK Jamsostek sebesar 2.96%, Commercial Self Insurance (Asuransi Komersial) sebesar 1.2% dan terendah ditempati oleh jaminan kesehatan Polisi/Tentara sebesar 0.59%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa belum terjadi pemerataan Jaminan Kesehatan, dimana masyarakat dengan responsi sebesar 28 % atau lebih dari 49 juta jiwa belum memiliki atau mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Mengingat dasar dibentuknya Jaminan Kesehatan Nasional yaitu Pancasila Sila Ke-5 yang menyatakan bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal ini membuktikan bahwa keadilan di Negeri tercinta Indonesia layaknya masih menjadi suatu hal yang sangat sulit. Berkaitan dengan BPJS (Badan Penyelenggara jaminan Sosial) saat ini masih dalam proses pemerataan. Yang seharusnya dimiliki secara serentak atau bersama-sama. Mengingat berbagai kasus kematian yang dialami oleh orang-orang miskin akibat penyakit kronis yang dideritanya seperti tumor, kanker, serangan jantung, gagal ginjal, dan berbagai penyakit ganas lainnya. Dimana, yang menjadi penyebab utamanya adalah kendala biaya perawatan yang cukup mahal, bantuan Jaminan Kesehatan Nasional seperti Jamkesmas sepertinya tidak optimal dalam membantu pelayanan kesehatan yang efektif sehingga kadangkala nyawa sudah tidak dapat tertolong. Berdasarkan fakta lapangan, seorang Pemuda yang berusia 21 tahun dari Kembang-Kerang, Desa Aik Darek, Kec.Batukliang, Lombok Tengah, menderita penyakit liver kronis. Keluarganya sudah tidak mampu menanggung biaya operasi Rumah Sakit, karena Asuransi Kesehatan dari Pemerintah tidak mampu secara optimal membantu pemulihan keadaan pasien. Pasien yang seharusnya mendapatkan perawatan intensif akhirnya hanya mendapatkan pemulihan dari obat-obatan tradisional maupun sintetis yang diresepkan oleh Dokter dan pada akhirnya meninggal dunia. Terdapat pula kasus seorang Pasien dengan menderita penyakit Diabetes Mellitus yang tangannya membusuk dan butuh operasi secepatnya dari Tenaga Medis. Bapak yang berusia sekitar 60 tahun ini berasal dari kabupaten kudus, Jawa Tengah mendaftarkan diri dengan menggunakan Jamkesmas untuk mendapatkan perawatan, namun pihak Rumah sakit dan Tenaga Kesehatan lainnya lebih cenderung mengutamakan pasien yang tidak menggunakan Jamkesmas untuk di Operasi terlebih dahulu, akibat dari keterlambatan operasi, akhirnya Bapak yang berusia 60 tahun tersebut meninggal dunia. Perbedaan ini sangat menyengsarakan rakyat, khususnya rakyat miskin. Lalu, dimanakah Jaminan Kesehatan itu bisa dikatakan menyejahterakan rakyat. Sedangkan masih ada segelintir warga Bangsa Indonesia yang harus merasakan kurangnya pelayanan kesehatan yang baik, bermutu dan berkualitas. Lalu, Siapakah yang akan kita salahkan ketika hal-hal tersebut terjadi? Tenaga medis, Pemerintah, atau penyedia
layanan kesehatan?. Problematika semacam ini merupakan salah satu tantangan bagi kita semua, khusunya bagi pihak Rumah Sakit dan Tenaga Medis yang bekerjasama dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Peluang Resiko Hukum, Moral bagi pengelola Rumah Sakit dan tenaga medis akan menjadi sorotan masyarakat karena langsung berhadapan dengan pasien. Hal ini bisa saja disebabkan karena terjadinya missunderstanding (salah paham) antara pengelola Jaminan Kesehatan dengan Instansi Rumah Sakit maupun Tenaga Medis, atau ada beberapa hal yang belum sepenuhnya Sistem Jaminan Kesehatan yang ada di Indonesia mampu mengcover pelayanan kesehatan dengan baik meski pihak Rumah Sakit telah berupaya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mengingat formularium Jaminan Kesehatan Nasional berupa pelayanan dasar, sehinga terkadang penyedia pelayanan kesehatan seperti pengelola Rumah Sakit maupun tenaga medis lainnya tidak focus terhadap efesiensi mutu pelayanan medik melainkan bertahan pada aturan yang diberikan oleh Jaminan Kesehatan Nasional yang terkadang tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, Pada akhirnya peluang Instansi Rumah Sakit untuk melakukan perbaikan pelayanan sangat minim. Hal ini akan berakibat pada mutu atau kualitas pelayanan kesehatan akan dipandang rendah oleh masyarakat umumnya. Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional Menurut American Public Health Association (Azwar, 1996) evaluasi adalah suatu proses menentukan nilai atau besarnya sukses dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program (Wijono, 1999). Evaluasi juga merupakan serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil dan dampak serta biayanya. Dengan demikian evaluasi merupakan suatu usaha untuk mengukur suatu pencapaian tujuan atau keadaan tertentu dengan membandingkan dengan standar nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Dewasa ini sering kita melihat dan mendengar diberbagai media elektronik, majalah, koran dan berbagai media massa lainnya memberitakan atau menginformasikan kepada masyarakat umum mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau yang disingkat BPJS. Badan nirlaba ini menjadi sorotan publik sejak mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014 lalu. Badan penyelenggaraan Jaminan Sosial terdiri dari Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan atau yang disingkat BPJS Kesehatan dahulunya berupa Asuransi Kesehatan
dan Badan Penyelenggara Jaminnan Sosial Ketenagakerjaan yang disingkat BPJS Ketenagakerjaan dahulunya dalam bentuk Jamsostek. Jaminan Kesehatan BPJS ini menuai Pro daan Kontra. Menurut Universal Coverage 2014 ada 7 (tujuh) prioritas reformasi kesehatan yang beberapa diantaranya terdiri dari Jaminan Kesehatan Nasional, Rumah Sakit Kelas Dunia, Ketersediaan Obat dan Alat kesehatan di setiap fasilitas kesehatan, Pelayanan kesehatan di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan. Dalam sebuah data disebutkan bahwa sebesar 70 % persen rakyat Indonesia yang tergolong memiliki finansial mampu (menengah-atas) cenderung untuk berobat ke luar Negeri. Setiap tahunnya ada sekitar 500.000 pasien Indonesia yang berobat keluar negeri dan dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Data lain menyebutkan bahwa salah satu rumah sakit milik pemerintah singapura, RS Tan Tock Seng, pada tahun 2005 terdapat 49.000 pasien luar negeri yang dirawat. Dari jumlah tersebut 44 % atau sekitar 11.000 pasien diantaranya adalah orang Indonesia dan 50 % nya berasal dari Jakarta. Tidak hanya warga ibukota yang pergi berobat ke luar negeri, diperkirakan sekitar 1000 orang Warga Sumatera Utara setiap bulannya sering berobat di Penang, Malaysia. Walaupun Rumah Sakit yang ada di Indonesia telah menyediakan ruangan VIP (Very Important Person) atau Super-VIP tapi masih ada pula warga Negara yang tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebagaian besar fasilitas peralatan dan ruang sementara profesionalitas tenaga medis dianggap masih belum merata dan memadai. Hal ini harus menjadi pusat perhatian pemerintah dan Manajemen Rumah Sakit, bagaimana untuk memaksimalkan Rumah Sakit Kelas Dunia atau Sesuai standar Nasional sehingga tidak ada lagi Warga Negara yang tidak percaya dengan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Mengingat reformasi kesehatan yaitu Rumah sakit kelas dunia atau bertaraf internasional, hanya beberapa Rumah Sakit Internasional yang ada di provinsi yang tersebar di Indonesia. Misalnya Rumah Sakit Provinsi Bali, Jakarta, Surabaya sedangkan masih banyak pula Rumah Sakit Swasta yang belum mendapatkan akreditasi. Sarana dan pra-sarana Rumah Sakit, Puskesmas atau Klinik Kesehatan lainnya yang memadai dan lengkap akan membantu proses kelancaran pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjamin kualitasanya. Seharusnya pemerataan pembangunan berupa sarana dan pra-sarana maupun fasilitas atau evaluasi kelengkapan alat medis yang di ada disetiap Unit pelayanan kesehatan perlu dilakukan sehingga operasional dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional dapat berjalan lancar dan Warga Negara Indonesia lebih percaya diri untuk berobat didalam Negeri.
Setelah beroperasinya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) beberapa bulan lalu, masih terdapat berbagai regulasi yang tidak optimal. Menurut Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan bahwa “sampai saat ini orang gelandangan, anak jalanan, anak panti asuhan, orang jompo, dan sebagainya belum mendapat kepastian untuk dilayani oleh BPJS Kesehatan”. Fakta ini tidak sesuai dengan program Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam hal ini BPJS akan diberlakukan untuk semua warga Negara Indonesia dan warga Negara asing yang telah menetap selama enam bulan. Pemerataan BPJS akan dilakukan secara bertahap sampai tercapainya penggunaan BPJS secara merata pada tahun 2019. Lantas yang menjadi permasalahan, Apakah rakyat harus menunggu lama untuk mendapatkan Jaminan Kesehatan?. Hal ini berkaitan pula dengan kesiapan Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Fakta yang ditemukan pula, BPJS pada dasarnya akan mulai beroperasi sejak tahun 2009 akan tetapi baru mulai beroperasi 2014 kemarin. Menurut dr. Gede Subawa M.Kes dalam Semiar Nasional tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) kesehatan di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, 26-27 Juni 2013 mengatakan bahwa “Beroperasinya BPJS ditunda karena yudisial review yang terus menerus dilakukan dengen ikut mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terkait”. Jika hal itu yang menjadi alasan Pemerintah, masih banyak pula yang perlu direview kembali dalam sistem jaminan sosial nasional. Berdasarkan SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan, terkait skema INA CBGs (Case Base Group) dan Kapitasi dari Permenkes No.69/2013. Dalam Koran (Tribunnews, Jakarta) terkait Rencana pemerintah dalam menaikkan anggaran Rp 400 miliar untuk membiayai gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo, penghuni Lapas ternyata belum juga bisa direalisasikan. Hal ini berkaitan dengan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan Kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (Badan Pusat Statistik) 2011 orang miskin ada 96,7 juta. Hal ini yang membuat BPJS Watch mendesak pemerintah untuk merevisi Permenkes 69/2013 dan SE 31 dan 32/2014 dengan menaikkan biaya INA CBGs dan Kapitasi dengan terlebih dahulu membicarakan masalah biaya ini dengan asosiasi Rumah sakit, Puskesmas, asosiasi Klinik, dan penyelenggara kesehatan lainnya. Dan seharusnya anggaran BPJS mampu mengcover rakyat miskin tetapi pada kenyataannya anggaran yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah penduduk rakyat miskin, sehingga konsekuensinya pemerintah harus menambahkan anggaran hingga mampu mengcover 96,7 juta dari anggaran APBN.
Terlaksananya Jaminan Kesehatan Nasional sangat membantu warga Negara Indonesia untuk hidup sejahtera dan menuju Indonesia sehat. Namun banyak hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah terkait dengan kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengetahuan sebagian besar masayaratkat tentang pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional sangatlah rendah. Fakta yang ada dilapangan, sesuai dengan data yang menyangkut opini masyarakat mengenai hal-hal yang perlu dibenahi oleh Jaminan Kesehatan Nasional yang merupakan hasil jejak pendapat Kompas, 27 Februari-1 Maret 2014 pada 610 responden di Jabodetabek, berusia minimal 17 tahun yaitu membutuhkan sosialisasi pelayanan dengan responden sebesar 32%, Prosedur Administrasi sebesar 23 %, Penambahan lokasi pendafaran sebesar 20%, plafon maksimal obat dan rawat inap sebesar 11%, Rumah Sakit Rujukan sebesar 8% dan lainnay sebesar 6%. Kurangnya sosisialisasi pemerintah kepada masyarakat menempati posisi pertama sebesar 32% atau sekitar 195 orang. Walaupun secara kuantitatif, angka dari 195 orang merupakan angka yang kecil, namun pendapat dari mereka perlu dipertimbangkan. Bukankah Negeri ini merupakan Negeri yang penuh dengan hak asasi manusia untuk bebas berpendapat. Lalu, fakta di lapangan ini perlu menjadi pelajaran, agar kedepan dalam mengeluarkan kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk pencapaian tujuan yang optimal dan maksimal. Pengetahuan masyarakat terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang tidak optimal, hal ini merujuk pada tercapainya tujuan dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dijalankan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial dan tidak lupa pula mengenai prosedur administrasi dari pembuatan kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Nasional) agar tidak terjadi cacat prosedural. Cacat prosedural dalam proses administrasi akan menghambat masyarakat dalam mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional. Beroperasinya Jaminan Kesehatan Nasional tentu tidak terlepas dari berbagai profesi kesehatan seperti Dokter, Perawat, Kesehatan Masyarakat, Ahli Gizi, Bidan,Apoteker, analis dan berbagai tenaga medis lainnya. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah tidak terlibatnya secara optimal peranan farmasis terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu penempatan profesi farmasi di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan sangatlah rendah. Sesuai dengan data di bawah ini.
Menurut data diatas, tenaga kefarmasian sangatlah minim. Sedangkan, mari kita tinjau kembali Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 26 (1) menyatakan bahwa “Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan”. Dimana, profesi farmasi belum menjadi prioritas utama dalam pendistribusian tenaga kesehatan kedareah-daerah terpencil atau pelosok. Padahal untuk mengurangi medication error pada saat berlakunya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini, diperlukan penambahan tenaga kefarmasian yang sangat signifikan, agar tidak terjadi lagi pasien yang meninggal disebabkan karena kesalahan dalam pemberian obat. Sedangkan seperti yang kita ketahui Jaminan Kesehan Nasional tidak terlepas dari kebutuhan akan obat. Namun, hal ini menjadi evaluasi pula bagi pemerintah bagaimana untuk . Tentu hal ini menjadi salah satu upaya, bagaimana para farmasis untuk tetap semangat dalam berkontribusi demi kemajuan bangsa yang sehat di era Jaminan Kesehatan Nasional ini. Namun, tidak lupa pula dengan keeksistensian berbagai ikatan profesi kesehatan lainnya dalam mewujudkan kesehatan Indonesia, hal ini terkait dengan berbagai macam program kerja yang dibentuk oleh berbagai ikatan mahasiswa kesehatan dalam upaya mewujudkan Indonesia sehat. Pemerintah pula perlu memberikan apresiasi bagi para mahasiswa kesehatan yang sangat peduli terhadap masyarakat terkait dengan masalah kesehatan, dimana mahasiswa lebih cenderung aktif dan terjun langsung kelapangan. Menurut Dr. suparyanto M.Kes salah satu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah “Peningkatan peran serta masyarakat dan Profesi organisasi”. Dalam hal ini perlu adanya peran serta masyarakat maupun kerjasama antar profesi kesehatan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang lebih optimal, efektif dan efesien serta berkualitas. Karena tidak dapat dipungkiri kembali bahwa permasalahan kesehatan saat ini berhubungan dengan peranan berbagai profesi kesehatan, baik penyedia pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan manajemen pelayanan kesehatan tiap-tiap unit pelayanan medis.
Kesimpulan Jaminan Kesehatan Nasional yang ada di Indonesia merupakan salah satu bagian dari kebijakan Pemerintah. Hal ini merupakan salah satu program Pemerintah untuk menjamin masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan. Namun kebijakan mengenai Jaminan Kesehatan Nasional dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia masih sangat jauh dari tujuan dan apa yang telah diharapkan. Program ini masih perlu regulasi perundang-undangan, Pemerataan Jaminan Kesehatan Nasional, Menurunkan resiko cacat prosedural baik yang berkaitan dengan etika, moral maupun hukum pelayanan kesehatan, Optimalisasi hubungan atau peran serta masayarakat, pemerintah pusat, daerah maupun provinsi
dalam
upaya
pengontrolan Jaminan Kesehatan
Nasional
yang
berkesinambungan serta Menjalin kerjasama maupun hubungan yang baik antara Pemerintah dengan berbagai profesi organisasi kesehatan. Sehingga apa yang telah menjadi cita-cita, dan tujuan mulia Pemerintah dalam membangun bangsa Indonesia ke arah lebih baik yang khususnya dalam bidang kesehatan dapat terealisasi secara efektif dan optimal.
Referensi: a). Buku Bacaan 1. Satrianegara, M. Fais. 2009. Buku Ajar Organisasi Dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. 2. Suharsimi Arikunto. 2002.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Ed.Rev.Cet.3.Xi,310 hlm. Jakarta:Bumi Aksara. a). Dokumen Eksternal 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Seminar Nasional Perumahsakitan Surabaya Hospital EXPO. Surabaya. 2. Seminar Nasional tentang SJSN Kesehatan.2013. (http://manajemenrumahsakit.net/2013/07/seminar-nasional-tentang-sjsn-kesehatan/). Yogyakarta. Diakses 11 Juni 2014. 3. Sistem Jaminan Sosial Nasional. Wikepidia encyclopedia. Com 4. Pelayanan kesehatan di Indonesia dan di Negara-negara tetangga; Implikasi terhadap perbaikan kualitas layanan di Indonesia. (http://wilayah1.ismki.org/?p=208). Diakses 11 Juni 2014. 5. Dr.Suparyanto M.Kes. Mutu Pelayanan Kesehatan. (http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/04/mutu-pelayanan-kesehatan.html). Diakses 11 juni 2014. 6. Liputan 6. RS Tolak Kerjasama BPJS,Kurang Sosialisasi Atau Tenaga Medis yang Cuek. (http://m.liputan6.com/health/read/2015150/menkes-akui-masih-banyak-rs-yang-cariuntung-sejak-jkn-berlaku). Daiakses 11 Juni2014. 7. Tribunnews. 2014. (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/20/evaluasi-50-hariberoperasinya-bpjs-kesehatan). Jakarta. Diakses 12 Juni 2014. 8. Victor Subiakto Puja. Evaluasi Pembangunan Kesehatan Pasca Sepuluh Tahun Reformasi Serta Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia. 9. Kompas. 2014. Hal-Hal Yang Perlu Dibenahi Oleh Jaminan Kesehatan Nasional Yang Merupakan Hasil Jejak Pendapat Kompas.Jabodetabek. 10. W.H.O.1990.Evaluasi Program Kesehatan,Badan Penelitian dan Pengembangan.Depkes.RI. 11. Pusren-Gun.SDM Kesehatan.Badan PPSDMK.2010. 12. Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia